Anda di halaman 1dari 18

Neuro Muscular Blocking

Agent
QL
Perbedaan
Agen penghambat neuromuskuler dibagi menjadi dua
kelas, depolarisasi dan non-depolarisasi. Pembagian
ini diakibatkan perbedaan mekanisme kerja dan
pemulihan dari hambatan.
Mekanisme Kerja

Mirip dengan ACh, semua penghambat


neuromuskuler memiliki seperempat komponen
amonium, dimana ion positif nitrogen ini
menyebabkan afinitas pada reseptor ACh nikotinik.

Jika sebagian besar agen memiliki setengah atom


ammonium, beberapa agen memiliki seperempat
kation amonium, dan sepertiga nitrogen, yang
mengalami protonisasi pada pH fisiologis.
Relaksan otot depolarisasi sangat mirip dengan ACh,
sehingga siap berikatan dengan reseptornya, dan
menyebabkan terjadinya potensial aksi otot.

 Namun tidak seperti ACh, agen-agen ini tidak


dimetabolisasi oleh asetilkolinesterase, dan
konsentrasinya pada celah sinaptik tidak menurun
drastis, sehingga menyebabkan depolarisasi end-plate
motorik yang diperpanjang.
Depolarisasi berkelanjutan ini menyebabkan terjadinya
relaksasi otot karena terbukanya gerbang channel Na di
daerah perijunctional yang lebih rendah terbatas
waktunya. Setelah eksitasi awal dan terbukanya gerbang,
channel Na ini akan tertutup, dan tidak bisa dibuka
sampai end-plate mengalami repolarisasi.

 Padahal end-plate tidak dapat terepolarisasi selama


agen relaksan otot depolarisasi masih berikatan dengan
reseptor ACh, ini disebut blok fase I.
Setelah suatu periode waktu, depolarisasi yang
diperpanjang ini akan menyebabkan perubahan ion
dan bentuk pada reseptor ACh, yang menyebabkan
blok fase II, yang secara klinis mirip dengan relaksan
otot non-depolarisasi.
Relaksan otot non-depolarisasi mengikat reseptor
ACh, tetapi tidak mampu menyebabkan perubahan
bentuk yang dibutuhkan untuk pembukaan channel
ion.

Karena ACh dicegah berikatan dengan reseptornya,


tidak terjadi potensial end-plate. Hambatan
neuromuskuler terjadi walaupun hanya salah satu
subunit α yang diikat agen.
Karenanya, relaksan otot depolarisasi bertindak sebagai
agonis reseptor ACh, sedangkan relaksan otot non-
depolarisasi berfungsi sebagai antagonis kompetitif.

Perbedaan dasar dalam mekanisme kerja ini menjelaskan


dampak yang berbeda-beda pada tingkat penyakit yang
berbeda pula. Contohnya, kondisi yang menyebabkan
penurunan kronik pelepasan ACh (jejas denervasi otot)
akan menyebabkan terjadinya kompensasi dengan
meningkatkan jumlah reseptor ACh dalam membran sel.
Cara kerja Reverse / Pembalik
Karena agen relaksan otot depolarisasi tidak
dimetabolisasi oleh asetilkolinesterase, terjadi difusi
dari junction neuromuskuler, yang menyebabkan agen
tersebut dihidrolisasi di hepar dan plasma oleh enzim
lain, pseudokolinesterase (kolinesterase non-spesifik,
plasma kolinesterase, atau butirilkolinesterase).

 Untungnya proses ini berlangsung cukup cepat,


karena tidak ada agen khusus untuk membalikkan
penghambatan depolarisasi yang telah diketemukan.
Dengan perkecualian pada Mivacurium, agen non-
depolarisasi tidak dimetabolisasi oleh
asetilkolinesterase maupun pseudokolinesterase
secara signifikan.

Pembalikan hambatan tergantung pada redistribusi,


metabolisme bertahap, dan ekskresi agen dari tubuh
atau pemberian agen pembalik yang spesifik (seperti
inhibitor kolinesterase) yang mencegah aktivitas
enzim asetilkolinesterase.
Karena penghambatan ini meningkatkan jumlah ACh
pada junction, yang dapat berkompetisi dengan agen
non-depolarisasi, jelas bahwa agen pembalik tidak
akan bermanfaat pada pembalikan agen depolarisasi.

 Bahkan, dengan menambah konsentrasi ACh di


junction neuromuskuler dan menghambat
pseudokolinesterase, inhibitor kolinesterase dapat
memperpanjang hambatan agen depolarisasi.
Rocuronium

Metabolisme & Ekskresi


Rocuronium tidak dimetabolisme, dan dieliminasi sebagian besar di
hepar, hanya sebagian kecil diekskresi melalui ginjal.

 Lama kerjanya tidak dipengaruhi secara bermakan oleh penyakit


ginjal, namun gagal hepar berat dan kehamilan dapat memperpanjang
lama kerjanya secara nyata.

 Karena rocuronium tidak memiliki metabolit aktif, maka dalam


bentuk pemberian infus jangka panjang, merupakan agen yang lebih
baik daripada vecuronium (terutama dalam penggunaan di ICU).
Pasien usia tua mungkin mengalami pemanjangan masa kerja
diakibatkan menurunnya massa hepar
Dosis

Dibutuhkan dosis sebesar 0,45-0,9 mg/kg IV untuk intubasi dan 0,15


mg/kg bolus untuk lanjutan.

Rocuronium IM (untuk bayi 1mg/kg, 2mg/kg untuk anak) mampu


menyebabkan paralisis plica vokalis dan diafragma tetapi hanya
berlangsung setelah 3-6 menit (awitan injeksi di deltoid lebih cepat
daripada di kuadriceps), dan dapat kembali setelah 1 jam.

Kebutuhan infus rocuronium bervariasi mulai dari 5-12 µg/kg/menit.


Rocuronium dapat memanjang durasi kerjanya pada pasien usia lanjut.
Kebutuhan dosis pada pasien dengan penyakit hepar lanjut juga
meningkat, mungkin akibat meningkatnya volume distribusi.
Rocuronium (dengan dosis 0,9 – 1,2 mg/kg) awitan kerjanya
hampir sama cepatnya dengan suksinilkolin (60-90 detik),
sehingga merupakan pilihan yang tepat untuk induksi cepat,
tetapi durasi kerjanya jauh lebih lama, sebanding dengan
vecuronium dan atracurium.

Rocuronium (0,1 mg/kg) telah terbukti sebagai agen yang


efektif (menurunkan fasikulasi dan mialgia pascaoperasi) dan
berawitan cepat (90 detik) untuk prekurarisasi sebelum
pemberian suksinilkolin. Walau disertai sedikit resiko vagolitik.
Priming dose
Tidak ada satupun agen relaksan otot non-depolarisasi yang menyamai kecepatan
awitan maupun pendeknya durasi kerja suksinilkolin akan tetapi kecepatan awitan
suatu agen dapat ditingkatkan baik dengan menggunakan dosis yang lebih besar
maupun dosis priming.

 ED95 adalah dosis efektif suatu agen pada 95% individu. Biasanya dosis inilah yang
digunakan dalam proses intubasi.

 Walaupun menyebabkan percepatan, akan terjadi peningkatan kemungkinan


terjadinya efek samping pula, dan memperpanjang lama penghambatan.

Sebagai contoh, dosis 0,15mg/ kg pancuronium mungkin mampu menyebabkan


terjadinya kondisi yang tepat untuk intubasi dalam waktu 90 detik, tetapi akan
memperbesar hipertensi dan takikardi yang terjadi, dan hambatannya bisa
berlangsung lebih dari 60 menit.
Teorinya, memberikan 10-15% dari dosis intubasi biasanya
5 menit sebelum intubasi akan merangsang cukup banyak
reseptor sehingga menyebabkan paralisis lebih cepat
ketika dosis relaksan yang sebenarnya diberikan.

Penggunaan dosis priming dapat menyebabkan kondisi


yang cocok untuk intubasi pada rocuronium dalam jangka
waktu 60 detik, atau 90 detik pada penggunaan agen non-
depolarisasi lainnya.
 Pada beberapa pasien, dosis pendahuluan mampu
menyebabkan terjadinya dispnu, diplopia, atau disfagia;
dalam keadaan tersebut pasien harus ditenangkan dan
induksi anestesi harus segera dilakukan.

Dosis pendahuluan dapat menyebabkan deteorisasi


bermakna pada fungsi pernafasan (menurunnya kapasitas
vital), menyebabkan desaturasi oksigen pada pasien
dengan cadangan pulmoner minimal. Efek samping ini
lebih nyata pada pasien usia lanjut.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai