Anda di halaman 1dari 18

Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Era Otonomi

Perencanaan dan Pelaksanaannya

Devy Monalisa Solin


7193341037

Nanda Vecensius Ginting


7193141003

Sartika Kayatana Silitonga


7193341005

K
PO
M
LO
KE
8
POKOK BAHASAN

Perencanaan Pembangunan Daerah


Perencanaan Dan Pelaksanaannya
Dalam Era Otonomi

Konsep Otonomi Persyaratan untuk


Daerah Terjaminnya Pelaksanaan
Reorientasi Perencanaan Rencana
Pembangunan Daerah
Kegagalan Teknis
SPPN 2004 Perencanaan

Komplikasi Otonomi Terhadap Kegagalan


Perencanaan Pembangunan Daerah Pelaksanaan
Rencana

Studi Kasus
Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era
Otonomi
Perubahan sistem pemerintahan dan pengelolaan pembangunan daerah tersebut
tentunya akan menimbulkan perubahan yang cukup mendasar dalam perencanaan
pembangunan daerah. Sistem perencanaan yang selama ini cenderung seragam,
mulai berubah dan cenderung oleh daerah yang bersangkutan. Kebijaksanaan
nasional, mulai mengalami perubahan sesuai dengan keinginan dan aspirasi yang
berkembanga di daerah. Keadaan demikian menyebabkan, pola dan sistem
Perencanaan pembangunan daerah dalam era otonomi daerah juga mengalami
perubahan cukup penting dibandingkan dengan apa yang telah kita alami dalam era
sentralisasi pada pemerintah orde Baru yang lalu.
Konsep Otonomi
Daerah
Perkataan otonomi berasal dari bahasa Yunani outonomous, yang berarti pengaturan
sendiri atau pemerintahan sendiri. Menurut Encyclopedia of social science pengertian
otonomi adalah the legal self sufficiency of social body and its actual independence.
Dengan demikian, pengertian otonomi menyangkut dengan dua hal pokok yaitu
kewenangan untuk membuat hukum sendiri dan kebebasan untuk mengatur
pemerintahan sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, maka otonomi daerah pada
hakekatnya adalah hak atau wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri bagi
suatu daerah otonom. Hak atau wewenang tersebut meliputi pengaturan
pemerintahan dan pengelolaan pembangunan yang diserahkan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah.

Pada dasarnya ada tiga alasan pokok mengapa diperlukan otonomi daerah

political equality Meningkatkan partisipasi politik masyarakat pada tingkat daerah

Meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab pemerintah daerah


local accountability
dan mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah

Meningkatkan respon pemerintah daerah terhadap masalah-


local responsiveness masalah sosial ekonomi yang terjadi di daerahnya
Desentralisasi pembangunan
Tuntutan masyarakat tersebut dan guna mencegah disintegrasi bangsa dan pemerintah Indonesia
mengeluarkan undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah sebagai
pengganti undang-undang nomor 5 tahun 1974. Dalam undang-undang baru ini otonomi daerah di
usahakan untuk terwujud melalui pemberian wewenang yang lebih besar pada daerah terutama
kabupaten dan kota sedangkan kewenangan pemerintah pusat dibatasi hanya pada lima sektor saja
yaitu pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, fiskal dan moneter, peradilan dan agama.
Sedangkan provinsi diberikan otonomi terbatas dalam pengelolaan pembangunan yang bersifat
lintas kabupaten dan kota yang meliputi sektor perkebunan, Perhubungan, pekerjaan umum dan
Kehutanan. Kegiatan pembangunan selain yang diberikan kepada pemerintah pusat dan provinsi
menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten dan kota peraturan pemerintah nomor 25
tahun 2000 merinci secara tegas dan konkret pembagian kewenangan tersebut.

Desentralisasi Fiskal
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 juga melakukan desentralisasi fiskal dimana pemerintah
daerah diberikan wewenang pengelolaan pengeluaran keuangan yang lebih besar sesuai dengan
potensi dan kebutuhan daerah. Desentralisasi fiskal tersebut mencakup pemberian wewenang
yang lebih besar kepada daerah dalam mengelola pengeluaran dan pemasukan pemerintah sesuai
dengan ketentuan berlaku sebagai pedoman operasional pemerintah telah mengeluarkan pula lima
buah PP baru pada akhir tahun 2000 yang lalu. Dengan dilakukan desentralisasi fiskal tersebut
diharapkan pemanfaatan dana pemerintah akan menjadi lebih terarah dan efisien dalam
memperhatikan kebutuhan masing-masing daerah.
Reorientasi Perencanaan Pembangunan Daerah

1 Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah

Perubahan sistem dan orientasi perencanaan pembangunan daerah ini dilakukan


sejalan dengan prinsip otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 otonomi daerah dalam hal ini dilaksanakan dalam
kerangka negara kesatuan Republik Indonesia yang berbeda dengan otonomi pada
negara federal. Pada otonomi daerah dalam kerangka NKRI ini kewenangan tidak
diberikan secara keseluruhan kepada daerah tetapi dibagi antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Kewenangan
dalam bidang pertahanan keamanan politik luar negeri fiskal dan moneter, peradilan
dan agama masih berada pada pemerintah pusat. Provinsi diberikan kewenangan
khusus untuk bidang yang bersifat lintas sektoral seperti berhubungan, perkebunan
dan Kehutanan sedangkan daerah kabupaten dan kota diberikan kewenangan yang
lebih besar yaitu selain dari kewenangan pusat dan provinsi, ini berarti bahwa otonomi
daerah sebenarnya lebih dititikberatkan pada kabupaten dan kota dalam rangka lebih
mendekatkan pemerintahan dengan rakyat yang dipimpinnya.
2 Penerapan Konsep Wilayah Pembangunan

Untuk dapat merumuskan strategi, kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan


wilayah sesuai dengan kondisi sosial ekonomi setempat, maka penerapan konsep
wilayah Pembangunan merupakan alat perencanaan yang sangat bermanfaat.
Selanjutnya untuk setiap wilayah pembangunan ditetapkan pula satu atau lebih pusat
pertumbuhan yang akan berfungsi sebagai '' penggerak'' pembangunan wilayah yang
bersangkutan. Melalui penetapan wilayah pembangunan dan pusat pertumbuhan
tersebut akan dapat pula ditetapkan strategi, kebijaksanaan dan perencanaan yang
lebih terarah sesuai dengan kondisi sosial ekonomi daerah setempat.

3 Penetapan Program dan Kegiatan Pembangunan Daerah


Dalam era otonomi daerah, penetapan program dan kegiatan pembangunan yang
dilakukan melalui kegiatan RAKORBANG akan sangat berkurang. Alasannya adalah
karena otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah
untuk menetapkan program dan kegiatan pembangunan yang dibutuhkan oleh masing-
masing DAERAH. Peranan pemerintah pusat dalam penetapan program dan kegiatan
pembangunan daerah sudah akan sangat berkurang. Penetapan program dan kegiatan
pembangunan daerah melalui RAKORBANG akan masih diperlukan hanya untuk jenis
kegiatan dekonsentrasi yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. Dengan
demikian proses penetapan program dan kegiatan pembangunan dalam era otonomi
akan menjadi lebih singkat dan efisien.
4 Peranan BAPPEDA
Perubahan sistem perencanaan pembangunan daerah dalam era otonomi sebagaimana dijelaskan
terlebih dahulu tentunya memerlukan lembaga perencanaan pembangunan daerah yang lebih kuat
dan berkualitas hal ini diperlukan mengingat kewenangan daerah dalam mengelola kegiatan
pembangunan di daerahnya sudah semakin besar karena itu sangat beralasan kiranya bila BAPPEDA
(badan perencanaan pembangunan daerah) baik pada provinsi, kabupaten dan kota perlu segera
dikembangkan dan ditingkatkan kualitas dan peranannya dalam waktu dekat, jenis pengembangan
yang sangat diperlukan adalah menyangkut dalam peningkatan jumlah serta kualitas tenaga
perencanaan yang dimiliki oleh badan perencanaan daerah tersebut.

Terobosan yang cukup penting perlu dilakukan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas
tenaga perencanaan pada semua BAPPEDA yang ada di daerah dalam hal ini upaya yang
dapat disarankan adalah sebagai berikut:
Membentuk komite perencanaan yang bertugas untuk membantu pelaksanaan tugas BAPPEDA
dalam penyusunan dokumen perencanaan.

Memberikan status fungsional kepada para petugas perencana tetap atau pegawai daerah yang
terdapat pada BAPPEDA bersangkutan
Meningkatkan pendidikan dan latihan untuk tenaga perencana yang telah ada baik dalam bentuk
pendidikan jangka pendek maupun jangka panjang ketik dalam hal ini koma program pelatihan
jangka pendek dan program pendidikan pascasarjana yang telah ada pada perguruan tinggi
setempat dapat dimanfaatkan
SPPN 2004

1 Keterpaduan dan Sinergi Pembangunan

Tujuan utama SPPN 2004 adalah untuk meningkatkan kembali ke koordinasi perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan. Koordinasi tersebut baik antara perencanaan nasional dan daerah,
antar masing-masing daerah serta masing-masing instansi pemerintah yang terkait koordinasi
Pembangunan Jangka Panjang secara nasional dilakukan melalui penyusunan rencana
pembangunan jangka panjang nasional untuk periode 20 tahun RPJP nasional ini berisikan visi,
misi dan arah pembangunan secara nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan
terbentuknya pemerintah negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan undang-undang
Dasar 1945 nasional ini selanjutnya dijadikan landasan utama penyusunan RPJP nasional untuk
periode 5 tahun titik RPJM nasional ini memuat strategi pembangunan nasional kebijakan umum
program kementerian dan lembaga, program kewilayahan serta kerangka ekonomi makro yang
mencakup kembaran perekonomian nasional secara menyeluruh, termasuk kebijakan fiskal dan
kerangka pendataan.

2 Perencanaan Wilayah dan Perencanaan Instirusi


SPPN 2004 memberikan ketentuan yang sangat jelas tentang Kedua jenis dokumen perencanaan
pembangunan ini. Di dalam SPPN dinyatakan secara tegas bahwa rencana strategis adalah
dokumen perencanaan untuk institusi Sehingga ruang lingkupnya adalah sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi dari institusi yang bersangkutan. Pada tingkat pusat dokumen yang disusun
adalah RENSTRA KLkarena institusi yang terlibat adalah kementerian dan lembaga. Sedangkan
pada tingkat daerah dokumen yang disusun adalah RENSTRA SKPD karena institusi yang terlibat
adalah satuan kerja Perangkat daerah seperti dinas dan instansi.
3 Koordinasi dan penyerapan Partisipasi Masyarakat
Sesuai dengan amanat SPPN 2004, Musyawarah Rencana Pembangunan (MUSRENBANG)
mempunyai dua fungsi utama.
1. sebagai alat untuk melakukan koordinasi penyusunan perencanaan pembangunan antar
berbagai kegiatan pembangunan.
2. sebagai alat untuk menyerap partisipasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan dengan
mengikutsertakan berbagai tokoh masyarakat.

4 Peranan Rencana Tahunan

Rencana pembangunan yang kurang operasional tersebut terjadi karena selama ini umumnya
badan perencana pembangunan, terutama pada tingkat daerah (BAPPEDA) kurang memperhatikan
pentingnya perencanaan tahunan sebagai jabaran lebih konkret dan operasional dari perencanaan
jangka menengah. Perencanaan yang ada, baik PROPEDA maupun RENSTRA adalah perencanaan 5
tahun yang biasanya memang kurang operasional karena jangka waktu cakupan perencana cukup
panjang. Seharusnya pada setiap tahun badan perencana menyusun Rencana Tahunan yang
merupakan jabaran lebih rinci dan konkret dari RPJMD dan RENSTRA-SKPD sesuai dengan
kemampuan dana pada tahun yang bersangkutan.
5 Perencanaan dan Penganggaran
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan bahwa dalam
proses penyusunan Rencana Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), pemerintah diwajibkan
menyusun Kebijaksanaan Umum Anggaran (KUA), Prioritas dan Plafond Anggaran Sementara
(PPAS) dan Rencana Kerja Anggaran (RKA). Penyusunan KUA dimaksudkan untuk dapat memilah
dan menentukan program dan kegiatan yang menjadi urusan daerah sehingga dapat dibiayai
dengan APBD daerah.

6 Kelemahan SPPN 2004

Titik kelemahan utama dari SPN 2004 ini adalah bahwa sistem perencanaan pembangunan
internet kurang mempertimbangkan secara eksplisit aspek-aspek tata ruang dan pembangunan
wilayah dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan aspek perencanaan wilayah
yang terdapat di dalamnya hanyalah berkaitan dengan wilayah administratif seperti provinsi
kabupaten dan kota B sedangkan pengertian wilayah dalam perencanaan pembangunan
sebenarnya lebih luas dari wilayah administratif tersebut karena termasuk pula perbedaan potensi
dan keterkaitan antara daerah pedesaan dan perkotaan antar kota dan kabupaten antar sesama
kota maupun Antar Provinsi yang berdekatan.
Komplikasi Otonomi Terhadap Perencanaan Pembangunan Daerah

1 Konsistensi Visi dan Misi Pembangunan Daerah


Persoalan muncul karena ada dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional dan juga pada
masing-masing daerah telah ditetapkan pula visi misi untuk periode 20 tahun kedepan karena
masing-masing daerah diperbolehkan untuk memilih visi dan misinya sendiri maka besar
kemungkinan variasinya akan sangat besar sekali akibatnya akan sulit sekali dilakukan konsistensi
antara visi dan misi kepada daerah yang dengan visi misi daerah yang terdapat dalam RPJP nasional
dan bahkan dengan RPJP daerah yang bersangkutan.

2 Ketidaksinkronan Jadwal Waktu Perencanaan


Sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang nomor 17 tahun 2007 bahwa periode baik
pada tingkat nasional maupun tingkat daerah harus sama yaitu 2005-2025. Sementara itu jadwal
waktu rencana pembangunan jangka menengah disesuaikan dengan masa jabatan kepala daerah
titik akibatnya Terjadi ketidak sinkronan atau konflik antar dakwah waktu RPJPD dan dengan RPJMD
pada masing-masing daerah. Kondisi yang demikian tentunya akan membawa implikasi cukup besar
terhadap keterpaduan dan sinkronisasi pembangunan baik antar pusat dan daerah serta antara
periode perencanaan.

3 Inkonsistensi Antar Dokumen Perencanaan


Inkonsistensi ini dapat terjadi bilamana berbeda tidak serius, kurang mampu atau tidak berwibawa
untuk melakukan penyelarasan antara program dan kegiatan yang dibuat oleh masing-masing SKPD
dengan yang terdapat dalam RPJMD.
Perencanaan Dan Pelaksanaannya

Perencanaan Harus Berorientasi


Melakukan Monitoring Pada Pelaksanaan Perlu Adanya
dan Evaluasi Stabilitas Politik

Persyaratan
untuk Perencanaan Itu Sendiri
Optimalisasi Peran Serta
Masyarakat Terjaminnya Harus Layak Secara Teknis
Pelaksanaan
Rencana

Menjaga Konsistensi
Perencanaan dan
Melakukan Penyesuaian Kemampuan Administrasi
Penganggaran
Rencana (Planning Adjustment) Daerah Bersangkutan
Perencanaan Dan Pelaksanaannya

Dualisme Pola Penyusunan dan


Penetapan Rencana

Struktur Badan Perencana Arah Pembangunan


Pembangunan Daerah Daerah Kurang Realistis

Kegagalan
Teknis
Adanya Goncangan Perencanaan
Perekonomian dan Kelemahan Teknis
Bencana Alam Penyusunan Rencana

Kurang Terpadunya Keterbatasan Data


Perencanaan dan Statistik Tersedia
Penganggaran
Perencanaan Dan Pelaksanaannya

Kurangnya Dukungan Kurang Sempurnanya


Elite Politik Berkuasa Penyusunan
Anggaran Kinerja
1 2

Kegagalan
Pelaksanaan
Rencana

3 4

Kurang Optimalnya
Pemanfaatan Kebiasaan Melakukan KKN
Partisipasi Masyarakat
Studi Kasus
• Judul Artikel : Analisis Pelaksanaan Perencanaan
Pembangunan Di Kelurahan Sei Putih Tengah
Kecamatan Medan Petisah Kota Medan
• Penulis : Aisyah Oktaviani Putri, Sirojuzilam dan
Abdul Kadir
• P-ISSN : 2549-9165
• e-ISSN : 2580-2011
• Edisi : Jurnal Ilmu Administrasi Publik 6 (1)
(2018): 58-71

Seringkali dalam proses perencanaan pembangunan, tidak


menghasilkan sebuah perencanaan yang baik, atau perencanaan yang
tidak sesuai dengan tujuan pembangunan masyarakat. Dalam
pembangunan terdapat fasos dan fasum. Dimana fasos ini adalah
fasilitas sosial dan fasum itu sendiri adalah fasilitas umum. Arti atau
pengertian fasilitas umum adalah fasilitas yang diadakan untuk
kepentingan umum. Contoh dari fasilitas umum (fasum) adalah seperti
jalan,saluran air, jembatan,fly over, alat penerangan umum, listrik,
banjir kanal, trotoar, tempat pembuangan sampah. Sedangkan arti
atau pengertian fasilitas sosial adalah fasilitas yang diadakan oleh
pemerintah atau pihak swasta yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat umum. Contoh dari fasilitas sosial (fasos) adalah seperti
puskemas, klinik, sekolah, tempat ibadah, pasar, tempat rekreasi,
taman bermain, tempat olahraga, ruang serbaguna, makam
Fasilitas umum dan fasilitas sosial adalah milik bersama yang harus dijaga dan dirawat
dengan baik agar bisa selalu dimanfaatkan secara maksimal. Warga masyarakat dapat saling
bahumembahu untuk membangun dan memperbaiki fasum atau fasos itu sendiri jika
memang sangat diperlukan tanpa bergantung kepada pemerintah.Fasilitas umum maupun
fasilitas sosial yang di buat oleh pemerintah yang dirusak orang-orang yang tidak
bertanggung jawab akan merugikan masyarakat. Fasum dan fasos yang disediakan oleh
pemerintah dibiayai oleh dana yang sebagian besar didapat dari pajak dan retribusi. Pajak
dan retribusi dikumpulkan oleh pemerintah dari masyarakat, sehingga fasilitas umum dan
fasilitas sosial merupakan milik masyarakat umum. Dengan adanya permasalahan tersebut
dapat menjadi kendala atau menghambat kemajuan dari pada kesejahteraan masyarakat.
Proses perencanaan pembangunan daerah yang berlangsung secara umum masih memiliki
beberapa kekurangan. Yang menjadi kekurangan dalam hasil pelaksanaan perencanaan
pembangunan adalah (1) faktor anggaran. (2) sumber daya masyarakat yang umumnya
masih lemah. (3) sumber daya organisasi atau perangkat daerah yang belum memadai. (4)
pergeseran usulan kegiatan.
KESIMPULAN
Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Karena dalam era otonomi, campur tangan
pemerintah pusat menjadi semakin berkurang dan daerah diberikan kewenangan yang
lebih besar untuk mengelola pembangunan di daerahnya masing-masing, maka sistem
perencanaan pembangunan daerah yang semula lebih bersifat sektoral, kemudian
berubah menjadi lebih bersifat regional. Perencanaan pembangunan daerah sekarang
lebih banyak memperhatikan potensi dan karakteristik khusus daerah titik sedangkan
perencanaan nasional lebih banyak bersifat makro dan hanya akan memberikan arah
dan sasaran umum agar pembangunan daerah dapat dikoordinasikan dengan baik dan
efisien titik di samping itu Pama perencanaan makro hanya ditekankan pada masalah
masalah utama pembangunan yang bersifat nasional. Perubahan sistem dan orientasi
perencanaan pembangunan daerah ini dilakukan sejalan dengan prinsip otonomi
daerah sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
otonomi daerah dalam hal ini dilaksanakan dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia yang berbeda dengan otonomi pada negara federal

Anda mungkin juga menyukai