Anda di halaman 1dari 45

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan
pada model perencanaan pembangunan di Indonesia. Model
perencanaan pembangunan menurut kedua undang-undang ini
berbeda dengan model perencanaan pembangunan sebelumnya,
yang menggunakan pendekatan konvensional, teknis dan analitis.
Kini perencanaan pembangunan menggunakan pendekatan yang
lebih komprehensif yaitu dengan menggunakan pendekatan politis,
teknokratik, partisipatif, top down dan buttom- up.
Perencanaan pembangunan dengan pendekatan baru ini
difokuskan untuk menjaga agar keluaran dari semua kegiatan
pembangunan mengarah pada pencapaian tujuan pembangunan
baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang yang
telah disepakati sebelumnya oleh keseluruhan stakeholder.
Penyempurnaan mendasar lainnya meliputi penyempurnaan
sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran nasional baik
proses, mekanisme, maupun tahapan pelaksanaan musyawarah
perencanaan di tingkat pusat dan daerah. Dengan penyempurnaan
2 (dua) fungsi vital dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut
diharapkan dapat memaksimalkan potensi daerah demi terwujudnya
kemakmuran masyarakat.
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
konsekuensi terhadap kewenangan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota khususnya dibidang perencanaan pembangunan
2

menjadi lebih leluasa untuk mengatur dan mengurus sendiri


pembuatan program-program pembangunannya.
Kedudukan rumusan perencanaan pembangunan bagi
Pemerintah Kabupaten/Kota sangat penting dan strategis, karena
perencanaan pembangunan berfungsi sebagai pedoman dan arah
serta sebagai tolok ukur untuk menilai suatu keberhasilan
pelaksanaan pembangunan.
Aktualisasi perencanaan pembangunan selama ini, sering
dihadapkan pada persoalan bahwa program-program yang
dirancang masih menggunakan pendekatan sektoral, parsial dan
kurang sinergi antara satu program dengan program lainnya, serta
kurang berkesinambungan, sehingga tingkat kinerja keberhasilan
pembangunan kurang maksimal. Persoalan semacam ini perlu
pemecahan untuk menjembatani ketimpangan-ketimpangan baik
pada tingkat perencanaannya maupun pada tataran operasionalnya.
Salah satu upaya memecahkan persoalan tersebut diatas,
dibutuhkan suatu model rancangan perencanaan pembangunan
yang tersusun secara sistematis, konsisten, terarah serta terkendali
dengan berpedoman pada prinsip terintegrasi, terpadu dan
partisipatif dari berbagai sektor pembangunan.
Supaya penyusunan perencanaan pembangunan secara
ilmiah dapat dipertanggung jawabkan, dan dari sisi praktis dapat
diimplementasikan dengan baik, maka diperlukan beberapa metode
dalam menyusunnya. Penyusunan perencanaan pembangunan
menggunakan tiga pendekatan dasar yaitu:
1. Pendekatan pembangunan partisipatif (Particiaptory Approach),
artinya proses penyusunan perencanaan pembangunan melaui
proses keterlibatan seluruh stakeholders, kedudukan dan peran
pemerintah (eksekutif) berperan sebagai fasilitator dalam
perumusan program dan pengambilan keputusan bersama-sama
masyarakat. Pendekatan ini diharapkan secara langsung dan
3

tidak langsung menciptakan proses pembelajaran demokrasi dan


pemberdayaan terhadap seluruh potensi dan kekuatan yang ada
dalam masyarakat.
2. Pendekatan tata pemerintahan yang baik (Good Governance
Approach), artinya pembangunan daerah yang akan dilaksanakan
harus mampu mendorong terselenggaranya prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik dan praktek pengelolaan daerah yang
efektif. Sehingga dalam pendekatan ini menuntut
dilaksanakannya sistem yang transparan, kinerja yang efisien dan
efektif, memiliki visi yang strategis, penegakan aturan,
akuntabiltas dan profesional.
3. Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan ( Sustainable
Development Approach), artinya program-program pembangunan
yang dipilih dan diputuskan harus mempertimbangkan dan
menjadi stimulan untuk dapat mengarahkan proses
pembangunan daerah menuju tujuan-tujuan pembangunan yang
berkelanjutan dan juga diharapkan nantinya mampu untuk
dilaksanakan secara mandiri oleh masyarakat. Sehingga peran
dan fungsi pememerintah sebagai agent of development dapat
terlaksana dengan baik.
Kota Mojokerto sebagai kota orde 2 yang memiliki lingkup
kewilayahan terbatas dan interaksi yang tinggi antar stakeholdernya
memiliki peluang yang kondusif dan integratif untuk merancang sejak
awal dalam menentukan langkah jangka panjang pembangunannya
untuk mewujudkan pembangunan yang memihak dan
menyejahterakan masyarakat.
Perwujudan dari berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan
Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagai langkah awal dan penting yang dilakukan adalah
menyusun dokumen perencanaan pembangunan dalam skala makro
4

yang disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang


(RPJP) Kota Mojokerto yang memiliki proyeksi perencanaan selama
20 tahun.
Amanat pada Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
menyatakan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
Daerah merupakan perumusan visi, misi dan program pembangunan
jangka panjang yang akan menjadi pedoman dan referensi bagi
penyusunan perencanaan pembangunan lainnya dalam skala yang
lebih mikro. RPJP ini menjadi acuan bagi penyusunan RPJM yang
merupakan penjabaran dari visi, misi dan kebijakan Walikota,
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang disusun sebagai
landasan penyusunan APBD per tahun dan berbagai perencanaan
pembangunan lainnya di Kota Mojokerto selama 20 tahun ke depan.
Penyusunan RPJP Kota Mojokerto berpedoman pada
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan RPJP
Provinsi Jawa Timur yang memuat deskripsi tentang kondisi umum
Kota Mojokerto, potensi pembangunan dan faktor strategis yang
dapat dikembangkan, penyusunan visi dan misi pembangunan 2005-
2025 Kota Mojokerto serta arah pembangunan jangka panjang Kota
Mojokerto.
RPJP Kota Mojokerto disusun secara sistematis dan
komprehensif berawal dari penyerapan aspirasi masyarakat dan
memperhatikan kondisi eksistensi masyarakat sebagai perwujudan
dari pola bottom up planning dan mengacu kepada kebijakan makro
nasional (RPJPN) maupun regional Jawa Timur (RPJP Provinsi Jawa
Timur) sebagai perwujudan top-down planning.
Tersusunnya RPJP Tahun 2005-2025 ini berkonsekuensi pada
pelaksanaan pembangunan 20 (dua puluh) tahun ke depan harus
dilakukan secara terpadu dan sinergis demi kesejahteraan dan
kemakmuran seluruh lapisan masyarakat Kota Mojokerto.
5

Dalam kaitannya dengan penyusunan RPJP Kota Mojokerto


tahun Tahun 2005-2025 perlu disusun suatu naskah akademik yang
meneliti secara akademik pokok-pokok materi yang seharusnya ada
dalam sebuah rancangan peraturan daerah. Penyusunan naskah
akademik ini sebagaimana terkait dengan materi yang dikaji yakni
penyusunan RPJPD Kota Mojokerto tahun 2005-2025 mendasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang sebagai berikut :
1. Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2001 Tentang Visi Indonesia
Masa Depan.
2. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
4. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
5. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
6. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
7. Undang Undang No. 17 Tahun 2007 Tentang RPJP Nasional.
8. Peraturan Pemerintah nomer 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan,
Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan Daerah.

1.2 Maksud dan Tujuan


Tujuan penyusunan naskah akademik ini adalah untuk
mengkaji dan meneliti secara akademik pokok-pokok materi yang
ada dan harus ada dalam rancangan Peraturan Daerah Kota
Mojokerto Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) tahun 2005-2025, sehingga jelas kedudukan dan ketentuan
yang diaturnya.
6

1.3 Sasaran Pelaksanaan


Sasaran yang dicapai dalam penyusunan naskah akademik
ini adalah mengkaji pokok-pokok materi yang ada dan harus ada
dalam rancangan Peraturan Daerah Kota Mojokerto Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah(RPJPD) tahun
2005-2025, khususnya berkaitan dengan target sasaran sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan kondisi eksistensi hasil-hasil pembangunan
yang telah dicapai dan proyeksi terhadap berbagai
kecenderungan (trend) tentang tuntutan dan kebutuhan
masyarakat terhadap pemerintahan dan pembangunan melalui
penetapan tujuan dan target pembangunan untuk jangka panjang
2. Mensinkronkan berbagai kepentingan, kebutuhan dan harapan
dari berbagai pihak yang berkepentingan dalam pembangunan
(stakeholders) ke dalam suatu visi dan misi Kota Mojokerto
dalam proyeksi perencanaan 20 tahun ke depan.
3. Memberikan arahan yang lebih fokus dan sistematis melalui
berbagai strategi pembangunan dan penetapan arah kebijakan
pemerintahan dalam pembangunan 20 tahun ke depan.

1.4 Metode Penyusunan Naskah Akademik


Metode yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik
ini adalah metode sosiolegal, dengan metode ini maka kaidah-
kaidah hukum baik yang berbentuk peraturan perundang-undangan,
maupun kebiasaan dalam penyusunan organisasi pemerintahan
dicari dan digali, untuk kemudian dirumuskan menjadi runmusan
pasal-pasal yang dituangkan ke dalam rancangan peraturan
perundang-undangan (Raperda). Metode ini dilandasi oleh bahwa
peraturan yang baik, dibentuk berlandaskan perturan perundang-
undangan , asas-asas hukum maupun kenyataan yang ada dalam
7

masyarakat, bukan semata-mata merupakan kehendak penguasa


saja.
Secara garis besar proses penyusunan peraturan daerah ini
meliputi tiga tahap yaitu:
1. Tahap Konseptualisasi
Tahap ini merupakan tahap awal dari kegiatan Technical
Assistance yang dilakukan oleh tim penyusun. Pada tahap ini
penyusun melakukan konseptualisasi naskah akademik dan
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Mojokerto
tahun 2005-2025.
2. Tahap Sosialisasi dan Konsultasi publik
Pada tahap ini, tim penyusun melakukan soisalisasi dan
konsultasi public mengenai Peraturan Daerah tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Mojokerto
tahun 2005-2025 melalui seminar yang menghadirkan
masyarakat, pengusaha, Lembaga Swadaya Masyarakat , dan
Pemerintah.target output kegiatan sosialisasi ini tersosialisasinya
rencana pembentukan rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota
Mojokerto tahun 2005-2025, dan memperoleh masukan dari
peserta guna perbaikan dan penyempurnaan rancangan
peraturan daerah.
3. Tahap Proses Politik dan Penetapan
Proses Politik dan Penetapan merupakan tahap akhir dari
kegiatan Technical Assistance. Proses politik merupakan
pembahasan Raperda tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) Kota Mojokerto tahun 2005-2025
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota
Mojokerto tahun 2005-2025 oleh DPRD bersama pemerintah Kota
Mojokerto. Tahap penetapan adalah tahap ketika Raperda sudah
8

disetujui oleh DPRD Kota Mojokerto untuk disahkan menjadi


Peraturan Daerah.
9

BAB 2
KAJIAN AKADEMIK

2.1 Kajian Filosofis


Landasan filosofis suatu peraturan perundang-undangan,
pada prinsipnya terdapat dua pandangan. Pandangan pertama
menyatakan bahwa landasan filosofis adalah landasan yang
berkaitan dengan dasar atau ideologi Negara, yaitu nilai-nilai (cita
hukum)yang terkandung dalam Pancasila. Sedangkan pandangan
yang kedua menyatakan bahwa landasan filosofis adlah pandangan
atau ide pokok yang melandasi seluruh isi perundang-undangan.
Berdasarkan Pembukaan UUD 1945 alinea lV , Negara
Indonesia dibentuk bertujuan : Melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk dapat lebih mencapai
tujuan tersebut penyelenggaraan pemerintahan Indonesia dilakukan
pemencaran kekuasaan secara vertikal dengan mendasarkan prinsip
desentralisasi.
Desentralisasi kekuasaan (kewenangan) tersebut
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten
dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang. Sesuai
dengan ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,
lebih lanjut Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
10

Pemberian otonomi tersebut dimaksudkan untuk


mempercepat proses terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan perencanaan
pembangunan yang efektif, efisien dan proyektif.
Mengingat bahwa Pemerintah Kota Mojokerto merupakan
daerah otonom yang memperoleh kewenangan penyelenggaraan
pemerintahan berdasarkan penyerahan kewenangan dari pemerintah
pusat kepada daerah. Penyerahan kewenangan tersebut baik
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Th.2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, maupun berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antar Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi Dan Pemerintah
Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Mengingat bahwa kewenangan pemerintah kabupaten dan
kota selain kewenangan wajib, juga terdapat kewenangan pilihan,
untuk itu perencanaan pembangunan Kota Mojokerto pada prinsip
harus mewujudkan prinsip efektif dan efisien dalam rangka mencapai
tujuan Negara tersebut diatas,.
Dengan demikian landasan penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Mojokerto
tahun 2005-2025 harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Materi muatan peraturan daerah tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Mojokerto
tahun 2005-2025 didasarkan pada fungsi pemerintahan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
b. Meningkatkan profesionalisme kinerja pemerintah
melalui perencanaan pembangunan yang baik dan benar.
11

2.2 Kajian Yuridis


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Th. 2004 Tentang
Pemerintah Daerah, pembagian kekuasaan tidak lagi didasarkan
pada pendekatan kewilayahan, namun yang dibagi adalah Negara.
Konsep Negara secara hukum merupakan organisasi kekuasaan.
Bila merujuk pada pembagian kekuasaan menurut Montesqieu, maka
kekuasaan Negara dibagi kedalam tiga kekuasaan yaitu kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Pembagian
kekuasaan secara vertikal tersebut hanya meliputi kekuasaan
eksekutif saja tidak meliputi kekuasaan legislatif maupun kekuasaan
yudikatif.
Hal tersebut nampak jelas pada ketentuan Pasal 19 UU No.32
Th.2004 yaitu:
1. Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh 1
(satu) orang wakil Presiden dan oleh Menteri Negara.
2. Penyelenggara pemerintah daerah adalah pemerintah daerah dan
DPRD.
Beranjak dari uraian diatas,nampak bahwa persoalan
pembagian kekuasaan merupakan bagian yang sangat penting
dalam perencanaan pembangunan di daerah. Pembagian kekuasaan
secara vertikal yang didasarkan pada desentralisasi akan melahirkan
daerah-daerah otonom yang mempunyai kewenangan untuk
mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam konsep Negara kesatuan
pembagian kekuasaan secara vertikal merupakan pembagian
kewenangan pemerintahan, antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Pembagian wewenang pemerintahan tersebut
berpengaruh besar pada siapa memiliki wewenang apa dan
bagaimana menggunakannya.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 didasarkan pada prinsip-prinsip:
12

a. Digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas


pembantuan.
b. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang
dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
c. Asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di daerah
Propinsi, Daerah Kabupaten, Daerah Kota dan Desa.
Desentralisasi di sini diartikan penyerahan atau pengakuan
hak atas kewenangan untuk mengurus rumah tangga daerah sendiri,
dalam hal ini daerah diberi kesempatan untuk melakukan suatu
kebijakan sendiri. Pengakuan tersebut merupakan suatu bentuk
partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan yang merupakan ciri
dari Negara demokrasi.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
dasar 1945, dikaitkan dengan pasal 198 Undang-Undang Dasar
1945, Indonesia merupakan Negara kesatuan yang tidak sentralistik,
melainkan kekuasaan dibagi secara vertikal melalui desentralisasi
kekuasaan. Dalam Undang-Undang Dasar1945 telah merinci
pelaksanaan desentralisasi dan system otonom sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945
yang menyatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan
otonomi daerah seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Dalam desentralisasi kekuasaan tersebut melahirkan daerah-
daefrah otonom, sehingga undang-undang yang mengatur
desentralisasi kekuasaan juga sering disebut undang-undang
otonomi daerah. Pengertian desentralisasi dan otonomi daerah
sebenarnya mempunyai tempat masing-masing. Istilah otonomi lebih
cenderung pada aspek political aspect(aspek politik kekuasaan
Negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada
administrative aspect (aspek administrasi Negara). Namun jika dilihat
dari konteks pembagian kekuasaan dalam prakteknya, kedua istilah
13

tersebut mempunyai keterkaitan yang erat, dan tidak dapat


dipisahkan. Artinya jika berbicara mengenai otonomi daerah, tentu
akan menyangkut pertanyaan seberapa wewenang untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan
sebagai wewenang rumah tangga daerah, demikian sebaliknya.
Dalam konteks perencanaan pembangunan, otonomi daerah
memberikan kewenangan dalam lingkup daerah otonom untuk
merencanakan pembangunannya yang lebih sesuai dengan aspirasi
dan kebutuhan masyarakatnya.

2.3 Kajian Politik


Menurut Mustopadidjaja (2001), Desentralisasi merupakan
wujud nyata pelaksanaan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Perbedaan perkembangan antar daerah
mempunyai implikasi yang berbeda pada macam dan intensitas
peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan dunia
usaha memerlukan (a) desentralisasi dalam pemberian perizinan,
dan efisiensi pelayanan birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia
usaha di bidang sosial ekonomi, (b) penyesuaian kebijakan pajak
dan perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan di kawasan-
kawasan tertinggal, dan sistem perimbangan keuangan pusat dan
daerah yang sesuai dengan kontribusi dan potensi pembangunan
daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan mendapatkan
informasi mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan di
wilayah lainnya kepada daerah di dalam upaya peningkatan
pembangunan daerah.
Selain itu masyarakat dalam era otonomi daerah sangat
menuntut adanya penegakan dan kepastian hukum. Tegaknya
hukum yang berkeadilan merupakan jasa pemerintahan yang terasa
teramat sulit diwujudkan, namun mutlak diperlukan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, justru di tengah
14

kemajemukan, berbagai ketidak pastian perkembangan lingkungan,


dan ketatnya persaingan. Peningkatan dan efisiensi pemerintahan
membutuhkan penyesuaian kebijakan dan perangkat perundang-
undangan, namun tidak berarti harus mengabaikan kepastian hukum.
Adanya kepastian hukum merupakan indikator profesionalisme dan
syarat bagi kredibilitas pemerintahan, sebab bersifat vital dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta dalam
pengembangan hubungan internasional. Tegaknya kepastian hukum
juga mensyaratkan kecermatan dalam penyusunan berbagai
kebijaksanaan pembangunan.
Dalam era otonomi daerah dan juga bergulirnya globalisasi,
dimana ekonomi yang makin terbuka, maka efisiensi perekonomian
diarahkan kepada ekonomi pasar, namun intervensi pemerintah
harus menjamin bahwa persaingan berjalan dengan berimbang, dan
pemerataan terpelihara. Yang terutama harus dicegah terjadinya
proses kesenjangan yang makin melebar, karena kesempatan yang
muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh
wilayah, sektor, atau golongan ekonomi yang lebih maju. Peranan
pemerintah makin dituntut untuk lebih dicurahkan pada upaya
pemerataan dan pemberdayaan. Penyelenggara pemerintahan
negara harus mempunyai komitmen yang kuat kepada kepentingan
rakyat, kepada cita-cita keadilan sosial.
Pengentasan kemiskinan, kesenjangan, peningkatan kualitas
sumber daya manusia pembangunan, dan pemeliharaan prasarana
dasar, serta peningkatan kuantitas, kualitas, dan diversifikasi
produksi yang berorientasi ekspor ataupun yang dapat mengurangi
impor harus pula dijadikan prioritas dalam agenda kebijakan
pembangunan daerah. Untuk itu pemerintah daerah dengan melalui
optimalisasi pemanfaatan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah
melalui kebijakan makro ekonomi dan berbagai kebijakan lainnya di
sektor riil, disertai pembenahan kelembagaan yang mantap akan
15

dapat mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas, pemerataan


alokasi dan pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Dalam era otonomi daerah ini juga, masyarakat dan dunia
usaha termasuk perbankan perlu didorong dalam pengembangan
sumber dan sistem pembiayaan alternatif yang mampu diakses oleh
banyak banyak pihak dan kondusif bagi perkembangan
perekonomian rakyat, serta pengembangan kemitraan stratejik
dengan dunia usaha nasional dan internasional. Skema ini menjadi
sangat penting untuk digalakan, sebab agaknya daerah-daerah di
Indonesia tidak akan dapat mengatasi permasalahan dan tantangan-
tantangan yang dihadapi dewasa ini dan di masa datang dengan
paradigma pembangunan lama yang berorientasi pada
ketergantungan. Desentralisasi merupakan inti otonomi daerah yang
pada dasarnya dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat dan meningkatkan prakarsa masyarakat dalam
pembangunan daerah. Sehubungan dengan itu, peletakan Otonomi
Daerah pada Kabupaten/Kota merupakan pilihan yang tepat.
Otonomi Daerah harus lebih memungkinkan semakin tumbuhnya
pemerintahan dan masyarakat daerah dalam mendorong
bertumbuhkembangnya potensi sosial dan ekonomi daerah. .
Saatnya sekarang Pemerintah Daerah lebih mandiri dalam
mengelola rumah tangganya sehingga mampu lebih cepat dan tepat
membangun kesejahteraan masyarakat daerahnya. Penerapan
prinsip-prinsip good governance sangat mungkin adalah jalan menuju
terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan kemandirian pemerintah
daerah.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)
Kota Mojokerto tahun 2005-2025 ini merupakan momentum yang
sangat tepat dalam merealisasikan kepentingan-kepentingan lokal
dalam kebijakan politik dalam bentuk peraturan daerah. Sehingga
tujuan jangka panjang dan arahan kebijakannya dapat diwarnai
16

dengan realitas politik di masyarakat yang dapat lebih aspiratif dan


sesuai dengan kebutuhan riil dan potensi lokal di Kota Mojokerto 20
tahun ke depan.
Perkembangan masyarakat yang cepat yang dipicu
pertumbuhan ekonomi dan informasi memengaruhi berbagai aspek
lain dalam kehidupan, antara lain perubahan pola pikir, sikap,
perilaku serta budaya dan adat istiadat. Ini memerlukan kemampuan
antisipasi serta langkah cepat pula di bidang politik. Jika tidak maka
gerak masyarakat akan cenderung tak terkendali serta bisa
menggerogoti nilai-nilai moral dan budaya masyarakat. Tantangan
yang dihadapi di bidang politik adalah menjaga gerak perkembangan
masyarakat itu dengan membuat keputusan-keputusan politik yang
mampu mengarahkan gerak masyarakat dan dunia usaha menuju
masyarakat yang dicita-citakan seluruh warga Kota Mojokerto yang
sejahtera dan maju.
Dalam 20 tahun mendatang, seiring kemajuan sosial ekonomi,
diperlukan suasana kehidupan masyarakat yang bukan saja
sejahtera secara ekonomi tetapi juga makin tumbuhnya tuntutan
masyarakat agar dirinya makin diperhatikan, hak-haknya dipenuhi
dan aspirasinya bisa mewarnai kebijakan politik. Menghadapi situasi
semacam itu tantangan lain di bidang politik yang cukup nyata adalah
terus-menerus menyempurnakan proses politik dan mengembangkan
budaya politik yang makin demokratis agar kehidupan demokrasi
berjalan berbarengan dan berkelanjutan bukan saja secara
prosedural tetapi juga substansial.
Dengan kondisi perpolitikan yang cukup kondusif, Kota
Mojokerto memiliki modal dasar menjadi daerah yang maju, sejajar
dengan kabupaten atau kota lain yang telah lebih dulu berkembang
seperti Sidoarjo, Gresik maupun Surabaya.
17

Ke depan dituntut kerja sama yang baik antara legislatif


dengan jajaran eksekutif sehingga mampu menciptakan kebijakan
yang mendasarkan dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.
Kunci untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Kota
Mojokerto yang sejahtera adalah pemimpin dan para elitenya mampu
menahan diri untuk tidak memperkaya diri-sendiri namun harus
benar-benar bekerja untuk kepentingan seluruh masyarakat Kota
Mojokerto.

2.4 Kajian Sosiologis


Salah satu kajian perencanaan pembangunan yang dijadikan
referensi dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) Kota Mojokerto tahun 2005-2025 ini
adalah beberapa kajian sosiologis terdahulu tentang perencanaan
pembangunan partisipatif . Upaya untuk mewujudkan prinsip-prinsip
good governance dalam lingkup Pemerintah Kabupaten/kota,
menurut Dwiyanto (2005) antara lain dapat diwujudkan melalui
pelayanan publik yang menurut Pohan (2000) adalah dengan
mengimplementasikan tiga prinsip utama yang ada dalam good
governance yang diterapkan dari level pemerintah Desa hingga
Pemerintah Kabupaten/kota.
Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa desentralisasi
kewenangan kepada pemerintah daerah akan menciptakan raja-raja
kecil dan memindahkan praktek KKN ke daerah, jika tidak
ditempatkan dalam kerangka demokratisasi. Dengan kata lain,
otonomi daerah belum tentu menjanjikan keadilan dan kesejahteraan
yang lebih baik bagi masyarakat, apabila agenda demokratisasi
diabaikan di dalamnya.
Untuk mengaplikasikan pemberdayaan masyarakat yang
sesungguhnya, dibutuhkan pengembangan kelembagaan secara
menyeluruh yang mencakup beberapa aspek berikut: (a) proses
18

pembangunan, yang meliputi formulasi kebijakan (policyformulation),


perencanaan (planning), penganggaran (budgeting), dan penetapan
peraturan ( legislation); (b) peranan dan tanggung jawab lembaga
negara, pemerintah, dan masyarakat; (c) sistem organisasi, yang
meliputi lembaga pemerintah di berbagai sektor dan daerah, lembaga
negara, dan lembaga masyarakat; (d) insentif dalam pembangunan,
yang mampu meningkatkan inovasi masyarakat dalam
pembangunan; (e) kerangka legal, yang lebih memperhatikan kondisi
masyarakat yang beranekaragam.
Data Tahun 2007 jumlah penduduk kota Mojokerto 111.249
jiwa, dengan kepadatan penduduk 6.759 Jiwa/Km 2, dibandingkan
tahun 2006 terjadi perkembangan penduduk 1,22 persen. Sejalan
dengan pertambahan jumlah penduduk, jumlah rumah tangga juga
bertambah dari 28,3 ribu pada tahun 2006 menjadi 29,3 ribu rumah
tangga pada tahun 2007.
Komposisi penduduk Kota Mojokerto terbagi menjadi 83,3 ribu
jiwa dewasa atau 74,9 persen dan sisanya 27,9 ribu jiwa anak anak
atau 25,1 persen. Bila dilihat dari status kewarganegaraannya hanya
0,63 persen yang berwarganegara asing. Angka kelahiran selama
tahun 2007 tercatat 554 kelahiran dan 340 kematian, dan mobilisasi
penduduk tercatat 3,4 ribu orang pendatang dan 2,7 ribu orang
pindah dari Kota Mojokerto.
Berdasarkan hasil laporan pembangunan kota Mojokerto
Tahun 2004 sampai tahun 2006, perkembangan penduduk miskin
dari tahun 2001 sampai tahun 2003 menurun, tetapi pada tahun
2004 terjadi kenaikan sangat besar yaitu dari 4.816 bertambah
menjadi 11.585,. Pada tahun 2006 penduduk miskin berhasil
berkurang menjadi 3.939 berarti selama dua tahun ada penurunan
sampai 65,90 %, suatu prestasi bagi Pemerintah Kota Mojokerto.
Angkatan kerja sampai tahun 2006 tercatat 57.517 orang,
angkatan kerja yang tertampung sebanyak 51.018 orang, ini berarti
19

jumlah pencari kerja yang belum tertampung 6.499 orang. Dari


sejumlah pencari kerja ini, jumlah pencari kerja baru yang terdaftar
menurut pendidikan tahun 2007 sebanyak 1007 orang dengan rincian
0,69 persen berpendidikan SD, 3,97 persen berpendidikan SMP,
65,24 persen berpendidikan SMU dan 28,10 persen berpendidikan
PT/Akademi. Sementara itu lowongan pekerjaan yang ada selama
tahun 2007 sebanyak 61 atau 6,05 persen yang terserap dilapangan
kerja sedangkan sisanya 946 (93,94 %) statusnya tidak terserap .
Rasio pencari kerja terdaftar dengan lowongan kerja yang
tersedia pada tahun 2007 mencapai 8,63 artinya 1 (satu) lowongan
kerja harus menyeleksi 9 (sembilan) orang, sedangkan persentase
jumlah angkatan kerja pada tahun 2007 terhadap jumlah penduduk
usia kerja sebesar 56,37 %, lebih besar dibandingkan tahun 2006
54,21 %.
Dari uraian kondisi demografis ini dapat dilihat betapa Kota
Mojokerto meskipun kecil tetapi memiliki beban permasalahan yang
cukup kompleks di bidang kependudukannnya, karena memiliki
karakteristik perkotaan dengan lahan sempit namun memiliki jumlah
penduduk yang banyak dan angka kemiskinan yang cukup tinggi.

2.5 Rumusan Masalah


Berdasar dari latar belakang masalah dan beberapa kajian di
atas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) Kota Mojokerto tahun 2005-2025, apakah telah
dipenuhi prasyarat perencanaan partisipatif yang melibatkan
seluruh stakeholder dengan prosedur yang dapat dipertanggung
jawabkan dan tidak sekedar formalisme?
2. Dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) Kota Mojokerto tahun 2005-2025, apakah telah
dipenuhi prasyarat kesesuaian dengan tata peraturan lain yang
20

relevan, baik dari pemeritah atasan maupun dengan tata aturan


lain yang lebih tinggi posisi formalnya?
3. Dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) Kota Mojokerto tahun 2005-2025, apakah telah
dipenuhi substansi perencanaan yang memproyeksikan
kebutuhan dan perkembangan Kota Mojokerto dalam beberapa
tahun ke depan sesuai dengan dimensi perencanaannya?

2.6 Kerangka teori


Norman Long dan Ann Long ( 1992), dalam kajiannya
menyimpulkan bahwa perumusan perencanaan pembangunan yang
partisipatif interaksi aktor harus berlangsung secara setara, intensif
dan interface. Model inilah yang oleh Norman Long disebut sebagai
model orientasi aktor.
Gerald de Zeeuw (2001), seorang psikolog menyimpulkan
kajiannya bahwa perumus perencanaan pembangunan seharusnya
memperhatikan potensi dan kemampuan masyarakat anggota
kolektivitas secara keseluruhan sehingga kebijakan yang ditentukan
tidak memihak dan dapat diakses oleh seluruh aktor yang terlibat
dalam kolektivitas tersebut.
M.M. Harmon (1969), meneliti tentang kepentingan publik
yang merupakan konsekuensi yang muncul dalam proses formulasi
perencanaan pembangunan yang ditentukan oleh orientasi dan
kepentingan aktor yang terlibat di dalamnya, baik aktor pemerintah
(administrator) maupun aktor masyarakat yang terdiferensiasi
berdasar kelompok-kelompok kepentingan yang ada di dalam
komunitas masyarakat. Dari berbagai sifat kepentingan publik yang
diuraikan tersebut, Harmon (1969) membuat model gaya atau
karakter perencanaan pembangunan yang mempertemukan antara
tingkat responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) dengan
21

tingkat tingkat dukungan kebijakan (policy advocacy) dalam proses


formulasi kebijakannya.
Gabriel Almond dan Sidney Verba, (1985), meneliti
perbandingan orientasi aktor yang disebut sebagai Budaya Politik di
berbagai Negara menyimpulkan bahwa ada keterkaitan yang erat
antara penampilan Rezim politik yang tergambar dalam model-model
dan sifat kebijakan yang dibuatnya dengan tipologi Budaya Politik
masyarakatnya.
John Sinclair (2002), dalam kajiannya di Brazilia menekankan
pentingnya peran dan keterlibatan masyarakat dalam segala proses
pembangunan. Dalam model yang disebut Manitoba Approach ini
disimpulkan bahwa, konsultasi masyarakat merupakan bagian
integrated yang harus dilakukan dalam setiap tahapan
pembangunan, baik proses perencanaan, pelaksanaan maupun
pelestarian keberlangsungan hasil pembangunan (Sustainable
development).
Yee Keong Choy. (2004), dalam kajiannya di Waduk Bakun,
Serawak, Malaysia menyimpulkan bahwa pembangunan Waduk
serbaguna seharusnya mampu meningkatkan sosial ekonomi dan
melestarikan budaya asli masyarakat di sekitar proyek pembangunan
infra struktur(Waduk) bukan yang sebaliknya masyarakat tercabut
dari akar historis sosial ekonomi dan ekosistemnya akibat
pembangunan yang dilaksanakan secara otoriter oleh pemerintah
dengan alasan kepentingan yang lebih makro.
Jaroslave Colajacomo (2000), Meneliti pembangunan The
Chixoy dam di Guatemala menghasilkan temuan yang dramatis di
mana lebih dari 400 orang tewas terbunuh dalam aksi menentang
pembangunan dam untuk mempertahankan tanah sumber mata
pencahariannya. Yang tersisa dan masih hidup ditengarai menjadi
terasing dengan lingkungannya dan mengalami kualitas hidup yang
merosot dibanding sebelumnya.
22

Secara makro, kerangka teori yang digunakan dalam


perencanaan pembangunan ini adalah teori pembangunan yang
partisipatif sebagai paradigma dasar dalam memberikan alasan bagi
pentingnya perumusan kebijakan partisipatif. Secara mikro, teori
perumusan perencanaan pembangunan dari Palumbo (1987)
merupakan landasan bagi analisis perencanaan pembangunan
dalam peringkat perumusan kebijakan. Teori orientasi aktor dari
Norman Long dan Ann Long (1992) sebagai dasar pembahasan
pentingnya interaksi intensif dan interface dalam perumusan
perencanaan pembangunan. Pola-pola orientasi dan posisi orientasi
aktor dalam mendefinisikan kepentingan publik serta variasi model
gaya (karakter) kebijakan yang dihasilkan dalam proses interaksi
tersebut mengacu kepada perspektif kepentingan publik Harmon
(1969). Sebagai pembanding ulasan orientasi aktor ini dikaji pula
perspektif budaya politik dari Almond dan Verba (1985).
Palumbo (1987) menggambarkan roses perencanaan
pembangunan dengan komponen-komponen sebagai berikut : (1)
Agenda setting adalah tahapan dalam menganalisis dan menetapkan
sifat dan besaran serta distribusi masalah. (2) Problem definition,
tahapan dalam memperkirakan kebutuhan dan menetapkan area
serta kelompok sasaran. (3) Policy Design (rancangan kebijakan)
adalah menganalisis dan mengidentifikasikan alternative kebijakan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan kebijakan(memperoleh cost
effective alternative). (4) Policy legitimation (legitimasi kebijakan)
adalah menganalisis penerimaan public dan atau policy stakeholder
lain terhadap suatu kebijakan atau program. (5) Policy
implementation (pelaksanaan kebijakan) merupakan penilaian
formatif yang mengambil tempat ketika suatu kebijakan/program
sedang dilaksanakan, serta menganalisis persyaratan-persyaratan
yang diperlukan untuk meningkatkan kesuksesan pelaksanaan
kebijakan tersebut. (6) Policy impact (dampak kebijakan)
23

menganalisis sejauh mana pelaksanaan suatu kebijakan/program


memperoleh dampak seperti yang diinginkan atau ditetapkan dalam
tujuan kebijakan. (7) Termination (Penghentian kebijakan) penilaian
terhadap kebijakan dan implementasinya, yang bila ternyata jelek
maka kebijakan perlu dihentikan atau diganti dengan yang lain yang
lebih baik.
Long dan Long (1992) dan Long and Ploeg (dalam David
Booth (ed), 1995), menyatakan bahwa teori orientasi aktor
merupakan pendekatan metodologis dalam memahami proses sosial.
Penekanan kajiannya lebih mengarah kepada analisis program
bukan sebagai intervensi program atau sebuah bentuk managemen
baru dalam pelaksanaan program.
Metode yang digunakan mengacu kepada metode
participatory, di mana keseluruhan aktor yang terlibat dalam
perencanaan pembangunan dikaji keseluruhan, tidak hanya
masyarakat seperti petani kecil atau kelompok marjinal namun juga
para pengusaha, tuan tanah dan pemerintah sebagai salah satu
aktor yang memiliki orientasi dalam interaksi tersebut. Dalam proses
ini orientasi masing-masing aktor menjadi kunci utama yang
mewarnai bentuk dan arah kebijakan yang dihasilkan. Termasuk di
dalamnya, kenyataan bahwa ada aktor yang memiliki kekuasaan
berbeda (melebihi aktor lainnya). Hal ini membuat proses
perencanaan pembangunan akan lebih banyak diwarnai oleh
orientasi dan kepentingan dari aktor yang lebih dominan dari yang
lainnya.
Analisis perencanaan pembangunan dengan menggunakan
pendekatan orientasi aktor ini memiliki asumsi-asumsi dasar sebagai
berikut: (1) logika yang mendasarinya adalah setiap individu
memperoleh kemampuan dan kesempatan berperan dalam proses
kemasyarakatan dan kehidupan. Dalam konteks pembangunan ini
bermakna sebagai pembangunan yang partisipatif. (2) dalam model
24

ini, pembangunan berarti untuk semua (semua kelompok sasaran


seperti wanita, anak-anak, penduduk miskin dan lainnya). Dalam
konteks ini pembangunan bermakna pemerataan. (3) pembangunan
didasarkan pada logika keseimbangan ekologi lingkungan, yang
berarti tidak hanya mementingkan generasi sekarang, tetapi juga
generasi mendatang. Dalam konteks ini berarti bermakna
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Pendekatan ini memberikan makna bahwa persoalan bersama
termasuk di dalamnya adalah persoalan perencanaan, pelaksanaan
dan pelestarian pembangunan harus merupakan hasil orientasi
masing-masing aktor, karena tidak bisa aktor tertentu seperti negara
sebagai misalnya dengan begitu saja mengatas namakan
masyarakat sebagai fihak yang pasti memahami dan menerima
perencanaan pembangunan yang dilaksanakan.
Norman Long dan Jan Douwe Van Der Ploeg menyatakan
bahwa dalam model orientasi aktor ini pola-pola organisasi sosial dan
mekanisme kerja serta hasil-hasilnya merupakan dampak dari
interaksi, negosiasi dan perjuangan masing-masing aktor yang
terlibat di dalamnya. Orientasi ini tidak hanya sekedar interaksi atau
pertemuan tatap muka secara langsung melainkan juga harus
didukung oleh situasi atau suasana afeksi yang mampu mendorong
aktualisasi dari masing-masing aktor yang terlibat (dalam Booth,
1995) .
Harmon, (1969), mendefinisikan kepentingan publik sebagai
perubahan yang berkelanjutan sebagai akibat dari aktivitas politik di
antara individu dan kelompok di dalam sistem politik yang
demokratis. Kepentingan publik dianggap sebagai konsekuensi
yang muncul dalam proses formulasi perencanaan pembangunan
yang ditentukan oleh orientasi dan kepentingan aktor yang terlibat di
dalamnya, baik aktor pemerintah (administrator) maupun aktor
masyarakat yang terdiferensiasi berdasar kelompok-kelompok politik,
25

kelompok kepentingan dan berbagai kelompok penekan yang ada di


dalam komunitas masyarakat.
Model-model kepentingan publik dalam Harmon terbagi atas
beberapa variasi sebagai berikut : Pertama, apakah kepentingan
publik bersifat individualistic atau bersifat unitaristic? Kepentingan
publik yang bersifat individualistic menggambarkan kepentingan
publik sebagai cerminan atau didominasi oleh kepentingan individu
yang berkuasa (dominan). Kepentingan publik yang unitaristic
adalah jika kepentingan publik merupakan bentuk pluralisme
kepentingan masyarakat dalam sebuah entitas.
Kedua, apakah kepentingan publik bersifat descriptive atau
bersifat prescriptive? Kepentingan publik yang descriptive dimaknai
sebagai hasil dari proses dan aktivitas politik yang berlangsung.
Dalam model ini kepentingan publik dan pemecahan permasalahan
publik termasuk keputusan/perencanaan pembangunan yang
dihasilkan tergantung dari mekanisme bargaining antar
individu/kelompok dalam proses politik yang berlangsung.
Kepentingan publik yang prescriptive merupakan hasil dari
perwujudan kebutuhan dan orientasi mayoritas hampir keseluruhan
aktor politik baik pemerintah maupun masyarakat untuk menemukan
alternatif pemecahan permasalahan yang lebih baik dalam arti lebih
berorientasi kepada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Ketiga, apakah kepentingan publik bersifat substansive atau
procedural? Kepentingan publik yang bersifat substantif merupakan
penggambaran kepentingan publik yang tidak mempermasalahkan
apakah dibentuk atau dirumuskan secara demokratis atau tidak.
Proses tidaklah terlalu penting, yang utama adalah bagaimana
substansi dari kepentingan publik tersebut apakah berorientasi
kepada kepentingan individu atau kelompok tertentu ataukah
berorientasi kepada kepentingan kelompok yang lebih besar
(masyarakat). Melihat prosesnya yang diabaikan tersebut model
26

aktor ini cenderung memperjuangkan kepentingan individu dan


kelompoknya secara sempit untuk dimaknai sebagai kepentingan
publik yang harus diterima secara luas oleh berbagai individu dan
kelompok lainnya.
Model procedural, melihat kepentingan publik dari proses
pembentukannya apakah melibatkan mayoritas aktor dalam
komunitas ataukah hanya dilakukan oleh sekelompok kecil individu
(penguasa) saja. Asumsinya, dalam proses pembentukan
kepentingan publik tersebut semakin melibatkan banyak orang/fihak
maka kepentingan publik akan semakin menggambarkan aspirasi
dan orientasi mayoritas masyarakat sebagai aktor sehingga akan
semakin bermakna demokratis.
Keempat, apakah kepentingan publik bersifat static ataukah
dinamic. Kepentingan publik yang bersifat static adalah jika
kepentingan publik dianggap sebagai statis, kaku tidak responsif
terhadap perubahan atau tuntutan lingkungan termasuk lingkungan
internal dari masyarakatnya. Dalam hal ini kepentingan publik
dianggap hanya milik otoritas penguasa kebijakan (administrator)
semata, tuntutan atau aspirasi masyarakat kurang bermakna dan
kurang berpengaruh terhadap perubahan-perubahan yang mungkin
terjadi bagi perbaikan aspirasi massa.
Sebaliknya jika kepentingan publik bersifat dinamic, maka
kepentingan publik merupakan resultant dari berbagai kepentingan
individu atau kelompok yang ada dalam komunitas tersebut dan
secara proses maupun substanstive selalu menyesuaikan dengan
tuntutan dan aspirasi berbagai individu atau kelompok yang ada
dalam komunitas politik tersebut.
Dari berbagai sifat kepentingan publik yang diuraikan tersebut,
Harmon (1969) membuat model gaya atau karakter perencanaan
pembangunan yang mempertemukan antara tingkat responsibilitas
27

kebijakan (policy responsiveness) dengan tingkat tingkat dukungan


kebijakan (policy advocacy) dalam proses formulasi kebijakannya.
Yang dimaksud dengan responsibilitas kebijakan (policy
responsiveness) adalah penggambaran (deskripsi) perilaku perumus
kebijakan yang bertanggung jawab terhadap nilai-nilai demokrasi
dalam proses perumusan kebijakan baik dengan melalui
musyawarah, voting maupun cara lain dengan mana
tuntutan/kehendak/kepentingan publik dapat diterjemahkan secara
sah dalam suatu kebijakan yang dibuat secara partisipatif tersebut.
Yang dimaksud dengan dukungan kebijakan (policy advocacy)
adalah mendiskripsikan perilaku perumus kebijakan dalam
memberikan dukungan yang aktif dan serius (kesediaan) dari para
administrator publik (aktor pemerintah) dalam mengadopsi
(menerima dan melaksanakan) suatu kebijakan yang dibuat bersama
masyarakat tersebut. Dalam sisi masyarakat, dukungan kebijakan
(policy advocacy) dapat dimaknai sebagai kesediaan aktor
masyarakat dalam bekerjasama dengan pemerintah dalam menerima
dan melaksanakan perencanaan pembangunan.
Dari dua indikator formulasi kebijakan tersebut, Harmon
(1969) mendefinisikan model-model karakter atau gaya perencanaan
pembangunan yang terbentuk akibat dari perpaduan pola proses
perumusan (formulasinya). Pertama, gaya survival terbentuk jika
dalam proses formulasi kebijakan tersebut disusun dengan
responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) rendah (low) dan
dukungan kebijakan (policy advocacy) yang rendah (low). Karakter
kebijakan ini terbentuk akibat dari administrator (aktor pemerintah)
membatasi akses para politisi, masyarakat dan pengusaha (aktor
masyarakat) dalam proses perumusan perencanaan pembangunan.
Tujuannya agar keberlangsungan otoritas kelembagaan pemerintah
dan efektifitas kebijakan pemerintah tetap dapat dijaga.
28

Kedua, karakter (gaya) kebijakan Rationalist, terbentuk jika


responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) tinggi (high) dan
dukungan kebijakan (policy advocacy) yang rendah (low). Dalam hal
ini, proses perumusan kebijakan dilakukan dengan proses para
administrator (elit pemerintah) menempatkan dirinya sebagai agen
dari politisi dan masyarakat yang memandang tuntutan publik adalah
sah bila disampaikan oleh wakil-wakil rakyat yang telah dipilih secara
konstitusional. Sejauh mungkin elit pemerintah membatasi diri dari
keterlibatan secara langsung dalam proses perumusan kebijakan
tersebut agar tidak divonis sebagai intervensi dan sebagainya.
Dalam gaya ini, administrator pemerintah berupaya menjauhkan diri
dan pertanggung jawabannya dari proses perumusan kebijakan,
masyarakat, politisi diberikan kesempatan dan harus bertanggung
jawab terhadap keseluruhan proses perumusan perencanaan
pembangunan.
Ketiga, karakter (gaya) kebijakan Reactive, terbentuk jika
responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) berada pada posisi
tengah (middle) dan dukungan kebijakan (policy advocacy) juga tepat
berada pada posisi tengah (middle). Dalam hal ini, proses
perumusan kebijakan dilakukan dengan proses para administrator
(elit pemerintah) menempatkan dirinya terlibat langsung dalam
proses perumusan perencanaan pembangunan karena menganggap
antara perumusan dan implementasi tidak dapat dipisahkan.
Perilaku responsif dan advokasi para elit pemerintah berbeda-beda
tergantung dari konteks dalam hal apa masalah-masalah kebijakan
tersebut dirumuskan dan dicarikan solusinya.
Keempat, karakter (gaya) kebijakan Prescriptive, terbentuk jika
responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) rendah (low) dan
dukungan kebijakan (policy advocacy) yang tinggi (high). Dalam hal
ini, proses perumusan kebijakan dilakukan dengan proses para
administrator (elit pemerintah) menempatkan dirinya sebagai agen
29

dari politisi dan masyarakat yang memandang dirinya paling


memahami dan paling bertanggung jawab terhadap proses
perumusan perencanaan pembangunan. Sehingga dalam
perumusan perencanaan pembangunan, aktor pemerintah
mendominasi proses tersebut dan memiliki peran kunci yang mampu
menekan partisipasi aktor massa dalam proses perumusan
perencanaan pembangunan.
Kelima, karakter (gaya) kebijakan Proactive, terbentuk jika
responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) tinggi (high) dan
dukungan kebijakan (policy advocacy) yang tinggi (high) pula. Dalam
hal ini, proses perumusan kebijakan dilakukan dengan proses para
administrator (elit pemerintah) menempatkan dirinya sebagai
pembaharu model perumusan kebijakan yang mengajak aktor
kebijakan lainnya (masyarakat, politisi dan pengusaha) untuk aktif
berperan serta dan mengambil bagian dalam proses perumusan
kebijakan bersama yang partisipatif.
Aktualisasi konsep-konsep dan alur pikir perencanaan
pembangunan ini secara urutan abstraksinya adalah sebagai berikut:
Pertama, perencanaan pembangunan ini secara paradigmatik
berupaya mempertemukan orientasi perencanaan pembangunan
yang selama ini sangat kuat mengarah kepada economic oriented
menuju kepada human oriented sebagai latar pemikiran terwujudnya
kebijakan pembangunan yang partisipatif.
Asumsi dasar secara paradigmatik inilah yang memberikan
landasan pemikiran tentang pentingnya perumusan perencanaan
pembangunan yang lebih partisipatif dibandingkan dengan proses
perencanaan pembangunan yang otoritatif dalam mewujudkan
pembangunan manusia yang partisipatif.
Kedua, peringkat kebijakan sebagai konsekuensi dari
paradigma yang digunakan, orientasi kebijakan pembangunan
merupakan pertemuan interaktif antara kebijakan pembangunan
30

infra struktur ekonomi dengan kebijakan pembangunan yang


memberdayakan masyarakat sebagai esensi dan tujuan
pembangunan partisipatif tersebut.
Ketiga, dalam peringkat output perencanaan pembangunan
sebagai konsekuensi dari kebijakan yang dilaksanakan adalah
merupakan hasil perpaduan antara di sisi kepentingan pemerintah
dan program pemberdayaan masyarakat sebagai wujud dari
ekspektasi dan aspirasi masyarakat.
Keempat, perwujudan secara struktural merupakan perpaduan
antara perwujudan perencanaan pembangunan secara partisipatif
melibatkan masyarakat yang didukung oleh kelembagaan
masyarakat sebagai wujud partisipasinya.
Hasil dari simbiosis orientasi kepentingan dua sisi paradigma
pembangunan yang termanifestasi dalam pertemuan orientasi
kepentingan antar aktor dalam perencanaan pembangunan tertuang
dalam dokumen kesepakatan yang disebut sebagai dokumen role
sharing atau service agreement.
Kesepakatan antar aktor tersebut menggambarkan
perwujudan perumusan perencanaan pembangunan yang partisipatif
sehingga mampu mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Pembangunan berkelanjutan yang tidak
hanya orientasi kepada pertumbuhan ekonomi semata, melainkan
sangat memperhitungkan eksistensi masyarakat sebagai objek
sekaligus pelaku pembangunan yang seharusnya mendapatkan porsi
penting dalam proses kebijakan pembangunan secara keseluruhan.
Proses inilah yang merupakan esensi dan perwujudan dari
paradigma baru kebijakan pembangunan yaitu kebijakan
pembangunan partisipatif yang merupakan paradigma pembangunan
yang dianggap lebih manusiawi.
31

BAB 3
MATERI DAN RUANG LINGKUP

3.1 Ruang Lingkup Peraturan


Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

1. Kota, adalah Kota Mojokerto;

2. Pemerintah Kota, adalah Walikota dan Perangkat Daerah


sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah;

3. Kepala Daerah, adalah Walikota Mojokerto;

4. Wakil Kepala Daerah, adalah Wakil Walikota Mojokerto;

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut


DPRD ada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mojokerto;

6. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang


selanjutnya disebut RPJPD adalah dokumen perencanaan
pembangunan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun
terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan 2025;

7. RPJPD merupakan dokumen yang memuat visi, misi jangka


panjang Kota Mojokerto dan arahan kebijakanuntuk mencapainya
dalam dimensi waktu perencanaan 2005-2025.

8. RPJPD sebagaimana dimaksud menjadi pedoman bagi:

a. Walikota terpilih dalam 4 periode dalam menyusun Visi, Misi


dan program pembangunannya yang tertuang dalam RPJMD
yang memiliki dimensi waktu perencanaan 5 (lima) tahun.

b. Badan/ Dinas/ Lembaga/ Kantor di Kota Mojokerto dalam


menyusun Rencana Strategis Badan/Dinas/ Lembaga/ Kantor
setiap durasi 5 (lima) tahun sesuai dengan RPJM Walikota
terpilih;
32

c. Pemerintah Daerah dalam menyusun Rencana Kerja


Pemerintah Daerah (RKPD) dalam setiap tahunnya.

3.2 Materi Perundangan


Dokumen Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) Kota Mojokerto Tahun 2005-2025, berisikan materi
yang disusun secara sistematis sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang penyusunan,


maksud dan tujuan, serta landasan hukum penyusunan.

Bab II Gambaran Umum Kondisi Daerah, berisi gambaran


tentang karakteristik Kota Mojokerto dari berbagai aspek antara lain
aspek geografi, demografi, ekonomi, sosial budaya, sarana dan
prasarana serta pemerintahan dan lain-lain. Selain karakteristik
umum, dalam bab ini juga berisi tantangan dan modal dasar yang
dimiliki Kota Mojokerto.

Bab III Analisis Isu-Isu Strategis, berisi analisa isu-isu yang


perlu diperhitungkan dalam penyusunan perencanaan pembangunan
jangka panjang. Meliputi, analisis sosial budaya, demografi, ekonomi,
sarana dan prasarana, politik, pertahanan keamanan, hukum dan
pemerintahan dan lain-lain

Bab IV Visi dan Misi Pembangunan Kota Mojokerto, berisi


tentang visi dan misi pembangunan Kota Mojokerto, yaitu kondisi
yang diinginkan dalam jangka panjang serta upaya-upaya yang
harus dilakukan untuk mencapai keinginan tersebut.

Bab V Arah Kebijakan Pembangunan dan Tahapan dan


Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Kota Mojokerto, berisi
tentang sasaran yang ingin dicapai dalam jangka panjang, program-
program untuk mencapai sasaran yang diinginkan serta prioritas
33

program yang dilakukan pada masing-masing tahapan pembangunan


jangka menengah.

Bab VI Kaidah Pelaksanaan, berisi kedudukan RPJP dalam


perencanaan pembangunan daerah, kaidah pelaksanaan dan kunci
kesuksesan dalam implementasinya.

Dengan tata urut materi tersebut dan secara substansi dapat


dicermati dalam draft peraturan daerah tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Mojokerto
tahun 2005-2025 beserta lampiran materinya, maka dalam
penyusunan Raperda ini seharusnya memperhatikan asas-asas yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang meliputi:

a. Kejelasan Tujuan
Yang dimaksud dengan kejelasan tujuan adalah bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan wajib memiliki
tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Disamping itu pada
hakekatnya suatu peraturan dimakudkan untuk mengatur dan
oleh karenanya penting diperhatikan mengenai aspek-aspek yang
menjadi wilayah pengaturan baik dari aspek pelaksana
pengaturan, pihak yang diatur, jenis dan sifat perbuatan yang
akan ditertibkan, pengawasan dan pendanaan, serta sanksi baik
sanksi pidana maupun administrative.
Asas kejelasan tujuan ini juga menuntut adanya upaya antisipatif
dari pembentuk peraturan perundang-undangan terhadap adanya
perbuatan, keadaan atau perisitwa yang tidak diinginkan yang
berpotensi timbul dikemudian hari. Selain itu juga berfungsi
membentuk suatu masyarakat agar sesuai dengan tujuan yang
diinginkan pembentuk peraturan perundang-undangan sehingga
peraturan semacam ini akan bertahan dalam waktu yang lama.
Peraturan tidak seharusnya bersifat reaktif sebab selain
34

perkembangan masyarakat yang dinamis menuntut adanya


peraturan yang fleksibel, juga mengingat proses pembuatan
peraturan yang membutuhkan waktu relative lama, biaya yang
mahal, dan dampak di luar perkiraan atau kehendak yang
mungkin terjadi.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
Yang dimaksud dengan Kelembagaan atau organ pembentuk
yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-
undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk
peraturan perundang-undangan yang berwenang. Akibat dari
tidak dibuatnya suatu peraturan perundang-undangan oleh
lembaga/pejabat yang berwenang adalah dapat dibatalkan atau
batal demi hukum.
Pembentukan peraturan perundang-undangan dengan berbagai
jenisnya akan sangat tergantung kepada pihak dan kewenangan
pihak yang membuatnya. Sebagai contoh pembentukan undang-
undang atau peraturan daerah tidak dapat mengabaikan
kewenangan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) atau Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Menteri atau Gubernur tidak
berwenang secara sepihak membentuk undang-undang. Dalam
asas ini dituntut pula kejelasan prosedur dan syarat pembentukan
peraturan perundang-undangan sehingga tidak berakibat fatal
demi hukum atau dapat dibatalkan.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan
Yang dimaksud dengan kesesuaian antara jenis dan materi
muatan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.
Suatu dasar yang menjadi dasar atau payung bagi keberadaan
peraturan yang lain tentu akan memuat hal-hal yang bersifat
35

pokok atau prinsip dan akan menduduki hieraki yang lebih tinggi
daripada peraturan yang dipayunginya. Jenis peraturan dengan
materi muatan tertentu akan mengatur hal-hal yang dibatasi oleh
daerah, Waktu, Masyarakat.
Masing-masing jenis peraturan memiliki fungsinya sendiri-sendiri,
seperti undang-undang yang fungsinya antara lain mengatur lebih
lanjut mengatur hal-hal yang tegas-tegas diminta oleh ketentuan
UUD. juga yang tidak secara tegas diminta namun mengatur
lebih lanjut hukum dasar tersebut. Suatu jenis peraturan dapat
memuat meteri yang sifatnya terbatas dan berlaku hanya untuk
segolongan masyarakat tertentu saja, misalnya peraturan berjenis
undang-undang kepegawaian hanya berlaku pada komunitas bagi
pegawai saja, tidak bagi tenaga kerja keseluruhan. Demikian juga
misalnya dengan jenis peraturan berupa surat edaran yang hanya
mengikat kedalam institusi pembuatnya tanpa ada kewenangan
mengatur pihak-pihak diluar institusi yang bersangkutan.
d. Dapat Dilaksanakan
Yang dimaksud dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan
tersebut didalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis,
maupun sosiologis. Tidak diharapkan sama sekali adanya
peraturan perundang-undangan yang setelah diberlakukan tidak
dapat dilaksanakan. Hal ini dapat terjadi karena pembuat
peraturan perundang-undangan tersebut hanya duduk
dibelakang meja dan tidak mencermati masalah yang
sebenarnya terjadi dimasyarakat dan apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Faktor lain adalah tidak adanya pihak yang
melaksanakan dan mengawasi berlakunya peraturan, tidak
adanya sosialisasi atau pun dana untuk membiayainya.
36

Secara filosofis, Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa


Indonesia memuat nilai-nilai, pandangan hidup, dan cita-cita yang
hidup dalam masyarakat sehingga pemberlakuan suatu peraturan
perundangan-undangan tidak akan menimbulkan konflik dalam
pelaksanaanya karena telah sesuai dengan filosofi yang
dianutnya.
Secara sosiologis, dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan telah melibatkan aspirasi masyarakat yang
hendak diatur dan karenanya sesuai dengan keyakinan umum
dan kesadaran hukum masyarakat sehingga akan ditaati oleh
masyarakat dan tidak hanya menjadi huruf-huruf mati.
Secara yuridis, landasan yuridis adalah landasan hukum yang
menjadi dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-
undangan sehingga tampak kewenangan pembuatnya. Selain itu
juga dalam landasan yuridis juga ditetapkan proses dan prosedur
pembuatannya dan merupakan dasar keberadaan atau
pengakuan dari suatu jenis peraturan perundang-undangan.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
Yang dimaksud dengan Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan masyarakat dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan masyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Tidak ada artinya apabila suatu perbuatan hanya
dibuat untuk memenuhi kehendak pihak penguasa atau pesanan
pihak tertentu yang ingin agar suatu peraturan yang dibuat hanya
akan menguntungkan pihak tertentu tersebut. Hal ini tidak saja
mengabaikan kebutuhan masyarakat akan adanya suatu
perlindungan hukum namun akan merugikan kepentingan
masyarakat. Asas ini menghendaki suatu peraturan dalam
masyarakat yang berlaku pada saat yang tepat dan mampu
menyelesaikan masalah yang timbul.
37

f. Kejelasan Rumusan
Yang dimaksud dengan Kejelasan Rumusan adalah bahwa
setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa
hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya. Interprestasi yang beragam timbul dari
pemahaman atas peraturan yang sama sedapat mungkin
dihindari karena akan berakibat kekacauan sehingga tujuan
dibuatnya peraturan tersebut tidak akan tercapai sehingga
dibutuhkan rumusan yang tidak ambigu dan sedapat mungkin
monointerpretasi.
Kejelasan rumusan juga menuntut adanya kejelasan norma
hukum baik berupa kewajiban. larangan, ijin dan dispensasi.
Rumusan yang terlalu sempit akan sangat kaku dan biasanya
tidak akan bertahan lama, sedangkan rumusan yang terlalu umum
akan menimbulkan bias dalam pelaksanaannya meskipun akan
bertahap relative lebih lama.
g. Keterbukaan
Yang dimaksud keterbukaan adalah bahwa dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembentukan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Hal ini akan mempermudah pemahaman masyarakat terhadap
suatu peraturan meskipun sosialisasi peraturan belum dilakukan
dan akan memperkecil potensi penolakan masyarakat terhadap
keberlakuan suatu peraturan. Penting bahwa peraturan yang
38

dibuat untuk suatu masyarakat akan berdaya guna dan berhasil


guna apabila terdapat aspirasi dan partisipasi aktif masyarakat
sejak saat perancanangannya.
Sedangkan dalam penyusunan Materi Muatan dalam
peraturan daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah(RPJPD) Kota Mojokerto Tahun 2005-2025 meliputi asas :
a. Pengayoman
Yang dimaksud dengan pengayoman adalah bahwa setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi
memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan
kepentingan masyarakat. Asas ini pengejawantahan fungsi dasar
adanya suatu peraturan yakni sebagai sarana mewadahi dan
menjembatani setiap kepentingan yang beragam yang
berkembang dalam masyarakat. Peraturan juga dapat dianggap
sebagai sebuah kesepakatan bersama antar para anggota
masyarakat untuk mencapai tujuan dari masyarakat itu sendiri.
b. Kemanusiaan
Yang dimaksud dengan kemanusiaan adalah bahwa setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional. Penting bahwa obyek
dan sasaran dari pengaturan adalah manusia yang tidak berfungsi
mekanistis sebagaimana layaknya sebuah robot sehingga aspek
humanisme penting ditonjolkan. Yang hendak dirubah bukan
manusianya namun perilaku dari manusia itu sendiri. Selain itu
hukum tidak saja mengutamakan adanya kepastian hukum secara
kaku namun juga memperhatikan rasa keadilan yang berkembang
dalam masyarakat.
39

c. Kebangsaan
Yang dimaksud dengan Kebangsaan adalah bahwa setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang puralistik
(kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara kesatuan
Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan setiap bangsa tidak dapat
disamakan. Sesuatu yang dianggap baik oleh suatu bangsa
belum tentu demikian oleh bangsa yang lain. Kedaulatan suatu
bangsa juga tercermin dalam suatu peraturan yang dibuatnya dan
karenanya intervensi bangsa asing yang memasukkan
kepentingannya dalam materi muatan peraturan bangsa lain
merupakan bentuk lain dari penjajahan.
d. Kekeluargaan
Yang dimaksud Kekeluargaan adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan. Sedapat mungkin dihindari proses penangambilan
keputusan berdasarkan kuantitas suara (voting) karena hal itu
akan memperuncing dan memperlebar jumlah perbedaan yang
telah ada. Tidak tampak didalam proses voting suatu bentuk
penghargaan terhadap harkat dan martabat pihak lain namun
hanyalah dominasi berdasarkan prinsip siapa yang mayoritas
dialah yang menang sehingga terkesan mirip hukum rimba.
Padahal keputusan pihak mayoritas belum tentu benar bila
dibandingkan dengan keputusan pihak minoritas. Selain itu asas
kekeluargaan merupakan nilai-nilai luhur bangsa yang nyata-
nyata sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia. Dalam
suatu perkara di dunia peradilan pun hakim akan lebih dulu
mengutamakan dan mengupayakan proses perdamaian
berdasarkan kekeluargaan.
40

e. Kenusantaraan
Yang dimaksud dengan Kenusantaraan adalah bahwa setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus senantiasa
memperhatikan kapentingan seluruh wilayah Indonesia dan
materi muatan perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari system hukum Nasional yang
berdasarkan Pancasila. Nilai-nilai pancasila terwujud dalam UUD
1945 sebagai konstitusi dasar Republik Indonesia sehingga setiap
hukum yang diterbitkan dan berlaku dalam suatu daerah tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak boleh merugikan
kepentingan daerah lain dalam lingkungan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
f. Bhineka Tunggal Ika
Yang dimaksud dengan Bhineka Tunggal Ika adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang
menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Keadilan
Yang dimaksud keadilan adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali.
Rasa keadilan bagi masyarakat lebih diutamakan daripada
kepastian hukum itu sendiri.
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
Yang dimaksud dengan Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang antara lain : agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
41

i. Ketertiban dan Kepastian Hukum


Yang dimaksud dengan Ketertiban dan Kepastian Hukum adalah
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum.
j. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
Yang dimaksud dengan Keseimbangan, Keserasian, dan
Keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian dan keselarasan antara kepentingan Bangsa dan
Negara dengan kepentingan individu sebagai anggota
masyarakat suatu Negara dengan hak-hak asasi manusia yang
dimilikinya.
42

BAB 4
PENUTUP

1. Simpulan
Penyusunan Materi Peraturan daerah, sebagaimana dalam Raperda
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota
Mojokerto Tahun 2005-2025 ini memang sangat strategis dan penting
bagi keberlangsungan pembangunan di Kota Mojokerto. Proses
penyusunan yang partisipatif, memilki keuntungan dalam hal dukungan
legitimasi masyarakat, sehingga produk-produk hukum akan lebih
ditaati dan dipatuhi dalam jangka panjangnya.
.
2. Saran
Agar pelaksanaan penyusunan Peraturan Daerah tentang unan
Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Mojokerto Tahun 2005-2025 ini
dapat dilaksanakan secara baik, maka diperlukan mekanisme dan
prosedur yang transparan serta dukungan pembiayaan yang cukup.
Untuk itu harus dilakukan berdasarkan jadwal yang jelas dengan
kegiatan yang rinci untuk setiap tahapannya.
43

REFERENSI PUSTAKA

Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Alfa Beta. Bandung.


Anderson. J. E. 1984. Public Policy Making, Second Edition, University of
Houston, Holt, Rinehart and Winston. New York.

Booth, David (ed). 1995. Rethinking Social Development : Theory,


Research and Practice, Centre of Developing Area Studies,
University of Hull.

Bryant, Carolie & White, L.G. 1982. Managing Development in The Third
World, Westview Press. Boulder, Colorado.

Danziger, Marie. 1995. Analisis Kebijakan yang Di Post-Modernisasikan :


beberapa Pencabangan Politik dan Paedagogis.

Dwiyanto, Agus ( 2005), Mewujudkan Good Governance Melalui


Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Mustopadidjaja AR (2001), Reformasi birokrasi, perwujudan good


governance, dan pembangunan masyarakat madani, makalah
disajikan pada Silaknas ICMI 2001, Bertema Mobilitas Sumber
Daya Untuk Pemberdayaan Masyarakat Madani Dan Percepatan
Perwujudan Good Governance;

Pohan, Max H. (2000), Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik


(Local Good Governance) dalam Era Otonomi Daerah, Makalah
Disampaikan pada Musyawarah Besar Pembangunan Musi
Banyuasin ketiga, Sekayu, 29 September - 1 Oktober 2000

Sachs, Wolfgang. 1995. Kritik Atas Pembangunanisme : Telaah


Pengetahuan Sebagai Alat Penguasaan, CPSM. Jakarta.

Rasul, Syahrudin dkk (2000), Manajemen Pemerintahan Baru, modul


dalam rangka sosialisasi dan asistensi implementasi akuntabilitas
kinerja instansi pemerintah, BPKP, Jakarta.

REFERENSI LAPORAN PENELITIAN


44

Bhatnagar, Deepti & Ankita Dewan and Magui Moreno Torres & Prameeta
Kanungo. 2000. Water Supply and Sanitation for Low Income
Communities : Indonesia, The World Bank. 1-9.

Ferradas, Carmen. 2000. Report of Social Impacts of Dams : Distributional


and Equity Issues-Latin American Region, State University of New
York at Binghamton. USA. P. 10-15.

Ndraha, Taliziduhu. 1985. Peranan Administrasi Pemerintahan Desa


dalam Pembangunan Desa, Disertasi, Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

REFERENSI JURNAL ILMIAH


45

Ammons, David N., Charles Coe, Michael Lombardo. 2001. Performance-


Comparison Project in Local Government : Participants
Perspective. Public Administration Review, January/February. 2001.
vol. 61. No 1. p. 100-110, Wilson Social Sciences Abstracts.

Carruters, David. 2001. From Opposition to Ortodoxy : The Remaking of


Sustainable Development. Journal of Third World Studies, Fall
2001. 18. 2. p. 93-112. Wilson Social Sciences Abstracts.

Daneke, Gregory A. 2001. Sustainable Development as Systemic


Choices, Policy Studies, 29. 3. p. 514-532. Wilson Social Sciences
Abstracts.

Dube, S.C. 1964. Bureaucracy and Nation Building in Transitional Society.


dalam, International Social Science Journal, XVI. 2. 1964. p. 6-7.

Anda mungkin juga menyukai