Anda di halaman 1dari 96

DOSEN PENGAMPU :

(DR.R. FEBRINA ANDARINA ZAHARNIKA,S.H.,M.H)

PENGANTAR HUKUM INDONESIA (PHI)

Materi Semester Ganjil


T. A .2021/2022

(Google Classroom)
LITERATURE
MATERI SILABUS PHI:

1. HUKUM DALAM ARTI HUKUM


2. SISTEM HUKUM
3. HTN DAN HAN
4. HUKUM PERDATA
5. HUKUM PIDANA
6. HUKUM ACARA
7. HUKUMI NTERNASIONAL
HUKUM SEBAGAI
PRANATA SOSIAL
• Manusia sebagai “zoon politicon”
• Manusia sebagai makhluk sosial
• Masyarakat dan kebutuhan keteraturan
• Kaidah, norm, ukuran sebagai petunjuk
bermasyarakat
• Perintah
• larangan
CONTOH KENYATAAN
KAIDAH/NORMA:
• Tidak merokok ketika mengunjungi orang yang sedang
sakit
• Mengantar tamu sampai ke depan rumah
• Pembeli barang harus membayar sejumlah uang
• Memberikan tempat duduk pada seorang nenek di dalam
bus kota
• Berjalan menunduk di depan orang tua
MACAM NORMA/KAIDAH:

1. Norma agama: peraturan hidup yang berasal dari Tuhan


2. Norma kesusilaan: peraturan hidup yang berasal dari hati
sanubari manusia
3. Norma kesopanan: peraturan hidup yang timbul dari
pergaulan segolongan manusia
4. Norma hukum: peraturan yang timbul dari norma hukum
yang dibuat oleh penguasa negara
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
ANTAR NORMA

Persamaan: Tujuan
• Yaitu mengatur perilaku hidup bermasyarakat

Perbedaan?
PERBANDINGAN NORMA
NORMA ISI, SIFAT, BENTUK TUJUAN SANKSI
AGAMA Perintah, larangan, anjuran dari Orang beriman, Individual, universal.
Tuhan. bertakwa, selamat Sanksi dosa dengan
Bentuk tertulis dan tidak tertulis dunia akhirat pembalasan di akhirat

KESUSILAAN Perintah berupa “suatu” anjuran Orang yang Individual, relatif


yang diharapkan dalam pergaulan beradab /bersusila universal.
bermasyarakat. dalam tata pergaulan Sanksi celaan dan
Sifat tidak memaksa. bermasyarakat penyesalan
Bentuk tidak tertulis

KESOPANAN Perintah berupa anjtan berbuat Orang yang sopan Individual, lokal,
baik. /baik dalam temporal.
Sifat tidak memaksa. pergaulan Sanksi celaan dan
Bentuk tidak tertulis bermasyarakat dikucilkan

HUKUM Perintah, larangan. Warga yang patuh Sanksi sama bagi seluruh
Sifatnya memaksa dan dapat hukum warga negara
dipaksakan pelaksanaannya
Bentuk tertulis
ISTILAH P.H.I.
• PHI adalah kepanjangan kata dari Pengantar Hukum Indonesia. Ada tiga
kata dalam istilah ini, yakni “pengantar”, “hukum”, dan “Indonesia”.
• Kata pengantar mempunyai pengertian sebagai mengantarkan kepada
tujuan tertentu, atau dapat pula dimaknai sebagai memperkenalkan yang di
dalam bahasa Belanda disebut inleideing, atau di dalam bahasa Inggris
disebut introduction.
• Sedangkan yang dimaksud dengan kata “hukum” dan “Indonesia”, adalah
“hukum Indonesia” yang dimaknai sebagai hukum yang berlaku di
Indonesia.
• Dengan demikian maka istilah Pengantar Hukum Indonesia dapat dimaknai
sebagai memperkenalkan secara umum atau secara garis besar tentang
hukum di Indonesia.
NEXT

“Sebelum berlakunya kurikulum 1984, materi


kuliah Pengantar Hukum Indonesia (PHI) disebut
dengan “Pengantar Tata Hukum Indonesia
(PTHI)”.
“Dimaksud dengan ‘tata hukum Indonesia” ini
adalah tatanan atau susunan atau tertib hukum
yang berlaku di Indonesia”.
HUKU
PENGERTIAN
M
ISTILAH H U K U M

ASAL KATA:
• HUKM (BHS. ARAB)
• RECHT (BHS BELANDA, JERMAN)
• LAW (BHS. INGGRIS)
• LE’I (BHS. PERANCIS)

PENGERTIAN UMUM:
NORMA, KAIDAH, PERATURAN, UU,
PATOKAN YANG MENGIKAT
HUKUM SULIT UNTUK
DIDEFINISIKAN

• Hukum memiliki banyak aspek / segi, dan definisi


hukum hanya dapat menjelaskan “sebagian” dari
aspek bentuk dan aspek hukum
• Tidak ada definisi hukum yang memadai dan
seragam disebabkan oleh perbedaan latar
belakang pengetahuan, pengalaman dan orang
yang mendefinisikan.
DEFINISI HUKUM
NO TOKOH DEFINISI

1. UTRECHT Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang berupa perintah dan
larangan, yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat

2. SUDIMAN Unsur pokok hukum adalah:


KARTOHADI Sesuatu yang berkenaan dengan manusia
PROJO Manusia dalam pergaulan hidup
Untuk mencapai tata tertib pergaulan hidup
Berdasarkan keadilan

3. BELLEFROID Hukum adalah peraturan yang berlaku pada suatu masyarakat,


mengatur tata tertib masyarakat tersebut, dan didasarkan atas
kekuasaan yang ada di masyarakat itu
LANJUTAN…DEFINISI HUKUM
NO TOKOH DEFINISI

4. IMANUEL Keseluruhan syarat-syarat dimana dengan ini kehendak


KANT bebas orang dapat menyesuaikan diri dengan kehendak
bebas orang lain

5. LEON Aturan tingkah laku para anggota masyarakat, yang


DUQUIT diindahkan oleh anggota masyarakat sebagai jaminan
kepentingan bersama, dan jika dilanggar menimbulkan
reaksi bersama terhadap pelanggar

6. APELDORN Tidak ada definisi yang tepat atas hukum

7. WIRJONO Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai


PRODJO tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat
DIKORO
LANJUTAN…DEFINISI HUKUM

NO TOKOH DEFINISI

8. THOMAS Hukum adalah kebebasan berbuat sesuatu


HOBBES

9. PROUDHON Hukum adalah jaminan penghormatan terhadap nilai


seseorang sebagai manusia

10. LAND Hukum adalah seperangkat aturan-aturan yang harus


dipatuhi manusia dalam masyarakat

11. SUYLING Hukum adalah seperangkat norma-norma yang ditetapkan


oleh negara atau diakui sifatnya yang mengikat
UNSUR – UNSUR HUKUM

• Aturan-aturan
• Mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan di masyarakat
• Bersifat konkrit
• Bersumber dari kebiasaan atau dibuat oleh penguasa / badan resmi /
pemerintah
• Bentuk tertulis / tidak tertulis
• Bersifat memaksa
• Akibat hukum bagi yang melanggar
DEFENISI
PENGANTAR HUKUM
INDONESIA
ADALAH :
“MATA KULIAH PENGANTAR YANG
BERTUJUAN MEMBERIKAN
PENGETAHUAN DAN PEMAHAMAN
MENGENAI GARIS BESAR / KERANGKA
HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA
BESERTA AZAS-AZASNYA”
DEFENISI PHI:
• Pengertian PHI
• Kata “tata hukum” adalah terjemahan dari kata recht orde (Bahasa Belanda) yang berarti
memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum. Selama adanya pergaulan hidup
manusia, hukum selalu diperlukan untuk mengatur kehidupan manusia agar ada keteriban
di dalam masyarakat.
• Hukum yang berlaku dalam masyarakat sudah tentu akan dapat diberlakukan dengan baik
apa bila disusun dalam suatu tatanan. Dimaksud dengan susunan hukum ini adalah
“memberikan tempat yang sebenarnya” dengan menyusun dengan baik dan tertib aturan-
aturan hukum itu dalam suatu susunan yang disebut dengan “tata hukum”. Dengan
demikian maka tata hukum itu dapat diartikan sebagai suatu susunan hukum yang
memberikan tempat yang sebenarnya pada aturan-aturan hukum itu untuk terciptanya
ketertiban di dalam masyarakat.
• Tata hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu disebut dengan
hukum positif atau ius constitutum. Sedangkan hukum hukum yang akan berlaku
atau hukum yang dicita-citakan disebut ius constituendum.
HUBUNGAN PHI DAN PIH
• Antara mata kuliah PHI dan PIH memiliki persamaan, yakni keduanya berobyekan tentang hukum.
Disamping itu, kedua mata kuliah ini merupakan mata kuliah dasar yang merupakan prasyarat dalam
kuliah lanjutan/menempuh mata kuliah yang berobyekan hukum. Karenanya mata kuliah PHI dan PIH
merupakan mata kuliah wajib pada program studi yang berobyekan hukum. Sedangkan perbedaan yang
mendasar dari kedua mata kuliah ini, adalah sebagai berikut:

1. PHI (Pengantar Ilmu Hukum), dalam Bahasa Belanda disebut Inleiding tot het Positiefrecht van
Indonesie, atau di dalam bahasa Inggris Introduction Indonesian of Law atau Introduction Indonesian
Positive Law, adalah mata kuliah yang mempelajari hukum positif yang berlaku secara khusus di
Indonesia. Artinya PHI menguraikan secara analisis dan deskriptif mengenai tatanan hukum dan aturan-
aturan hukum, lembaga-lembaga hukum di Indonesia yang meliputi latar belakang sejarahnya, positif
berlakunya, apakah sesuai dengan asas-asas hukum dan teori-teori hukum positif (dogmatik hukum).

2. PIH (Pengantar Ilmu Hukum), dalam bahasa Belanda disebut Inleiding tot de Rechtswetenschap (bahasa
Belanda) atau di dalam bahasa Inggris Introduction of Jurisprudence atau Introduction Science of Law,
merupakan mata kuliah pengantar guna memperkenalkan dasar-dasar ajaran hukum umum (algemeine
rechtslehre). Maksud dasar-dasar ajaran hukum ini meliputi pengertian, konsep-konesp dasar, teori-teori
tentang pembentukannya, falsafahnya, dan lain sebagainya yang dibahas secara umum.
NEXT KESIMPULANNYA :
• Kesimpulannya, PIH membahas atau mempelajari dasar-dasar dari
ilmu hukum:
• “secara umum atau yang berlaku secara universal, misalnya
mengenai pengertian-pengertian, konsep-konsep dasar dan teori-
teori hukum, serta sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-
lembaga hukum dari sudut pandang falsafah kemasyarakatan.
Sedangkan PHI mempelajari konsep-konsep, pengertian-
pengertian dasar dan sejarah hukum serta teori hukum positif
Indonesia.”
TUJUAN MEMPELAJARI PHI

PHI adalah mata kuliah yang berobyekan hukum yang sekarang berlaku
di Indonesia, atau mata kuliah yang berobyekan hukum positif di
Indonesia. Adapun tujuan mempelajari hukum di Indonesia adalah agar
dapat diketahui tentang:
1)macam-macam hukum di Indonesia;
2)perbuatan-perbuatan apa yang diharuskan, diwajibkan, dilarang, serta yang
diperbolehkan menurut hukum Indonesia;
3)kedudukan, hak, dan kewajiban bagi setiap orang dalam bermasyarakat dan
bernegara menurut hukum Indonesia;
4)macam-macam lembaga penyelenggara negara di Indonesia dalam bidang
legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga-lembaga lainnya;
5)prosedur di dalam melaksanakan hukum (acara peradilan dan prosedur
birokrasi dalam negara) menurut hukum positif Indonesia.
I. HUKUM DALAM ARTI TATA
HUKUM

A. Pengertian Pengantar Hukum


Indonesia (PHI)
&
Pengantar Ilmu Hukum (PIH)
PENGANTAR HUKUM INDONESIA
(PHI):

❑Pengantar Hukum Indonesia merupakan basis atau mata


kuliah dasar yang tidak bisa ditinggalkan oleh seseorang
yang ingin mempelajari keseluruhan hukum positif di
Indonesia.
❑Pengantar Hukum Indonesia (PHI) terdiri dari kata
Pengantar dan Hukum Indonesia. Pengantar berarti
membawa ke tempat yang dituju mempelajari masalah-
masalah dan cabang-cabang hukum di Indonesia.
1. Oleh karena itu, Pengantar Hukum Indonesia (PHI) adalah mata
kuliah dasar yang mempelajari keseluruhan hukum positif
Indonesia sebagai suatu sistem hukum yang sedang berlaku di
Indonesia dalam garis besarnya.
2. Dengan demikian, objek dari Pengantar Hukum Indonesia
adalah hukum positif Indonesia. Fungsinya adalah mengantarkan
setiap mahasiswa atau orang yang akan mempelajari hukum
positif Indonesia.
3. Sedangkan Pengantar Ilmu Hukum (PIH) adalah mata kuliah
yang
merupakan dasar bagi setiap mahasiswa atau orang yang akan
mempelajari ilmu hukum dan memberikan pengertian-
pengertian dasar berbagai istilah dalam ilmu hukum yang
bersifat umum, yakni tidak terbatas pada ilmu hukum yang
berfokus pada negara tertentu dan masa tertentu.
PERBEDAAN PIH DAN PHI
Sebagai pengantar, maka PIH yang objeknya hukum mengkaji
dan menganalisis hukum sebagai suatu fenomena (gejala)
hukum yang berhubungan dengan kehidupan manusia secara
universal.

Apabila diperhatikan penjelasan di atas


maka antara Pengantar Hukum Indonesia
(PHI) dengan Pengantar Ilmu Hukum (PIH)
mempunyai perbedaan dan hubungannya,
yaitu:
PERBEDAAN PIH DAN PHI :
1. Kedua ilmu itu (PHI dan PIH) memiliki objek kajian yang berbeda, yaitu objek
kajian Pengantar Hukum Indonesia (PHI) adalah mempelajari hukum yang
sekarang sedang berlaku atau hukum positif di Indonesia (ius constitutum).
Sedangkan objek kajian Pengantar Ilmu Hukum (PIH) adalah pengertian dasar dan
teori ilmu hukum serta membahas hukum pada umumnya, dan tidak terbatas pada
hukum yang berlaku tertentu saja, akan tetapi juga hukum yang berlaku di negara
lain pada waktu kapan saja (ius constitutum dan ius constituendum).
2. Pengantar Hukum Indonesia (PHI) berfungsi untuk mengantarkan setiap
mahasiswa atau orang yang akan mempelajari hukum yang sedang berlaku atau
hukum positif Indonesia. Sedangkan Pengantar Ilmu Hukum (PIH) berfungsi
sebagai dasar bagi setiap mahasiswa atau orang yang akan mempelajari hukum
secara luas beserta pelbagai hal yang melingkupnya.
HUBUNGANNYA PIH DAN PHI:
❖Adapun hubungan antara Pengantar Hukum Indonesia (PHI) dengan
Pengantar Ilmu Hukum (PIH) adalah merupakan dua mata kuliah yang
memiliki hubungan yang erat.
❖Hubungan yang erat itu mengantarkan bagi yang mempelajarinya pada
suatu kesimpulan, bahwa Pengantar Hukum Indonesia (PHI) secara
khusus mempelajari hukum yang sedang diberlakukan pada waktu
tertentu diIndonesia, namun dalam Pengantar Ilmu Hukum (PIH)
menelaah hukum secara luas dan komprehensif.
❖Selanjutnya hubungan antara Pengantar Hukum Indonesia (PHI) dengan
Pengantar Ilmu Hukum (PIH) dapat dilihat pada dua hal di bawah ini,
yaitu:
NEXT HUBUNGAN PIH DAN PHI:

1) Kedua llmu itu (PHI dan PIH) merupakan mata


kuliah dasar keahlian yang akan mempelajari
ilmu hukum.
2) Pengantar Ilmu Hukum (PIH) merupakan dasar
untuk mempelajari Pengantar Hukum Indonesia
(PHI), yakni Pengantar Ilmu Hukum (PIH)
harus dipelajari terlebih dahulu sebelum
mempelajari pengantar Hukum Indonesia (PHI).
MATA KULIAH DASAR
KEAHLIAN HUKUM

Pengantar Ilmu Hukum :


Pengantar Hukum
Indonesia: 1.Objeknya hukum pada
umumnya yg tidak terbatas
1.Objeknya hukum positif pada hukum positif negara
Indonesia tertentu
2.Fungsinya mengantarkan 2.Fungsinya mendasari dan
setiap mahasiswa/orang yang menumbuhkan motivasi bagi
akan mempelajari hukum setiap mhs/ orang yang akan
positif Indonesia mempelajari hukum.
B.
PENGERTIAN
TATA HUKUM
PENDAHULUAN
❑Tata hukum dalam bahasa Belandanya disebut “recht orde”, yaitu susunan
hukum. Dengan demikian tata hukum adalah susunan hukum yang terdiriatas
aturan-aturan hukum yang tertata sedemikian rupa sehingga orang mudah
menemukannya bila suatu ketika ia membutuhkannya untuk menyelesaikan
peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat. Tata atau susunan itu
pelaksanaannya berlangsung selama ada pergaulan hidup manusia yang
berkembang.
❑Setiap bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri, demikian juga bangsa
Indonesia mempunyai tata hukumnya, yaitu tata hukum Indonesia.
NEXT:

1. Guna mempelajari tata hukum Indonesia adalah untuk mengetahui


hukum yang berlaku sekarang ini di dalam negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Tata hukum yang sah dan berlaku pada waktu tertentu di negara
tertentu disebut hukum positif (ius constitutum).
3. Sedangkan tata hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang
akan datang dinamakan.
4. Ius constituendum dapat menjadi ius constitutum, dan ius
constitutum dapat hapus dan diganti dengan ius constitutum baru
yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang senantiasa
berkembang
MAKA :
❑Dalam hal ini dapat dicontohkan pada Buku Kesatu tentang
perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPER)
diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974, tentang Perkawinan.
❑Proses penggantian aturan-aturan hukum seperti itu akan harus
dilakukan oleh manusia selama pergaulan hidup menghendaki adanya
rasa keadilan yang sesuai kebutuhan akan ketertiban dan ketenteraman
hidupnya.
❑Tata hukum Indonesia adalah tata hukum yang ditetapkan oleh
pemerintah Indonesia yang terdiri dari aturan-aturan hukum yang
ditata atau disusun sedemikian rupa, dan aturan-aturan itu antara satu
dan lainnya saling berhubungan dan saling menentukan.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan contoh sebagai berikut:
1)Hukum pidana saling berhubungan dengan hukum acara pidana dan
saling menentukan satu sama lain, sebab hukum pidana tidak akan dapat
diterapkan tanpa adanya hukum acara pidana. Dalam arti jika tidak ada
hukum pidana, maka hukum acara pidana tidak akan berfungsi.
2)Hukum keluarga berhubungan dan saling menentukan dengan hukum
waris. Agar harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang
meninggal dunia dapat dibagikan kepada para ahli warisnya perlu
dibuat peraturannya. Siapa ahli warisnya, berapa bagiannya, dan apa
kewajibannya ditentukan oleh hukum waris
Sejarah Tata
Hukum
Indonesia
ISTILAH :
Sejarah dalam bahasa asing:
❑bahasa Inggrisnya adalah “history”,
❑Asal katanya yaitu,”historiai” dari bahasa Yunani yang artinya
adalah hasil penelitian.
❑Dalam bahasa Latinnya adalah “historis”.
❑Istilah ini menyebar luas menjadi “historia” (bahasa Spanyol),
❑“historie” (bahasa Belanda),
❑histoire”(bahasa Prancis), dan
❑“storia”(bahasa Italia).
❖Dengan demikian sejarah adalah suatu cerita dari kejadian
masa lalu yang dikenal dengan sebutan lagenda, kisah,
hikayat, dan sebagainya yang kebenarannya belum tentu
tanpa bukti-bukti sebagai hasil suatu penelitian.
❖Di samping itu, sejarah dapat juga diartikan sebagai suatu
pengungkapan dari kejadian-kejadian masa lalu.
❖Menurut Soerjono Soekanto, sejarah adalah pencatatan
yang bersifat deskriptif dan interpretatif, mengenai
kejadian-kejadian yang dialami oleh manusia pada
masa-masa lampau, yang ada hubungannya dengan
masa kini.
• Apabila dilihat dari kegunaannya, maka
sebagai pegangan dapat diartikan bahwa,
sejarah adalah suatu pencatatan dari kejadian-
kejadian penting masa lalu yang perlu
diketahui, diingat, dan dipahami oleh setiap
orang atau suatu bangsa masa kini.
⮚Jadi sejarah tata hukum Indonesia adalah suatu
pencatatan dari kejadian-kejadian penting
mengenai tata hukum Indonesia pada masa lalu
yang perlu diketahui, diingat dan dipahami
oleh bangsa Indonesia.
Sejarah tata hukum Indonesia terdiri dari sebelum tanggal 17 Agustus
1945 dan sesudah tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum tanggal 17 Agustus

1945 terdiri dari:


1. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) (1602-1799);
2. Masa Besluiten Regerings (1814-1855);
3. Masa Regerings Reglement (1855-1926);
4. Masa Indische Staatsregeling (1926-1942);
5. Masa Jepang (Osamu Seirei) (1942-1945).5
Sedangkan sesudah tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebagai berikut:
1. Masa 1945-1949 (18 Agustus1945 – 26 Desember 1949);
2. Masa 1949-1950 (27 Desember 1945 – 16 Agustus 1950);
3. Masa 1950-1959 (17 Agustus 1950 – 4 Juli 1959);
4. Masa 1959-sekarang (5 Juli 1959 – sekarang).
MASA VEREENIGDE OOST
INDISCHE COMPAGNIE (VOC/1602-
1799)
Statuta tersebut berlaku sebagai hukum positif baik orang-orang pribumi
maupun orang pendatang dan sama kekuatan berlakunya dengan peraturan-
peraturan lain yang telah ada. Peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh
VOC, pada masa inipun kaidah-kaidah hukum adat Indonesia tetap dibiarkan
berlaku bagi orang bumi putra (pribumi). Tetapi dalam berbagai hal VOC
mencampuri peradilan-peradilan adat dengan alasan-alasan, bahwa:
Sistem hukum pada hukum adat, tidak memadai untuk memaksakan
rakyat menaati peraturan-peraturan;
Hukum adat adakalanya tidak mampu menyelesaikan suatu perkara,
karena persoalan alat-alat bukti;
Adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut hukum adat bukan
merupakan kejahatan, sedangkan menurut hukum positif merupakan
tindak pidana yang harus diberikan suatu sanksi.
MASA BESLUITEN REGERINGS (1814-
1855)
• Menurut Pasal 36 Nederlands Gronwet tahun 1814 (UUD Negeri
Belanda 1814) menyatakan bahwa “Raja yang berdaulat, secara mutlak
mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan dan harta
milik negara di bagian-bagian lain”.
• Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat dan
mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan sebutan
“Algemene Verordening”(Peraturan Pusat). Karena peraturan pusat itu
dibuat oleh raja, maka dinamakan juga “Koninklijk Besluit”(besluit
raja) yang pengundangannya dibuat oleh raja melalui “Publicatie,
yakni surat selebaran yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal
❑Pada tahun 1830 pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan
hukum perdata. Pengundangan hukum yang sudah berhasil
dikodifikasi itu baru dapat terlaksana pada tanggal 1 Oktober
1838. Hal ini disebabkan terjadinya pemberontakan di bagian
selatan Belanda pada bulan Agustus 1830.
❑Selanjutnya timbul pemikiran tentang pengkodifikasian hukum
perdata bagi orang Belanda yang berada di Hindia Belanda.
Untuk maksud itu pada tanggal 15 Agustus 1839 menteri jajahan
di Belanda mengangkat Komisi undang- undang bagi Hindia
Belanda yang terdiri dari Mr.Scholten Van Oud Haarlem sebagai
ketua, Mr.J.Schmither dan Mr.J.F.H. Van Nes sebagai anggota.
❑Komisi ini dalam tugasnya dapat menyelesaikan beberapa
peraturan yang kemudian oleh Mr. H.L. Wicher disempurnakan,
yaitu:
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (RO)
atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP).
2. Algemene Bepalingen Van Wetgeping (AB) atau
Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan.
3. Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-
undang Hukum Sipil (KUHS).
4. Wetboek Van Koophandel (WVK) atau Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
5. Reglement op de Burgerlijke Rechts Vordering
(RV) atau peraturan tentang Acara perdata (AP)
Berdasarkan kenyataan sejarah tersebut di
atas dapat dijelaskan bahwa
tata hukum pada masa Busleiten
Regerings (BR) terdiri dari peraturan
tertulis yang dikodifikasikan, dan yang
tidak dikodifikasi, serta peraturan tidak
tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku
bagi orang bukan golongan Eropa.
Masa Regerings Reglement (1855-1926):
1)Di negeri Belanda terjadi perubahan Grond Wet (UUD) pada tahun 1848
sebagai akibat dari pertentangan Staten General (Parlemen) dan Raja yang
berakhir dengan kemenangan Parlemen dalam bidang mengelola kehidupan
bernegara. Adanya perubahan Grondwet itu mengakibatkan juga terjadinya
perubahan terhadap pemerintahan dan perundang-undangan jajahan
Belanda di Indonesia.
2)Hal ini dicantumkannya Pasal 59 ayat (1),(II), dan
(IV) Grondwet yang menyatakan: bahwa ayat (1) raja mempunyai kekuasaan
tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia. Ayat
(II) dan (IV) aturan tentang kebijaksanaan pemerintah ditetapkan melalui
undang-undang sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-
hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau
diperlukan akan diatur melalui undang-undang.
Selanjutnya RR mengalami perubahan pada tahun 1920 pada Pasal-Pasal
tertentu, sehingga dinamakan RR baru yang berlaku sejak tanggal 1 Januari
1920 sampai tahun 1926. Golongan penduduk dalam Pasal 75 RR itu diubah
dari dua golongan menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, golongan
Timur Asing dan golongan Indonesia (Pribumi).
Pada masa berlakunya RR telah berhasil diundangkan kitab-kitab hukum,
yaitu:
❑1.Kitab hukum pidana untuk golongan Eropa melalui S.1866:55 sebagai
hasil saduran dari Code Penal yang berlaku di Belanda pada waktu itu;
❑2. Algement Politie Strafreglement sebagai tambahan kitab hukum pidana
untuk golongan Eropa tahun 1872;
❑3. Kitab hukum pidana bagi orang bukan Eropa melalui S.1872:85 yang
isinya hampir sama dengan kitab hukum pidana Eropa tahun 1866;
❑4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa melalui S.1872:111;
❑5. Wetboek Van Strafrecht diundangkan pada tahun 1915 dengan
S.1915:732 di Hindia Belanda dalam suatu kodifikasi yang berlaku bagi
semua golongan penduduk mulai tanggal 1 Januari 1918
MASA INDISCHE STAATSREGELING
(1926-1942)

• Pada tanggal 23 Juni 1925 Regerings Reglement tersebut diubah menjadi


Indische Staatsregeling (IS) atau peraturan ketatanegaraan Indonesia yang
termuat dalam Stb 1925:415 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1926.
• Pada masa berlakunya IS tata hukum yang berlaku di Hindia Belanda
adalah pertama-tama yang tertulis dan yang tidak tertulis (hukum adat) dan
sifatnya masih pluralistis khususnya hukum perdata.
• Hal tersebut tampak pada ketentuan Pasal 131 IS yang juga menjelaskan
bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka kemungkinan adanya usaha
untuk unifikasi hukum bagi
ketiga golongan penduduk Hindia Belanda, yaitu Eropa, Timur Asing, dan
Pribumi yang ditetapkan dalam Pasal 163 IS
Tujuan pembagian golongan penduduk sebenarnya adalah untuk
menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing
golongan, yaitu:

I. Golongan Eropa
sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS. Adalah hukum perdata yaitu
Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek Van Koophandel (WVK) yang
diundangkan berlakunya tanggal 1 Mei 1848, dengan asas konkordansi, hukum
pidana materiil yaitu Wetboek Van Strafrecht (WVS) yang diundangkan
berlakunya tanggal 1 Januari 1981 melalui S.1915:732, dan hukum acara yang
dilaksanakan dalam proses pengadilan bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura
diatur dalam “Reglement op de Burgerlijke Rechts Vordering” untuk proses
perdata, dan Reglement op de Straf Vordering untuk proses perkara pidana, yang
keduanya mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1981.
Adapun susunan peradilan yang dipergunakan bagi golongan Eropa di
jawa dan Madura adalah:
1.Residentie Gerecht;
2.Raad Van Justitie.
3. Hooggerechtshof.
Sedangkan acara peradilan di luar Jawa dan Madura diatur dalam Rechts
Reglement Buitengewesten (R.Bg) berdasarkan S.1927: 227 untuk
daerah hukumnya masing-masing.

II. Bagi golongan Pribumi (Bumi Putra).


a. Hukum perdata adat dalam bentuk tidak tertulis. Tetapi dengan adanya
Pasal 131 ayat (6) IS kedudukan berlakunya hukum perdata adat itu
tidak mutlak, dan dapat diganti dengan ordonansi jika dikehendaki oleh
pemerintah Hindia Belanda. Kemudian demikian
telah dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai ordonansi yang
diberlakukan untuk semua golongan yaitu:
1. S.1933: 48 Jo. S.1939: 2 tentang peraturan pembukuan kapal;
2. S.1933: 108 tentang peraturan umum untuk perhimpunan koperasi;
3. S. 1938: 523 tentang ordonansi orang yang meminjamkan uang;
4. S. 1938: 524 tentang ordonansi riba. Sedangkan hukum yang berlaku bagi golongan
pribumi, yaitu:
1. S. 1927: 91 tentang koperasi pribumi;
2. S. 1931: 53 tentang pengangkatan wali di Jawa dam Madura;
3. S. 1933:74 tentang perkawinan orang Kristen di Jawa, Minahasa, dan Ambon.
4. S. 1933: 75 tentang pencatatan jiwa bagi orang Indonesia di Jawa, Madura,
Minahasa, Amboina, Saparua, dan Banda;
5. S. 1939: 569 tentang Maskapai Andil;
6. S. 1939: 570 tentang perhimpunan pribumi. Semua Staatsblad di atas adalah
ordonansi yang berkaitan dengan bidang hukum perdata.

b. Hukum pidana materiil yang berlaku bagi golongan pribumi adalah:

1. Hukum pidana materiil yaitu Werboek Van Straf recht sejak tahun 1918 berdasarkan
S.1915: 723.
2. Hukum acara perdata untuk daerah Jawa dan Madura adalah “Inlands
Reglement”(IR) dan hukum acara pidana bagi mereka diatur dalam “Herziene Inlands
Reglement”(HIR) berdasarkan S.1941: 44 tanggal 21 Februari 1941. HIR ini berlaku di
landraat Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
Susunan peradilan bagi pribumi di Jawa dan Madura
adalah sebagai berikut:
1.District Gerecht, di daerah pemerintahan distrik
(kewedanan);
2.Regentschaps Gerecht, di daerah kabupaten yang
diselenggarakan oleh Bupati, dan sebagai pengadilan
banding;
3.Lanraad, terdapat di kota kabupaten dan beberapa
kota lainya yang diperlukan adanya peradilan ini, dan
mengadili perkara banding yang diajukan atas putusan
Regentschaps Gerecht.
Bagi golongan Timur Asing, berlakulah:
a.Hukum perdata, hukum pidana adat mereka menurut ketentuan
Pasal 11 AB, berdasarkan S.1855: 79 (untuk semua golongan Timur
Asing);
b.Hukum perdata golongan Eropa (BW) hanya bagi golongan Timur
Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda melalui S. 1924 : 557. Dan
untuk daerah Kalimantan Barat berlakunya BW tanggal 1 September
1925 melalui S. 1925: 92;
c.WvS yang berlaku sejak 1 Januari 1918 untuk hukum pidana materiil;
d.Hukum acara yang berlaku bagi golongan Eropa dan hukum acara
yang berlaku bagi golongan pribumi, karena dalam praktik kedua
hukum acara tersebut digunakan untuk peradilan bagi golongan
Timur Asing.
• Berdasarkan pada pasal 163 ayat (1) I.S (Indische Staats Regeling)
penduduk yang mendiami wilayah pemerintahan Hindia-Belanda pada
saat itu dibagi dalam tiga golongan, yaitu:
• 1. Golongan Eropa
• Yaitu yang termasuk golongan Eropa menurut pasal 163 ayat (2) I.S
adalah:
• Semua warga negara Belanda;
• Semua orang yang berasal dari Eropa; 
• Semua warga negara Jepang;
• Semua orang yang berasal dari negara lain, yang di negaranya tunduk
kepada hukum kekeluargaannya dan asas-asasnya sama dengan hukum
Belanda; dan
• Keturunan mereka yang tersebut di atas yang diakui menurut Undang-
Undang.
• 2. Golongan Bumiputera
• Yaitu yang termasuk golongan Bumiputera menurut
pasal 163 ayat (3) I.S adalah :
• Rakyat asli Hindia-Belanda (pribumi)
• Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu
membaurkan dirinya kedalam golongan Bumiputera
asli dengan cara meniru atau mengikuti kehidupan
sehari-hari golongan Bumiputera dan meninggalkan
hukumnya atau karena perkawinan
3. GOLONGAN TIMUR ASING
• Yaitu yang termasuk golongan Timur Asing Menurut pasal 163 ayat (4) I.S meliputi penduduk yang tidak termasuk golongan Eropa
dan golongan Bumiputera. Golongan ini dibedakan atas dua bagian, yaitu: 
• Golongan Timur Asing Tionghoa (Cina)
• Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, seperti Arab dan India, Pakistan, dan Mesir.
• Ketiga golongan penduduk tersebut di atas tunduk pada hukum perdata yang berbeda-beda sebagaimana diatur dalam Pasal 131 I.S
yang merupakan “Pedoman Politik Hukum” pemerintah Belanda dengan ketentuan-ketentuan berikut ini:
• 1. Ayat 1 menjelaskan bahwa hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum acara perdata, dan hukum acara pidana harus
dicantumkan dalam kitab Undang-undang atau dikodifisir.
• 2. Ayat 2 sub A dijelaskan bawa terhadap golongan Eropa harus diperlakukan perundang-undangan sesuai dengan yang berlaku di
negeri Belanda dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Dan ayat 2 sub A pasal 131 I.S ini sering disebut sebagai ayat
yang memuat asas konkordansi.
• 3. Ayat 2 sub B dijelaskan bahwa bagi golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing, ketentuan Undang-undang Eropa dalam
bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang dapat diperlakukan apabila kebutuhan mereka menghendakinya.
• 4. Ayat 4 menjelaskan bahwa golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing diperbolehkan menundudukkan dirinya kepada
hukum yang berlaku bagi orang Eropa, baik sebagian maupun seluruhnya.
• 5. Ayat 6 dijelaskan bahwa hukum adat yang masih berlaku bagi golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing tetap berlaku
sepanjang belum ditulis dalam Undang-undang.
• Dari pasal-pasal tersebut di atas nampak adanya upaya politik dari pemerintah Hindia-Belanda untuk memecah belah, yaitu dengan
membedakan hukum yang berlaku untuk orang Eropa, Bumiputera dan Timur Asing yang berada di kawasan Hindia Belanda pada
waktu itu.
• Beikut ini penjelasan penggolongan hukum perdata pada ketiga golongan penduduk tersebut: 
• a. Golongan Eropa
• Bagi golongan Eropa diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab UndangUndang Hukum Dagang yang
diselaraskan dengan Burgelijk Wetbook dan Wetbook Van Koophandel yang berlaku di negara Belanda.
• b. Golongan Bumiputera
• Bagi golongan Bumiputera berlaku hukum adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan masyarakat tetapi hukum
ini masih berbeda-beda sesuai dengan daerahnya masing-masing. Disamping hukum adat, terdapat beberapa peraturan undang-
undang yang secara khusus di buat oleh pemerintah Belanda bagi golongan Bumiputera, yaitu antara lain :
• Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia kristen atau HOCI (Huwelijke Ordonantie Christen Indonesiers, Staatblad 1933 Nomor 74)
• Ordonansi tentang Maskapai Andie Indonesia atau IMA (Staatblad 1939 No. 509 jo 717)
• Ordonasi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Staatblad 1939 No. 570 jo 717)

c. Golongan Timur Asing

• Tionghoa (Cina)

Bagi golongan Timur Asing Tionghoa diberlakukan KUHPerdata dan KUHD dengan beberapa pengecualian, yaitu mengenai
pencatatan sipil, cara-cara perkawinan, dan pengangkatan anak (Adopsi).
• Golongan Timur Asing bukan Tionghoa

Bagi golongan Timur Asing yang bukan Tionghoa diberlakukan sebagian dari KUHPerdata dan KUHD, yaitu mengenai hukum
harta kekayaan. Sementara itu hukum waris (tanpa wasiat), hukum kepribadian dan hukum keluarga berlaku hukum yang berasal
dari negara mereka sendiri.
• Setelah Indonesia merdeka, Indonesia tidak menganut Azas
Konkordansi (Concordantie Beginselen) lagi dan secara tegas
perbedaan penggolongan penduduk tersebut dihapuskan dengan
disahkannya UUD 1945.
• Penghapusan perbedaan golongan penduduk tersebut tercantum
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa “Setiap
warga negara bersamaan dalam kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”
• Selain pasal di atas, hasil Amandemen UUD 1945 yaitu dalam Pasal
28 D ayat (1) juga menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 
Dalam penyelenggaraan peradilan, di
samping susunan peradilan yang telah
disebutkan di atas juga melaksanakan
peradilan lain, yaitu:
1. Pengadilan Swapraja;
2. Pengadilan Agama;
3. Pengadilan Militer.
Berdasarkan Pasal 163 jo,
Pasal 131 IS. Maka
golongan penduduk dan
sistem hukumnya dapat
dilihat Bagan 2 berikut ini:
Selanjutnya sejarah tata hukum Indonesia sesudah tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebagai berikut:
I.Masa tahun 1945-1949 (18 Agustus 1945-26 Desember 1949).
❑ Setelah bangsa Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, maka
saat itu bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan nasib sendiri, mengatur dan
menyusun negaranya serta menetapkan tata hukumnya, sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945
ditetapkanlah Undang-Undang Dasar yang supel dan elastik dengan sebutan Undang-Undang Dasar
1945.
I.Bentuk tata hukum dan politik hukum yang akan berlaku masa itu dapat dilihat pada Pasal I dan II
aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: Pasal I yang berbunyi: Segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini.
❑Pasal II, semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Menurut ketentuan Pasal I dan II aturan peralihan itu dapat diketahui, bahwa semua peraturan dan
lembaga yang telah ada dan berlaku pada zaman penjajahan Belanda maupun masa pemerintahan
Balatentara Jepang, tetap diperlakukan dan difungsikan. Dengan demikian, tata hukum yang berlaku
pada masa tahun 1945-1949 adalah semua peraturan yang telah ada dan pernah berlaku pada masa
penjajahan Belanda maupun masa Jepang berkuasa dan produk-produk peraturan baru yang dihasilkan
oleh pemerintah negara Republik Indonesia dari tahun 1945-1949.
Masa tahun 1949-1950 (27 Desember 1949-16 Agustus 1950).
Berdasarkan ketentuan Pasal 192 KRIS ini berarti bahwa aturan-aturan
hukum yang berlaku dalam negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal
I dan II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tetap berlaku di
negara Republik Indonesia Serikat.

Masa Tahun 1950-1959 (17 Agustus 1950-4 Juli 1959).

Pada tanggal 17 Agustus 1950 bangsa Indonesia kembali ke negara


kesatuan, dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku
sampai tanggal 4 Juli 1959. Tata hukum yang berlaku pada masa ini
adalah tata hukum yang terdiri dari semua peraturan yang dinyatakan
berlaku berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950, dan ditambah dengan
peraturan baru yang dibentuk oleh pemerintah negara selama kurun
waktu dari 17-8-1950 sampai dengan 4 - 7- 1959
Masa Tahun 1959-Sekarang (5 Juli 1959 sampai Sekarang):
Adapun tata urutan perundang-undangan yang diatur berdasarkan
Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 jo, Ketetapan MPR Nomor V/
MPR/1973 dan TAP No.IX/MPR/1978, tata urutan perundang-undangan
(hierarki perundang-undangan) adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu);
4. Peraturan Pemerintah (PP);
5. Keputusan Presiden;
6. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
a. Peraturan Menteri
b. Instruksi Menteri;
c. Dan lain-lain
Sedangkan sumber hukum dan tata urutan peraturan
perundang-
undangan menurut Ketetapan MPR No.III/2000, hierarkinya
sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-undang.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
5. Peraturan Pemerintah.
6. Keputusan Presiden.
7. Peraturan Daerah.
Tata urutan tersebut di atas mengandung konsekuensi bahwa peraturan
yang urutannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
82, maka Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan tidak berlaku lagi.
Adapun jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan menurut
Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Rebublik Indonesia Tahun 1945,
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
4. Peraturan Pemerintah,
5. Peraturan Presiden,
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

• Setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai


suatu hukum nasional baik di bidang kepidanaan maupun
dibidang keperdataan yang mencerminkan kepribadian jiwa dan
pandangan hidup bangsanya. Bagi negara Indonesia dalam
pembinaan dan pembentukan hukumnya harus berdasarkan
dengan rambu-rambu Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, dalam rangka menggantikan hukum warisan kolonial
yang tidak sesuai dengan tata hukum nasional
• Adapun sasaran politik hukum nasional adalah terciptanya sistem
hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif
(termasuk tidak diskriminatif terhadap perempuan atau bias gender);
terjaminnya konsisten seluruh peraturan perundang-undangan pada
tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan
dan perundang-undangan yang lebih tinggi; kelembagaan peradilan
dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam upaya
memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara
keseluruhan.

“Sedangkan arah kebijakan hukum nasional adalah untuk


memperbaiki substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan)
hukum, dan kultur (budaya) hukum”.
KESIMPULAN:

Hukum dalam masyarakat menurut Philippe Nonet dan Philip


Selznick terdapat 3 (tiga) keadaan hukum, yaitu:
1. Hukum Represif, yaitu hukum yang merupakan alat
kekuasaan represif;
2. Hukum Otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang
mampu
menjinakkan represi melindungi integritasnya sendiri, dan
3. Hukum Responsif, yaitu hukum yang merupakan sarana
responss
atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat.1
PENDAHULUAN:

o Kata sejarah dapat disebut pula dengan historis, yang berarti sesuatu yang
pernah terjadi, atau lebih jelas lagi dapat disebutkan sebagai suatu
pencatatan kejadian-kejadian penting masa lalu yang perlu untuk diketahui,
diingat, dan dipahami oleh setiap orang atau suatu bangsa pada masa kini.
o Jadi bila berbicara tentang Sejarah Tata Hukum Indonesia, maka kita akan
diajak untuk mengetahui bagaimana tata hukum Indonesia pada masa
lampau untuk diketahui, diingat, dan dipahami.
o Perlunya pengetahuan tentang sejarah tata hukum Indonesia ini adalah untuk
memahami tentang hukum di Indonesia pada masa lampau untuk menjadi
koreksi tentang bagaimana hukum yang sebaiknya atau seharusnya
diterapkan bagi bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
• Melihat kurun waktunya, sejarah tata hukum Indonesia dapat diklasifikasi
sesuai dengan kurun waktunya dalam beberapa fase: (i) fase pra kolonial, (ii)
fase kolonial, (iii) fase kemerdekaan. Tentang fase-fase tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
• Fase Pra Kolonial
• Fase Kolonial
• Masa VOC (1902-1799)
• Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942)
• Masa Besluiten Regerings (1814-1855)
• Masa Regerings Reglement (1855-1926)
• Masa Indische Staatsregeling (1926-1942)
• Masa Pemerintahan Balatentara Jepang

• Fase Kemerdekaan
• Masa Orde Lama
ad.1. Periode 1945-1950
ad.2. Periode 1950-1959
ad.3. Periode 1959-1965
• Masa Orde Baru
Orde Baru dimulai setelah kudeta G.30.S/PKI. Terjadi pergantian pemerintahan dari Presiden
Soekarno ke Presiden Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 yang sering disebut dengan
“Supersemar”. Dalam orde ini dirumuskan kebijakan pemerintah melalui Rencana Pembangunan
Jangka Panjang I (RPJP I) yang dimulai Tahun 1969 dengan rangkaian pelaksanaan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Reprlita). Kebijaksanaan RPJP I ini menitik beratkan pada
pembangunan ekonomi. Hal ini dikarenakan pada saat itu saat itu sangat buruk dengan inflasi
600%. Karenanya untuk kelancara dan stabilitas ekonomi itu mensyaratkan adanya stabilitas
politik.
• Otoritas politik pada masa itu bertumpu pada tingkat legitimasi pembangunan/stabilitas ekonomi
dan stabilitas politik dengan pendekatan keamanan terhadap berbagai masalah kemasyarakatan.
Kebijakan yang ditetapkan melalui GBHN, dirumuskan dalam “Trilogi Pembangunan” yang terdiri
atas:
• Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Idonesia.
• Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
• Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Melalui Trilogi Pembangunan ini sejak GBHN Tahun
1973 sampai GBHN 1993, sasaran pembangunan selalu dibagi ke dalam empat bidang, yaitu:
• Bidang ekonomi;
• Bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan sosial budaya;
• Politik, aparatur pemerintahan, hukum dan hubungan luar negeri;
• Pertahanan keamanan nasional.
• Pembangunan hukum sebagai salah satu sektor dari pembangunan di bidang politik,
maka tampak bahwa tatanan hukum lebih dipandang sebagai subsistem dari tatanan
politik yang berarti bahwa tatanan hukum disubordinasikan dari tatanan politik. Hal
ini berarti juga memandang hukum hanya sebagai instrumen saja.
• Penuangan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan mengacu pada
Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973
tentang irarki peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan apa yang
diamanatkan dalam UUD 1945. Hierarki dimaksud adalah:
• Undang-Undang Dasar 1945
• Ketetapan MPR
• Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
• Peraturan Pemerintah
• Keputusan Presiden
• Peraturan pelaksanaan lainnya:
• Instruksi Menteri
• dan lain-lain.
Pada masa Orde Baru, antara kurun waktu tahun 1993 sampai dengan 1997 terjadi perubahan
paradigma politik. Pada saat itu pembangunan hukum dikeluarkan dari pembangunan bidang politik
dan ditempatkan secara tersendiri. Secara formal GBHN 1993-1998 terbuka jalan bagi pandangan yang
tidak lagi melihat hukum sebagai subsistem dari tatanan politik, melainkan tata hukum telah dilihat
sebagai sub sistem dari sistem nasional. Sasaran pembangunan dalam GBHN sebagaimana yang diatur
dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993, disebutkan sasaran pembangunan nasional dibagi ke
dalam tujuh bidang, yaitu:
•Bidang ekonomi
•Bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan kebudayaan
•Bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
•Bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
•Bidang hukum
•Bidang politik, aparatur negara, penerangan, komunikasi dan media masa
•Bidang pertahanan keamanan
•Penyelenggaraan pemerintahan pada masa Orde Baru menyalah gunakan ketentuan peraturan
perundang-undangan demi suatu kekuasaan. Penyimpangan ini dapat dilihat dari praktek-praktek
ketatanegaraan dengan melakukan penafsiran
•paradigma UUD 1945 melalui konsepsi negara integralistik sebagai acuan dasar dalam pembangunan
politik, sehingga memunculkan kekuasaan negara yang sangat kuat dan tanpa kontrol, khususnya pada
lembaga eksekutif.
• Masa Orde Reformasi
Pada masa ini, timbul semangat anak komponen bangsa untuk menuntut reformasi
politik di dalam sistem ketatanegaraa Indonesia untuk perbaikan dalam kehidupan
bernegara. Semangat ini muncul dalam suatu gerakan yang dipelpori oleh mahasiswa
yang menginginkan menuntut agar kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan
dengan lebih demokratis. Dari gerakan ini, maka dilakukanlah perubahan UUD 1945
oleh MPR melalui amandemen yang dilakukan selama empat kali. Dengan
perubahan ini, semula UUD 1945 terdiri dari 16 bab dan 37 pasal, dan setelah
amandemen ini maka UUD 1945 berubah dalam bentuk 20 butir pasal tetap, 43 butir
pasal diubah, dan 128 pasal merupakan tambahan baru.
• Empat kali perubahan itu dapat dilihat dalam bentuk:
• Perubahan pertama menyangkut pembatasan kekuasaan Presiden , meliputi Pasal 5,
7, 9, 13,14,15, 17, 20, dan 21.
• Perubahan kedua, ada tiga kali persidangan yang meliputi
• Perubahan ketiga menyangkut tentang Lembaga Kepresidenana dan lembaga
Perwakilan Rakyat yang belum terbahas dalam amandemen ke tiga, serta
penghapusan lembaga negara Dewan Pertimbangan Agung dan pelembagaan Bank
Indonesia yang diikuti dengan Permasalahan Pendidikan dan Kebudayaan serta
Perekonomian Sosial dan Kesejahteraan Sosial, yang meliputi: Pasal2, 6A, 8, 11, 16,
23D, 24, 31, 32, 33, 34, 37, Aturan Peralihan I-III, dan Aturan Tambahan I-II.
PTHI
(PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA)

&
PHI
(PENGANTAR HUKUM INDONESIA)
• Tata Hukum = recht orde
• Tata = susunan
• Susunan hukum yang terdiri atas aturan-
aturan hukum yang ditata sedemikian
rupa sehingga memudahkan untuk
menemukannya sebagai dasar
penyelesaian peristiwa hukum yang
terjadi di masyarakat
• Tata hukum = hukum positif
IUS CONSTITUTUM = HUKUM
POSITIF
• Tata hukum yang sah dan berlaku pada waktu tertentu
dan di negara tertentu
• PTHI objek studinya adalah hanya mempelajari hukum
yang sedang berlaku di Indonesia
TUJUAN MEMPELAJARI
TATA HUKUM INDONESIA

• Mempelajari tata hukum = mempelajari


hukum positif Indonesia, al:
• Kerangka hukum di Indonesia
• Perbuatan yang melanggar hukum
• Perbuatan yang wajib dilakukan
• Kedudukan, hak, kewajiban masyarakat
Tata hukum Indonesia adalah tata/susunan
hukum yang
• ditetapkan oleh pemerintah negara Indonesia
• saling berhubungan dan saling menentukan
• berkembang secara dinamis
Perkembangan masyarakat diikuti oleh
perkembangan aturan yang mengubah
pergaulan hidup, sehingga tata hukum selalu
berubah (struktur terbuka)
DIMENSI HUKUM POSITIF

1. Dimensi kesejarahan
2. Dimensi perkembangan

STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM NASONAL


• Dimensi pembinaan hukum
• Dimensi pembaharuan hukum
• Dimensi penciptaan hukum
Contoh:
• Hukum Perbankan – Hukum Perjanjian
(KUHP) – Hukum Acara Perdata
• Hukum Perjanjian (KUHP) – Hukum
Informasi dan Transaksi Elektronik
• KUHP (Buku II tentang benda) – UUPA -
UUHT
• Contoh lain.
OBJEK PHI
• Hukum positif
• Hukum yang pernah berlaku di
Indonesia
• Hukum yang akan datang dan masih
merupakan cita-cita (ius constituendum)
PENGERTIAN:
SEJARAH TATA HUKUM
• Sejarah:
• pencatatan
• kejadian penting di masa lalu
• Kebenaran nyata (konkrit)

• Pencatatan atau penulisan kejadian penting atas perubahan atau


penggantian aturan-aturan lama yang sudah dianggap tidak sesuai
dengan keinginan masyarakat dalam rangka mencapai keadilan,
kepastian dan kemanfaatan hukum.
POLITIK
HUKUM
PENGERTIAN:
POLITIK HUKUM
• Pernyataan kehendak dari pemerintah negara mengenai
hukum yang berlaku di wilayahnya dan ke arah mana hukum
akan dikembangkan
• Tujuan dan alasan dibentuknya peraturan per-UU-an
PENTINGNYA POLITIK HUKUM

1. Sebagai alasan mengapa diperlukan


pembentukan suatu peraturan per-UU-
an
2. Untuk menentukan apa yang hendak
diterjemahkan dalam kalimat hukum
dan menjadi perumusan pasal
87
GOLONGAN
POLITIK HUKUM
• KEBIJAKAN DASAR
(BASIC POLICY)
• KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN
(ENACTMENT POLICY)
88
1. KEBIJAKAN DASAR
(BASIC POLICY)

YAITU:
❖ POLITIK HUKUM YANG MENJADI ALASAN
DASAR DIADAKANNYA SUATU PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN.
❖ SIFAT: NETRAL DAN MENGANDUNG NILAI
UNIVERSAL TUJUAN DAN ALASAN
PEMBUATAN UU
89
2. KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN
(ENACTMENT POLICY)
YAITU:
POLITIK HUKUM YANG MENJADI TUJUAN ATAU
ALASAN YANG MUNCUL DIBALIK
PEMBERLAKUAN PERUNDANG-UNDANGAN
SIFAT: MEMILIKI MUATAN POLITIS DAN
BERGANTUNG KEPADA APA YANG DIINGINKAN
PEMBUAT UU. SECARA EKSPLISIT TERDAPAT DI
DALAM KONSIDERAN MENIMBANG ATAU
PENJELASAN UMUM

90
PERBEDAAN KEBIJAKAN DASAR DAN KEBIJAKAN
PEMBERLAKUAN

KEBIJAKAN KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN


DASAR

BERSIFAT NETRAL DAN BERSIFAT POLITIS, DAN TERGANTUNG PADA APA YANG
BERGANTUNG PADA NILAI DIINGINKAN PEMBUAT UU
UNIVERSAL

SAMA PADA HAMPIR SEMUA FAKTOR PENYEBAB SUBSTANSI SEBUAH UU DI SATU


NEGARA NEGARA BERBEDA DENGAN NEGARA LAINNYA WALAU
MEMILIKI DASAR, TUJUAN DAN NAMA YANG SAMA.

HANYA SATU KEBIJAKAN DAPAT LEBIH DARI SATU KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN


DASAR

91
Hubungan antara
tata hukum,
sejarah tata hukum
dan politik hukum?
PENGANTAR
HUKUM
HUBUNGAN
INDONESIA
ANTARA
dengan
PENGANTAR
ILMU HUKUM
PENGANTAR ILMU HUKUM

• MK yang menunjukkan jalan ke arah cabang ilmu


hukum sebenarnya
• Memberikan pandangan umum secara ringkas tentang
ilmu pengetahuan hukum, kedudukan ilmu
pengetahuan hukum
• Tengtang pengertian-pengertian dasar, azas dan
penggolongan cabang hukum
MERUPAKAN PETA DUNIA HUKUM DENGAN
SKALA KECIL
PENGANTAR HUKUM INDONESIA

• MK dasar berkenaan dengan pengetahuan ringkas


tentang hukum yang berlaku di Indonesia secara
keseluruhan
• Mempelajari seluruh cabang ilmu hukum yang berlaku di
Indonesia secara garis besar
PETA HUKUM DI INDONESIA
DALAM SKALA KECIL
DAFTAR PUSTAKA

Abdoel jamali, pengantar hukum


indonesia,raja grafindo persada,
jakarta, 2007
Ishaq, pengantar hukum indonesia,
rajawali pers, depok, 2018.

Anda mungkin juga menyukai