(Google Classroom)
LITERATURE
MATERI SILABUS PHI:
Persamaan: Tujuan
• Yaitu mengatur perilaku hidup bermasyarakat
Perbedaan?
PERBANDINGAN NORMA
NORMA ISI, SIFAT, BENTUK TUJUAN SANKSI
AGAMA Perintah, larangan, anjuran dari Orang beriman, Individual, universal.
Tuhan. bertakwa, selamat Sanksi dosa dengan
Bentuk tertulis dan tidak tertulis dunia akhirat pembalasan di akhirat
KESOPANAN Perintah berupa anjtan berbuat Orang yang sopan Individual, lokal,
baik. /baik dalam temporal.
Sifat tidak memaksa. pergaulan Sanksi celaan dan
Bentuk tidak tertulis bermasyarakat dikucilkan
HUKUM Perintah, larangan. Warga yang patuh Sanksi sama bagi seluruh
Sifatnya memaksa dan dapat hukum warga negara
dipaksakan pelaksanaannya
Bentuk tertulis
ISTILAH P.H.I.
• PHI adalah kepanjangan kata dari Pengantar Hukum Indonesia. Ada tiga
kata dalam istilah ini, yakni “pengantar”, “hukum”, dan “Indonesia”.
• Kata pengantar mempunyai pengertian sebagai mengantarkan kepada
tujuan tertentu, atau dapat pula dimaknai sebagai memperkenalkan yang di
dalam bahasa Belanda disebut inleideing, atau di dalam bahasa Inggris
disebut introduction.
• Sedangkan yang dimaksud dengan kata “hukum” dan “Indonesia”, adalah
“hukum Indonesia” yang dimaknai sebagai hukum yang berlaku di
Indonesia.
• Dengan demikian maka istilah Pengantar Hukum Indonesia dapat dimaknai
sebagai memperkenalkan secara umum atau secara garis besar tentang
hukum di Indonesia.
NEXT
ASAL KATA:
• HUKM (BHS. ARAB)
• RECHT (BHS BELANDA, JERMAN)
• LAW (BHS. INGGRIS)
• LE’I (BHS. PERANCIS)
PENGERTIAN UMUM:
NORMA, KAIDAH, PERATURAN, UU,
PATOKAN YANG MENGIKAT
HUKUM SULIT UNTUK
DIDEFINISIKAN
1. UTRECHT Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang berupa perintah dan
larangan, yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat
NO TOKOH DEFINISI
• Aturan-aturan
• Mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan di masyarakat
• Bersifat konkrit
• Bersumber dari kebiasaan atau dibuat oleh penguasa / badan resmi /
pemerintah
• Bentuk tertulis / tidak tertulis
• Bersifat memaksa
• Akibat hukum bagi yang melanggar
DEFENISI
PENGANTAR HUKUM
INDONESIA
ADALAH :
“MATA KULIAH PENGANTAR YANG
BERTUJUAN MEMBERIKAN
PENGETAHUAN DAN PEMAHAMAN
MENGENAI GARIS BESAR / KERANGKA
HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA
BESERTA AZAS-AZASNYA”
DEFENISI PHI:
• Pengertian PHI
• Kata “tata hukum” adalah terjemahan dari kata recht orde (Bahasa Belanda) yang berarti
memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum. Selama adanya pergaulan hidup
manusia, hukum selalu diperlukan untuk mengatur kehidupan manusia agar ada keteriban
di dalam masyarakat.
• Hukum yang berlaku dalam masyarakat sudah tentu akan dapat diberlakukan dengan baik
apa bila disusun dalam suatu tatanan. Dimaksud dengan susunan hukum ini adalah
“memberikan tempat yang sebenarnya” dengan menyusun dengan baik dan tertib aturan-
aturan hukum itu dalam suatu susunan yang disebut dengan “tata hukum”. Dengan
demikian maka tata hukum itu dapat diartikan sebagai suatu susunan hukum yang
memberikan tempat yang sebenarnya pada aturan-aturan hukum itu untuk terciptanya
ketertiban di dalam masyarakat.
• Tata hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu disebut dengan
hukum positif atau ius constitutum. Sedangkan hukum hukum yang akan berlaku
atau hukum yang dicita-citakan disebut ius constituendum.
HUBUNGAN PHI DAN PIH
• Antara mata kuliah PHI dan PIH memiliki persamaan, yakni keduanya berobyekan tentang hukum.
Disamping itu, kedua mata kuliah ini merupakan mata kuliah dasar yang merupakan prasyarat dalam
kuliah lanjutan/menempuh mata kuliah yang berobyekan hukum. Karenanya mata kuliah PHI dan PIH
merupakan mata kuliah wajib pada program studi yang berobyekan hukum. Sedangkan perbedaan yang
mendasar dari kedua mata kuliah ini, adalah sebagai berikut:
1. PHI (Pengantar Ilmu Hukum), dalam Bahasa Belanda disebut Inleiding tot het Positiefrecht van
Indonesie, atau di dalam bahasa Inggris Introduction Indonesian of Law atau Introduction Indonesian
Positive Law, adalah mata kuliah yang mempelajari hukum positif yang berlaku secara khusus di
Indonesia. Artinya PHI menguraikan secara analisis dan deskriptif mengenai tatanan hukum dan aturan-
aturan hukum, lembaga-lembaga hukum di Indonesia yang meliputi latar belakang sejarahnya, positif
berlakunya, apakah sesuai dengan asas-asas hukum dan teori-teori hukum positif (dogmatik hukum).
2. PIH (Pengantar Ilmu Hukum), dalam bahasa Belanda disebut Inleiding tot de Rechtswetenschap (bahasa
Belanda) atau di dalam bahasa Inggris Introduction of Jurisprudence atau Introduction Science of Law,
merupakan mata kuliah pengantar guna memperkenalkan dasar-dasar ajaran hukum umum (algemeine
rechtslehre). Maksud dasar-dasar ajaran hukum ini meliputi pengertian, konsep-konesp dasar, teori-teori
tentang pembentukannya, falsafahnya, dan lain sebagainya yang dibahas secara umum.
NEXT KESIMPULANNYA :
• Kesimpulannya, PIH membahas atau mempelajari dasar-dasar dari
ilmu hukum:
• “secara umum atau yang berlaku secara universal, misalnya
mengenai pengertian-pengertian, konsep-konsep dasar dan teori-
teori hukum, serta sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-
lembaga hukum dari sudut pandang falsafah kemasyarakatan.
Sedangkan PHI mempelajari konsep-konsep, pengertian-
pengertian dasar dan sejarah hukum serta teori hukum positif
Indonesia.”
TUJUAN MEMPELAJARI PHI
PHI adalah mata kuliah yang berobyekan hukum yang sekarang berlaku
di Indonesia, atau mata kuliah yang berobyekan hukum positif di
Indonesia. Adapun tujuan mempelajari hukum di Indonesia adalah agar
dapat diketahui tentang:
1)macam-macam hukum di Indonesia;
2)perbuatan-perbuatan apa yang diharuskan, diwajibkan, dilarang, serta yang
diperbolehkan menurut hukum Indonesia;
3)kedudukan, hak, dan kewajiban bagi setiap orang dalam bermasyarakat dan
bernegara menurut hukum Indonesia;
4)macam-macam lembaga penyelenggara negara di Indonesia dalam bidang
legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga-lembaga lainnya;
5)prosedur di dalam melaksanakan hukum (acara peradilan dan prosedur
birokrasi dalam negara) menurut hukum positif Indonesia.
I. HUKUM DALAM ARTI TATA
HUKUM
I. Golongan Eropa
sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS. Adalah hukum perdata yaitu
Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek Van Koophandel (WVK) yang
diundangkan berlakunya tanggal 1 Mei 1848, dengan asas konkordansi, hukum
pidana materiil yaitu Wetboek Van Strafrecht (WVS) yang diundangkan
berlakunya tanggal 1 Januari 1981 melalui S.1915:732, dan hukum acara yang
dilaksanakan dalam proses pengadilan bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura
diatur dalam “Reglement op de Burgerlijke Rechts Vordering” untuk proses
perdata, dan Reglement op de Straf Vordering untuk proses perkara pidana, yang
keduanya mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1981.
Adapun susunan peradilan yang dipergunakan bagi golongan Eropa di
jawa dan Madura adalah:
1.Residentie Gerecht;
2.Raad Van Justitie.
3. Hooggerechtshof.
Sedangkan acara peradilan di luar Jawa dan Madura diatur dalam Rechts
Reglement Buitengewesten (R.Bg) berdasarkan S.1927: 227 untuk
daerah hukumnya masing-masing.
1. Hukum pidana materiil yaitu Werboek Van Straf recht sejak tahun 1918 berdasarkan
S.1915: 723.
2. Hukum acara perdata untuk daerah Jawa dan Madura adalah “Inlands
Reglement”(IR) dan hukum acara pidana bagi mereka diatur dalam “Herziene Inlands
Reglement”(HIR) berdasarkan S.1941: 44 tanggal 21 Februari 1941. HIR ini berlaku di
landraat Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
Susunan peradilan bagi pribumi di Jawa dan Madura
adalah sebagai berikut:
1.District Gerecht, di daerah pemerintahan distrik
(kewedanan);
2.Regentschaps Gerecht, di daerah kabupaten yang
diselenggarakan oleh Bupati, dan sebagai pengadilan
banding;
3.Lanraad, terdapat di kota kabupaten dan beberapa
kota lainya yang diperlukan adanya peradilan ini, dan
mengadili perkara banding yang diajukan atas putusan
Regentschaps Gerecht.
Bagi golongan Timur Asing, berlakulah:
a.Hukum perdata, hukum pidana adat mereka menurut ketentuan
Pasal 11 AB, berdasarkan S.1855: 79 (untuk semua golongan Timur
Asing);
b.Hukum perdata golongan Eropa (BW) hanya bagi golongan Timur
Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda melalui S. 1924 : 557. Dan
untuk daerah Kalimantan Barat berlakunya BW tanggal 1 September
1925 melalui S. 1925: 92;
c.WvS yang berlaku sejak 1 Januari 1918 untuk hukum pidana materiil;
d.Hukum acara yang berlaku bagi golongan Eropa dan hukum acara
yang berlaku bagi golongan pribumi, karena dalam praktik kedua
hukum acara tersebut digunakan untuk peradilan bagi golongan
Timur Asing.
• Berdasarkan pada pasal 163 ayat (1) I.S (Indische Staats Regeling)
penduduk yang mendiami wilayah pemerintahan Hindia-Belanda pada
saat itu dibagi dalam tiga golongan, yaitu:
• 1. Golongan Eropa
• Yaitu yang termasuk golongan Eropa menurut pasal 163 ayat (2) I.S
adalah:
• Semua warga negara Belanda;
• Semua orang yang berasal dari Eropa;
• Semua warga negara Jepang;
• Semua orang yang berasal dari negara lain, yang di negaranya tunduk
kepada hukum kekeluargaannya dan asas-asasnya sama dengan hukum
Belanda; dan
• Keturunan mereka yang tersebut di atas yang diakui menurut Undang-
Undang.
• 2. Golongan Bumiputera
• Yaitu yang termasuk golongan Bumiputera menurut
pasal 163 ayat (3) I.S adalah :
• Rakyat asli Hindia-Belanda (pribumi)
• Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu
membaurkan dirinya kedalam golongan Bumiputera
asli dengan cara meniru atau mengikuti kehidupan
sehari-hari golongan Bumiputera dan meninggalkan
hukumnya atau karena perkawinan
3. GOLONGAN TIMUR ASING
• Yaitu yang termasuk golongan Timur Asing Menurut pasal 163 ayat (4) I.S meliputi penduduk yang tidak termasuk golongan Eropa
dan golongan Bumiputera. Golongan ini dibedakan atas dua bagian, yaitu:
• Golongan Timur Asing Tionghoa (Cina)
• Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, seperti Arab dan India, Pakistan, dan Mesir.
• Ketiga golongan penduduk tersebut di atas tunduk pada hukum perdata yang berbeda-beda sebagaimana diatur dalam Pasal 131 I.S
yang merupakan “Pedoman Politik Hukum” pemerintah Belanda dengan ketentuan-ketentuan berikut ini:
• 1. Ayat 1 menjelaskan bahwa hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum acara perdata, dan hukum acara pidana harus
dicantumkan dalam kitab Undang-undang atau dikodifisir.
• 2. Ayat 2 sub A dijelaskan bawa terhadap golongan Eropa harus diperlakukan perundang-undangan sesuai dengan yang berlaku di
negeri Belanda dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Dan ayat 2 sub A pasal 131 I.S ini sering disebut sebagai ayat
yang memuat asas konkordansi.
• 3. Ayat 2 sub B dijelaskan bahwa bagi golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing, ketentuan Undang-undang Eropa dalam
bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang dapat diperlakukan apabila kebutuhan mereka menghendakinya.
• 4. Ayat 4 menjelaskan bahwa golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing diperbolehkan menundudukkan dirinya kepada
hukum yang berlaku bagi orang Eropa, baik sebagian maupun seluruhnya.
• 5. Ayat 6 dijelaskan bahwa hukum adat yang masih berlaku bagi golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing tetap berlaku
sepanjang belum ditulis dalam Undang-undang.
• Dari pasal-pasal tersebut di atas nampak adanya upaya politik dari pemerintah Hindia-Belanda untuk memecah belah, yaitu dengan
membedakan hukum yang berlaku untuk orang Eropa, Bumiputera dan Timur Asing yang berada di kawasan Hindia Belanda pada
waktu itu.
• Beikut ini penjelasan penggolongan hukum perdata pada ketiga golongan penduduk tersebut:
• a. Golongan Eropa
• Bagi golongan Eropa diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab UndangUndang Hukum Dagang yang
diselaraskan dengan Burgelijk Wetbook dan Wetbook Van Koophandel yang berlaku di negara Belanda.
• b. Golongan Bumiputera
• Bagi golongan Bumiputera berlaku hukum adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan masyarakat tetapi hukum
ini masih berbeda-beda sesuai dengan daerahnya masing-masing. Disamping hukum adat, terdapat beberapa peraturan undang-
undang yang secara khusus di buat oleh pemerintah Belanda bagi golongan Bumiputera, yaitu antara lain :
• Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia kristen atau HOCI (Huwelijke Ordonantie Christen Indonesiers, Staatblad 1933 Nomor 74)
• Ordonansi tentang Maskapai Andie Indonesia atau IMA (Staatblad 1939 No. 509 jo 717)
• Ordonasi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Staatblad 1939 No. 570 jo 717)
• Tionghoa (Cina)
Bagi golongan Timur Asing Tionghoa diberlakukan KUHPerdata dan KUHD dengan beberapa pengecualian, yaitu mengenai
pencatatan sipil, cara-cara perkawinan, dan pengangkatan anak (Adopsi).
• Golongan Timur Asing bukan Tionghoa
Bagi golongan Timur Asing yang bukan Tionghoa diberlakukan sebagian dari KUHPerdata dan KUHD, yaitu mengenai hukum
harta kekayaan. Sementara itu hukum waris (tanpa wasiat), hukum kepribadian dan hukum keluarga berlaku hukum yang berasal
dari negara mereka sendiri.
• Setelah Indonesia merdeka, Indonesia tidak menganut Azas
Konkordansi (Concordantie Beginselen) lagi dan secara tegas
perbedaan penggolongan penduduk tersebut dihapuskan dengan
disahkannya UUD 1945.
• Penghapusan perbedaan golongan penduduk tersebut tercantum
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa “Setiap
warga negara bersamaan dalam kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”
• Selain pasal di atas, hasil Amandemen UUD 1945 yaitu dalam Pasal
28 D ayat (1) juga menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Dalam penyelenggaraan peradilan, di
samping susunan peradilan yang telah
disebutkan di atas juga melaksanakan
peradilan lain, yaitu:
1. Pengadilan Swapraja;
2. Pengadilan Agama;
3. Pengadilan Militer.
Berdasarkan Pasal 163 jo,
Pasal 131 IS. Maka
golongan penduduk dan
sistem hukumnya dapat
dilihat Bagan 2 berikut ini:
Selanjutnya sejarah tata hukum Indonesia sesudah tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebagai berikut:
I.Masa tahun 1945-1949 (18 Agustus 1945-26 Desember 1949).
❑ Setelah bangsa Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, maka
saat itu bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan nasib sendiri, mengatur dan
menyusun negaranya serta menetapkan tata hukumnya, sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945
ditetapkanlah Undang-Undang Dasar yang supel dan elastik dengan sebutan Undang-Undang Dasar
1945.
I.Bentuk tata hukum dan politik hukum yang akan berlaku masa itu dapat dilihat pada Pasal I dan II
aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: Pasal I yang berbunyi: Segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini.
❑Pasal II, semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Menurut ketentuan Pasal I dan II aturan peralihan itu dapat diketahui, bahwa semua peraturan dan
lembaga yang telah ada dan berlaku pada zaman penjajahan Belanda maupun masa pemerintahan
Balatentara Jepang, tetap diperlakukan dan difungsikan. Dengan demikian, tata hukum yang berlaku
pada masa tahun 1945-1949 adalah semua peraturan yang telah ada dan pernah berlaku pada masa
penjajahan Belanda maupun masa Jepang berkuasa dan produk-produk peraturan baru yang dihasilkan
oleh pemerintah negara Republik Indonesia dari tahun 1945-1949.
Masa tahun 1949-1950 (27 Desember 1949-16 Agustus 1950).
Berdasarkan ketentuan Pasal 192 KRIS ini berarti bahwa aturan-aturan
hukum yang berlaku dalam negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal
I dan II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tetap berlaku di
negara Republik Indonesia Serikat.
o Kata sejarah dapat disebut pula dengan historis, yang berarti sesuatu yang
pernah terjadi, atau lebih jelas lagi dapat disebutkan sebagai suatu
pencatatan kejadian-kejadian penting masa lalu yang perlu untuk diketahui,
diingat, dan dipahami oleh setiap orang atau suatu bangsa pada masa kini.
o Jadi bila berbicara tentang Sejarah Tata Hukum Indonesia, maka kita akan
diajak untuk mengetahui bagaimana tata hukum Indonesia pada masa
lampau untuk diketahui, diingat, dan dipahami.
o Perlunya pengetahuan tentang sejarah tata hukum Indonesia ini adalah untuk
memahami tentang hukum di Indonesia pada masa lampau untuk menjadi
koreksi tentang bagaimana hukum yang sebaiknya atau seharusnya
diterapkan bagi bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
• Melihat kurun waktunya, sejarah tata hukum Indonesia dapat diklasifikasi
sesuai dengan kurun waktunya dalam beberapa fase: (i) fase pra kolonial, (ii)
fase kolonial, (iii) fase kemerdekaan. Tentang fase-fase tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
• Fase Pra Kolonial
• Fase Kolonial
• Masa VOC (1902-1799)
• Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942)
• Masa Besluiten Regerings (1814-1855)
• Masa Regerings Reglement (1855-1926)
• Masa Indische Staatsregeling (1926-1942)
• Masa Pemerintahan Balatentara Jepang
• Fase Kemerdekaan
• Masa Orde Lama
ad.1. Periode 1945-1950
ad.2. Periode 1950-1959
ad.3. Periode 1959-1965
• Masa Orde Baru
Orde Baru dimulai setelah kudeta G.30.S/PKI. Terjadi pergantian pemerintahan dari Presiden
Soekarno ke Presiden Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 yang sering disebut dengan
“Supersemar”. Dalam orde ini dirumuskan kebijakan pemerintah melalui Rencana Pembangunan
Jangka Panjang I (RPJP I) yang dimulai Tahun 1969 dengan rangkaian pelaksanaan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Reprlita). Kebijaksanaan RPJP I ini menitik beratkan pada
pembangunan ekonomi. Hal ini dikarenakan pada saat itu saat itu sangat buruk dengan inflasi
600%. Karenanya untuk kelancara dan stabilitas ekonomi itu mensyaratkan adanya stabilitas
politik.
• Otoritas politik pada masa itu bertumpu pada tingkat legitimasi pembangunan/stabilitas ekonomi
dan stabilitas politik dengan pendekatan keamanan terhadap berbagai masalah kemasyarakatan.
Kebijakan yang ditetapkan melalui GBHN, dirumuskan dalam “Trilogi Pembangunan” yang terdiri
atas:
• Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Idonesia.
• Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
• Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Melalui Trilogi Pembangunan ini sejak GBHN Tahun
1973 sampai GBHN 1993, sasaran pembangunan selalu dibagi ke dalam empat bidang, yaitu:
• Bidang ekonomi;
• Bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan sosial budaya;
• Politik, aparatur pemerintahan, hukum dan hubungan luar negeri;
• Pertahanan keamanan nasional.
• Pembangunan hukum sebagai salah satu sektor dari pembangunan di bidang politik,
maka tampak bahwa tatanan hukum lebih dipandang sebagai subsistem dari tatanan
politik yang berarti bahwa tatanan hukum disubordinasikan dari tatanan politik. Hal
ini berarti juga memandang hukum hanya sebagai instrumen saja.
• Penuangan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan mengacu pada
Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973
tentang irarki peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan apa yang
diamanatkan dalam UUD 1945. Hierarki dimaksud adalah:
• Undang-Undang Dasar 1945
• Ketetapan MPR
• Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
• Peraturan Pemerintah
• Keputusan Presiden
• Peraturan pelaksanaan lainnya:
• Instruksi Menteri
• dan lain-lain.
Pada masa Orde Baru, antara kurun waktu tahun 1993 sampai dengan 1997 terjadi perubahan
paradigma politik. Pada saat itu pembangunan hukum dikeluarkan dari pembangunan bidang politik
dan ditempatkan secara tersendiri. Secara formal GBHN 1993-1998 terbuka jalan bagi pandangan yang
tidak lagi melihat hukum sebagai subsistem dari tatanan politik, melainkan tata hukum telah dilihat
sebagai sub sistem dari sistem nasional. Sasaran pembangunan dalam GBHN sebagaimana yang diatur
dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993, disebutkan sasaran pembangunan nasional dibagi ke
dalam tujuh bidang, yaitu:
•Bidang ekonomi
•Bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan kebudayaan
•Bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
•Bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
•Bidang hukum
•Bidang politik, aparatur negara, penerangan, komunikasi dan media masa
•Bidang pertahanan keamanan
•Penyelenggaraan pemerintahan pada masa Orde Baru menyalah gunakan ketentuan peraturan
perundang-undangan demi suatu kekuasaan. Penyimpangan ini dapat dilihat dari praktek-praktek
ketatanegaraan dengan melakukan penafsiran
•paradigma UUD 1945 melalui konsepsi negara integralistik sebagai acuan dasar dalam pembangunan
politik, sehingga memunculkan kekuasaan negara yang sangat kuat dan tanpa kontrol, khususnya pada
lembaga eksekutif.
• Masa Orde Reformasi
Pada masa ini, timbul semangat anak komponen bangsa untuk menuntut reformasi
politik di dalam sistem ketatanegaraa Indonesia untuk perbaikan dalam kehidupan
bernegara. Semangat ini muncul dalam suatu gerakan yang dipelpori oleh mahasiswa
yang menginginkan menuntut agar kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan
dengan lebih demokratis. Dari gerakan ini, maka dilakukanlah perubahan UUD 1945
oleh MPR melalui amandemen yang dilakukan selama empat kali. Dengan
perubahan ini, semula UUD 1945 terdiri dari 16 bab dan 37 pasal, dan setelah
amandemen ini maka UUD 1945 berubah dalam bentuk 20 butir pasal tetap, 43 butir
pasal diubah, dan 128 pasal merupakan tambahan baru.
• Empat kali perubahan itu dapat dilihat dalam bentuk:
• Perubahan pertama menyangkut pembatasan kekuasaan Presiden , meliputi Pasal 5,
7, 9, 13,14,15, 17, 20, dan 21.
• Perubahan kedua, ada tiga kali persidangan yang meliputi
• Perubahan ketiga menyangkut tentang Lembaga Kepresidenana dan lembaga
Perwakilan Rakyat yang belum terbahas dalam amandemen ke tiga, serta
penghapusan lembaga negara Dewan Pertimbangan Agung dan pelembagaan Bank
Indonesia yang diikuti dengan Permasalahan Pendidikan dan Kebudayaan serta
Perekonomian Sosial dan Kesejahteraan Sosial, yang meliputi: Pasal2, 6A, 8, 11, 16,
23D, 24, 31, 32, 33, 34, 37, Aturan Peralihan I-III, dan Aturan Tambahan I-II.
PTHI
(PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA)
&
PHI
(PENGANTAR HUKUM INDONESIA)
• Tata Hukum = recht orde
• Tata = susunan
• Susunan hukum yang terdiri atas aturan-
aturan hukum yang ditata sedemikian
rupa sehingga memudahkan untuk
menemukannya sebagai dasar
penyelesaian peristiwa hukum yang
terjadi di masyarakat
• Tata hukum = hukum positif
IUS CONSTITUTUM = HUKUM
POSITIF
• Tata hukum yang sah dan berlaku pada waktu tertentu
dan di negara tertentu
• PTHI objek studinya adalah hanya mempelajari hukum
yang sedang berlaku di Indonesia
TUJUAN MEMPELAJARI
TATA HUKUM INDONESIA
1. Dimensi kesejarahan
2. Dimensi perkembangan
YAITU:
❖ POLITIK HUKUM YANG MENJADI ALASAN
DASAR DIADAKANNYA SUATU PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN.
❖ SIFAT: NETRAL DAN MENGANDUNG NILAI
UNIVERSAL TUJUAN DAN ALASAN
PEMBUATAN UU
89
2. KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN
(ENACTMENT POLICY)
YAITU:
POLITIK HUKUM YANG MENJADI TUJUAN ATAU
ALASAN YANG MUNCUL DIBALIK
PEMBERLAKUAN PERUNDANG-UNDANGAN
SIFAT: MEMILIKI MUATAN POLITIS DAN
BERGANTUNG KEPADA APA YANG DIINGINKAN
PEMBUAT UU. SECARA EKSPLISIT TERDAPAT DI
DALAM KONSIDERAN MENIMBANG ATAU
PENJELASAN UMUM
90
PERBEDAAN KEBIJAKAN DASAR DAN KEBIJAKAN
PEMBERLAKUAN
BERSIFAT NETRAL DAN BERSIFAT POLITIS, DAN TERGANTUNG PADA APA YANG
BERGANTUNG PADA NILAI DIINGINKAN PEMBUAT UU
UNIVERSAL
91
Hubungan antara
tata hukum,
sejarah tata hukum
dan politik hukum?
PENGANTAR
HUKUM
HUBUNGAN
INDONESIA
ANTARA
dengan
PENGANTAR
ILMU HUKUM
PENGANTAR ILMU HUKUM