Anda di halaman 1dari 31

BAHAN KULIAH

NAMA MATA KULIAH : BUDAYA LAHAN KERING


KEPULAUAN DAN PARIWISATA
KODE MATA KULIAH : MKP 1121
PROGRAM STUDI : AGRIBISNIS
SEMESTER/KELAS : II/ AGB -1
DOSEN PENGASUH : Dr. Ir. M. Abdurrahman, MP
Ir. S.P.N. Nainiti, MSc.Agr
KEBUTUHAN TEKNOLOGI UNTUK
PENGELOLAAN LAHAN KERING
BERIKLIM KERING
Pertanian Lahan kering Berkelanjutan

Untuk pengembangan
pertanian lahan kering Jenis Teknologi pertanian
berkelanjutan, tentu apa saja bisa yg
dibutuhkan JENIS dikembangkan untuk
TEKNOLOGI KHUSUS pengelolaan pertanian
sesuai dgn Iklim Kering lahan kering di daerah
kami Pak.?
KEBUTUHAN TEKNOLOGI UNTUK Pengelolaan
Lahan Kering Beriklim Kering
Setelah mempertimbangkan beraneka ragam
permasalahan yg dihadapi usaha pertanian lahan
kering beriklim kering dan potensi – potensi yg ada
maka utk pengelolaannya dibutuhkan beragam jenis
teknologi yang spesifik. Sebagian jenis teknologi
diantaranya yang dibutuhkan dlm hal ini, secara garis
besar di jelaskan sbb :
1 Kebutuhan jenis-jenis tanaman yang
tahan kekeringan dan karakteristiknya.
. memiliki arti sangat penting bagi
• Air
tumbuhan dan hewan karena 80-95%
tubuhnya terdiri atas air. Selain itu, air
diperlukan untuk melarutkan dan mengangkut
unsur-unsur hara tanaman atau nutrisi.
Berbagai reaksi kimia dalam tubuh tanaman
dan hewan hanya dapat berlangsung jika
terdapat air yang cukup.
Tumbuhan yang tahan kering memiliki
karakteristik sbb:
• Sistem perakaranya dalam dan luas (contohnya asam dan
cendana). Dalam penelitian Nuningsih, dkk. (1994) ditemukan ada
akar pohon cendana yang tumbuh di lahan dengan kelerengan
rata-rata 49,22% sehingga akarnya yang dapat dilihat di permukaan
tanah, panjangnya mencapai 22 m dari batangnya. Panjang akar
tersebut belum termasuk yang masuk ke dalam tanah kembali.
• Daun relatif sempit, sering dengan tepi berlekuk dalam (contohnya
beberapa jenis tanaman rumput).
• Sel-selnya kecil, daun dan batangnya berdaging tebal (contohnya
cocor bebek, anggrek).
• Memiliki banyak berkas pembuluh dan tulang daun (contohnya
tanaman kacang nasi).
• Sel endodermis pada akarnya mengandung
Silika (contohnya sorghum).
• Berbulu atau berambut banyak (contohnya
tanaman buah naga).
• Mulut daun rapat dan sering menutup bahkan
ada yang terdapat dalam lekukan (kriptofor)
• Ada yang memiliki sel kipas yang
menyebabkan daun dapat menggulung untuk
mengurangi penguapan yang terlalu kuat
(contohnya tanaman ubi kayu).
2. Kebutuhan teknologi pengelolaan hara
pada lahan kering
• Sekalipun menggunakan bibit unggul dan ditanam pada
lingkungan dengan agroklimat yang sesuai, pertumbuhan
tanaman tidak akan berlangsung optimal jika struktur tanahnya
tidak mendukung. Hal ini karena tanah bukan sekedar sebagai
tempat tanaman berdiri, tapi merupakan media penyedia
nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Media tanam yang baik bagi tanaman
adalah, mampu menyediakan unsur-unsur hara secara lengkap.
Apabila tidak dapat menyediakan unsur hara yang lengkap dan
cukup maka tanah dikatakan tidak subur. Kondisi ini sama
dengan manusia yang kurang gizi, sehingga mudah terserang
penyakit dan tidak dapat melakukan pekerjaan secara
produktif.
• Paling tidak, ada 16 unsur yang dibutuhkan tanaman yaitu
C, H, O, N. S, P, K, Ca, Mg, Bo, Mo, Cu, Mn, Fe, Zn, Cl. Unsur-
unsur tersebut diperoleh tanaman dari 3 (tiga) sumber,
yaitu: (a) udara (C dalam bentuk CO 2, O2, dan H dalam
bentuk gas H2O), (b) air (H dan O2), dan (c) tanah. Unsur C,
H, dan O ketersediaannya di alam berlimpah sehingga
jarang dipermasalahkan. Lain halnya dengan 13 unsur yang
lain, ketersediaannya di tanah sangat terbatas. Dari ke-13
unsur tersebut, ada 6 unsur yang dibutuhkan tanaman
dalam jumlah banyak yaitu N, P, K, Ca, S dan Mg oleh sebab
itu disebut “unsur makro”. Bahkan N, P, dan K disebut
sebagai “hara pokok” karena mutlak dibutuhkan tanaman
untuk tumbuh. Tujuh unsur lainnya Bo, Mo Cu, Mn, Fe, Zn
dan Cl dikenal sebagai “unsur hara mikro”. Sementara Ca, S
dan Mg dikenal sebagai unsur hara penunjang.
• Dalam melaksanakan usaha pertanian terkait dengan
pemupukaan adalah, bagaimana menentukan unsur
hara yang paling membatasi pertumbuhan tanaman
dan seberapa banyak yang dibutuhkan? Cara terbaik
untuk menentukan unsur-unsur hara yang paling
membatasi, dan berapa banyak pupuk yang
dibutuhkan adalah dengan melakukan analisa tanah,
analisa tanaman dan percobaan lapang. Tiga faktor
yang perlu diperhatikan dalam menentukan
kebutuhan hara tanaman adalah tingkat kesuburan
dan sifat-sifat tanah, tanaman yang akan ditanam,
dan tingkat hasil yang diharapkan.
• Tingkat kesuburan dan sifat-sifat tanah. Pada tanah yang sangat
subur tanaman dapat menyerap lebih banyak unsur-unsur hara dari
tanah, baik hara tanah asli maupun hara yang ditambahkan dalam
bentuk pupuk, melebihi dari yang diperlukan untuk menentukan
hasil. Kelebihan unsur hara yang diambil oleh tanaman yang tidak
meningkatkan hasil tersebut dinamakan “komsumsi berlebihan”
(luxury comsumtion) yang kadang-kadang terjadi untuk unsur hara
K. Juga kehilangan unsur hara melalui pencucian sangat besar pada
tanah-tanah yang bertekstur kasar dan daya serapnya rendah.
• Tanaman yang akan ditanam. Kebutuhan hara juga tergantung
pada jenis dan varietas tanaman yang akan ditanam dan bagian
tanaman yang dipanen. Tanaman ubi-ubian, legum atau biji-bijian,
daun atau buahnya masing-masing mempunyai kebutuhan hara
yang berbeda. Bahkan jenis tanaman yang sama tetapi berbeda
varietasnya juga mempunyai kebutuhan hara yang berbeda.
• Tingkat hasil yang diharapkan. Tanaman
membutuhkan lebih banyak unsur-unsur hara untuk
menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Hal ini
berarti bahwa lebih banyak unsur-unsur hara yang
perlu disediakan dan diambil dari dalam tanah untuk
diangkut keluar dari lahan pertanian dalam bagian
tanaman yang dipanen. Walapun demikian, jika
dilakukan pengelolaan yang baik maka hal tersebut
juga berarti bahwa lebih banyak unsur-unsur hara
akan dapat dikembalikan ke lahan melalui daur
ulang sisa tanaman yang juga akan bertambah
banyak sejalan dengan peningkatan hasil.
3. Kebutuhan teknologi pengendalian erosi
pada lahan kering
• Subagyo et. al. (2000) menghitung luas lahan berdasarkan
pengelompokan bentuk relief atau topografi, dengan
menggunakan Atlas Tanah Explorasi Indonesia skala 1 :
1.000.000. sebagai sumber datanya. Kriteria pengelompokan
bentuk topografi tersebut disajikan pada tabel berikut.

TOPOGRAFI LERENG (%) PERBEDAAN KETINGGIAN


(M)
Datar 0–3 <2
Datar agak berombak 3–8 2 – 10
Berombak agak 8 – 15 10 – 50
berombak
Berbukit 15. – 30 50 – 300
Bergunung >30 > 300
• Proses erosi adalah proses pemindahan sejumlah besar
tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media air
atau angin. Di daerah beriklim kering dengan musim
hujan yang pendek tapi dengan intensitas curah hujan
tinggi, lahan rentan mengalami erosi. Erosi dikendalikan
oleh faktor iklim yaitu curah hujan. Tumbukan butir
hujan menghancurkan agregat tanah sehingga terjadi
penyumbatan pori tanah, sehingga infiltrasi air
berkurang yang menyebabkan terjadinya aliran
permukaan. Aliran permukaan selanjutnya tidak hanya
menghanyutkan tanah tetapi juga hara yang terkandung
di dalamnya (peristiwanya disebut leaching). Kehilangan
hara akibat erosi dan aliran permukaan pada lahan
kering berlereng menimbulkan degradasi lahan yang
sangat serius. Karena itu tindakan konservasi tanah
diperlukan tidak hanya untuk mengurangi erosi tetapi
juga untuk memperbaiki infiltrasi.
• Menurut Meyer (1981), upaya pengendalian erosi
atau konservasi tanah terdiri atas:
• Meredam energi hujan.
• Meredam daya gerus aliran permukaan.
• Mengurangi kuantitas aliran permukaan.
• Memperlambat laju aliran permukaan dan memperbaiki sifat-sifat tanah
yang peka erosi.
• Mencegah longsor.
• Upaya pengendalian erosi dimulai dari pemilihan teknik
konservasi yang paling tepat diterapkan pada lahan pertanian,
sebab satiap teknik mempunyai kekurangan dan kelebihannya
masing-masing serta mempunyai persyaratan yang berbeda.
Pada lahan usaha tani, perencanaan kandang-kandang tidak
diperlukan lagi karena pemilik atau penggerak lahan telah
menerapkan teknik konservasi tanah tertentu. Yang diperlukan
adalah penyempurnaan teknik konservasi tanah yang telah
ada, misalnya mengatur kembali saluran pembuangan air (SPA)
dan menambah komponen lain yang belum ada.
Pengendalian erosi dapat dilakukan secara mekanis dan
vegetative, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
 
Pengendalian Erosi Secara Mekanis, dengan:
•Teras bangku. Dari segi teknis, teras bangku merupakan suatu teknik
pengendalian erosi yang efektif. Teras bangku sebaiknya ditanam rumput pada
tampingan dan guludannya untuk memperkuat agar tidak mudah longsor dan
juga pakan sebagai pakan ternak. Saluran pembuangan air perlu dibuat untuk
mengarahkan aliran permukaan agar tidak merusak ketika menuruni lereng.
Penerapan teknik ini membutuhkan waktu lama untuk mampu menjadi efektif.
Penelitian berbagai teknik konservasi tanah pada tanah Tytic Eutropepts di
Ungaran membuktikan bahwa teras bangku dan juga teknik lainnya baru
menjadi efektif setelah 5 tahun. Beberapa penelitian lain membuktikan,
efektifitas teras bangku bertambah dengan penanaman rumput pada bibir teras.
Sejak tahun 1975, teras bangku telah menjadi bagian dari kegiatan penghijauan
setelah dibentuk Inpres Penghijauan (Siswomartono et al., 1990) karena
mendapat subsidi biaya pembuatan dari pemerintah sebesar 50%
(Mangundikoro, 1975). Hal ini mendorong pembutan teras bangku secara besar-
besaran, walaupun teknik ini memerlukan biaya yang tinggi terutama untuk
tenaga kerja. Teras bangku juga mengurangi luas bidang olah. Sukmana, (1995)
menghitung berkurangnya luas permukaan lahan karena dibangun teras bangku
pada lahan seluas 1,0 ha.
• 
• Teras gulud. Teras gulud merupakan teknik
konservasi tanah yang lebih sederhana dalam
pembuatannya dibandingkan dengan teras
bangku. Teras gulud mempunyai guludan, saluran
air dan bidang olah. Guludan dapat diperkuat
dengan tanaman konservasi seperti serengan
jantan, glirisidia, lamtoro, rumput gajah, rumput
raja, rumput bedeh dan lain-lain. Erosi yang terjadi
pada teras gulud makin berkurang sejalan dengan
bertambahnya waktu sejak penerapan teras gulud.
Penelitian membuktikan bahwa pada tanah
latosol, pengurangan dapat mencapai 70% pada
tahun ke 2, sedangkan pada tanah tropudalf
mencapai 86% pada tahun ke 2. Komponen teras
gulud yang menyebabkan berkurangnya luas lahan
adalah guludan, parid dan SPA.
2. Pengendalian Erosi Secara
Vegetatif, dapat dilakukan dengan:
• Strip Rumput. Rumput ditanam dalam strip searah kontur
dengan lebar 0,5 – 1 meter, dengan tujuan untuk
menghambat laju aliran permukaan dan erosi tanah.
Rumput yang ditanam adalah pakan ternak yang
menghasilkan banyak bahan hijau dan kualitas yang baik
untuk pakan ternak, namun tidak terjadi persaingan
penyerapa zat hara dan pemanfaatan sinar matahari
dengan tanaman semusim. Menurut Abujamin et. Al.
(1983), penyusutan bidang olah tergantung epada
kemiringan lereng dan lebar strip rumput. Penelitian di DAS
Citanduy membuktikan bahwa strip rumput dapat diterima
oleh petani karena mudah penerapannya, biaya murah dan
dapat meningkatkan pendapatan petani (Abujmin et
al1983)
•  
• Mulsa. Mulsa adalah teknik konservasi tanah yang menggunakan
bahan organic berupa sisa-sisa panen tanaman seperti jerami,
brangkasan jagung, kacang tanah dsb. Peranan mulsa dalam KTA
adalah:
• Melindungi tanah dari pukulan langsung dari butir-butir air hujan
sehingga erosi dapat dikurangi dan tanah tidak mudah padat.
• Mengurangi penguapan (evaporasi).
• Menciptakan kondisi lingkungan dalam tanah yang baik bagi aktifitas
mikrooganisme tanah.
• Bahan mulsa setelah melapuk akan meningkatkan bahan lterna tanah.
• Belum dapat ditekan, dan tanah menjadi gembur.

• Efektifitas mulsa dalam mengendalikan erosi tergantung pada jenis


mulsa, kuantitas penutupan permukaan tanah, tebal lapisan mulsa,
dan daya tahan mulsa terhadap dekomposisi. Menurut Suwardjo
(1981) bahwa sisa tanman yang baik untuk dijadikan mulsa adalah
yang mengandung lignin tinggi, seperti jerami padi, sorgum dan
batang jagung.
4. Kebutuhan teknologi rehabilitasi
dan reklamasi pada lahan kering
• Rehabilitas lahan diartikan sebagai upaya pemulihan
atau perbaikan lahan yang telah atau sedang
mengalami penurunan produktivitasnya, agar
kembali ke kondisi semula. Kualitas lahan yang
dimaksud adalah sifat-sifat fisik, kimia dan biologi
tanah, keragaan tanaman yang tumbuh di atasnya,
ketersediaan air/kelmebaban tanah dan iklim makro.
Sedangkan reklamasi lahan diartikan sebagai upaya
pemanfaatan lahan-lahan pertanian yang sudah tidak
berfungsi sebagai faktor produksi menjadi berfungsi
kembali (seperti reklamasi tanah bekas galian tanah,
reklamasi lahan sawah yang tercemar limbah
pengeboran minyak bumi, dll).
• Lahan kritis didefenisikan sebagai lahan yang karena
tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya telah
mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia,
dan biologi, yang akhirnya membahayakan fungsi
hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman
dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah
lingkungan pengaruhnya (Mulyadi dan
Supratohardjo, 1975). Menurut depertemen
kehutanan (1985), lahan kritis adalah lahan yang
sudah tidak berfungsi sebagai media pengatur tata
air dan unsur produksi pertanian yang baik, dicirikan
oleh keadaan penutupan vegetasi kurang dari 25%,
topografi dengan kemiringan lebih dari 15% dan/atau
ditandai dengan adanya gejala erosi lembar (sheet
erosion) dan erosi parit (gully erosion ).
• Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya
disebabkan oleh erosi air hujan. Tanah yang terkikis atau
tererosi, terutama yang terjadi pada lahan pertanian
tanaman pangan menyebabkan kualitas sifat-sifat fisik
dan kimia tanahnya menurun, hasil tanaman berkurang
dan hara-hara tanah hilang terbawa aliran permukaan.
Selain itu, di Indonesia juga terjadi degradasi lahan
akibat penggunaan bahan-bahan agrokimia dan terkena
limbah industri, bencana alam seperti letusan gunung
berapi dan tanah longsor.
• Penyebab lain adalah kegiatan pertambangan,
khususnya penambangan yang dilakukan secara terbuka
(open mining), yang bisa menyebabkan berubah dan
rusaknya bentang alam, termasuk hilngntya tanah
lapisan atas yang sangat berguna untuk pertanian,
terbukanya vegetasi penutup, erosi, pencemaran, dll
(seperti akibat penambangan Mangan di Timor Barat
• Teknik rehabilitaasi untuk memperbaiki atau
meningkatkan kualitas lahan yang mengalami
degradasi adalah dengan pengelolaan bahan organik
dan penerapan teknik pencegahan erosi agar tidak
terjadi degradasi yang berlanjut. Bahan organik yang
biasa digunakan diantaranya adalah pupuk organik
(bahan hijau tanaman legum), sisa-sisa tanaman,
pupuk kandang, dll. Bahan organik disebarkan di atas
permukaan tanah atau dibenamkan ke dalam tanah.
Namun, bahan organik dari jenis bahan hijau atau
sisa-sisa tanaman, sebaiknya disebarkan di atas
permukaan tanah untuk melindungi tanah dari erosi
hujan, menjaga kelembaban tanah dan menghambat
evaporasi. Bahan organik yang dibenamkan ke dalam
tanah, umumnya dimaksudkan untuk mempercepat
proses dekomposisi, sehingga dapat menambah
bahan organik dan unsur hara tanah.
5. Kebutuhan teknologi pengelolaan
bahan organik pada lahan kering
• Lahan-lahan di NTT pada umumnya
mengandung bahan organik rendah oleh
karena itu pupuk organik sangat diperlukan,
dan kebiasaan ladang berpindah dengan cara
tebas bakar perlu disosialisasikan bahwa
sangat merugikan.
6. Kebutuhan teknologi konservasi dan
hemat air di lahan kering
• Kelebihan air pada MH yang berlangsung singkat tapi
dengan intensitas yang tinggi dapat ditampung dalam
waduk kecil-kecil atau embung-embung dan airnya dipakai
untk mengairi area pertanaman pada musim kemarau.
Untuk mengurangi penguapan dari permukaan air yang
tertampung di waduk/embung atau danau alam maka
dapat diberi cairan kimia cetyl alkohol yang akan meluas
membentuk film pada permukaannya. Selain bahan kimia,
permukaan waduk/embung atau danau alam dapat dtutup
dengan bahan-bahan terapung yang permukaannya tipis
dan luas seperti styrefoam. Tanaman air seperti eceng
gondok (Eichornia crassipes).
• Pemberian air yang hemat air dapat diberikan
dengan teknologi irigasi tetes (trickle irrigation),
dengan cara pemasangan selang air berlubang
yang ditanam di bawah tanah dekat perakaran
dan air dialirkan sesuai kebutuhan. Selain itu
dapat diberikan senyawa antitranspirant yang
dapat mengurangi laju transpirasi pada tanaman
sehingga memberikan efek berupa menutupnya
mulut daun, dan membentuk lapisan yang dapat
memantulkan cahaya matahari sehingga
mengurangi sinar matahari yang terserap oleh
daun
7. Kebutuhan teknologi untuk pengendalian
gulma dan hama pada lahan kering
• Gulma selalu menjadi masalah yang sulit diatasi di derah kering dan harus
diatasi dengan pengendalian terpadu, khususnya dengan pemakaian pola
tanam yang tepat yang dapat segera menutup permukaan lahan. Ada
beberapa varietas lokal tanaman tertentu yang lebih toleran terhadap
persaingan dengan gulma. Di tahun 1970-an di Sumba dan Timor dikenal
gulma “rumput belalang” atau “rumput sensus” atau “kirinyu”
(Chromolaena odorata). Disamping merugikan, gulma ini juga bermanfaat
untuk melindungi tanah yang gundul terhadap erosi. Oleh karena itu
gulma ini jangan dimusnahkan tapi harus dikendalikan secara bijaksana.
• Meskipun masih sangat terbatas, survei mengenai hama dan penyakit
tidak dilaporkan adanya epidemi (Wakman, 1987 dalam Semangun,
2001). Rupanya musim kering yang panjang diduga mampu memutuskan
daur hidup dan menghentikan perkembangannya. Penerapan pola tanam
campuran (mix cropping) terbukti efektif yang menyebabkan hama dan
penyakit tidak dapat berkembang ecara epidemis.
8. Kebutuhan pemuliaan tanaman
• Sifat-sifat tahan kering tidak akan bermanfaat jika tidak
digabungkan dengan sifat-sifat yang menentukan
produksi tinggi. Macam-macam sifat tahan kekeringan
dan mampu berproduksi tinggi tersebut ditentukan
oleh banyak gen. Oleh karena itu diperlukan pemuliaan
tanaman, yang merupakan pekerjaan rumit. Menurut
Arnon (1976 dalam Semangun, 2001), para ahli
pemuliaan tanaman memilih melakukan pemuliaan
tanaman untuk menghasilkan varietas dengan sifat
berproduksi tinggi dan memiliki adaptasi yang baik
terhadap musim yang menguntungkan dan yang tidak
menguntungkan
9.Kebutuhan pola tanam yang sesuai untuk
lahan kering beriklim kering
• Upaya mengurangi risiko kegagalan panen di lahan
kering beriklim kering adalah penanaman lebih dari
satu jenis tanaman di atas lahan yang sama pada
waktu yang sama yang disebut dengan pola tanam
“tumpangsari” atau intercropping. Petani di NTT telah
lama menggunakan pola tanam tumpangsari seperti
pola tanam campuran (mix cropping), pola tanam
berlorong (alley cropping), pola tanam “tiga strata”
(pohon, perdu, dan semak yaitu tanaman
perkebunan, tanaman pakan dan tanaman pangan).
•  
SUMBER PUSTAKA
– Nuningsih, R., I.W. Mudita, dan W.I.I. Mella, 1994. Kajian
Permudaan Cendana (santalum album L.) Secara Vegetatif
pada Habitat Alamiah di TTS, NTT. Laporan Penelitian, Pusat
Studi Lingkungan Hidup Undana.

•  
– Semangun, H. 2001. Pembangunan Pertanian di Daerah
Semiarid Indinesia: Aspek Teknis. Dalam Semangun, H dan F.F.
Karwur (Penyunting). 1995. Prosiding Konferensi Internasional
Pembangunan Pertanian Semi Arid Nusa Tenggara Timur,
Timor Timur dan Maluku Tenggara Tanggal 10-16 Desember
1995 di Kupang. Penerbit Widya Sari Salatiga untuk
Pemerintah Provinsi NTT dan Universitas Kristen Satya
Wacana: halaman 203-213..
• Semoga suskes selalu

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai