Anda di halaman 1dari 19

REAKSI

TRANSFUSI AKUT
NON IMUNOLOGI

KELOMPOK 11
ANGGOTA KELOMPOK :
1. Elisabeth Hikmah Nathania (P1337434220012)
2. Isna Lailatul Maulidiyah (P1337434220028)
3. Zenitha Viola Kusuma Yudiasmara (P1337434220044)
DEFINISI REAKSI TRANFUSI
Reaksi transfusi adalah komplikasi atau efek samping yang terjadi
sebagai akibat pemberian transfusi. Dalam hal ini, risiko akibat
transfusi yang didapat mungkin tidak sesuai dengan
keuntungannya. Reaksi transfusi terdiri dari reaksi transfusi
imunologi dan reaksi transfuse non imunologi.
DEFINISI REAKSI TRANFUSI AKUT NON IMUNOLOGI

Reaksi transfusi non imun yang dimaksud di sini adalah reaksi yang
tidak melibatkan sistem imun (reaksi Ag dan Ab) secara langsung.
Reaksi transfusi non imun lebih banyak disebabkan oleh efek
pemberian komponen darah yang berpengaruh terhadap
metabolisme tubuh, seperti penumpukan zat besi (Fe) di dalam
tubuh pasien, maupun efek karena penyimpanan komponen darah
yang menghasilkan berbagai macam substan yang mempengaruhi
metabolisme tubuh. Reaksi transfusi non imun yang bersifat akut
termasuk kontaminasi bakteri, oversirkulasi darah, dan reaksi fisik
serta kimia terkait penyimpanan komponen darah.
MACAM REAKSI TRANSFUSI AKUT NON
IMUNOLOGI
1. Sepsis karena kontaminasi bakteri
di dalam kantong darah

2. Efek transfuse terhadap komponen


darah simpan

3. Efek transfusi dalam jumlah dan


volume besar
1. Sepsis karena kontaminasi bakteri di dalam kantong
darah
Sepsis merupakan reaksi tubuh terhadap infeksi yang cukup berat, jika tidak tertangani
dengan baik, maka dapat terjadi kerusakan organ. Kontaminasi bakteri merupakan penyebab
utama terjadinya infeksi pada pasien paska transfusi.

Resiko kontaminasi bakteri pada komponen darah lebih besar dibandingkan infeksi
menular lewat transfusi darah, seperti : HIV, hepatitis C (HCV), hepatitis B (HBV). Jenis
komponen darah yang sering terkontaminasi bakteri adalah komponen trombosit.

Jenis bakteri yang dapat mengkontaminasi yaitu :


• Bakteri batang Gram negatif (Yersinia enterocolitica, E.coli, Enterobacter/Pantoea sp, Serratia
marcescens dan S.liquifaciens, Pseudomonas sp)
• Bakteri kokus Gram positif (Staph. Epidermidis, Propionibacteria, Staph aureus).
Kontaminasi bakteri dalam darah dapat terjadi beberapa cara, yaitu :

• Berasal dari kulit lengan donor pada saat pengambilan darah. Proses antisepsis
kulit donor yang kurang baik menyebabkan bakteri yang normal terdapat di kulit
donor dapat ikut bersama dengan aliran darah ke dalam kantong darah.

• Proses pengolahan komponen darah, juga rentan terhadap kontaminasi bakteri


dalam kantong darah donor. Pembuatan komponen darah yang tidak aseptik
memungkinkan bakteri dapat tumbuh dan memperbanyak diri di dalam kantong
komponen darah.
• Terjadi pada proses penyimpanan komponen darah. komponen darah untuk
transfusi disimpan dalam kisaran suhu yang beragam.

Sebagai contoh : komponen trombosit yang disimpan pada suhu 22±20 C.


Kondisi tersebut memungkinkan bakteri dapat tumbuh dan memperbanyak diri.
Selain itu, jenis kantong komponen trombosit yang berpori, dapat meningkatkan
kemungkinan kontaminasi bakteri dari lingkungan sekitar.
Gejala ini dapat terjadi beberapa menit
Gejala klinis pasien yang pada saat transfusi. Jika reaksi sepsis
diakibatkan karena kontaminasi terjadi pada pasien transfusi, dengan
bakteri, yaitu : gejala kenaikan suhu tubuh > 20 C dan
• Demam (Kenaikan Suhu hipotensi, maka komponen darah yang
Dapat > 20 C)
ditransfusikan perlu diperiksa dengan
• Menggigil
• pewarnaan Gram dan kultur bakteri.
Mual
• Muntah Sampel pasien setelah transfusi juga

• Hipotensi dikultur, untuk mengetahui kesamaan


• Terjadi Shock. dari jenis bakteri yang terdapat pada
masing-masing sampel.
2. Efek transfuse terhadap komponen darah simpan

Komponen darah yang disimpan dalam jangka waktu


tertentu, akan memberikan reaksi transfusi terhadap
pasien. Faktor fisik sel darah maupun faktor kimia
dari komponen darah dapat mempengaruhi kualitas
komponen darah simpan.

Faktor fisik diantaranya :


kerusakan sel darah Faktor kimia terkait dengan
terutama sel darah merah unsur kimia yang teraktivasi
(hemolisis) pada proses pada proses pengolahan
pengolahan komponen maupun komponen darah.
darah dan penyimpanan.
Selama penyimpanan komponen darah, perubahan-perubahan
metabolik terjadi baik di dalam sel darah maupun di plasma.
Perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi efek terapi dan
pengobatan yang diberikan.
Pada proses penyimpanan komponen darah tidak ada
keseimbangan antara produksi dan destruksi, sintesis dan
pemecahan protein, hanya ada destruksi tanpa ada produksi
sehingga hasil produk metabolisme dan penghancuran sel darah
merah terakumulasi pada larutan di dalam kantong darah. Beberapa
perubahan tersebut dapat mempengaruhi fungsi sel darah yang
ditransfusikan.

Bertambahnya waktu penyimpanan komponen darah,


menyebabkan terjadinya beberapa reaksi oksidatif yang dapat
menyebabkan sel darah merah dilisiskan oleh system imun pasien.
Berkurang/hilangnya fungsi pompa kation dalam sel darah merah pada
komponen darah simpan menghasilkan ketidakseimbangan kadar natrium
(na) dan kalium (K).
Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi kalium darah
(hiperkalemia) pada pasien paska transfusi.
Peningkatan kalium dalam plasma dapat menyebabkan komplikasi
jantung dan bisa berakhir dengan kematian pasien.
Biasanya komplikasi hiperkalemia karena transfusi terjadi pada bayi baru
lahir, pasien gagal ginjal, pasien dengan kondisi hipotermia dan asidosis.

Mikroagregat yang terdiri atas sel lekosit, trombosit dan


benang fibrin yang terbentuk selama penyimpanan
komponen darah dapat menyebabkan reaksi transfusi.
3. Efek transfusi dalam jumlah dan volume besar
Jika transfusi dilakukan pada pasien yang mengalami perdarahan parah dan
harus ditransfusi dengan jumlah darah yang cukup banyak (6 unit kantong darah
dewasa) dalam waktu kurang dari 24 jam, maka berbagai macam reaksi
transfusi non imun dapat terjadi.
A. Reaksi hipotermi
• Dapat terjadi paska transfusi, yaitu pasien yang ditransfusi secara cepat
dengan komponen darah yang disimpan pada suhu 4±2 derajat celcius.
• Kondisi ini dapat menurunkan suhu di dalam tubuh, yang dapat
mempengaruhi hemostasis tubuh pasien.
• Kondisi hipotermia menurunkan metabolisme sitrat dan laktat.
• Meningkatkan derajat hipokalsemia.
• Menurunkan tingkat pelepasan Hb ke jaringan.
• Penurunan fungsi trombosit dan faktor koagulasi, sehingga akan lebih
meningkatkan resiko perdarahan.
B. Keracunan sitrat
• Dapat terjadi ketika sejumlah besar volume komponen plasma yang
mengandung antikoagulan sitrat ditransfusikan ke pasien.
• Transfusi komponen plasma dalam jumlah besar dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan elektrolit tubuh pasien, yaitu menurunnya kalsium
darah (hipokalsemia), menurunnya kadar magnesium darah
(hipomagnesemia), dan jenis elektrolit lainnya.
• Gejala klinis yang terjadi pada pasien dengan keracunan sitrat adalah :
kejang otot, kram, mual, muntah, detak jantung yang tidak teratur dan
lebih lambat dari normal, hipotensi, jika kondisi pasien makin parah,
maka dapat terjadi tetani.
• Pada transfusi dalam jumlah besar, ada kemungkinan terjadinya
mikroagregat trombosit, fibrin dan lekosit. Mikroagregat tersebut tidak
bisa disingkirkan dengan filter darah biasa dengan ukuran 170 µm.
C. Oversirkulasi
• Hal ini terjadi ketika terlalu banyak volume darah yang ditransfusikan
tidak sebanding dengan volume darah yang hilang. Biasanya, kondisi ini
terjadi pada pasien bayi atau anak kecil, jika komponen darah yang
ditransfusikan tidak seimbang dengan berat badan dan total volume darah
pasien. Selain itu, pasien lansia maupun penderita anemia berat dengan
kadar hemoglobin < 5 g/dL juga bisa menderita oversirkulasi paska
transfusi.
• Gejala klinis yang terjadi berupa : susah napas, denyut jantung yang lebih
dari normal (takikardia), hipotensi dan kondisi menjadi parah jika terjadi
pembengkakan paru-paru. Gejala, biasanya terjadi pada kisaran 6 jam
pada saat transfusi.
PENCEGAHAN REAKSI AKUT TRANSFUSI NON
IMUNOLOGI
• Pada saat seleksi donor, harus diperhatikan riwayat donor, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan terhadap infeksi menular lewat transfusi darah. Proses tersebut berguna
untuk mencegah donor yang terindikasi mempunyai infeksi kronis yang dapat menular
lewat transfusi darah dan kemungkinan adanya infeksi bakteri yang dapat
mengkontaminasi komponen darah
• Pada saat pengambilan darah donor, ada baiknya menggunakan kantong darah khusus
yang dapat memisahkan 42 ml aliran darah pertama, sehingga bakteri yang kemungkinan
berasal dari lengan donor dapat disingkirkan.
• Steriltas komponen darah harus dijaga selama proses persiapan dan pengolahan
komponen darah serta proses pencairan plasma darah yang beku (fresh frozen plasma /
ffp, cryopreciptate) di waterbath. Waterbath harus dibersihkan dengan menguras air di
dalamnya dan didesinfeksi setiap minggu untuk mencegah pertumbuhan bakteri
P.Aeruginosa dan B.Cepacia yang biasa mengontaminasi waterbath.
• Komponen plasma juga harus dijaga supaya tetap kering selama proses pencairan plasma
di waterbath dengan bungkus plastik.
PENCEGAHAN REAKSI AKUT TRANSFUSI NON
IMUNOLOGI
• Patuh terhadap SOP dan bekerja dengan memperhatikan aspek sterilitas komponen darah
dapat mencegah terjadinya kontaminasi bakteri pada komponen darah.
• Pemeriksaan QC rutin maupun pemeriksaan skrining sebelum transfusi.
• Pencegahan lainnya terhadap efek komponen darah simpan, yaitu melakukan pemeriksaan
terhadap lisis sel darah merah terkait lamanya masa simpan yang juga dapat merupakan
petanda adanya kontaminasi bakteri.
• Pemeriksaan terhadap penurunan derajat keasaman (ph) komponen trombosit juga dapat
merupakan indikator adanya kontaminasi bakteri.
• Penggunaan alat harus divalidasi
• Pada saat akan didistribusikan untuk transfusi, harus diperhatikan
makroskopis/penampakan komponen darah.
• Pada pasien oversirkulasi, transfusi tidak bisa dilakukan secara cepat dalam periode 4 jam
pertama sesuai standar, melainkan transfusi harus dilakukan perlahan dan bisa saja satu
komponen darah dibagi dalam beberapa kantong.
PENCEGAHAN REAKSI AKUT TRANSFUSI NON
IMUNOLOGI
• Maksimal waktu yang digunakan dari distribusi komponen darah sampai dengan
ditransfusikan ke pasien harus memenuhi ketentuan prosedur pendistribusian darah. Hal ini
dilakukan untuk mencegah penurunan kualitas komponen darah.
• Untuk mencegah reaksi transfusi berupa hipotermia, maka pasien yang harus transfusi darah
dalam jumlah banyak dan cepat bisa menggunakan alat penghangat darah (blood warmer)
yang sesuai.
• Pada pasien yang harus menjalani terapi rutin transfusi darah, untuk mencegah terjadinya
reaksi akumulasi Fe di dalam tubuh, dapat dilakukan pengobatan berupa pemberian
chelating agent yang dapat mengikat Fe dan mengeluarkan dari dalam tubuh.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai