Anda di halaman 1dari 28

ANALISA BREAK EVEN

DALAM SISTEM
PENGANGGARAN
Break Even Point
Pengertian Dan Konsep Analisa
Break even adalah suatu keadaan dimana
penghasilan dan penjualan hanya cukup untuk
menutup biaya, baik bersifat variabel maupun yang
bersifat tetap.
Analisa faktor perubah jumlah keuntungan ;
1) Harga jual produk: naik atau turunnya harga jual
akan berpengaruh terhadap penghasilan dari
penjualan.
2) Jumlah unit yang terjual: juga perubahan dari
jumlah unit terjual akan secara langsung
mempengaruhi penghasilan penjualan.
3) Biaya produksi dan/atau biaya usaha: yang
terakhir ini akan mempengaruhi biaya keseluruhan
yang harus diperhitungkan terhadap hasil
penjualan. 2
Break Evan Point
Manfaat Analisa Break Even Point
Karena anggaran perusahaan adalah alat bantu
manajemen di bidang perencanaan dan pengawasan,
maka penggunaan alat BEP dalam system
penggangaran harus menggunakan data anggaran.

Kegunaan BEP yang di anggarkan adalah ;


• Untuk memberikan gambaran tentang batas jumlah
penjualan minimal yang harus diusahakan agar
perusahaan tidak menderita kerugian, sehingga volume
penjualan dapat direncanakan.
• Untuk menentukan jumlah penjualan yang seharusnya
diperoleh pada persyaratan tertentu, misalnya penjualan
yang memberikan sejumlah laba tertentu.
3
Asumsi Dari Analisa Break Even

Efisiensi perusahaan pada berbagai Harga jual produk perusahaan


tingkat kegiatan juga tidak pada berbagai tingkat penjualan Tingkat penjualan sama dengan
berubah,sehingga biaya variabel tidak mengalami perubahan
setiap unit produk sama untuk
tingkat produksi.
berbagai volume produksi.

Tidak terdapat perubahan pada


Biaya yang diperkirakan itu dapat
berbagai kebijakan pimpinan yang
dipisahkan mana yang bersifat variabel
secara langsung berpengaruh
dan mana yang merupakan beban tetap
terhadap beban tetap keseluruhan.
(fixed cost).

Perubahan dianggap Bahwa biaya pada berbagai


seakan- akan hanya menjual tingkat kegiatan dapat
satu macam produk akhir diperkirakan jumlahnya secara
4
tepat.
Break Even Point
Cara Penentuan Tingkat Break Even
Terdapat tiga cara pendekatan yang dapat dipakai
dalam menghitung tingkat Break Even perusahaan
untuk suatu periode, yaitu:

1. Pendekatan secara Tabelaris, yaitu dengan cara


menghitung jumlah penghasilan dan biaya pada
berbagai tingkat atau volume penjualan/produksi.
2. Pendekatan secara Grafis, yaitu dengan menggambar
kurva penghasilan, biaya tetap, dan biaya total pada
berbagai tingkat penjualan/produksi.
3. Pendekatan secara Arithmatik, yaitu dengan
menggunakan rumus berikut ini:
5
Break Even Point
a. Pendekatan Total

6
Pendekatan per Unit

Data : rencana penjualan perusahaan XY2 , 1986 Biaya Fixed Variabel


Penjualan dianggarkan 200.000 @ 25 =5.000.000 MATERIAL - 900.000
T.K.L - 1.000.000
BOP 700.000 300.000
B. ADMINISTRASI 600.000 100.000

B. PENJUALAN 500.000 300.000


TOTAL 1.800.000 2.600.000 4.400.000
LABA DIANGGARKAN 600.000
KAPASITAS PRODUKSI MAKSIMAL : 250.000 UNIT
Atas dasar data diatas dapat diketahui bahwa:
a. Harga jual per unit Rp 25,-
b. Biaya variabel per unit produk Rp 13,- (Rp 2.600.000
7
dibagi 200.000 unit)
c. Beban tetap produksi maupun biaya usaha keseluruhan
berjumlah Rp. 1.800.000,-
Perkiraan laba pada berbagai tingkat produksi/penjualan sebagai berikut:

Produksi/Penjualan (Dalam Ribuan Rupiah)


100.000 125.000 150.000 200.000
Penghasilan Rp25 2.500 3.125 3.750 5.000
Biaya : VC Rp13 1.300 1.625 1.950 2.600
FC (1th) 1.800 1.800 1.800 1.800
TC 3.100 3.425 3.750 4.400
Laba anggaran -600 -300 0 +600

Pada tingkat penjualan terendah (100.000unit atau Rp 2.500.000) perusahaan akan menderita kerugian
Rp 600.000,- dan pada tingkat penjualan tertinggi (200.000 unit tu Rp 5.000.000) akan memperoleh
keuntungan Rp 600.000,- .
Volume BEP pada penjualan 150.000 unit dengan penghasilan penjualan 8

Rp 3.750.000. TR=TC sehingga pada tingkat tersebut laba perusahaan sama dengan 0.
Produksi/Penjualan (Dalam Ribuan Rupiah)
100.000 125.000 150.000 200.000
Penghasilan Rp25 2.500 3.125 3.750 5.000
Biaya : VC Rp13 1.300 1.625 1.950 2.600
FC (1th) 1.800 1.800 1.800 1.800
TC 3.100 3.425 3.750 4.400
Laba anggaran -600 -300 0 +600

Dengan demikian BEP dicapai pada tingkat


penjualan 75% dari volume penjualan
yang dianggarkan, angka 75% ini juga
sekaligus dapat menunjukkan bahwa
bilamana terjadi penurunan dalam jumlah
sebanyak 100% - 75% = 25% dari volume
yang dianggarkan, maka perusahaan tidak
lagi dapat mengharapkan adanya
keuntungan. 25% menunjukkan batas
maksimal turunnya penjualan atau safety
9
margin.
Margin Of Safety

unit break even


Safety margin = 1 – unit yang
dianggarkan
Atau
unit yang dianggarkan - unit break even
unit yang dianggarkan

Semakin tinggi safety margin, 10

semakin baik perusahaan itu.


Pendekatan Secara Grafis

Dengan menggunakan sumbu X (volume) dan


sumbu Y (nilai rupiah), maka nilai BEP
perpotongan antara kurva penghasilan
keseluruhan dengan biaya keseluruhan (TR=TC).
Gambarnya sebagai berikut :

11
Break even dicapai pada tingkat penghasilan sebesar
Rp 3.750.000,- (Y) atau 150.000 unit (X).
Cara penggambaran disebelah kanan lebih tepat,
menunjukkan biaya variabel-lah yang lebih relevan
untuk ditutup terdahulu sebelum penghasilan
penjualan itu digunakan untuk menutup biaya tetap.
Dengan demikian meneruskan produksimaka kerugian
perusahaan akan lebih kecil bila dibandingkan dengan
kerugian yang harus dipikul akibat menghentikan
produksi.

12
Pendekatan Secara Arithmatik
Penjualan dianggarkan 200.000 @ 25 =5.000.000
Atas dasar Keseluruhan (Rp)
𝑻𝑭𝑪
𝑩𝑬= Atas dasar per Unit
𝑻𝑽𝑪
𝟏−
𝑷𝒆𝒏𝒋𝒖𝒂𝒍𝒂𝒏

1.800.000
BE =
1- 2.600.000
5.000.000

1.800.000
= 1- 0,52

= Rp 3.750.000

13
Rumus BEP secara keseluruhan :
TVC 2.600.000
TR =
5.000.000 = 0,52 atau 52%

Juga disebut sebagai variabel cost ratio, sebesar 52% dari keseluruhan
penghasilan atau 52% dari setiap Rp 1,- penghasilan yang diperoleh
dari penjualan, akan terpakai untuk menutup biaya variabel. Sehingga
sisanya 48% disebut profit volume ratio.
Oleh karena itu perusahaan akan mengusahakan agar variabel cost
ratio ditekan serendah mungkin atau volume ratio dinaikkan setinggi
mungkin.

14
Akibat perubahan asumsi terhadap tingkat Break Event

Berbagai perubahan yang mungkin terjadi antara lain:


a) Kenaikkan dalam harga jual dengan 10% sedang data lainnya tidak berubah,
maka tingkat break event yang baru adalah
TFC 110 % 1.800.000
TVC BE BARU  = 3.414.264 atau 124.155 UNIT
1 2.600.000
1
TR 5.500.000

Kenaikan harga jual akan berakibat turunnya Variable cost ratio dari 52% menjadi 47,3%.
Sehingga bagian penghasilan yang tersedia untuk menutup biaya tetap menjadi lebih besar (dari
48%menjadi 52,7%).
Oleh karena itulah break even dicapai pada tingkat penjualan yang lebih rendah.

15
(b) Biaya variabel naik dengan 10 %, sedang data lainnya tidak berubah. Break even yang
baru menjadi :

TFC 1.800.000
= =4.205.600 atau 168.224 UNIT
TVC  110 % 2.860.000
1 1
TR 5.000.000

Meningkatnya biaya variabel mengakibatkan meningkatnya Variable Cost Ratio menjadi


57,2%.Sehingga beban biaya tetap sekarang dirasakan lebih berat dan break even baru dicapai pada
tingkat 84,1% dari penjualan yang dianggarkan.

16
(d). Pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 50 %, sehingga mengakibatkan
- naiknya biaya variabel dengan 10%
- naiknya biaya tetap dengan 15%
- peningkatan harga jual produk dengan 20%
- penurunan jumlah yang laku terjual dengan 12%
Maka volume break even yang baru menjadi :
TFC 115 % 2.070.000
  =
= 3.955.665,- atau (:30) = 131.855 UNIT
TVC 110 %  88% 2.516.000
1 1
TR 120%  88% 5.280.000

Pengaruh gabungan dari berbagai perubahan itu mengakibatkan meningkatnya Break even dalam nilai Rupiah
(dari Rp 3.750.000,- menjadi Rp 3.955.665,-), namun karena harga jual juga dinaikkan maka BE dalam unit
malah turun dengan 18.145 unit (dari 150.000 unit menjadi 131.855 unit).Dengan demikian pada kasus
ini berbagai perubahan membawa pengaruh positif bagi perusahaan.
17
(e) Perusahaan selain memperoleh laba dari sumber kegiatan yang utama,

Ternyata juga memperoleh pendapatan lain (sampingan) yang bernilai


Rp300.000,- setahun.
Akibatnya terhadap perhitungan BE adalah :
TFC  300.000
=
TVC
= 3.985.333,-
1
TR

Adanya sumber pendapatan non operasi ternyata mempunyai pengaruh positif bagi


perusahaan,yaitu dengan menurunnya BE dengan Rp 625.000,-Dengan adanya
pendapatan lain berarti beban biaya tetap disumbang tidak saja dari sumber yang biasa,
melainkan juga dari sumber non operasi.

18
(f) adanya kerugian non operasi justru menambah beban bagi perusahaan.

Dalam contoh ini digambarkan adanya kerugian non operasi sebesar Rp. 100.000,-

Akibatnya terhadap perhitungan BE adalah :


TFC  100.000
= 3.985.333,-
TVC
1
TR

19
(g) Bilamana perusahaan menjual dua macam produk yakni A dan B yang berbeda
dalam harga jual per unit maupun biaya variabel per unit

Namun kedua produk itu dihasilkan dengan mesin yang sama, sehingga pembebanan biaya tetap
terhadap masing-masing jenis produk tidak mungkin dilakukan tanpa perhitungan yang masak.
Datanya dirubah menjadi seperti berikut.

 
(a) Break even secara keseluruhan 20
(b) Break even untuk masing – masing produk yang dihasilkan.
 
Dengan menggunakan data di atas diperoleh perhitungan break even sebagai berikut :

500.000
245.000 = Rp. 129.032,25
BE KESELURUHAN =
1
400.000

BE/PRODUKSI A = 129.032,25 / 400.000 × 10.000 unit = 3.233 UNIT


BE/PRODUKSI B = 129.032,25 / 400.000 × 8.000 UNIT = 2.580 UNIT

Perhitungan ini didasarkan pada anggapan bahwa sales mix dipertahankan tetap, baik sales
mix sesuai rencana penjualan maupun sales mix perhitungan break even. Sales mix tersebut
adalah :
Anggaran Penjualan = A : B = 10.000 : 8.000 =5:4
Break Even = A : B = 3.233 : 2.580 =5:4

21
(h) keadaan di mana jumlah yang dijual tidak sama dengan jumlah yang
dihasilkan.
Dalam situasi seperti ini timbul masalah dalam pembebanan biaya tetap, khususnya biaya
tetap dari harga pokok pabrik atau harga pokok produksi. Masalahnya adalah apakah produk
yang tidak terjual juga dibebani dengan biaya tetap produksi, ataukah seluruh biaya tetap
produksi seluruhnya menjadi beban produk yang terjual saja.

Untuk menyelesaikan masalah ini terbuka dua macam pendekatan, yakni :


1. DENGAN METODE FULL COSTING (BIAYA PENUH)
2. DENGAN METODE DIRECT COSTING (BIAYA VARIABEL)
 
Pendekatan full costing menyatakan bahwa bagian dari produksi yang tidak terjual harus dibebankan
baik dengan biaya variabel maupun dengan biaya tetap (full cost = FC + VC). Sedangkan pendekatan
Variable Costing menyatakan bahwa bagian produksi yang tidak hanya dibebani dengan biaya variabel
saja. Sedangkan biaya tetap produksi seluruhnya mennjadi beban produk yang terjual.
 
22
a diberikan ilustrasi dimana penjualan hanya meliputi 90% dari volume yang dihasilkan,
aka secara teoretik kedua pendekatan itu dapat disuguhkan dalam bentuk skema berikut ini :

Dengan cara full costing maka 10% dari bagian produksi yang tidak terjual akan
memperoleh alokasi biaya produksi sebesar 10% baik yang berwujud biaya variabel
23
maupun biaya tetap.
Sedangkan skema teoritik dari pendekatan variabel costing/direct costing adalah
sebagai berikut :

Dengan demikian bagian produksi yang tidak terjual hanya dibebani dengan 10% biaya
produksi variabel saja.
24
Data yang digunakan untuk memberikan ilustrasi pendekatan ini adalah sebagai berikut :
(ribuan)
Penjualan dianggarkan 90.000 unit @2000 = 180.000
Biaya dianggarkan pada 100.000 unit
- Biaya Produksi fixed = 80.000
variable = 60.000
140.000
Biaya 10% yang tak terjual = 14.000
Biaya produksi yang terjual = 126.000
Laba kotor......................................................................................... = 54.000
Biaya Usaha : fixed = 10.000
variabel = 9.000
= 19.000
Laba sebelum pajak....................................................... = 35.000
25
BOP dengan metode pendekatan FULL COSTING menghasilkan perhitungan
TFC - 10% (FC Biaya Produksi)
1 - TVC - 10% (TVC Biaya Produksi)
TR yang terjual
 
(80.000 + 10.000) - 10% (80.000)
1 - (60.000 + 9.000) - 10% (60.000)
180.000
BOP dengan pendekatan Direct Costing/
Perhitungan Break even dengan metode Full Variabel Costing akan memberikan hasil :
Costing ini akan menghasilkan harga pokok = 80.000 + 10.000
per unit dan persediaan yang tidak terjual 1 - (60.000 + 9.000) - 6.000
sebesar : 180.000
Anggaran Perusahaan 2 = 90 . 000
= VC / unit + FC / unit 1 - 63 . 000
= Rp 600 + Rp 800 180.000
= Rp. 1.400,- = Rp. 138.462,- atau 69.321 unit

27
Metode Full Costing ternyata menghasilkan break even yang lebih rendah (63.077 unit)
dibanding break even dengan metode direct costing (69.321 unit)
Harga pokok per unit dari persediaan yang tidak terjual adalah :
= VC / unit
= Rp. 600,-
Ternyata harga pokok per unit untuk persediaan yang tidak terjual lebih tinggi pada metode
full costing (Rp 1.400) dibanding dengan metode direct costing (Rp 600)

28

Anda mungkin juga menyukai