Anda di halaman 1dari 12

Kajian Keterkaitan

antara Humor dengan


Dimensi Kebudayaan
Nasional Hofstede :
Kasus Humor Bertema Budaya Flexing
dalam Platform Media Sosial Tiktok

Oleh: Rezky Fajar - 170510190010


Identifikasi
Humor
 Kasus Humor (awalnya menjurus pada lelucon) → Denise Chariesta atau ‘Denise Cadel’.

 Tema Humor: Budaya flexing dan terkadang merambat kepada isu-isu politik.

 Gaya humor: Bercerita dengan nada cepat, pelafalan cadel, penonjolan emosi marah, penggunaan
kosa kata plesetan, terkadang mengandung makna sensitif (mengarah pada kondisi
perekonomian seseorang), tindakan yang tidak mencerminkan perkataan (tidak mencerminkan
sosok crazy rich).

 Tujuan Humor:

1). Satire bagi pelaku flexing, diarahkan kepada para TikTokers yang kerapkali memamerkan barang
berharganya = bukan suatu hal yang pantas, menimbang remaja masih berada pada tanggung jawab
orang tua. Orang yang memperoleh pencapaian akan mengalami kondisi susah terlebih dahulu,
seperti yang dialami olehnya.

2). Menghibur, sejak kontennya dianggap lucu oleh sebagian kalangan. Alih-alih mencoba untuk
mentertawakan netizen, akan tetapi sejatinya ia mentertawakan dirinya sendiri.
Pergeseran Lelucon menjadi
Humor
 Lelucon ditujukan kepada mutualnya (paham konteks lelucon tersebut sebagai sindiran),
namun karena muncul di beranda publik non-mutual, konteks lelucon tersebut gagal
dipahami = memperoleh ujaran kebencian dari publik/netizen.

 Leluconnya di stitch atau dikomentari langsung oleh kalangan selebritis, seperti Rafi
Ahmad (sosok yang kerapkali merepresentatifkan crazy rich Indonesia) = ujaran
kebencian semakin meningkat = popularitas Denise melambung jauh.

 Pemanfaatan situasi dan kondisi sebagai ajang untuk promosi usaha bunganya. Perlahan
ia tumbuh menjadi kreator besar di TikTok (5,8 juta pengikut).

 Seiring berjalannya waktu, publik mulai menyadari bahwa kepribadian Denise di balik layar
berbeda 180 derajat dengan apa yang ia tampilkan. Konten leluconnya perlahan dimaknai
oleh netizen sebagai humor yang menghibur.

 Terdapat dua tipologi netizen di dalam konten miliknya: 1). Kalangan bawah/menengah
(umumnya sudah terbiasa dengan jokes sensitif) = respon santai, sembari sesekali
melontarkan humor/lelucon kembali pada Denise; dan 2). Kalangan bawah/menengah
(umumnya sosok taat agama, pindahan dari aplikasi facebook) = tegang (penuh amarah),
kerapkali membawa kebencian, nilai dan ajaran agama islam untuk mempringati Denise.
Pereferensi Humor dan
Stereotipe Kepribadian Etnis
 Denise lahir di Jakarta, penggunaan bahasa dan logat terkadang mirip dengan orang betawi = besar
kemungkinan identitas kesukannya adalah betawawi, yang terkenal dengan sense of humor-nya.

 Kepribadian orang betawi diresentatifkan melalui sitkom ‘Bajaj Bajuri’ → Stereotipe: “Kelompok
masyarakat yang kampungan, suka bicara ceplas-ceplos, dan berteriak-teriak. Kalau pun mereka tinggal
di rumah gedung, tetap saja sifat Betawi kampungannya tak hilang” (Simanjorang, 2015).

 Gaya humor yang dibawakan oleh Denise: berbicara tidak terkontrol, terkadang membawa isu sensitif
= merepresentatifkan kepribadian orang betawi (meskipun tidak sepenuhnya benar). Barangkali
kepribadian seperti ini, seringkali menjadi prsayarat humor bagi orang Betawi.

 Selain itu, meskipun Denise mempraktikan kehidupan crazy rich, namun hal ini tidak dapat
membohongi publik bahwa sejatinya ia merupakan bagian dari kalangan umum yang sedang
melakoni perannya sebagai orang kaya.

 Tayangan sitkom Bajaj Bajuri meskipun mengundang gelak tawa dari masyatakat, namun juga
mendapat ulasan negatif atau kritik ditinjau dari perwatakan ceritanya.

 Sitkom Bajaj Bajuri dan konten flexing denis, merepresentatifkan bahwa sesuatu yang mengundang
tawa, terjadi apabila terdapat ketidak sesuaian pada apa yang diharapkan dengan apa yang
sebenarnya terjadi (the incongriuty theory).

 Kedua humor ini sejatinya memiliki nilai moral, seperti karakter yang menderita, terkena musibah
mengajarkan bahwa perilaku-perilaku yang tidak sesuai nilai dan norma ini adalah suatu hal yang
tidak baik.
Apa ituFlexing?

 Merujuk pada tulisan milik Ratriani (2022), flexing = bahasa gaul yang digunakan oleh
kalangan ras kulit hitam, → "menunjukkan keberanian" atau "pamer" sejak tahun 1990-an.

 "flex" atau flexing = melenturkan otot seseorang, untuk menunjukkan kekuatan seseorang.
Kemudian menjadi metafora ‘berpikir lebih baik dari yang lainnya’.

 "flex" atau flexing kian populer pada tahun 2014, berkat No Flex Zone dari Rae Sremmurd
yang berarti area untuk orang-orang yang santai, bersikap seperti dirinya sendiri, dan tidak
pamer atau pura-pura menjadi pribadi yang berbeda (Ratriani, 2022).

 Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa flexing merupakan istilah yang ditujukan
kepada seseorang yang kerap menunjukkan sesuatu yang ia miliki atau raih (pamer),
dengan cara yang tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Pelaku flexing ini dianggap
pembohong terhadap status kekayaannya yang sama sekali tidak mencerminkan realita
sebenarnya.
Analisis Keterkaitan Humor
dengan Dimensi Budaya Nasional
1. Turut merepresentatifkan kolektivisme sebagai budaya nasional Indonesia

 Tindakan netizen indonesia mencerminkan inkosistensi kolektivisme


sebagai kebudayaan nasional indonesia, sekalipun dalam ruang maya. Hal
ini terlihat dari comment section yang didalamnya terdapat pesan persatuan
para kelompok masyarakat bawah demi memperjuangkan harga dirinya
yang telah dihina oleh Denise.

 Disisi lain, konten denise yang berbau dengan isu-isu publik, seperti
kebijakan minyak goreng, dampak PPKM terhadap para penggiat usaha,
Kebijakan pengurangan suara adzan, justru memperoleh empati dan ulasan
positif dari publik.

 Hal ini kembali mengisyaratkan bahwa masyarakat atau netizen Indonesia


sangat mudah sekali untuk bersatu dan berempati kepada suatu hal yang
mengandung kepentingan bersama.
Analisis Keterkaitan Humor
dengan Dimensi Budaya Nasional
2. Perbedaan respon netizen terhadap pelaku Flexing mengisyaratkan High Power Distance masih berlaku di
Indonesia
Terdapat perbedaan perilaku netizen dalam menanggapi konten flexing yang di bawakan oleh Denise dan Sica Kohl.
Denise = Netizen meluapkan emosi marah dan mencaci. Dugaan: Denise = kelompok kelas menengah (Cray Rich
Palsu). Terlihat dari latarbelakang perjuangan (pernah mengalami kesesusahan), penerapan gaya hidup hemat,
memiliki hutang usaha = berkembang.
Sisca Kohl = Netizen kagum dan memuji. Dugaan: Sisca Kohl = Kelompok kelas atas (crazy rich sungguhan). Terlihat
dari latarbelakang status keluarganya yang merupakan konglomerat.
Mengapa demikian?
Denise → 1). Dia bukan kelas atas yang mampu mempraktikan crazy rich dengan sempurna; 2). Disetiap konten
flexing-nya mengandung unsur penghinaan yang cenderung dapat menyakiti masyarakat kelompok bawah.
Sisca Kohl → 2). Statusnya jauh diatas Denise; 2). Menampilkan realita kehidupan mewahnya tanpa adanya
pemalsuan dan unsur penghinaan.
Netizen indonesia mencerminkan tingginya indeks penerimaan distribusi kekuasaan yang tidak merata, sekalipun di
ruang media sosial. Mereka cenderung diam, segan, bahkan memuji kepada individu yang memiliki kekuasaan lebih
tinggi daripada dirinya. Berbanding terbalik apabila ia dihadapkan dengan individu yang memiliki kekuasaan di
bawah atau setara dengannya, maka keseganan itu hilang dan bahkan dalam situasi tertentu dapat resisten.
Namun apabila kita melihat dari sudut pandang denis, tampaknya ia justru berusaha resisten dan tidak menerima
ketidak merataan kekuasaan tersebut. Hal ini ia perlihatkan ketika awal mula ia dikenal sebagai seorang penyindir
handal para pelaku flexing di media sosial. Cara dia menyindir, yaitu dengan cara menjadi bagian pelaku flexing atau
memparodikan ulang, namun dengan penambahan unsur-unsur penghinaan, yang sejatinya ia tidak maksudkan
untuk orang lain namun untuk dirinya sendiri.
Analisis Keterkaitan Humor
dengan Dimensi Budaya Nasional
3. Kekontrasan Uncertainty Avoidance (UAI)

 UAI masyarakat Indonesia = rendah, sedangkan UAI netizen = cukup


tinggi.

 Sebagai pembanding: masyarakat Jawa dilihat sebagai kelompok yang


cenderung memendam amarah, untuk mengurangi persilisihan ≠ Netizen
ekspresif meluapkan emosi marah tersebut untuk mengurangi
penghinaan yang dilakukan oleh Denise.
 Selain itu, penyelesaian konflik yang umumnya memiliki preferensi
komunikasi langsung tidak terjadi disini. Netizen melakukan
penyelesaian konflik secara online, sebagai bentuk pemberian sanksi
sosial (hujatan) kepada Denise.
Analisis Keterkaitan Humor
dengan Dimensi Budaya Nasional

4. Mencerminkan orientasi jangka panjang


 Terdapat kecenderungan denise untuk melakukan pemanfaatan
ketenarannya dalam jangka panjang, dengan cara tampil sebagai orang
jahat di depan kamera. Dan kembali kepada wujud aslinya dikehidupan
nyata.
Analisis Keterkaitan Humor
dengan Dimensi Budaya Nasional

5. Sama-sama Merepresentatifkan Masyarakat Feminim dan Maskulin

 Masyarakat maskulin memiliki preferensi untuk ketegasan dan daya


saing, sedangkan masyarakat feminin memiliki preferensi untuk
kesopanan dan kepedulian.

 Tindakan yang dilakukan netizen merepresentatifkan kedua atribut


tersebut.
 Tatkala netizen hadir menjadi sosok yang tegas laykanya maskulin, dan
terkadang memiliki atribut feminin untuk berempati baik kepada
kelompok bawah yang dihina, maupun kepada Denise yang menjadi
sasaran hujatan publik.
Simpulan
• Menurut saya pada beberapa dimensi kebudayaan seperti seperti masyarakat kolektiv, high
power distance dan feminism-maskulin, sejatinya masih menunjukan inkonsistensi budaya
nasional indonesia, meskipun dalam ranah maya sekalipun.
• Sedangkan beberapa dimensi lainnya, seperti penghindaran ketidakpastian, menunjukan
perbedaan.
• Dalam hal ini saya berpendapat bahwa perubahan ini barangkali dipengaruhi oleh arus
globalisasi yang membawa nilai-nilai budaya baru di Indonesia.
Sumber Rujukan

• Mangundjaya, W. L. H. (2013). Is there cultural change in the national cultures of Indonesia? In


Y. Kashima, E. S. Kashima, & R. Beatson (Eds.), Steering the cultural dynamics: Selected papers
from the 2010 Congress of the International Association for Cross-Cultural Psychology.
• Simanjorang, E. F. (2015). Persepsi Pemirsa Terhadap Citra Orang Betawi Melalui Sitkom Bajaj
Bajuri. JURNAL SIMBOLIKA: Research and Learning in Communication Study (E-Journal), 1(1).
Hlm. 93-108
• Zainuddin, M., Yasin, I. M., Arif, I., & Abdul Hamid, A. B. (2018, December). Alternative Cross-
Cultural Theories: Why Still Hofstede?. In Proceedings of International Conference on
Economics, Management and Social Study (pp. 4-6).
• Maulana, T. (2021). Kultur Indonesia menurut Hofstede. Kumparan. https://
kumparan.com/talumaulana07/kultur-indonesia-menurut-hofstede-1vPG1hDgVYT/full.
• Ratniani, V. (2022). Flexing adalah sikap pamer, Ini Asal Mula Kata Flexing. Cari Tahu. https://
caritahu.kontan.co.id/news/flexing-adalah-sikap-pamer-ini-asal-mula-kata-flexing?page=all

Anda mungkin juga menyukai