Anda di halaman 1dari 17

Nama : Mumun Oktafiani

Nim : 33178K20080
D3 FARMASI SEMESTER V
Sejarah Suku Togutil
Suku Togutil oleh beberapa orang disebut dengan Suku Tobelo Dalam. Seperti suku-suku pedalaman lainnya, suku ini juga
tinggal di pedalaman hutan. Suku Togutil hidup di hutan secara nomaden, seperti di kawasan hutan Totodoku, Tukur-tukur,
Lolobata, Kobekulo, dan Buli. Keseluruhan daerah ini termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Aketajawe Lolobata,
Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara.Dilihat dari lokasi tempat tinggalnya, maka Suku Tobutil juga disebut sebagai
suku asli yang mendiami Halmahera. Menurut perkiraan, setidaknya populasi warga togutil saat ini sekitar 600 orang.

Istilah “Togutil” sebenarnya memiliki arti terbelakang. Hal ini berkaitan dengan keberadaan Suku Togutil yang kebanyakan
berada di pedalaman hutan. Berdasarkan lokasi tempat tinggalnya, sudah dapat dilihat bahwa kehidupan orang Togutil
cenderung primitif karena jauh dari peradaban dan perkembangan zaman.
Kehidupannya pun cenderung masih sangat sederhana, bahkan peralatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-harinya masih terbuat dari bahan alam ala kadarnya.
Disebutkan dalam cerita sejarah, bahwa sekumpulan orang yang disebut sebagai Suku Togutil ini tidak mau dijajah
kolonial Belanda dan tidak mau membayar pajak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Belanda. Oleh karena itu,
mereka melakukan pelarian dan mencari tempat persembunyian. Hingga saat ini, masih banyak Suku Togutil yang tetap
tinggal di pedalaman hutan. Kehidupan mereka juga masih sangat sederhana dengan pakaian yang tidak menutupi seluruh
tubuhnya. Sekalipun mereka keluar hutan hingga menuju ke perkampungan di luar hutan, mereka tetap saja akan kembali
ke hutan untuk tetap tinggal di sana.
Mata Pencaharian dan Pemukiman
Kehidupan masyarakat Togutil yang sangat sederhana dan jauh dari peradaban menjadikannya sangat bergantung pada alam. Berbagai macam
hasil hutan menjadi sumber kehidupan bagi mereka.
Suku Togutil umumnya bermukim secara berkelompok di beberapa area hutan. Tak jarang pula mereka mendiami tempat di sepanjang aliran
sungai, sehingga tempat tinggal mereka dekat dengan aliran air sebagai sumber kehidupan. Menurut data sensus, sebanyak 42 rumah tangga
suku ini tinggal dan menetap di sekitar Sungai Dodaga. Bentuk rumahnya masih sangat sederhana dan terbuat dari bahan-bahan yang terbatas.
Umumnya rumah kediaman Suku Togutil terbuat dari kayu dan bambu. Sedangkan atap rumahnya terbuat dari daun palem berjenis Livistonia
sp. Kebanyakan rumah orang Togutil ini tidak memiliki dinding. Rumah yang didiami oleh suku ini juga memiliki lantai dengan jenis papan
panggung, sehingga rumah mereka tergolong unik serta menjadi ciri dari Suku Togutil itu sendiri. Orang Togutil yang hidup di dalam hutan
memiliki kehidupannya yang jauh dari kemajuan. Sebagian besar sumber makanan didapatkan dengan cara berburu. Mereka berburu hewan di
hutan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Seringkali orang-orang ini berburu babi dan rusa. Terkadang juga
mereka mencari beberapa ikan di sungai yang terletak dekat dengan pemukiman mereka. Namun kebiasaan suku Togutil yang suka berpindah-
pindah membuat kebun tersebut tidak diusahakan secara intensif. Keberadaan kebun ini pada akhirnya tidak akan merusak hutan karena tidak
produktif.
Suku Togutil juga mencari dan mengumpulkan beberapa telur megapoda, damar serta tanduk rusa untuk kemudian dijual. Biasanya Suku Togutil
menjualnya dengan cara keluar hutan untuk mencapai daerah pesisir. Orang-orang yang bermukim di pesisir inilah yang akan membeli barang-
barang yang dijual oleh Suku Togutil
Adat Istiadat Togutil

Sistem kekerabatan Suku Togutil menganut sistem patriarkal. Jika seorang wanita sudah menikah, maka ia akan
menjadi bagian dari kelompok keluarga suaminya. Wanita yang sudah menikah juga akan ikut dengan kelompok
suaminya.
Namun pada masyarakat Togutil ditemukan pula pernikahan yang dilakukan antara anggota keluarga yang ada di dalam
suatu kelompok. Umumnya satu kelompok terdiri dari 10 KK. Satu rumah yang dibuat bisa saja dihuni oleh 2 KK.
Dengan adanya banyak orang dalam satu kelompok ini, maka tak heran apabila warga dari suatu KK menikah dengan
warga dari KK lainnya.
Jalinan kekerabatan pada suku Togutil diwujudkan dalam suatu upacara makan bersama. Kegiatan ini dinamakan
makkudotaka. Upacara makkudotaka dilakukan tanpa adanya ikatan waktu. Upacara ini bisa dilakukan kapan saja, baik
sebulan sekali maupun setahun sekali.
Warga Togutil juga memiliki adat istiadat lain, yaitu tidak mengenal adanya kepemimpinan. Dalam hidup berkelompok
ternyata warga Togutil hanya mengangkat seseorang untuk dijadikan sebagai panutannya.
Biasanya panutan ini dipilih karena orang tersebut dianggap cakap dan cukup piawai dalam berburu dan mengobati
orang sakit. Dalam hal ini Suku Togutil memiliki ritual pengobatan yang dikenal dengan istilah “maidu-idu”.
Istilah tersebut memiliki arti yang sama dengan tidur. Pengobatan ini dilakukan dengan cara membuat orang yang sakit
menjadi kerasukan. Setelah itu roh halus yang merasukinya akan mengungkapkan penyebab penyakit yang diderita oleh
orang tersebut, sehingga bisa dicari langkah-langkah pengobatannya.
Agama dan Kepercayaan
Kepercayaan asli Suku Togutil sebenarnya cenderung mengacu pada adanya makhluk halus. Mereka juga percaya pada kekuatan adikodrati yang
ada di sekitar lingkungan hidup mereka. Makhluk-makhluk halus ini seringkali disebut dengan istilah “ohitana” dan dipercaya dapat melakukan
perbuatan yang mengarah pada kebaikan.

Namun makhluk-makhluk halus ini juga dianggap bisa bersifat mengganggu. Untuk mengendalikan perilaku makhluk halus tersebut, maka suku
togutil seringkali melakukan upacara Gomanga yang biasanya dilakukan baik secara individu maupun secara kolektif.

Akan tetapi, seiring perekembangan zaman beberapa orang dari suku Togutil telah mengenal agama Islam dan menganutnya. Pengenalan
terhadap agama Islam ini umumnya dialami oleh warga Togutil yang telah hidup di area luar hutan dan mulai mengenal peradaban.

Suku Togutil saat ini tampaknya mengalami sedikit perkembangan. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya orang-orang Togutil yang
keluar dari pedalaman hutan dan memutuskan untuk menetap di luar hutan.

Kebanyakan orang-orang Togutil kini hidup di wilayah pesisir. Namun ada pula beberapa dari orang Togutil yang mulai hidup di daerah
perkampungan masyarakat dan menjalani kehidupannya seperti masyarakat lainnya. Mereka juga berpakaian secara pantas dan mulai mengenal
pendidikan formal.
Pemanfaatan Tumbuhan Obat oleh Suku Togutil di Daerah Penyangga
Taman Nasional Aketajawe Lolobata
Salah satu masyarakat yang hingga kini memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan obat tradisional adalah Suku Togutil
(suku pedalaman) di Halmahera Timur Maluku Utara. Pengetahuan pemanfaatan tumbuhan obat tadisional suku
pedalaman dapat hilang ketika terjadi perubahan pola pikir masyarakat akibat adanya interaksi dengan masyarakat yang
lebih modern, seperti interaksi Suku Togutil dengan orang-orang transmigran.
Sejumlah 69 jenis dari 40 famili dicatat sebagai tumbuhan yang dimanfaatkan secara tradisional sebagai bahan obat oleh
Suku Togutil. Keanekaragaman jenis tumbuhan obat dalam famili berkisar 1-5 jenis. Famili yang memiliki lebih dari 2
jenis digunakan sebagai obat adalah Euphorbiaceae (5 jenis), Zingiberaceae (5 jenis), Malvaceae (4 jenis), Solanaceae (4
jenis), Arecaceae (3 jenis), dan Lamiaceae (3 jenis). Tumbuhan obat Suku Togutil digunakan sebagai bahan tunggal (satu
jenis tumbuhan) atau suatu ramuan (campuran beberapa jenis tumbuhan) untuk mengobati 45 kategori penyakit. Bagian
yang dimanfaatkan dari jenis-jenis tumbuhan tersebut adalah kebanyakan daun (43 jenis), kemudian berturut-turut kulit
batang dan buah (7 jenis masing-masing), batang (5 jenis), rimpang (3 jenis), akar, cabang muda, dan biji (1 jenis
masing-masing), serta seluruh bagian tumbuhan (1 jenis). Berdasarkan cara penggunaannya, jenis-jenis tumbuhan
digunakan sebagai bahan obat oles (42 jenis), obat oral (25 jenis), obat tetes (1 jenis), dan obat nasal (1 jenis). Survei
menunjukan hasil bahwa lima jenis tumbuhan ini, hatobu (Gluta renghas), totabako (Blumea balsamifera), leleko
(Graptophyllum pictum), mayana (Plectranthus scutellarioides), dan igo-igono (Physalis angulatal. Jenis-jenis tersebut
adalah bahan obat pilihan pertama, tidak dapat digantikan bahan lainnya, serta memiliki intensitas penggunaan tinggi.
Suku Ternate
Sejarah Suku Ternate
Suku Ternate merupakan suku bangsa yang berdiam di Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara, dan sekitarnya, dengan
populasi sekitar 50.000 jiwa. Bahasa ibu orang Ternate adalah Bahasa Ternate, yang banyak memengaruhi bahasa
Melayu Maluku Utara, yakni bahasa persatuan di Maluku Utara. Mata pencaharian Suku Ternate, terutama adalah
bertani dan melaut (mencari ikan). Komoditas pertanian yang terkenal dari kawasan ini adalah cengkeh, kelapam dan
pala. Suku Ternate juga dikenal sebagai pelaut yang ulung.
Sebelum masuknya Islam dan berdirinya Kesultanan Ternate, Suku Ternate terbagi dalam empat kelompok sosial
masyarakat, yakni:
1. Tubo, penduduk yang berada di kawasan puncak atau lereng sebelah utara Pulau Ternate
2. Tobona, penduduk yang mendiami kawasan di lereng sebelah selatan, di Foramadiyahi.
3. Tabanga, penduduk yang berdiam di kawasan pantai bagian utara, dan
4. Toboleu, penduduk yang tinggal di kawasan pesisir pantai timur di Ternate.
Keempat kelompok besar masyarakat tersebut terbagi-bagi lagi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil, yang
mendiami kawasan yang disebut gam. Penghuni gam umumnya terdiri dari beberapa keluarga/kerabat, yang dalam
bahasa setempat disebut sebagai soa (kelompok marga).
5. Setiap soa dipimpin oleh seorang fanyira, dan para kepala soa atau fanyira tersebut dibawah kepemimpinan
seorang momole (kepala kampung). Istilah“momole” mungkin diambil dari kata “tomole”, yang dapat berarti
kehebatan atau kesaktian. Jadi, secara harfiah, “momole” berarti orang yang dipilih untuk dijadikan pemimpin
karena ia dinilai mempunyai kelebihan kesaktian dalam berbagai hal.
Sejarah Suku Ternate
Di antara kelompok-kelompok yang pada waktu tersebut masih menjalankan sistem pemerintahan yang sederhana
tersebut, terkadang terjadi pertentangan demi memperebutkan hegemoni.
Setelah agama Islam hadir, sistem pemerintahan Momole berubah. Keempat momole tersebut, bersatu dengan dipimpin
oleh seorang “kolano”. Seiring perkembangan dan menguatnya pengaruh Islam terhadap kehidupan sosial Suku Ternate,
dan wilayah di sekitarnya, yakni Tidore, Bacan, dan Jailolo, berkembang juga pemerintahan-pemerintahan lokal dibawah
para kolano.
Dalam perkembangan selanjutnya, keempat kolano ini yang masing-masing juga membawahi wilayah Bacan, Jailolo,
Ternate, dan Tidore bersepakat bergabung untuk membentuk “konfederasi” persekutuan, yang disebut dengan persatuan
“Moloku Kie Raha”.
Pada saat penggabungan, Ternate dipimpin oleh Sida Arif ma Lamao yang merupakan kolano ke-7. Ia memerintah
kurang lebih selama sembilan tahun (1322-1331 Masehi). Dalam konfederasi ini, sistem pemerintahan di Ternate dan
wilayah lainnya semakin disempurnakan.
Pada 1486 Masehi, ketika kepemimpinan kolano ke-19 yaitu Zainal Abidin. Beliau lah pemimpin Ternate pertama yang
konon menggunakan sebutan “Sultan” untuk pemimpin pemerintahan dan juga merubah bentuk pemerintahan ke-
kolano-an menjadi “kesultanan”. Sultan Zainal Abidin memerintah dari 1486-1500, dan bergelar Paduka Sri Sultan
Zainal Abidin
Sejarah Suku Ternate
Di dalam struktur kepemimpinan tradisional kesultanan Ternate, memiliki semacam “Dewan Rakyat” yang disebut
dengan “Gam Raha”. Gam Raha merupakan dewan dengan empat perwakilan kelompok masyarakat yang menyokong
kesultanan Ternate, yakni::

• Soa-Sio, yakni komunitas masyarakat yang terdiri dari sembilan kelompok Soa atau distrik yang berada di wilayah
pusat kekuasaan kesultanan.
• Sangadji, yakni komunitas beberapa distrik yang berada di negeri seberang atau wilayah-wilayah yang dijadikan
taklukkan.
• Heku, yakni komunitas suku Ternate yang wilayahnya terbentang dari Ake Santosa ke utara (sekarang merupakan
wilayah Kelurahan Salero) hingga ke wilayah pulau Hiri yang termasuk Halmahera Muka.
• Cim, yakni komunitas masyarakat dari Ake Santosa ke wilayah salatan hingga mencapai batas wilayah desa
Kalumata.
Gam Raha berfungsi mengesahkan calon sultan. Dalam tradisinya, calon pengganti sultan umumnya adalah anak lelaki
putera sultan, tidak hanya yang tertua, tapi semua anak laki-laki sultan punya kesempatan yang sama.
Jika tidak ditemukan dalam garis pertama, maka tahta akan bergeser ke pada anak-anak dari kakak sultan atau anak-anak
dari adik sultan (keponakan), bahkan dimungkinkan dapat langsung ke cucu Sultan (catatan sejarah silsilah para raja-raja
di Ternate). Pun telah ditetapkan menurut hukum adat, calon Sultan itu tetap lah harus disahkan Gam Raha.
Sejarah Suku Ternate
Para calon biasanya terlebih dahulu diajukan oleh pihak dari Soa-Sio dan Sangaji. Selanjutnya apabila calon yang
diajukan tersebut ditolak oleh pihak Cim dan Heku, maka mau tidak mau harus diganti.
Sistem ini merupakan keunikan dan ciri khas “demokrasi” ala Ternate, di mana sistem pemerintahan adalah berbentuk
monarki, tetapi pewaris kekuasaan dilakukan melalui pemilihan atau penunjukan dari Gam Raha, berdasarkan kriteria
tertentu.
Untuk bahasa suku Ternate termasuk dalam kelompok bahasa non-Austronesia dan lebih sering digolongkan ke dalam
kelompok bahasa-bahasa Papua
Mata Pencaharian Suku Ternate
Pada zaman dulu Ternate terkenal hingga ke Eropa sebagai daerah penghasil rempah-rempah, seperti cengkeh, pala,
kopra, kulit manis “Casia vera” dan sebagainya. Pada waktu itu mereka masih senang bercocok tanam berpindah-pindah
dengan tanaman pokok padi ladang, ubi dan sayur-sayuran.
Pada masa sekarang mereka sudah menetap dengan menamam padi, jagung, kacang-kacangan, ketela, ubi dan
menangkap ikan di sungai dan lautan luas di sekitar mereka. Tanaman komoditi seperti pala, kopra, cengkeh, kulit
manis, coklat dan kopi tetap memiliki peranan penting bagi ekonomi rakyat Ternate.
Orang Ternate juga sudah sejak lama mengembangkan kerajinan membuat wadah dari tembikar, membuat hiasan dan
anyaman dari bambu dan pandan. Daerah ini sekarang juga telah menjadi penghasil ikan tongkol terbesar setelah
Ambon.
Masyarakat Dan Agama Suku Ternate
Dalam masalah garis hubungan keturunan umumnya orang Ternate menganut paham patrilineal, tetapi dalam kehidupan
sehari-hari hubungan seseorang dengan kerabat-kerabatannya lebih bersifat bilateral.
Orang Ternate telah memeluk agama Islam sebelum orang Eropa datang ke sana. Agama ini dibawa oleh para pedagang
rempah-rempah dari Sumatera dan Jawa. Pada zaman Kesultanan Ternate wilayah itu terbagi ke dalam beberapa negeri
“distrik” yang dikepalai oleh seorang pembesar kerajaan yang disebut sangaji.
Sebuah Negeri membawahi pula sejumlah desa atau kampung yang biasanya dipimpin masing-masing oleh seorang
kimetaha. Pada masa sekarang dalam pelapisan sosial masyarakat ini tidak terasa lagi adanya kelas-kelas sosial yang
tajam seperti zaman kerajaan dulu.
Alam Roh Dalam Kepercayaan Dan Tradisi Suku Ternate

Kendati hari ini Suku Ternate telah memeluk ‘agama resmi’, jejak-jejak keyakinan lama mereka masih bisa ditelusuri
dari kepercayaan berkenaan dengan keberadaan ‘roh halus’ di sekitar mereka.
Sebagai misal, praktik menjadikan roh halus sebagai ‘teman’ bagi manusia atau ritual-ritual mengusir roh yang dinilai
jahat masih ada di tengah Suku Ternate, terutama di kalangan masyarakat desa. Roh-roh halus tersebut, di antaranya
adalah Wonge, Meki (Lobi-Lobi), Puntiana (Kuntilanak), Caka (Suwanggi), dan Giki.
Wonge adalah sejenis roh halus yang hingga hari ini masih diyakini oleh sebagian kecil Suku Ternate. Konon, dalam
upaya menjadikan Wonge sebagai teman, orang yang bersangkutan harus menyediakan tempat untuknya.
Tempat bersemayam Wonge dalam bahasa setempat disebut “Fala Wonge” atau “Wonge ma Fala”. Fala
Wonge biasanya berada di salah satu sudut rumah atau di tempat lain, di sekitar rumah.
Pemilik Fala Wonge pada saat tertentu wajib menyediakan sesaji, yang biasanya berupa sirih, pinang, batangan rokok,
darah ayam dan sebagainya
Apabila si pemilik menghendaki sesuatu bantuan kekuatan gaib atau pengobatan dari roh gaib, maka ia harus
melaksanakan upacara ritual dengan menyajikan sesaji yang khusus. Kegiatan memanggil roh gaib tersebut dikenal
dengan “Karo Wonge”.
Roh halus lainnya, yakni “Meki”, adalah roh halus yang juga biasa dimintai bantuan oleh manusia, seperti
halnya Wonge. Hanya saja, Meki biasanya selalu meminta imbalan berupa tumbal nyawa manusia, sehingga sering
dikaitkan dengan praktik “ilmu hitam”.
Istilah lain untuk Meki adalah “Lobi-Lobi”. Jenis lain dari Roh Jahat yang dikenal di Ternate adalah “Puntiana” yang di
daerah lain dikenal dengan nama Kuntilanak. Sementara itu, “Caka” adalah salah satu jenis roh gaib yang berada dan
tidak jauh dari lingkungan manusia.
Alam Roh Dalam Kepercayaan Dan Tradisi Suku Ternate

Selama ini, Caka biasanya melakukan penampakan dengan dua cara, yaitu melalui penampakan di tempat-tempat
tertentu, yang kedua adalah dengan merasuk ke dalam raga seseorang, sehingga orang tersebut dengan tanpa sadar
melakukan hal-hal di luar kesadarannya, seperti dalam ritual Cakalele.
Roh halus lainnya adalah “Giki”, yang sejatinya merupakan roh yang kedudukannya dianggap paling tinggi dan mulia,
yang pada perkembangannya diasosiasikan sebagai Tuhan. Dalam bahasa Ternate lama, Tuhan disebut dengan
istilah “Giki Amoi”. Kata “amoi” sendiri berarti “hanya satu-satunya”.
Pengembangan Bahan Ajar Booklet Studi Etnobotani Tumbuhan Obat
Masyarakat Ternate

Masyarakat Ternate merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat Indonesia yang memiliki pengetahuan tradisional
tentang pemanfaatan tanaman obat. Pengetahuan ini diturunkan dari generasi ke generasi. Pengetahuan tradisional
tentang tanaman obat perlu didokumentasikan melalui penelitian etnobotani agar tidak hilang oleh generasi muda.
Pelestarian pengetahuan tradisional dituangkan dalam bentuk buku bahan ajar. Booklet adalah buku kecil yang berisi
rangkuman dan gambar-gambar menarik. Dengan demikian, keberadaan booklet dalam pembelajaran tidak hanya dapat
melestarikan pengetahuan tradisional, tetapi juga dapat meningkatkan minat siswa dalam mempelajari biologi. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan dengan menggunakan model ADDIE (analisis, desain,
pengembangan, implementasi, evaluasi)
Pengalaman Pengkomsusian Obat Herbal di
Ternate
Negara kita menjadi salah satu pusat tumbuhan obat di dunia. Ribuan spesies tanaman tropis, tumbuh subur di seluruh
negeri. Umumnya masyarakat di Kota Ternate Maluku Utara khususnya adalah masyarakat yang masih memegang adat
dan kebiasaan yang secara turun temurun dipertahankan oleh masyarakat setempat. Kota ternate dengan iklim tropis
yang ditumbuhi berbagai macam tumbuhan liar yang tumbuh dengan baik dan tumbuhan yang tumbuh di pemukiman ini
sebagai bumbu penyedap, digunakan oleh nenek moyang untuk kesehatan sebagai obat herbal. Salah satu contohnya
adalah tanaman yang berasal dari pemukiman seperti serei, jahe, lengkuas, kunyit, asam, gula aren, ketumbar, merica dan
rempah-rempah yang diolah menjadi Kuah Rujakasit dapat digunakan pada ibu baru yang dianggap bermanfaat untuk
proses pengeluaran sisa-sisa hasil konsepsi (lochia).

Anda mungkin juga menyukai