Anda di halaman 1dari 157

S U M B E R L I T E R AT U R :

1 . R . S A N T O S O B R O T O D I H A R D J O , 2 0 0 3 , P E N G A N TA R
I L M U H U K U M PA J A K , R E F I K A A D I T A M A ,
BANDUNG.
2 . S E T U S E T YA WA N , 2 0 0 6 , P E R PA J A K A N ,
B AY U M E D I A PA B L I S H I N G , M A L A N G .
3 . H . R O C H M AT S O E M I T R O , 1 9 9 8 , A S A S D A N D A S A R
P E R PA J A K A N 2 ( E D I S I R E V I S I ) , R E F I K A
A D I TA M A , B A N D U N G .
4. UNTUNG SUKARDJI, 2015, POKOK-POKOK PPN
( PA J A K P E R T A M B A H A N N I L A I ) I N D O N E S I A , R A J A
G R A F I N D O P E R S A D A , J A K A RTA .
5 . M U Q O D I M , 1 9 9 3 , P E R PA J A K A N ( B U K U S A T U ) , U I I
P R E S S , Y O G YA K A R T A .
6 . M U H A M M A D D J A FA R S A I D I , 2 0 1 4 ,
P E M B A H A R U A N H U K U M PA J A K , R A J A G R A F I N D O
P E R S A D A , J A K A RTA .
7. Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia,
Yellow Printing, Jakarta.
8.Y.Sri Pudyatmoko, 2005, Pengadilan dan Penyelesaian
Sengketa di Bidang Pajak, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
9. Hendra Karianga, 2013, Politik Hukum Dalam Pengelolaan
Keuangan Daerah, Prenadamedia, Jakarta.
10.John F.Due, 1985, Keuangan Negara, a.b.Iskandarsyah, UI-
Press, Jakarta
11. Gunadi, 2007, Pajak Internasional, Fakultas Ekonomi UI,
Jakarta.
12.Guritno Mangkoesoebroto, 1993, Ekonomi Publik (Edisi 3),
BPFE, Yogyakarta.
HUKUM PAJAK
(MAGISTER KENOTARIATAN)
RUANG LINGKUP HUKUM PAJAK
 Hukum Pajak sebagai bagian dari ilmu hukum, memiliki
ruang lingkup berlakunya maupun materi yang dikandungnya.
 Ditinjau dari berlakunya, dibedakan atas hukum pajak
nasional dan hukum pajak internasional. Sedangkan ditinjau
dari materinya, hukum pajak dibedakan atas hukum pajak
materiil dan hukum pajak formal.
 Hukum pajak nasional adalah hukum pajak yang dietapkan
oleh suatu negara dan berlaku dalam wilayah negara yang
menetapkannya.
 Dalam hukum pajak nasional terdapat hukum pajak daerah
yang ditetapkan oleh uatu daerah tertentu dalam wilayah
negara dan berlaku hanya pada daerah yang bersangkutan.
 Pajak internasional adalah hukum pajak yang ditetapkan oleh dua negara atau
lebih dan berlaku pada wilayah yang terikat dari perjanjian yang diadakan
untuk itu.
 Hukum pajak internasional dapat dibedakan atas hukum pajak internasional
dalam arti sempit dan dalam arti luas.
 Hukum pajak internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhn kidah
pajak yang berdasarkan hukum antar negara seerti traktat-traktat, konvensi-
konvensi dan lain sebagainya, dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak
yang telah lazim diterima baik oleh negara-negara, mempunyai tujuan
mengatur soal perpajakan antara negara-negara yang saling mempunyai
kepentingan. Hukum pajak dalam arti sempit ini semata-mata berdasarkan
sumber-sumber asing.
 Huum pajak internasional dalam arti luas; yaitu keseluruhan kaidah, baik yang
berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi dan prinsip hukum pajak yang
diterima baik oleh negara-negara maupun kaidah-kaidah nasional yang
mempunyai sebagai obyeknya pengenaan pajak dalam mana dapat
ditunjukkan adanya unsur-unsur asing hal mana mungkin dapat menimbulkan
bentrokan hukum antar dua negara atau lebih.
 “Hukum atau ketentuan pajak internasional” yang merujuk pada aspek
internasional dari ketentuan perpajakan suatu negara (terasuk Indonesia).
Dengan sedikit pengecualian, undang-undang pajak belum ada yang
internasional karena disusun oleh suatu negara.
 Demikian juga belum ada suatu praktek dan kebiasaan umum negara-negara
atau Tindakan Lembaga internasional (misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa)
yang mengesampingkan ketentuan internasional perpajakan.
 Aspek internasional yang paling mengemuka dari sistim perpajakan negara
terutama adalah Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B, tax treaty)
yang ditutup oleh kebanyakan negara pemungut pajak.
 P3B umumnya bersifat membatasi hak pemajakan negara penandatanganan
perjanjian, tidak mengenakan pajak malahan bersfat meringankan beban
pajak pra wajib pajak dari negara dimaksud.
 Selain P3B terdapat perjanjian lainnya baik antar negara maupun antara
suatu negara dengan wajib pajak negara lain (individual ruling) yang
mencantumkan masalah pemajakan, misalnya Kerjasama ekonomi,
kesepakatan perlindungan investasi, transportasi internasional, kontrak bagi
hasil (minyak dan gas bumi) dan sebagainya.
 Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara
meliputi 2 (dua) dimensi luas yaitu: (1) pemajakan terhadap wajib
pajak dalam negeri(WPDN) atas penghasilan dari luar negeri, dan
(2) pemajakan terhadap wajib pajak luar negeri (WPLN) atas
penghasilan dari dalam negeri (domestic)
 Dalam aplikasinya pemajakan penghailan luar negeri dilakukan
oleh negara domisili (residence country), sedangkan pemajakan
penghasilan domestic dilakukan oleh negara sumber (source
country)
 Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara
domisili dan sumber tersebut menimbulkan pajak ganda
internasional (international double taxation)
 Sementara itu ketentuan pajak internasional suatu negara pada
umumnya disusun untuk mencapai sekurang-kurangnya 4 (empat)
tujuan: (1) memperoleh bagian penerimaan dari trasaksi lintas
perbatasn secara adil; (2) meningkatkan keadilan (fairness) dalam
perpajakan; (3) memperkuat daya saing ekonomi domestic, dan
POLITIK HUKUM BIDANG PERPAJAKAN
 Suatu negara tidak akan berdaya tika tidak
mempunyai uang untuk menghidupi dirinya.
 Uang untuk penyelenggaraan pemerintahan
seringkalai disebut sebagai urat nadi bagi negara yang
tanpanya negara akan mati.
 Sebagian besar uang untuk keperluan negara
diperoleh dari pajak-pajak yang dapat ditarik dari
rakyat baik oleh pemerintah pusat maupun oleh
pemerintah daerah.
 Jadi kewenangan bagi negara untuk menarik pajak
dari rakyatnya menjadi konsekuensi dari adanya
negara itu sendiri.
 Meskipun begitu, karena negara didirikan untuk
melindungi hak-hak rakyat atau warga negara, maka
penarikan pajak oleh negara haruslah didasarkan pada
UU, yakni produk hukum yang ditentukan oleh rakyat
melalui pembentuk UU.
 Di Indonesia adagium pengaturan penarikan pajak harus
melalui UU sudah diatur juga di dalam UUD 1945. Pasal 23
ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Anggaran pendapatan
dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
 Pasal 23A UUD 1945 menentukan pula, “pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan UU”.
 Ketentuan yang dapat ditarik dari kedua pasal tersebut:
(1) ABPN tidak boleh ditarik dan dikelola secara
sembarangan , ia harus ditetapkan dengan UU dan
dikelola secara transparan dan bertanggungjawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(2) Pajak sebagai bagian dari sumber penerimaan negara
untuk APBN harus pula diatur dulu dengan UU.
 Bila dikaitkan pajak dan ABPN, maka terdapat fungsi
pajak dalam pembangunan.
 Fungsi pajak terdiri dari fungsi penerimaan negara
(budgetair) dan fungsi mengatur yaitu merupakan salah
satu alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu di luar
bidang keuangan yang lazimnya disebut kebijakan fiscal
(fiscal policy).
 Istilah fiscal dalam arti luas adalah segala sesuatu yang
bertalian dengan keuangan negara dan bukan semata-mata
mengenai pajak.
 istilah fiscal adalah sinonim dari istilah fiscus (bahasa
Yunani), atau fisc (bahasa Perancis), yang berarti
“keranjang uang” atau kas negara.
 oleh karenanya, pada mulanya kata fiscal dalam fiscal
policy memiliki arti yang sama dengan keuangan negara,
yang dalam bahasa inggris lazim mencakup: revenue,
expenditures and debt policy.
 Pola memperbesar dan memperkecil pendapatan nasional
dengan menggunakan instrumen penerimaan dan
pengeluaran negara dalam rangka menjaga stabilitas
ekonomi disebut sebagai kebijakan fiskal (Atep Adya
Barata: hlm.19 , Kekuasaan Pengelolaan Keuangan
Negara/Daerah)
 pajak merupakan faktor terpenting bagi keuangan negara
dalam menjamin kelangsungan pembangunan nasional,
tanpa tergantung kepada sumber daya alam dan bantuan
asing;
 Fjeldstad menyatakan: “ An effective tax system is
considered central for sustainable development because it
can mobilize the domestic revenue base as a key mechanism
for developing contries to escape from aid or single natural
resource dependency”.
 Hal ini mengandung makna bahwa sistem pajak yang
efektif akan mampu menggerakan roda pembangunan
untuk dapat keluar dari ketergantungan terhadap
bantuan luar dan sumber daya alam.
 Hal ini mengandung makna bahwa sistem pajak yang
efektif akan mampu menggerakan roda pembangunan
utuk dapat keluar dari ketergantungan terhadap bantuan
luardan sumber daya alam.
 Fungsi pajak Dalam Pembangunan:
 Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan.
Menurut speigenlenberg, pajak tidak semata-mata
mempunyai fungsi buggeter (taxation for revenue only),
tetapi juga dapat digunakan untuk:
a) Mengatur tingkat pendapatan di sektor swasta;
b) Mengadakan redistribusi pendapatan;
c) Mengatur volume pengeluaran.
 Fungsi Anggaran (budgetair); merupakan suaatu alat atau suatu
sumber untuk memasukan uang ke dalam kas negara, yang akan
digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin negara. Apabila masih
terdapat sisa, dana tersebut digunakan untuk membiayai investasi
pemerintah.
 Fungsi mengatur (regulerend/regulating); pajak digunakan sebagai
suatu alat, yang akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu.
 Djojohadikoesomo menagtakan: “ fiscal policy sebagai alat
pembangunan harus mempunyai tujuan bersamaan, yaitu secara
langsung menemukan dana yang akan digunakan untuk public
investment dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan
private saving ke arah sektor-sektor produktif, maupun digunakan
untuk mencegah pengeluaran-pengeluaran yang menghambat
pembangunan”.
 Dalam fungsi mengatur, pajak mempunyai peranan yang
sangat penting, yakni mendorong penyaluran dana dari
private saving ke private investment atau penanaman modal.
 bentuk-bentuk fasilitas atau insentif pajak yang diberikan,
antara lain dalam bentuk tax holiday maupun tax allowance.
 Menurut pendapat Musgrave, fiscal function mempunyai tiga
fungsi utama; yaitu:
a) Fungsi alokasi; melakukan alokasi sumber dana yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
 jika pasar tidak mau memproduksi suatu barang/jasa atau
sarana umum karena pertimbangan inefisiensi, maka
pemerintah melakukan intervensi dengan menyediakan
barang publik (public goods), seperti membangun jembatan,
membangun pelabuhan, melakukan fogging untuk
memberantas jentik nyamuk dan sebagainya.
 sumber pembiayaan yang paling efektif bagi
pembiayaan pengadaan barang-barang publik
adalah melalui pungutan pajak,
 Rosdiana dan tarigan: pengadaan public goods
yang didanai oleh pajak mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan alternatif pembiayaan seperti:
- Cetak uang (printing money)
- Pinjaman luar negeri (borrowing abroad)
- Pinjaman dalam negeri (borrowing domestically)
seperti penerbitan obligasi pemerintah.
- Menjual cadangan devisa (running down foreign
exchange reserves)
 mencetak uang tidak terkendali dapat menyebabkan
terjadinya kerawanan sosial (melambungnya harga-harga)
 Pinjam dari luar negeri dapat meningkatkan ketergantungan
pada asing;
 Sedangkan menerbitkan obligasi, terjadi sesaknya pasar,
karena sudah ada obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan
swasta
b) Fungsi distributif; menyeimbangkan pembagian pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat.
 ketidak sempurnaan pasar dapat menyebabkan kesenjangan
antar golongan semangkin lebar. Untuk mencegahnya, negara
melalui UU dapat memaksa golongan masyarakat kaya untuk
menyisihkan penghasilannya dengan mewajibkan mereka
membayar pajak sesuai dengan kemampuannya (ability to pay)
 melalui pungutan pajak, negara dapat menyediakan hal-hal
sebagai berikut:
1) Pelayanan kesehatan yang murah;
2) Pendidikan yang terjangkau;
3) Memberikan subsidi pengadaan rumah murah bagi
masyarakat;
4) Menyediakan subsidi barang-barang kebutuhan pokok.
c) Fungsi stabilitasi;
 pajak dapat digunakan untuk menstabilkan keadaan
ekonomi, misalnya dengan menetapkan pajak yang tinggi,
pemerintah dapat mengatasi inflasi, karena jumlah uang
yang beredar dapat dikurangi.
- Untuk mengatasi deplasi (kelesuan ekonomi), pemerintah
dapat menurunkan pajak).
- Fungsi stabilitasi, ditekankan pada aspek penggunaan
anggaran-anggaran sebagai kebijakan untuk stabilitasi
harga-harga kebutuhan masyarakat, untuk menjamin
peningkatan pertumbuhan ekonomi, untuk
mempertahankan kerja yang terbuka luas.
 Berkaitan dengan fungsi pajak dalam pembangunan,
berkaitan erat dengan bagaimana politik hukum nasional di
bidang perpajakan.
 Politik hukum, merupakan bagian dari ilmu hukum yang
menelaah perubahan yang harus dilakukan dalam hukum
yang berlaku agar dapat menenuhi tuntutan kehidupan
masyarakat.
 Politik hukum bidang perpajakan seyogyanya menyelidiki
semua hukum pajak yang ada sekarang dan dimana perlu
diadakan perubahan sesuai dengan kebutuhan.
 Ini perlu dilakukan agar hukum pajak yang
diperbaharuai dapat memenuhi rasa keadilan dan
tuntutan-tuntutan baru dari masyarakat.
 Mahfud MD, menyatakan politik hukum (legal policy)
yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah yang meliputi:
1) Pebangunan hukum yang berintikan pembuatan dan
pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan.
2) Pelaksanaan kebutuhan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
hukum, mencakup pula pengertian tentang bagaimana
politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan
dan penegakan hukum itu.
 Seperti telah dipaparkan sebelumnya, pada dasarnya politik
hukum pajak dilandaskan pada ketentuan Pasal 23 A UUD
NRI 1945 sebagai hukum tertinggi yang menyatakan bahwa :
“ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan UU”.
 Selain ketentuan itu, politik hukum pajak juga dielaborasi
dalam peraturan perundang-undangan bidang pajang yang
berlaku di Indonesia. Salah satu yang menarik untuk dibahas
adalah keadilan dalam pemungutan pajak.
 Keadilan adalah merupakan konsep keadilan sosial yang
secara luas dianut oleh hampir semua negara, namun dalam
praktek tidak mudah dilaksanakan.
 Konsep ini memandang pajak merupakan suatu alat
redistribusi pendapatan, golongan kaya menyumbang lebih
besar dari pada nilai pelayanan yang diterimanya ,
sebaliknya golongan miskin nilai pelayanan yang diperoleh
lebih besar dibanding sumbangan yang ia berikan.
 Dalam praktek, hal ini juga dapat dicapai kalau golongan
kaya menikmati manfaat layanan yang sedikit lebih kecil
dari pengeluaran layanan pemerintah
 Keadilan dalam hal perpajakan mempunyai tiga dimensi:
(1) Keadilan vertikal; secara umum pajak itu dikatakan baik
jika pajak tersebut “progresif”. Artinya persentase
pendapatan seseorang yang dibayarkan untuk pajak
bertambah sesuai dengan tingkat pendapatannya.
(2) Keadilan Horizontal; seseorang yang menerima
gaji seharusnya tidak membayar pajak lebih besar
dari pada seseorang dengan pendapatan yang sama
dari bisnis atau pertanian.
(3) Keadilan Geografis; pemerataan harus dilihat
dalam kaitannya dengan penerimaan dan
pengeluaran. Pengenaan pajak atas penduduk
adalah tepat kalau mereka tinggal di daerah yang
yamperoleh pelayanan khusus dari pemerintah.
 hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan
keadilan geografis ini adalah yang lebih berperan
aktif membayar pajak seharusnya mendapat
prioritas atas kontra prestasi pembayaran pajak
yang mereka lakukan.
 Peranan pajak untuk meningkatkan kemandirian anggaran
(Jurnal Economi Pembangunan, Vol.10, no.2, Des , 2009,
hlm.154-171; Joko Waluyo.
 Kemandirian anggraran negara juga mempengaruhi
stabilitas perekonomian nasional, jika terjadi
gejalaeksternal perekonomian dunia maka relatif cepat
untuk melakukan recovery perekonomian.
 Secara politis, kemandirian keuangan negara akan
mengurangi tekanann-tekanan terhadap arah, tujuan dan
sasaran pembangunan nasional, sehingga tujuan
kemerdekaan akan lebih cepat tercapai.
 Salah satu kemampuan pemerintah untuk menghimpun
dana masyarakat yaitu dengan melalui instrumen
perpajakan.
 Di Indonesia hampir semua rezim pemerintahan
yang berkuasa menjalankan kebijakan anggaran
defisit, yang berbeda hanyalah sumber
pembiayaannya.
 pada masa Orde Lama; pembiayaan defisit dengan
mencetak uang;
 Orde Baru, pembiayaan defisit anggaran didanai
dengan menggunakan utang luar negeri;
 Pemerintahan Orde Reformasi saat ini berusaha
memobilisasi dana masyarakat dengan menerbitkan
obligasi negara untuk membiayai defisit anggaran.
 Perpajakan optimal dalam perspektif Hukum Pajak Berpalsafah Pancasila.
 Kajian mengenai pajak berfalsafah Pancasila yang ada masih terbatas pada kesesuaian
hukum pajak terhadap Pancasila , belum mendiskripsikan karakteristik pajak yang
diinginkan Pancasila.
 Dalam khasanah perpajakan terdapat 5 (lima) prinsip umum yang sudah mapan yaitu
four maxims dari Adam Smith, general principles of taxation dari Jhon Stuart Mill,
Principle of Taxation dari Francis A.Woeker, principle of apportionment dari Hendry C,
Adam dan the fundamental problems dari Edwin R.A Sligmen.
 : Ide penting kelima prinsip umum perpajakan bukan pada pajak sebagai penutup biaya
operasional negara (budgetair function). Budgetetair merupakan fungsi utama atau
tradisional pajak, dan itu tidak terbantahkan.
 Ide penting dari kelima prinsip umum perpajakan terletak pada kehati-hatian dalam
memungut pajak.
- Ini berangkat dari situasi bahwa pajak mengakibatkan nestapa bagi individu dalam
pertukaran (market)
- Ini bermuara pada konsep pajak yang baik yang menempatkan pajak menuju fungsi
kesejahteraan sosial.
- Konsekwensinya prinsip netralitas dan efisiensi menjadi prasyarat mutlak dalam
pemungutan pajak . Keduanya menjelma pada perpajakan optimal.
 Penstudi hukum pajak masih berpegang pada prinsip ability to pay sebagai standar
solidaritas dan redistribusi sosial. Ability to pay mengrahkan pemungutan pajak berpijak
pada kesejahtraan masing-masing individu, sementara perpajakan optimal menganggap
hal tersebut tidak tepat karena menghadirkan disinsentif bagi individu dalam mengelola
sumber daya terbatasnya.
 Peran pajak bagi ekonomi suatu negara hanya berujung pada dua (dua) kebijakan, yakni
alokasi dan distribusi.
- Kebijakan alkasi, merujuk pada pentingnya pajak untuk membiayai barang-barang yyang
tidak sanggup disediakan oleh individu privat, sedangkan kebijakan distribusi fokus
pada pajak sebagai skema pendistribusian kesejahteraan individu-individu dalam
masyarakat.
- Sebagai suatu negara baik Hidia Belanda maupun pemerintahan Indonesia, tetap
menempatkan pajak sebagai bagian dari kebijakan alokasi dan kebijakan distribusi.
 Pajak berfalsafah Pancasila
- Bilamana Pancasila merupakan national guidelines bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara, maka wujud pajak seperti apakah yang diinginkan Pancasila.
- Postulatnya: Pancasila merupakan dasar statis untuk mempersatukan individu dalam
kehidupan Bersama sekaligus menjadi penuntun yang bersifat dinamis , yang
mengarahkan bangsa dan negara dalam mencapai tujuannya.
- Pancasila menginginkan perubahan mendasar pada sistem sosial (ranah matarial, mental dan
political) untuk mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewarganegaraan yang merdeka ,
Bersatu, berdaulat, adil dan Makmur.
 Ada tiga ranah Garapan Pancasila, yakni mental, material dan political. Ketiga ranah, sekalipun
dapat dibedakan tetapi tidak dapat terlepaspisahkan.
- Perubahan mental memerlukan dukungan political dan material
- Perubahan material membutuhkan dukungan mental dan political
- Bangsa Indonesia yang berdikari dalam perekonomian (ranah material); bangsa Indonesia yang
berkepribadian dalam berkebudayaan (domain mental) dan bangsa Indonesi yang berdaulat
(ranah politik)
- Ranah mental dijiwai sila 1 Pancasila yang menempatkan welas asih dan moralitas pada
kehidupan keagamaan; juga dijiwai sila ke-2 yang mengandung visi kebangsaan yang humanis.
- Ranah mental dijiwai sila ke-3 Pancasila yang menginginkan penyelenggaraan negara yang
melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia berdasarkan semangat kesatuan.
 Ranah mental dalam lingkup pajak, disebut sebagai kepatuhan. Ada dua aspek (yang perlu
diperhatikan)
1. Kekuatan otoritas pajak dalam penegakan peraturan pajak; dan kepercayaan masyarakat
terhadap otoritas pajak.
2. Interaksi keduanya (kekuatan otoritas pajak dan kepercayaan masyarakat) menghasilkan
perilaku keptuhan pajak.
- Bilamana keduanya berada pada titik minimal, maka dapat dipastikan
kepatuhan pada titik terendah.
- Apabila keduanya (otoritas-masyarakat) berada pada titik maksimal, maka
kepatuhan relative berada titik tertinggi.
- Bilamana keduanya berada pada titik yang biasa saja, maka kepatuhan
berpotensimenurun.
- Apabila kekuatan otoritas pajak (baik substansi maupun implementasi)
mencerminkan fairness, maka kepatuhan berpotensi meningkat.
 Kedua (2) Ranah Material.
- Ranah ini dijiwai oleh sila kelima Pancasila, yang menginginkan setiap
individu bergotongroyong dalam memajukan kesejahteraan
umum,mencerdaskan kehidupan bangsa serta melakukan pembangunan
berkelanjutan untuk keadilan dan perdamaian, dengan karakter kemandirian,
sikap hemat, etos kerja, dan ramah lingkungan (berat sama dipikul ….)
- Ranah material tersebut dalam lingkup pajak, mengarah pada: (1) pajak
harus dikembalikan kepada rakyat, sehingga penerimaannya tidak digunakan
untuk menutup deficit anggaran; (2) pembayar pajak mendapat benefit
terutama kases informasi dan akses ekonomi.
- Keduanya menitik beratkan pada
peningkatan pelayanan publik melalui
ketersediaan berbagai barang dan jasa
yang dibutuhkan masyarakat. Titik berat ini
memperlihatkan adanya semangat
pembentukan negara kesejahteraan.
- Pada tataran konstitusi, emangat
pembentukan negara kesejahteraan
ditunjukkan melalui UUD 1945 yang
menyebutkan:…..(pembukaan)
1. PENGERTIAN & DEFINISI PARA SARJANA
a. Mr.Dr.N.J.Feldmann; Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak
oleh dan terutang kepada penguasa, (menurut norma-norma yang
ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontra prestasi, dan semata-
mata digunakan untuk menutup pengeluaran pengeluaran umum.

b. Prof.Dr.M.J.H.Smeets: Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang


terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya,
tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal
individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah.

c.Dr.Soeparman Soemahamidjaja; Pajak adalah iuran wajib, berupa uang


atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma
hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa
kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
4. Prof.Dr.Rochmat Soemitro,SH; Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

5. Muqodim,MBA,Ak; Pajak adalah suatu pengalihan


sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta
(dalam pengertian luas), dalam pengertian luas termasuk
perusahaan negara dan perusahaan daerah, kepada sektor
pemerintah (kas negara) berdasarkan undang-undang atau
peraturan, sehingga dapat dipaksakan, tanpa ada kontra-
prestasi yang langsung dan seimbang yang dapat
ditunjukkan secara individual dan hasil penerimaan pajak
tersebut merupakan sumber penerimaan negara yang akan
digunakan untuk pengeluaran pemerintah baik pengeluaran
rutin maupun pengeluaran pembangunan.
 Empat Karakteristik yang melekat
pada pengertian pajak
a. Pajak adalah pengalihan sumber-sumber dari sektor
swasta ke sektor negara, artinya yang berhak melakukan
pemungutan pajak adalah negara, baik pemerintah pusat
maupun pmerintah daerah. Yang dipungut adalah pihak
swasta dalam pengertian luas baik sektor swasta, koperasi
maupun BUMN dan BUMD dan lain-lain. Secara konsep
pajak dapat dibayar degan uang maupun barang atau jasa
selain uang. Jadi berarti peralihan sumber-sumber
ekonomis.
b. Berdasarkan undang-undang artinya bahwa, walaupun
negara mempunyai hak untuk memungut pajak namun
pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan dari
wakil-wakil rakyat dengan menyetujui undang-undang.
Karena pemungutan pajak berdasarkan undang-undang
berarti pungutan pajak dapat dipaksakan.
c. Tanpa imbalan dari negara yang langsung dapat ditunjuk
secara individual, artinya bahwa imbalan tersebut tidak
diperuntukkan bagi rakyat secara individual dan tidak
dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak.
Imbalan negara kepada rakyat sifatnya tidak langsung.
d. Untuk membiayai pengeluaran pemerintah, baik
pengeluaran rutin mapun pengeluaran pembangunan.
 Seperti telah diuraikan , bahwa Hukm Pajak merupakan
bagian dari hukum publik, yaitu mengatur hubungan antara
penguasa dengan warganya. Adapun hubungannya dengan
hukum perdata yaitu bahwa hukum perdata harus
dipandang sebagai hukum umum yang meliputi segala
golongan, kecuali jika hukum publik telah menetapkan
peraturan yang menyimpang atau berlainan.
Pengertian dan Tugas Hukum Pajak:
 Pengertian Hukum Pajak (Hukum Fiskal): adalah keseluruhan
dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah
untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya
kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara.
 Hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik, merupakan
bagian dari Hukum Administrasi Negara; yang mengatur
hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau
badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak.
 Tugas Hukum Pajak, adalah menelaah keadaan-keadaan dalam
masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak,
kemudian merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum.
Peraturan-peraturan pajak sering berubah sebagai akibat dari
perubahan yang terdapat pada kehidupan ekonomi masyarakat.
2. MASALAH DASAR PEMBENAR PEMUNGUTAN PAJAK OLEH NEGARA.
 Pada awalnya , pengaturan pajak diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan
negara harus berdasarkan undang-undang.
 Ketentuan ini mengandung konsekwensi secara mendalam terhadap negara
manakala memerlukan pajak untuk membiayai upaya untuk mencapai
tujuannya sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945. Pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang, tidak ada
pengenaan pajak yang tidak berdasarkan undang-undang.
 Setelah UUD 1945 diamandemen, Pasal 23 ayat (2) diganti dengan Pasal 23A
UUD NRI 1945yang menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara tiatur dengan undang-undang.
Ketentuan ini secara tegas memisahkan antara pajak dengan pungutan lain
yang bersifat memaksa. Termasuk dalam pungutan lain, yaitu retribusi, iuran
dan lain sebagainya.
 Dalam pemungutan pajak yang berwenang melakukan pemungutan pajak
adalah negara yang tidak boleh dilimpahkan kepada pihak swasta , hal ini
disebabkan bahwa masalah pajak melibatkan rakyat sebagai wajib pajak
pada umumnya, sehingga tidak ada ketentuan hukum yang berlaku, yang
memperbolehkan pihak swasta melakukan pemungutan pajak.
Justifikasi pemungutan
Pajak
oteori asuransi
oteori kepentingan
oteori daya pikul
oteori bakti (kewajiban
mutlak)teori daya beli
TEORI ASURANSI
 Termasuk tugas negara u/melindungi orang dan segala
kepentingannya; termasuk keselamatan dan keamanan
jiwa, juga harta benda. Dalam memberikan perlindungan
membutuhkan pembayaran dalam bentuk premi.
 -Kritik: tidak tepat karena apabila timbul kerugian, tidak
ada suatu penggantian dari negara.
 - antara pembayaran jumlah pajak dengan jasa yang
diberikan oleh negara tidak berhubungan langsung.
 Teori ini melupakan unsur paksaan dalam pajak yang
berdasarkan undang-undang, sedangkan premi dilakukan
secara sukarela.
 Teori ini menyamakan pajak dengan retribusi.
TEORI KEPENTINGAN
 Teori ini, hanya memperhatikan pembagian beban
pajak yang harus dipungut dari penduduk
seluruhnya.
 Pembagian beban ini harus didasarkan atas
kepentingan orang masing-masing dalam tugas-
tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya),
termasuklah perlindungan atas jiwa orang-orang itu
beserta harta bendanya.
 Oleh karena itu sudah selayaknyalah bahwa biaya-
biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk
menhnaikan kewajibannya, dibebankan kepada
mereka itu.
TEORI GAYA PIKUL
 Dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam
jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada
warganya yaitu perlindungan atas jiwa dan harta
bendanya. Untuk keperluan itu, dibutuhkan biaya
dalam bentuk pajak. Yang menjadi pokok pangkal
teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan pajak
haruslah sama beratnya untuk setiap orang.
-Menurut Prof.WJ.de Langen, gaya pikul adalah
besarnya kekuatan seseorang untuk dapat
mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya,
setelah dikurangi dengan yang mutlak untuk
kebutuhan yang primer.
TEORI KEWAJIBAN MUTLAK
(TEORI BAKTI)
 dasar hukum pajak terletak dalam hubungan antara rakyat dengan
negara. Negara bertugas menyelenggarakan kepentingan umum, dan
karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukan termasuk juga tindakan-tindakan dalam lapangan pajak.
 Teori ini menekankan pada paham organische staatsleer yang
mengajarkan bahwa karena sifat negara sebagai suatu organisasi dari
individu-individu maka timbul hak mutlak negara untuk memungut
pajak.
 Dalam pemahaman sederhana, teori bakti mengenai:
- Hubungan pajak terletak dalam hubungan rakyat dan
negara;
- Negara menyelenggarakan kepentingan umum untuk rakyatnya, karena
ada hubungan maka negara memungut pajak terhadap rakyatnya.
- Rakyat membayar pajak karena merasa berbakti kepada negara.
TEORI ASAS DAYA BELI
 Fungsi pemungutan pajak, bila dipandang sebagai gejala
masyarakat dapat disamakan dengan pompa, yaitu
mengambil gaya beli dari rumah tangga dalam masyarakat
untuk rumah tangga negara, dan kemudian
mengeluarkannya kembali ke masyarakat dengan maksud
untuk memelihara hidup masyarakat dan membawanya ke
arah tertentu.
- Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan
masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar
keadilan pemungutan pajak; bukan kepentingan individu
bukan pula kepentingan negara; tetapi kepentingan
masyarakat yang meliputi keduanya. (teori ini menitik
beratkan pada fungsi mengatur dari pajak)
 FUNGSI PEMERINTAH
 Adam Smith mengemukakan teori bahwa pemerintah hanya
mempunyai tiga fungsi:
1. Fungsi pemerintah untuk memelihara keamanan dalam
negeri dan pertahanan.
2. Fungsi pemerintah untuk menyelenggarakan peradilan.
3. Fungsi pemerintah untuk menyediakan barang-barang
yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti halnya
dengan jalan, dam-dam kereta api, jasa penerbangandan
sebagainya. (Barang publik : adalah barang yang
disediakan oleh pemerintah merupakan barang milik
pemerintah yang dibiayai melalui anggaran belanja
negara).
FUNGSI PEMERINTAH JUGA
DAPAT DIPERINCI:
Essential function (fungsi esensial)
Service function (fungsi jasa)
Bussiness function (fungsi
perniagaan)
 Fungsi esensial:
- Yang berkaitan dengn eksistensi negara.
- Misalnya: pemeliharaan angkatan bersenjata, pemerliharaan
badan-badan peradilan, mengadakan hubungan dengan luar
negeri dsb.
 Fungsi jasa:
- Fungsi yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat.
- Misalnya: pemeliharaan fakir miskin, pembangunan sarana
transportasi, jaminan kesehatan dsb
 fungsi perniagaan;
- Fungsi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi
- Misalnya: pelayanan pos, telepon, radio dan telegraf,
jaminan deposito dll.
Biaya:
 hasil bumi dan kekayaan (UUD’ 45/33)
 keuntungan perusahaan negara (Persero)
 penerimaan dari departemen Non Tax
 penerimaan yang diatur UU No.20/1997 tentang
PNBP,Pasal 2.
 pencetakan uang, hibah, pengelolaan kekayaan
negara
 pinjaman, bantuan luar negeri
 pajak (tax)
 Pemerintah mempunyai empat sumber pendapatan
potensial utama:
1. Pembayaran-pembayaran untuk jasa-jasa;
Beberapa macam jasa tertentu dijual pada
pemakai-pemakainya , dan pembayaran-
pembayarannya menutup seluruh atau sebagian
dari biaya-biaya yang diperlukan untuk
menyediakan jasa-jasa tersebut.
2. Pajak-pajak sumber pendapatan utama; pajak-
pajak menurut sifatnya merupakan paksaan-
adalah pembayaran-pembayaran yang dilakukan
oleh masyarakat dalam keseluruhannya untuk
jasa-jasa pemerintah (jasa balik ke masyarakat
bukan pada individu).
3. Pinjaman-pinjaman; uang diperoleh secara terus-menerus melalui
pinjaman-pinjaman, yang kemudian dibayar kembali dengan bunga
serta induknya dari pajak-pajak atau lain sumber.
4. Penciptaan uang baru. Cara ini hanya dapat ditempuh oleh pemerintah-
pemerintah nasional, berdasarkan kekuasaannya yang berdaulat
terhadap sistem moneter.
- Penciptaan uang dapat terjadi dengan dua cara :
 Cara pertama:Pemerintah mencetak uang kertas baru dan membiayai
pengeluaran-pengeluarannya dengan cara menciptakan uang.
 Cara kedua:bank Sentral memberikan kredit pada pemerintah dan
mendapatkan surat-surat obligasi pemerintah. Seterusnya pemerintah
menarik cek-cek atas kredit tersebut, untuk membayar rekening serta
membiayai pengeluaran-pengeluarannya tanpa secara langsung
mengurangi harta seseorang.
Sistematika Hukum Pajak
4.

 Hukum pajak formal


 Hukum pajak materiil
 Hukum pajak formal.
 ketentuan-ketentuan untuk melaksanakan hukum pajak materiil.
- Surat pemberitahuan
- Surat ketetapan pajak
- Cara menghitung pajak
- Surat tagihan
- Surat keberatan
- Surat minta banding
- Penyelesaian sengketa pajak
(dimuat dalam UU No.6/1983 tentang KUP/UU No.16/2009 tentang
Ketentuan Umum Perpajakan atau KUP)
Hukum Pajak Materiil
 Ketentuan hukum pajak
materiil di muat dalam UU
pajak yang bersangkutan
mengenai keadaan-keadaan,
perbuatan-perbuatan, peristiwa-
peristiwa yang dapat
menimbulkan pajak (tatbestand)
PENGGOLONGAN PAJAK
a. Pajak Langsung dan Pajak
Tidak langsung
 Pengertian Administratif dan
 pengertian ekonomis
PAJAK LANGSUNG
 Arti administratif
 Pajak yang pengenaannya berdasarkan
Surat Ketetapan Pajak (pajak berkohir/ber-
SKP) dan secara periodik setiap waktu
tertentu dalam jangka waktu yang tetap
setiap tahun takwin.
 Contoh: PPh
 Pajak-pajak langsung penyelenggaraannya
termamsuk ke dalam kompetensi
administrasi pajak
PAJAK TIDAK LANGSUNG
 Arti ekonomis
 pajak yang pengenaannya atau
pembebanannya dilimpahkan
kepada orang lain.
Contoh: cukai tembakau. PPN, Bea
materai, bea balik nama.
Bea cukai:
-Bea atau pabean atau costums atau duane,
dapat diartikan sebagai pungutan atas
kegiatan impor yang di dalamnya termasuk
bea dan pajak yang menyertainya.
-Obyek bea: semua impor barang dari luar
negeri.
-Filosofisnya adalah untuk melindungi industri
dalam negeri dari limpahan produksi luar
negeri yang diimpor, sehingga produksi dalam
negeri dapat lebih maju.
- Cukai
 dapat diartikan sebagai pungutan
oleh negara secara tidak langsung terhadap
obyek cukai. Secara sederhana dapat
dipahami bahwa dalam harga sebungkus
rokok (contoh obyek cukai) yang dibeli
konsumen sudah termasuk besaran cukai di
dalamnya.
- Obyek cukai saat ini adalah cukai atas
hasil tembakau, etil alkohol dan minuman
beralkohol.
- Filosofisnya adalah untuk menghalangi
penggunaan obyek cukai secara bebas, bisa
diartikan sebagai kontrol dan pengawasan
ataupun pembatasan
 Untuk menentukan apakah sesuatu termasuk
pajak langsung atau tidak langsung, dalam
arti ekonomis; harus dilihat tiga unsur:
1. penanggungjawab pajak
- Yang secara formal yuridis diharuskan
melunasi pajak
2. Penanggungpajak adalah orang, yang dalam
faktanya memikul dulu beban pajaknya.
3. Yang ditunjuk oleh pembuat UU, atau sebagai
pemikul pajak (orang yang menurut maksud
pembuat UU harus dibebani pajak)
 Jika ketiga unsur ditemukan
pada seorang, maka pajaknya
adalah pajak langsung
 jika terpisah (jadi jika
terdapat pada lebih dari satu
orang) maka tergolong pajak
tidak langsung.
 Contoh: Cukai tembakau (ketiga unsur
terpisah)
1.Pabrikan : penanggungjawan pajak (ia
harus membeli pita cukai)
2.Pedagang rokok : penanggungjawab pajak
(setiap kali mengambil rokok dari pabrik,
harus sekaligus membayar cukainya)
3.Konsumen: destinataris, sebab ialah yang
dituju pembuatUU untuk membayar cukai.
UU tidak bermaksud membenani pabrikan
atau pedagang rokok.
b. Pajak dalam arti luas dan pajak dalam arti sempit:
 Pajak dalam arti luas:
- Semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat, termasuk bea materai, bea masuk dan cukai,
dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah,
berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
 Pajak dalam arti sempit:
- Pajak yang dipungut pemerintah pusat (tanpa bea
materai, bea masuk dan cukai)
- Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan di bidang pajak daerah.
c. Menurut Kewenangan Memungut
 Pajak pusat dan pajak daerah:
 pajak pusat adalah pajak yang diadakan oleh pemerintah
pusat serta penagihannya dilakukan oleh pejabat pajak
yang ditugasi mengelola pajak-pajak pusat.
 Pajak daerah adalah pajak yang diadakan oleh pemerintah
daerah serta penagihannya dilakukan oleh pejabat pajak
yang ditugasi mengelola pajak-pajak daerah.
- Obyek pajak daerah terbatas jumlahnya
- Lapangannya yaitu lapangan pajak yang belum digunakan
pemerintah pusat.
- Pajak daerah tidak hanya inisiatif daerah untuk
diadakannya, bahkan pajak pusat diserahkan dalam
rangka pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah.
c. Menurut Sifatnya:
 Pajak subyektif dan pajak obyektif.
 Pajak subyektif:
- Pajak yang dasar pengenaannya memperhatikan
keadaan pribadi dari wajib pajak dan untuk
menetapkan besarnya pajak didasarkan keadaan
material obyek wajib pajak
- Contoh : subyek PPh.
 Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi
 badan
 Warisan yang belum Terbagi sebagai pajak subyektif:
 Pasal 2 ayat (1) huruf a:
Yang menjadi subyek pajak adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak.
 Penjelasan: .....warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan merupakan subyek pajak pengganti, menggantikan
mereka yang berhak atau ahli waris. Penunujukan warisan
yang belum terbagi sebagai subyek pajak pengganti
dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang
berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Contoh:
 Tuan Bejo adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
yang memiliki usaha sebuah Toko dan sudah punya NPWP.
Ia memiliki seorang istri dan 3 orang anak. Suatu waktu
Tuan Bejo meninggal dunia. Warisan berupa toko yang
ditinggalkan oleh Tuan Bejoselanjutnya dikelola oleh Istri
dan ketiga anaknya yang merupakan ahli waris dari Tuan
Bejo. Atas penghasilan yang diperoleh oleh toko tentu harus
dibayar pajaknya. Agar kewajiban perpajakan atas
penghasilan yang diperoleh oleh toko tersebut tetap
berjalan sebagaimana mestinya, maka toko itulah yang
ditunjuk sebagai subjek pajak, menggantikan para ahli
waris yang berhak. Siapa yang jadi pelaksana kewajiban
perpajakan atas penghasilan yang diperoleh oleh toko
tersebut diserahkan kepada para ahli waris.
 Sehubungan dengan pengenaan PPh pada warisan yang
belum terbagi, maka Pasal 3 PP No.74/2011 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban
Perpajakan: Memberikan penegasan tentang warisan yang
belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak dalam kedudukannya sebagai subyek pajak harus
menggunakan NPWP pajak dari orang pribadi yang
meninggalkan warisan tersebut dan diwakili oleh pihak-
pihak yang berikut untuk melaporkannya:
- Salah seorang ahli waris
- Pelaksana wasiat; atau
- Pihak yang mengurus harta peninggalan.
 Kalau yang diwariskan itu barang:
 Sementara UU No.18 Tahun 2000 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, pada prakteknya
BKP , semua barang adalah barang kena pajak
(BKP) kecuali yang dikecualikan UU.
 Namun dalam UU Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan No.20 Tahun 2000 dan Peraturan
Menteri Keuangan No.86/MPK/03/2006;
warisan/hibah bisa kena pajak terutama jika
hibah/waris yang diterima berupa tanah dan atau
bangunan dengan nilai di atas 300 Juta rupiah
(Penerima atau ahli waris membayar BPHTB
dengan tarif pajak 5 persen saat ganti nama
dilakukan).

Pajak obyektif:
- Pajak yang dasar pengenaannya
memperhatikan obyeknya (selain
benda) dapat berupa keadaan,
perbuatan dan peristiwa yang
menyebabkan timbulnya kewajiban
pajak dan tidak memandang
keadaan subyek pajaknya.
 Obyek pajak PPh.

contoh pajak obyektif:
- Dipungut karena keadaan:
PBB,PKB
- Dipungut karena perbuatan:
Bea meterai, Bea masuk,
cukai, PPh Undian.
d. Pajak pribadi dan Pajak Kebendaan
 Pajak pribadi:
- Pajak yang pengenaannya dititikberatkan
pada diri wajib pajak.
- Contoh: PPh, pajak kekayaan (dahulu)
 Pajak kebendaan
- Pajak yang dasar pengenaannya tidak
melihat keadaan wajib pajak, tetapi hanya
melihat kepada obyeknya.
- Contoh:PPN,PBB.
Resume:
1.Unsur-unsur Pajak:
 Undang-undang
 Fiskus;
 Subyek pajak
 Obyek pajak/taatbestand (keadaan,
kejadian, peristiwa)
 Kepentingan masyarakat
2.. Pendekatan Pajak:
 Pajak dari aspek hukum
 Pajak dari aspek ekonomi (mikro
dan makro)
 Pajak dari aspek sosiologi
 Pajak dari aspek historis
 Pajak dari aspek keuangan
 Pajak dari aspek pembangunan
3. Dasar Pemungutan Pajak:
 Dasar hukum pemungutan pajak
 Falsafah pemungutan pajak
 Syarat-syarat pemungutan pajak
 Teori pemungutan pajak
 Sistem pemungutan pajak
 Sistem pengenaan pajak
 Asas pemungutan pajak
PEMUNGUTAN PAJAK
A.Dasar Hukum
 Awalnya, pengaturan pajak diatur dalam Pasal 23
ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan “segala pajak
untuk keperluan negara harus berdasarkan
undang-undang”
 Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 tersirat asas legalitas
yang tidak membenarkan pemungutan pajak kalau
belum diatur dengan undang-undang.
 Pasal 23A UUD NRI 1945 : Pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang.
Pemungutan Pajak.............
 Dalam pemungutan pajak, yang berwenang melakukan
pemungutan pajak adalah negara yang tidak boleh
dilimpahkan kepada pihak swasta.
 Swasta tidak boleh memungut pajak, dikarenakan masalah
pajak melibatkan rakyat sebagai wajib pajak pada
umumnya.
 Pemungutan pajak dilakukan oleh petugas pajak dalam
lingkungan direktorat jenderal pajak, kecuali bila
ditentukan lain dalam UU Pajak.
 Pungutan pajak tidak selalu dilakukan oleh petugas pajak,
sepanjang UU pajak memberikan kekhususan kepada orang
pribadi atau badan untuk memungut pajak
Pemungutan Pajak............
 Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan
serta bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan, dilakukan oleh aparat
pemerintah daerah di lingkungan
Departemen Dalam Negeri.
 PPh, PPn dan pajak penjualan atas barang
mewah yang dilakukan oleh pemotong pajak
atau pemungut pajak; karena UU KUP
memberikan legitimasi untuk melakukan
pemotongan pajak atau pemungutan pajak.
YURISDIKSI PEMUNGUTAN PAJAK
 Yurisdiksi: ruang lingkup penggunaan
wewenang untuk memungut pajak
pada warganya maupun warga negara
asing yang bertempat tinggal atau
berkedudukan di negara tersebut
sehingga tidak menimbulkan
pembebanan berat bagi yang kena
pajak.
 Pengelompokan yurisdiksi
pungutan pajak : bertujuan untuk
menghindari pengenaan pajak yang
bersifat ganda, baik nasional
maupun internasional.
1.Berdasarkan asas sumber
2.Berdasar Asas Kewarganegaraan
3.Berdasar asas tempat tinggal
 Asas sumber:
- Pemungutan pajak tidak dapat dilepaskan
dengan sumber atau tempat obyek pajak itu
berada.
- Obyek PBB perdesaan dan perkotaan berada
di Indonesia, maka negara Indonesia
memiliki wewenang untuk mengenakan dan
memungut.
- Bea Perolehan hak Atas Tanah, terjadi di
indonesia sehingga Indonesia berhak
memungut bea tersebut.
 Asas Kewarganegaraan (Asas Kebangsaan)
- Yurisdiksi pemungutan pajak berkaitan
dengan status atau kedudukan warganegara
dari setiap orang pribadi yang berasal dari
negara yang mengenakan pajak.
- UU PPh menganut asas kewarganegaraan;
yaitu pemungutan PPh dilakukan pada
warga negara Indonesia, baik yang bertempat
tinggal atau berkedudukan di Indonesia
maupun bertempat tinggal di luar negeri.
 Asas Tempat Tinggal
- Pemungutan pajak dilakukan oleh
negara berdasarkan tempat tinggal atau
kedudukan wajib pajak.
- Konsekwensinya adalah segala obyek
pajak yang dimiliki, dikuasai, atau
dimanfaatkan oleh wajib pajak yang
bersangkutan tinggal atau
berkedudukan pada negara yang
bersangkutan dikenakan pajak.
SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
 Negara yang menentukan sistem pemungutan
pajak yang digunakan atau diterapkan dalam
melakukan pemungutan pajak.
 sistem pemungutan pajak merupakan bagian
dari tata cara pemungutan pajak yang selama
ini diatur dalam tiap undang-undang
 Sistem pemungutan pajak adalah tentang
cara yang dipergunakan untuk menentukan
siapa yang menghitung dan menetapkan
jumlah pajak, terutang.
 Terdapat 3 (tiga) sistem
pemungutan pajak:
1.Official Assesment System
2.Self Assesment system
3.With Holding System
 Official Assesment system
- Pajak terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat
pajak atau fiscus.
- Fiskus bersifat aktif
- Utang pajak timbul bila telah ada penetapan dari fiskus (menganut
ajaran formal)
 Self Assesment System
- Jumlah pajak yang harus dibayar dihitung sendiri oleh wajib
pajak.
- Wajib pajak harus aktif untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya termasuk menghitung menyetor dan
melaporkan jumlah pajak terutang
- Aparat pajak hanya bertugas memberi penyuluhan,
pembinaan, memonitoring dan pengawasan serta bertindak
sebagai verifikator.
 Self Assesment dapat dibedakan:
a. Semi Self Assesment system;
jumlah pajak yang terutang ditafsir sendiri oleh
wajib pajak sebagai perhitungan sementara dan
setelah periode tahun tersebut berakhir, pajak
sesunggguhnya ditetapkan oleh fiskus.
b. Fully Self Assesment System;
- jumlah pajak yang terutang dihitung sendiri oleh
wajib pajak pada awal periode (tahun) dan setelah
periode (tahun) tersebut berakhir
-fiskus tidak turut campur kecuali wajib pajak
diketahui telah menyalahi ketentuan.
 With Holding System
- Jumlah pajak yang terutang dihitung
oleh pihak ketiga.
- Yang mengitung bukan fiskus dan
bukan pula wajib pajak, tetapi pihak
ketiga.
- Contoh: konsultan pajak, akuntan
publik, wajib potong dan wajib
pungut.
TATA CARA MEMUNGUTAN PAJAK
(STELSEL PAJAK)
 Ada beberapa cara untuk memungut pajak yang dalam
bahasa Belanda disebut “stelsel” atau “systeem”.
Pemungutan dapat dipungut di muka (voorheffing) atau
dipungut di belakang (naheffing).
 Sistem pungutan di muka mengenakan pajak pada
permulaan tahun, jadi langsung setelah tahun pajak
bermula; sedang sistem pemungutan pajak di belakang
memungut pajak di belakang, artinya pajak dipungut
setelah tahun berakhir (tidak pada akhir tahun), jadi
pada awal tahun yang mengikuti tahun pajak yang
bersangkutan.
 Dalam literatur sistem pungutan
pajak dibedakan dalam tiga macam
“stelsel”/sistem:
1.Stelsel anggapan atau stelsel fiksi
2.Stelsel riil atau “real”, stelsel
berdasarkan kenyataan
3.Stelsel campuran
1. Stelsel Fiksi
 Mendasarkan pungutan pajak pada suatu anggapan atau fiksi
hukum, yang sebenarnya kurang sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya.
Contoh: dasar yang dapat digunakan sebagai pegangan yang
mendekati keadaan yang sebenarnya.
 Penghasilan seseorang (wajib pajak) yang memperoleh
penghasilan tetap yang periodik seperti : gajih, upah
honorarium tetap, pensiun , bunga, hasil sewa (tanah dan
bangunan), pembayaran berkala dan lain sebagainya,
dianggap sama besar dengan 12 x hasil sumber tetap seperti
tercantuM di atas yang ada pada awal tahun ( jadi tanggal 1
Januari tahun pajak yang bersangkutan)
 Fiksi lain yang dapat dikemukakan sebagai contoh ialah: Penghasilan
fiksi (fiktif) adalah dianggap sama besar dengan penghasilan (bersih)
yang diperoleh dalam tahun yang mendahului tahun pajak yang
bersangkutan.
 Ada keuntungan dari sistem ini, ialah setelah tahun pajak mulai
berjalan, sudah segera dapat dilakukan penetapan atau penagihan
pajak, sehingga uang pajak sudah dapat masuk kas negara.
 Pajak bumi dan bangunan, juga masih menggunakan sistem fiksi.
 Yang dijadikan dasar untuk pengenaan pajak ini adalah Nilai Jual
Obyek Pajak (NJOP) pada saat yang menentukan. Saat yang
menentukan itu adalah tanggal 1 Januari tahun yang bersangkutan.
 Jadi yang dikenakan pajak ini adalah adalah semua harta tak gerak
yang sudah dimiliki pada tanggal 1 Januari tahun yang bersangkutan.
2. Stelsel Pajak Riil
 Stelsel riil ini tujuannya adalah mengenakan pungutan yang
didasarkan pada keadaan, atau penghasilan yang riil,
artinya penghasilan yang diperoleh atau diterima
sebenarnya dalam tahun pajak yang bersangkutan.
 Keadaan atau penghasilan sesungguhnya diterima atau
diperoleh dalam tahun pajak, baru mungkin diketahui pada
akhir tahun , maka pajak yang didasarkan pada stelsel riil
ini baru dapat dipungut setelah tahun pajak yang
bersangkutan lampau, sehingga pungutan paling cepat baru
dapat dilakukan pada tanggal 1 Januari dari tahun yang
mengikuti tahun pajak yang bersangkutan.
3. Stelsel campuran
 Dikarenakan stelsel fiksi kurang memuaskan, maka timbul stelsel campuran
sebagai stelsel peralihan sebelum diterapkan stelsel yang riil. Stelsel ini letaknya
diantara stelsel fiksi dan stelsel riil.
 Stelsel campuran ini mula-mula menerapkan stelsel fiksi, sehingga pada awal tahun
sudah dapat dikenakan Surat Ketetapan Pajak yang fiktif, dan kemudian pada
akhir tahun, pajak dihitung kembali dan disesuaikan dengan keadaan yang
sebenarnya.
 Pada akhir tahun pada hakekatnya diterapkan sistem yang riil, yang berfungsi
sebagai koreksi terhadap stelsel fiksi. Stelsel campuran ini merupakan suatu sarana
yang dapat menghilangkan kelemahan dari stelsel fiksi dan stelsel riil.
 Ditinjau dari segi administrasi dan biaya, maka sistem campuran ini masih kurang
memuaskan , sehingga terus dicari sistem yang lebih praktis, tidak banyak kerja,
tidak banyak karyawan, tidak banyak pemborosan materi, tidak banyak
menyediakan materiil kertas dan sebagainya.
 Sebagai jalan keluarnya , adalah pemerintah menerapkan sistem riil dibarengi
dengan sistem selfassessment yang didasarkan pada kejujuran wajib pajak dan
kepercayaan pemerintah kepada wajib pajak.
Asas-Asas Pemungutan Pajak
 Masyarakat mempunyai kepentingan dan juga
masing-masing individu mempunyai kepentingan,
yang kadang-kadang saling berhadapan.
 Pajak-pajak adalah tidak lain dari pada alat untuk
menghadapi dan untuk membiayai kepentingan
bersama, yang menjadi tanggungjawab bersama
seluruh rakyat Indonesia. Bila tidak ada
kepentingan bersama tidak perlu ada pajak. Salah
satu jalan untuk membiayai kepentingan bersama
itu adalah pajak.
 Sudah barang tentu penggunaan hasil pajak harus
juga berdasarkan undang-undang.Ini dapat dilihat
dari dalam APBN. Dalam APBN diperinci
penggunaan pendapatan negara, sehingga rakyat
dapat mengetahui penggunaan hasil pajak-pajak.
 Tidak dibenarkan hasil pajak digunakan untuk
kepentingan golongan tertentu atau kepentingan
orang pribadi. Pengeluaran yang dapat dibiayai
dengan uang yang berasal dari rakyat atau yang
keluar dari milik negara, hanya kepentingan umum.
 Pendekatan pajak dari segi hukum atau disebut
Hukum Pajak; menitik beratkan pada hubungan
hukumnya, sehingga pajak dilihat dari segi hak dan
kewajiban: siapa berhak memungut pajak, apa
kewajiban pemungut pajak terhadap wajib pajak,
apa hak dan kewajiban wajib pajak terhadap fiscus
(penguasa pemungut pajak).
 Ditinjau dari segi hukum, pajak adalah perikatan
yang timbul karena undang-undang, yang
mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang (Tatbestand)
untuk membayar sejumlah uang kepada (kas)
negara yang dapat dipaksakan, tanpa mendapatkan
suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk,
yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara.
 Sesuai dengan tujuan hukum, yaitu membuat
adanya keadilan, begitu juga tujuan hukum pajak
pun adalah membuat adanya keadilan dalam soal
pemungutan pajak. Asas keadilan itu harus dipegang
teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-
undangannya maupun dalam praktek sehari-hari.
 Secara fiskal, keadilan lebih ditujukan pada
keadaan pemerataan dalam arti sama rata dan sama
rasa distribusi beban penerimaan negara (pajak)
yang harus dibayar oleh segenap warga masyarakat.
 Keadilan dalam sistim pajak meliputi dua aspek,
yaitu horizontal dan vertikal. Keadilan horizontal
menyangkut ekualitas (kesamaan) perlakuan
pemajakan antar orang yang berada dalam keadaan
(kemampuan pajak) yang sama, sedangkan keadilan
vertikal menunjuk kepada perbedaan pemajakkan
antar orang yang berada dalam keadaan yang
bebeda kemampuan membayarnya.
 Ada 4 (empat) syarat dalam pemungutan pajak
agar tercapai keadilan dan kepastian hukum, serta
agar dapat tercapainya kedua fungsi pajak.
Keempat syarat tersebut adalah syarat keadilan,
syarat yuridis, syarat ekonomis dan syarat finansial.
 1.-Syarat keadilan: syarat pemungutan pajak
pada umumnya adalah mengabdi kepada
keadilan, baik keadilan dalam prinsip
mengenai perundang-undangannya maupun
dalam praktek sehari hari. Memang keadilan
relatif, yang dulu dianggap adil skarang
tidak demikian atau sebaliknya.
 0leh karena adil itu relatif, maka dalam menentukan
keadilan di bidang perpajakan bisa digunakan
beberapa acuan seperti, berikut:
• Keadilan itu akan terasa apabila pajak itu
dikenakan untuk merealisasikan tujun negara yang
berfungsi menyelenggarakan kesejahteraan bagi
rakyat.
• Pedoman umum untuk dapat mengatur keadilan
yaitu asas-asas perbandingan (evenreddigheid) yang
perumusannya adalah setiap anggota masyarakat
adalah sama dan sederajat.
• Pemungutan pajak itu haruslah umum
(algemeinheid) dan merata (gelijkheid).
2-Syarat finansial:
- syarat ini sejalan dengan fungsi budgetair,
yaitu bahwa pajak merupakan sumber utama
penerimaan negara yang akan digunakan
untuk menutup sebagian pengeluaran negara.
- Sebagian besar negara menjadikan pajak
sebagai sumber utama penerimaan negera.
Dengan demikian maka pemungutan pajak
harus diusahakan seefektif dan seefisien
mungkin, sehingga bisa memasukkan uang ke
kas negara sebanyak-banyaknya dan
meminimalkan biaya pemungutan sekecil-
kecilnya.
berarti dalam pemungutan pajak berlaku
pertimbangan analisis biaya dan manfaat.
Tidak ada manfaatnya bila negara memungut pajak
dimana biaya pemungutan lebih besar dari pada
jumlah uang masuk ke kas negara.
3. Syarat yuridis;
pemungutan pajak harus berdasarkan pada
ketentuan yang legal dan formal, atau dengan kata
lain harus ada dasar hukumnya. Dasar hukum
tersebut haruslah dapat memberi jaminan hukum
terhadap negara dan rakyatnya. Dasar hukum
tersebut penting sekali dalam rangka mendapatkan
rasa keadilan yang tegas.
-Dalam penyusunan undang-undang secara umum
tidak boleh dilupakan hal-hal sebagai berikut:
a.hak-hak fiskus (Ditjen pajak dan Ditjen Bea Cukai)
yang telah diberikan oleh undang-undang harus
dijamin dapat terlaksana dengan lancar.
b.wajib pajak harus mendapat jaminan hukum agar
tidak diperlakukan dengan semena-mena
oleh fiskus, sehingga wajib pajak mendapatkan
kepastian hukum dan keadilan.
c.harus ada jaminan mengenai rahasia wajib pajak
mengenai informasi yang telah disampaikan kepada
aparat pajak maupun pejabat lainnya.
4. Syarat ekonomis;
pada pokoknya pemungutan pajak merupakan alat
bagi pemerintah untuk melaksanakan politik
perekonomian suatu negara. Sehingga dalam
pelaksanaan pemungutan pajak harus tetap terjaga
keseimbangan kehidupan ekonomi.
-syarat ini sejalan dengan fungsi non- budgetair dan
tetap sesuai dengan asas keadilan, karena rakyat
tidak boleh dibebani pajak yang berat yang tidak
sesuai dengan kemampuannya, sehingga bisa
menyulitkan kehidupan sehari-hari.
 Dengan kata lain syarat ekonomis ini sejalan dengan
fungsi mengatur, oleh karenanya pemungutan pajak
harus diusahakan:
1.jangan sampai menghambat kelancaran produksi.
2.jangan sampai menghambat usaha rakyat
mencapai kebahagiaan dan jangan sampai
merugikan kepentingan umum.
3.dapat membantu dalam menciptakan pemeratan
pendapatan nasional atau redistribusi pendapatan
nasional.
TIMBUL DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK
 Utang piutang pajak sama seperti halnya utang
piutang perdata artinya sah secara hukum.
 Secara yuridis dalam persoalan utang piutang itu
terdapat dua pihak yang terlibat yaitu pihak
debitur dan pihak kreditur yang masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban masing-masing.
 Timbulnya utang dalam hukum perdata disebabkan
oleh adanya perikatan yang dikuasai hukum
perdata. Dalam perikatan perdata, maka pihak
yang satu berkewajiban memenuhi apa yang
menjadi hak pihak lain. Kewajiban bagi salah satu
pihak merupakan hak bagi pihak lain.
 Dalam hubungannya dengan timbulnya utang pajak,
secara konsep terdapat dua ajaran, yaitu ajaran
materiel dan ajaran formiel.
a.Ajaran materiel: utang pajak timbul bila ada sebab-
sebab yang negakibatkan seseorang atau suatu pihak
dikenakan pajak. Berarti pajak timbul bila dipenuhi
adanya tatbestand, yaitu rangkaian perbuatan,
keadaan dan peristiwa yang dapat menimbulkan
utang pajak.
 Oleh karena itu timbulnya utang pajak adalah
karena bunyi undang-undang saja, tanpa diperlukan
suatu perbuatan manusia(jadi sekalipun tidak
dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus.
 Utang pajak timbul asalkan telah dipenuhi syarat
terdapatnya suatu tatbestand, karena oleh undang-
undang timbulnya utang pajak dihubungkan
dengan adanya suatu tatbestand; yang terdiri dari
keadaan-keadaan tertentu dan atau juga peristiwa
ataupun perbuatan tertentu.
 Contoh perbuatan, keadaan dan peristiwa adalah
sebagai berikut:
1. perbuatan, seperti mendirikan bangunan,
bepergian ke luar negeri, melakukan kegiatan
ekspor, impor, melakukan penjualan barang kena
pajak
2. keadaan, seperti memiliki tanah/bumi dan
bangunan, memiliki deposito, memiliki kendaraan
bermotor, memperoleh penghasilan, memiliki
kekayaan dan sebagainya.
3. peristiwa atau kejadian, seperti menang lotre,
mendapatkan hadiah undian, pembagian warisan.
 Ajaran materiel cocok dalam sistem perpajakan
yang menganut self assessment system. Self
essessment system adalah sistm pemungutan pajak
yang mewajibkan subyek pajak (wajib pajak dan
wajib potong) untuk aktif menghitung, memotong,
menyetor dan melaporkan jumlah pajak yang
terutang dan kewajiban pajak lainnya.
b. Ajaran Formiel; menurut ajaran ini utang pajak
timbul bila sudah ada ketetapan pajak dari
pemerintah (fiscus). Dalam ajaran ini walaupun
sudah terpenuhi adanya tatbestand, namun bila
belum ada surat ketetapan pajak dari fiscus maka
berarti belum ada utang pajak.
 surat ketetapan pajak dalam hal ini berfungsi
sebagai alat bagi fiscus untuk menghitung,
menetapkan dan memberitahukan serta menagih
jumlah pajak yang terutang.
 Dengan berlakunya Undang-Undang No.16Tahun
2009 perubahan keempat Atas UU No.6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
 Dengan berlakunya Undang-undang perpajakan
tahun 2009, Indonesia menganur ajaran materiel.
Pasal 12 ayat (1) UU No.16Tahun 2009 berbunyi:
“Setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan
pajak”.
 Pasal 29 ayat (3) UU No.16 Tahun 2009: mengatur
kewajiban wajib pajak yang diperiksa untuk:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku
atau cacatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan
dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
pekerjaan bebas wajib pajak, atau obek yang
terutang pajak.
b.Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat
atau ruang yang dipandang perlu dan memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c.Memberikan keterangan lain yang diperlukan.
 Pasal 13 UU No.16 Tahun 2009, terkait dengan
kondisi-kondisi yang perlu dikeluarkannya SPT.
 Kesimpulan yang dapat ditarik: Surat Ketetapan
Pajak tersebut diterbitkan kalau wajib pajak atau
wajib potong tidak disiplin dan atau tidak mematuhi
ketentuan yang telah ditetapkan.
 Jadi prinsip utamanya tetap self essessment system
dan menganut ajaran materiel.
 Berakhirnya utang pajak: (UU KUP
dan UU lainnya)
 Cara yang dilakukan untuk mengakhiri
utang pajak:
- Pembayaran
- Pembayaran dengan cara lain
- Kompensasi
- Peniadaan
- Pembebasan dan daluarsa.
1. Pembayaran secara lunas.
 Pembayaran secara lunas dalam bentuk sejumlah uang yang
dilakukan oleh wajib pajak, penanggungpajak, atau kuasa
hukumnya
 Membayar dalam bentuk sejumlah uang ke kas negara
 Dengan mata uang dari negara yang memungut pajak
 Untuk pajak langsung dilakukan oleh wajib pajak yang
namanya tercantum dalam SPT.
 Untuk pajak tidak langsung, pembayarannya wajib dilakukan
oleh wajib pajak yang ditentukan UU Pajak (tanpa diketahui
siapa namanya)
 Dalam pajak tidak langsung, siapa yang bertanggungjawab
atas pembayarannya, siapa yang akhirnya harus memikul
beban pajak.
2. Pembayaran dengan cara lain.
 UU pajak memperkenankan pembayaran
dengan cara lain:
 Pembayaran bukan dalam bentuk uang
tetapi dengan cara suatu perbuatan
hukum yang diperkenankan dalam
hukum pajak.
 Dalam Bea materei, pembayaran
menggunakan kertas materai atau
materai tempel.
3. Kompensasi
 Dalam utang pajak ada ketentuan yang bisa
mengkompensasikan antara utang piutang pajak.
Misalnya antara kelebihan satu jenis pajak dengan
kekurangan jenis pajak yang lain, seperti kelebihan
pajak penghasilan dikompensasikan ke Pajak Bumi
dan Bangunan.
 Atau kompensasi kelebihan pembayaran pajak tahun
yang lalu dengan utang pajak dengan utang pajak
tahun berjalan untuk pajak sejenis. Misalnya
kelebihan pembayaran pajak penghasilan tahun 2007
digunakan untuk mengkompensir pembayaran pajak
penghasilan tahun 2008.
 Kelebihan pembayaran pajak adalah hak wajib pajak dan
dapat dikreditkan, kelebihan membayar pajak dapat
dikompensasi dengan utang pajak yang timbul di masa
mendatang.
 Kredit pajak yang terjadi pada pajak penghasilan yang dapat
dikompensasi dengan utang pajak yang timbul dari pajak
penghasilan yaitu:
a. Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan;
b.Pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha;
c. Pemotongan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen,
royalti, sewa dan imbalan lainnya.
d.Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri
e. Pemotongan pajak atas penghasilan yang bersumber di
Indonesia yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap.
 kredit pajak yang terkait dengan pajak pertambahan nilai
dan pajak penjualan atas barang mewah.
- Kredit pajak yang terjadi dapat dikompensasi dengan utang
pajak, apabila pajak masukan lebih besar dari pada pajak
keluaran dalam suatu masa.
 pajak masukan: pajak pertambahan nilai yang seharusnya
dibayar oleh pengusaha kena pajak karena perolehan
barang kena pajak dan/perolehan jasa kena pajak/atau
pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar
daerah pabean dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak dari
luar daerah pabean dan/atau impor barang kena pajak.
4. Penghapusan utang
 Penghapusan utang; penghapusan
umumnya disebabkan karena keadan
ekonomi wajib pajak. Misalnya wajib
pajak mengalami kebangkrutan, harta
benda wajib pajak habis karena terkena
bencana alam dan sebagainya. Yang
berhak menyatakan wajib pajak
bangkrut adalah lembaga yang
berwenang yang diatur dalam undang-
undang.
 Penghapusan utang pajak hanya dapat terjadi
karena berdasarkan permohonan wajib pajak:
a.Penghapusan sebagian utang pajak:
- Dilakukan oleh pejabat pajak yang bertugas
mengelola pajak (pusat dan daerah).
b. Penghapusan secara keseluruhan utang
pajak;
- Oleh pejabat pajak yang bertugas mengelola
pajak, untuk menghapuskan seluruh utang
pajak yang seharusnya dibayar.
 Pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan oleh pejabat pajak untuk
membebaskan utang pajak (UU PPh).
a.Wajib pajak meninggal dunia dengan tidak
meninggalkan harta warisan dan tidak
mempunya ahli waris;
b.Wajib pajak menghilang sehingga tidak dapat
ditemukan;
c.Wajib pajak tidak memiliki harta kekayaan
lagi (pailit).
 Pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh
pejabat pajak untuk membebaskan utang pajak,
untuk PBB:
a.Karena kondisi tertentu obyek pajak yang ada
hubungannya dengan wajib pajak dan/atau karena
sebab-sebab tertentu lainnya:
- Lahan pertanian yang sangat terbatas;
- Lahan yang nilai jualnya meningkat sebagai
konsekwensi perubahan lingkungan dan dampak
positif pembangunan serta yang pemanfaatannya
belum sesuai dengan peruntukannya;
- Bangunan yang ditempati sendiri yang dikuasai atau
dimiliki oleh wajib pajak.
b. Dalam hal obyek pajak terkena
bencana alam atau sebab lain yang
luar biasa, seperti:
 gempa bumi, banjir, tanah longsor,
atau;
 sebab lain yang luar biasa, misalnya
kebakaran, kekeringan, wabah
penyakit tanaman, dan hama
tanaman lainnya
 Demikian pula dengan pertimbanagan-
pertimbangan yang digunakan oleh pejabat pajak
yang bertugas mengelola pajak daerah, terhadap Bea
Perolehan Hak atas tanah dan bangunan,yaitu:
a. Kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya
dengan obyek pajak:
 Wajib pajak tidak mampu secara ekonomis
memperoleh hak baru melalui program pemerintah
di bidang pertanahan;
 Wajib pajak orang pribadi menerima hibah dari
orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke
atas atau satu derajat ke bawah.
b. Kondisi wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab-
sebab tertentu,
 wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui
pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti
ruginya di bawah nilai jual obyek pajak.
 wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai
penggantian atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah
untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan
khusus;
 wajib pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan
moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian
nasional sehingga wajib pajak harus melakukan
restrukturisasi usaha dan/atau utang usaha sesuai dengan
kebijaksanaan pemerintah.
5. Pembebasan
 ketentuan yang mengatur tentang pembebasan yang terkait
dengan utang pajak terdapat dalam ketentuan UU PPN.
Ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU PPN menegaskan “atas ekspor
barang mewah dikenakan pajak yang tergolong barang
mewah dikenakan pajak dengan tarif nol persen”.
 tujuan pembebasan adalah agar pengusaha kena pajak
dapat meningkatkan kegiatan ekspornya ke negara lain
 Dan tentunya untuk mendapat penghasilan yang dapat
dimasukkan ke dalam wilayah negara RI.
 pembebasan utang dimaksud tidak melibatkan campur
tangan pejabat pajak yang bertugas mengelola pajak pusat.
6. Kedaluwarsa
 Wewenang untuk menagih pajak mempunyai jangka waktu
tertentu sebagai bentuk kepastian hukum yang tidak boleh
diabaikan atau dikesampingkan.
 dadaluarsa PPN dan Pajak Penjualan atas barang mewah,
terikat pada jangka waktu yang ditentukan dalam UU KUP,
yaitu ditentukan 10 tahun.
 Kadaluwarsa penagihan pajak daerah, seperti pajak
kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor,
PBB pedesaan dan perkotaan, bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan setelah melampaui 5 tahun , teritung saat
terhutangnya pajak, kecuali apabila wajib pajak melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
Daluarsa.......
 kedaluwarsa penagihan pajak daerah tersebut
ditangguhkan apabila:
a. Diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa;
atau
b. Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak, baik
langsung mamupun tidak langsung
 Dalam hal diterbitkan surat teguran/atau paksa ,
kedaluwarsa penagihan pajak daerah terhitung
sejak tanggal penyampaian surat paksa.
I. KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (Undang-
Undang RI Nomor 16 Tahun 2009)
 Beberapa ketentuan penting di dalamnya antara lain:
a. Istilah-istilah perpajakan
b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Pengusaha Kena Pajak
(PKP)
c. Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP)
d. Surat Pemberitahuan Pajak (SPT)
e. Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Tagihan Pajak (STP), dan Surat
Ketetapan Pajak (SKP).
f. Pembukuan
g. Keberatan
h. Banding
i. Penyidikan di bidang perpajakan
j. Ketentuan pidana bagi Pejabat Perpajakan.
k. Ketentuan khusus
II. PAJAK PENGHASILAN
A.Dasar Hukum
 UU No.36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No.7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
 Undang-undang ini mengatur pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi maupun
Badan.
 Subyek pajak dalam negeri:
- Orang pribadi
- Badan
- Warisan
 Subyek pajak luar negeri:
- Orang pribadi bukan BUT
- Badan bukan BUT
- BUT
B. Subyek Hukum
 PPh dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam suatu tahun pajak (subyek pajak tersebut dikenakan
pajak apabila menerima atau memperolrh penghasilan), Pasal 1 angka 1.
 Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam
pengerrtian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dari
manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
menambah kekayaan wajib pajak tersebut (Pasal 4 ayat 1).
 Subyek pajak adalah orang pribadi, warisan, atau badan; termasuk bentuk
usaha tetap baik yang berada di dalam negeri maupun yang di luar negeri
yang mempunyai atau memperoleh pnghasilan dari Indonesia.
Subyek Pajak Dalam Negeri:
 Subyek Pajak Dalam Negeri adalah orang pribadi atau badan yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di dalam Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia atau luar
Indonesia baik dengan atau tanpa melalui bentuk usaha tetap di luar negeri
dan juga warisan yang belum terbagi.
 Subjek Pajak Dalam Negeri: berbentuk : Orang Pribadi, Badan dan
Warisan.
1. Orang Pribadi.
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
b. Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal
di Indonesia.
 Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Subjektif Orang Pribadi sebagai
Subjek Pajak Dalam Negeri.
 Dimulainya kewajiban pajak subjektif orang pribadi dibedakan dengan
ketentuan:
- Bagi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat orang
tersebut lahir di Indonesia.
- Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari
pertama orang tersebut berada di Indonesia.
2. Badan
 Kewajiban pajak subjektif badan yang didirikan atau berkedudukan di
Indonesia dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
berkedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau
tidak lagi berkedudukan di Indonesia.
 Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan
, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang
meliputi:
1. Perseroan terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV), perseroan
lainnya (PT Persero).
2. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD).
3. Firma, Kongsi, Persekutuan, Perkumpulan.
4. Organisasi Massa, Organisasi sejenis, organisasi politik.
5. Lembaga, Bentuk Usaha Tetap, Badan lainnya.
 Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Subjektif Badan sebagai Subjek Pakaj Dalam Neberi.
 Kewajiban pajak subjektif badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia dimulai
pada saat badan tersebut didirikan atau berkedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat
dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.
3. Warisan yang belum Terbagi.
 Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti ,
menggantikan mereka yang berhak , yaitu ahli waris.
 Penunjukkan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar
pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan.
 Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Subjektif Warisan Sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri.
 Kewajiban subjek pajak warisan yang belum dibagi dimulai pada saat timbulnya warisan
yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
 Warisan yang belum dibagi dapat dibedakan sesuai orang pribadi yang meninggalkan
warisan menjadi:
- Warisan subjek pajak dalam negeri; apabila warisan yang ditinggalkan tersebut belum
terbagi , dan menggantikan kewajiban pewaris, sampai dengan warisan tersebut dibagi.
- Warisan subjek pajak luar negeri; subjek pajak luar negeri tidak menjadi subjek pajak Luar
Negeri menggantikan kewajiban waris yang berhak, apabila orang pribadi subjek pajak luar
negeri tersebut tidak menjalankan usaha melalui suatu BUT.
Subjek Pajak Luar Negeri
 Subjek pajak orang pribadi luar negeri
adalah:
a.Yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
b.Yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di indonesia.
SPDN SPLN
Penghasilan yang Penghasilan dari Hanya
dikenai pajak seluruh dunia penghasilan dari
penghasilan Indonesia

Pengenaan Pajak Dari Penghasilan Dari penghasilan


neto (PKP) bruto
Tarif Pajak Progresif Tetap
Kewajiban SPT Wajib Tidak wajib
mennyampaikan
SPT
 Subjek Pajak Luar Negeri dapat dibedakan menjadi:
 Orang pribadi tidak melalui badan usaha tetap
 Badan tidak melalui bentuk usaha tetap
 Bentuk usaha tetap
a. Orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri dapat dibedakan menjadi:
- Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau yang tidak berada lebih dari 183
hari dalam 12 bulan atau tidak niat bertempat tinggal di Indonesia yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatanusaha di Indonesia baik dengan atau
tanpa BUT.
- Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Indonesia
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indoneisa , baik melalui
atau tanpa melalui bentuk usaha tetap adalah merupakan subjek pajak luar
negeri.
 Orang pribadi dapat disebut subyek pajak luar negeri dengan ketentuan:
 Tidak bertempat tinggal di Indonesia
 Berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam 12 bulan
 Tidak berniat tinggal di Indonesia
b. Badan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri
 Yaitu badan yang berkedudukan di luar Indonesia
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia, baik melalui atau pun tanpa melalui
bentuk usaha tetap.
c. Bentuk Usaha Tetap Subjek Pajak Luar Negeri
 Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah suatu tempat
usaha, yang seluruh atau sebagian usaha dari suatu
perusahaan dijalankan oleh Subjek Pajak Luar
Negeri.
 BUT adalah suatu sarana bagi non-resident taxpayer
untuk melakuka bisnis di negara lain, yang berupa
agen, perwakilan dagang, cabang atau anak
perusahaan, BUT dapat berupa orang pribadi atau
 PENGECUALIAN SUBJEK PAJAK
a. Badan perwakilan negara asing.
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat
lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada
mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan dan
pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik.
c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan, dengan syarat:
(1)Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
(2)Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran anggota.
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan sysrat bukan WNI dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan lain di Indonesia.
OBYEK PAJAK PENGHASILAN
 Pajak penghasilan sebagai salah satu pajak negara
memiliki obyek yang dapat dikenakan pajak, yakni
“Penghasilan”. Pengertian penghasilan menurut Pasal 4
ayat (1) UUPh, adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun di luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di
dalamnya:
a. gaji, upah, komisi, bonus, atau gratifikasi, uang pensiun
atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;
b. Honorarium, hadiah undian dan penghargaan;
c. Laba bruto usaha;
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk
keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta
karena likuaidasi.
e. Penerimaan Kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai
biaya;
f. Buga;
g. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh
perseroan, pembayaran deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada pengurus dan pengembalian
sisa hasil usaha koperasi kepada anggota;
h. Royalti;
i. Sewa dari harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. Keuntungan karena pembebasan utang.
 Pengertian penghasilan tersebut tidak memperhatikan adanya penghasilan dari
sumber tertentu, etapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Dalam
hubungan ini menurut Rcochmat Soemitro, bahwa segala sesuatu yang diterima
atau diperoleh wajib pajak baik berupa uang, barang atau berupa nikmat pada
prinsipnya merupakan penghasilan yang kena pajak.
 Pengertian penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) UU Phhanya
berpatokan pada penambahan kepampuan ekonomis bukan pada sumber
penghasilan itu sendiri. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan
ekonimis kepada wajib pajak, dapat dikelompokan menjadi:
1. Penghasilan dari pekerjaan, yaitu pekerjaan dalam hubungan kerja dan
pekerjaan bebas seperti, penghasilan dari praktek dokter, notaris, akuntan
public, aktuaris (ahli matematika asuransi jiwa}, pengacara dan sebagainya;
2. Penghasilan dari kegiatan usaha , yaitu kegiatan melalui sarana perusahaan;
3. Penghasilan dari modal, baik penghasilan dari modal berupa harta gerak,
seperti bunga, deviden, rayalty, maupun penghasilan dari modal berupa harta
tak gerak, sewa rumah, dan sebagainya, juga termasuk dalam kelompok
penghasilan dari modal ini adalah penghasilan dari harta yang dikerjakan
sendiri, mialnya penghasilan yang diperoleh dari pengerjaan sebidang tanah,
keuntungan penjualan harta .
4. Penghasilan lain-lain, seperti menang lotre, pembebasan utan, dan lain-lain
penghasilan yang tidak termasuk dalam kelompok lain.
 Dilihat dari penggunaanya, penghasilan dapat digunakan untuk konsumsi dan
dapat pula ditabung yang selanjutnya digunakan untuk memperoleh harta yang
tidak digunakan habis sebagai konsumsi dalam satu tahun.
 Disamping itu, terdpat pula penghasilan yang dapat dikenakan pajak penghasilan yang
bersifat final sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, berupa pengenaan
pajak atas bunga deposito berjangka dan tabungan-tabungan lainnya diatur lebih lanjut
dalam Peraturan pemerintah.
 Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPPh pada hakekatnya memberikan kewenangan pada
pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pengenaan pajak atas bunga deposito berjangka
dan tabungan-tabungan lainnya
 Kewenangan itu wajib ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah dan bukan
peraturan lainnya agar terdapat konsistensi dengan Pasal 4 ayat (2) UU PPh sehingga
memperlihatkan ketaatan pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menegaskan
“Indonesia adalah negara hukum”.
 Penghasilan yang merupakan obyek pajak bentuk usaha tetap (BUT) berbeda dengan
penghasilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat 1 UU PPh. Hal ini didasarkan
pada Pasal 5 UU PPh yang menegaskan bahwa:
1. Yang menjadi obyek pajak bentuk usaha tetap adalah:
a. Penghasilan dari kegiatan usaha bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang
dikuasai atau dimilikinya;
b.Penghasilan induk perusahaan dan badan lain yang bukan wajib pajak dalam negeri
yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, dari kegiatan
usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa di Indonesia, yang sejenis
dengan kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia, kecuali penghasilan sebagaimana
dimaksud ayat (2).
2. Apabila induk perusahaan dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau badan lain yang
bukan wajib pajak dalam negeri yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan
tersebut, menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia berdasarkan Pasal 26, maka:
a. Penghasilan bentuk usaha tetap tersebut tidak boleh dikurangi dengan biaya-biaya yang
berkenaan dengan penghasilan induk perusahaan atau badan lain terseut;
b. Pajak untuk perusahaan atau badan lain itu tidak boleh dikreditkan dengan pajak bentuk
usaha tetap.
 Walaupun penghasilan merupakan objek pajak penghasilan, namun tidak semua penghasilan
dapat dikenakan pajak penghasilan. Oleh karena dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh telah
ditentukan secara limitative mengenai penghasilan tidak termasuk obyek pajak penghasilan.
 Adapun penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak penghasilan adalah sebagai
berikut:
a. Harta hibahan atau bantuan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan dari
pihak yang bersangkutan;
b. Warisan;
c. Pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit atau karena meninggalnya
orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa;
d. Penggantian berkenaan dengan pkerjaan atau jasa yang dinikmati dalam bentuk natura,
dengan ketentuan bahwa yang memberikan penggantian adalah pemerintah atau wajib pajak
menurut UU PPh dan wajib pajak yang memberikan penggantian terseut, sesuai ketentuan
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, tidak boleh mengurangkan penggantian itu sebagai biaya.
e. Keuntungan karena pengalihan harta orang pribadi, harta anggota firma, perseroan
komanditer atau kongsi tersebut kepada perseroan terbatas di dalam negeri sebagai
pengganti sahamnya , dengan syarat:
1) Pihak yang mengalihkan atau pihak-pihak yang mengalihkan scara Bersama-sama
memiliki paling sedikit smbilan puluh persen dari jumlah modal yang disetor;
2) Pengalihan tersebut diberitahuakan kepada Direktur Jenderal Pajak;
3) Pengenaan pajak dikemuadian hari atas keuntungan tersebu dijamin.
f. Harta yang diterima oleh perseroan, persekutuan atau badan lainnya sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
g. Diveden yang diterima oleh perseroan dalam negeri, selain bank atau Lembaga keuangan
lainnya, dari perseroan lain di Indonesia dengan syarat, bahwa perseroan yang menerima
dviden tersebut paling sedikit memeiliki dua puluh lima persen dari nilai saham yang
disetor dari badan yang membayar diveden dan kedua badan tersebut mempunyai
hubungan ekonomis dalam jalur usahanya;
h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang disetujui Menteri Keuangan, baik
yang dibayar oleh pemberi kerja maupun oleh karyawan, dan penghasilan dana pensiun
serupa dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan;
i. Penghasilan Yayasan dari usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umm;
j. Penghasilan Yayasan dari modal sepanjang penghasilan itu semata-mata digunakan untuk
kepentingan umum;
k. Pembayaran keuntungan dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-
saham, firma, kongsi dan persekutuan kepada para anggotanya, kecuali apabila ditetapkan lain oleh
Menteri keungan, karena terdapat penyalahgunaan.
 Penghasilan sebagaimana tersebut merupakan obyek pajak penghasilan tetapi tidak dikenakan
pajak penghasilan. Mengingat; penentuan suatu obyek pajak penghaslan masuk ke dalam
kategori kena pajak penghasilan atau tidak kena pajak penghasilan harus berdasarkan dengan UU
PPh. Kecuali ada pendelegasian UU PPh kepada peraturan yang lebih rendah.
OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai satu diantara dua jenis pajak yang
diatur dalam UU PPN. Selan pajak pertambahan nilai terdapat pula pajak
penjualan atas barang mewah yang merupakan satu kesatuan sebagai pajak
atas konsumsi di dalam negeri.
 Walaupun meruapak satu kesatuan, namun memiliki perbedaan secara
prinsipil, khususnya di bidang objek yang dapat dikenakan pajak.
 Objek pajak pertambahan nilai secara tegas diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU
PPN, yang menegaskan pajak pertambahan nilai dikenakan atas:
1. Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilaukan oleh
pengusaha;
2. Impor barang kena pajak;
3. Penyerahan jasa kena pajak di dalam pabean yang dilakukan oleh
pengusaha.
4. pemanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean
5. Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
6. Ekspor barang kena pajak berwujud oleh pengusaha kena pajak;
7. Ekspor barang kena pajak tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak;
8. Ekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
 Untuk lebih jelas mengenai substansi bagi pengenaan pajak pertambahan nilai, satu persatu
dikaji secara mendalam dengan berpatokan pada UU PPN.
 1. Penyerahan barang kena pajak.
 Barang kena pajak mepiputi barang berwujud dan barang tidak berwujud.
 Barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak dan
barang tidak bergerak, sedangkan barang tidak berwujud adalah barang yang tidak kelihatan
dan tidak dapat dipegang, misalnya hak merk, hak paten dan hak cipta.
 Jenis barang yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai adalah barang tertentu dalam
kelopok barang berdasarkan Pasal 4A ayat (2) UU PPN beserta penjelasannya, adalah sebagai
berikut:
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
a. Minyak mentah (crude oil);
b. Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat;
c. Panas bumi;
d. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permat , benonit, dolomit,
felsfar (feldspor), garam batu (halite), granit, grafit pips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer,
nitrat, opsidian, oker, pasir dan kerikil pasir kuarsa, per;it pospat, tanah serap , tanah deatome, tanah
liat, tawas, basal dan trakkit
e. Batubara sebelum diproses menjadi berikat batubara, dan
f. Biji besi, biji timah, biji emas, biji tembaga, biji nikel , biji perak seta biji bauksit.
2.Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
g. Beras;
h. Gabah;
i. Jagung’\;
j. Sagu;
k. Kedelai;
l. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
m. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong,
didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan
dengan cara lain, dan/atau direbus
n. Telur, yaitu telur yang tidak diolah termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan atau dikemas.
o. Susu, yaitu susu perah baik yang sudah melalui proses didinginkamapun dipanaskan, tidak
mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan atau dikemas atau tidak dikemas;
p. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi,
dikupas, dipotong, diiris di-grading, dan atau dikemas atau tidak dikemas; dan
q. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan dan/atau disimpan pada suhu
rendah, termasuk sayur segar yang dicacah.
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan warung dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidk,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering, dan
4. Uang, emas batangan dan surat-surat berharga.
 Penyerahan barang kena pajak adalah setiap kegiatan penyerahan barang kena pajak. Yang
termasuk dalam pengertian penyerahan barang barang kena pajak berdasarkan UU PPN,
meliputi:
a. Penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian;
b. Pengalihan barang kena pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian
sewa guna usaha (leasing);
c. Penyerahan barang kena pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian Cuma-Cuma atas barang kena pajak;
e. Barang kena pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisah pada saat pembubaran perusahaan;
f. Penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
barang kena pajak antar cabang;
g. Penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi, dan
h. Penyerahan barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak dalam rangka perjanjian
pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip Syariah, yang penyerahannya dianggap
langsung dari pengusaha kena pajak kepada pihak yang membutuhkan barang kena pajak.
 Penyerahan barang kena pajak tersebut memerlukan persyaratan agar dapat dibenarkan
oleh hukum pajak.
 Adapun persyaratan yang digunakan untuk menentukan penyerahan barang yang
dikenakan pajak berdasarkan UU PPN adalah sebagai berikut.
a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak;
b. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak tidak berwujud
c. Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean; dan
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
 Persyaratan terhadap penyerahan barang kena pajak pada hakekatnya untuk memberikan
kepastian hukum.
 Hal ini dipruntukan bagi pengusaha kena pajak dalam rangka melakukan penyerahan
barang kena pajak sehingga memudahkan untuk mengetahui dan memahami kewajibannya
memenuhi ketentuan dalam UU PPN.
 Dengan demikian, pengusaha kena pajak tidak mudah melakukan perbuatan melanggar
Ketika melaksanakan kegiatan berupa penyerahan barang kena pajak sebagai objek pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
 2. Impor Barang Kena Pajak
 UU PPN tidak hanya mengenakan pajak pertambahan nilai terhadap penyerahan barang kena
pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha, tetapi termasuk pula impor
barang kena pajak. Impok barang kena pajak merupakan objek kena pajak pertambahan nilai.
 Pasal 1 angka 9 UU PPN menegaskan bahwa impor barang kena pajak adalah setiap kegiatan
memasukan barang dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean
 Sementara itu, daerah pabean adalah wilayah republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan
landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang yang mengatur kepabeanan.
 Pengusaha yang melakukan kegiatan di bidang impor barang kena pajak dinamakan “importir”.
Importir adalah pengusaha (orang atau badan) yang mempunyai pekerjaan memasukan barang,
baik barang konsumsi, barang modal atau bahan ke wilayah republic Indonesia, dalam
lingkungan usaha atau pekerjaannya
 Kegiatan memasukan barang disebut impor. Sdangkan “indentor” adalah orang atau badan yang
brtempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia yang dalam lingkungan usaha atau
pekerjaannya menyuruh importir untuk mengimpor barang untuk dan atas nama
kepentingannya.
 Impor barang kena pajak berbeda dengan penyerahan barang kena pajak karena tidak ada
impor barang kena pajak yang tidak termasuk dalam pengertian kena pajak pertambahan nilai,
seperti halnya penyerahan barang dan penyerahan jasa kena pajak.
 Dalam arti, impor pajak kena pajak tidak boleh ada penafsiran lain selain yang terdapat dalam
UU PPN. Penafsiran yang terdapat dalam UU PPN merupakan penafsiran autentik yang tidak
boleh diragukan.
 3. Penyerahan Jasa Kena Pajak.
 Pengusaha yang melakukan penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean dikenakan
pajak pertambahan nilai. Jasa kena pajak adalah jasa yang dikenakan pajak berdasarkan
UU PPN.
 Sementara itu, jasa adalah setiap egiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atay
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia
untuk digunakan, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena
pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
 Penyerahan jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pemberianjasa kena pajak pertambahan
nilai. Kegiatan pemberian jasa kena pajak dilakukan oleh pengusaha walaupun bukan
pengusaha kena pajak.
 Siapapun yang melakukan penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean, termasuk
pengusaha kena pajak dikenakan pajak pertambahan nilai.
 Pengusaha kena pajak mengandung arti yang luas dibandingkan dengan pengusaha karena
pengusaha hanya bagian dari pengusaha kena pajak.
 Hal yang termasuk dalam pengertian penyerahan jasa kena pajak adalah jasa kena pajak
yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan /atau jasa kena pajak yang diberikan
Cuma-Cuma.
 Berkaitan dengan penyerahan jasa kena pajak, terdapat persyaratan agar dapat dikenakan
pajak pertambahan nilai.
 Adapun persyaratan sehingga penyerahan jasa kena pajak terutang pajak pertambahan nilai
adalah sebagai berikut:
a. Jasa yang diserahkan merupakan jasa kena pajak;
b. Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean;
c. Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
 Tidak semua penyerahan jasa kena pajak yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak di
dalam daerah pabean dikenakan pajak pertambahan nilai. Karena UU PPN memberikan
pengecualian untuk tidak dikenakan pajak pertambahan nilai. Adalah jasa tertentu dalam
kelompok jasa berdasarkan Pasal 4A ayat (3) UU PPN beserta penjelasannya, adalah sebagai
berikut.
a. Jasa pelayanan Kesehatan medis, meliputi:
1) Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.
2) Jasa dokter hewan;
3) Jasa ahli Kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi dan ahli fisioterapi;
4) Jasa kebidanan dan dukun bayi;
5) Jasa paramedis dan perawat;
6) Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik Kesehatan, laboratorium Kesehatan dan sanatorium.
7) Jasa psikolog dan psikiater; dan
8) Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh para normal.
b. Jasa pelayanan sosial, meliputi:
1) Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
2) Jasa pemadam kebakaran;
3) Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
4) Jasa Lembaga rehabilitasi;
5) Jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, ermasuk crematorium; dan
6) Jasa bidang olahraga kecuali yang brsifat komersil.
c. Jasa pengiriman surat dengan perangko; yang meliputi jasa pengiriman dengan menggunakan perangko
tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
d. Jasa keuangan meliputi:
1) Jasa penghimpunan dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/ atau
bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
2) Jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana pada pihak lain dengan menggunakan
surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
3) Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, berupa:
a.Sewa guna usaha dengan hak opsi;
b.Anjak piutang;
c.Usaha kartu kredit, dan/atau
d.Pembiayaan konsumen.
4) Jasa penyalran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai Syariah dan fidusia; dan
5) Jasa penjaminan
e. Jasa asuransi;
- Yang dimaksud dengan jasa asuransi adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian,
asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis
asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi,
dan konsultan asuransi.
f. Jasa keagamaan meliputi:
1)Jasa pelayanan rumah ibadah;
2)Jasa pemberian khutbah atau dakwah;
3)Jasa penylenggaraan kegiatan keagamaan; dan
4)Jasa lainnya bidang keagamaan.
g. Jasa pendidikan, meliputi:
1) Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum,
pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidkan keagamaan,
pendidikan akademik, dan pendidikan professional; dan
2) Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
h. Jasa kesenian dan hiburan;
- Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
- Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi
pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan
komersial.
j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. Jasa tenaga kerja, meliputi:
1) Jasa tenaga kerja,
2) Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak berteggungjawab
atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
3) Jasa penyelenggara pelatihan bagi tenaga kerja.
l. Jasa perhotelan, meliputi:
1) Jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen,
hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang mnginap; dan
2) Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertmuan di hotel, rumah penginapan, motel,
losmen dan hostel.
m. Jasa yang disdiakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pmerintahan secara umum, meliputi:
- jenis-jenis jasa yang dilakukan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian izin mendirikan
bangunan, pemberian izin usaha perdaganagan, pemberian nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan
pembuatan kartu tanda penduduk.
n. Jasa penyediaan tempat parkir
- Yang dimaksud dengan jasa penyediaan tempat parkir adalah jasa penyediaan tempat parkir yang
dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau penguasa kepada pengguna tempat parkir dengan
dipungut bayaran.
o. Jasa Telpon umum dengan menggunakan uang logam
- Yang dimaksud dengan jasa telpon umum dengan menggunakan uang logam adalah jasa telpon
umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun swasta
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. Jasa boga atau catering.
 Pengecualian terhadap jasa tersebut bertujuan untuk memberi kepastian hukum dalam pengenaan
pajak pertambahan nilai bagi pengusaha kena pajak.
 Sebaliknya pengusaha kena pajak dapat memanfaatkan fasilitas yang sudah disediakan oleh UUPPN
agar dalam melakukan usaha atau pekerjaannya tidak dikenakan pajak pertambahan nilai.
 Pengecualian ini mencerminkan keadila bagi pengusaha kena pajak untuk melakukan usaha atau
pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa menghindari pengenaan pajak pertambahan nilai Ketika
melakukan penyerahan jasa kena pajak.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
 Penentuan secara tegas tentang barang kena pajak tidak berwujud memerlukan pengkajian secara
mendalam agar tidak menimbulkan kekeliruan bagi pengusaha kena pajak.
 Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPN beserta penjelasannya, secara tegas bahwa barang kena pajak tidak
berwujud adalah sebagai berikut.
a. Penggunaan atau hak penggunaan hak cipta di bidang kesusasteraan, kesenian atau karya ilmiah,
paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang atau bentuk hak
kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya.
b. Penggunaan atau hak penggunaan hak peralatan , prlengkapan industrial, komersial atau alamiah;
c. Pemberian pengetahuan atau informasi bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
d. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak penggunaan
hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunaan peralatan /perlengkapan tersebut
pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
1) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optic atau teknologi yang serupa;
2) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau kedunya, untuk
siaran televisi atau radio yang disiarkan atau dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optic, atau
teknologi yang serupa; dan
3) Penggunaan atau hak menggunaan Sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi.
e. Penggunaan atau hak mengunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video
untuk siaran televisi, atau vita suara untuk siaran radio; dan
f. Pelepasan seluruhnya atau Sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak
kekayaan intelektual atau industrial atau hak-hak lainya sebagaimana tersebut di atas;
 Ketika karang kena pajak tidak berwujud tersebut dianfaatkan dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean dikenakan pajak pertambahan nilai
 Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud berdasarkan atas suatu perbuatan hukum berupa
perjanjian yang dilakukan di daerah pabean antara pemilik barang kena pajak tidak berwujud dengan
pengguna barang kena pajak tidak berwujud. Pengguna selaku pihak yang dikenakan PPN.
 Berbeda halnya kalau barang kena pajak tidak berwujud berasa dari dalam daerah pabean dan
dimanfaatkan di dalam daerah pabean pula, baik pihak pemilik maupun yang memanfaatkan ,
dikenakan PPN kemudian disusul dengan pihak yang memanfaatkan barang kena pajak tidak
berwujud berdasarkan perjanjian.
7. Pemanfaatan jasa kena pajak.
 Selan pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dikenal pula pemanfaatan jasa kena pajak
dari luar darah pabean di dalamdaerah pabean dalam UU PPN.
 Pengenaan PPN terhadap pihak-pihak yang memanfaatkan jasa kena pajak dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean tidak dapat dihindarkan karena secara hukum merupakan wajib
pajak.
 Pihak yang wajib membayar PPN adalah orang atau pihak yang memanfaatkan jasa kena pajak
dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
8. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.
 Barang kena pajak berwujud merupakan bagian dari barang kena pajak berupa barang bergerak
atau barang tidak bergerak.
 Ekspor barang kena pajak berwujud juga merupakan objek PPN tatkala dilakukan oleh pengusaha
kena pajak.
 Ketika ekspor barang kena pajak berwujud hanya dilakukan oleh pengusaha bukan pengusaha kena
pajak, ekspor barang berwujud kena pajak tersebut tidak kena PPN
 Pengusaha kena pajak yang melakukan kegiatan ekspor barang kena pajak berwujud dikenakan
pajak PPN dengn tarif nol persen terhadap pengusaha kena pajak sebagai pelaksanaan tujuan
hukum pajak berupa kemanfaatan.
 Hal ini dimaksudkan agar pengusaha kena pajak dapat melakukan persaingan sehat secara hukum
dengan pengusaha asing untuk memasarkan barang kena pajak berwujud yang diespor di luar
daerah pabean.
 Meskipun demikian, pengusaha kena pajak tersebut tetap mencantumkan dalam Surat
Pemberitahuan yang akan disampikan pada kantor derektorat jenderal pajak tempat dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak.
9. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
 Selain barang kena pajak berwujud dapat pula diekspor barang kena pajak tidak berwujud yang
dilakukan oleh pengusaha kena pajak.
 Barak kena pajak tidak berwujud dapat berupa hak cipta, hak merk dan hak paten, setiap saat dapat
diekspor ke luar daerah pabean untuk kepentingan pengusaha kena pajak.
 Ekspor barang kena pajak tidak berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan barang kena pajak
tidak berwujud dari dalam daerah pabean di luar daerah pabean.
 Pengusaha kena pajak yang melakukan yang melakukan kegiatan ekspor barang kena pajak tidak
berwujud dikenakan pajak pertambahan nilai tarif nol persen
 Pengenaan pajak dengan tarif nol persen terhadap pengusaha kena pajak sebagai pelaksanaan
tujuan hukum pajak berupa kemanfaatan.
10. Ekspor Jasa Kena Pajak
 Bukan hanya ekspor barang kena pajak berwujud dan ekspor
barang kena pajak tidak berwujud dikenal dalam UUPPN,
termasuk pula ekspor jasa kena pajak.
 Ekspor jasa kena pajak adalah setiap kegiatan penyerahan jasa
kena pajak keluar daerah pabean.
 Ekspor itu dilakukan oleh pengusaha kena pajak ke luar daerah
pabean.
 Pengusaha yang melakukan kegiatan ekspor jasa kena pajak
dikenakan pajak pertambahan nilai dengan tarif nol persen.
 Pengenaan pajak dengan tarif nol persen terhadap pengusaha
kena paak sebagai pelaksanaan tujuan hukum pajak berupa
kemanfaatan.
 Hal ini diaksudkan agar pengusaha kena pajak dapat melakukan
persaingan sehat secara hukum dengan pengusaha asing untuk
memasarkan jasa kena pajak yang diekspor.

Anda mungkin juga menyukai