AIK 4 - Kelompok 8 - 20 Akt A
AIK 4 - Kelompok 8 - 20 Akt A
Kelompok 8
20 Akuntansi A
Arifatul Munawaroh
20.0102.0004
Agustina Setyarini
20.0102.0024
Materi Pembahasan :
Bentuk hubungan manusia Alur dan konsepsi homo Sifat-sifat manusia dalam
dengan economicus, homo alquran
Ekonomi ethicus, dan juga homo
Islamicus
Arifatul Munawaroh
20.0102.0004
Konsumsi Dalam Islam
Connolly dan Munro mendefinisikan konsumsi sebagai segala aktivitas manusia dalam
menggunakan barang/jasa dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan. Sementara Mansvelt
menyebutkan konsumsi sebagai seperangkat hubungan sosial, wacana, dan praktik yang
berfokus pada penjualan, akuisisi, penggunaan, dan pembuangan komoditas.
Selanjutnya, Mankiw mendefinisikan konsumsi sebagai pembelanjaan yang dilakukan oleh
rumah tangga atas barang-barang dan jasa-jasa akhir dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan dari orang yang melakukan pekerjaan tersebut.
Samuelson dan Nordhaus menyebutkan salah satu tujuan ekonomi adalah untuk
menjelaskan dasar-dasar perilaku konsumen untuk mengetahui kecenderungan mereka dalam
memilih barang atau jasa yang kemudian melahirkan hukum permintaan. Dengan mendasari
pada teori ekonomi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dasar pemikiran dari
perilaku konsumsi konsumen adalah nilai guna atau utility. Jika kepuasan terhadap terhadap
suatu benda semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya, sebaliknya jika kepuasan
terhadap suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai gunanya.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kepuasan konsumen terhadap suatu benda
merupakan sesuatu yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, secara esensi ketika hal itu
terpenuhi belum tentu dapat meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia atau sesuatu.
Dalam ekonomi Islam, kepuasan dikenal
sebagai mashlahah dalam artian terpenuhinya
kebutuhan baik yang bersifat fisik dan non-fisik
(spiritual). Oleh karenanya, konsumsi dipandang
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akan
barang/jasa yang memberikan kebaikan dunia
dan akhirat bagi konsumen itu sendiri
(mashlahah). Mashlahah duniawi akan terpenuhi
dengan tercukupinya kebutuhan dasar manusia
seperti sandang, pangan, papan, dan lain
sebagainya. Sementara itu, maslahat akhirat
akan tercapai jika kebutuhan duniawi tadi
digunakan dan diniatkan juga untuk
melaksanakan ibadah kepada Allah SWT, seperti
makan dan minum agar mempunyai energi untuk
salat, haji, dan aktivitas ibadah lainnya.
Islam menganjurkan manusia untuk menganut pola konsumsi moderat (di tengah-
tengah), artinya manusia tidak boleh berlebih-lebihan (israf), tetapi juga tidak boleh terlalu
apa adanya. Menurut al-Ghazali, pola hidup yang sangat sederhana akan mengganggu
proses ibadah manusia kepada Allah SWT, sedangkan hidup yang berlebih-lebihan akan
menyebabkan kemubaziran.
Konsumsi dalam Islam juga diatur terbatas pada proporsionalitas personal karena sifatnya
yang sangat relatif. Artinya, banyaknya sesuatu dalam kadar seorang individu, belum tentu
sama ketika dibandingkan dengan individu yang lain. Di samping manusia harus mengendalikan
konsumsinya, agama Islam pun menganjurkan pengeluaran untuk orang lain, terutama fakir
miskin yakni dalam bentuk zakat. Selain itu, Islam juga menganjurkan pengeluaran sukarela
untuk kepentingan sesama dalam bentuk infak, sedekah, dan wakaf.
Adapun aturan Islam mengenal bagaimana seharusnya melakukan kegiatan konsumsi adalah
sebagai berikut:
1. Tidak boleh berlebih-lebihan (Israf),
2. Mengonsumsi yang halal dan tayib,
3. Mempertimbangkan kebutuhan orang lain
Tabel 9.4 menjelaskan bahwa
pemenuhan kebutuhan dalam
Islam merupakan upaya yang
memberikan kebaikan dunia dan
akhirat bagi konsumen itu sendiri
(maximum mashlahah).
Pemenuhan kebutuhan tersebut
didasarkan pada nafsu yang
terkendali dan rasionalitas Islami.
Produksi Dalam Islam
Secara umum, produksi didefinisikan sebagai kegiatan manusia untuk menghasilkan barang
dan jasa yang dimafaatkan oleh konsumen. Selain itu, produksi juga didefinisikan sebagai
proses penggabungan berbagai input material dan input imateriel (rencana, pengetahuan) untuk
menghasilkan sesuatu untuk konsumsi (output). Selanjutnya, produksi juga didefinisikan sebagai
kegiatan yang terorganisir dalam rangka mengubah sumber daya menjadi produk jadi dalam
bentuk barang dan jasa. Menurut Siddiqi, produksi merupakan penyediaan barang dan jasa
dengan memperhatikan nilai keadilan dan kemaslahatan bagi masyarakat.
Dalam menentukan jenis barang yang akan dihasilkan dan dijual ke pasar (konsumen),
perusahaan menggunakan konsep maksimalisasi keuntungan sebagai pertimbangan mendasar.
Dengan demikian produksi merupakan suatu proses yang menyesuaikan antara pola
permintaan pasar (konsumen) untuk suatu barang dengan jumlah, bentuk dan pola distribusi
dari barang tersebut. Dalam kaitan antara efisiensi produksi dan maksimalisasi keuntungan,
konsep dasar yang perlu dipahami adalah konsep fungsi produksi, konsep biaya dan konsep
keuntungan.
Dalam pandangan Islam, produksi diartikan sebagai upaya mengolah sumber daya
alam agar menghasilkan bentuk terbaik yang mampu memenuhi kemaslahatan
manusia. Pandangan melarang produsen untuk memproduksi sesuatu yang merusak
akidah, melucuti identitas umat, memudarkan nilai-nilai agama dan akhlak, menyibukkan
pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkannya dari keseriusan, mendekatkan pada
kebatilan, menjauhkan dari kebenaran, mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat,
dan hanya bermotif pada keuntungan material semata.
Mannan mendefinisikan produksi sebagai ‘penciptaan utilitas’ yang halal (diizinkan)
dan bermanfaat bagi kesejahteraan ekonomi dari perspektif ajaran Islam. Menurut
Mannan, peningkatan produksi barang-barang yang bermanfaat merupakan satu syarat
untuk mencapai kesejahteraan ekonomi dalam Islam. Dalam konteks yang sama, Akhtar
mengatakan bahwa produksi harus merenungkan pertanyaan moralitas, pendidikan,
agama, dan banyak hal lainnya.
Sejalan dengan Mannan, Akhtar juga melihat urgensi dimasukkannya aspek moral
adalah untuk memaksimalkan utilitas sumber daya manusia dan sumber daya alam
melalui keterlibatan sebanyak mungkin orang dalam proses produksi tersebut.
Kahf mendefinisikan produksi sebagai sarana
manusia untuk memperbaiki kondisi dan material
dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat dalam ajaran Islam. Kebahagiaan dapat
diwujudkan ketika orang mampu menghasilkan
kecukupan dalam kesejahteraan ekonomi.
1.
2.
3.
4.
5.