Anda di halaman 1dari 36

Presentasi Kelomok AIK 4

Kelompok 8
20 Akuntansi A

Perilaku Ekonomi Dalam


Perspektif Islam
Anggota Kelompok :

Vikri Putra Nur Hanan


19.0102.0048

Arifatul Munawaroh
20.0102.0004

Agustina Setyarini
20.0102.0024
Materi Pembahasan :

Bentuk hubungan manusia Alur dan konsepsi homo Sifat-sifat manusia dalam
dengan economicus, homo alquran
Ekonomi ethicus, dan juga homo
Islamicus

Karakteristik antara Perbedaan konsep Konsep maslahat dalam


keinginan dan kebutuhan konsumsi dan produksi konsumsi dan produksi
dalam Islam
Bentuk Hubungan Manusia Dengan
Ekonomi
Agustina Setyarini
20.0102.0024
Pendahuluan

Perilaku ekonomi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh


manusia berkaitan dengan pemanfaatan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, sumber-sumber produktif
untuk menghasilkan barang dan jasa serta
mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Dengan kata lain,
bidang garapan ekonomi adalah salah satu sektor perilaku
manusia yang berkaitan langsung dengan produksi,
distribusi, jasa, dan konsumsi.
Hubungan Manusia dengan Ekonomi
Dalam literatur ekonomi konvensional, ilmu ekonomi diartikan sebagai kajian
tentang perilaku manusia (dalam konteks mikro) dan masyarakat (dalam konteks
makro) dengan memilih cara menggunakan sumber daya yang langka dan memiliki
beberapa alternatif penggunaan dalam rangka memproduksi berbagai komoditas
untuk kemudian menyalurkannya, baik saat sekarang maupun masa yang akan
datang, kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu
masyarakat.
Manusia dan ekonomi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini
terutama disebabkan oleh karena manusia adalah aktor utama penggerak kegiatan
ekonomi itu sendiri, sehingga dengan sendirinya manusia akan mendapatkan
imbas dari kegiatan ekonominya.
Seiring perkembangan peradaban manusia,
kondisi ekonomi dan kebutuhan/ keinginan
manusia juga ikut berkembang. Akan tetapi,
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
tersebut, adakalanyamanusia dihadapkan pada
berbagai masalah di mana salah satunya yang
paling mendasar adalah kelangkaan (scarcity).
Kelangkaan terjadi ketika adanya keterbatasan
akan barang yang dibutuhkanuntuk hidup atau
sumber daya yang diperlukan untuk
menghasilkan sesuatu. Kelangkaan yang
dimaksud dapat terjadi karena:
a) Terbatas, dalam artian jumlah sumber
daya yang tersedia lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah kebutuhan
manusia.
b) Terbatas, dalam artian bahwa untuk
memperolehnya, manusia harus
melakukan pengorbanan.
Beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya kelangkaan dalam ekonomi
konvensional adalah:
1) Peningkatan kebutuhan manusia
yang terus menerus;
2) Keterbatasan sumber daya alam
(SDA);
3) Keterbatasan kemampuan
manusia dalam mengolah SDA;
4) Belum ditemukannya SDA yang
baru; dan
5) Ketidaksesuaian perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK)
Alur Dan Konsepsi
Homo Economicus,
Homo Ethicus, Dan
Juga Homo
Islamicus
Dari Homo Economicus ke Homo Ethicus

Istilah homo economicus sendiri diartikan sebagai seperangkat sifat dan


perilaku tertentu yang dikaitkan dengan tindakan seseorang dalam berbagai
kegiatan ekonomi.
Konsep homo economicus dalam ekonomi konvensional merupakan simplikasi
model perilaku ekonomi manusia yang mengasumsikan dan mengeneralisasi
semua orang sebagai individu ekonomi yang memiliki sifat-sifat: perfect self-
interest (kepentingan pribadi semata-mata), perfect rationality (memiliki
rasionalitas yang sempurna), dan perfect information (memiliki segala
informasi).
Namun, teori ini sering mengabaikan fakta bahwa homo economicus bukanlah
manusia, dalam artian mempunyai daging dan darah, tetapi merupakan suatu
gagasan konseptual.
Selain itu, homo ethicus adalah sebuah konsep ‘team-player’ alami,
yang mampu mengoordinasikan tindakannya secara efektif dengan
orang lain dan bekerja dalam kemitraan yang saling menguntungkan
dengan orang lain. Dalam konteks ekonomi Islam permodelan
perilaku manusia dikenal sebagai homo islamicus yang merupakan
model yang lebih sempurna dari homo ethicus, karena pemodelan
perilaku ini diturunkan dari sumber-sumber utama hukum Islam,yaitu
Alquran dan hadis. Dalam konteks ekonomi Islam permodelan
perilaku manusia dikenal sebagai homo islamicus yang merupakan
model yang lebih sempurna dari homo ethicus, karena pemodelan
perilaku ini diturunkan dari sumber-sumber utama hukum Islam, yaitu
Alquran dan hadis.
Sifat Manusia Dalam Islam

Vikri Putra Nur Hanan


19.0102.0048
Dalam Alquran, Allah SWT menerangkan proses penciptaan
manusia mulai dari tanah yang kemudian dibentuk dengan sebaik-
baiknya sampai ditiupkannya roh sehingga ia menjadi hidup.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat
kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka
apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud”. (Q.S. al-Hijr [15]: 28-29)
Selanjutnya, manusia digambarkan dalam Alquran sebagai ciptaan
Allah SWT yang paling sempurna dan terbaik dibandingkan dengan
ciptaan Allah SWT lainnya
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”. (Q.S. at-Tin [95]: 4)
Beberapa sifat positif manusia dalam Al qur’an
Beberapa sifat negatif manusia dalam Al qur’an
Karakteristik Keinginan dan
Kebutuhan
Kebutuhan merupakan hal dasar dalam
memenuhi keberlangsungan hidup dan
bersifat keharusan. Sementara Keinginan
merupakan segala sesuatu yang termasuk ke
dalam kebutuhan, tetapi lebih dari itu adalah
segala kebutuhan lebih terhadap barang
ataupun jasa yang ingin dipenuhi setiap
manusia pada sesuatu hal yang dianggap
kurang. Dari pengertian tersebut terlihat
bahwa kebutuhan bersifat sesuatu yang harus
dipenuhi karena merupakan hal mendasar
yang dibutuhkan manusia untuk hidup.
Sementara itu, keinginan berfungsi sebagai
suplemen dari kebutuhan. Urgensitas
keinginan tidak bersifat harus dan tidak
bersifat mengikat.
Dalam berbagai literatur ekonomi, kebutuhan
dibagi berdasarkan sifat, waktu, subjek,
kepentingan, dan jenisnya.
a. Berdasarkan sifat:
1. Kebutuhan jasmani,
2. Kebutuhan rohani
b. Berdasarkan waktu:
1. Kebutuhan saat ini
2. Kebutuhan masa depan
3. Kebutuhan untuk waktu yang tidak
terduga
4. Kebutuhan untuk masa akhirat
c. Berdasarkan subjek :
1. Subjek individu
2. Kebutuhan kelompok
d. Berdasarkan kepentingan:
1. Kebutuhan Primer
2. Kebutuhan Sekunder
3. Kebutuhan Tersier
e. Berdasarkan jenisnya:
1. Fisiologis (physiological)
2. Keselamatan (safety)
3. Sosial (social)
4. Esteem
5. Aktualisasi diri (self-actualization)
Perbedaan Kebutuhan dan Keinginan
Konsumsi dan
Produksi dalam
Perspektif Islam

Arifatul Munawaroh
20.0102.0004
Konsumsi Dalam Islam

Connolly dan Munro mendefinisikan konsumsi sebagai segala aktivitas manusia dalam
menggunakan barang/jasa dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan. Sementara Mansvelt
menyebutkan konsumsi sebagai seperangkat hubungan sosial, wacana, dan praktik yang
berfokus pada penjualan, akuisisi, penggunaan, dan pembuangan komoditas.
Selanjutnya, Mankiw mendefinisikan konsumsi sebagai pembelanjaan yang dilakukan oleh
rumah tangga atas barang-barang dan jasa-jasa akhir dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan dari orang yang melakukan pekerjaan tersebut.
Samuelson dan Nordhaus menyebutkan salah satu tujuan ekonomi adalah untuk
menjelaskan dasar-dasar perilaku konsumen untuk mengetahui kecenderungan mereka dalam
memilih barang atau jasa yang kemudian melahirkan hukum permintaan. Dengan mendasari
pada teori ekonomi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dasar pemikiran dari
perilaku konsumsi konsumen adalah nilai guna atau utility. Jika kepuasan terhadap terhadap
suatu benda semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya, sebaliknya jika kepuasan
terhadap suatu benda semakin rendah maka semakin rendah pula nilai gunanya.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kepuasan konsumen terhadap suatu benda
merupakan sesuatu yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, secara esensi ketika hal itu
terpenuhi belum tentu dapat meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia atau sesuatu.
Dalam ekonomi Islam, kepuasan dikenal
sebagai mashlahah dalam artian terpenuhinya
kebutuhan baik yang bersifat fisik dan non-fisik
(spiritual). Oleh karenanya, konsumsi dipandang
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akan
barang/jasa yang memberikan kebaikan dunia
dan akhirat bagi konsumen itu sendiri
(mashlahah). Mashlahah duniawi akan terpenuhi
dengan tercukupinya kebutuhan dasar manusia
seperti sandang, pangan, papan, dan lain
sebagainya. Sementara itu, maslahat akhirat
akan tercapai jika kebutuhan duniawi tadi
digunakan dan diniatkan juga untuk
melaksanakan ibadah kepada Allah SWT, seperti
makan dan minum agar mempunyai energi untuk
salat, haji, dan aktivitas ibadah lainnya.
Islam menganjurkan manusia untuk menganut pola konsumsi moderat (di tengah-
tengah), artinya manusia tidak boleh berlebih-lebihan (israf), tetapi juga tidak boleh terlalu
apa adanya. Menurut al-Ghazali, pola hidup yang sangat sederhana akan mengganggu
proses ibadah manusia kepada Allah SWT, sedangkan hidup yang berlebih-lebihan akan
menyebabkan kemubaziran.

Konsumsi dalam Islam juga diatur terbatas pada proporsionalitas personal karena sifatnya
yang sangat relatif. Artinya, banyaknya sesuatu dalam kadar seorang individu, belum tentu
sama ketika dibandingkan dengan individu yang lain. Di samping manusia harus mengendalikan
konsumsinya, agama Islam pun menganjurkan pengeluaran untuk orang lain, terutama fakir
miskin yakni dalam bentuk zakat. Selain itu, Islam juga menganjurkan pengeluaran sukarela
untuk kepentingan sesama dalam bentuk infak, sedekah, dan wakaf.

Adapun aturan Islam mengenal bagaimana seharusnya melakukan kegiatan konsumsi adalah
sebagai berikut:
1. Tidak boleh berlebih-lebihan (Israf),
2. Mengonsumsi yang halal dan tayib,
3. Mempertimbangkan kebutuhan orang lain
Tabel 9.4 menjelaskan bahwa
pemenuhan kebutuhan dalam
Islam merupakan upaya yang
memberikan kebaikan dunia dan
akhirat bagi konsumen itu sendiri
(maximum mashlahah).
Pemenuhan kebutuhan tersebut
didasarkan pada nafsu yang
terkendali dan rasionalitas Islami.
Produksi Dalam Islam
Secara umum, produksi didefinisikan sebagai kegiatan manusia untuk menghasilkan barang
dan jasa yang dimafaatkan oleh konsumen. Selain itu, produksi juga didefinisikan sebagai
proses penggabungan berbagai input material dan input imateriel (rencana, pengetahuan) untuk
menghasilkan sesuatu untuk konsumsi (output). Selanjutnya, produksi juga didefinisikan sebagai
kegiatan yang terorganisir dalam rangka mengubah sumber daya menjadi produk jadi dalam
bentuk barang dan jasa. Menurut Siddiqi, produksi merupakan penyediaan barang dan jasa
dengan memperhatikan nilai keadilan dan kemaslahatan bagi masyarakat.

Dalam menentukan jenis barang yang akan dihasilkan dan dijual ke pasar (konsumen),
perusahaan menggunakan konsep maksimalisasi keuntungan sebagai pertimbangan mendasar.
Dengan demikian produksi merupakan suatu proses yang menyesuaikan antara pola
permintaan pasar (konsumen) untuk suatu barang dengan jumlah, bentuk dan pola distribusi
dari barang tersebut. Dalam kaitan antara efisiensi produksi dan maksimalisasi keuntungan,
konsep dasar yang perlu dipahami adalah konsep fungsi produksi, konsep biaya dan konsep
keuntungan.
Dalam pandangan Islam, produksi diartikan sebagai upaya mengolah sumber daya
alam agar menghasilkan bentuk terbaik yang mampu memenuhi kemaslahatan
manusia. Pandangan melarang produsen untuk memproduksi sesuatu yang merusak
akidah, melucuti identitas umat, memudarkan nilai-nilai agama dan akhlak, menyibukkan
pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkannya dari keseriusan, mendekatkan pada
kebatilan, menjauhkan dari kebenaran, mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat,
dan hanya bermotif pada keuntungan material semata.
Mannan mendefinisikan produksi sebagai ‘penciptaan utilitas’ yang halal (diizinkan)
dan bermanfaat bagi kesejahteraan ekonomi dari perspektif ajaran Islam. Menurut
Mannan, peningkatan produksi barang-barang yang bermanfaat merupakan satu syarat
untuk mencapai kesejahteraan ekonomi dalam Islam. Dalam konteks yang sama, Akhtar
mengatakan bahwa produksi harus merenungkan pertanyaan moralitas, pendidikan,
agama, dan banyak hal lainnya.
Sejalan dengan Mannan, Akhtar juga melihat urgensi dimasukkannya aspek moral
adalah untuk memaksimalkan utilitas sumber daya manusia dan sumber daya alam
melalui keterlibatan sebanyak mungkin orang dalam proses produksi tersebut.
Kahf mendefinisikan produksi sebagai sarana
manusia untuk memperbaiki kondisi dan material
dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat dalam ajaran Islam. Kebahagiaan dapat
diwujudkan ketika orang mampu menghasilkan
kecukupan dalam kesejahteraan ekonomi.

Teori produksi dimaksudkan untuk memberikan


pemahaman tentang perilaku perusahaan (produsen)
dalam membeli dan menggunakan input (bahan baku)
untuk produksi dan menjualnya kembali dalam bentuk
produk (output). Produksi dalam perspektif Islam tidak
hanya berorientasi pada maksimalisasi keuntungan,
meskipun juga tidak dilarang, tetapi lebih kepada
menyeimbangkan antara manfaat individu dan
masyarakat.
Berkaitan dengan manfaat kegiatan produksi
dalam ekonomi Islam, ada beberapa
persyaratan harus dipenuhi, yaitu :
1. Dibenarkan dalam syariat Islam, yang
sejalan dengan ketentuan yang ditetapkan
dalam Alquran dan hadis, ijmak, dan qiyas;
2. Tidak mengandung unsur-unsur yang dapat
membahayakan orang lain;
3. Cakupan manfaat produksi dalam ekonomi
Islam meliputi dunia dan akhirat.
Konsep Mashlahah
Dalam Konsumsi Dan
Produksi
Dalam konteks produksi, seorang produsen juga
berpegang lima batasan plus dua batasan di atas.
Artinya ketika memproduksi suatu barang atau jasa,
batasan di atas harus selalu menjadi acuan tentang
boleh tidaknya suatu barang diproduksi. Hal ini tentu
berbeda dengan konsep produksi dalam ekonomi
konvensional yang hanya berpatokan pada
maksimalisasi keuntungan yang berkonsekuensi pada
pelanggaran nilai-nilai moral yang dapat memberikan
kemudaratan bagi manusia

Adapun sifat-sifat maslahat sebagai berikut:


1. Mashlahah bersifat subjektif
2. Mashlahah individu akan konsisten dengan
masalah komunitas
3. Mashlahah mendasari semua aktivitas ekonomi
dalam masyarakat, mulai dari produksi, konsumsi,
maupun pertukaran atau distribusi.
Oleh karena itu, secara umum menjaga kemaslahatan bisa dengan cara min haythu
al-wujūd dan min haythu al-‘adam. Menjaga kemaslahatan dengan cara min haythu
al-wujūd yaitu dengan cara mengusahakan segala bentuk aktivitas dalam ekonomi
yang bisa membawa kemaslahatan, seperti seseorang memasuki sektor industri ia
selalu harus mempersiapkan beberapa strategi bisnisnya agar bisa sukses.
Sedangkan menjaga maṣlahah min haythu al-‘adam adalah dengan cara mengatasi
segala hal yang bisa menghambat jalannya kemaslahatan tersebut misalnya jika ia
mempunyai sebuah industri dia harus mempertimbangkan beberapa hal yang
menyebabkan bisnisnya bangkrut.

Berdasarkan penjelasan dapat disimpulkan bahwa seorang individu muslim, dalam


setiap aktivitas ekonomi harus mempertimbangkan komponen-komponen maslahat
karena memberikan nilai yang komprehensif baik di dunia maupun di akhirat.
“Burung Irian Cendrawasih
Cukup Sekian dan Terima Kasih”

Partisipasi :

1.
2.
3.
4.
5.

Anda mungkin juga menyukai