b. Masalah Ekonomi
Dalam keseharian kita, barangkali tanpa kita sadari kita akan selalu
berhadapan dengan masalah ekonomi. Setiap hari manusia harus berpikir
bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia,
bagaimana cara mendapatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
kita, dan bagaimana cara menghabiskan barang dan jasa itu secara tepat dan
efisien.
Semenjak manusia ada, ia membutuhkan barang dan jasa untuk berbagai
keperluan dalam hidupnya. Manusia memerlukan pakaian, tempat tinggal ,
makanan, pendidiakn, asuransi, dan lain-lain. Jenis, ragam, kuantitas, dan
kualitas kebutuhan bervariasi sesuai dengan kondisi dan situasi , serta tingkat
perkembangan peradaban manusia. ( Hendrie Anto, 2003: 2)
Pada awalnya pemenuhan kebutuhan barang dan jasa ini merupakan
masalah yang masih sederhana, sebab seseorang dapat memenuhi sendiri
segala kebutuhannya tersebut. Keadaan masyrakat yang demikian sering
disebut sebagai perekonomian subsistem. Sejalan dengan perkembangan
kompleksitas kebutuhan, seseorang semakin tidak dapat memenuhi segala
kebutuhannya sendiri. (Hendrie anto, 2003:2)
Berikut delapan tahapan perkembangan kegiatan manusia menurut al-
Faraby, seorang ulama yang hidup pada 260-339 H/870-950 M:
1) Madinatu’nnawabit (nomadic state), yaitu manusia memenuhi
kebutuhannya hanya dengan mengambil kekayaan begitu saja .
seandainya disuatu tempat sumber daya ini sudah habis, maka
manusia akan berpindah ke tempat lain,. Demikian seterusnya,
manusia akan berpindah-pindah untuk memenuhi kebutuhannya.
2) Madinatu ‘Ibahimiyah (primitive state), yaitu masyarakat mulai
menetap disuatu tempat . Tahapan ini dibagi lagi menjadi a). al
bararie, yaitu masyarakat menetap dipantai-pantai, b) qurbul
mudun, yaitu menetap dipinggiran negeri untuk mencari tempat
yang layak, dan fil qura yar ‘an nabat, menetap didesa-desa untuk
kemudian bertani. Disinilah tahap keteraturan sistemik dalam
kehidupan mulai dibangun.
3) Madinatu ‘dldlarurah (necessity state), dimana masyarakat mulai
membuat organisasi kemasyarakatan. Disinilah kehidupan
berkelompok atau bernegara dimulai, dimana dengan cara ini
diharapkan kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat dapat dipenuhi
dengan lebih baik.
4) Madinatu Ihisah (desires state), dimana masyarakat tidak lagi
sekedar dapat memenuhi kebutuhan pokoknya tetapi mulai
meningkat keinginan-keinginan lainnya. Kehidupannya sudsah
melebihi batas minimal sehingga mengarah kepada pemenuhan
barang dan jasa untuk kenikmatan dan kenyamanan.
5) Madinatu ‘Itabadul (ease state)¸ dimana masyarakat mulai
menghadapi transisi menuju kesempurnaan untuk memenuhi
hidupnya. Kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi barang dan
jasa mulai kompleks sehingga perekonomian memegang peranan
penting.
6) Madinatu ‘nnadzalah (egoistic state), dimana faham indivisualisme
mulai menguat sehingga persaingan menjadi sesuatu yang tak
terelakkan. Persaingan menyebabkan munculnya kelas kaya dan
miskin. Modal (uang) menjadi sesuatu yang berperan penting pada
tahapan ini. Karenanya, tahapan ini juga disebut sebagai tahapan
kapitalisme.
7) Madinatu ‘ijama’iyyah ( anarchistic state), setelah persaingan
indivisualistik memuncak maka masyarakat akan menghadapi dua
keadaan, yaitu a) anarkisme sebagai akibat persaingan yang dahsyat
antar masyarakat, dan b) komunisme sebagai reaksi oposisi terhadap
meningkatkan indivisualisme. Jadi, dalam tahapan ini situasi
masyarakat akan kacau.
8) Madinatu ‘Ifaddilah (model state), adanya tahapan poin 7 diatas
akan memaksa seluruh komponen masyarakat untuk melakukan
barbagai kompromi dan perbaikan keadaan. Hasil-hasil kompromi ini
akan menghasilkan suatu tatanan masyarakat yang egaliter, seluruh
masyarakat akan menikmati kebahagiaan secara lebih merata.
Seluruh permasalahan manusia pada dasarnya adalah karena adanya
kesenjangan (gap) antara sumber daya alam yang tersedia dengan jumlah
kebutuhan manusia. Kalau masih ingat pelajaran ekonomi di sekolah
lanjutan, pasti tidak asing dengan materi yang berisi “kebutuhan manusia
tidak terbatas, sementara sumber daya alam yang tersedia terbatas”, tapi
benarkah demikian? Benarkah Allah menciptakan segala sesuatunya
terbatas, padahal kita meyakini bahwa Allah adalah Sang Maha Pencipta nan
sempurna dalam menyediakan segala sesuatu.Mari kita cermati makna dari
beberapa ayat di bawah ini:
“…dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-
ukuranNya dengan serapi-rapinya”(Al Furqan:2)
Kelangkaan sumber daya ekonomi secara lokal dan parsial dapat terjadi
karena banyak factor, misalnya karena sengaja diujikan oleh Allah.
Sebagaimana firman Allah, yang artinya:
Disisi lain , juga terdapat banyak peringatan dari Allah tentang sifat manusia
yang tak pernah puas akan keinginannya, misalnya dalam At-Takatsur 1-5:
Beberapa pemikir muslim seperti Baqr Sadr, Kadim as Sadr, dan Abbas
Mirakhor (1989) berpandangan bahwa permasalahan utama ekonomi
sebenarnya bukanlah scarcity (kelangkaan), melainkan distribution
(distribusi). Pandangan mereka dapat dikatakan berbeda secara diametral
dengan pandangan konvensional. Sumber daya ekonomi yang terdapat
dialam semesta ini sangat banyak dan relatif tidak terbatas, sementara
kebutuhan manusia sesungguhnya terbatas. Menurut mereka , Islam tidak
mengenal konsep sumber daya ekonomi yang terbatas, sebab alam semesta
ini maha luas.(Hendrie Anto, 2003:4)
Nah, bila kita cermati kembali, dengan ciptaan Allah yang maha luas ini,
sesungguhnya manusia baru memanfaatkan sedikit dari ciptaan Nya. Selain
bumi, kita masih punya planet dan galaksi lain yang belum banyak terjamah
oleh manusia. Tentu dibutuhkan tekhnologi yang mumpuni untuk
mengeksploitasi wilayah di luar bumi. Untuk itu dibutuhkan ilmu
pengetahuan dalam bidang sains dan manusia tetap harus banyak belajar
untuk menemukan terobosan-terobosan baru dalam memanfaatkan sumber
daya tersebut. Jika sumber daya alam yang tersedia begitu banyak atau tidak
terbatas, berarti kebutuhan manusia terhadap barang dan jasa terbatas
sifatnya. Jika batas-batas ini dilanggar, manusia justru akan kehilangan
kepuasan, manfaat, juga akan menderita kerugian akibat mengkonsumsi
barang dan jasa. Misalnya, jika kita makan, minum, berlebihan maka justru
kita akan mendapatkan penyakit.
Pendapat lain, misalnya dari Chapra, Siddiqi, dan Mannan, menganggap
bahwa scarcity tetap merupakan masalah utama dalam perekonomian.
Menurut mereka, secara parsial atau local sangat mungkin terjadi kelangkaan
sumber daya ekonomi , meskipun secara keseluruhan (alam semesta) terjadi
keseinmbangan. Misalnya pada wilayah-wilayah konflik, tentu mengalami
kekurangan sumber daya ekonomi. Disisi lain, manusia pada dasarnya juga
memiliki keinginan yang relative tidak terbatas. Justru dengan ajaran Islamlah
kemudian manusia dituntut untuk mengendalikan keinginannya. Sebab, jika
keinginan lepas kendali maka akan menyengsarakan kehidupan manusia
sendiri.(Hendrie Anto, 2003:4)
Dari beberapa pendapat diatas jelas bahwa pada dasarnya ilmu ekonomi
merupakan ilmu tentang bagaimana manusia menyelaraskan kebutuhannya
dan sumber daya yang tersedia. Apapun jenis ilmu ekonominya (Kapitalisme,
Sosialisme dan Islam, atau lainnya) tugas darinya adalah mengatur
pemanfaatan sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan manusia.
Tabel 1.1
Aspek-Aspek Dalam Falah
Referensi:
Buku:
Hendrie Anto, 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Cet.1,
Yogyakarta: Ekonisia
Heri Sudarsono, 2004. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Cet. 3,
Yogyakarta : Ekonisia
Muhammad Abdul Mannan, 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam,
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa
M.M. Metwally, 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam (terj), Jakarta:
Bangkit Daya Insani
Umer Chapra, 2001. Masa Depan Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam,
Jakarta: Gema Insani Press
Veithzal Rivai Zainal dkk, 2018. Ekonomi Mikro Islam, Cet 1. Jakarta: Bumi
Aksara
Internet:
http//www. Stai.asiq.ac,id/ Rancang Bangun Ekonomi Islam)