Anda di halaman 1dari 70

1

Bab 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Aristoteles (384-322 SM) dan Smith (1723-1790) adalah tokoh yang memiliki historis

yang amat jauh dengan kita. Bahkan, di antara keduanya terdapat jarak waktu yang

sangat berbeda. Namun demikian, keduanya menjelaskan hal yang sama. Ekonomi

adalah kegiatan manusia yang melibatkan banyak orang dalam menggunakan

sumberdaya yang langka dan memiliki beberapa alternatif penggunaan, dalam rangka

memproduksi berbagai komoditi untuk menyalurkannya.

Ekonomi secara garis besar mencakup tiga aspek di atas, yaitu produksi,

konsumsi, dan distribusi. Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan integral untuk

mewujudkan kesejahteraan kehidupan. Kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi

harus menuju pada satu tujuan yang sama, yaitu mencapai kesejahteraan yang

maksimum bagi umat manusia.

Inti ekonomi menurut Quesnay (1694-1774) adalah produksi. Tanpa produksi,

ekonomi masyarakat menjadi mati dan masyarakat tersebut tidak dapat

mengorganisasikan dirinya ke dalam masyarakat ekonomis (Zainun 2008, hal. 21).

Friedman –sebagaiamana dikutip oleh Chapra- menyatakan untuk mengadakan

alokasi sumber daya secara efisien dan pendistribusiannya secara merata, maka hal

fundamental adalah menjawab apa, bagaimana, dan untuk siapa melakukan produksi

(2000, hal. 4).


2

Ini menunjukkan berapa jumlah barang dan jasa yang harus diproduksi, siapa

yang akan memproduksinya, dengan kombinasi sumber-sumber daya apa saja dan

dengan teknologi yang bagaimana serta siapakah yang akan menikmati barang dan jasa

yang diproduksi itu.

Di antara kegiatan ekonomi yang memberi perhatian utama pada kegiatan

produksi yang melibatkan banyak orang, kaum fisiokratis memandang pertanian sebagai

salah satu model bagi kegiatan produksi. Hal ini terutama karena tujuan dasar dari

kegiatan pertanian adalah mengolah tanah, menanam benih, dan memetik hasil

pertanian. Seluruh kegiatan ini disebut produktif. Selain itu, produktivitas dalam dunia

pertanian menguntungkan (Zainun 2008, hal. 21).

Oleh karena itu, para fisiokratis berpendapat bahwa keuntungan merupakan

kunci utama kegiatan bisnis dan ia bukanlah usaha yang subsisten yang sekadar

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dan sudah semestinya, kegiatan

produksi dilakukan secara efisien dan adil sehingga sumber daya yang tersedia bisa

mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia.

Kapitalisme, misalnya menganggap ekspansi kekayaan yang dipercepat dan

produksi yang maksimal serta pemenuhan “keinginan” menurut preferensi individual

sebagai sangat esensial bagi kesejahteraan manusia (Chapra 2000, hal. 18).

Mill (1806-1873) menambahkan, kesejahteraan suatu bangsa tidak ditandai oleh

pemenuhan kebutuhan fisik sesaat, melainkan oleh kontinuitas produksi sehingga setiap

permintaan akan produk harus dijamin melalui keinginan sang kapitalis dan sang

pekerja, yang menjamin jalannya roda produksi dan uang. Maka, kemampuan produksi

merupakan mesin yang mendorong terciptanya kemakmuran (On Liberty, London:

Penguin Books, 1974).


3

Konsumsi dalam teori Maslow tidak bisa dipisahkan dari asumsi bahwa manusia

memiliki kepentingan atas dua barang. Namun, keberadaan suatu asumsi tidak bisa

dipisahkan dari pengaruh pemikiran masyarakat mengenai kebutuhan barang dan

kegiatan sosial atau keagamaan dimana asumsi itu dibangun (Sudarsono 2007, hal. 184).

Dalam kaitannya, teori ekonomi kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi suatu

barang dinamakan utility atau nilai guna. Kalau kepuasan semakin tinggi semakin tinggi

pula nilai gunanya. Sebaliknya, bila kepuasan semakin rendah maka semakin rendah

pula nilai gunanya (Ibid, hal. 168). Kepuasan dalam terminologi Maslow ini bisa

dimaknai bahwa sesuatu yang terjadi bila terpenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat

fisik.

Teori nilai guna adalah teori yang lebih dahulu dikembangkan di dalam

menerangkan individu di dalam melakukan pemilihan barang-barang yang akan dibeli

dan dikonsumsi. Analisis ini memberikan gambaran secara jelas tentang prinsip

pemaksimum kepuasan yang dilakukan orang berpikir secara rasional dalam memilih

jenis barang yang akan dibeli dan dikonsumsi. Tetapi, dari kenyataan teori ini terdapat

kelemahannya; karena kepuasan tidak dapat dihitung dengan angka-angka, kepuasan

adalah sesuatu yang relatif oleh karena itu tidak mudah diukur.

Selain itu, kepuasan manusia dalam memiliki barang lebih banyak dipengaruhi

beragam keinginan. Beragamnya keinginan dipengaruhi berbagai preferensi; misalnya

pengaruh media, lingkungan, sehingga rasa kepuasan setiap orang tidak dapat

disamaratakan karena ukuran pun tidak rata. Oleh karena itu, teori nilai guna kurang

mewakili untuk digunakan sebagai pengukur tingkat kepuasan (Khan 1992, 172-176).

Utilitarianisme yang diperkuat oleh materialisme, telah menyediakan rasional

logis bagi nafsu mencari kekayaan dan kenikmatan jasmaniah, ia melihat konsumsi
4

sebagai tujuan tertinggi dari kehidupan ekonomi, sumber utama “kebahagiaan Bentamit,

justifikasi tertinggi bagi semua usaha dan kerja manusia”. Ia juga memandang upaya

memaksimalkan penghasilan dan pemenuhan kebutuhan sebagai kebaikan tertinggi

(Chapra 2000, hal. 28).

Oleh karena itu, konsumsi harus berorientasi kepada kesejahteraan maksimum

sehingga tetap menjaga keseimbangan kebutuhan antarindividu dan keseimbangan

antaraspek kehidupan.

Kaum fisiokratis memandang distribusi mengandung dua dimensi, pertama

dimensi ekonomi dan kedua dimensi sosial. Dimensi ekonomi meliputi kegiatan

penjualan hasil pertanian di pasar. Keuntungan yang diperoleh di pasar memberi

jaminan bagi keberlangsungan kegiatan produksi pertanian itu sendiri. Jadi, distribusi

pertanian dalam pengertian fisiokratis berarti distribusi di pasar. Pandangan di atas

terdapat kesamaan dengan kaum merkantilis yang menyatakan pasar merupakan ruang

bagi distribusi barang dari satu orang kepada orang yang lain (Zainun 2008, hal. 22).

Adapun yang dimaksud dengan distribusi mengandung dimensi sosial, yaitu

distribusi yang menyangkut bagaimana hasil produksi pertanian di-sharing-kan dengan

banyak orang dalam suatu masyarakat. Distribusi sumber daya dan output harus

dilakukan secara adil dan merata sehingga memungkinkan setiap individu untuk

memiliki peluang mewujudkan kesejahteraan bagi kehidupannya.

Dalam istilah Sismonde (1773-1842) –sebagaimana dikutip oleh Zainun-

kesejahteraan bersama sebagai tujuan ekonomi. Sismonde menunjukkan, bahwa

ekonomi sosial merupakan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada prinsip

kesejahteraan bersama, di atasnya, produksi barang dan layanan dapat ditangani


5

sedemikian rupa sehingga kesejahteraan dan kemakmuran manusia dapat dimaksimalkan

(2008, hal. 105).

Dalam pemikiran ekonomi sosial, kesejahteraan bersama diartikan sama dengan

kepentingan bersama anggota masyarakat. Secara lebih operasional, tugas ekonomi

sosial adalah memberi kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk

merealisasikan kepentingan bersama, sehingga kebutuhan dasarnya sebagai anggota

masyarakat terpenuhi.

Dalam konteks terpenuhinya kebutuhan dasar, manusia yang lahir ke muka bumi

dibekali dengan kekuatan jasmani dan rohani serta dilengkapi perasaan, akal, dan naluri.

Kedua komponen jasmani dan rohani ini memerlukan kebutuhan yang harus dipenuhi.

Komponen jasmani memerlukan kebutuhan jasmani atau kebutuhan tubuh yang

berwujud, seperti makan, minum, pakaian, rumah, dan sebagainya. Begitu pula

komponen rohani memerlukan kebutuhan berupa ketenangan, kesenangan, dan

kenikmatan, seperti pendidikan, agama, siraman rohani, dan rekreasi. Kebutuhan

jasmani dan rohani tersebut harus dipenuhi agar hidup manusia dapat berlangsung

dengan baik dan bahagia.

Muthahhari menyatakan potret manusia sebagai makhluk material dan spiritual

dengan dimensi tersendiri. Di dalam diri manusia terdapat unsur lain yang mampu

menuntun mereka ke arah pemahaman terhadap diri dan alam mereka, sedang makhluk-

makhluk lain tidak memilikinya. Potensi gaib ini disebut sebagai ‘akal pikiran’ (1995,

hal. 125).

Lebih lanjut Muthahhari mengatakan, berkenaan dengan hasrat-hasrat yang

menguasainya, manusia dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan alam seperti halnya

makhluk yang lain. Kebutuhan untuk makan, istirahat, tidur dan melakukan hubungan
6

seksual, menarik mereka ke alam material. Tetapi, ada pesona-pesona lain yang

memandu mereka ke arah tujuan-tujuan nonmateri yang tak berbobot dan tak pula

bersubstansi, yang tak mungkin diukur dengan alat ukur duniawi (1995, hal. 126).

Kebutuhan1 berasal dari akar kata butuh yang mempunyai makna sangat perlu

menggunakan, memerlukan. Kebutuhan berarti sesuatu yang dibutuhkan baik dalam

individu maupun kelompok.

Makna kebutuhan berbeda dengan makna keinginan. Jika kebutuhan

didefinisikan dengan sesuatu yang sangat dibutuhkan, maka keinginan mempunyai

makna hasrat, hendak, mau, menginginkan, mengharapkan, menghendaki. Keinginan

berarti barang yang diingini, perihal ingin: hasrat, kehendak dan harapan (Muthahhari

1995, hal. 379).

Arti dan makna kedua kata di atas menunjukkan adanya perbedaan mendasar

antar keduanya. Jika kebutuhan diartikan dan didefinisikan sebagai sesuatu yang

dibutuhkan dan penting dalam kehidupan. Maka, keinginan lebih mengarah kepada

perihal hasrat dan keinginan belaka.

Oleh karena itu, Amalia memisahkan antara wants dan needs. Di mana keduanya

berasal dari tempat yang sama, yaitu naluri hasrta manusia. Namun, seluruh hasrat

manusia tidak bisa dijadikan sebagai needs atau kebutuhan. Hanya hasrat yang memiliki

manfaat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang bisa dijadikan sebagai

kebutuhan (2005, hal. 213).

Hal ini sangat memperjelas arti dan makna mengenai kebutuhan dan keinginan

itu sendiri. Di satu sisi keduanya dapat dilihat memiliki arti yang sama, namun dari sisi

Makna keduanya sangat kontradiktif da berbeda secara subtansi.


-----------------------------
1
Lihat kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan,
Depdikbud: Balai Pustaka, Edisi kedua 1996, hal. 161
7

Meskipun kebutuhan manusia tampak mungkin tidak dapat dipenuhi. Namun,

menurut Keynes –sebagaiamana dikutip oleh Chapra- mereka dapat digolongkan ke

dalam dua kelas, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi dalam situasi

apa pun dan kapan pun, dan kebutuhan-kebutuhan yang relatif dalam arti pemenuhannya

akan mengangkat seseorang ke atas, membuat seseorang merasa superior terhadap teman

sejawat. Kebutuhan golongan dua yang memenuhi keinginan superioritas, mungkin

dapat dipenuhi, karena semakin tinggi derajat umum, semakin tinggi pula mereka. Ini

tidak berlaku bagi kebutuhan mutlak.

Keynes mengklasifikasikan kebutuhan manusia ke dalam dua bentuk, pertama

kebutuhan mutlak dan kedua kebutuhan relatif. Keduanya harus dipenuhi manusia.

Hal di atas senada dengan paham rasionalisme yang dipelopori oleh Descarles

yang menyatakan dengan tegas bahwa manusia itu terdiri dari jasmaninya dengan

keluasannya (extensio), serta budi dengan kesadarannya (Sudarsono 2001, hal. 239).

Komponen jasmani dan rohani akan terus berkembang sesuai pertambahan umur

manusia. Semakin bertambah umur manusia, semakin banyak dan beragam

kebutuhannya akan komponen jasmani dan rohani.

Berbeda dengan paham materialisme menyatakan bahwa, yang nyata hanyalah

materi. Paham ini didukung oleh Feuerbach (1804-1872), dan Marx (1818-1883).

Menurut Feuerbach –sebagaimana dikutip oleh Hadiwijono- hanya alamlah yang berada.

Oleh karena itu, manusia adalah makhluk alamiah. Segala usahanya didorong oleh nafsu

alamiyahnya, yaitu dorongan untuk hidup. Yang terpenting pada manusia bukan

akalnya, tetapi usahanya, sebab pengetahuan hanyalah alat untuk menjadikan segala

manusia berhasil yang pada akhirnya kebahagiaan manusia dapat dicapai di dalam dunia

ini. Oleh karena itu, agama dan metafisika harus ditolak (tt. hal. 117).
8

Paham ini menjelaskan bahwa, kebutuhan ataupun keinginanlah yang membuat

alasan manusia untuk melakukan aktivitas ekonomi. Hal tersebut dilakukan demi

kelangsungan hidup manusia. Kegiatan aktivitas ekonomi disimbolkan dengan usaha. Di

sini Feuerbach dan Marx memberi suatu rumusan tentang kesejahteraan dan

kebahagiaan, dengan cara berusaha secara optimal. Dengan cara itu, semua yang

diinginkan manusia dapat dicapai. Tatkala kebutuhan dan keinginan tersebut dicapai,

pada saat itu manusia berada dalam tingkat yang paling tinggi yaitu sejahtera.

Pada dasarnya manusia berusaha, bekerja, dan beraktivitas di sini mempunyai

tujuan tertentu, yaitu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Karena, kebutuhan tidak

terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Semasa hidup, manusia membutuhkan

berbagai macam kebutuhan, seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, agama,

dan kesehatan. Kebutuhan adalah salah satu aspek psikologis yang menggerakkan

mahluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi dasar dan alasan berusaha.

Kebutuhan-kebutuhan manusia terdiri atas dua bagian, kebutuhan-kebutuhan

alamiah atau fitriah dan bukan alamiah. Kebutuhan-kebutuhan alamiah atau fitriah ialah

hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia sebagai manusia, dan sampai saat ini belum dapat

diketahui rahasianya. Adapun kebutuhan yang bukan alamiah, yakni kebiasaan-

kebiasaan atau adat istiadat yang dilakukan oleh kebanyakan manusia, akan tetapi

mereka memiliki kemampuan untuk melepaskan diri daripadanya atau menggantikannya

dengan yang lain (Muthahhari 1995, hal. 42).

Dalam perkembangannya, kebutuhan sangat dipengaruhi oleh kebudayaan,

lingkungan, waktu, dan agama. Semakin tinggi tingkat kebudayaan suatu masyarakat,

semakin tinggi dan banyak pula macam kebutuhan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu,

dapat diidentifikasikan bahwa manusia memiliki berbagai tingkat kebutuhan.


9

Sejalan dengan pandangan Montagu –sebagaimana dikutip oleh Suriasumantri-,

kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya

(2005, hal. 261).

Setiap manusia berusaha memenuhi kebutuhannya, namun tidak semua

kebutuhan dapat dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan tergantung dari kemampuan dan usaha

masing-masing dan faktor lainnya yang mempengaruhi keinginan manusia dalam

memenuhi kebutuhannya.

Hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebut manusia sebagai

makhluk ekonomi (homo economicus). Dengan hasrat itu, manusia terus berusaha

dengan berbagai cara dan upaya agar terpenuhi kebutuhannya. Homo yang artinya

manusia, dan economicus yang berarti hidup menurut kepentingan diri sendiri. Manusia

sebagai makhluk ekonomi (homo economicus), berarti manusia dalam usahanya mencari

dan memperoleh kemakmuran selalu ingin melepaskan diri dari moral dan bertindak

sebagai makhluk ekonomi saja.

Dalam memenuhi kebutuhan, perlu diperhatikan dan dihayati bahwa manusia

tidak hidup sendirian, melainkan masih ada manusia lain di sekelilingnya yang sama-

sama ingin memenuhi kebutuhannya. Selain itu, manusia tidak dapat melakukannya

sendiri, namun memerlukan bantuan orang lain. Hasrat manusia memerlukan bantuan

orang lain disebut manusia sebagai makhluk sosial (homo socius).

Istilah homo economicus pertama kali dicetuskan oleh Smith dalam buku

pertamanya tahun 1759 (The Theory of Moral Sentiments) –sebagaimana dikutip oleh

Mubyarto- menyatakan bahwa, manusia adalah homo socius dan homo ethicus. Baru

pada buku keduanya disebut bahwa manusia adalah homo economicus. Yang dimaksud

dengan homo economicus adalah perlunya setiap manusia diberi kebebasan berusaha
10

secara individu untuk memenuhi kebutuhan sampai memperoleh kemakmuran. Jika

setiap individu memperoleh kemakmuran maka negara (masyarakat) akan makmur

((2005, (www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id, 28 Januari 2010)).

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang diberikan akal, manusia adalah makhluk

sosial dan makhluk ekonomi yang bermoral. Dengan demikian, dalam setiap

tindakannya, manusia harus memerhatikan nilai-nilai agama, norma-norma sosial, serta

memerhatikan kelestarian lingkungan. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia sebagai

makhluk ekonomi perlu melakukan tindakan ekonomi. Tindakan ekonomi yang

dilakukan harus berdasarkan atas motif ekonomi dan prinsip ekonomi.

Hal senada dengan apa yang diungkapkan oleh Muller dalam Smith in His Time

and Ours menyatakan:

“Smith did not try to develop a science of economics free of moral judgements or
ethical considerations....But his science of political economy was not a
moralistic science: he tried to bring about improvement not through preaching
but through designing institutions which would strengthen the incentive to act in
a socially beneficial manner” (1993, hal. 198).

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan hidup, sampai sekarang belum ada

gambaran tegas dan jelas mengenai konsep kebutuhan dasar ataupun pokok yang

sebenarnya dan bagaimana kebutuhan dasar tersebut terpenuhi oleh golongan manusia.

Soetarno mendefinisikan kebutuhan sebagai suatu keinginan terhadap benda atau jasa

yang pemuasannya dapat dilaksanakan bersifat jasmani maupun rohanian (1986, hal.

512).

Suatu keinginan terhadap benda dan jasa ini yang pemenuhannya dengan cara

jasmani maupun rohani diidentifikasikan sebagai suatu kebutuhan.


11

Observasi Keynes -sebagaimana dikutip oleh Chapra- dalam hal kebutuhan

mengatakan bahwa:

“Meskipun kebutuhan manusia tampak mungkin tidak dapat dipenuhi. Namun,


mereka dapat digolongkan ke dalam dua kelas, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang
mutlak harus dipenuhi dalam situasi apa pun dan kapan pun, dan kebutuhan-
kebutuhan yang relatif dalam arti pemenuhannya akan mengangkat kita ke atas,
membuat kita merasa superior terhadap teman sejawat. Kebutuhan golongan
dua yang memenuhi keinginan superioritas, mungkin dapat dipenuhi, karena
semakin tinggi derajat umum, semakin tinggi pula mereka. Ini tidak berlaku bagi
kebutuhan mutlak” (1972, hal. 326).

Klasifikasi ini mengandung implikasi bahwa, kebutuhan-kebutuhan absolut

bermuara dalam diri individu sendiri dan diperlukan sesuai kondisi manusia.

Pemenuhannya sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, kenyamanan dan

perkembangannya. Berbeda dengan ini, kebutuhan-kebutuhan relatif, seperti yang

dinyatakan oleh Galbairth “adalah dirincikan dan diciptakan untuk dirinya” (Galbairth,

The Affluent Society, hal. 152). Kelompok ini termasuk semua jenis status simbol dan

barang-barang atau jasa-jasa yang memang tidak menambah kebahagiaannya.

Kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar -basic human needs- dapat dijelaskan

sebagai kebutuhan yang sangat penting guna kelangsungan hidup manusia, baik yang

terdiri dari kebutuhan atau konsumsi individu (makan, perumahan, pakaian ) maupun

keperluan pelayanan sosial tertentu (air minum, sanitasi, transportasi, kesehatan dan

pendidikan).

Dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia, akan diperoleh kepuasan yang

mengarah pada kemakmuran dan kesejahteraan. Jika semua kebutuhan material manusia

terpenuhi maka disebut makmur, dan jika semua kebutuhan material dan immaterial

(spiritual) terpenuhi maka disebut sejahtera.


12

Hal inilah yang menjadi tujuan utama dari pemenuhan kebutuhan yaitu untuk

mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan di sini baik bersifat individual maupun

kelompok. Hal inilah yang menjadi cita-cita dan tujuan bagi kehidupan seluruh manusia

di muka bumi ini.

Karena pada dasarnya, kegiatan maupun aktivitas ekonomi manusia di muka

bumi ini dalam rangka mencapai tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk

mencapai cita-cita dan tujuan tersebut, berbagai macam cara dan usaha untuk dapat

merealisasikannya.

Mengenai konsep kesejahteraan, meskipun tidak ada suatu batasan substansi

yang tegas tentang kesejahteraan. Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan

representasi yang bersifat kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan tersebut.

Kesejahteraan bersifat kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan

antardimensi dan ada dimensi yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup

dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan

masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu.

Oleh karena itu, konsep kesejahteraan sering diartikan berbeda-beda oleh orang

dan negara yang berbeda pula. Perbedaan pandangan dan pemikiran tersebut

dikarenakan belum adanya suatu gambaran tegas tentang konsep kesejahteraan itu

sendiri. Mendefinisikan ‘kesejahteraan’ hal ini sangat penting bagi peneliti untuk

mengungkapkannya.
13

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat

diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Kurangnya pemahaman yang komprehensif dan integral mengenai hakikat

konsep kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan manusia, baik individu

maupun kelompok.

2. Banyaknya tulisan, penelitian maupun karangan-karangan yang

mempublikasikan teori dan pandangannya tentang konsep kesejahteraan. Namun,

masih terdapat ketidakjelasan dan ketidaktegasan mengenai konsep

kesejahteraan.

3. Banyaknya kalangan baik individu maupun kelompok yang terdoktrin dan

terperangkap dengan konsep atau teori kesejahteraan Maslow dan menyakini hal

itu sebagai way of life.

Rumusan dan Batasan Masalah

Batasan Masalah

Studi ini dibatasi pada pemikiran Maslow dan al-Ghazāli dari aspek:

1. Teori

2. Indikator Kesejahteraan

3. Persamaan dan Perbedaan antara Kedua Teori

Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep kesejahteraan dalam teori Maslow dan al-Ghazāli?

2. Apa persamaan dan perbedaan antara teori kesejahteraan Maslow dan al-Ghazāli

serta implikasi dari perbedaan tersebut?


14

Tujuan Penelitian

1. Memahami konsep kesejahteraan dalam teori Maslow dan al-Ghazāli.

2. Memahami persamaan dan perbedaan serta implikasi antara teori kesejahteraan

Maslow dan al-Ghazāli.

Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini kiranya berguna bagi:


1. Secara teoritis untuk pengetahuan bagi umat Islam mengenai perbedaan

mendasar antara pandangan Maslow dan al-Ghazāli dalam hal konsep

kesejahteraan. Dan kajian ini tentunya menambah khazanah keilmuan Islam

tentang persamaan dan perbedaan serta implikasi dari perbedaan kedua konsep

tersebut.

2. Secara praktis dapat dijadikan sebagai salah satu wacana pemikiran ekonomi

Islam kontemporer di kalangan ulama dan ekonom Indonesia.

Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya kesalahan persepsi dalam menilai istilah-istilah yang

dicakup dalam penelitian ini, maka terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian istilah

yang akan banyak digunakan dalam penelitian ini. Istilah tersebut adalah Kesejahteraan,

Teori Ekonomi Maslow dan Teori Ekonomi al-Ghazāli.

Kata kesejahteraan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata

dasar sejahtera yang mempunyai makna aman, sentosa dan makmur; selamat atau

terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran dan sebagainya. Adapun kesejahteraan

adalah hal atau keadaan sejahtera yang mencakup jaminan sosial, keselamatan,
15

ketentraman, kesenangan hidup, dan sebagainya; kemakmuran (Lukman Ali 1996, hal.

891).

Dalam bahasa Inggris kesejahteraan dikenal dengan welfare. Welfare mempunyai

arti the good health, happiness, compfort, etc of a person or group. Dapat diartikan

kesejahteraan di sini dengan kondisi yang sehat, bahagia, nyaman dan sebagainya, baik

individu maupun kelompok (Oxford Advanced Learner’s Dictionary 1995, hal. 1352).

Sejahtera juga diterjemahkan dari kata prosperous, yang berarti maju dan sukses

terutama dalam hal pendapatan dan memperoleh kekayaan yang cukup banyak. Bahagia

(happiness) memiliki makna yang lebih luas, yang berarti kondisi atau perasaan nikmat

dan nyaman, yang bisa disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan material maupun

spiritual (P3EI 2008, hal. 50).

Keadaan nyaman, bahagia, sehat dengan terpenuhinya skala tingkat kebutuhan

dasar baik material maupun spiritual membawa pada tingkat kesejahteraan. Dan dapat

diartikan pula dengan keadaan maju dan sukses dalam hal pendapatan dan kekayaan

materi yang cukup banyak.

Dalam bahasa Arab, kesejahteraan berasal dari kata rofāhiyah. Yang secara

bahasa berasal dari rafaha-rifhan-wa rufūhan yang berarti kehidupan yang nyaman dan

baik. Atau dari kata rafuha-rifāhan-wa rafāhiyah yang berarti nyaman, baik, ringan,

luas, hilangnya kesusahan atau kesulitan dan penuh kenikmatan (P3EI 2008, hal. 273).

Daulah rofāhiyah mengandung makna negara yang makmur. Sebagaimana

dijelaskan di atas terdapat perbedaan arti antara kesejahteraan dan kemakmuran itu

sendiri (Ali & Muhdlor 1998, hal. 982). Namun sekiranya, perbedaan arti tersebut tidak

mengaburkan dan menghilangkan dari makna yang sesungguhnya.


16

Adapun secara istilah2, rofāhiyah adalah kondisi yang menghendaki

terpenuhimya kebutuhan dasar bagi individu atau kelompok baik berupa kebutuhan

makan, pendidikan, kesehatan, jaminan sosial. Sedangkan antitesa dari kesejahteraan

adalah kesedihan (bencana) kehidupan atau kawārits3.

Dari istilah di atas, maka timbullah istilah rofāhiyah al-Ijtima’iyyah atau

kesejahteraan sosial. Yaitu, “sistem yang mengatur pelayanan sosial dan lembaga-

lembaga untuk membantu individu dan kelompok mencapai tingkat kehidupan,

kesehatan yang layak dengan tujuan menegakkan hubungan kemasayarakatan yang

setara antar individu sesuai dengan kemampuan pertumbuhan (development) mereka,

memperbaiki kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat”.

Dari beberapa definisi kesejahteraan di atas, maka peneliti memformulasikan

konsep kesejahteraan sebagai kondisi atau perasaan nikmat dan nyaman, yang

disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan material maupun spiritual, baik berupa

pemenuhan akan kebutuhan pokok, makan, pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial

(terhindar dari segala macam resiko yang mengancam).

Yang dimaksud dengan Teori Ekonomi Barat di sini adalah hasil pemikiran dari

tokoh-tokoh Barat4. Pemikiran paling awal yang bisa dijejaki ialah pemikiran pada masa

Yunani Kuno yang dikaitkan dengan etika moral. Hal yang sama dapat disimpulkan

pada pemikiran-pemikiran ekonomi pada abad ke-13 yang dikembangkan oleh aliran

skolastik, yang banyak menghubungkan nilai-nilai ekonomi dengan ajaran Gereja. Teta-

pi kontribusi yang mereka berikan sangatlah kecil.


-----------------------------
2
Lihat Badawi, A. Zaki, Mu’jam Muşţalahātu al-‘Ulūm al-Ijtimā’iyyah, Beirut, Maktabah Lubnan: 1986,
New Impression.
‫ الرفاهية هي الحالة التي تتحقق فيها الحاجات االساسية للفضضرد و المجتمضضع من غضضداء و تعليم و صضضحة و تضضأمين ضضضد‬3
.‫كوارث الحياة‬
4
Lebih jelas lihat “Perkembangan Pemikiran Ekonomi” karangan Deliarnov, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, Cet. I, 1995.
17

Kontribusi yang lebih produktif terhadap teori ekonomi dikembangkan oleh

pemikir-pemikir ekonomi pada masa merkantilisme dan fisiokratisme pada abad ke-16.

Pemikir-pemikir ekonomi pada masa ini telah mengembangkan teknik-teknik abstrak

untuk menemukan hukum-hukum ekonomi. Pencipta model ekonomi paling dini adalah

Francais Quesnay dengan Tableau Economique-nya.

Hasil pemikiran dari tokoh-tokoh terdahulu digabung dan dikembangkan oleh

Adam Smith dalam bukunya yang sangat terkenal: The Wealth of Nations, yang ditulis

Smith tahun 1776. Sejak itu ilmu ekonomi diproklamirkan sebagai salah satu cabang

atau disiplin ilmu tersendiri. Dari sana muncullah beberapa sistem ekonomi dan secara

sederhana dapat diklasifikasikan pada tiga kelompok: pertama, sistem

liberal/kapitalistik; kedua, sistem sosialtistik/komunistik; dan ketiga, sistem ekonomi

campuran (mixed economy).

Dalam kaitannya, dalam penelitian ini pembahasannya dibatasi pada pemikiran

Maslow yang merupakan salah satu tokoh pakar ekonomi Maslow yang tumbuh dan

berkembang di Maslow. Dan tentunya, muncul dan tumbuhya pemikiran Maslow

dengan suasana, lingkungan dan sistem ekonomi yang terkenal dan dipakai pada saat itu.

Adapun Teori Ekonomi Islam, dalam hal ini kaitannya pemikiran ekonomi al-

Ghazāli terinspirasi dari kitab fiqih yang identik dengan Islam. Maka dari itu, Mannan

mendefinisikannya sebagai upaya untuk mengoptimalkan nilai-nilai Islam dalam

kehidupan ekonomi masyarakat (1993, hal. 19).

Begitu pula Khan –sebagaimana ditulis oleh Sander dalam Akram Khan’s Rush:

Creative Insights (2004, hal. 12-13) menyebut bahwa ilmu ekonomi Islam bertujuan

mempelajari kesejahteraan manusia yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber

daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi.


18

Selanjutnya, pembahasan dalam teori ekonomi Islam ini dibatasi dengan

pemikiran al-Ghazāli. Dalam kaitannya, al-Ghazāli adalah pemikir ekonom muslim yang

melakukan studi keislaman secara luas untuk mempertahankan ajaran agama Islam.

Karenanya, Peneliti menggunakan pemikiran dan pandangan al-Ghazali yang berkaitan

erat dengan teori kesejahteraan.

Kerangka Teori

Dalam studi ini akan dilandasi pada teori Maslow yang lebih dikenal dengan “hierarchy

of needs atau hirarkie lima tingkat kebutuhan”. Menurut Maslow, apabila seluruh

kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan

kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal menjadi prioritas. Dengan kata lain,

seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi

jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of

needs, ia berpendapat bahwa garis hierarki kebutuhan manusia berdasarkan skala

prioritasnya terdiri dari:

1. Kebutuhan Fisiologi (Physiological Needs), mencakup kebutuhan dasar manusia,

seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi kebutuhan dasar ini akan

menjadi prioritas manusia dan mengenyampingkan seluruh kebutuhan hidup

lainnya.

2. Kebutuhan Jaminan sosial (Safety Needs), mencakup kebutuhan perlindungan

terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.

3. Kebutuhan Sosial (Social Needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih sayang,

dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi

kesehatan jiwa seseorang.


19

4. Kebutuhan Akan Penghargaan (Esteem Needs), mencakup kebutuhan terhadap

penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini akan memengaruhi

rasa percaya diri dan prestise seseorang.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs), mencakup kebutuhan

memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan ini merupakan

tingkat kebutuhan yang paling tinggi (Donnelly, Gibson dan Ivancevich 1998,

hal. 270-271).

Maslow menjelaskan, bahwa kebutuhan pada tingkat pertama dan kedua

biasanya diacu sebagai kebutuhan tingkat rendah. Mengandung makna kebutuhan dasar

atau pokok bagi manusia. Sedangkan kebutuhan pada tingkat tiga, empat dan lima

disebut kebutuhan tingkat yang lebih tinggi (Soetarno 1986). Aplikasinya, semua

manusia harus memenuhi skala kebutuhan ini sebelum memenuhi skala kebutuhan yang

lain.

Dan dalam studi ini juga akan menggunakan teori maşlahat adh-dharūriyat al-

khams yang digagas oleh al-Ghazāli (450 H- 505 H):

“Kemaslahatan atau kesejahteraan manusia terletak pada tercapainya tujuan


mereka dengan cara memelihara tujuan syara’ atau hukum Islam. Tujuan hukum
Islam yang ingin dicapai dari manusia ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan
memelihara kelima hal ini disebut maşlahat atau kesejahteraan; dan setiap hal
yang meniadakannya disebut mafsadah dan menolaknya disebut maşlahat” (Al-
Mustaşfa min ‘Ilmi Uşūl, t.t., hal. 481)5.

-----------------------------
َ ‫ فَََإ‬,‫ك‬
‫ن‬ َ ِ ‫سنَا نَعْنِي بِهِ ذَل‬ ْ َ ‫ وَل‬,‫ض َرة‬ َ ‫م‬َ ‫منْفَعَة أوْ دَفْ ِع‬ َ ‫ب‬ِ ْ ‫جل‬َ ‫َن‬
ْ ‫لع‬ ِ ‫ص‬ ْ ‫ارة فِي اال‬ َ َ ‫عب‬ ِ ‫ي‬َ ِ‫حة فَه‬ َ َ ‫صل‬ْ ‫م‬ َ ‫ال‬
5

‫ل‬ ِ ْ ‫صَي‬
ِ ‫ح‬ ْ َ ‫َق فِي ت‬ ِ َ‫ح الخَل‬ ُ َ ‫صَال‬َ َ‫ و‬,‫َلَق‬
ِ ‫ح الخ‬ ُ َ ‫صَال‬َ َ‫ و‬,‫َلَق‬ِ ‫َاصَد ُ الخ‬ ِ ‫مق‬ َ ‫ضَ َرة‬ َ ‫م‬َ ‫منْفَعَة وَ دَفْعَ ال‬ َ ‫جلْب ال‬ َ
‫ن‬َ ‫م‬ ِ ‫الش َ ْر ِع‬َ ُ ‫ْص َوْد‬
ُ ‫مق‬ َ
َ َ‫ و‬.‫الش َ ْر ِع‬ ِ ‫ْص َوْد‬
ُ ‫مق‬ َ َ
َ ‫حافَظ َةِ عَلي‬ َ ‫م‬ُ ‫حةِ ال‬ َ
َ ‫ص َل‬ ْ ‫م‬ َ
َ ‫ لكِنَا نَعْنِي بِال‬.‫م‬ ْ ُ‫َاص َدَه‬ِ ‫مق‬ َ
‫ل‬ ُ َ ُ ‫ فَك‬.‫م‬ ‫ه‬َ ‫َال‬
َ ‫م‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ه‬
ْ ُ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َُ ‫ل‬ َ ‫س‬ ‫ن‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ه‬ َ ‫َقل‬ ‫ع‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ه‬ َ ‫ْس‬ ‫ف‬ ‫ن‬ ‫و‬ ‫م‬
َ
َ ْ ُ َ َ َ ْ َُِْ ْ ِْ ‫ه‬ ‫ن‬‫ي‬‫د‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ي‬َ ‫َل‬ ‫ع‬ َ
‫َظ‬ َ ‫ف‬
َ ‫ح‬ ‫ي‬ ‫ن‬
ْ َ ْ َ َ‫أ‬ ‫َو‬َ ُ ‫ه‬ ‫و‬ ,‫ة‬ َ ‫س‬
َ ْ‫م‬ ‫خ‬
َ ‫َق‬ َ ‫َل‬
‫خ‬ ‫ال‬
ِ
20

‫سدَة‬ َ َ‫ل فَهُو‬


َ ْ‫مف‬ َ ْ ‫صو‬
ُ ‫ت هَذِهِ اال‬
ُ ِ‫ما يَفُو‬
َ ‫ل‬ َ َ ‫صل‬
ُ ُ ‫ َو ك‬,‫حة‬ َ َ‫سةَ فَهُو‬
ْ ‫م‬ َ ‫م‬
ْ ‫خ‬
َ ‫ل ال‬
ِ ْ ‫صو‬ َ ‫حف‬
ُ ‫ْظ هَذِهِ اال‬ ِ ‫ن‬ُ ‫م‬َ ‫ض‬َ َ ‫مايَت‬
َ
.‫حة‬ َ
َ ‫صل‬ ْ ‫م‬َ ‫ه‬ُ ُ‫وَ دَفْع‬
Kejelasan tentang kebutuhan ini yang akhirnya dijadikan patokan dalam

menggali segala kebutuhan dari kehidupan manusia. Untuk selanjutnya, dapat dijadikan

data skala kebutuhan manusia yang nantinya akan menjadi penentu dalam memutuskan

konsep kesejahteraan dalam teori al-Ghazāli –Islam-. Kelima hal ini merupakan

kebutuhan pokok atau dasar bagi hidup dan kehidupan manusia. Dengan terpelihara dan

terjaminnya kelima hal tersebut, manusia akan meraih kesejahteraan dan kebahagiaan di

dunia dan akhirat.

Dan dalam penelitian ini juga menggunakan teori al-Ghazāli sebagaimana yang

tertuang dalam kitab Ihya Ulūmuddin dalam Rubu’ Muhlikāt6 (rubu’ yang

membinasakan):

“Hakikat dunia ada tiga, pertama ibarat benda-benda yang ada, kedua manusia
mempunyai keuntungan darinya, dan ketiga manusia mempunyai kesibukan dalam
memperbaikinya. Benda-benda tersebut kaitannya dengan manusia mempunyai dua
hubungan: pertama hubungan hati, yaitu kecintaannya kepada benda-benda itu, merasa
beruntung dan beralih cita-citanya ke benda itu, dan kedua hubungan badan dengan
memperbaiki benda-benda itu. Jikalau ia mengenal akan dirinya, ia mengenal akan
Tuhannya dan ia mengenal hikmah dunia dan rahasianya, niscaya ia tahu, bahwa
benda-benda tersebut kita namakan dunia, tidaklah dijadikan selain untuk umpan
binatang kendaraan, di mana ia akan berjalan dengan binatang kendaraan tersebut
kepada Allah”.
Di sini al-Ghazāli memberi catatan penting bahwa, ekonomi tidak akan merusak

kehidupan manusia tatkala dalam skala pemenuhan kebutuhan pokoknya dan tidak

hinggap dalam kecintaan dan kesibukan duniawi semata.

-----------------------------
6
Adalah kitab keenam dari “rubu’ yang membinasakan” dari kitab Ihya Ulūmuddin yang berisi tentang
tercelanya dunia, pengajaran-penajaran tercelanya dunia dan sifatnya dunia, sifat dunia dengan contoh-
contohnya, hakikat dunia dan yang sebenarnya dunia itu pada hak seseorang hamba Allah, hakikat dunia,
mengenai dunia itu dan kesibukan-kesibukannya yang menghabiskan cita-cita manusia. Sehingga dunia
21

itu, melupakan manusia kepada diri mereka, kepada Tuhan mereka, tempat datang dan tempat perginya
mereka. Dan Dia lah yang menolong kepada yang diridhai-Nya. Lihat kitab Ihya Ulūmuddin jilid 5
terjemahan Prof. Tk. H. Ismail Yakub, SH, MA, Jakarta: Cv. Faizan, 1983, hal. 80-81.
Tinjauan Pustaka

Penelitian yang mefokuskan pada analisis tentang konsep kesejahteraan dalam Teori

Ekonomi Maslow dan Islam, sepengetahuan peneliti belum mendapatkannya. Namun,

peneliti mendapatkan penelitian yang memfokuskan pada analisis Masyarakat Sejahtera

dalam Perspektif Islam yang ditulis oleh Saifullah tahun 2008.

Penelitian tersebut membahas pengertian tentang masyarakat sejahtera, konsep

kesejahteraan dan model kesejahteraan sosial. Pada bab berikutnya penulis mengupas

adh-dharūriyat al-khams dan hak dasar kebutuhan ekonomi. Sedangkan bab selanjutnya,

hal yang berkaitan dengan problema ekonomi yang meliputi penanggulangan problema

ekonomi menurut sistem kapitalis, sosialis dan Islam, distribusi kekayaan dalam Islam,

pertumbuhan ekonomi.

Dalam bab akhir, penulis mengemukakan tentang prioritas pembangunan dan

dampaknya terhadap distribusi dan pertumbuhan. Di sini penulis lebih menjelaskan

konsep manusia sebagai khālifah dan sumber daya alam, hak individu atas kekayaan

umum, prioritas pembangunan sektor kebutuhan dasar ekonomi, prioritas pembangunan

dan distribusi, prioritas pembangunan dan keseimbangan sosial, dan tanggung jawab

negara berkenaan dengan prioritas pembangunan. Pokok masalah yang dibahas di dalam

buku ini adalah: masalah distribusi yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan;

dan tingkat kemiskinan dan pengangguran serta kesenjangan ekonomi sosial masyarakat.

Peneliti juga menemukan sebuah hasil kerja riset karya Dr. M. Umer Chapra

yang berjudul Islam and The Economic Challenge (Islam dan Tantangan Ekonomi)

tahun 2000 yang diterjemahkan oleh Ihkwan Abidin Basri, MA, M.Sc. Dalam karya

ilmiah ini, beliau mengkaji terhadap tiga sistem ekonomi Maslow dan berakhir dengan
22

suatu lembaran neraca realistis dari prestasi-prestasinya maupun kegagalan-

kegagalannya. Beliau juga mengemukakan pendekatan Islam terhadap ekonomi dan

persoalan-persoalannya, serta mengajukan saran-saran konkret bagi restrukturisasi

perekonomian dunia muslim, sekaligus memperlihatkan jalan-jalan baru menuju

perencanaan pembangunan.

Secara lebih luas, resepnya bagi dunia muslim mengandung perencanaan

pembangunan dibarengi dengan aplikasi filter moral yang secara sosial disepakati dalam

mekanisme pasar, motivasi yang berbasis lebih luas bagi usaha-usaha ekonomi, dan

reformasi struktural fundamental untuk membangun suatu kerangka kerja yang

mendukung ke arah itu.

Dr. Chapra secara jelas telah mendemontrasikan bahwa kebahagiaan tidak dapat

dicapai melalui penguasaan materi semata-mata, dan bahwa efisiensi dan pemerataan

dapat menjadi konsep yang operasional hanya bila hal itu didefinisikan kembali dalam

konteks hubungannya dengan nilai-nilai moral dan struktur sosioekonomi. Kaitannya

dengan studi peneliti, tema kesejahteraan tidak hanya penguasaan pada sisi materi

semata. Namun, dibarengi oleh suatu nilai atau moral yang melekat padanya.

Dalam riset ini dibagi menjadi dua bagian, pertama sistem-sistem yang gagal dan

kedua pandangan dunia Islam. Bagian pertama terdiri dari empat bab; bab 1 sistem-

sistem yang gagal antara lain batas-batas kapitalisme, bab 2 kemunduran sosialisme, bab

3 krisis negara kesejahteraan, dan bab 4 inkosistensi ekonomi pembangunan.

Pada bagian dua, terdiri dari delapan bab; bab 5 pandangan dunia Islam dan

strateginya (antara lain pemenuhan kebutuhan pokok), bab 6 malaise, bab 7

membicarakan tentang menghidupkan faktor kemanusiaan, bab 8 menjelaskan dalam hal


23

mengurangi konsentrasi kekayaan, bab 9 restrukturisasi ekonomi, bab 10 restrukturisasi

keuangan, bab 11 perencanaan kebijakan strategis dan bab 12 kesimpulan.

Metode Penelitian

1. Pendekatan

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif.

Pada pendekatan kualitatif lebih menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu

situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang

berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan kualitatif, lebih lanjut,

mementingkan pada proses dibandingkan dengan hasil akhir, oleh karena itu urut-urutan

kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang

ditemukan. Tujuan penelitian biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis

(Sarwono 2009, hal. 1).

Dalam penelitian ini, peneliti telah mengadakan pengkajian terhadap teori

Maslow dan al-Ghazāli yang berhubungan dengan konsep kesejahteraan, serta tulisan-

tulisan lain yang dapat mendukung data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, sehingga

didapat gambaran pemikiran Maslow dan al-Ghazāli tentang konsep kesejahteraan.

2. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data kualitatif yang relevan

dengan rumusan masalah yang ada. Sehingga dalam penelitian ini peneliti menggunakan

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier yang

dijadikan bahan literatur dalam penelitian ini.

a. Bahan hukum primer ialah bahan pokok yang menjadi acuan dalam penelitian

ini, di antaranya: al-Mustaşfa min ‘Ilmi Uşūl dan Ihya Ulūmuddin, karya Imam

Abu Hāmid Muhammad bin Muhammad at-Tūsi al-Ghazāli (450 H- 505 H),
24

tanpa tahun; Motivation and Personality, karya Abraham Harold Maslow, tahun

1954; Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, karya Mulyanto Sumardi & Hans-

Dieter Evers, tahun 1982.

b. Bahan hukum sekunder ini ialah penunjang bahan primer yang berhubungan

dengan masalah tersebut, di antaranya: Manajemen dan Motivasi, karya Prof.

DR. Buchari Zainun, tahun 1989, Islam dan Tantangan Ekonomi, karya Dr. M.

Umer Chapra Jakarta, tahun 2000; Konsep Masyarakat Sejahtera dalam Islam,

karya DR. Edyson Saifullah, tahun 2008; Islam Mengentaskan Kemiskinan,

Tinjauan Kritis Analisis Tentang Hadits Ekonomi, karya M. Naşiruddin al-

AlBānī, tahun 2002, dan lain-lain.

c. Bahan hukum tersier ialah penunjang dari bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder terhadap masalah tersebut, di antaranya Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Ensiklopedi, Kamus Ekonomi dan Kamus Bahasa Arab.

3. Metode Pengumpulan Data

Mengingat penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (library research). Maka

teknik pengumpulan data melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: (a) mengumpulkan

buku-buku atau bahan bacaan yang berkenaan dengan masalah yang diteliti: (b)

mengklasifikasikan data-data yang ada pada buku-buku atau bahan bacaan yang ada

kaitannya dengan masalah yang diteliti; (c) membaca dan menelaah serta mengolah

buku-buku atau bahan bacaan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.

4. Analisis Data

Tehnik menganalisa data dan materi yang disajikan dalam penelitian ini yaitu dengan

menggunakan metode deskriptif kualitatif komparatif, yaitu dengan cara content

analysis (analisis isi) tentang pendapat Maslow dan al-Ghazāli, yakni menggambarkan,
25

menguraikan, atau menyajikan seluruh pokok-pokok masalah secara tegas dan sejelas-

jelasnya. Setelah data yang diperlukan dalam penelitian ini terkumpul, maka penguraian

itu disimpulkan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan

yang bersifat umum ditarik ke khusus, sehingga penyajian hasil penelitian ini dapat

dipahami dengan mudah.

Sistematika Pembahasan

Penelitian tesis ini disusun berdasarkan 5 bab utama. Bab 1 Pendahuluan yang berisi

latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

metode penelitian serta sistematika pembahasan. Bab 2 Konsep Kesejahteraan Menurut

Maslow. Dalam bab ini peneliti memfokuskan pada makna, konsep, kebutuhan pokok,

indikator, bentuk dan karakteristik kesejahteraan menurut pandangan dan pendapat

Maslow. Bab 3 Konsep Kesejahteran Menurut al-Ghazāli. Dalam bab ini peneliti

membahas konsep, kebutuhan pokok menurut al-Ghazāli, dan indikator kesejahteraan

dalam al-Quran dan menurut al-Ghazāli. Bab 4 Analisis Perbandingan Konsep

Kesejahteraan Maslow dan al-Ghazāli. Di sini peneliti menganalisis dan mengupas

persamaan dan perbedaan kedua konsep tersebut, serta implikasi dari perbedaan

tersebut. Dan bab 5 kesimpulan dan saran-saran peneliti.


26

Bab 2

KONSEP KESEJAHTERAAN MENURUT MASLOW

Biografi Maslow

Abraham Harold Maslow (1908-1970 M) lahir pada 1 April 1908 di Brooklyn, New

York. Maslow dibesarkan dalam keluarga yahudi dan merupakan anak tertua dari tujuh

bersaudara, yang mereka sendiri tidak berpendidikan adalah imigran Yahudi dari Rusia

Orang tuanya. Mereka berharap untuk yang terbaik bagi anak-anak mereka di dunia

baru, mendorongnya keras untuk keberhasilan akademis. Tidak mengherankan, ia

menjadi sangat kesepian sebagai anak laki-laki, dan menemukan perlindungan di buku.

Dan ia wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun.

Maslow adalah seorang pelopor aliran psikologi 7 humanistik8. Aliran ini secara

eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks

manusia dalam pengembangan teori psikologis(http://id.wikipedia.org).

Keluarga Maslow amat berharap ia dapat meraih sukses melalui dunia

pendidikan. Untuk menyenangkan kemauan ayahnya, Maslow sempat belajar di bidang

-----------------------------
7
Psikologi berasal dari bahasa Yunani, artinya ilmu jiwa. Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya. Akan tetapi, Tidak ada
seseorangpun yang sebenarnya dapat mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan ilmu jiwa. Sehingga
menimbulkan berbagai banyak pendapat mengenai definisi ilmu jiwa (Pengantar Psikologi Umum, penulis
: Sarlito W. Sarwono, penerbit : rajawali Pers).
8
Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an sebagai reaksi terhadap
behaviorisme dan psikoanalisis. Permasalah ini dirangkum dalam lima postulat Psikologi Humanistik dari
James Bugental (1964), sebagai berikut: 1. Manusia tidak bisa direduksi menjadi komponen-komponen; 2.
Manusia memiliki konteks yang unik di dalam dirinya; 3. Kesadaran manusia menyertakan kesadaran
akan diri dalam konteks orang lain; 4. Manusia mempunyai pilihan-pilihan dan tanggung jawab; 5.
Manusia bersifat intensional, mereka mencari makna, nilai, dan memiliki kreativitas. Pendekatan
27

humanistik ini mempunyai akar pada pemikiran eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya seperti
Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, dan Sartre (http://id.wikipedia.org/wiki/Humanistik)
hukum di College Kota New York (CCNY) tapi gagal. Setelah tiga semester, ia pindah

ke Cornell. Ia akhirnya mengambil bidang studi psikologi di University of Wisconsin,

dan memperoleh gelar bachelor pada 1930, master pada 1931, dan PhD pada 1934.

Maslow kembali ke CCNY dan menikah. Dia Bertha Goodman, sepupu pertama,

terhadap orang tua keinginannya. Abe dan Bertha terus memiliki dua anak perempuan.

Dia dan Bertha pindah ke Wisconsin agar ia bisa belajar di University of Wisconsin. Di

sini, ia menjadi tertarik pada psikologi, dan pekerjaan sekolahnya mulai membaik secara

dramatis. Dia menghabiskan waktu ada bekerja dengan Harry Harlow, yang terkenal

untuk eksperimen dengan bayi rhesus monyet dan perilaku lampiran.

Ia menerima gelar BA pada tahun 1930, MA pada 1931, dan gelar PhD pada

tahun 1934, semua dalam psikologi, semua dari University of Wisconsin. Setahun

setelah lulus, ia kembali ke New York untuk bekerja dengan EL Thorndike di Columbia,

dimana Maslow menjadi tertarik dalam penelitian tentang seksualitas manusia.

Maslow banyak berhubungan dengan intelektual-intelektual Eropa yang baru

bermigrasi ke Amerika Serikat seperti Alfred Adler, Erich Fromm, dan Karen Horney.

Pada tahun 1951 Maslow berjumpa dengan Kurt Goldstein, seseorang yang

mengenalkannya kepada ide tentang aktualisasi diri – yang menjadi bibit dari teorinya

tentang hirarki kebutuhan. Pada periode ini pula Dia, bersama beberapa psikolog lain

seperti Carl Roger “memproklamirkan” aliran ketiga (third force) dari psikologi yang

dikenal sebagai humanisme.

Tidak cukup “bermain-main” dengan humanisme, menjelang akhir hayatnya

Maslow mengenalkan lagi satu aliran yang dikenal sebagai mazhab keempat, yakni

Psikologi Transpersonal, yang berbasis pada filosofi dunia timur dan mempelajari hal-
28

hal semacam meditasi, fenomena parapsikologi, dan kesadaran level tinggi (Altered

States of Consciousness, ASC) (http://mustolihbrs.wordpress.com).

Dia menghabiskan tahun-tahun terakhir di semi-pensiun di California, sampai,

pada tanggal 8 Juni 1970, ia meninggal karena serangan jantung setelah bertahun-tahun

sakit. Adapun konsep teori Maslow sekaligus menjadi karya monumenal yang terkenal,

yaitu:

Pertama, Hakikat Manusia: tentang hakekat manusia Maslow berpendapat

bahwa manusia memiliki satu kesatuan jiwa dan raga yang bernilai baik, dan memiliki

potensi-potensi. Yang dimaksud baik itu adalah yang mengakibatkan perkembangan kea

rah aktualisasi diri.

Kedua, Kebutuhan Pokok Manusia: manusia memiliki kebutuhan dasar yang

akan selalu menjadi motivasi perilakunya, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan

keselamatan, kebutuhan akan memiliki dan rasa cinta, kebutuhan akan harga diri, dan

kebutuhan akan aktualisasi diri. Untuk dapat sampai pada tingkat aktualisasi diri semua

kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada tingkat sebelumnya harus terpenuhi. Selain

kebutuhan pokok tersebut yang disebut basic needs manusia juga memiliki metaneeds

sebagai kebutuhan pertumbuhan seperti keadilan, keindahan, keteraturan, dan kesatuan.

Ketiga, Kebutuhan Pokok sebagai Unsur Motivasi: teori Motivasi Maslow

dibentuk atas dasar teori hirarki kebutuhan pokok. Dengan kata lain pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan pokok inilah yang memotivasi manusia berbuat sesuatu. Teori ini

tidak sekedar bersifat homeostatis tetapi juga homeostatis psikologis. Bahkan pada

tingkat puncak kebutuhan yang disusun Maslow mengarah kepada mistisisme

(http://homework-uin.blogspot.com).
29

Definisi Kesejahteraan

Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera yang mempunyai makna aman, sentosa

dan makmur; selamat atau terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran dan

sebagainya. Adapun kesejahteraan adalah hal atau keadaan sejahtera yang mencakup

jaminan sosial, keselamatan, ketentraman, kesenangan hidup, dan sebagainya;

kemakmuran (Lukman Ali 1996, hal. 891).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kesejahteraan juga memiliki padanan

kata yaitu maşlahat. Maşlahat artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, dan

guna. Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat dan kepentingan

(hal. 634). Adapun kata “manfaat” artinya adalah guna dan faedah. Sedangkan

bermanfaat artinya, ada manfaatnya, berguna, berfaedah. Manfaat juga diartikan sebagai

kebalikan/lawan kata mudharat yang berarti rugi atau buruk (Lukman Ali 1996, hal.

626).

Sedangkan kemakmuran berasal dari kata dasar makmur yang mempunyai

makna banyak hasil, banyak penduduk dan sejahtera, serba tidak kekurangan.

Kemakmuran sendiri berarti dalam keadaan makmur (Lukman Ali 1996, hal. 619).

Sejahtera dan kesejahteraan diidentikkan dengan suasana dan kondisi kebaikan,

kegunaan, aman dan selamat dari segala macam gangguan dan kesukaran dalam hidup

atau yang lazim dikenal dengan mudharat atau kerusakan. Ia mencakup dua dimensi,

dimensi jasmani dan rohani. Sedangkan kemakmuran lebih diidentikan dengan kwantitas

suatu barang atau jasa. Ia hanya mencakup dimensi jasmani tanpa mencakup dimensi

rohani. Oleh karena itu, kesejahteraan dan kemakmuran dua kata yang berbeda makna

baik secara bahasa dan istilah.


30

Karenanya, dalam hal mensejahterakan kehidupan manusia maka sektor

konsumsi, produksi, dan distribusi harus dikelola secara maksimum dalam rangka

pemenuhan kebutuhan manusia. Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan integral

untuk mewujudkan kesejahteraan kehidupan. Kegiatan konsumsi, produksi, dan

distribusi harus menuju pada satu tujuan yang sama, yaitu mencapai kesejahteraan yang

maksimum bagi umat manusia.

Konsumsi harus berorientasi kepada kesejahteraan maksimum sehingga tetap

menjaga keseimbangan kebutuhan antarindividu dan keseimbangan antaraspek

kehidupan. Produksi dilakukan secara efisien dan adil sehingga sumber daya yang

tersedia bisa mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia. Distribusi sumber daya dan

output harus dilakukan secara adil dan merata sehingga memungkinkan setiap individu

untuk memiliki peluang mewujudkan kesejahteraan bagi kehidupannya.

Kegiatan di atas tersebut didefinisikan dengan aktivitas ekonomi. Yaitu adalah

semua kegiatan manusia dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan

yang tidak terbatas dengan memanfaatkan sumber daya yang terbatas. Dan dikenal

dengan aktivitas ekonomi secara umum. Hal ini penting karena aktivitas ekonomi adalah

aktivitas yang melibatkan berbagai aspek kehidupan manusia.

Plato –sebagaimana dikutip oleh Dua- ekonom klasik tersebut berpendapat

bahwa ilmu ekonomi harus dapat menjelaskan bagaimana manusia dan masyarakat

mengorganisasikan kegiatannya untuk menciptakan keuntungan dan kesejahteraan

(2008, hal. 18).

Oleh karena itu, tugas ekonomi adalah memberi alasan mendasar mengapa

ekonomi perlu memfokuskan perhatiannya pada kesejahteraan. Pada akhirnya, apabila


31

kesejahteraan dapat tercapai, maka kehidupan manusia akan nyaman dan bahagia. Hal

inilah yang menjadi tujuan dasar kehidupan manusia di muka bumi ini.

Menteri Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat mendefinisikan sejahtera

sebagai suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan

dasar tersebut berupa kecukupan dan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan,

pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti lingkungan yang

bersih, aman dan nyaman. Juga terpenuhinya hak asasi dan partisipasi serta terwujudnya

masyarakat beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

(http://www.menkokesra.go.id).

Dalam bahasa Inggris kesejahteraan dikenal dengan welfare. Welfare mempunyai

arti the good health, happiness, compfort, etc of a person or group. Dapat diartikan

kesejahteraan di sini dengan kondisi yang sehat, bahagia, nyaman dan sebagainya, baik

individu maupun kelompok (Oxford Advanced Learner’s Dictionary 1995, hal. 1352).

John dan Hasan memberikan makna lebih mendalam tentang arti kesejahteraan sebagai

suatu keselamatan (1975, hal. 642).

Sejahtera juga diterjemahkan dari kata prosperous yang berarti maju dan sukses

terutama dalam hal pendapatan dan memperoleh kekayaan yang cukup banyak. Bahagia

(happiness) memiliki makna yang lebih luas, yang berarti kondisi atau perasaan nikmat

dan nyaman, yang bisa disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan material maupun

spiritual (P3EI 2008, hal. 50).

Keadaan atau kondisi yang sehat, bahagia, nyaman, aman baik secara personal

maupun masyarakat dinamakan sejahtera atau kesejahteraan. Dan tujuan akhir dari

kondisi yang sehat, bahagia, nyaman dan aman adalah keselamatan. Keselamatan dalam

dua dimensi, dunia dan akhirat.


32

Jika dirunut kata kesejahteraan dalam bahasa Arab, maka akan didapatkan kata

rofāhiyyah yang dalam bahasa Arab sendiri diartikan dengan kenyamanan dan

kemakmuran. Daulah rofāhiyyah mengandung makna negara yang makmur.

Sebagaimana dijelaskan di atas terdapat perbedaan makna antara kesejahteraan dan

kemakmuran itu sendiri (Ali & Muhdlor 1998, hal. 982).

Dari beberapa definisi kesejahteraan di atas, maka peneliti memformulasikan

konsep kesejahteraan sebagai kondisi atau perasaan nikmat dan nyaman, yang

disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan material maupun spiritual, baik berupa

pemenuhan akan kebutuhan pokok, makan, pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial

(terhindar dari segala macam resiko yang mengancam).

Dari definisi tersebut lahirlah9 beberapa istilah yang berkaitan dengan

kesejahteraan, yaitu (1) kesejahteraan ekonomi (economic welfare), (2) kesejahteraan

sosial (social welfare), (3) masyarakat sejahtera (welfare society) dan (4) negara

kesejahteraan (welfare state). Setiap istilah kata tersebut memiliki definisi dan makna

tersendiri.

1) Economic Welfare (kesejahteraan ekonomi)

Yang dimaksud dengan economic welfare atau kesejahteraan ekonomi adalah sebuah

sistem teoritik ilmu ekonomi yang menganalisis data ekonomi, guna memaksimalisasi

kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan dan bukan hanya terkait dengan laba

atau keuntungan si pengusaha (Sumadji & Yudha P 2006, hal. 633).

----------------------------
9
Untuk kesejahteraan ekonomi peneliti dapatkan dalam Ensiklopedi Ekonomi. Adapun istilah
kesejahteraan sosial sendiri peneliti ambil dari Kamus Sosiologi Modern yang kemudian dikembangkan
oleh pemikir-pemikir seperti Chapra, Soeharto dll. Masyarakat sejahtera peneliti temukan dalam disertasi
Edison, Konsep Masyarakat Sejahtera dalam Perspektif Islam. Dan negara kesejahteraan, istilah tersebut
peneliti nukil dan ambil dari istilah yang diusung oleh Chapra dalam Islam dan Tantangan Ekonomi.
33

Suyanto dalam hal ini senada dengan pandangan Sumadji dan Yudha. Menurut

Suyanto, ekonomi kesejahteraan adalah kerangka kerja yang digunakan oleh sebagian

besar ekonom publik untuk mengevaluasi penghasilan yang diinginkan masyarakat.

Ekonomi kesejahteraan menyediakan dasar untuk menilai prestasi pasar dan pembuat

kebijakan dalam alokasi sumberdaya. Definisi ini merupakan seperangkat alokasi nilai

guna (utility) yang dapat dicapai dalam suatu subyek masyarakat terhadap kendala dari

citarasa dan teknologi (www.msuyanto.com).

Di sini ekonomi kesejahteraan mencoba untuk memaksimalkan tingkatan dari

kesejahteraan sosial, dengan pengujian kegiatan ekonomi dari individu yang ada dalam

masyarakat. Yang berkaitan dengan subsistensi, barang-barang dan jasa-jasa

rekreasional.

2) Social Welfare (kesejahteraan sosial)

Soekanto memberikan gambaan secara umum mengenai kesejahteraan sosial sebagai

suatu kepentingan yang tertuju pada pencapaian kehidupan sejahtera bagi pribadi dan

kelompok (1993, hal. 479-480). Tentunya, kepentingan yang mengarah pada pencapaian

kehidupan sejahtera baik aspek kebutuhan pokok, produksi, konsumsi, distribusi dan

lain-lain maka diperlukan suatu strategi yang matang. Karena, tidak dinamakan suatu

kepentingan atau kebutuhan tatkala tidak dibarengi oleh suatu usaha dan strategi.

Dalam ta’rif Badawi, kesejahteraan sosial sebagai sistem yang mengatur

pelayanan sosial dan lembaga-lembaga untuk membantu individu-individu dan

kelompok-kelompok mencapai tingkat kehidupan, kesehatan yang layak dengan tujuan

menegakkan hubungan kemasyarakatan yang setara antar individu sesuai dengan

kemampuan pertumbuhan (development) mereka, memperbaiki kehidupan manusia


34

sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat (Mu’jam Muşţalahatul al-Ulūm al-

Ijtimā’iyyah, Beirut, Maktabah Lubnan, 1986).

Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 tahun 2009 sendiri menyebutkan

bahwa, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual,

dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri,

sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Istilah kesejahteraan sosial (social welfare) menurut Midgley –sebagaimana

dikutip oleh Suharto- adalah suatu kondisi kehidupan manusia ketika berbagai

permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik; ketika kebutuhan manusia dapat

terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalisasikan (hal. 3, lihat juga

dalam Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, hal. 16).

Dari berbagai pandangan pemikiran kesejahteraan sosial di atas, tampaknya

Kartasapoetra dan Hartini berbeda dalam pendefinisian. Yaitu suatu kehidupan sejahtera

yang selalu diinginkan untuk kelompok profesionalnya (2007, hal. 444). Pandangan ini

memberikan interpretasi bahwa, kehidupan sejahtera merupakan suatu dambaan semua

manusia, dan ia hanyalah sebuah keinginan atau impian dalam perwujudannya.

Adapun yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah sistem yang

mengatur pelayanan sosial (masalah sosial dapat dikelola dengan baik dan kesempatan

sosial dapat dimaksimalisasikan) dan lembaga-lembaga untuk membantu individu-

individu dan kelompok-kelompok mencapai tingkat kehidupan, pendidikan, kesehatan

yang layak, memperbaiki kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan

masyarakat, terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan dapat hidup layak dan

mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.


35

Hal di atas menjadi harapan dan cita-cita manusia dalam menjalankan aktivitas

ekonominya, yaitu kesejahteraan. Kesejahteraan sendiri dapat dicapai dan diwujudkan

tatkala dibarengi oleh suatu strategi.

3) Welfare Society (masyarakat sejahtera)

Saifullah dalam hal ini memberikan definisi yang komprehensif mengenai masyarakat

sejahtera. Beliau mengatakan, sekelompok individu dalam satu komunitas yang teratur,

di bawah suatu sistem atau aturan untuk tujuan yang sama; hidup bersama alam kondisi

aman dan bahagia, terpenuhinya kebutuhan dasar akan makanan, kesehatan, pendidikan,

tempat tinggal, pendapatan dan memperoleh perlindungan dari resiko-resiko yang

mengancam kehidupannya. Kebersamaan atas kepentingan bersama, tanpa

mengorbankan kepentingan individu (2008, hal. 20).

Komunitas teratur, sistem yang sama, aman bahagia, terpenuhinya kebutuhan

dasar, terhindar dari resiko dan mengedepankan kepentingan bersama menjadi indikator

masyarakat sejahtera. Dan dapat dinamakan dan dilabelisasi masyarakat sejahtera tatkala

indikator-indikator di atas dapat terpenuhi secara bersamaan.

Dalam konteks individu merupakan bagian dari masyarakat, dan masyarakat

adalah kumpulan dari individu-individu yang ada, maka Al-badri –sebagaimana dikutip

oleh Saifullah- menyatakan masyarakat dan individu menurut Islam adalah satu kesatuan

yang tidak terpisahkan, status dan hubungan individu dengan masyarakat memberikan

jaminan keselamatan bagi semua. Masyarakat berfungsi menjadi keselamatan individu,

dan individu berbuat demi kemaslahatan segenap anggota masyarakat (2008, hal. 20).
36

Oleh karena itu, masyarakat sejahtera diidentikkan dengan pemenuhan

kebutuhan pokok atau dasar manusia, terhindar dari resiko dan ancaman, kepentingan

bersama atau persaudaraan universal, dan kehidupan yang damai dan bahagia.

4) Welfare State atau negara kesejahteraan

Dalam garis besar, negara kesejahteraan menunjuk pada sebuah model ideal

pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian

peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara

universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker –sebagaimana dikutip oleh

Suharto- misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan “…stands for a developed

ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible

standards” (2006).

Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah

cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services).

Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan

bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.

Sejalan dengan pandangan Chapra mengenai negara kesejahteraan, sebagai

pemberian pelayanan kesejahteraan kepada semua orang, baik kaya maupun miskin,

melalui pengeluaran pemerintah yang ditingkatkan (2000, hal. 344).

Menurut Krisna, pelayanan sosial kepada semua orang sebagaimana definisi di

atas bukanlan hal yang pokok dan substansi mengenai lahirnya negara kesejahteraan.

Krisna melihat dan mendefinisikan negara sejahtera adalah pemerintah yang dapat

menjamin suatu taraf hidup minimum bagi semua warganya, yang mencakup

terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, serta papan dan menyelenggarakan lapangan


37

kerja yang penuh. Di samping itu, negara memberikan berbagai macam pelayanan

sosial, terutama bidang pendidikan dan kesehatan, dan memberi bantuan untuk masa tua

serta cacat (1993, hal. 158).

Begitu dalam dan luas definisi dan istilah-istilah yang berkaitan dengan

kesejahteraan di atas. Economic welfare (Ekonomi kesejahteraan) misalnya, mencoba

untuk memaksimalkan tingkatan dari kesejahteraan sosial, dengan pengujian kegiatan

ekonomi dari individu yang ada dalam masyarakat. Yang berkaitan dengan subsistensi,

barang-barang dan jasa-jasa rekreasional.

Social welfare (kesejahteraan sosial) adalah sistem yang mengatur pelayanan

sosial dan lembaga-lembaga untuk membantu individu-individu dan kelompok-

kelompok mencapai tingkat kehidupan, pendidikan, kesehatan yang layak, pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan masyarakat, baik aspek material, spiritual, dan dapat hidup layak

dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Begitu juga dengan welfare society (masyarakat sejahtera) diidentifikasikan

sebagai komunitas teratur, sistem yang sama, aman bahagia, terpenuhinya kebutuhan

dasar, terhindar dari resiko dan mengedepankan kepentingan bersama menjadi indikator

masyarakat sejahtera. Dan dapat dinamakan dan dilabelisasi masyarakat sejahtera tatkala

indikator-indikator di atas dapat terpenuhi secara bersamaan.

Dan welfare state (negara kesejahteraan), pemerintah yang dapat menjamin suatu

taraf hidup minimum bagi semua warganya, yang mencakup terpenuhinya kebutuhan

pangan, sandang, serta papan dan menyelenggarakan lapangan kerja yang penuh. Di

samping itu, negara memberikan berbagai macam pelayanan sosial, terutama bidang

pendidikan dan kesehatan, dan memberi bantuan untuk masa tua serta cacat.
38

Dari istilah-istilah di atas, terlihat jelas bahwa sejahtera dan kesejahteraan

sebagai kondisi atau perasaan nikmat dan nyaman, yang disebabkan oleh terpenuhinya

kebutuhan material maupun spiritual, baik berupa pemenuhan akan kebutuhan pokok,

makan, pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial (terhindar dari segala macam resiko

yang mengancam).

Konsep Kesejahteraan

Mengenai konsep kesejahteraan, meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas

tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup di antaranya pangan,

pendidikan, kesehatan. Dan seringkali konsep kesejahteraan diperluas kepada

perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua,

keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya. Dengan kata lain lingkup substansi

kesejahteran seringkali dihubungkan dengan lingkup kebijakan sosial. Penentuan

batasan substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan ini menjadi perdebatan

yang luas (Suharto tt, hal 3).

Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat

kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan tersebut. Kesejahteraan bersifat

kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan antardimensi dan ada dimensi

yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu

intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga

membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu.

Oleh karena itu, konsep kesejahteraan sering diartikan berbeda-beda oleh orang

dan negara yang berbeda. Kapitalisme, misalnya merumuskan kesejahteraan dalam

pendekatan materialis murni. Kesejahteraan didefinisikan sebagai terpenuhinya


39

kebutuhan materil manusia sesuai dengan hasil kerja optimal masing-masing orang atau

kelompok. Pendekatan materialis biasanya menafikan kebutuhan rohani.

Sebagaimana menurut Smith dalam karyanya The Wealth of Nation (1776) –

sebagaimana dikutip oleh Saifullah- bahwa kesejahteraan diukur berdasarkan seberapa

besar hasil barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi. Karenanya, yang disebut

dengan istilah negara maju adalah yang menikmati pendapatan tinggi, tanpa

memperhatikan tingkat kehancuran nilai-nilai spiritual masyarakatnya; sedangkan

negara terbelakang adalah negara dengan pendapatan rendah (2008, hal. 1).

Sosialisme melihat kesejahteraan dengan pendekatan komunal. Kesejahteraan

bisa dicapai melalui pemerataan yang diatur oleh negara atau pemerintah, agar supaya

terjadi keadilan.

Dalam hal ini pemerintah memiliki peran yang begitu besar dan kuat dalam

menyelenggarakan dan mensukseskan kesejahteraan manusia terutama rakyat negaranya

tersebut.

Demikianlah sistem kapitalis dengan prinsip ‘kebebasan pasar’ dan sosialis

dengan prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai dan sistem yang sama-sama dibangun atas dasar

‘materi kebendaan’ yang menguasai dan menentukan arah bahwa ‘pertumbuhan

ekonomi’ adalah tujuan utama bangsa manusia. Perbedaan antara keduanya hanya dalam

hal ‘sistem kepemilikan’ dan ‘sistem distribusi’ kekayaan. Keduanya memiliki seruan

bahwa ‘kesejahteraan individu’ di atas segalanya disertai dengan materi berlimpah akan

mewujudkan ‘kesejahteraan’ secara makro.

Murujuk pada Spicker (1995), Midgley, Tracy dan Livermore (2000), Thompson

(2005), dan Suharto (2006), pengertian dan konsep kesejahteraan sedikitnya

mengandung empat makna, yaitu:


40

1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada

istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya

kebutuhan material dan non-material. Midgley et al (2000:ix) mendefinisikan

kesejahteraan sosial sebagai “…a condition or state of human well-being.”

Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena

kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan

pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan

dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.

2. Sebagai pelayanan sosial. Di Inggris, Australia dan Selandia Baru, pelayanan

sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (social security),

pelayanan kesehatan, pendidikan (personal social services).

3. Sebagai tunjangan sosial. Khususnya di Amerika Serikat (AS), diberikan

kepada orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan

konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan,

ketergantungan, yang sebenarnya lebih tepat disebut “Social Illfare” ketimbang

“Social Welfare”.

4. Sebagai proses atau usaha terencana. Hal ini baik dilakukan perorangan,

lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk

meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian

pelayanan sosial (pengertian kedua) dan tunjangan sosial (pengertian ketiga).

Konsep kesejahteraan dapat diidentifikasikan sebagai kondisi atau perasaan

nikmat dan nyaman, yang disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan material maupun

spiritual, baik berupa pemenuhan akan kebutuhan pokok, makan, pendidikan, kesehatan

dan jaminan sosial (terhindar dari segala macam resiko yang mengancam).
41

Terpenuhinya kebutuhan pokok baik fisik maupun nonfisik dan memiliki

kesempatan, perlindungan dan jaminan akan hal tersebut menjadi tawaran dan konsep

Kantor Menkokesra. Kantor Menkokesra –sebagaimana dikutip oleh Saifullah-,

menyatakan bahwa masyarakat sejahtera apabila kehidupan masyarakat tentram lahir

batin, setiap individu memperoleh penghidupan yang layak dengan terpenuhinya

beberapa kondisi (2008, hal. 29):

Pertama, kebutuhan pokok untuk kehidupan fisik dan nonfisik tersedia dan

terjangkau oleh masyarakat secara menyeluruh dan merata.

Kedua, setiap individu memiliki kesempatan, perlindungan dan jaminan untuk

memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan

pendapatan layak, bebas dari rasa takut dan tentram.

Rumusan sebagaimana disebutkan di atas menggambarkan, kesejahteraan

sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan jasmaniah dan rohaniah, atau keseimbangan

antara aspek material dan non-material atau spiritual. Di mana kondisi sejahtera terjadi

jika kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan,

pendidikan, tempat tinggal dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh

perlindungan dari resiko-resiko yang mengancam kehidupannya (Suharto, Negara

Kesejahteraan, t.t., hal. 3).

Peningkatan kondisi kesejahteraan atau kualitas hidup (kondisi) masyarakat

antara lain bisa melalui pengelolaan masalah sosial, pemenuhan kebutuhan hidup

masyarakat, dan pemaksimalan kesempatan anggota masyarakat untuk berkembang

(termasuk kesempatan bekerja dan berpartisipasi dalam pembangunan).

Selanjutnya, dalam konsep kesejahteraan sebagian besar yang digunakan untuk

mengukur kesejahteraan ekonomi adalah pendapatan nyata rumah tangga yang dimiliki
42

orang, yang disesuaikan dengan perbedaan ukuran rumah tanggga dan komposisi

demografi (Ravallion dan Lokshin 2000). Ini didefinisikan sebagai pendapatan total

rumah tangga dibagi dengan sebuah garis kemiskinan yang memberikan biaya dari

tingkat nilai guna (utility) beberapa referensi pada harga yang berlaku dan demografi

rumah tangga.

Teori ekonomi liberalisme menjelaskan, indikator baik atau tidaknya ekonomi

suatu negara dipandang dari nilai GNP (Gross Nasional Product/Produk Nasional

Bruto) atau GDP (Gross Domestic Product/Produk Domestik Bruto) negara tersebut.

Hal ini tentu saja sangat semu dan tidak relevan untuk menilai apakah suatu negara

dapat dikatakan mapan atau tidak. Sebab nilai GNP10 dan GD11 didapat dari jumlah

keseluruhan pertambahan nilai yang didapat dari negara tersebut tanpa memandang

kebutuhan perindividu secara khusus, sehingga bisa saja nilai GNP yang tinggi

diakibatkan oleh adanya golongan yang sangat kaya yang merupakan minoritas yang

menutupi golongan mayoritas yang tidak mampu

(http//www.kertaskuning’sweblog.com).

Sedangkan Das Kapital, Marx mengatakan bahwa ekonomi kapitalisme akan

selalu menghasilkan kelas yang sangat runcing perbedaannya dikarenakan kekuatan

modal-lah yang menggerakkan kemampuan ekonomi atau dengan kata lain pergerakan

modal tidak menyentuh seluruh golongan pada masyarakat. Sehingga apapun upaya

-----------------------------
10
GNP or Produk Nasional Bruto (Gross National Product) atau PNB meliputi nilai produk berupa barang
dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun; termasuk hasil
produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada di luar negeri, tetapi tidak
termasuk hasil produksi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah negara tersebut.
11
GDP or Produk domestik bruto (Gross Domestic Product) merupakan jumlah produk berupa barang dan
jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu
tahun. Dalam perhitungan GDP ini, termasuk juga hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh
perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah negara yang bersangkutan. Barang-barang yang
dihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karenanya jumlah yang
didapatkan dari GDP dianggap bersifat bruto/kotor.
43

yang dilakukan oleh pemerintah baik itu BOS (bantuan operasional sekolah), BLT

(bantuan langsung tunai), JPS (jaringan pengaman sosial) dll tidak akan mempu

menyentuh permasalahan utama yaitu tidak bergeraknya modal di sektor riil dan

menyeluruh selama sistem perekonomian yang dipakai adalah sistem kapitalisme yang

berpegang pada pasar bebas.

Di sisi lain, menurut para ekonom bahwa semakin tinggi pendapatan akan

berpengaruh terhadap tingginya kesejahteraan. Namun pendapat ini diperdebatkan,

dengan adanya beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya pendapatan (sisi

ekonomi) tidak selalu berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang, selain itu terdapat

sisi lain yaitu sosial psikologis (Saifullah 2008, hal. 25).

Mazhab neoklasik telah mengubah pandangan tentang ekonomi baik dalam teori

maupun dalam metodologinya. Teori nilai tidak lagi didasarkan pada nilai tenaga kerja

atau biaya produksi tetapi telah beralih pada kepuasan marjinal (marginal utility).

Pendekatan ini merupakan pendekatan yang baru dalam teori ekonomi.

Salah satu pendiri mazhab neoklasik yaitu Gossen, dia telah memberikan

sumbangan dalam pemikiran ekonomi yang kemudian disebut sebagai Hukum Gossen I

dan II. Hukum Gossen I menjelaskan hubungan kuantitas barang yang dikonsumsi dan

tingkat kepuasan yang diperoleh, sedangkan Hukum Gossen II, bagaimana konsumen

mengalokasikan pendapatannya untuk berbagai jenis barang yang diperlukannya.

Selain Gossen, Jevons dan Menger juga mengembangkan teori nilai dari

kepuasan marjinal. Jevons berpendapat bahwa perilaku individulah yang berperan dalam

menentukan nilai barang. Dan perbedaan preferences yang menimbulkan perbedaan

harga. Sedangkan Menger menjelaskan teori nilai dari orde berbagai jenis barang,
44

menurut dia nilai suatu barang ditentukan oleh tingkat kepuasan terendah yang dapat

dipenuhinya. Dengan teori orde barang ini maka tercakup sekaligus teori distribusi.

Dalam hal ini, seseorang memiliki kecendrungan menilai kesejahteraan secara

subjektif, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain adalah tujuan dan harapan

hidup individu, serta cara mendapatkannya. Bahkan menurut Feuntes –sebagaimana

dikutip oleh Saifullah- kesejahteraan subjektif memiliki korelasi positif terhadap

kepuasan dalam memenuhi kebutuhan dasar, tetapi tidak terhadap pendapatan (2008,

hal. 26).

Oleh karena itu, dalam konsep kesejahteraan, tingkat kepuasan dan kesejahteraan

adalah dua pengertian yang saling berkaitan. Yang pertama merujuk kepada keadaan

individu atau kelompok, sedangkan yang kedua mengacu kepada keadaan komunitas

atau masyarakat luas. Berdasarkan pengertian di atas, pengertian dasar kesejahteraan

adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu suatu masyarakat.

Kebutuhan Pokok dalam Teori Maslow

Kegiatan manusia di bumi yang kemudian dinamakan dengan aktivitas ekonomi dalam

rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Di jaman dulu cenderung mengalami

proses yang sama, bagaimana ia berburu, meramu dan bercocok tanam. Demikian juga

perilaku manusia di saat ini, mengalami kecendrungan ke arah yang sama, bagaimana

mendapatkan pekerjaan, mempertahankan pekerjaan yang kemudian dikembangkan

dalam produksi distribusi dan menyelesaikan pekerjaan. Hal ini menandakan bahwa

manusia mempunyai pola perilaku untuk memenuhi kebutuhan yang relatif sama

walaupun tidak persis.


45

Dalam konteks kesejahteraan, maka kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai

kondisi terpenuhinya kebutuhan pokok/dasar manusia. Dan peneliti melihat bahwa

kondisi sejahtera terjadi manakala kebutuhan dasar manusia akan gizi, kesehatan,

pendidikan, dan tempat tinggal dapat dipenuhi. Serta manakala manusia memperoleh

perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Tujuan akhir

dari pemenuhan di atas adalah kesenangan dan kebahagiaan.

Karenanya, manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, baik

kebutuhan penting maupun tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Dan sampai

sekarang belum ada gambaran tegas mengenai konsep kebutuhan dasar ataupun pokok

yang sebenarnya dan bagaimana kebutuhan dasar tersebut terpenuhi oleh golongan

manusia.

Pemenuhan kebutuhan menjadi sangat diperlukan sekali (desirable) dalam

aktivitas kehidupan ekonomi manusia. Dalam hal ini, pemenuhan kebutuhan dasar atau

pokok menempati dan mendapatkan prioritas secara kardinal dan urgen.

Kebutuhan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari akar kata butuh

yang mempunyai makna sangat perlu menggunakan, memerlukan. Kebutuhan berarti

yang dibutuhkan (1996, hal. 161).

Makna kebutuhan sangat jauh berbeda dengan makna keinginan. Jika kebutuhan

didefinisikan dengan sesuatu yang sangat dibutuhkan, maka keinginan mempunyai

makna hasrat, hendak, mau, menginginkan, mengharapkan, menghendaki. Keinginan

berarti barang yang diingini, perihal ingin: hasrat, kehendak dan harapan (Ibid, hal. 379).

Sedangkan dalam bahasa Inggris kebutuhan dikenal dengan need, necessity and

requirement (John dan Hasan 1998, hal. 98). Sedangkan keinginan dikenal dengan want,

wish dan desire (hal. 223). John dan Hasan mendefinisikan need sebagai suatu
46

kebutuhan dan keperluan atau bersifat memberi pertolongan (hal. 392). Dan want

sebagai keinginan dan kemauan terhadap sesuatu (hal. 635).

Dan jika ditelaah lebih dalam, kebutuhan dalam hal ini need lebih bersifat kepada

kebutuhan manusia yang harus dipenuhi karena dengan tidak terpenuhinya akan

mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Berbeda dengan keinginan (want) lebih

mengarah kepada sebatas keinginan dan kemauan yang mengitari perilaku manusia

dalam beraktivitas dan ia tidak bersifat mengancam bagi kehidupan manusia. Dan dapat

dipahami pula bahwa keinginan atau kemauan seseorang bersifat tidak terbatas.

Yang oleh Amalia digambarkan dengan dalam bahwa need adalah segala sesuatu

yang sarat dengan nilai dan want identik dengan bebas nilai (2005, hal. 211). Hal ini

mengandung arti bahwa keinginan hanya bersifat hasrat belaka, sedangkan kebutuhan

sesuatu yang mempunyai nilai penting bagi aktivitas ekonomi manusia.

Berkaitan dengan hal tersebut, kebutuhan itu dapat berarti dan mencakup dua hal

yang sering dicampuradukkan orang. Menurut Zainun, Pertama merupakan hal yang

memang harus dimiliki karena hal itu betul-betul merupakan sesuatu yang diperlukan.

Kedua merupakan sesuatu yang sering diutarakan sebagai kebutuhan, padahal

sesungguhnya baru merupakan keinginan belaka. Ingin memiliki sesuatu barang belum

tentu barang yang diinginkan itu benar-benar diperlukan (2004, hal. 65).

Oleh karena itu, kebutuhan dan keinginan adalah dua kutub yang memiliki

makna berbeda satu sama lainnya. Tatkala meminjam definisi Zainun di atas maka akan

lebih terlihat sebuah formulasi yang utuh dan dalam mengenai kebutuhan. Kebutuan

diartikan sebagai sesuatu yang penting dan harus dipenuhi segera demi kelangsungan

hidup manusia. Namun, keinginan sangat berbeda dengan makna kebutuhan di atas.
47

Keinginan dapat dilihat sebagai sesuatu yang tidak atau kurang penting, tidak harus

dipenuhi, dan tidak mengancam kehidupan manusia itu sendiri.

Dalam konteks kebutuhan, menurut Soetarno kebutuhan adalah suatu keinginan

terhadap benda atau jasa yang pemuasannya dapat dilaksanakan bersifat jasmani

maupun rohanian (1986, hal. 512). Definisi tersebut menunjukkan sebagai salah satu

aspek psikologis yang menggerakkan mahluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan

menjadi dasar (alasan) berusaha.

Observasi Keynes sebagaimana peneliti nukil dalam buku tantangan ekonomi

Islam karangan Chapra mengatakan bahwa:

“Meskipun kebutuhan manusia tampak mungkin tidak dapat dipenuhi. Namun,


mereka dapat digolongkan ke dalam dua kelas, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang
mutlak harus dipenuhi dalam situasi apa pun dan kapan pun, dan kebutuhan-
kebutuhan yang relatif dalam arti pemenuhannya akan mengangkat kita ke atas,
membuat kita merasa superior terhadap teman sejawat. Kebutuhan golongan
dua yang memenuhi keinginan superioritas, mungkin dapat dipenuhi, karena
semakin tinggi derajat umum, semakin tinggi pula mereka. Ini tidak berlaku bagi
kebutuhan mutlak” (J.M. Keynes, The Collected Writings of John Maymard
Keynes, vol.IX. Essays is persuasion, the essay on “Economic Possibilities for
Our Grandchildren”, 1972, hal. 326).

Klasifikasi ini mengandung implikasi bahwa, kebutuhan-kebutuhan absolut

bermuara dalam diri individu sendiri dan diperlukan sesuai kondisi manusia.

Pemenuhannya sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, kenyamanan dan

perkembangannya. Berbeda dengan ini, kebutuhan-kebutuhan relatif, seperti yang

dinyatakan oleh Galbairth “adalah dirincikan dan diciptakan untuk dirinya” (Galbairth,

The Affluent Society, hal. 152). Kelompok ini termasuk semua jenis status simbol dan

barang-barang atau jasa-jasa yang memang tidak menambah kebahagiaannya.

Dari beberapa data di atas menunjukkan suatu model kebutuhan manusia. Model

tersebut bisa bersifat mutlak yang menyangkut keberlangsungan hidup seseorang seperti
48

sandang, pangan, papan, pendidikan dan agama. Adapula model kebutuhan yang bersifat

relatif di mana pemenuhannya akan mengangkat seseorang ke atas dan tinggi di antara

yang lain.

Model akademis kebutuhan yang paling terkenal adalah model yang

dikembangkan oleh Maslow. Dalam model itu, ia menyatakan bahwa manusia memiliki

berbagai tingkat kebutuhan, mulai dari jaminan sosial sampai aktualisasi diri. Model ini

kemudian dikembangkan lagi oleh Alderfer. Studi akademis tentang kebutuhan

mencapai puncaknya pada tahun 1950-an.

Saat ini, studi tentang kebutuhan kurang banyak diminati. Meskipun begitu, ada

beberapa studi terkenal yang berhubungan dengan kebutuhan, misalnya studi yang

dilakukan oleh Sennett yang meniliti tentang pentingnya rasa hormat. Studi lain yang

dipelajari adalah tentang konsep kebutuhan intelektual yang teliti dalam kependidikan.

Model Compassionate Communication, dikenal juga dengan nama Nonviolent

Communication (NVC) (http//www.cnvc.org) buatan Marshall Rosenberg menyebutkan

tentang adanya perbedaan antara kebutuhan universal manusia (apa yang menopang dan

mendorong kehidupan manusia) dengan strategi tertentu untuk memuaskan kebutuhan

itu.

Bertentangan dengan Maslow, model Rosenberg tidak membagi kebutuhan ke

dalam hierarki-hierarki tertentu (http//www.cnvc.org/needs.htm). Dalam model tersebut,

perasaan dijadikan indikator apakah kebutuhan itu telah terpuaskan atau belum. Salah

satu tujuan dari model Rosenberg ini adalah mendorong manusia untuk mengembangkan

kesadaran bahwa kebutuhan makhluk hidup akan terus bertambah sepanjang hidupnya

sehingga manusia harus berusaha mencari strategi yang lebih efektif untuk menutupi

kebutuhannya itu (http//www.id.wikipedia.org).


49

Dari sana lahirlah beberapa istilah mengenai sifat kebutuhan manusia. Ada yang

bersifat primer atau pokok, sekunder dan tersier. Ketiganya memiliki arti dan makna

yang berbeda-beda satu sama lainnya. Kebutuhan primer didefinisikan sebagai

kebutuhan yang paling utama untuk dapat mempertahankan hidup seperti makan,

minum, pakaian dan perumahan. Sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang

guna melengkapi kebutuhan primer, seperti alat-alat dan perabot (Manullang 1971, hal.

6). Dan tersier diartikan sebagai penghias dan pelengkap dari keadaan dan kondisi yang

ada.

Asy-Syāţibi (W. 790 / 1388 M) dalam al-Muwāfaqat fi Uşūl al-Syari’ah

mengklasifikasi tingkat kebutuhan menjadi tiga, yaitu: pertama, dharūriyat

dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia; kedua,

hājiyat dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan

terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik; ketiga, tahsiniyat agar manusia dapat

melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok

tersebut (tt,. hal. 374).

Ketiga klasifikasi di atas, dalam teori dan konsep Maslow lebih dikenal dengan

primer, sekunder dan tersier. Ketiganya memiliki arti dan makna tersendiri. Begitu juga

dalam hal pemenuhannya (full filling needs) berbeda sifat antara satu dengan yang

lainnya.

Mengenai kemunculan istilah kebutuhan pokok dan kemudian model kebutuhan

pokok atau basic human needs approach tahun 1976, yaitu pada saat diadakannya

konferensi ILO (international labour office) di Kenya. Jauh sebelumnya memang istilah

ini sudah dikenal orang-orang (Green 1978, hal. 8) tetapi istilah ini secara resmi dan

mulai meluas dengan diadakannya perdebatan di Kenya tahun 1976 tersebut. Dalam
50

konferensi ini disarankan agar strategi dan politik pembangunan lebih diprioritaskan

kepada tujuan memenuhi kebutuhan pokok dari penduduk tiap-tiap negara (hal. 7).

Pendekatan ini tumbuh dari usaha pencarian suatu strategi pembangunan yang

bisa lebih efektif dalam menangani kemiskinan yang berlarut-larut di sebagian besar

dunia (Soedjatmoko 1978, hal. 59).

Model kebutuhan dasar tersebut diharapkan sebagai suatu strategi memenuhi

lima sasaran pokok yaitu:

1) Dipenuhinya kebutuhan pangan, sandang, pangan, atau perumahan, peralatan

sederhana dan berbagai kebutuhannya yang dipandang perlu;

2) Dibukanya kesempatan luas untuk memperoleh berbagai jasa, pendidikan

untuk anak dan orang tua, program preventif dan kuratif keseharan air minum,

pemukiman dengan lingkungan yang mempunyai infrastruktur dan komunikasi,

baik rural maupun urban;

3) Dijaminnya hak untuk memperoleh kesempatan kerja yang produktif

(termasuk menciptakan sendiri) yang memungkinkan adanya balas jasa setimpal

untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga;

4) Terbinanya prasarana yang memungkinkan produksi barang dan jasa, ataupun

dari perdagangan internasional untuk memperolehnya dengan kemampuan untuk

menyisihkan tabungan bagi pembiayaan usaha selanjutnya;

5) Menjamin adanya partisipasi masa dalam pengambilan keputusan dan

pelaksanaan proyek-proyek (Green 1978, hal. 7 dan Derodjatun Koentjoro-Jakti

1978, hal. 15).

Munculnya basic human needs dengan lima sasaran tersebut disebabkan karena

growth-oriented approach yang telah dianggap memberi kemajuan dan pertumbuhan


51

ekonomi di beberapa negara belum dapat memberi pembagian hasil yang merata di

antara golongan penduduk yang ada di negeri tersebut. Seperti ditulis Prof. Soebroto,

pertumbuhan ekonomi tersebut juga tidak menciptakan kesempatan kerja yang memadai

untuk menampung penduduk yang cepat meningkat (Soebroto 1976, hal. 14).

Radwan dan Alfthan menulis bahwa tanpa mengurangi konsep basic needs,

keperluan minimum dari seorang individu atau rumah tangga adalah sebagai berikut: (1)

makan, (2) pakaian, (3) perumahan,(4) kesehatan, (5) pendidikan, (6) air dan sanitasi, (7)

transportasi dan (8) partisipasi (1978, hal. 198).

Begitu juga dengan Kian Wie mendefinisikan kebutuhan pokok sebagai suatu

paket barang dan jasa yang oleh masyarakat dianggap perlu tersedia bagi setiap orang.

Kebutuhan ini merupakan tingkat minimum yang dapat dinikmati oleh seseorang. Hal

ini berarti bahwa kebutuhan pokok berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, dari

suatu negeri ke negeri yang lain. Jadi suatu kebutuhan pokok itu adalah spesifik (1978,

hal. 18-25).

Menurut Mulyanto dan Hans-Dieter model kebutuhan pokok atau dasar telah

dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1) Makanan, 2) Minuman, 3) Perumahan, 4)

Kesehatan, 5) Pendidikan, 6) Kebersihan, Transportasi & 7) Partisipasi masyarakat

(1982, VI). Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Sundoyo dalam Model

Kebutuhan Dasar.

Pertambahan produksi tidak memecahkan masalah bagaimana kepada

masyarakat dicukupi kebutuhan pokok hidup yang diperlukan oleh mereka (Soebroto

1976, hal. 3). Hal itu memperkuat kenyataan bahwa kemajuan ekonomi yang dicapai

beberapa negara tersebut tidak disertai kemajuan bagi seluruh rakyat atau penduduknya.

Kemiskinan tetap masih diderita oleh banyak penduduk di negara tersebut.


52

Pandangan baru menunjukkan bahwa ukuran pendapatan per jiwa saja tidak

mewakili kemajuan ekonomi secara mengurangi ketidakmerataan pembagian

pendapatan dan pembangunan dengan berusaha juga untuk menghapuskan kemiskinan,

kekurangan lapangan pekerjaan dan ketidakmerataan pendapatan. Pendekatan basic

human needs dari ILO pada dasarnya juga mencerminkan perubahan arah pembangunan

ini (Radwan & Alfthan 1978. hal. 198).

Pendekatan model kebutuhan dasar ini memandang bahwa dalam pembangunan

yang bertujuan memenuhi kebutuhan dasar rakyat, partisipasi dari seluruh masyarakat

sangat diperlukan. Partisipasi ini terutama di dalam mengambil keputusan yang

menyangkut kebutuhan penduduk. Artinya kebutuhan apa yang diperlukan masyarakat

dan berapa jumlahnya, hendaknya berdasarkan atau ditentukan oleh masyarakat itu

sendiri.

Mampu atau tidaknya suatu pemerintah yang sudah memutuskan akan

berorientasi kepada kebutuhan pokok, untuk mengubah arah pembangunan dan

membalik arah politiknya, merupakan masalah penting mengingat banyaknya golongan

atau lapisan yang dirugikan oleh pengambilan keputusan demikian. Dr. Soedjatmoko di

dalam hal ini melihat perlunya “kemauan politik” ini sebagai prasarat bagi terlaksananya

model kebutuhan pokok ini.

Kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar basic human needs dapat dipahami

sebagai kebutuhan yang sangat penting guna kelangsungan hidup manusia, baik yang

terdiri dari kebutuhan atau konsumsi individu (makan, perumahan, pakaian) maupun

keperluan pelayanan sosial tertentu (pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial).


53

Kebutuhan dasar atau pokok inilah yang akan membawa manusia ke arah

kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup. Dan itu merupakan tujuan utama dalam

segala aktivitas manusia.

Teori Hirarki Kebutuhan Maslow

Menurut Maslow, apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu

yang bersamaan, pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal menjadi

prioritas. Dengan kata lain, seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi

kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh,

berdasarkan konsep hierarchy of needs, ia berpendapat bahwa garis hierarkis kebutuhan

manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari (Donnelly, Gibson dan Ivancevich

1998, hal. 270-271):

1. Kebutuhan Fisiologi (Physiological Needs), mencakup kebutuhan dasar manusia,

seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi kebutuhan dasar ini akan

menjadi prioritas manusia dan mengenyampingkan seluruh kebutuhan hidup

lainnya.

2. Kebutuhan Jaminan sosial (Safety Needs), mencakup kebutuhan perlindungan

terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.

3. Kebutuhan Sosial (Social Needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih sayang,

dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi

kesehatan jiwa seseorang.

4. Kebutuhan Akan Penghargaan (Esteem Needs), mencakup kebutuhan terhadap

penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini akan memengaruhi

rasa percaya diri dan prestise seseorang.


54

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs), mencakup kebutuhan

memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan ini merupakan

tingkat kebutuhan yang paling tinggi.

Teori hirarkie kebutuhan Maslow tersebut dihepotesakan dengan sebuah

piramida. Yang mana kebutuhan pertama (pokok atau dasar) manusia adalah kebutuhan

yang terletak dalam kolom paling bawah yaitu, kebutuhan fisik. Akan terlihar lebih jelas

hirarkie kebutuhan manusia menurut Maslow tersebut dalam gambar berikut ini:

Kebutuhan
Kelima
Penghargaan
Kebutuhan Keempat
Penghargaan dan Status
Kebutuhan Ketiga
Rasa Memiliki dan Sosial

Kebutuhan Kedua
Rasa Aman dan Jaminan
Kebutuhan Pertama/Pokok
Kebutuhan Fisiologi/fisik

Gambar 1. Teori hirarkie kebutuhan manusia menurut Maslow

Dalam dunia ekonomi dan manajemen manusia, kebutuhan-kebutuhan yang

dikemukakan Maslow tersebut dapat diaplikasikan sebagai berikut (Donnelly, Gibson

dan Ivancevich 1998, hal. 274):

1. Pemenuhan kebutuhan fisiologi antara lain, dapat diaplikasikan dalam hal

pemenuhan kebutuhan primer (sandang, pangan papan), pemberian upah atau

gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.


55

2. Pemenuhan kebutuhan jaminan sosial antara lain dapat diaplikasikan dalam hal

pemberian tunjangan, jaminan sosial kerja dan lingkungan kerja yang nyaman,

terhindar dari segala resiko yang mengancam.

3. Pemenuhuan kebutuhan sosial antara lain dapat diaplikasikan dalam hal

pendidikan, pelayanan kesehatan, kesempatan kerja, dorongan terhadap kerja

sama, stabilitas kelompok dan kesempatan berinteraksi sosial.

4. Pemenuhan kebutuhan akan penghargaan antara lain dapat diaplikasikan dalam

hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan, signifikansi aktivitas pekerjaan dan

pengakuan publik terhadap performance yang baik.

5. Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri antara lain dapat diaplikasikan dalam hal

kebebasan dalam berekonomi, dan pilihan dalam berkreativitas dan tantangan

pekerjaan.

Menurut Maslow –sebagaimana dikutip oleh Zainun- mengatakan bahwa

kebutuhan dasar manusia tingkat tertinggi adalah the needs for self-actualization yang

pada hakikatnya merupakan kebutuhan seseorang untuk mengaktualisasikan cita dan

keinginan dengan menampilkan potensi bakatnya yang luar biasa. Seseorang yang

mempunyai bakat untuk menjadi seorang seniman musik yang termasyhur maka orang

itu akan mengarahkan seluruh daya dan usahanya untuk merealisasikan potensi bakatnya

dalam bidang seni musik itu (2004, hal. 71-72).

Ciri yang amat khusus pada jenis kebutuhan ini ialah bahwa, dengan

terpenuhinya kebutuhan ini orang akan merasa luar biasa terhadap dirinya. Kekaguman

terhadap hasil karnyanya kadang-kadang menenggelamkan segala macam godaan.

Perhatiannya terpusat kepada pekerjaannya sehingga kadang-kadang orang demikian

bahkan lupa dengan kebutuhan pokok fisiknya sendiri.


56

Kebutuhan dasar tertinggi ini hanya mungkin terpenuhi secara tuntas pada orang

yang memperlihatkan bakat keluarbiasaannya, seperti nabi-nabi, pemimpin-pemimpin

besar dunia, para seniman yang atau pada orang-orang yang mempunyai daya kreasi

luar biasa yang mampu menciptakan penemuan-penemuan baru dalam berbagai bidang

kehidupan manusia dan masyarakat (Zainun 2004, hal. 72).

Hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Aristoteles dalam Etika

Nikomachea bahwa kebutuhan dasar menyangkut semua dimensi yang dimiliki manusia.

Ini berarti, kebutuhan manusia untuk menjadi manusia (aktualisasi diri sebagai manusia)

memiliki tingkat yang sepadan dengan kebutuhan manusia, mulai dari taraf kebutuhan

material, kesehatan, kebutuhan sosial (diterima oleh masyarakat), hingga kebutuhan

untuk menjadi diri sendiri.

Karenanya, perwujudan diri untuk menjadi diri sendiri adalah kebutuhan yang

paling tinggi bagi manusia. Adapun kebutuhan paling dasar bagi manusia adalah

kebutuhan fisiologi atau kebutuhan fisik (materi).

Indikator Sejahtera menurut Maslow

Kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai indikator yang

spesifik dan operasional. Oleh karena itu, dalam mewujudkan suatu kesejahteraan ia

harus memiliki beberapa komponen berikut ini. Yang kemudian dinamakan dengan

indikator kesejahteraan.

Dan dengan aspek indikator kesejahteraan ini kiranya dapat dideskripsikan dan

diidentifikasikan faktor-faktor yang dapat mengarah dan merealisasikan kesejahteraan

manusia itu sendiri.


57

Adapun indikator kesejahteraan secara objektif menurut Maslow menggunakan

antara lain adalah pemenuhan kebutuhan pokok/dasar, pendidikan, kesehatan dan

jaminan sosial, yang mempunyai keterkaitan sebagai berikut:

1. Pemenuhan kebutuhan pokok/dasar

Sejahtera apabila kehidupan masyarakat tentram lahir batin, setiap individu memperoleh

penghidupan yang layak dengan terpenuhinya beberapa kondisi, pertama, kebutuhan

pokok untuk kehidupan fisik dan nonfisik tersedia dan terjangkau oleh masyarakat

secara menyeluruh dan merata; kedua, setiap individu memiliki kesempatan,

perlindungan dan jaminan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan,

pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan pendapatan layak, bebas dari rasa takut dan

tentram.

Definisi di atas menunjukkan terdapat beberapa indikator yang mengarah kepada

kesejahteraan. Semua indikator yang ada merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Pemenuhan kebutuhan dasar atau pokok menjadi salah satu indikator yang sangat

penting dalam merealisasikan kesejahteraan itu sendiri. Karena apabila tidak

terpenuhinya kebutuhan pokok bagi individu maupun masyarakat, maka belum dapat

dikatakan sejahtera bahkan masih jauh dari arah kesejahteraan.

Zainun mengambarkan kebutuhan manusia bukan hanya semata-mata merupakan

hal-hal yang dikehendaki untuk memenuhi kebutuhan primer seperti makan, pakaian dan

tuntutan sahwat yang bertujuan sekedar untuk mempertahankan dan memelihara

kelangsungan hidup saja. Pengertian kebutuhan tentu lebih luas daripada pemenuhan

kebutuhan primer manusia (1989, hal. 65).


58

Para ahli ekonom sosial mengacu pada apa yang dikatakan oleh Aristoteles

dalam Etika Nikomachea bahwa kebutuhan dasar menyangkut semua dimensi yang

dimiliki manusia. Ini berarti, kebutuhan manusia untuk menjadi manusia (aktualisasi diri

sebagai manusia) memiliki tingkat yang sepadan dengan kebutuhan manusia, mulai dari

taraf kebutuhan material, kesehatan, kebutuhan sosial (diterima oleh masyarakat),

hingga kebutuhan untuk menjadi diri sendiri (Dua 2008, hal. 107).

Oleh karena itu, berangkat dari teori pemikiran Maslow menyatakan terdapat

lima kebutuhan pokok manusia sebagaimana tertuang di atas. Kelima tingkat kebutuhan

di atas harus menjadi perhatian bahkan prioritas manusia dalam kehidupan ini. Dengan

pemenuhan kelima skala kebutuhan tersebut manusia akan menjadi superior antar

sesamanya.

Semua itu merupakan sarana yang memadai agar seseorang menjadi dirinya

sendiri. Jika otonomi dimengerti sebagai kemampuan untuk mengatur diri sendiri

berdasarkan kebebasan yang dimilikinya, maka dalam bahasa ekonomi sosial, otonomi

tersebut berarti seseorang tidak memiliki ketergantungan pada tingkat kebutuhan

subsisten. Sebaliknya, pemenuhan atas kebutuhan tersebut menjadi prasyarat bagi

seseorang untuk menjadi dirinya sendiri dan menjadi warga negara yang mandiri. Tanpa

itu, seseorang tidak pernah menjadi nomos atau norma bagi dirinya sendiri.

Oleh karena itu, selain kebutuhan material, otonomi manusia ditentukan juga

oleh kebutuhan dasar yang lebih tinggi, yang membuat manusia menjadi manusia.

Dengan kata lain, suatu kebutuhan untuk hidup sebagai manusia yang memiliki martabat

sebagai manusia (human dignity).


59

2. Pendidikan

Sebagai salah satu indikator yang juga sering digunakan dalam mengukur kualitas hidup.

Tinggi rendahnya kualitas sumberdaya manusia antara lain ditandai dengan adanya

unsur kreativitas dan produktivitas yang direalisasikan dengan hasil kerja atau kinerja

yang berkualitas secara perorangan atau kelompok, dengan melalui pendidikan formal.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat

(http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan).

Socrates menganggap bahwa pendidikan yang tidak mengajarkan pada murid

untuk mencari kebenaran atau mengajarkan kebenaran tidaklah termasuk pendidikan

dalam arti yang sebenarnya. Untuk mencapai kebenaran melalui pendidikan itulah,

Socrates menggunakan metoda dialektika yang membebaskan murid untuk berpikir

sendiri tanpa terpengaruh oleh gagasan gurunya (Freire 2004, hal 12).

Senada dengan Socrates, Plato (427-347 SM) melalui karyanya yang berjudul

“Republica” juga menggunakan metoda dialektika ini untuk memberikan kebebasan

kepada murid-muridnya untuk berpikir sendiri tentang musik, tentang pernikahan,

tentang pemerintahan, tentang perundang-undangan dan yang lainnya.

Meski kebebasan di dalam pendidikan diakui perlunya sejak awal adanya

pendidikan, tetapi di dalam perjalanan sejarah yang ada, cukup banyak paradigma-

paradigma yang meminimalkan kebebasan di dalam pendidikan. Selain di masa

Shopistic kebebasan menjadi minim sebab adanya “kekerasan simbolik” yang dilakukan,

dimasa-masa selanjutnya masih juga terjadi reduksi kebebasan dalam pendidikan.


60

Seiring dengan masa Yunani Sophistic, berkembang pula pendidikan di Romawi yang

meminimkan kebebasan melalui penekanan disiplin, organisasi dan ketrampilan militer

(Freire 2004, hal. 12).

Santo Benediktus dari Nursia (480-550 M) mendirikan ordonya di Monte

Cassino, Italia, dengan dekrit ketat yang meminimkan kebebasan dalam pendidikannya.

Pendidikan yang dilakukan mewajibkan setiap biarawan membaca kitab-kitab suci

sekurang-kurangnya dua jam perhari, dan tidak memperkenankan membaca buku-buku

lain, tidak membolehkan para biarawan itu memiliki pena untuk menulis sendiri. Setelah

masa itu dilanjutkan dengan monopoli Gereja atas pendidikan formal di seluruh Eropa

yang berlangsung seribu tahun, kebebasan di dalam pendidikan diminimkan lagi sebagai

pelaksanaan pendidikan atas doktrin Gereja (kaum Skolastik). Kebebasan berpikir

ditekan, kebebasan berbeda pendapat diberangus yang sampai memakan korban seperti

Galileo yang harus kehilangan nyawanya akibat berbeda pendapat dengan pihak gereja

akan pengetahuan ilmu alam. Berbagai perguruan pendidikan yang bertebaran sampai

abad ke 16 masih dilandasi niat untuk memasok calon-calon pendeta dan mendidik

kaum ningrat yang kawasan rohaniahnya dikendalikan oleh pejabat gereja.

O’neil berpendapat bahwa pendidikan yang meminimkan kebebasan itu disebut

sebagai pendidikan yang konservatif. O’neil membaginya menjadi tiga bagian yaitu

pendidikan fundamental, pendidikan intelektual dan pendidikan konservatif. Lebih lanjut

O’neil menjelaskan tentang Fundamentalisme pendidikan sebagai berikut (2002,

hal.105):

“…pada dasarnya anti-intelektual dalam arti bahwa mereka ingin


meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau intelektual, serta
cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif tanpa
kritik terhadap Kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang sudah
mapan…”
61

O’neil juga menjelaskan tentang Intelektualisme pendidikan sebagai berikut :

“…pada dasarnya otoritarian…demi menyesuaikan secara lebih sempurna


dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak
bervariasi…”

O’neil juga menjelaskan tentang Konservatisme pendidikan sebagai berikut :

“Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan


terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh
waktu (sudah cukup tua atau dan mapan), didampingi dengan rasa hormat
mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasn perubahan sosial yang
konstruktif”

Pendidikan yang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah

pelestarian dan penerusan pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan.

Pada abad ke 17, muncul kembali pemikiran-pemikiran yang mengedepankan

kebebasan di dalam pendidikan di Eropa yang diawali dengan kebebasan dalam

pendidikan berdasar kepada paradigma liberal arts klasik.

Sebagai contoh model pengukuran yang menggunakan indikator pendidikan

adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan menggunakan angka melek huruf

rata-rata lama sekolah (tahun) sebagai indeks pendidikan di dalam IPM. Dalam hal ini

berdasarkan data BPS sampai tahun 1999 rata-rata lama pendidikan sekolah dasar.

Dan berdasarkan data Susenas tahun 2005, secara nasional rata-rata lama sekolah

penduduk usia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,3 tahun, kemudian pada tahun 2006

rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas sedikit meningkat menjadi 7,4

tahun. Itu berarti rata-rata penduduk Indonesia tahun 2006 baru mampu menempuh

pendidikan sampai kelas I SMP atau putus sekolah di kelas II SMP. Rata-rata lama

sekolah penduduk laki-laki lebih besar daripada perempuan, masing-masing 7,9 tahun

dan 7,0 tahun. Sedangkan menurut wilayah tempat tinggal, rata-rata lama sekolah
62

penduduk di perkotaan lebih lama dibandingkan daerah perdesaan, masing-masing 9,0

tahun dan 6,2 tahun (Saifullah 2008, hal. 27).

Data di atas menunjukkan bahwa pendidikan merupakan salah satu indikator

paling penting dalam merealisasikan dan mewujudkan kehidupan yang bahagia dan

sejahtera. Hal ini dapat dilihat dari setiap pendataan terhadap suatu wilayah pertahunnya.

Dan sekiranya suatu bangsa dan negara menginginkan dan mengharapkan kesejahteraan

bagi manusia, maka hal yang harus ditempuh adalah mengoptimalisasikan pendidikan.

3. Kesehatan

Merupakan bagian dari indikator kesejahteraan penduduk dalam hal kualitas fisik.

Indikator tersebut meliputi angka kematian bayi dan angka harapan hidup yang menjadi

indikator utama. Sebagai contoh menurut data BPS tahun 2006, angka kematian bayi

pada tahun 2005 adalah 32 per 1000 kelahiran hidup, kemudian menurun pada tahun

2006 menjadi 31 per 1000 kelahiran hidup. Sementara angka harapan hidup Indonesia

naik dari 69,0 tahun pada tahun 2005 menjadi 69,4 tahun pada tahun 2006. Dengan

demikian berarti diperkirakan anak yang lahir pada tahun 2006 akan hidup rata-rata

mencapai umur 69,4 tahun (Saifullah 2008, hal. 28).

4. Jaminan sosial

Awal teori Teori Maslow tentang jaminan sosial dapat ditelusuri kembali kepada Smith.

Smith menganjurkan adopsi dari tangan "tak terlihat" untuk mempromosikan

kepentingan individu dan pertumbuhan umum dari kesejahteraan sosial, sehingga

meningkatkan tingkat kenaikan umum seluruh dalam kesejahteraan sosial. Teori Maslow

kontemporer jaminan sosial dimulai pada abad ke-20, 20 tahun ekonomi kesejahteraan,
63

sebagaimana dicontohkan oleh Pigou menganjurkan penerapan sistem pensiun nasional

dan sistem pengangguran bantuan dan pembentukan ekonomi kesejahteraan, jaminan

sosial teori. Meskipun Pigou menganjurkan bahwa, peran pemerintah dalam jaminan

sosial, tapi teori jaminan sosial mereka masih didasarkan pada gagasan laissez-faire,

bukan peran pemerintah adalah terbatas pada pajak dan subsidi (http//www.

marxisme.htm).

Adapun sifat jaminan kapitalis ini bahwa mereka dapat mengorbankan

kepentingan pekerja, kesehatan dan bahkan hidup mereka. Jadi, kapitalisme adalah

modal, jaminan sosial lemah ketika tebu adalah kapitalis untuk mempermudah konflik

buruh-manajemen, konflik kelas, memperlambat runtuhnya sistem kapitalis. Kapitalis

dana jaminan sosial dari amal bukanlah kapitalis, yang dananya berasal dari nilai surplus

yang diciptakan oleh kelas buruh. Marx menunjukkan bahwa "harus ada asuransi dengan

nilai sisa, kompensasi adalah nilai sisa pengurang." Karena ini "adalah produksi kapitalis

dari biaya non-produksi, namun biaya modal, tahu cara menempatkan mayoritas dari

bahu mereka sendiri ke pundak kelas buruh dan kelas menengah ke bawah." (http//www.

marxisme.htm).

Dengan demikian, kelas pekerja untuk menciptakan dana mereka sendiri jaminan

sosial sebagai bagian dari nilai surplus, bukan kapitalis, amal, jaminan sosial, sifat dari

kapitalisme adalah menipu. Bahkan, "perlu untuk kepentingan mereka sendiri

melakukannya ketika begitu", dan ketertarikan ini adalah "tidak lagi membeli punya hak

untuk mengganggu Anda," "Adapun pengaruh amal, masyarakat miskin dari saudara-

saudara mereka miskin mendapatkan bantuan, dari dari borjuasi mendapatkan lebih. "
64

Kriteria dan Bentuk Kesejahteraan

Kesejahteraan sebagaimana kondisi terpenuhinya kebutuhan jasmaniah dan rohaniah,

atau keseimbangan antara aspek material dan non-material atau spiritual. Di mana

kondisi sejahtera terjadi jika kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan

dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan (kesempatan

kerja) dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-

resiko yang mengancam kehidupannya. Adapun peningkatan kondisi kesejahteraan atau

kualitas hidup (kondisi) masyarakat antara lain melalui pengelolaan masalah sosial,

pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, dan pemaksimalan kesempatan anggota

masyarakat untuk berkembang (termasuk kesempatan bekerja dan berpartisipasi dalam

pembangunan).

Sekelompok individu dalam satu komunitas yang teratur, di bawah suatu sistem

atau aturan untuk tujuan yang sama; hidup bersama dalam kondisi aman dan bahagia,

terpenuhinya kebutuhan dasar akan makanan, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal,

pendapatan dan memperoleh perlindungan dari resiko-resiko yang mengancam

kehidupannya. Kebersamaan atas kepentingan bersama, tanpa mengorbankan

kepentingan individu. Sekelompok individu tersebut dinamakan dan diidentikkan

dengan keluarga atau masyarakat sejahtera.

Para pakar dan ahli ekonom memberikan klasifikasi tingkat kesejahteraan

terhadap suatu masyarakat. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Kantor Menteri Negara

Kependudukan memberikan klasifikasi keluarga di Indonesia sebagaimana berikut:

a. Keluarga Pra Sejahtera, yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar

minimum, misalnya kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan dan

kesehatan; yang tampak dalam ketidakmampuan dalam memenuhi indikator-


65

indikator berikut: a) menjalanan ibadah sesuai dengan agamanya; b) makan

minimal 2 kali per hari; c) pakaian lebih dari satu pasang; d) sebagian besar

lantai rumahnya bukan dari tanah; e) jika sakit dibawa ke sarana kesehatan.

b. Keluarga Sejahtera I, sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dalam

hal sandang, papan, pangan dan pelayanan kesehatan yang sangat dasar.

c. Keluarga Sejahtera II, selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya,

dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologinya, tetapi belum dapat

memenuhi kebutuhan pengembangannya.

d. Keluarga Sejahtera III, telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum,

kebutuhan sosial psikologisnya, dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan

pengembangannya, tetapi belum aktif menyumbangkan dan belum aktif giat

dalam usaha kemasyarakatan dalam lingkungan desa atau wilayahnya.

e. Keluarga Sejahtera III Plus, telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum,

kebutuhan sosial psikologis, kebutuhan pengembangan, sekaligus secara teratur

ikut aktif dalam kegiatan sosial (1996, hal. 10).

Atas dasar klasifikasi di atas, maka kriteria dan bentuk keluarga sejahtera dapat

ditetapkan sebagai berikut: Pertama, pra sejahtera; Kedua, sejahtera tahap I; Ketiga,

sejahtera tahap II; Keempat, sejahtera tahap III; Kelima, sejahtera tahap III plus.

Klasifikasi di atas sama dengan klasifikasi yang ditawarkan oleh Badan

Koordinasi Keluarga Berencana Nasional daerah Jawa Timur. Di mana lembaga tersebut

juga mengklasifikasi keluarga sejahtera ke dalam lima kriteria dan bentuk (www.bkkbn-

jatim.go.id., diakses pada tanggal 8 Januari 2010).


66

Namun di sisi lain, Ketua Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasionial

(BKKBN) Sumatera Utara Indra Wirdana, dalam petikannya kepada Waspada Online

mengatakan, kriteria keluarga sejahtera hanya terbagi atas:

a. Keluarga sejahtera I yaitu, yang dapat memenuhi indikator kebutuhan dasar

seperti keluarga yang memiliki pakaian yang berbeda setiap harinya, dan

makan setiap harinya dapat dipenuhi;

b. Keluarga sejahtera II, yaitu keluarga yang sudah mempunyai tempat tinggal,

keluarga yang mengkonsumsi daging setiap minggunya;

c. Keluarga sejahtera III, yaitu keluarga yang sudah memenuhi kebutuhan dasar

dan kebutuhan psikologis.

Data klasifikasi di atas dapat dipahami bahwa keluarga atau masyarakat sejahtera

terdapat lima kriteria dan bentuk. Bentuk yang paling bawah adalah pra sejahtera yang

diidentikkan dengan yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum, misalnya

kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Sedangkan bentuk dan

kriteria masyarkat sejahtera tertinggi adalah sejahtera plus di mana telah dapat

memenuhi kebutuhan dasar minimum, kebutuhan sosial psikologis, kebutuhan

pengembangan, sekaligus secara teratur ikut aktif dalam kegiatan sosial.

Klasifikasi tersebut peneliti dapatkan dalam konteks wilayah Indonesia. Sejauh

ini peneliti belum mendapatkan klasifikasi tersebut dalam teori Maslow dan dalam

kehidupan mereka sendiri. Namun sekiranya, pemikiran dan pandangan tersebut dapat

diperkirakan bersumber dari hasil pemikiran tokoh-tokoh Maslow sendiri.

Kata sejahtera melahirkan beberapa istilah, antara lain economic welfare, social

welfare, welfare society dan welfare state. Semuanya mengarah dan tertuju kepada

sentralisasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok atau dasar manusia yaitu
67

pemenuhan skala sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan

keadilan distribusi.

Pemenuhan kebutuhan pokok skala sandang, pangan dan papan tersebut

sebagaimana diusung dalam teori Maslow yang telah peneliti paparkan di atas. Maslow

menganggap tatkala kebutuhan pokok tersebut terpenuhi maka manusia berada dalam

keadaan sejahtera. Dan sebaliknya.

Jadi, konsep kesejahteraan dalam pemikiran Maslow dapat diidentifikasikan

sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan dasar yang bersifat kebutuhan fisiologi berupa

sandang, pangan dan papan. Terpenuhinya juga kebutuhan akan jaminan sosial,

kebutuhan sosial berupa memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang

mengancam kehidupannya melalui suatu proses atau usaha terencana berupa tunjangan

dan pelayanan sosial, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan akan penghargaan dan

kebutuhan aktualisasi diri.

Dan tatkala kebutuhan dasar atau pokok tersebut tidak terpenuhi, maka seseorang

tersebut tidak dalam kondisi sejahtera. Indikator-indikator sejahtera yang paling utama

adalah dengan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, pendidikan, kesehatan dan

jaminan atas hidupnya.


68

Bab 5

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam teori Maslow, konsep kesejahteraan adalah sebagai kondisi aman dan bahagia

dengan terpenuhinya kebutuhan dasar akan sandang, pangan, papan, kesehatan,

pendidikan, dan memperoleh perlindungan dari resiko-resiko yang mengancam

kehidupannya.

Spesifikasi Kebutuhan dasar manusia tersebut tertuang dalam teori hierarchy of

needs atau hirarkie lima tingkat kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan pada skala

kebutuhan fisiologi (Physiological Needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti

makan dan minum. Kebutuhan dasar ini menjadi prioritas manusia dan

mengenyampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya. Selanjutnya yaitu kebutuhan

jaminan sosial (Safety Needs), kebutuhan sosial (Social Needs), kebutuhan akan

penghargaan (Esteem Needs), dan kebutuhan aktualisasi diri (Self-Actualization Needs).

Sebagaimana telah dipahami dan dimengerti bahwa konsep yang ditawarkan

Maslow memiliki keunggulan tekhnologikal (kekuatan tekhnologi) dalam aplikasinya.

Dan dengan kekuatan teknologi tersebut, kiranya dan sudah barang tentu setiap manusia

dapat mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi dan layak. Dan tentunya, pemikiran

Maslow dalam hal harga diri tampak lebih spesifik dan jelas dibanding konsep al-

Ghazāli
69

Sedangkan konsep kesejahteraan dalam pandangan al-Ghazāli adalah pertama,

kesejahteraan holistik dan seimbang, yaitu kecukupan materi yang didukung oleh

terpenuhinya kebutuhan spiritual serta mencakup individu dan sosial. Kedua,

kesejahteraan di dunia dan di akhirat, sebab manusia tidak hanya hidup di alam dunia

saja, tetapi juga di alam setelah kematian/kemusnahan dunia (akhirat). Karenanya, hal

tersebut adalah konsep yang komprehensif dan sarat dengan nilai sebagaimana tertuang

dalam teori dharūriyat al-khams (lima tingkat kebutuhan dasar) dan rubu’ muhlikat (hal-

hal yang membinasakan manusia). Yaitu, setiap hal yang dimaksudkan untuk

memelihara keselamatan iman; yakni pokok-pokok aqidah dan pokok-pokok ibadah,

akal (pendididkan), jiwa (kesehatan dan jaminan sosial), keturunan, dan materi sebagai

alat bagi pemeliharaan empat kebutuhan di atas.

Kelima hal ini merupakan kebutuhan primer bagi hidup dan kehidupan manusia.

Dan tentunya, hubungan manusia dengan dunia hanya sebatas alat bukan pada hubungan

kecintaan apalagi kesibukan dalam memperbaikinya.

Dengan demikian pendapat al-Ghazāli memiliki keunggulan mendasar dalam

konsep kesejahteraan. Karena, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan dalam

teori Maslow sebagaimana di atas, sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep al-

Ghazāli.

Bahkan, konsep yang telah dikemukakan oleh al-Ghazāli mempunyai

keunggulan komparatif yang sangat signifikan, yakni menempatkan iman (nilai) sebagai

faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian

Maslow. Seperti yang telah dimaklumi bersama, iman merupakan fitrah manusia dan

menjadi faktor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di dunia ini.
70

Implikasi

Dengan pengembangan konsep hierarchy of needs yang digagas oleh Maslow, kiranya

dapat menjadi suatu dan sebuah model dinamik tingkat kebutuhan manusia pada saat ini.

Dengan penjelasan yang begitu rinci dan dalam, setiap manusia baik Barat maupun

Islam dapat menjadikannya model tingkat kebutuhannya yang bertujuan kepada

kesejahteraan individual maupun kelompok.

Dan dengan pengembangan konsep maşlahat adh-dharūriyat al-khams dan

rubu’ muhlikat yang digagas oleh al-Ghazāli dapat menumbuhkembangkan konsep

kesejahteraan dalam dunia Islam khususnya dan Barat secara umum. Oleh karena itu,

pengembangan pemikiran atas teori dan konsep tersebut sangat penting dalam melawan

arus globalisasi dan di tengah-tengah berbagai sistem-sistem ekonomi yang sedang

berlaku sampai hari ini.

Dan dunia Islam sudah seharusnya menjadikan konsep maşlahat adh-dharūriyat

al-khams dan rubu’ muhlikat al-Ghazāli panduan atau acuan bagi konsep kesejahteraan

dalam kehidupan.

Rekomendasi

Penelitian terhadap pemikiran ekonomi Barat dan Islam merupakan kajian yang sangat

menarik dan memerlukan berbagai dimensi pandangan pemikiran. Hal ini untuk meneliti

berbagai interpretasi atau berbagai aplikasi penerapan pemikiran tersebut dalam dunia

Barat dan Islam. Dan tentunya penelitian yang menggali konsep kesejahteraan masih

sangat memerlukan berbagai sudut pandang dan aplikasi yang beragam.

Anda mungkin juga menyukai