Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita berbagai
macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa
keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak,
sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh
manfaat.
Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Dosen serta teman-teman
sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil maupun materil, sehingga
makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal
kelengkapan serta pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian, yang
kadangkala hanya menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik
dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-makah kami dilain
waktu.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-mudahan apa
yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang
ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari judul ini sebagai
tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
mengadopsi inovasi tersebut. Ketika sebuah inovasi banyak diadopsi oleh sejumlah orang, hal
itu dikatakan exploded atau meledak.
1.3. Tujuan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada mahasiswa dalam
mempelajari danmengetahui apa yang dimaksud dengan difusionisme, apasajateori
difusionisme itu sehingga bisa bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Dari pengertian di atas bias kita simpulkan bahwa difusionisme menekankan pada
pengaruh masyarakat individual saling bergantung dan meyakini, bahwa perubahan
sosial terjadi karena sebuah masyarakat menyerap berbagai ciri budaya dari masyarakat
lain.
Proses difusi (diffusion) adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan ke
seluruh dunia. Difusi merupakan salah satu objek ilmu penelitian antropologi, terutama
sub-ilmu antropologi diakronik. Proses difusi tidak hanya dilihat dari sudut bergeraknya
unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi saja, tetapi
terutama sebagai proses di mana unsur kebudayaan dibawa oleh individu dari suatu
kebudayaan, dan harus diterima oleh individu-individu dari kebudayaan lain.
4
2. Penyebaran Unsur-Unsur Kebudayaan
Bersamaan dengan penyebaran migrasi kelompok manusia ke berbagai dunia
yang disebut proses difusi. Penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok
masyarakat dimuka bumi ini turut tersebar pula berbagai unsur kebudayaan.
Penyebaran unsur-unsur kebudayaan dapat juga terjadi tanpa ada perpindahan
kelompok-kelompok manusia atau bangsa-bangsa tetapi karena unsur-unsur
kebudayaan itu memang sengaja dibawa oleh individu-individu tertentu, seperti
para pedagang dan pelaut.
Pada zaman modern seperti saat ini, penyebaran unsur-unsur kebudayaan tidak
lagi mengikuti migrasi-migrasi kelompok, melainkan tanpa kontak langsung antar
individu yang berbeda, ini disebabkan sekarang sudah banyak media-media yang
membantu mempercepat persebaran kebudayaan dari satu tempat ketempat lain,
seperti Televisi, radio, surat kabar dan sebagainya.
5
Pada waktu itu, hubungan mereka terbatas hanya pada barter barang-barang itu saja,
kebudayaan masing-masing suku tidak berubah.
b. Penetration pacifique (pemasukan secara damai)
Salah satu bentuk penetration pacifique adalah hubungan perdagangan.
Hubungan perdagangan ini mempunyai akibat yang lebih jauh dibanding hubungan
symbiotic. Unsur-unsur kebudayaan asing yang dibawa oleh pedagang masuk ke
kebudayaan penemrima dengan tidak disengaja dan tanpa paksaan. Sebenarnya,
pemasukan unsur-unsur asing oleh para penyiar agama itu juga dilakukan secara
damai, tetapi hal itu dilakukan dengan sengaja, dan kadang-kadang dengan paksa.
c. Penetration violante (pemasukan secara kekerasan/tidak damai)
Pemasukan secara tidak damai ini terjadi pada hubungan yang disebabkan
karena peperangan atau penaklukan. Penaklukan merupakan titik awal dari proses
masuknya kebudayaan asing ke suatu tempat. Proses selanjutnya adalah penjajahan,
di sinilah proses pemasukan unsur kebudayaan asing mulai berjalan.
Ada juga difusi yang disebut stimulus diffusion. Stimulus diffusion adalah
proses difusi yang terjadi melalui suatu rangkaian pertemuan antara suatu deret
suku-suku bangsa. Konsep stimulus diffusion juga kadang dipergunakan ketika ada
suatu unsur kebudayaan yang dibawa ke dalam kebudayaan lain, di mana unsur itu
mendorong (menstimulasi) terjadinya unsur-unsur kebudayaan yang dianggap 6
sebagai kebudayaan yang baru oleh warga penerima, walaupun gagasan awalnya
berasal dari kebudayaan asing tersebut.
6
Contoh-contoh difusi
Contoh difusi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia adalah berbagai kata yang
ada dalam Bahasa Indonesia. Tanpa kita sadari, Bahasa Indonesia sendiri merupakan
contoh hasil dari proses difusi yang terjadi dalam masyarakat. Berbagai kata dalam
Bahasa Indonesia merupakan hasil serapan dari bahasa asing dan bahasa-bahasa daerah,
seperti Bahasa Jawa, Sunda, dan lain-lain.
Berbagai kontak budaya yang terjadi dalam masyarakat, menyebabkan terjadinya
difusi dalam struktur Bahasa Indonesia. Proses difusi yang menyebabkan munculnya
kosakata baru dalam Bahasa Indonesia terbagi dalam 2 proses, yaitu :
1) Difusi ekstern yaitu penyerapan kosakata asing oleh Bahasa Indonesia yang
mengubah Bahasa Indonesia ke arah yang lebih modern. Dampak dari difusi ekstern
ini terlihat dari kreativitas orang-orang Indonesia, yang memadukan berbagai unsur
bahasa asing sehingga menjelma menjadi 7 bentuk kata-kata baru, seperti :
gerilyawan, ilmuwan, sejarawan, Pancasilais, agamis, dan lain-lain.
2) Difusi intern yaitu timbulnya hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia
dengan bahasa Jawa (seperti masuknya kata lugas, busana, pangan dll) atau dengan
bahasa Sunda (kata-kata nyeri, pakan, tahap, langka) mengenai penyerapan
kosakata.
7
dan Asia tenggara yterdapat kapal-kapal yang bercadik dengan bentuk yang sama,
maka Adolf S akan berkata bahwa, persamaan tadi akibat pengaruh Elementar
Gedanken. Seorang penganut cara berfikir mengenai evolusi kebudayaan akan
berkata bahwa, kepandaian kapal bercadik tadi di A dan di B disebabkan karena
kebudayaan di A dan B kebetulan ada pada tingkat evolusi yang sama; sedangkan
konsep baru mengatakan bahwa kepandaian dalam membuat kapl bercadik serupa
itu telah menyebar dari A ke B atau sebaliknya dalam zaman yang lampau.
8
maksudnya adalah lingkaran di muka bumi yang mempunyai unsur-unsur
kebudayaan yang sama).
Metode klasifikasi unsur-unsur kebudayaan dari berbagai tempat di muka bumi
ke dalam berbagai Kulturkreise itu diterangkan dalam bukunya yaitu Methode der
Ethnologie (1911). Prosedur klasifikasinya yaitu :
1. Seorang peneleliti mula-mula harus melihat di tempat-tempat mana di muka
bumi terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sama. Misalnyadi 3 kebudayaan di
tempat yang kita sebut A, B, dan c yang letaknya saling berjauhan, terdapat
unsur-unsur kebudayaan a yang sama, maka unsur itu di A kita sebut a, di B kita
sebut a', dan di C kita sebut a”. Kesadaran akan persamaan tadi dicapai dengan
alasan perbandingan berupa ciri-ciri, atau kualitas, dari ketiga unsur tadi, dan
disebut dengan Qualitats Kriterium.
2. Si peneliti kemudian harus melihat apakah di A ada unsur-unsur lain yang sama
dengan unsur-unsur lain di B dan C, dan misalkan ada unsur b,c,d, dan e di A
yang sama dengan b',c', d' dan e' di B, dan yang sama pula dengan unsur-unsur
b”,c”,d” dan e” di C. Maka alasan pembandingan berupa suatu jumlah banyak
(kuantitas) dari berbagai unsur kebudayaan tadi disebut Quantitats Kriterium.
Tiap kelompok unsur-unsur yang sama tadi, yaitu (a b c d e), (a' b' c' d' e') dan
(a” b” c “ d” e”), masing-masing disebut kultur komplex.
3. Akhirnya peneliti menggolongkan ketiga tempat itu, yaitu A, B, C, dimana
terdapat ketiga kulturkomplex tadi, menjadi satu, seolah-olah memasukkan
ketiga tempat di atas peta bumi itu ke dalam satu lingkaran. Ketiga tempat tadi
menjadi satu kulturkreis.
Dengan melanjutkan prosedur tersebut, maka di atas peta bumi akan tergambar
berbagai Kulturkreise, yang saling bersimpang siur. Dengan demikian akan tampak
gambaran persebaran atau difusi dari unsur-unsur kebudayaan di masa yang
lampau. Dengan klasifikasi Kulturkreise itu direkonstruksi dengan kulturhistorie
umat manusia, dan tampak kembali sejarah persebaran bangsa-bangsa di muka
bumi.Dalam kenyataan, klasifikasi kulturkreis itu tidak mudah disusun karena
banyak yang harus diperhatikan. Itulah sebabnya sampai sekarang belum ada ahli
yang berhasil mengklasifikasikan semua kebudayaan di dunia itu kedalam berbagai
kulturkreise tertentu. Karena itu juga kulturhistorie umat manusia juga belum
pernah dapat direkontruksikan kembali. Celaan atas metode Klasifikasi Graebner
9
ini memang ada, namun banyak juga sarjana yang menggunakannya lebih lanjut
yaitu a.I. Schmidt dan pengikut-pengikutnya.
4. Mazhab Schmidt
W. Schmidt menjadi terkenal dalam dunia antropologi sebagai seorang yang
telah mengembangkan lebih lanjut metode klasifikasi kebudayaan-kebudayaan di
dunia dalam Kulturkreise. Klasifikasi itu dicita-citakan untuk dilakukan secara
besar-besaran, dengan tujuan untuk dapat melihat sejarah persebaran dan
perkembangan kebudayaan atau Kulturhistorie dari seluruh umat manusia dimuka
bumi ini. Untuk mengerjakan proyek raksasa yang dicita-citakannya itu, ia tentu
memrlukan bahan keterangan yang luar biasa banyaknya, dari semua kebudayaan
yang tersebar di dunia. Bahan ini harus diperolehnya dari karangan-karangan
etnografi tulisan para peneliti di daerah, dan terutama ileh para pendeta dari
Societas Verbi Divini. Bahan keterangan itu kemudian dikumpulkan, diteliti,
dikupas, untuk disusun oleh schmidt berdasarkan metode klasifikasi Kulturkreise.
W. Schmidt juga terkenal dalam kalangan ilmu antropologi karena penelitian-
penelitiannya mengenai bentuk religi yang tertua. Ia berpendirian bahwa keyakinan
akan adanya satu Tuhan bukanlah suatu perkembangan yang termuda dalam sejarah
kebudayaan manusia.Religi yang bersifat monotheisme itu malahn adalah bentuk
yang amat sangat tua. Sebelumnya, ada sarjana lain yang memilki pendapat seperti
itu, yaitu A. Lang. Dia yakin bahwa agama berasal dari titah Tuhan yang diturunkan
kepada makhluk manusia waktu ia mula-mula muncul di muka bumi. Oleh karena
itulah adanya tanda-tanda dari suatu keyakinan kepada dewa pencipta, justru pada
bangsa-bangsa yang paling rendah tingkat kebudayaannya (yaitu yang menurut
Schmidt paling tua), memperkuat anggapannya tentang adanya Titah Tuhan asli,
atau Uroffenberung itu. Dengan demikian keyakinan yang asli dan bersih kepada
Tuhan (keyakian Urmonotheismu) itu malah ada pada bangsa-bangsa yang tua,
yang hidup dalam zaman ketika kebudayaan manusia masih rendah.Dalam zaman
kemudian, waktu kebudayaan semakin bertambah maju, keyakian asli terhadap
tuhan semakin kabur, kebutuhan manusia semkain banyak, maka keyakinan asli itu
menjadi makin terdesak oleh pemujaan kepada makhluk-makhluk halus, ruh-ruh,
dewa-dewa dsb.
10
5. Teori Difusi Rivers
W.H.R. Rivers (1864-1922), mengembangkan suatu metode wawancara yang
baru, yang menyebabkan bahwa ia berhasil mengumpulkan banyak bahan, terutama
mengenai sistem kemasyarakatan suku-suku bangsa yang tinggal di daerah
(penelitiannya terhadap masyarakat Selat Torres).Metode yang oleh Rivers
kemudian diuraiakn dala karangan berjudul A Genealogical Method of
Antropoligical inquiry (1910) itu terbukti merupakan suatu metode yang kemudian
akan menadi metode pokok dalam sebagian besar penelitian antropologi yang
berdasarkan Field work. Metode yang digunakannya sebenarnya adalah suatu
metode wawancara yang akan saya uraikan dengan singkat di bawah ini .
Apabila seorang peneliti datang kepada suatu masyarakat maka sebagian besar
dari bahan keterangannya akan diperoleh dari seorang informan, dengan berbagai
macam metode wawancara. Rivers mengalami bahwa banyak bahan keterangan
mengenai kehidupan sesuatu masyarakat dapat dianalisa dari daftar-daftar asal usul,
atau genealogi dari para informan itu. Dengan demikian, seorang penelitia harus
mengumpulkan sebanyak mungkin daftar asal-usul dari individu-individu dalam
masyarakat obyek penelitiannya itu. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
mengenai kaum kerabat dan nenek moyang para individu tadi sebagai pangkal,
seorang peneliti dapat menembangkan suatu wawancara yang luas sekali, mengenai
bermacam-macam peristiwa yang menyangkut kaum kerabat dan nenek moyang
tadi, dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat konkret. Metode ini sekarang
terkenal dengan nama metode genealogi, atau genealogical method dan merupakan
alat utama bagi tiap peneliti antropologi yang akan melakukan field work di
daerah.” (koentjoroningrat 1977:hlm 182-189)
11
pada bangunan-bangunan batu besar, atau megalith, dan juga pada suatu komplex
unsur-unsur keagamaan yang berpusat pada penyembahan matahari, atau helios.
Teori Heliostik tersebut kemudaian diperguanakan dalam suatu penelitian
besar oleh W.J. Perry yang mencoba mencari dengan teliti jalan-jalan difusi
kebudayaan Heliostik, unsur-unsur kebudayaan yang tersangkut dalam gerak
persebaran itu, serta sebab-sebab dari difusi.Dalam persebarannya dari Mesir ke
arah timur sampai ke Amerika Tengah dan selatan itu, Perry membukukan hasil
penelitiannya dalam buku yang berjudul The Childern of the sun (1923).
Namun kemudian, teori Heliostik mendapat banyak kecaman. Salah satu
kecaman tersebut datang dari seorang yang bernama R.H. Lowie (antropologi
Amerika) yang menyatakan bahwa bahwa teori Heliostik itu merupakan teori difusi
yang ekstrim, yang tidak sesuai dengan kenyataan, baik dipandang dari sudut hasil-
hasil penggalian-penggalian ilmu prehistori, maupun dari sudut konsep-konsep
tentang proses difusi dan pertukara unsur-unsur kebudayaan antara bangsa-bangsa
yang telah diterima dalam kalngan ilmu antropologi waktu itu. Pada masa sekarang
teori Heliostik itu hanya bisa kita pandang sebagai suatu conth saja dari salah suatu
cara yang pernah digunakan oleh para ahli persamaan-persamaan unsur-unsur
kebudayaan di berbagai tempat di dunia.
Teori difusionisme ini memiliki kelebihan yang patut menjadi catatan dalam
kajian antropologi. Teori difusi memiliki kelebihan karena merupakan pandangan
awal yang menyatakan bahwa kebudayaan yang ada merupakan sebaran dari
kebudayaan lainnya. Di samping itu, dari sini terdapat cara pandang baru yang
meletakkan dinamika dan perkembangan kebudayaan tidak hanya dalam bentang
waktu saja, tetapi juga dalam bentang ruang, sebagaimana yang diperlihatkan oleh
Perry dan Smith dalam pemikirannnya. Kelebihan lainnya adalah para pengusung
teori ini telah menggunakan analisis komparatif yang berlandaskan pada standar
kualitas dan kuantitas dalam menentukan wilayah persebaran kebudayaan
sebagaimana yang yang mereka yakini. Kelebihan lainnya adalah para penyokong
teori ini sangat memperhatikan setiap detail catatan mengenai kebudayaan sehingga
mereka mendapatkan beragam hubungan atau keterkaitan antara satu kebudayaan
dengan kebudayaan lainnya. Dan kelebihan yang terpenting dari teori ini adalah
penekanan mereka pada penelitian lapangan untuk mendapatkan data yang lebih
dan akurat, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Boas yang kemudian diikuti oleh
para murid yang menjadi pengikutnya selanjutnya.
12
Teori difusionisme tidak lepas pula dari beragam kelemahan atau kekurangan.
Secara umum, teori difusi kebudayaan memiliki kelemahan dari sisi data karena tidak
memilki dukungan data yang cukup dan akurat dan pengumpulan data tidak dilakukan
melalui prosedur dan metode penelitian yang jelas. Hal ini misalnya tampak pada
kesimpulan teori ini yang mengatakan bahwa peradaban-peradaban kuno di bumi
sebenarnya berasal dari orang-orang Mesir. Hal ini memperlihatkan pandangan para
pengusungnya yang sangat Mesir-Sentris hanya karena kekaguman mereka dan
keterpesonaan mereka dengan kebudayaan negeri Fir’aun ini setelah lama melakukan
penelitian di tempat ini.
Kelemahan lain yang ada dalam teori ini adalah terletak pada metode yang
mereka gunakan dalam melakukan penelitian yang tidak memperbandingkan
kebudayaan-kebudayaan yang saling berdekatan. Dalam penelitiannya, para pengusung
teori ini hanya melakukannya berdasarkan pada ketersediaan data yang ada saja karena
pada kenyataannya untuk sampai pada sebuah kesimpulan sebagaimana di atas mereka
tidak pernah melakukan penelitian lapangan yang menjadi tuntutan untuk
mengemukakan sebuah pernyataan yang berujung pada pembentukan teori.
Kelemahan lainnya yang terdapat dalam teori ini adalah karena keterikatan
mereka dengan catatan sejarah sebagai bagian dari model teori yang mereka gunakan.
Akibatnya, tidak semua sejarah yang berkaitan dengan suku-suku tertentu dapat
diungkapkan karena beragam sebab yang diantaranya karena belum adanya peneliti
yang melakukan kajian terhadap suku tersebut. Hal ini sebagaimana yang dikritik oleh
Malinowski dan Brown yang melakukan penelitian sejarah terhadap suku yang masih
sederhana di kalangan orang Andaman. Tetapi karena keterbatasan data yang
menerangkan mengenai keberadaan mereka, maka penelitian dengan menggunakan
teori difusi sebagaimana yang dikemukakan oleh Boas dan kawan-kawannya.
Difusionisme Populer khususnya di Inggris dan Jerman pada awal abad kedua
puluh, paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman diantara bebagai
kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan.
Difusi adalah proses historis dari perubahan kebudayaan melalui transmisi lintas-
budaya dari objek-objek materi dan perilaku dan keyakinan yang dipelajari. Difusionis
Eropa terkemuka adalah Fritz Graebner (1911) dan Wilhelm Schmidt (1939). Di
Amerika Serikat, paradigma ini mengekspresikan dirinya melalui konsep “daerah
kebudayaan” dan tampak secara mencolok dalam karya Clark Wissler (1917) dan
13
Alfred Kroeber (1939). Namun, semenjak pertengahan abad ke-20 difusionisme tak
lagi memiliki pendukung yang signifikan.
Gejala persebaran unsur-unsur kebudayaan merupakan sebuah sejarah
perkembangan peradaban manusia yang secara evolutif bergerak dengan tingkatnya
masing-masing. Perbedaan tingkat maupun pola interaksi yang terjadi adalah pola
umum yang dapat ditemui pada semua kelompok masyarakat. F. Ratzel (1844-1904)
seorang sarjana ilmu hayat, mempelajari berbagai bentuk senjata busur di berbagai
tempat di Afrika. Ia banyak menemukan persamaan bentuk pada busur-busur tersebut
pada berbagai tempat di Afrika. Begitu pula dengan unsur kebudayaan lainnya, seperti
rumah, topeng, dan pakaian. Temuan tersebut mengarahkannnya untuk menarik
kesimpulan bahwa pada waktuyang lampau terjalin hubungan antara suku-suku bangsa
yang mendiami tempat tersebut.
Fenomena kesamaan unsur-unsur kebudayaan tersebut melahirkan
anggapan dasar yang menurut Koentjaraningrat bahwa kebudayaan manusia
berasal dari satu pangkal dan berada di suatu tempat tertentu. Unsur inilah yang
kemudian berkembang dan menyebar ke tempat lain dan kelompok masyarakat lainnya.
Dengan demikian konsep ini menyiratkan bahwa sejarah kebudayaan manusia diawali
dengan sebuah kebudayaan awal sebagai pusat atau intidari sejarah perkembangan
kebudayaan manusia. Kebudayaan inti (induk) tersebut berkembang dan menyebar,
kemudian melahirkan bentuk (unsur)baru karena pengaruh lingkungan dan waktu. Oleh
karena itu, tugas terpenting dari ilmu etnologi adalah mencari kembali sejarah gerak
perpindahan bangsa-bangsa itu.
14
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Difusionisme menekankan pada pengaruh masyarakat individual saling
bergantung dan meyakini, bahwa perubahan sosial terjadi karena sebuah masyarakat
menyerap berbagai ciri budaya dari masyarakat lain. Proses difusi (diffusion) adalah
proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan ke seluruh dunia. Difusi merupakan salah
satu objek ilmu penelitian antropologi, terutama sub-ilmu antropologi diakronik. Proses
difusi tidak hanya dilihat dari sudut bergeraknya unsur-unsur kebudayaan dari satu
tempat ke tempat lain di muka bumi saja, tetapi terutama sebagai proses di mana unsur
kebudayaan dibawa oleh individu dari suatu kebudayaan, dan harus diterima oleh
individu-individu dari kebudayaan lain.
Bangsa yang terjadi dan hidup sampai sekarang merupakan akibat dari
perpindahan dan penyebaran kebudayaan dari pangkalnya. Hal tersebut juga di dukung
dengan kondisi geografis negara-negara tersebut yang mana lama-kelamaan persebaran
tersebut terjadi.Salah satu contohnya ialah kebudayaan masyarakat Indonesia memiliki
kesamaan terhadap kebudayaan masyarakat di Filipina. Itu menandakan bahwa ada
persebaran kebudayaan yang telah dijelaskan oleh F. Graebner.
15
DAFTAR PUSTAKA
16