Anda di halaman 1dari 25

E.

Bunuh Diri dan Euthanasia


Pemikiran Dasar

• Dalam Kitab Suci (Alkitab), dijelaskan bahwa manusia hidup karena diciptakan dan
dikasihi Allah. Karena itu, biarpun sifatnya manusiawi dan bukan Ilahi, hidup itu suci.

• Kitab Suci menyatakan bahwa nyawa manusia (yakni hidup biologisnya) tidak boleh
diremehkan. Hidup manusia mempunyai nilai yang istimewa, karena sifatnya yang
pribadi.
Pemikiran Dasar

• Menurut ajaran Gereja Katolik, tindakan euthanasia tidak dapat dibenarkan.


• Tidak seorang pun diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan, entah untuk dirinya
sendiri, entah untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya. (Kongregasi untuk Ajaran
Iman, Deklarasi Mengenai Euthanasia, 5 Mei, 1980).

• Penderitaan harus diringankan bukan dengan pembunuhan, melainkan dengan pendampingan


oleh seorang teman.
Alasan atau Sebab-Sebab Bunuh Diri
• a. Orang mengalami depresi, tekanan batin
Perasaan tertekan, frustrasi, dan bingung dapat disebabkan oleh:
- putus cinta, pasangan menyeleweng, kurang diperhatikan dan dihargai dalam
keluarga, dan sebagainya.
-beban ekonomi yang tidak tertanggungkan, kehilangan pekerjaan, dililit utang, dan
sebagainya
- merasa hidup tak lagi bermakna, dan sebagainya.
Alasan atau Sebab-Sebab Bunuh Diri

b. Orang mau mengungkapkan protes.

• Mungkin saja terjadi kasus-kasus ketidakadilan, kemudian untuk memprotesnya


orang melakukan aksi mogok makan sampai tewas, membakar diri, menembak diri,
dan sebagainya.
a. Arti Euthanasia

• Kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘kematian yang baik (mudah).
• Kematian dilakukan untuk membebaskan seseorang dari penderitaan yang amat berat.
Masalah ini menimbulkan masalah moral seperti bunuh diri.

• Namun, euthanasia melibatkan orang lain, baik yang melakukan penghilangan nyawa
maupun yang menyediakan sarana kematian (umumnya obat-obatan).
a. Arti Euthanasia
• Euthanasia merupakan tindakan penghentian kehidupan manusia baik dengan cara menyuntikkan zat tertentu
atau dengan meminum pil atau dengan cara lainnya.

• Tindakan ini muncul akibat terjadinya penderitaan yang berkepanjangan dari pasien.
• Di beberapa negara Eropa dan sebagian Amerika Serikat, tindakan euthanasia ini telah mendapat izin dan
legalitas negara.

• Pada umumnya mereka beranggapan bahwa menentukan hidup dan mati seseorang adalah hak asasi yang harus
dijunjung tinggi.
a. Arti Euthanasia
• Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti sebagai
berikut:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang
beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat
penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
b. Jenis-Jenis Euthanasia

1. Dilihat dari segi pelakunya


Compulsary euthanasia, yakni bila orang lain memutuskan kapan hidup seseorang akan
berakhir. Orang tersebut mungkin kerabat, dokter, atau bahkan masyarakat secara
keseluruhan. Kadang-kadang euthanasia jenis ini disebut mercy killing (penghilangan
nyawa penuh belas kasih). Misalnya: dilakukan pada orang yang menderita sakit
mengerikan, seperti anak-anak yang cacat parah.
b. Jenis-Jenis Euthanasia

• Voluntary euthanasia, berarti orang itu sendiri minta untuk mati. Beberapa orang percaya bahwa
pasien-pasien yang sekarat karena penyakit yang tak tersembuhkan dan menyebabkan penderitaan
yang berat hendaknya diizinkan untuk meminta dokter untuk membantunya mati. Mungkin mereka
dapat menandatangani dokumen legal sebagai bukti permintaannya dan disaksikan oleh satu orang
atau lebih yang tidak mempunyai hubungan dengan masalah itu, untuk kemudian dokter
menyediakan obat yang dapat mematikannya. Pandangan seperti ini diajukan oleh masyarakat
euthanasia sukarela.
b. Jenis-Jenis Euthanasia
2) Dilihat dari segi caranya

 Euthanasia aktif: Mempercepat kematian seseorang secara aktif dan terencana,


juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau euthanasia
dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri. Dengan kata lain, euthanasia ini
menggunakan cara langsung dan sukarela: memberi jalan kematian dengan cara yang
dipilih pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.
b. Jenis-Jenis Euthanasia

 Ada juga menggunakan cara sukarela tetapi tidak langsung: pasien diberitahu bahwa
harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain
yang dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya. Ada juga dengan cara langsung
tetapi tidak sukarela: dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya dengan
memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.
b. Jenis-Jenis Euthanasia

 Euthanasia pasif: Pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak dimulai,
atau diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya, karena pengobatan
apa pun tidak berguna lagi. Cara ini termasuk tidak langsung dan tidak sukarela:
merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap paling mendekati moral.
c. Bagaimana Pandangan Negara Indonesia
tentang Euthanasia?
 Euthanasia tidak diperbolehkan mempercepet kematian secara aktif dan terencana,
juga jika secara medis ia tidak lagi dapat disembuhkan dan juga kalau euthanasia
dilakukan atas permintaan pasien sendiri (bdk. KUHP pasal 344). Seperti halnya
dengan pengguguran, di sini ada pertimbangan moral yang jelas, juga dalam proses
kematian, manusia pun harus dihormati martabatnya. Semua sependapat, bahwa tidak
seorang pun berhak mengakhiri hidup orang lain, walaupun dengan rasa iba.
Pandangan Gereja tentang Bunuh Diri
dan Euthanasia
 Manusia hidup karena diciptakan dan dikasihi Allah.
 Hidup fana merupakan titik pangkal bagi kehidupan yang diharapkan di masa mendatang.
 Hidup manusia di dunia ini sangat berharga. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh
menghilangkan nyawanya sendiri, misalnya dengan melakukan bunuh diri. Hanya Tuhan
yang boleh mengambil kembali hidup manusia.
Katekismus Gereja Katolik.

 Tentang “bunuh diri” secara khusus dibahas dalam bahasan Kehidupan dalam Kristus, seksi dua tentang
Sepuluh Perintah Allah yang kelima.

 2280“Tiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya. Allah memberikan hidup kepadanya. Allah ada
dan tetap merupakan Tuhan kehidupan yang tertinggi. Kita berkewajiban untuk berterima kasih karena
itu dan mempertahankan hidup demi kehormatan-Nya dan demi keselamatan jiwa kita. Kita hanya
pengurus, bukan pemilik kehidupan, dan Allah mempercayakan itu kepada kita. Kita tidak mempunyai
kuasa apa pun atasnya”.
Katekismus Gereja Katolik.

• Gereja katolik tidak merestui bunuh diri. Alasan pertama yang sangat masuk akal
adalah alasan adikodrati, dalam kaitannya manusia dengan penciptanya. Hidup yang
mengalir di diri kita ini bukanlah milik kita sendiri, tetapi hanya titipan dari Tuhan
sang pencipta dan pemilik sejati. Oleh karenanya manusia, saya dan kamu, tidak
berhak membunuh atau bunuh diri. Bunuh diri sama beratnya dengan membunuh
orang lain.
a. Ajaran Kitab Suci
• 2281“Bunuh diri bertentangan dengan kecondongan kodrati manusia supaya
memelihara dan mempertahankan kehidupan. Itu adalah pelanggaran berat terhadap
cinta diri yang benar. Bunuh diri juga melanggar cinta kepada sesama, karena
merusak ikatan solidaritas dengan keluarga, dengan bangsa dan dengan umat
manusia, kepada siapa kita selalu mempunyai kewajiban. Akhirnya bunuh diri
bertentangan dengan cinta kepada Allah yang hidup”
Katekismus Gereja Katolik.

• Alasan kedua bersifat: kodrati, alamiah, dan sosial.


Bunuh diri melawan dorongan kodrat “mempertahankan
hidup” dan melanggar hukum cinta kepada diri sendiri
dan sesama. Dorongan naluriah setiap orang adalah agar
terus hidup (dorongan ini asli, terbawa sejak lahir, ada
pada setiap pribadi, ditanam oleh Tuhan sendiri).
Katekismus Gereja Katolik.

• Orang normal akan sekuat tenaga mempertahankan hidup. Sakit diobati, kalau ada
bahaya menghindar atau membela diri. Maka bunuh diri jelas-jelas mengabaikan
keinginan itu. Secara sosial, juga sangat jelas. Bunuh diri mempunyai akibat lanjutan
yang tidakbaik bagi orang-orang lain di sekitarnya terutama keluarga. Ingatlah,
keluarga selain berduka juga akan menanggung malu.
Katekismus Gereja Katolik.

 2282 “Kalau bunuh diri dilakukan dengan tujuan untuk memakainya sebagai contoh
terutama bagi orang-orang muda- maka itu pun merupakan satu skandal yang besar.
Bantuan secara sukarela dalam hal bunuh diri, melawan hukum moral. Gangguan
psikis yang berat, ketakutan besar atau kekhawatiran akan suatu musibah, akan suatu
kesusahan atau suatu penganiayaan, dapat mengurangi tanggung jawab pelaku
bunuh diri”.
Katekismus Gereja Katolik.
• Bunuh diri dengan alasan yang sangat mulia sekalipun tidak dibenarkan. Di sini berlaku prinsip
moral “tujuan tidak dapat menghalalkan cara”. Sebaik apapun tujuan hidup manusia tidak bisa
digunakan sebagai sarana untuk mencapainya. Prinsip ini juga berlaku terhadap hidup manusia
lain. Kita tidak boleh mempermainkan hidup orang lain untuk tujuan kita semulia apap un.
Kemudian ditegaskan juga, yang membantu orang untuk bunuh diri juga ikut bersalah. Hal yang
dapat dianggap meringankan “dosa” bunuh diri hanyalah beberapa kondisi nyata seperti:
gangguan psikis berat, ketakutan atau kekhawatiran besar, kesusahan atau penganiayaan serius.
Katekismus Gereja Katolik.

 2283 “Orang tidak boleh kehilangan harapan akan keselamatan abadi bagi mereka
yang telah mengakhiri kehidupannya. Dengan cara yang diketahui Allah, Ia masih
dapat memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat supaya diselamatkan.
Kesimpulan
 Katekismus Gereja Katolik, 1997 (No 2276-2279 dan 2324) memberikan ikhtisar
penjelasan ajaran Gereja Katolik yang menolak dengan tegas euthanasia aktif.
 Kongregasi untuk Ajaran Iman; dalam , Deklarasi Mengenai Euthanasia, 5 Mei,
1980). Pendapat Gereja Katolik mengenai euthanasia aktif sangat jelas, bahwa
tidak seorang pun diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan, entah untuk
dirinya sendiri, entah untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya. Penderitaan
harus diringankan bukan dengan pembunuhan, melainkan dengan pendampingan
oleh seorang teman.
Kesimpulan
• Ensiklik Evengelium Vitaeoleh Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Maret 1995.
• Secara khusus, ensiklik ini membahas euthanasia pada artikel nomor 64-67.
• Euthanasia yang “mengendalikan maut dan mendatangkannya sebelum waktunya, dengan
secara “halus” mengakhiri hidupnya sendiri atau hidup orang lain ….. tampak tidak masuk akal
dan melawan perikemanusiaan“.
• Euthanasia merupakan “pelanggaran berat terhadap hukum Allah, karena itu berarti
pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moral tidak dapat diterima”. Sebagai
pendasaran, teks tersebut menunjuk pada hukum kodrati, Sabda Allah, tradisi dan ajaran umum
Gereja Katolik.

Anda mungkin juga menyukai