KRISTEN
Oleh:
AWER RIDWIN SILALAHI
220310030
B. Menurut Alkitab
Kasih merupakan alasan bagi orang Kristen untuk mendasari segala sesuatu,
tetapi bukan belas kasihan yang menghalalkan segala cara demi orang yang kita
kasihi. Menghentikan kehidupan demi alasan kasih merupakan sebuah hal yang
sangat keliru. Kasih menuntut agar orang yang sakitnya tidak tersembuhkan
diperlakukan dengan semua belas kasihan yang mungkin diberikan, tetapi bukan
supaya kita mengambil nyawa orang itu bahkan atas permintaannya sendiri. Belas
kasihan menurut Alkitab adalah menenangkan orang yang akan binasa dengan zat
penenang atau minuman keras dan bukan membantunya bunuh diri (Ams.31:6-7).
Dalam Alkitab, penderitaan mempunyai fungsi yang positif dan konstruktif dalam
hidup manusia (Yakobus 1:2-4; Roma 5:3-4), penderitaan melahirkan ketekunan dan
pengharapan dan kesempurnaan hidup. Jika pro Euthanasia mengatakan bahwa
mengakhiri penderitaan seseorang adalah sikap murah hati, berarti penderitaan
dijadikan sebagai alat pembenaran praktek. Walaupun Euthanasia dapat mengakhiri
penderitaan, Euthanasia tetaplah suatu pembunuhan. Kalau penderitaan diakhiri
dengan Euthanasia, itu sama artinya menghalalkan segala cara untuk tujuan tertentu.
Hidup adalah pemberian Tuhan (Kejadian 2:7). Manusia menjadi makhluk hidup
setelah Tuhan Allah menghembuskan napas kehidupan kepadanya (band. Yehezkiel
37:9-10). Napas kehidupan diberikan Tuhan sehingga manusia memperoleh
kehidupan. Tugas manusia tidak lain kecuali memelihara kehidupan yang diberikan
oleh Tuhan (band. Perumpamaan dalam Efesus 5:29). Bukan hanya kehidupan yang
sehat, tetapi juga hidup yang dirundung oleh penderitaan, hidup yang sakit, harus
dipelihara. Maka penderitaan harus dapat diterima sebagai bagian kehidupan orang
percaya (Roma 5:3) termasuk penderitaan karena sakit.
Manusia lebih berharga daripada materi. Maka, materi harus melayani
kepentingan manusia (band. Matius 6, tentang khotbah di Bukit). Maka melakukan
Euthanasia demi untuk kepentingan apapun, termasuk penghematan ekonomi tidak
dibenarkan secara moral, terutama moral Kristen.
Mencabut hidup manusia memang secara moral adalah sangat keliru apapun
motifnya. Apalagi membantu seseorang untuk mengakhiri hidupnya, bagi orang
Kristen memang itu adalah kesalahan yang melawan Hukum Allah, tetapi tidak selalu
salah untuk mengizinkan seseorang mati, khususnya jika ini merupakan kematian
yang wajar. Jika kita mengizinkan kematian seseorang berlangsung dengan
menghentikan suplai makanan atupun air, maka ini disebut pembunuhan. Akan tetapi,
ketika menolak atau menghentikan alat-alat yang tidak wajar seperi jantung buatan
ataupun alat bantu ginjal itu tidak selalu salah, inilah yang disebut dengan Euthanasia
Pasif yang wajar.
Etika Kristen merupakan etika deontologi, yaitu suatu etika yang berpusat pada
kewajiban sehingga dalam hal ini Euthanasia yang dilakukan adalah mengacu pada
kewajiban atau hukum yang lebih tinggi berdasarkan peraturan-peraturan yang telah
dipertimbangkan secara rasional.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada
seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau
memperpendek umurnya sendiri. Orang yang menghendaki Euthanasia, walaupun
dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat
dikategorikan putus asa dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Demikian
juga para dokter yang melakukan Euthanasia bisa dikategorikan melakukan dosa
besar dan melawan kehendak Tuhan, yaitu memperpendek umur.
Berikut ini adalah contoh-contoh isi berbagai macam ayat alkitab atau penjelasan
yang mengarah tentang benar atau salahnya Euthanasia:
1. Tak ada orang yang mempunyai hak moral untuk membunuh manusia tak bersalah.
Kata Alkitab, “Jangan membunuh” (Kel. 20:30). “..dan seorang pun tidak ada yang
dapat melepaskan dari tangan-Ku” (Ul. 32:29). Ayub mengatakan, ”Tuhan memberi,
Tuhan yang mengambil” (Ayb. 1:21) dan Dia saja yang berhak mengambilnya (Ibr
9:27). Kesalahan Euthanasia Aktif adalah memainkan peranan sebagai Allah dan
bukan manusia. Bahkan Alkitab mengatakan bahwa kita bukanlah pencipta hidup kita.
Jadi, hidup kita bukanlah milik kita (Kis. 14:17; 17:24-25).
2. Bukan belas kasihan jika membunuh penderita. Membunuh bayi belum lahir sama
saja dengan Child Abuse. Membunuh bayi cacat atau kaum dewasa yang menderita
bukan menghindarkan dari kesengsaraan manusia, melainkan menyebabkan
penderitaan kematian. Bahkan Alkitab mengatakan, membunuh orang yang tak
bersalah bukan perbuatan baik, melainkan kejahatan (Kel 20:13).
3. Jika Euthanasia memperbolehkan membunuh dengan tujuan yang baik, maka
dengan membunuh pendukung Euthanasia dan aborsi, jutaan nyawa bisa
terselamatkan. Tetapi tidak akan ada pendukung Euthanasia yang
memperbolehkannya.
4. Dari penderitaan banyak dapat dipelajari. “Kita tahu bahwa kesengsaraan itu
menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji
mienimbulkan pengharapan” (Rm. 5:3-4). Yakobus berkata, “..anggaplah sebagai
suatu kebahagiaan , apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab
kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan”. Penderitaan
membentuk karakter, “tiap-tiap pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita,
tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan
damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibr. 12:11).
5. Tidak ada label harga pada hidup manusia. Yesus berkata, “ Apa gunanya seorang
memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” (Mrk.8:36). Suatu nyawa
manusia lebih berharga daripada apapun di dunia ini (Mat. 6:26). Pandangan
membunuh untuk menghemat uang adalah materialistis.
6. Tujuan tidak membenarkan cara.
7. Manusia bukanlah hewan. “..sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-
Nya sendiri” (Kej. 9:6).
Salah satu contoh kasus dalam Perjanjian Lama yang hampir menjadi kasus
Euthanasia adalah kasus Saul yang meminta kepada pembawa senjatanya untuk
menikamnya. Tetapi pembawa senjatanya tidak mau, karena segan. Kemudian Saul
mengambil pedang itu dan menjatuhkan dirinya ke atasnya (1 Samuel 31:4). Raja
Saul berada pada ambang keputus-asaan dan merasa sudah tidak ada jalan keluar
selain mengakhiri penderitaannya. Euthanasia diminta atau dilakukan karena alasan
tidak tahan menderita, baik karena penyakit (rasa sakit) maupun oleh penghinaan di
medan perang (rasa malu). Kasus Saul mirip dengan kasus Abimelekh (Hakim 9:54);
takut disiksa dan dipermalukan adalah alasan melakukan Euthanasia.
Kasus euthanasia adalah kasus kematian yang dipaksakan, dan hal ini masuk
dalam kategori pembunuhan. Dalam Keluaran 20:13, dengan tegas firman Tuhan
berkata “Jangan membunuh.” Dengan demikian, tidak ada alasan moral apapun yang
mengijinkan pembunuhan, dan manusia itu sendiri tidak memiliki hak untuk
menentukan kematiannya, karena kematian adalah hak Tuhan (Ulangan 32:39; Ayub
1:21; Ibrani 9:27). Jadi, dalam pedalaman alkitab sekalipun Euthanasia di pandang
sebagai pembunuhan yang di larang di alkitab dan di larang di dalam 10 perintah
Allah.
C. Menurut Kamus Hukum
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan Euthanasia menjadi beban tersendiri
bagi komunitas hukum. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif
memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan Euthanasia akan sangat
membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah
kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang kegiatan ini.
Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif
di Indonesia hanya dikenal satu bentuk Euthanasia, yaitu Euthanasia yang dilakukan
atas permintaan pasien/korban itu sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344
KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan “Barang siapa merampas nyawa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul bahwa pembunuhan
atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan
demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia Euthanasia tetap dianggap
sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di
Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun
atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan
tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir perlu dicermati
secara hukum. Secara yuridis formal kualifikasi kasus ini adalah pembunuhan biasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP
secara tegas dinyatakan, “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam,
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara
dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan
untuk menjerat pelaku Euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga
mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut
juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan
Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan
sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika
mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal
sembilan tahun”. Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan,
bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu
ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga
bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
Jenis-Jenis Euthanasia
Selain memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang, Euthanasia juga
memiliki banyak jenis yang dilihat dari berbagai segi. Beberapa diantaranya sebagai
berikut.
1. Dilihat dari Segi Pelakunya
Dilihat dari segi pelaku, Euthanasia memiliki dua jenis, yaitu:
a. Compulsary Euthanasia adalah bila orang lain memutuskan kapan hidup seseorang
akan berakhir. Orang tersebut bisa siapa saja, seperti dokter, atau bahkan masyarakat
secara keseluruhan. Kadang-kadang Euthanasia jenis ini disebut mercy killing
(penghilangan nyawa penuh belas kasih). Contohnya: dilakukan pada orang yang
menderita sakit mengerikan, seperti anak-anak yang menderita sakit cacat yang sangat
parah.
b. Voluntary euthanasia, artinya orang itu sendiri yang meminta untuk mengakhiri
hidupnya. Beberapa orang percaya bahwa pasien-pasien yang sekarat karena penyakit
yang tak tersembuhkan dan menyebabkan penderitaan yang berat hendaknya
diizinkan untuk meminta dokter untuk membantunya mati. Mungkin mereka dapat
menandatangani dokumen legal sebagai bukti permintaannya dan disaksikan oleh satu
orang atau lebih yang tidak mempunyai hubungan dengan masalah itu, untuk
kemudian dokter akan menyediakan obat yang dapat mematikannya. Pandangan
seperti ini diajukan oleh masyarakat Euthanasia sukarela.
2. Dilihat dari Segi Caranya
Dilihat dari sudut caranya, Euthanasia dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Euthanasia aktif adalah mempercepat kematian seseorang secara aktif dan
terencana, juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau
Euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri. Misalnya, dengan
memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida
atau menyuntikkan alat zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
b. Euthanasia non-agresif atau biasanya disebut juga dengan autoeuthanasia
(Euthanasia otomatis) yang termasuk kategori Euthanasia negatif yaitu dimana
seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan
medis dan si pasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek
atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah “codicil”
(pernyataan tertulis tangan). Auto-Euthanasia atau Euthanasia non-agresif pada
dasarnya adalah suaru praktik Euthanasia Pasif atas permintaan orang itu sendiri.
c. Euthanasia Pasif adalah pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak
dimulai, atau diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya, karena
pengobatan apa pun tidak berguna lagi. Misalnya, dokter yang tidak memberikan
bantuan oksigen kepada pasien yang sedang mengalami kesulitan dalam pernapasan
atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun
meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup
pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin
walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu
mengakibatkan kematian. Euthanasia Pasif ini sering kali secara terselubung
dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
3. Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin, Euthanasia dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu:
a. Euthanasia di luar kemauan pasien. Euthanasia di luar kemauan pasien yaitu
suatu tindakan yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup atau
bisa juga disebut juga dengan memaksa pasien untuk mengakhiri kehidupannya.
Tindakan Euthanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
b. Euthanasia secara tidak sukarela. Euthanasia semacam ini adalah yang sering kali
menjadi bahan perdebatan dan sering dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru
oleh siapa pun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau
tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan, misalnya statusnya hanyalah sebagai
seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi
sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk
mengambil keputusan bagi si pasien.
c. Euthanasia secara sukarela. Euthanasia secara sukarela ini dilakukan atas
persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan kontroversial.
Pro-Kontra Euthanasia
Dalam praktik euthanasia memang terjadi pro dan kontra dengan alasan-alasan
yang diberikan baik dari pihak yang pro akan euthanasia, maupun dari pihak yang
menentang euthanasia. Beberapa alasan yang diberikan oleh orang-orang yang pro
ataupun mendukung praktik euthanasia:
a. Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati secara terhormat. Maka seseorang
mempunyai hak untuk memilih cara kematiannya.
b. Adanya hak “privasi” yang secara legal melekat pada setiap orang. Ini berkaitan
dengan hak-hak yang dinikmati dalam hidup seseorang.
c. Euthanasia adalah dipandang sebagai tindakan belas kasihan / kemurahan bagi si
sakit (pasien). Sehingga tidak bertentangan dengan peri kemanusiaan dan justru
merupakan tindakan kebajikan.
d. Euthanasia juga dipandang sebagai tindakan belas kasih kepada keluarga pasien.
Dalam hal ini berkenaan dengan ekonomi dan beban biaya yang harus ditanggung.
Sedangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pihak yang menentang praktik
euthanasia adalah sebagai berikut:
a. Tidak ada alasan moral manapun yang mengizinkan seseorang melakukan
pembunuhan maupun bunuh diri.
b. Hak privacy tetap memiliki batas, yakni hak privacy orang lain. Dengan kata lain
bahwa seorang pasien yang memiliki hak privacy untuk meminta euthanasia, dibatasi
oleh hak orang lain (dokter/tim medis) yang tidak menginginkan atau tidak
menyetujui hal tersebut.
c. Sekalipun secara teori euthanasia dapat meringankan atau mengakhiri penderitaan,
euthanasia tetaplah merupakan suatu pembunuhan. Hal ini sama artinya dengan
menghalalkan segala cara untuk tujuan tertentu.
Saran
Dalam makalah ini, penulis memberikan saran kepada kepeda para pemberi
layanan kesehatan khususnya para dokter untuk tidak melakukan Euthanasia, karena
jika dilihat dari segi hak asasi manusia setiap orang berhak untuk hidup. Dan jika
dilihat dari segi agama, yang mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://tuhanyesus.org/euthanasia-menurut-agama-kristen
2. https://www.jw.org/id/ajaran-alkitab/pertanyaan/eutanasia/
3. http://coretangichalm.blogspot.com/2019/09/euthanasia-dalam-perspektif-
etika.html
4. http://ligutfer27octo1991.blogspot.com/2011/05/makalah-etika-euthanasia.html
5. http://nathanfaith.blogspot.com/2011/08/tinjauan-etika-kristen-terhadap.html
6. http://nurnilam-sarumaha.blogspot.com/2011/12/euthanasia-dan-pandangan-
alkitab.html
7. http://euthanasiatpa.blogspot.com/2012/03/faktor-faktor-euthanasia.html?m=1
8. http://etikakristeneuthanasia.blogspot.com/2012/03/pandangan-agama-kristen-
pada-euthanasia.html
9. http://chapizzta.blogspot.com/2013/10/euthanasia-ditinjau-dari-perspektif.html
10. https://www.kompasiana.com/siscopetra/5cf3bdfd95760e050f328fbb/euthanasia-
pandangan-agama-kristen-hukum-masyarakat?page=all