Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH EUTANASIA DALAM PANDANGAN ETIKA

KRISTEN

Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah Agama Kristen


Dosen Pengampu
Pdt. Bernard Sitorus, S. Th, M. Th

Oleh:
AWER RIDWIN SILALAHI
220310030

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS METODIST INDONESIA
2021
EUTANASIA DALAM PANDANGAN ETIKA KRISTEN
Dalam dunia yang semakin berkembang dengan tingkat kecanggihan ilmu
tekhnologi, khususnya dalam bidang kedokteran, timbul suatu pembahasan mengenai
apa yang disebut sebagai “Euthanasia”. Bagaimana hal ini dalam pemandangan etika
yang didasarkan kepada iman Kristen?
Definisi Etika
Istilah etika memiliki banyak variasi pengertian. Khususnya dalam penggunaan
secara umum berdasarkan beberapa tipe pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut
persoalan-persoalan etis. Contoh dari pemakaian istilah  dari etika berkenaan dengan
pertanyaan etis adalah pertanyaan tentang apa dan bagaimana kita harus berkelakuan
yang berkenaan dengan etika normatif dan moral.
Kata etika sendiri berasal dari beberapa kata dalam bahasa
yunani, eqoj (ethos) yang berarti kebiasaan, adat. hqoj (ethos) yang diartikan sebagai
kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan batin. Juga kata hqikos (ethikos) yang
berarti kecenderungan hati yang membuat seseorang melakukan perbuatan
Sedangkan dalam kamus terbaru bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai suatu
bidang ilmu yang berkenaan tentang yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral. Hal ini berkenaan dengan suatu penekanan pembelajaran tentang moral dan
tata nilai serta pengambilan keputusan tentang yang baik ataupun yang buruk. Selain
daripada itu, hal akan etika menuntut adanya kesadaran moral dalam tatanan
masyarakat secara luas. Kesadaran tersebut termasuk apa yang dilakukan manusia.
Kesadaran inilah yang disebut sebagai kesadaran etis, yakni kesadaran akan norma-
norma yang ada dalam diri manusia.
Berkenaan dengan arti definisi etika secara umum, lebih spesifik dalam etika
kristen, Douma memberikan definisi etika sebagai pertimbangan kelakuan atau
tingkah laku yang bertanggungjawab terhadap Allah dan terhadap sesama. Titik tolak
berpikir dalam etika kristen adalah iman kepada Tuhan yang telah menyatakan
diriNya melalui Tuhan Yesus Kristus. Dengan kata lain, etika kristen merupakan
tanggapan akan kasih Allah yang telah menyelamatkan kehidupan kita.
Definisi Euthanasia
Euthanasia berasal dari kata yunani eu (baik) dan Thanamos (kematian). Secara
etimologi, euthanasia diartikan sebagai mati dengan baik, mati bahagia, mati senang,
mati tenang, mati damai, mati tanpa penderitaan. Euthanasia dipahami sebagai suatu
tindakan yang dilakukan seseorang untuk membantu orang lain mengakhiri hidupnya
dengan sengaja, semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan orang tersebut.
Entah atas permintaan yang bersangkutan maupun atas permintaan wali / keluarganya.
Euthanasia diartikan juga sebagai tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk
mengakhiri hidup seseorang atas permintaannya sendiri. Atau juga diartikan sebagai
bantuan yang diberikan kepada seseorang untuk mati dengan tenang atas
permintaannya sendiri.
Didalam makalah ini, kita akan membahas suatu tindakan yang disebut
Euthanasia. Dalam kasus ini terdapat banyak pro dan kontra yang membingungkan
dan masih dicari jalan kebenarannya apakah tindakan Euthanasia adalah suatu
tindakan yang bijaksana atau suatu pembunuhan. Akan tetapi, dalam perkembangan
Euthanasia lebih menunjukan kegiatan membunuh karena belas kasihan.
Maka menurut pengertian umum sekarang ini, Euthanasia dapat diterangkan
sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupan penderita yang dianggap
sebagai suatu kesengsaraan bagi penderita. Jadi, dianggap bahwa kematian diatas
dasar pilihan rasional seseorang , yang dapat dianggap meringankan beban penderita
atau malah menghilangkan nyawa penderita tanpa persetujuan dari penderita itu
sendiri. Berikut adalah berbagai pengertian dari sudut pandang pihak-pihak tertentu.
Secara Etimologis
Istilah Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata “eu”
berarti baik, dan “thanatos” berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan
cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu, Euthanasia sering disebut juga
dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang). Jadi,
Euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk mati ini
secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan. Bagi yang
setuju menganggap Euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi, sementara
yang tidak setuju menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika
dan agama.

A. Menurut Para Ahli


Ada beberapa pengertian Euthanasia yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Diantaranya sebagai berikut:
1. Philo. Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik.
2. Suetonis. Penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul “Vita Ceasarum”
mengatakan bahwa Euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.
3. Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto. Euthanasia adalah suatu kematian
yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.

B. Menurut Alkitab
Kasih merupakan alasan bagi orang Kristen untuk mendasari segala sesuatu,
tetapi bukan belas kasihan yang menghalalkan segala cara demi orang yang kita
kasihi. Menghentikan kehidupan demi alasan kasih merupakan sebuah hal yang
sangat keliru. Kasih menuntut agar orang yang sakitnya tidak tersembuhkan
diperlakukan dengan semua belas kasihan yang mungkin diberikan, tetapi bukan
supaya kita mengambil nyawa orang itu bahkan atas permintaannya sendiri. Belas
kasihan menurut Alkitab adalah menenangkan orang yang akan binasa dengan zat
penenang atau minuman keras dan bukan membantunya bunuh diri (Ams.31:6-7).
Dalam Alkitab, penderitaan mempunyai fungsi yang positif dan konstruktif dalam
hidup manusia (Yakobus 1:2-4; Roma 5:3-4), penderitaan melahirkan ketekunan dan
pengharapan dan kesempurnaan hidup. Jika pro Euthanasia mengatakan bahwa
mengakhiri penderitaan seseorang adalah sikap murah hati, berarti penderitaan
dijadikan sebagai alat pembenaran praktek. Walaupun Euthanasia dapat mengakhiri
penderitaan, Euthanasia tetaplah suatu pembunuhan. Kalau penderitaan diakhiri
dengan Euthanasia, itu sama artinya menghalalkan segala cara untuk tujuan tertentu.
Hidup adalah pemberian Tuhan (Kejadian 2:7). Manusia menjadi makhluk hidup
setelah Tuhan Allah menghembuskan napas kehidupan kepadanya (band. Yehezkiel
37:9-10). Napas kehidupan diberikan Tuhan sehingga manusia memperoleh
kehidupan. Tugas manusia tidak lain kecuali memelihara kehidupan yang diberikan
oleh Tuhan (band. Perumpamaan dalam Efesus 5:29). Bukan hanya kehidupan yang
sehat, tetapi juga hidup yang dirundung oleh penderitaan, hidup yang sakit, harus
dipelihara. Maka penderitaan harus dapat diterima sebagai bagian kehidupan orang
percaya (Roma 5:3) termasuk penderitaan karena sakit.
Manusia lebih berharga daripada materi. Maka, materi harus melayani
kepentingan manusia (band. Matius 6, tentang khotbah di Bukit). Maka melakukan
Euthanasia demi untuk kepentingan apapun, termasuk penghematan ekonomi tidak
dibenarkan secara moral, terutama moral Kristen.
Mencabut hidup manusia memang secara moral adalah sangat keliru apapun
motifnya. Apalagi membantu seseorang untuk mengakhiri hidupnya, bagi orang
Kristen memang itu adalah kesalahan yang melawan Hukum Allah, tetapi tidak selalu
salah untuk mengizinkan seseorang mati, khususnya jika ini merupakan kematian
yang wajar. Jika kita mengizinkan kematian seseorang berlangsung dengan
menghentikan suplai makanan atupun air, maka ini disebut pembunuhan. Akan tetapi,
ketika menolak atau menghentikan alat-alat yang tidak wajar seperi jantung buatan
ataupun alat bantu ginjal itu tidak selalu salah, inilah yang disebut dengan Euthanasia
Pasif yang wajar.
Etika Kristen merupakan etika deontologi, yaitu suatu etika yang berpusat pada
kewajiban sehingga dalam hal ini Euthanasia yang dilakukan adalah mengacu pada
kewajiban atau hukum yang lebih tinggi berdasarkan peraturan-peraturan yang telah
dipertimbangkan secara rasional.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada
seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau
memperpendek umurnya sendiri. Orang yang menghendaki Euthanasia, walaupun
dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat
dikategorikan putus asa dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Demikian
juga para dokter yang melakukan Euthanasia bisa dikategorikan melakukan dosa
besar dan melawan kehendak Tuhan, yaitu memperpendek umur.
Berikut ini adalah contoh-contoh isi berbagai macam ayat alkitab atau penjelasan
yang mengarah tentang benar atau salahnya Euthanasia:
1. Tak ada orang yang mempunyai hak moral untuk membunuh manusia tak bersalah.
Kata Alkitab, “Jangan membunuh” (Kel. 20:30). “..dan seorang pun tidak ada yang
dapat melepaskan dari tangan-Ku” (Ul. 32:29). Ayub mengatakan, ”Tuhan memberi,
Tuhan yang mengambil” (Ayb. 1:21) dan Dia saja yang berhak mengambilnya (Ibr
9:27). Kesalahan Euthanasia Aktif adalah memainkan peranan sebagai Allah dan
bukan manusia. Bahkan Alkitab mengatakan bahwa kita bukanlah pencipta hidup kita.
Jadi, hidup kita bukanlah milik kita (Kis. 14:17; 17:24-25).
2. Bukan belas kasihan jika membunuh penderita. Membunuh bayi belum lahir sama
saja dengan Child Abuse. Membunuh bayi cacat atau kaum dewasa yang menderita
bukan menghindarkan dari kesengsaraan manusia, melainkan menyebabkan
penderitaan kematian. Bahkan Alkitab mengatakan, membunuh orang yang tak
bersalah bukan perbuatan baik, melainkan kejahatan (Kel 20:13).
3. Jika Euthanasia memperbolehkan membunuh dengan tujuan yang baik, maka
dengan membunuh pendukung Euthanasia dan aborsi, jutaan nyawa bisa
terselamatkan. Tetapi tidak akan ada pendukung Euthanasia yang
memperbolehkannya.
4. Dari penderitaan banyak dapat dipelajari. “Kita tahu bahwa kesengsaraan itu
menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji
mienimbulkan pengharapan” (Rm. 5:3-4). Yakobus berkata, “..anggaplah sebagai
suatu kebahagiaan , apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab
kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan”. Penderitaan
membentuk karakter, “tiap-tiap pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita,
tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan
damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibr. 12:11).
5. Tidak ada label harga pada hidup manusia. Yesus berkata, “ Apa gunanya seorang
memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” (Mrk.8:36). Suatu nyawa
manusia lebih berharga daripada apapun di dunia ini (Mat. 6:26). Pandangan
membunuh untuk menghemat uang adalah materialistis.
6. Tujuan tidak membenarkan cara.
7. Manusia bukanlah hewan. “..sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-
Nya sendiri” (Kej. 9:6).
Salah satu contoh kasus dalam Perjanjian Lama yang hampir menjadi kasus
Euthanasia adalah kasus Saul yang meminta kepada pembawa senjatanya untuk
menikamnya. Tetapi pembawa senjatanya tidak mau, karena segan. Kemudian Saul
mengambil pedang itu dan menjatuhkan dirinya ke atasnya (1 Samuel 31:4). Raja
Saul berada pada ambang keputus-asaan dan merasa sudah tidak ada jalan keluar
selain mengakhiri penderitaannya. Euthanasia diminta atau dilakukan karena alasan
tidak tahan menderita, baik karena penyakit (rasa sakit) maupun oleh penghinaan di
medan perang (rasa malu). Kasus Saul mirip dengan kasus Abimelekh (Hakim 9:54);
takut disiksa dan dipermalukan adalah alasan melakukan Euthanasia.
Kasus euthanasia adalah kasus kematian yang dipaksakan, dan hal ini masuk
dalam kategori pembunuhan. Dalam Keluaran 20:13, dengan tegas firman Tuhan
berkata “Jangan membunuh.” Dengan demikian, tidak ada alasan moral apapun yang
mengijinkan pembunuhan, dan manusia itu sendiri tidak memiliki hak untuk
menentukan kematiannya, karena kematian adalah hak Tuhan (Ulangan 32:39; Ayub
1:21; Ibrani 9:27). Jadi, dalam pedalaman alkitab sekalipun Euthanasia di pandang
sebagai pembunuhan yang di larang di alkitab dan di larang di dalam 10 perintah
Allah.
C. Menurut Kamus Hukum
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan Euthanasia menjadi beban tersendiri
bagi komunitas hukum. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif
memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan Euthanasia akan sangat
membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah
kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang kegiatan ini.
Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif
di Indonesia hanya dikenal satu bentuk Euthanasia, yaitu Euthanasia yang dilakukan
atas permintaan pasien/korban itu sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344
KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan “Barang siapa merampas nyawa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul bahwa pembunuhan
atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan
demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia Euthanasia tetap dianggap
sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di
Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun
atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan
tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir perlu dicermati
secara hukum. Secara yuridis formal kualifikasi kasus ini adalah pembunuhan biasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP
secara tegas dinyatakan, “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam,
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara
dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan
untuk menjerat pelaku Euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga
mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut
juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan
Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan
sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika
mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal
sembilan tahun”. Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan,
bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu
ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga
bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.

Jenis-Jenis Euthanasia
Selain memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang, Euthanasia juga
memiliki banyak jenis yang dilihat dari berbagai segi. Beberapa diantaranya sebagai
berikut.
1. Dilihat dari Segi Pelakunya
Dilihat dari segi pelaku, Euthanasia memiliki dua jenis, yaitu:
a. Compulsary Euthanasia adalah bila orang lain memutuskan kapan hidup seseorang
akan berakhir. Orang tersebut bisa siapa saja, seperti dokter, atau bahkan masyarakat
secara keseluruhan. Kadang-kadang Euthanasia jenis ini disebut mercy killing
(penghilangan nyawa penuh belas kasih). Contohnya: dilakukan pada orang yang
menderita sakit mengerikan, seperti anak-anak yang menderita sakit cacat yang sangat
parah.
b. Voluntary euthanasia, artinya orang itu sendiri yang meminta untuk mengakhiri
hidupnya. Beberapa orang percaya bahwa pasien-pasien yang sekarat karena penyakit
yang tak tersembuhkan dan menyebabkan penderitaan yang berat hendaknya
diizinkan untuk meminta dokter untuk membantunya mati. Mungkin mereka dapat
menandatangani dokumen legal sebagai bukti permintaannya dan disaksikan oleh satu
orang atau lebih yang tidak mempunyai hubungan dengan masalah itu, untuk
kemudian dokter akan menyediakan obat yang dapat mematikannya. Pandangan
seperti ini diajukan oleh masyarakat Euthanasia sukarela.
2. Dilihat dari Segi Caranya
Dilihat dari sudut caranya, Euthanasia dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Euthanasia aktif adalah mempercepat kematian seseorang secara aktif dan
terencana, juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau
Euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri. Misalnya, dengan
memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida
atau menyuntikkan alat zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
b. Euthanasia non-agresif atau biasanya disebut juga dengan autoeuthanasia
(Euthanasia otomatis) yang termasuk kategori Euthanasia negatif yaitu dimana
seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan
medis dan si pasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek
atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah “codicil”
(pernyataan tertulis tangan). Auto-Euthanasia atau Euthanasia non-agresif pada
dasarnya adalah suaru praktik Euthanasia Pasif atas permintaan orang itu sendiri.
c. Euthanasia Pasif adalah pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak
dimulai, atau diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya, karena
pengobatan apa pun tidak berguna lagi. Misalnya, dokter yang tidak memberikan
bantuan oksigen kepada pasien yang sedang mengalami kesulitan dalam pernapasan
atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun
meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup
pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin
walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu
mengakibatkan kematian. Euthanasia Pasif ini sering kali secara terselubung
dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
3. Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin, Euthanasia dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu:
a. Euthanasia di luar kemauan pasien. Euthanasia di luar kemauan pasien yaitu
suatu tindakan yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup atau
bisa juga disebut juga dengan memaksa pasien untuk mengakhiri kehidupannya.
Tindakan Euthanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
b. Euthanasia secara tidak sukarela. Euthanasia semacam ini adalah yang sering kali
menjadi bahan perdebatan dan sering dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru
oleh siapa pun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau
tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan, misalnya statusnya hanyalah sebagai
seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi
sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk
mengambil keputusan bagi si pasien.
c. Euthanasia secara sukarela. Euthanasia secara sukarela ini dilakukan atas
persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan kontroversial.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberlakuan Euthanasia


1. Rasa sakit yang tidak tertahankan
- Pro : Melihat salah satu anggota keluarganya menderita penyakit ganas yang
tidak kunjung sembuh merupakan kepedihan. Mereka tidak tega melihat pasien
tersebut tersiksa dengan rasa sakitnya. Oleh karena itu, mereka menyetujui untuk
melakukan euthanasia.
- Kontra : Rasa sakit yang tidak tertahankan bukanlah suatu alasan bagi
seseorang untuk memutuskan mengakhiri hidupnya. Kita boleh menghindari dari
rasa sakit itu, tetapi tidak berarti kita dapat menghalalkan segala cara.
Memutuskan untuk mati bukanlah cara yang tepat. Allah yang berhak untuk
memutuskan kehidupan dan kematian seseorang. Melalui situasi ini, seseorang
pun dapat mengambil suatu pembelajaran. Kondisi tersebut membuat iman kita
teruji, hubungan kita dengan Allah akan semakin dekat, kita pun juga akan
menjadi bergantung dan menyerahkan segala kehidupan kita kepadaNya. Allah
pasti memiliki rencana yang indah bagi semua orang.
2. Manusia memiliki hak untuk mati secara bermartabat
- Pro : Manusia telah menjalani proses kehidupan yang begitu panjang dan begitu
banyak pengalaman. Manusia melalui jalan kehidupannya karena pilihannya
sendiri di awal kehidupannya sehingga manusia pula yang akan memilih jalan
kehidupannya untuk mengakhiri hidupnya. Merupakan hak manusia untuk
memilih tetap hidup atau mengakhiri kehidupannya dengan damai, tanpa rasa
sakit.
- Kontra : Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak asasi
manusia, yaitu “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self
determination). Menurut masyarakat, manusia memiliki hak untuk menentukan
pilihannya sendiri untuk tetap hidup atau mati dengan tenang. Penolakan atas hak
untuk mati dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang wajib
dijunjung dan dihormati. Pandangan ini merupakan pandangan yang salah.
Memang manusia diberi hak untuk menentukan diri sendiri, tetapi bukan untuk
menentukan kapan kehidupannya berakhir. Manusia diberikan hak untuk
menentukan prinsip hidupnya, menentukan tujuan hidupnya tanpa hasutan dari
orang lain, menentukan sikap dan tingkah lakunya sendiri, tetapi bukan
menentukan kematiannya. Hidup atau mati merupakan kedaulatan Allah.
Allah adalah pencipta dan pemilik segala sesuatu (Kejadian 1:1, Mazmur 24:1),
termasuk manusia yang diciptakan menurut gambar-Nya (Kejadian 1:27). Allah
yang memberikan kita nafas dan hidup, maka Allahlah yang berhak
mencabutnya. Jika kita melakukan euthanasia, maka sama saja kita mendahului
kehendak Allah. Kita adalah manusia, bukan Allah.
3. Ketidakmampuan dalam pembiayaan pengobatan
- Pro : Biaya pengobatan tidak tergolong murah, apalagi jika pasien menderita
penyakit parah dan harus rawat inap di rumah sakit. Karena dana tidak cukup
untuk menutup semua biaya,akhirnya pasien memutuskan untuk melakukan
euthanasia.
- Kontra : Kita harus dapat membedakan antara ketidakmampuan dengan
ketidakmauan untuk membiayai pengobatan.Ketidakmauan untuk membiayai
pengobatan secara tidak langsung tergolong sebagai tindakan membunuh dan
merupakan tindakan dosa. Maksudnya, seseorang sadar bahwa ia mampu
membiayai pengobatan salah satu anggota keluarganya (walaupun tidak dalam
jumlah besar), tetapi ia tidak melakukannya dan membiarkannya. Hal ini
menandakan bahwa orang tersebut terlalu materialistik (terlalu cinta uang, gila
harta) hingga   menghiraukan nyawa seseorang. Ingatlah bahwa nyawa seseorang
lebih berharga daripada harta yang kita miliki. Kita tidak dapat membayar nyawa
dengan uang atau dengan apa pun juga. Jika seseorang membiayai seluruh
pengobatan yang dijalani oleh salah satu anggota keluarganya, tetapi suatu ketika
uang yang dimilikinya habis sehingga ia memberhentikan  pengobatan medis dan
memutuskan untuk merawatnya sendiri di rumah merupakan tindakan yang tidak
tergolong dosa. Orang tersebut sadar bahwa ia mampu dan ia memberikan
yang terbaik untuk kesehatan salah satu anggota keluarganya tersebut. Ia tidak
mementingkan dirinya sendiri, tetapi rela berkorban untuk kebahagiaan orang
lain. Yang terpenting ialah ia sadar dan berusaha semaksimal mungkin demi
kepentingan orang lain, bukan harta. 
4. Keadaan seseorang yang tidak berbeda dengan orang mati
- Pro : Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. James Dubois dari Universitas
SaintLouis dan Tracy Schmidt dari Intermountain Donor Service, sekitar 84%
dari seluruh warga Amerika setuju dengan pendapat bahwa seseorang dapat
dikatakan mati apabila yang membuatnya tetap bernafas adalah obat-obatan dan
mesin medis. Hal ini menjadi alasan beberapa orang untuk melakukan euthanasia.
Mereka berpikir bahwa seseorang yang hanya bernafas karena bantuan mesin
tersebut sudah tidak menunjukkan adanya suatu interaksi dengan orang lain atau
respons dan secara kebetulan bisa bernafas karena kecanggihan dari penerapan
teknologi saja sehingga tidak ada salahnya untuk melakukan euthanasia karena
pada dasarnya orang tersebut sudah mati sehingga dengan kata lain kita tidak
mencabut nyawa seseorang.
- Kontra : Sebenarnya walaupun seorang pasien tidak dapat berinteraksi (dalam 
keadaan coma), orang tersebut tetap dikatakan hidup karena masih dapat bernafas,
meskipun hanya karena bantuan dari mesin medis. Selama orang tersebut dapat
bernafas dan jantungnya berdetak,orang tersebut dikatakan hidup. Jantung ini
adalah organ yang memompa darah ke seluruh tubuh. Ketika jantung ini tidak
berfungsi, darah tidak akan mengalir dan kondisi inilah yang disebut dengan
kematian. Walaupun orang tersebut tidak lagi memberikan respon,jika
orang tersebut masih dapat makan, minum, dan bernafas, maka ia tetap dikatakan
hidup karena sumber energi kehidupan manusia berasal dari ketiga aktivitas
tersebut. 

Pro-Kontra Euthanasia
Dalam praktik euthanasia memang terjadi pro dan kontra dengan alasan-alasan
yang diberikan baik dari pihak yang pro akan euthanasia, maupun dari pihak yang
menentang euthanasia.  Beberapa alasan yang diberikan oleh orang-orang yang pro
ataupun mendukung praktik euthanasia:
a. Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati secara terhormat. Maka seseorang
mempunyai hak untuk memilih cara kematiannya.
b. Adanya hak “privasi” yang secara legal melekat pada setiap orang. Ini berkaitan
dengan hak-hak yang dinikmati dalam hidup seseorang.
c. Euthanasia adalah dipandang sebagai tindakan belas kasihan / kemurahan bagi si
sakit (pasien). Sehingga tidak bertentangan dengan peri kemanusiaan dan justru
merupakan tindakan kebajikan.
d. Euthanasia juga dipandang sebagai tindakan belas kasih kepada keluarga pasien.
Dalam hal ini berkenaan dengan ekonomi dan beban biaya yang harus ditanggung.
Sedangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pihak yang menentang praktik
euthanasia adalah sebagai berikut:
a. Tidak ada alasan moral manapun yang mengizinkan seseorang melakukan
pembunuhan maupun bunuh diri.
b. Hak privacy tetap memiliki batas, yakni hak privacy orang lain. Dengan kata lain
bahwa seorang pasien yang memiliki hak privacy  untuk meminta euthanasia, dibatasi
oleh hak orang lain (dokter/tim medis) yang tidak menginginkan atau tidak
menyetujui hal tersebut.
c. Sekalipun secara teori euthanasia dapat meringankan atau mengakhiri penderitaan,
euthanasia tetaplah merupakan suatu pembunuhan. Hal ini sama artinya dengan
menghalalkan segala cara untuk tujuan tertentu.

Penyebab Terjadinya Euthanasia


Setiap kegiatan Euthanasia pasti dilatarbelakangi oleh berbagai macam alasan
atau penyebab. Alasan-alasan ini muncul karena terdapat beberapa masalah yang
dihadapi oleh orang yang akan di Euthanasia. Berikut adalah beberapa penyebab atau
alasan Euthanasia terjadi atau dilakukan:
a. Proses pembunuhan
Pasien yang mengalami penderitaan sakit yang sangat sering muncul rasa “putus
asa” apalagi kalau ia tahu bahwa sakitnya tidak bisa disembuhkan. Maka ia berpikir
lebih baik “cepat mati” saja sehingga penderitaannya berakhir dan tidak membebani
keluarganya, ia akan “meminta” dokter supaya disuntik mati saja. Jika yang meminta
Euthanasia itu adalah pasiennya sendiri berarti yang dilakukan adalah “tindakan
bunuh diri”. Sedangkan bila pasiennya sudah tidak sadarkan diri dan koma dengan
waktu yang cukup lama, dan yang meminta Euthanasia itu keluarganya berarti yang
dilakukan adalah “membunuh”. Hal itu nampaknya sebagai “pertolongan”
membebaskan penderitaan yan menyakitkan. Tetapi Euthanasia adalah perbuatan
“membunuh”, karena hak yang menentukan kematian adalah Tuhan, bukan manusia,
dan bukan pula dokter. Pasien atau keluarga yang meminta dan dokter yang
melakukan Euthanasia berarti ia yang “melakukan pembunuhan atau bunuh diri”.
b. Melanggar sumpah dokter
Dokter dalam sumpah pelantikannya adalah wajib berupaya untuk menolong dan
menyembuhkan pasien “semaksimal” mungkin, demi untuk “memperpanjang”
hidupnya, bukan menghentikan hidup pasiennya apapun alasannya. Panggilan dokter
adalah “mengabdikan diri” kepada kelangsungan kehidupan manusia. Terhadap
permintaan Euthanasia, seorang dokter harus berani “menolaknya” dengan tegas,
tanpa perlu pertimbangan-pertimbangan rasa kasihan yang dapat membuat goyah
pendiriannya.
c. Kehabisan biaya
Sering kali permintaan Euthanasia bisa terjadi karena keluarganya sudah
“kehabisan biaya”, harta dan rumahnya sudah terjual semua, sedangkan kondisi
pasiennya tidak ada kemajuan bahkan semakin memburuk atau sudah koma.
Permintaan Euthanasia bisa datang dari keluarga, karena pasien sudah tidak sadar.
Memang kelihatannya perbuatan Euthanasia adalah “perbuatan baik” yang menolong
seseorang dari penderitaan dan kesulitan biaya keluarganya, namun tetap itu adalah
sebuah “pembunuhan”.
d. Serahkan pada Tuhan
Bagi umat Kristen yang anggota keluarganya menjadi pasien terminal atau sakit
yang sudah tidak dapat disembuhkan. Di mana keluarganya mengalami kesulitan
membiayai pengobatan di rumah sakit, atau alasan lainnya. Maka yang dapat
dilakukan orang percaya adalah bila keluarga sudah ikhlas kalau pasien berpulang,
maka undang gembalanya mengadakan ibadah bersama “doa penyerahan” kepada
Tuhan, mohon segera dipanggil pulang agar pasien terbebas dari penderitaannya,
tetapi kalau Tuhan kehendaki untuk tetap hidup, mohon bebaskanlah dengan segera
dari penyakitnya, ya Tuhan Yesus. Amin. Tuhan Yesus yang penuh kasih akan
“menjawabnya”!
 
 Euthanasia Dalam Pandangan Alkitab
Alkitab tidak secara khusus membahas tentang eutanasia. Tapi, Alkitab
memberikan penjelasan tentang kehidupan dan kematian. Kita tidak boleh
menyebabkan orang lain meninggal. Tapi, jika seseorang sudah hampir meninggal,
kita tidak perlu berusaha mati-matian untuk memperpanjang kehidupannya.
Alkitab mengatakan bahwa Allah adalah Pencipta kita. Dia adalah ”sumber
kehidupan”. (Mazmur 36:9; Kisah 17:28) Di mata Allah, kehidupan sangatlah
berharga. Karena itu, Allah melarang kita membunuh orang lain ataupun melakukan
bunuh diri. (Keluaran 20:13; 1 Yohanes 3:15) Selain itu, Alkitab meminta kita untuk
melakukan tindakan pencegahan untuk melindungi kehidupan kita dan orang lain.
(Ulangan 22:8) Jelaslah, Allah ingin kita menghargai kehidupan.
Bagaimana jika seseorang sakit parah?
Alkitab melarang kita mengakhiri kehidupan orang lain meski orang itu sakit
parah dan hampir meninggal. Perhatikan kisah Saul, raja Israel. Saat dia terluka parah
di tengah peperangan, dia meminta salah satu pengawalnya untuk membunuhnya. (1
Samuel 31:3, 4) Pengawal itu menolak. Tapi, ada seseorang yang mengaku telah
memenuhi permintaan Saul itu. Daud sangat marah dan pria itu dianggap berutang
darah. Sikap Daud itu mencerminkan sikap Yehuwa. 2 Samuel 1:6-16.
Apakah kita harus berusaha mati-matian untuk memperpanjang kehidupan?
Alkitab tidak mengharuskan kita untuk memperpanjang kehidupan seseorang
yang sudah hampir mati. Sebaliknya, Alkitab memberikan penjelasan yang bagus.
Kematian adalah musuh kita. Kematian disebabkan oleh dosa. (Roma 5:12; 1
Korintus 15:26) Tapi, kita tidak perlu takut terhadap kematian, karena Allah berjanji
untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah meninggal. (Yohanes 6:39, 40)
Kita menghargai kehidupan dengan mencari pengobatan yang terbaik. Tapi, itu bukan
berarti kita harus memilih jenis pengobatan yang tujuannya hanya untuk menunda
waktu kematian seseorang yang sudah hampir mati.
Apakah bunuh diri adalah dosa yang tidak bisa diampuni?
Tidak, Alkitab tidak menyebutkan bahwa bunuh diri adalah dosa yang tidak bisa
diampuni. Meski bunuh diri adalah dosa yang besar, * Allah mengerti bahwa hal-hal
seperti gangguan mental, stres berat, atau bahkan pengaruh genetik bisa membuat
seseorang bunuh diri. (Mazmur 103:13, 14) Melalui Alkitab, Allah menghibur orang-
orang yang tertekan seperti itu. Alkitab mengatakan bahwa akan ada ”kebangkitan
bagi orang-orang yang benar maupun yang tidak benar”. (Kisah 24:15) Ini
menunjukkan bahwa orang yang melakukan kesalahan besar, seperti bunuh diri,
punya harapan untuk dibangkitkan.
Bagaimana dengan eutanasia hewan peliharaan?
Eutanasia hewan sangat berbeda dengan eutanasia manusia. Allah memberikan
harapan kehidupan abadi kepada manusia, tapi tidak kepada hewan. (Roma 6:23; 2
Petrus 2:12) Meskipun Alkitab melarang kita memperlakukan hewan dengan kejam,
kita boleh membunuh hewan dengan tujuan yang benar. (Kejadian 9:3) Allah ingin
agar manusia merawat hewan peliharaan dengan baik. Jadi, si pemilik hewan itu harus
bertanggung jawab untuk memperlakukan hewan peliharaannya dengan cara yang
paling manusiawi. Itu bisa jadi termasuk mengakhiri nyawa hewan peliharaannya
supaya hewan itu tidak terus-menerus menderita. Amsal 12:10.

Euthanasia dalam Hukum Taurat


Sering kali ada banyak umat Kristen yang berada dalam posisi kurang
menyenangkan. Termasuk profesi dokter yang sering dihadapkan pada keputusan
euthanasia atau tidak. Hal ini memang susah untuk dilakukan, mengingat pandangan
euthanasia menurut agama Kristen yang tidak jelas dan abu-abu. Tentunya hal
tersebut sangat penting dipahami oleh kalangan kedokteran yang percaya pada
Alkitab. Dalam Keluaran 20: 13 dikatakan “Jangan Membunuh”. Inilah firman yang
jelas diperkatakan Allah pada setiap orang yang percaya kepadaNya. Oleh karena itu
apapun alasannya sebaiknya hindari perilaku dan tujuan pembunuhan dalam bentuk
apapun. Sama halnya dengan hukum aborsi menurut agama Kristen, maka euthanasia
juga bukan hal yang Allah kehendaki. Berdoa dan minta yang terbaik. Jika Allah
memandang orang tersebut waktunya berpulang tentu Tuhan akan ambil nyawanya.
Jika Tuhan pandang hidup seseorang masih harus jadi berkat, maka Tuhan akan
perpanjang hidupnya. Bagaimanapun ingatlah bahwa rancangan Tuhan adalah yang
terbaik dan bukan rancangan kecelakaan.
Kesimpulan
Dari pembahasan ini, penulis menyimpulkan bahwa:
1. Jika dilihat dari  etimologi katanya, maka euthanasia sebenarnya tidak bertentangan
dengan pandangan Alkitab.
2. Euthanasia menjadi sesuatu yang tidak dapat dibenarkan ketika kemudian ada
campur tangan orang lain didalamnya. Hak untuk mematikan dan menghidupi
seseorang adalah hak Tuhan. Jika seseorang melakukan euthanasia, maka ia sudah
melanggar kedaulatan Tuhan.
3. Seseorang yang berada dalam situasi sulit sekalipun harus mencari kehendak Tuhan
dan tugas orang Kristen/orang percaya untuk menghibur dan meyakinnya untuk
menghadapi kematian dengan sukacita.
4. Ibrani 12:2-3 berkata: “Marilah kita melakukannya dengan mata tertuju kepada
Yesus, yang memimpin kita ke dalam iman dan yang membawa iman kita itu kepada
kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti
sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta
Allah. Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu
terhadap diriNya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah
dan putus asa.”

Saran
Dalam makalah ini, penulis memberikan saran kepada kepeda para pemberi
layanan kesehatan khususnya para dokter untuk tidak melakukan Euthanasia, karena
jika dilihat dari segi hak asasi manusia setiap orang berhak untuk hidup. Dan jika
dilihat dari segi agama, yang mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://tuhanyesus.org/euthanasia-menurut-agama-kristen

2. https://www.jw.org/id/ajaran-alkitab/pertanyaan/eutanasia/

3. http://coretangichalm.blogspot.com/2019/09/euthanasia-dalam-perspektif-

etika.html
4. http://ligutfer27octo1991.blogspot.com/2011/05/makalah-etika-euthanasia.html

5. http://nathanfaith.blogspot.com/2011/08/tinjauan-etika-kristen-terhadap.html

6. http://nurnilam-sarumaha.blogspot.com/2011/12/euthanasia-dan-pandangan-

alkitab.html
7. http://euthanasiatpa.blogspot.com/2012/03/faktor-faktor-euthanasia.html?m=1

8. http://etikakristeneuthanasia.blogspot.com/2012/03/pandangan-agama-kristen-

pada-euthanasia.html
9. http://chapizzta.blogspot.com/2013/10/euthanasia-ditinjau-dari-perspektif.html

10. https://www.kompasiana.com/siscopetra/5cf3bdfd95760e050f328fbb/euthanasia-

pandangan-agama-kristen-hukum-masyarakat?page=all

Anda mungkin juga menyukai