Anda di halaman 1dari 168

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Mochamad Arief Pratomo, SH., MH.


Lahir : Jakarta, 2 September 1969
Alamat : Jl. Asoka No 115

Riwayat Pendidikan:
1. D3 Akademi Litigasi Indonesia Pengayoman 1994
2. Universitas Diponegoro Semarang 1999
3. Magister Hukum Universitas Diponegoro Semarang
2012
Riwayat Pekerjaan:
4. Calon Hakim PTUN Semarang 2000 s/d 2003
5. Hakim PTUN Kendari 2003 s/d 2007
6. Hakim PTUN Mataram 2007 s/d 2010
7. Hakim PTUN Semarang, 2010 s/d 2013
8. Hakim PTUN Surabaya, 2013 s/d 2016
9. Hakim PTUN Jakarta, 2016 s/d 2020
10. Hakim PTUN Medan per 6 Juli 2020
Telp: 082122528991/081341666671
HUKUM ACARA
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
(HAPTUN)
(Setelah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum, dan PERMA Nomor 4 Tahun 2015
tentang Tata cara Permohonan Penyalahgunaan Wewenang,
PERMA Nomor 8 Tahun 2017 tentang Tata Cara Permohonan
Keputusan (fiktif positif), dan PERMA 5 Tahun 2017 tentang Tata
Cara Sengketa Proses Pemilu )

haptun/a.tirtairawan/2016 2
BAB I
PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR
DALAM PERADILAN TATA USAHA
NEGARA

haptun/a.tirtairawan/2016 3
Kekuasaan Kehakiman Menurut UUD 1945
setelah Amandemen
• Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung beserta empat lingkungan
peradilan di bawahnya yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata usaha Negara, serta oleh
Mahkamah Konstitusi.

haptun/a.tirtairawan/2016 4
Sumber Hukum
1. SECARA MATERIIL :UU NO. 5 TAHUN 1986 juncto UU NO. 9 TAHUN
2004, juncto UU No.51 Tahun 2009, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan dan semua peraturan perundangan yang
bersifat publik di bidang administrasi/tata usaha negara dalam rangka
pelayanan publik, serta Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
(algemeen beginselen van behorlijk bestuur)
2. SECARA FORMIL/HUKUM ACARA :
 UU NO. 5 TAHUN 1986 juncto UU NO. 9 TAHUN 2004, juncto UU No.51 Tahun
2009;
 UU SEKTORAL : KIP, UU PEMILU, PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN
UMUM, UU LINGKUNGAN HIDUP;
 PERATURAN MAHKAMAH AGUNG;
 SURAT EDARAN MA;

haptun/a.tirtairawan/2016 5
PERANAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Peradilan Tata Usaha Negara berperan sebagai


salah satu pilar negara hukum;
Negara Hukum Didasarkan pada:
1. Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia
2. Pemerintah berdasarkan hukum;
3. Adanya Peradilan Administrasi;

haptun/a.tirtairawan/2016 6
FUNGSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA :
• Mengadili (Memeriksa, Memutus Dan Menyelesaikan)
Sengketa Tata Usaha Negara ;
• Melakukan Perlindungan Pada Masyarakat Dan Anggota
Masyarakat Terhadap Tindakan Melanggar Hukum Atau
Tindakan Sewenang-wenang Pejabat/Penguasa;
• Melakukan Kontrol yuridis terhadap Pemerintah (Badan
atau Pejabat TUN);
• Melakukan perlindungan terhadap keputusan badan atau
pejabat TUN sebagai perwujudan kepentingan masyarakat
secara keseluruhan;
• Tugas/Peranan Lain Menurut Perundang-undangan Yang
Berlaku.

haptun/a.tirtairawan/2016 7
KONTROL

Kontrol Kontrol
Juridis Non – Juridis

- Kontrol Intern -Kontrol Intern


-Pemberian Izin
-Pengawasan/Inspektur
-Prosedur Keberatan -Prosedur Keberatan
Administrasi Administrasi
-Kuasi Pengadilan -Kuasi Pengadilan
(Banding Administrasi) (Banding Administrasi)

- Kontrol Ekstern - Kontrol Extern

- Pengadilan Negeri (OOD) -Bidang Keuangan (BPK)


- Pengadilan Khusus -Bidang Politik (MPR &
- PTUN DPR);
-KPKPN; TGPTPK
-Bidang Masyarakat:
Ombudsman, LSM-LSM
(ICW, GOWA…dsb);
dan Mass Media.
haptun/a.tirtairawan/2016 8
BERBAGAI KONTROL TERHADAP
PERBUATAN – PERBUATAN PEMERINTAH

DPR KEWIBAWAAN

- CONTROL POLITIK MPR PEMERINTAH BISA

MASS MEDIA BERKURANG

- CONTROL Informasi yang diberikan masyarakat secara Pro aktif


MASYARAKAT atau melalui lembaga swadaya masyarakat

- CONTROL ADMINISTRATIF

 RECOUR GRACIEUX
 RECOUR HIERARCHIQUE - PERATUN
 WASKAT
 INSPEKTORAT JENDERAL - PN. PIDANA
( IR-JEN )

- CONTROL YURIDIS - - PN. PERDATA

- PERATUN

HANYA MENYANGKUT SEGI RECHMATIHEID


BUKAN DOELMATIHEID

haptun/a.tirtairawan/2016 9
APA YANG DIUJI DI PTUN?
Pengujian hukum yang dilakukan di PTUN terhadap
sebuah Keputusan bersifat marginal toetsing, dan
berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UU 30/2014,
pengujian yang dilakukan di PTUN dilakukan
terhadap keputusan objek sengketa ditinjau dari
aspek:
1. kewenangan;
2. Prosedur;
3. Substansi
haptun/a.tirtairawan/2016 10
BAB II
ASAS-ASAS HUKUM ADMINISTRASI YANG
MELANDASI HUKUM ACARA PERADILAN TATA
USAHA NEGARA

haptun/a.tirtairawan/2016 11
Asas dualisme perlindungan

 Peradilan tata usaha negara lahir ditujukan selain untuk


melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa, ia
ditujukan pula untuk melindungi keberlangsungan pembangunan
yang merepresentasikan kepentingan publik dan rakyat secara
keseluruhan. Karenanya, PTUN tidak hanya memberikan
perlindungan terhadap masyarakat atau justicia bellen dari
kesewenang-wenangan Penguasa, tetapi juga memberikan
perlindungan terhadap keputusan tata usaha negara.

haptun/a.tirtairawan/2016 12
Penerapan Asas Dualisme Perlindungan

• Prosedur dismissal; Pasal 62 UU PERATUN


• Putusan Gugur; Pasal 71 UU PERATUN
• Tidak dikenal putusan verstek; Pasal 72 UU
PERATUN
• Tenggang waktu 90 hari mengajukan gugatan;
Pasal 55 UU PERATUN.
• Ketatnya syarat dan prasyarat penundaan
(schorsing)
haptun/a.tirtairawan/2016 13
Asas Kompensasi Atas
Kedudukan Yang Tidak Seimbang
• Subjek yang bersengketa di PTUN berada pada
kedudukan yang tidak seimbang
(ongelijkwaardigheid van partijen) , di satu sisi
orang atau badan hukum perdata selaku penggugat
dan di lain sisi Badan atau Pejabat TUN. Karenanya,
untuk menjamin kesamaan kedudukan para pihak
dalam persidangan sesuai dengan asas equality
before the law, maka diterapkanlah asas
kompensasi atas kedudukan yang tidak seimbang
tersebut.
haptun/a.tirtairawan/2016 14
Penerapan Asas Kompensasi Atas
Kedudukan Yang Tidak Seimbang

Penerapannya:
• Adanya Pemeriksaan persiapan; Pasal 63
• Penggugat dapat beracara secara cuma-cuma; Pasal 60
dan 61 yang berlaku sejak tingkat pertama sampai
kasasi;
• Pemeriksaan surat yang dipegang oleh Badan atau
Pejabat TUN; Pasal 85
• Hakim menentukan beban pembuktian; Pasal 107
• Acara cepat; Pasal 98 dan 99
• Tidak dikenal lembaga gugatan balik/rekonvensi
haptun/a.tirtairawan/2016 15
Asas Adanya Kepentingan sebagai Dasar
Timbulnya Hak Gugat
berdasarkan ketentuan Pasal 53 UU
PERATUN, Hak untuk menggugat (legal
standing) di PTUN tidak didasarkan pada
adanya hak Penggugat sebagaimana
peradilan perdata, melainkan didasarkan
adanya kepentingan sebagaimana dimaksud
dalam asas Point D’interet Point D’action/ No
Interest No Action/Geen Prosessual belang
geen recht singang
haptun/a.tirtairawan/2016 16
Asas Point D’interet Point D’action/ No
Interest No Action

Penerapannya:
• Kepentingan sebagai norma yang harus
dilindungi oleh hukum; yang meliputi
kepentingan langsung dan kepentingan individu,
serta
• Kepentingan untuk berproses; yang berarti agar
gugatan yang diajukan harus memiliki tujuan
tertentu. Menggugat tanpa ada tujuan yang
jelas tidak dibolehkan.
haptun/a.tirtairawan/2016 17
Asas relatifnya pemberian kuasa
Penerapannya:
• Tidak ada kewajiban memberikan kuasa; Pasal 57

• Jikapun ada kuasanya, Hakim berwenang


memerintahkan kedua belah pihak datang menghadap
sendiri di persidangan; Pasal 58

• Pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara


tertulis disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut
dinyatakan batal oleh Pengadilan; Pasal 84
haptun/a.tirtairawan/2016 18
Asas praesumptio iustae causa
Disebut juga asas vermouden van rechtmatig
Penerapannya:
• praduga bahwa sebuah keputusan tata usaha negara
diterbitkan sesuai dengan hukum sepanjang belum dibuktikan
sebaliknya

• penundaan (schoorsing) adalah


“pengecualian/penyimpangan” terhadap asas praesumptio
iustae causa.

Pasal 67

haptun/a.tirtairawan/2016 19
Asas menemukan kebenaran materiil
(materiil waarheid)
Pasal 107 UU PERATUN
Penerapannya:
• Pembuktian mengarah pada pembuktian bebas
terbatas (vrij bewijs)
• Pihak yang mendalilkan tidak selalu wajib
membuktikan;
• Pihak yang memiliki bukti formil tidak selalu dapat
disimpulkan memiliki kekuatan pembuktian yang
lebih kuat terhadap lawannya yang tidak memiliki
bukti formil
haptun/a.tirtairawan/2016 20
Asas Hakim Aktif (dominus litis principe)
Penerapannya:
• Hakim wajib memberi nasihat untuk memperbaiki gugatan dan
melengkapinya dengan data yang diperlukan.
• Hakim Ketua Sidang berhak di dalam sidang memberikan petunjuk
kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan
alat bukti yang dapat digunakan dalam sengketa. Pasal 80
• Hakim Ketua Sidang dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap
surat yang dipegang oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Pasal 85
• Hakim karena jabatannya dapat menarik pihak ketiga yang
berkepentingan untuk masuk sebagai pihak Intervensi dalam
sengketa yang sedang diperiksa. Pasal 83
• Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan dan siapa yang
dibebani pembuktian. Pasal 107 beserta penjelasannya.
haptun/a.tirtairawan/2016 21
Asas erga omnes
Putusan PTUN tidak hanya mengikat bagi para pihak yang bersengketa
(inter partes) sebagaimana yang berlaku pada peradilan perdata,
namun pada prinsipnya bersifat erga omnes, mengikat bagi publik.
Penerapannya:
• Sebuah keputusan tata usaha negara yang telah diuji
keabsahan dan kebenarannya di peradilan atau sebuah
keputusan yang diterbitkan atas dasar hasil pemeriksaan
peradilan tidak lagi dapat diajukan sebagai objek gugatan.
Pasal 2 huruf e.
• Asas erga omnes dalam praktiknya dapat disimpangi dengan
masuknya pihak ketiga yang berkepentingan selaku pihak
intervensi dalam perkara yang sedang diperiksa. Pasal 83.

haptun/a.tirtairawan/2016 22
ASAS EX TUNC
Asas Ex Tunc berarti pemeriksaan atas KTUN objek
sengketa dilakukan berdasarkan peraturan perundang-
undangan ( juga keadaan) yang berlaku saat diterbitkannya
KTUN tersebut.
Contoh: seorang Penggugat mengajukan gugatan terhadap
SHM yang diterbitkan pada tanggal 10 Oktober 1990, dan
dicatat dalam register perkara Nomor 1/G/2018/PTUN…..
Tanggal 24 Agustus 2018. meskipun baru digugat saat ini,
namun aturan dasar yang digunakan bukan PP 24/1997
tentang Pendaftaran Tanah, melainkan PP 10/1961.

haptun/a.tirtairawan/2016 23
BAB III
RUANG LINGKUP KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN TATA
USAHA NEGARA
SETELAH BERLAKUNYA UUAP 30/2014

haptun/a.tirtairawan/2016 24
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
(OBJEK SENGKETA)
Pasal 1 angka 9 UU PERATUN menyatakan
bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah:
1. Suatu penetapan tertulis;
2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
3. Berisikan tindakan hukum TUN;
4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
5. Bersifat: Kongkret, Individual dan Final;
6. Menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau
badan hukum perdata;
haptun/a.tirtairawan/2016 25
Keputusan yang dikecualikan bukan Merupakan Kewenangan
PTUN (Pasal 2 UU PERATUN)

a. Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata;


b. Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP
dan KUHAP atau peraturan-peraturan lain yang bersifat hukum
pidana;
e. Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
Badan Peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku.
f. Keputusan TUN mengenai tata usaha TNI
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat mapun di daerah
mengenai hasil pemilu.

haptun/a.tirtairawan/2016 26
KEPUTUSAN FIKTIF/NEGATIF
Pasal 3
1. Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, padahal itu

kewajibannya, maka sikap diam pejabat tersebut disamakan dengan Keputusan TUN;

2. Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon dalam jangka waktu

yang ditentukan peraturan per-UU-an disamakan dengan Mengeluarkan keputusan

penolakan

3. Dalam hal Peraturan per-UU-an tidak menentukan jangka waktu, setelah lewat 4 bln

sejak permohonan diterima, maka pejabat TUN tersebut dianggap telah mengeluarkan

keputusan penolakan

haptun/a.tirtairawan/2016 27
Pengadilan tidak berwenang mengadili dalam
keputusan TUN YANG JIKA dikeluarkan: (Pasal 49) :

A. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana

atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

B. Dalam keadaan yang mendesak untuk “kepentingan umum”

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

haptun/a.tirtairawan/2016 28
PERKEMBANGAN KOMPETENSI PTUN
SETELAH UUAP NOMOR 30/2014
1. Perubahan pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara
Pasal 1 angka 7 UUAP Nomor 30/2014: Keputusan
Administrasi Pemerintahan yang juga disebut
Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan
Administrasi Negara yang selanjutnya disebut
Keputusan adalah ketetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
haptun/a.tirtairawan/2016 29
PERKEMBANGAN KOMPETENSI PTUN
SETELAH UUAP NOMOR 30/2014
2. Perluasan makna Keputusan Tata Usaha Negara
Pasal 87 UUAP Nomor 30/2014: Keputusan Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam UU PERATUN harus dimaknai
sebagai:
a. Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggaran negara
lainnya;
c. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AAUPB;
d. Bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat

haptun/a.tirtairawan/2016 30
PERBANDINGAN PENGERTIAN KEPUTUSAN
ANTARA UU PERATUN DAN UUAP
KEPUTUSAN TUN dalam UU PERATUN • KTUN berdasarkan pasal 1 angka 7 UUAP:
a. Keputusan TUN yang merupakan perbuatan ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
hukum perdata; Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
b. Keputusan TUN yang merupakan pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
yang bersifat umum; • Perluasan makna KTUN berdasarkan Pasal
c. Keputusan TUN yang masih memerlukan 87 UUAP
persetujuan;
a. Penetapan tertulis yang juga mencakup
d. Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan tindakan faktual;
ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan-
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha
peraturan lain yang bersifat hukum pidana; Negara di lingkungan eksekutif, legislatif,
e. Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar yudikatif dan penyelenggaran negara lainnya;
hasil pemeriksaan Badan Peradilan c. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan
berdasarkan ketentuan peraturan dan AAUPB;
perundangan yang berlaku. d. Bersifat final dalam arti lebih luas;
f. Keputusan TUN mengenai tata usaha TNI e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di akibat hukum; dan/atau
pusat mapun di daerah mengenai hasil pemilu. f. Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat

haptun/a.tirtairawan/2016 31
PERKEMBANGAN KOMPETENSI PTUN
SETELAH UUAP NOMOR 30/2014
3. Permohonan ada atau tidak unsur Penyalahgunaan Wewenang Pasal 21 UUAP:
1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur
Penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan;
2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam Keputusan
dan/atau tindakan;
3) Pengadilan wajib memutuspermohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama
21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan;
4) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan banding
ke PT-TUN;
5) PT-TUN wajib memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling
lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan banding diajukan;
6) Putusan PT-TUN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mengikat;
Catatan: Permohonan ada atau tidak unsur Penyalahgunaan Wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 UUAP telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan
Wewenang

haptun/a.tirtairawan/2016 32
PERKEMBANGAN KOMPETENSI PTUN
SETELAH UUAP NOMOR 30/2014
4. Permohonan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan guna
mendapatkan keputusan dan/atau tindakan Badan/Pejabat TUN
– Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban
menetapkan dan/atau melakukan keputusan, maka Badan/Pejabat TUN wajib menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama (sepuluh) hari
kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan/atau Pejabat Pemerintahan;
– Apabila dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja tidak menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara
hukum;
– Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan
penerimaan permohonan;
– Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud paling lama 21 (dua
puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan;
– Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan
putusan Pengadilan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan;

haptun/a.tirtairawan/2016 33
BAB IV
UPAYA ADMINISTRASI
(administratief beroep)
Dalam UU PERATUN dan UUAP

haptun/a.tirtairawan/2016 34
Jenis-jenis Upaya Administratif
• Upaya administratif terdiri dari 2 jenis:
1. keberatan: diajukan kepada Badan dan/atau
Pejabat TUN yang menerbitkan keputusan;
2. Banding administratif: diajukan kepada
atasan pejabat atau instansi lain dari yang
mengeluarkan keputusan yang bersangkutan

haptun/a.tirtairawan/2016 35
UPAYA ADMINISTRATIF DALAM UU PERATUN

Diatur dalam Pasal 48 (beserta penjelasannya) dan Pasal 51 ayat (3) UU


PERATUN
• Pasal 48:
1) Dalam hal suatu Badan/Pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif
sengketa tata usaha negara, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus
diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa TUN jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah
digunakan
• Pasal 51 (3)
3) Pengadilan Tinggi TUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan di tingkat pertama sengketa TUN sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48

haptun/a.tirtairawan/2016 36
UPAYA ADMINISTRATIF DALAM UU
PERATUN
Karakteristik upaya administratif berdasarkan UU PERATUN
- UU PERATUN mengatur upaya administratif yang wajib
dilakukan oleh pencari keadilan
- Jika upaya administratif yang wajib dilakukan tersebut telah
ditempuh seluruhnya, maka Pengadilan baru berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketanya;
- Pengadilan yang berwenang menyelesaikan di tingkat
pertama adalah PT-TUN, bukan PTUN;
- UU PERATUN tidak mengatur penundaan Keputusan yang
sedang dimohonkan upaya administratif

haptun/a.tirtairawan/2016 37
UPAYA ADMINISTRATIF DALAM UUAP
Diatur dalam Pasal 75, 76, 77 dan Pasal 78 UUAP
Pasal 75
(1) Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan
Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
(2) Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. keberatan; dan
b. banding.
(3) Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menunda pelaksanaan
Keputusan dan/atau Tindakan, kecuali:
a. ditentukan lain dalam undang-undang; dan
b. menimbulkan kerugian yang lebih besar.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib segera menyelesaikan Upaya Administratif yang
berpotensi membebani keuangan negara.
(5) Pengajuan Upaya Administratif tidak dibebani biaya.

haptun/a.tirtairawan/2016 38
UPAYA ADMINISTRATIF DALAM UUAP
Pasal 76
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berwenang menyelesaikan
keberatan atas Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan yang diajukan oleh Warga Masyarakat.
(2) Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian keberatan
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Warga Masyarakat dapat mengajukan banding kepada Atasan
Pejabat.
(3) Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding
oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan.
(4) Penyelesaian Upaya Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
ayat (2) berkaitan dengan batal atau tidak sahnya Keputusan dengan atau
tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan tuntutan administratif.

haptun/a.tirtairawan/2016 39
KEBERATAN DALAM UUAP
Pasal 77
(1) Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja
sejak diumumkannya Keputusan tersebut oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan.
(3) Dalam hal keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai permohonan keberatan.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan keberatan paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja.
(5) Dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menyelesaikan keberatan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), keberatan dianggap dikabulkan.
(6) Keberatan yang dianggap dikabulkan, ditindaklanjuti dengan penetapan Keputusan sesuai
dengan permohonan keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan
permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).

haptun/a.tirtairawan/2016 40
BANDING ADMINISTRATIF DALAM UUAP
Pasal 78
(1) Keputusan dapat diajukan banding dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak keputusan upaya keberatan diterima.
(2) Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Atasan
Pejabat yang menetapkan Keputusan.
(3) Dalam hal banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan, Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan
banding.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan banding paling lama 10
(sepuluh) hari kerja.
(5) Dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menyelesaikan banding dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), keberatan dianggap dikabulkan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan
permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

haptun/a.tirtairawan/2016 41
Karakteristik Upaya Administratif dalam
UUAP
• Upaya Administratif dalam UUAP tidak bersifat wajib;
• Meskipun tidak wajib, namun jika ditempuh upaya administratif, maka dilakukan
secara berjenjang pula, yaitu keberatan, banding administratif kemudian gugatan,
setelah keberatan tidak dibenarkan langsung mengajukan gugatan;
• Banding administrasi dalam UUAP terbatas pada atasan Badan/Pejabat yang
menetapkan Keputusan
• Pengadilan yang berwenang memeriksa di tingkat pertama adalah PTUN;
• Upaya administratif tidak menunda pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan,
kecuali:
a. ditentukan lain dalam undang-undang; dan
b. menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Catatan: dalam hal banding administratif diajukan berkaitan dengan batal atau tidak
sah nya keputusan dan/atau tindakan, maka pemohon keberatan dapat
menambahkan tuntutan ganti rugi atau tuntutan administratif (vide Pasal 76 ayat
(4) UUAP)

haptun/a.tirtairawan/2016 42
BAB V

ACARA BIASA

(PASAL 63-97)

haptun/a.tirtairawan/2016 43
PENETAPAN-PENETAPAN YANG MENDAHULUI
PEMERIKSAAN DENGAN ACARA BIASA:

1. PENETAPAN LOLOS DISMISSAL;


2. PENETAPAN PEMERIKSAAN DENGAN ACARA
BIASA;
3. PENETAPAN MAJELIS HAKIM YANG MEMERIKSA
SENGKETANYA, DAN SURAT PENUNJUKAN
PANITERA PENGGANTI;
4. PENETAPAN PEMERIKSAAN PERSIAPAN;

haptun/a.tirtairawan/2016 44
TAHAPAN-TAHAPAN PEMERIKSAAN DALAM
ACARA BIASA
• Setelah majelis hakim ditetapkan, majelis hakim
menentukan hari pemeriksaan persiapan;
• Apabila Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan
telah sempurna,Hakim Ketua Majelis membuat
penetapan hari sidang yang melanjutkan pemeriksaan
pada persidangan yang terbuka untuk umum.

Catatan: pemeriksaan persiapan bersifat wajib, dan


hakimnya wajib memberikan nasihat perbaikan gugatan;

haptun/a.tirtairawan/2016 45
TAHAPAN-TAHAPAN PEMERIKSAAN DALAM
ACARA BIASA
• GUGATAN--------> wajib dan harus tertulis
• JAWABAN (EKSEPSI DAN JAWABAN DALAM
POKOK PERKARA)--> wajib dan harus tertulis
• REPLIK -----> tidak wajib, bisa lisan/tertulis
• DUPLIK -----> tidak wajib, bisa lisan/tertulis
• PEMBUKTIAN---> wajib
• KESIMPULAN
• PUTUSAN
haptun/a.tirtairawan/2016 46
Gugatan
• Pasal 1angka (11)
• Gugatan adalah:
Permohonan yang berisi tuntutan terhadap
Badan atau Pejabat TUN dan diajukan ke
Pengadilan untuk mendapatkan putusan;

haptun/a.tirtairawan/2016 47
JAWABAN
PASAL 72
• Jawaban Adalah Tanggapan/Tangkisan Terhadap Gugatan, Baik Dalam
Eksepsi Maupun Dalam Pokok Perkara;
• Jawaban Bersifat Wajib, Jika Tergugat Atau Kuasanya Tidak Hadir
Dan/Atau Tidak Menanggapi Gugatan Dua Kali Berturut-turut, Hakim
Ketua Sidang Membuat Penetapan Meminta Atasan Tergugat
Memerintahkan Tergugat Hadir./Menanggapi Gugatan;
• Setelah Lewat Dua Bulan Setelah Pengiriman Penetapan Tersebut,
Apabila Tidak Ada Tanggapan Maka Sidang Dilanjutkan Dengan Acara
Biasa Tanpa Hadirnya Tergugat
• Putusan Akhir Dapat Dijatuthkan Hanya Apabila Pembuktian Telah
Tuntas;

Karakteristik Peradilan TUN: tidak mengenal putusan verstek

haptun/a.tirtairawan/2016 48
EKSEPSI
PASAL 77
• EKSEPSI ADALAH TANGKISAN DI LUAR POKOK SENGKETA;

• MACAM-MACAM EKSEPSI:
• Eksepsi tentang kewenangan absolut:
pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak
ada eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan apabila hakim mengetahui
hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak
berwenang mengadili sengketa ybs;

• E k s e p s i t e n t a n g k e w e n a n g a n r e l a ti f :
Pengadilan diajukan sebelum jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi tersebut
harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa

• Eksepsi lain-Lain:
yang tidak mengenai kewenangan pengadilan
hanya diputus bersama pokok perkara.

haptun/a.tirtairawan/2016 49
EKSEPSI LAIN-LAIN
PASAL 77 AYAT (3)
Contoh Eksepsi Lain-lain:
1. Penggugat Tidak Memiliki Kepentingan Untuk
Menggugat (Non legitima persona standi in judicio);
2. Eksepsi Gugatan Kurang Pihak (plurium litis
consortium);
3. Eksepsi Gugatan Kabur (obscur libel);
4. Eksepsi Gugatan Salah Tujuan (error in persona);
5. Eksepsi Gugatan Premature
6. Eksepsi Gugatan Kadaluwarsa

haptun/a.tirtairawan/2016 50
Intervensi
Pasal 83
1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berke-pentingan
dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik
atas prakarsa sendiri dengan meng-ajukan permohonan, maupun atas
prakarsa hakim, dapat masuk dalam sengketa TUN dan bertindak sebagai:
a) Pihak yang membela haknya;
b) Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang
bersengketa

2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dika-bulkan atau


ditolak oleh pengadilan dengan putusan yang di-camtumkan dalam berita
acara sidang.

3) Permohonan banding terhadap putusan pengadilan sebagai-mana


dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus
bersama-sama dengan permohonan banding ter-hadap putusan akhir
dalam pokok sengketa.

haptun/a.tirtairawan/2016 51
Pembuktian
 Pembuktian Adalah Cara Para Pihak Untuk Meyakinkan Hakim Akan Kebenaran
Masing-masing Dalil Yang Menjadi Dasar Gugatan Penggugat Maupun Jawaban
Atau Sangkalan Tergugat.

 Ada Dua Macam Pembuktian :


1. Pembuktian Secara Formal, Yaitu Pembuk-tian Yang Didasarkan Pada Alat-alat
Bukti Yang Sah, Tanpa Perlu Adanya Keyakinan Hakim;

2. Pembuktian Secara Materiil, Yaitu Pembuk-tian Yang Didasarkan Pada Alat-


alat Bukti Yang Sah Dengan Disertai Keyakinan Hakim Bahwa Telah Terjadi
Peristiwa Hukum, Dimana Seseorang Dinyatakan Bersalah/ Suatu Sk
Mengandung Cacat Hukum Sehingga Harus Dinyatakan Batal Atau Tidak Sah.

Prinsipnya Semua Dalil Yang Diajukan Para Pihak Selayaknya Didukung Oleh Bukti-
bukti Yang Relevan, Kecuali Keadaan Yang Telah Diketahui Umum Tidak Perlu
Dibuktikan (Notoir)

haptun/a.tirtairawan/2016 52
SISTEM PEMBUKTIKAN
• Sistem Pembuktian Di PTUN Bersifat Materiil (Materiil Waarheids) Yang
Ditujukan Untuk Menemukan Kebenaran Materiil, Bukan Sekedar
Mencari Kebenaran Formil Seperti Dalam Hukum Perdata. Untuk
mencari kebenaran materiil, hakim bersifat aktif (dominus litis);
• Hakim Menentukan Apa Yang Harus Dibuktikan;
• Hakim Menentukan Beban Pembuktian;
• Penilaian Pembuktian;
• Untuk Sahnya Pembuktian Diperlukan Sekurang-kurangnya Dua Alat
Bukti Berdasarkan Keyakinan Hakim.

Karakteristik Peradilan TUN: Hakim bersifat aktif (Dominus Litis)

haptun/a.tirtairawan/2016 53
Jenis Alat bukti
Pasal 100

• Surat Atau Tulisan;


• Keterangan Ahli;
• Keterangan Saksi;
• Pengakuan Para Pihak;
• Pengetahuan Hakim.

haptun/a.tirtairawan/2016 54
PUTUSAN
PUTUSAN/VONIS ADALAH HASIL ATAU KESIMPULAN
SUATU PEMERIKSAAN PERKARA YANG DIDASARKAN
PADA PERTIMBANGAN YANG MENETAPKAN APA
YANG HUKUM.

• MENURUT SIFATNYA PUTUSAN TERBAGI 3 :


1. PUTUSAN DECLARATOIR ( MENERANGKAN ATAU
MENEGASKAN SUATU KEADAAN HUKUM;
2. PUTUSAN CONSTITUTIF ( MENIADAKAN ATAU
MENIMBULKAN KEADAAN HUKUM BARU );
3. PUTUSAN CONDEMNATOIR ( BERISI PENGHUKUMAN ).

haptun/a.tirtairawan/2016 55
ISI PUTUSAN DAPAT BERUPA :

1. GUGATAN DITOLAK;
2. GUGATAN DIKABULKAN;
3. GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA;
4. GUGATAN GUGUR.

 DALAM HAL GUGATAN DIKABULKAN, PUTUSAN DAPAT MENETAPKAN


KEWAJIBAN YANG HARUS DILAKUKAN PEJABAT/BADAN TUN :

1. PENCABUTAN SKTUN YANG BERSANGKUTAN;


2. PENCABUTAN SKTUN YANG BERSANGKUTAN DAN MENERBITKAN
SKTUN YANG BARU;
3. PENERBITAN KEPUTUSAN TUN DALAM HAL GUGATAN DIDASARKAN
PADA PASAL 3.
+ PEMBEBANAN GANTI RUGI & REHABILITASI.

haptun/a.tirtairawan/2016 56
BAB VI
ACARA SINGKAT
Diatur Dalam Pasal 62 UU PERATUN

haptun/a.tirtairawan/2016 57
ACARA SINGKAT PASAL 62 UU PERATUN
(1)Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau
tidak berdasar, dalam hal :
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan
diperringatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
(2) a. Penetapan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari
persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya;
b. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua
Pengadilan.
(3) a. Terhadap penetapan sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam
tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan;
b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
(4) Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.
(5) Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan sebgaimana dimaksud dalmn ayat
(1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
(6) Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.

haptun/a.tirtairawan/2016 58
PROSEDUR DISMISSAL ( PASAL 62 )

• Dalam rangka penerapan asas dualisme perlindungan, dimana PTUN tidak hanya melindungi masyarakat dari
kesewenang-wenangan penguasa, melainkan juga memberikan perlindungan terhadap keputusan dan/atau
tindakan badan/pejabat tun yang merepresentasikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka
prosedur dismissal dapat dijadikan salah satu contoh penerapan asas perlindungan kepada Keputusan
Badan/Pejabat TUN dari gugatan serampangan atau gugatan sekedar coba-coba;
• Gugatan yang diajukan dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar (n.O.), Dengan penetapan dalam hal :
– Pokok gugatan tidak termasuk wewenang pengadilan ;
– Setelah diberitahu syarat-syarat gugatan (pasal 56) tidak dipenuhi ;
– Gugatan tidak berdasar alasan yang layak ;
– Tuntutan dalam gugatan sudah dipenuhi oleh keputusan tun yang digugat ;
– Gugatan diajukan sebelum/lewat waktunya.
• Penetapan tersebut diucapkan dalam rapat permusyawaratan, sebelum hari persidangan ditentukan, yaitu
dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya ;
• Dalam praktiknya penetapan dismissal hanya dapat dikeluarkan oleh Ketua PTUN, atau Wakil Ketua PTUN jika
Ketua berhalangan

haptun/a.tirtairawan/2016 59
GUGATAN PERLAWANAN

• TERHADAP PENETAPAN TIDAK LOLOS DISMISSAL


DAPAT DIAJUKAN GUGATAN PERLAWANAN DALAM TENGGANG
WAKTU 14 HARI (CARA PENGAJUAN SESUAI PASAL 56)
• PERLAWANAN TERSEBUT DIPERIKSA DAN DIPUTUS DENGAN
ACARA SINGKAT;
• APABILA PERLAWANAN DITOLAK, MAKA PENETAPAN
DISMISSAL KETUA DIBENARKAN SEHINGGA PERKARA TIDAK
DAPAT DIPERIKSA;
• APABILA PERLAWANAN DIBENARKAN, PENETAPAN DISMISSAL
GUGUR DEMI HUKUM, MAKA POKOK PERKARA (GUGATAN)
DIPERIKSA DENGAN ACARA BIASA;
• TERHADAP PUTUSAN PERLAWANAN, TIDAK ADA UPAYA
HUKUM.

haptun/a.tirtairawan/2016 60
BAB VII
ACARA CEPAT
PASAL 98-99

haptun/a.tirtairawan/2016 61
ACARA CEPAT
PASAL 98-99
• PEMERIKSAAN SENGKETA DIPERCEPAT BILA BERDASARKAN
ALASAN-ALASAN KEPENTINGAN PENGGUGAT CUKUP
MENDESAK.
• DALAM WAKTU 14 HARI DITERIMA PERMOHONAN, DENGAN
PENETAPAN DIKABULKAN/DITOLAK OLEH KETUA
PENGADILAN.
• TIDAK ADA UPAYA HUKUM ATAS PENETAPAN TERSEBUT.
• PEMERIKSAAN DENGAN HAKIM TUNGGAL.
• TANPA PEMERIKSAAN PERSIAPAN, DALAM 7 HARI
DITETAPKAN HARI SIDANG
• TENGGANG WAKTU UNTUK JAWABAN DAN PEMBUKTIAN
BAGI MASING-MASING PIHAK TIDAK LEBIH DARI 14 HARI.

haptun/a.tirtairawan/2016 62
CATATAN TERHADAP ACARA CEPAT
• PENETAPAN ACARA CEPAT ADALAH
KEWENANGAN KETUA PENGADILAN;
• ACARA CEPAT DIDASARKAN PADA PERMOHONAN
PENGGUGAT;
KESIMPULAN:
• TANPA PERMOHONAN PENGGUGAT, KETUA
PENGADILAN TIDAK DAPAT MENETAPKAN
SEBUAH SENGKETA DIPERIKSA DENGAN ACARA
CEPAT;
haptun/a.tirtairawan/2016 63
CATATAN TERHADAP ACARA CEPAT
• KETENTUAN JAWABAN DAN PEMBUKTIAN DALAM WAKTU 14 HARI
HANYA BERLAKU DI TINGKAT PERTAMA, DI PERADILAN TINGKAT
BANDING DAN KASASI KETENTUAN INI TIDAK MENGIKAT;
• ACARA CEPAT DILAKSANAKAN OLEH HAKIM TUNGGAL, SEHINGGA
TIDAK DIMUNGKINKAN ADANYA SECOND OPINION APALAGI
DISSENTING OPINION;
• JAWABAN DAN PEMBUKTIAN DIBATASI HANYA DALAM 14 HARI,
SEHINGGA PARA PIHAK KHUSUSNYA PENGGUGAT DITUNTUT UNTUK
BERSIKAP LEBIH PRO-AKTIF DAN SERIUS DALAM PEMBUKTIAN;
• SEYOGYANYANYA KETUA PENGADILAN DALAM MENETAPKAN
DIKABULKANNYA ACARA CEPAT TIDAK HANYA MEMPERTIMBANGKAN
KEADAAN MENDESAK, TETAPI JUGA KESIAPAN GUGATAN DAN
PEMBUKTIAN PARA PIHAK KHUSUSNYA PENGGUGAT.

haptun/a.tirtairawan/2016 64
BAB VIII
HUKUM ACARA PENILAIAN UNSUR
PENYALAHGUNAAN WEWENANG
(Berdasarkan PERMA Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Pedoman Beracara dalam Penilaian Unsur
Penyalahgunaan Wewenang)

haptun/a.tirtairawan/2016 65
HAPTUN PERKARA PENGUJIAN
PENYALAHGUNAAN WEWENANG
• DASAR HUKUM:
1. Pasal 16, 17, 18 , 19 dan Pasal 20 UU 30
TAHUN 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan;
2. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 4
TAHUN 2015

haptun/a.tirtairawan/2016 66
Perkara Permohonan Penilaian
Penyalahgunaan Wewenang
DASAR HUKUM:
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan;
2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun
2015 tentang Pedoman Beracara dalam
Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang;
3. Rancangan Undang-Undang tentang
Peradilan Administrasi

haptun/a.tirtairawan/2016 67
Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
1. Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014:
“ Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada
atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan”.
2. Pasal 2 PerMA Nomor 4 Tahun 2015:
ayat (1):
“Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada
atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan
dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan sebelum adanya proses pidana”
ayat (2):
“Pengadilan baru berwenang menerima, memeriksa, dan memutus
penilaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
adanya hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah

haptun/a.tirtairawan/2016 68
Kedudukan Pemohon
• Pasal 21 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014
“Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan
wewenang dalam keputuan dan/atau tindakan”;
Pasal 3 PerMA Nomor 4 Tahun 2015:
“Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan yang berwenang berisi
tuntutan agar Keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan
dinyatakan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang:
Catatan: dasar pengajuan permohonan penilaian ada atau tidak adanya unsur
penyalahgunaan wewenang harus diukur berdasarkan kepentingan yang
dirugikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004.

haptun/a.tirtairawan/2016 69
Pengajuan Permohonan
• Permohonan diajukan diajukan secara tertulis
(scriftelijke) dalam 5 (lima) rangkap;
• Selain diajukan dalam bentuk tertulis,
permohonan juga diajukan dalam format digital
yang disimpan secara elektronik dalam media
penyimpanan berupa cakram padat atau yang
serupa dengan itu;
• Permohonan disertai kelengkapan alat bukti
pendahuluan yang mendukung permohonan
haptun/a.tirtairawan/2016 70
MATERI PERMOHONAN
a. Identitas pemohon;
b. Uraian singkat mengenai objek permohonan;
c. Uraian dasar permohonan;
d. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus
dalam permohonan;
e. Ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya

haptun/a.tirtairawan/2016 71
Identitas pemohon
1. Dalam hal Pemohon Badan Pemerintahan memuat:
• Nama Badan Pemerintahan;
• Tempat kedudukan; dan
• Nomor telepon/faksimili/telepon selular/surat elektronik (bila ada)
2. Dalam hal Pemohon Pejabat Pemerintahan meliputi:
• Nama diri Pejabat Pemerintahan;
• Tempat dan tanggal lahir/umur;
• Pekerjaan;
• Jabatan;
• Tempat tinggal; dan
• Nomor telepon/faksimili/telepon selular/surat elektronik (bila ada);
3. Dalam hal pemohon diwakili oleh kuasanya, identitas pemohon diuraikan terlebih
dahulu diikuti oleh identitas kuasanya dengan dilampiri surat kuasa khusus dan
fotokopi kartu advokat dari kuasa yang bersangkutan;

haptun/a.tirtairawan/2016 72
Uraian Dasar Permohonan
Uraian dasar permohonan meliputi:
1. Kewenangan pengadilan;
2. Kedudukan hukum (legal standing) pemohon;
3. Alasan permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19dan/atau
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3o Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan
diuraikan secara jelas dan rinci.

haptun/a.tirtairawan/2016 73
Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus
dalam permohonan
1. Dalam hal Pemohon Badan Pemerintahan yaitu:
• Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya;
• Menyatakan keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan ada unsur
penyalahgunaan wewenang;
• Menyatakan batal atau tidak sah keputusan dan/atau tindakan pejabat
pemerintahan.
2. Dalam hal Pemohon Pejabat Pemerintahan yaitu:
• Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya;
• Menyatakan keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan tidak ada
unsur penyalahgunaan wewenang;
• Memerintahkan kepada negara untuk mengembalikan kepada pemohon uang
yang telah dibayar, dalam hal pemohon telah mengembalikan kerugian negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) dan ayat (6) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

haptun/a.tirtairawan/2016 74
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN
1. Permohonan diajukan kepada Pengadilan TUN yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan pejabat
yang menerbitkan keputusan dan/atau melakukan tindakan, dalam hal pemohon berkedudukan atau berada
di luar negeri, permohonan diajukan kepada PTUN Jakarta;
2. Kelengkapan alat bukti pendahuluan yang mendukung permohonan sekurang-kurangnya berupa:
a. Bukti yang berkaitan dengan identitas pemohon yaitu:
1. Fotokopi keputusan dan/atau peraturan perundang-undangan pembentukan badan pemerintahan, dalam hal pemohon
adalah badan pemerintahan, diberi meterai cukup;
2. Fotokopi KTP atau identitas diri lain, keputusan pengangkatan jabatan pemohon dalam hal pemohon adalah pejabat
pemerintahan diberi meterai cukup;
b. Fotokopi keputusan yang dimohonkan penilaian dan hasil pengawasan APIP serta fotokopi bukti surat atau
tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan, diberi meterai sesuai aturan perundang-undangan;
c. Daftar calon saksi da/atau ahli jika pemohon bermaksud mengajukannya;
d. Bukti-bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik bila diperlukan
Catatan: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 maupun Perma Nomor 54 tahun 2015 belum mengatur
tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang,
sedangkan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara hanya mengatur tenggang waktu mengajukan
gugatan, bukan tenggang waktu mengajukan permohonan, sementara dalam Rancangan Undang-Undang
Peradilan Administrasi sebagai Ius Constituendum telah diusulkan agar Permohonan hanya dapat diajukan
14 (empat belas) hari kerja sejak dikeluarkannya keputusan dan/atau tindakan administrasi pemerintahan;

haptun/a.tirtairawan/2016 75
PENJADWALAN SIDANG
1. Panitera menyampaikan berkas yang telah diregistrasi kepada Ketua
paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak permohonan diregistrasi;
2. Ketua menetapkan Majelis yang memeriksa permohonan tersebut
paling lama 2 hari kerja sejak berkas diterima oleh ketua pengadilan;
3. Ketua Majelis menetapkan sidang pertama dan jadwal persidangan
(court calender) dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sejak berkas permohonan diterima oleh majelis dan diberitahukan
kepada pemohon;
4. Court calender bersifat mengikat, dan tidak ditaatinya jadwal
tersebut menyebabkan hilangnya kesempatan atau hak bagi
pemohon untuk berproses kecuali terdapat alasan yang sah;

haptun/a.tirtairawan/2016 76
ALUR PENERIMAAN BERKAS PERMOHONAN

2 HARI KERJA SEJAK


Berkas DIREGISTRASI
yang PANITERA KETUA
sudah Ketua
Pengadilan
lengkap
menetapkan
susunan
Majelis
Hakim paling
lambat 2 hari
KETUA MAJELIS kerja

haptun/a.tirtairawan/2016 77
PANGGILAN SIDANG
• Panggilan sidang harus sudah dikirimkan kepada pemohon 3
(tiga) hari kerja sebelum hari persidangan, dengan cara
disampaikan langsung, melalui telepon, faksimili dan/atau
surat elektronik dan dianggap sah apabila surat panggilan
sudah dikirimkan dengan disertai berita bukti berita acara
pengiriman;
• Panggilan sidang pertama disertai dengan:
1. Court calender
2. Perintah untuk melengkapi bukti lain;
3. Perintah untuk mempersiapkan saksi dan/atau ahli sesuai
dengan jadwal persidangan yang telah ditetapkan;

haptun/a.tirtairawan/2016 78
Pemeriksaan Persidangan
• Tanpa melalui proses dismissal ataupun
pemeriksaan persiapan;
• Dilakukan dalam persidangan yang terbuka
untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan;
• Pemeriksaan persidangan dilakukan oleh
Majelis Hakim sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang hakim;

haptun/a.tirtairawan/2016 79
Tahapan Pemeriksaan Persidangan
a. Pemeriksaan pokok permohonan dimulai dengan
memberikan kesempatan kepada pemohon untuk
menyampaikan pokok-pokok permohonan;
b. Pemeriksaan bukti surat atau tulisan;
c. Mendengarkan keterangan saksi;
d. Mendengarkan keterangan ahli;
e. Pemeriksaan alat-alat bukti lain berupa informasi
elektronik atau dokumen elektronik;
f. Kesimpulan pemohon;
g. putusan
haptun/a.tirtairawan/2016 80
Pembuktian
• Alat bukti dalam penilaian ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan
wewenang meliputi:
a. Surat atau tulisan;
b. Keterangan saksi;
c. Keterangan ahli;
d. Pengakuan pemohon;
e. Pengetahuan hakim;
f. Alat bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik,
dapat berupa: rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca dan/atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun
yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka yang memiliki makna;

haptun/a.tirtairawan/2016 81
Putusan
• Alasan hukum putusan meliputi:
1. Maksud dan tujuan permohonan;
2. Kewenangan Pengadilan;
3. Kedudukan hukum (legal standing pemohon);
4. Pendapat Majelis terhadap pokok permohonan mengenai ada atau tidak ada
unsur penyalahgunaan wewenang;
5. Kesimpulan mengenai semua hal yang telah dipertimbangkan;
• Putusan harus dibacakan selama-lamanya 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
sidang pertama dilakukan;
Catatan: Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 tahun 2014 mengatur
bahwa permohonan wajib diputus dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja
sejak permohonan diajukan, sementara Perma No. 4 Tahun 2015 mengatur 21
(dua puluh satu) hari kerja sejak persidangan pertama dilakukan;

haptun/a.tirtairawan/2016 82
Amar Putusan
• “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima” dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat
formal, Pengadilan tidak berwenang, dan/atau pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing);
• Mengabulkan permohonan Pemohon:
a. Dalam hal pemohon Badan Pemerintahan:
– Mengabulkan permohonan Pemohon;
– Menyatakan Keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan ada unsur penyalahgunaan wewenang;
– Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan;
b. Dalam hal Pemohon Pejabat Pemerintahan:
– Mengabulkan Permohonan Pemohon;
– Menyatakan Keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang;
– Memerintahkan kepada Negara untuk mengembalikan kepada Pemohon uang yang telah dibayar, dalam hal pemohon
telah mengembalikan kerugian negara sebagaimana dimaksud Pasal 20 ayat (4) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014;
c. “Menolak Permohonan Pemohon”, dalam hal Keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan tidak ada
unsur penyalahgunaan wewenang apabila pemohonnya Badan Pemerintahan, atau dalam hal Keputusan
dan/atau tindakan Pemohon ada unsur penyalahgunaan wewenang apabila pemohonnya Pejabat
Pemerintahan;
d. “menyatakan Permohonan Gugur”, dalam hal Pemohon tidak dua kali tidak hadir dalam sidang pertama dan
kedua, atau Pemohon tidak serius;
e. Biaya Perkara dibebankan kepada Pemohon

haptun/a.tirtairawan/2016 83
UPAYA HUKUM
PASAL 20 DAN 21 PERMA Nomor 4 Tahun 2015
mengatur bahwa atas putusan PTUN dapat
dilakukan upaya hukm banding. Putusan
banding bersifat final dan mengikat.

haptun/a.tirtairawan/2016 84
BAB IX
PERMOHONAN KEPADA PENGADILAN UNTUK
MEMPEROLEH PUTUSAN PENERIMAAN
PERMOHONAN
DASAR HUKUM:
- Pasal 53 UUAP, dan;
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 Tentang
Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas
Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan
Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan

haptun/a.tirtairawan/2016 85
(Pasal 53 UUAP)
(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan.
(3) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka
permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
(4) Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan
penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama
21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan
putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
putusan Pengadilan ditetapkan.

haptun/a.tirtairawan/2016 86
MATERI PERMOHONAN
1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh Pemohon atau
Kuasanya dalam 5 (lima) rangkap yang memuat:
a. Identitas Pemohon, baik Pemohon orang perorangan atau Badan Hukum Perdata atau
Badan Pemerintahan sesuai dengan identitas Pasal 55 UU PERATUN ditambah dengan
tempat tanggal lahir, nomor telepon/faksimili/telepon seluler/surat elektronik
b. Uraian Dasar Permohonan yang meliputi:
• Kewenangan PTUN sebagaimana dimaksud Pasal 53 UUAP
• Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang merasa kepentingannya dirugikan karena
Badan/Pejabat TUN tidak menetapkan Keputusan atau melakukan tindakan yang dimohon dalam batas
waktu yang dimaksud dalam UUAP
• Alasan permohonan diuraikan secara rinsi mengenai kewenangan Badan/Pejabat Pemerintahan,
prosedur dan substansi penerbitan Keputusan/tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan/atau AAUPB
c. Petitum:
• Mengabulkan permohonan pemohon;
• Mewajibkan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintah untuk menetapkan dan/atau melakukan
tindakan sesuai permohonan pemohon
d. Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya

haptun/a.tirtairawan/2016 87
Kelengkapan Materi Permohonan
• Selain diajukan secara tertulis, permohonan juga diajukan
dalam format digital yang disimpan secara elektronik
dalam media penyimpanan cakram padat atau yang
serupa dengan itu (flash disk, dll);
• Dalam hal permohonan diwakili oleh kuasanya, identitas
pemohon diuraikan terlebih dahulu diikuti oleh kuasanya;
• Jika permohonan diajukan oleh kuasanya, maka
permohonan wajib dilampiri dengan surat kuasa khusus
dan fotokopi kartu anggota advokat dari kuasa yang
bersangkutan

haptun/a.tirtairawan/2016 88
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN
• Permohonan diajukan ke PTUN yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan Termohon, jika
Termohon berkedudukan di Luar Negeri maka Permohonan diajukan ke PTUN Jakarta
• Panitera wajib melakukan penelitian administrasi permohonan dan kelengkapan bukti, sekurang-
kurangnya berupa:
a. Bukti identitas, fotokopi KTP, akta pendirian dan/atau AD/ART, fotokopi keputusan dan/atau peraturan
perundang-undangan pembentukan Badan Pemerintahan
b. Bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan permohonan yang sudah diterima lengkap oleh Termohon
dengan dibubuhi meterai yang cukup;
c. Daftar calon saksi dan/atau ahli, jika bermaksud mengajukan;
d. Daftar bukti lain yang berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik bila dipandang perlu
• Apabila permohonan belum lengkap, Panitera memberitahukan kepada Pemohon tentang
kelengkapan yang harus dipenuhi, dan Pemohon wajib melengkapinya dalam waktu 7 (tujuh) hari
kerja sejak diterimanya pemberitahuan kurang lengkapnya berkas
• Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja Pemohon tidak melengkapi berkas yang diminta oleh
Panitera, maka berkas dikembalikan dan permohonan tidak diregistrasi, dan permohonan dapat
diajukan kembali dengan permohonan baru disertai kelengkapan berkasnya;
• Apabila permohonan dinilai telah lengkap, berkas permohonan diterima dan diberi Akta
Penerimaan Berkas Perkara yang ditandatangani Panitera setelah membayar panjar biaya perkara;

haptun/a.tirtairawan/2016 89
ALUR PENERIMAAN BERKAS PERMOHONAN

2 HARI KERJA SEJAK


Berkas DIREGISTRASI
yang PANITERA KETUA
sudah Ketua
Pengadilan
lengkap
menetapkan
susunan
Pemanggilan para 3 hari kerja sejak berkas Majelis Hakim
pihak paling lama diterima Majelis paling lambat
3 (tiga) hari Penetapan 2 hari kerja
sebelum hari sidang pertama KETUA MAJELIS sejak berkas
persidangan, dgn dan jadwal diterima oleh
memuat jadwal sidang Ketua
sidang, perintah diberitahukan
untuk melngkapi pula kepada
bukti-bukti lain Pemohon dan
dan perintah Termohon
mempersiapkan
saksi dan/atau ahli
haptun/a.tirtairawan/2016 90
Pemeriksaan Persidangan
Pasal 8 PERMA 5/2015
1. Pemeriksaan persidangan dilakukan oleh
Majelis tanpa proses dismissal maupun
Pemeriksaan Persiapan
2. Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam
sidang yang terbuka untuk umum kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan

haptun/a.tirtairawan/2016 91
Tahapan Pemeriksaan Persidangan
Pasal 9 PERMA NOMOR 5/2015
a. Pemeriksaan Pokok Permohonan, dengan memberikan
kesempatan kepada Pemohon untuk menyampaikan
pokok-pokok permohonannya seperlunya
b. Pemeriksaan tanggapan Termohon
c. Pemeriksaan bukti surat atau tulisan;
d. Mendengarkan keterangan saksi
e. Mendengarkan keterangan ahli;
f. Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi
elektronik atau dokumen elektronik

haptun/a.tirtairawan/2016 92
Pembuktian
Pasal 11 PERMA 5/2015
Macam-macam alat bukti yang dapat diajukan di persidangan:
a. Surat atau tulisan;
b. Keterangan saksi;
c. Keterangan ahli;
d. Pengakuan para pihak;
e. Pengetahuan Hakim;
f. Alat bukti lain berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik
informasi atau dokumen elektronik dapat berupa rekaman data atau informasi yang
dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka yang memiliki makna (Pasal 13 PERMA 5/2015);

haptun/a.tirtairawan/2016 93
PUTUSAN
PASAL 14 PERMA 5/2015
Alasan hukum yang menjadi dasar putusan meliputi:
• Maksud dan tujuan permohonan;
• Kewenangan PTUN sesuai Pasal 53 UUAP;
• Legal standing Pemohon;
• Pendapat Majelis terhadap pokok permasalahanmengenai
kewenangan Badan/Pejabat TUN, prosedur dan/atau
substansi penerbitan keputusan dan/atau tindakan yang
dimohonkan;
• Kesimpulan mengenai semua hal yang telah dipertimbangkan

haptun/a.tirtairawan/2016 94
AMAR PUTUSAN
Pasal 17 PERMA 8/2017
• “Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima” dalam hal permohonan tidak
memenuhi syarat formal, pemohon tidak mempunyai legal standing atau Pengadilan Tidak
Berwenang;
• “mengabulkan permohonan Pemohon”
“Mewajibkan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk menerbitkan Keputusan
dan/atau tindakan” sesuai permohonan Pemohon
• “menyatakan permohonan Pemohon ditolak”, dalam hal alasan permohonan tidak
beralasan hukum;
• “menyatakan permohonan gugur”, dalam hal pemohon tidak hadir dalam persidangan 2
(dua) kali berturut-turut pada sidang pertama dan kedua tanpa alasan yang sah atau
pemohon tidak serius

Pasal 18 PERMA 8/2017


Putusan PTUN atas penerimaan permohonan untuk mendapatkan Keputusan dan/atau
Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan bersifat final dan mengikat

haptun/a.tirtairawan/2016 95
BAB X
Sengketa Proses Pemilu
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum dan PERMA
Nomor 5 Tahun 2017

haptun/a.tirtairawan/2016 96
Dasar Kewenangan Sengketa Proses Pemilu

Pasal 469-471 Undang-Undang Nomor 7 Tahun


2017 tentang Pemilihan Umum
&
PERMA Nomor 5 Tahun 2017
Tentang
Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses
Pemilihan Umum Di Pengadilan Tata Usaha
Negara
haptun/a.tirtairawan/2016 97
Sengketa Proses Pemilu dan Sengketa
Pemilihan
Sengketa Proses Pemilu ≠ Sengketa Pemilihan
Kepala Daerah. Istilah yang digunakan adalah
Sengketa Pemilu atau Sengketa Proses Pemilu
dengan Sengketa Pemilihan.

Sengketa Proses Pemilu diperiksa di PTUN,


sedangkan sengketa Pemilihan (Kepala Daerah)
diperiksa di PT-TUN.

haptun/a.tirtairawan/2016 98
Kompetensi Absolut PTUN Pasal 469 ayat (1)
huruf a, b, c.
• Pasal 469
• (1) Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses Pemilu
merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan
terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan:
a. verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu;
b. penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota; dan
c. penetapan Pasangan Calon.
• (2) Dalam hal penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c yang dilakukan oleh Bawaslu
tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum
kepada pengadilan tata usaha negara.
• (3) Seluruh proses pengambilan putusan Bawaslu wajib dilakukan melalui
proses yang terbuka dan dapat

haptun/a.tirtairawan/2016 99
Sifat Sengketa Proses Pemilu
1. Dibatasi kewenangannya sesuai Pasal 469
ayat (1) huruf a, b, dan c.
2. Dilaksanakan sesuai dengan tahapan waktu
yang telah disusun KPU, merujuk pada
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017;
3. Putusan PTUN legal and binding, tidak ada
upaya hukum.

haptun/a.tirtairawan/2016 100
BAB XI
DASAR PENGUJIAN (TOETSING GROUNDEN)
DI PTUN
Setelah Berlakunya UUAP 30/2014

haptun/a.tirtairawan/2016 101
DASAR PENGUJIAN (TOETSING GROUNDEN)
DI PTUN
Dasar Pengujian di Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam
Pasal 53 ayat (2) UU 9/2004, yang terdiri dari:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Selain menjadi dasar pengujian (toetsing grounden) dalam
memeriksa, meutus dan menyelesaikan sengketa TUN,
kedua hal itu juga menjadi alasan gugatan dan juga menjadi
dasar diterbitkannya sebuah Keputusan dan/atau Tindakan
oleh Badan/Pejabat TUN

haptun/a.tirtairawan/2016 102
Syarat Sahnya Keputusan
Pasal 52 UUAP
(1) Syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
(2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.
Bagaimana jika peraturan perundang-undangan tidak mengatur atau
secara tegas tidak mengatur, atau peraturan perundang-undangan
memberikan pilihan, atau karena adanya stagnasi pemerintahan?
Maka Badan/Pejabat Pemerintahan dapat menggunakan diskresi
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 sampai Pasal 32 UUAP 30/2014;

haptun/a.tirtairawan/2016 103
Persyaratan Diskresi
Pasal 24 UUAP 30/2014
Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus
memenuhi syarat:
a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (2);
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. sesuai dengan AUPB;
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.

haptun/a.tirtairawan/2016 104
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

PENGERTIAN:
• A) Asas-asas hukum kebiasaan yang :
1. Tidak dirumuskan dalam peraturan-peraturan maupun
perundang-undangan;
2. Hidup secara umum dalam kesadaran hukum masyarakat;
3. Dapat diterima menurut rasa keadilan umum.

• B) Didapat dengan jalan analisa dari:


•1. Berbagai macam peraturan yang berlaku
•2. Yurisprudensi
•3. Literatur Hukum

haptun/a.tirtairawan/2016 105
Istilah
• Di Belanda dikenal dengan “Algemene Beginselen
van Behoorllijke Bestuur” (ABBB)
• Di Inggris dikenal “The Principal of Natural Justice”
• Di Perancis “Les Principaux Generaux du Droit
Coutumier Publique”
• Di Belgia “Aglemene Rechtsbeginselen”
• Di Jerman “Verfassung Sprinzipien”
• Di Indonesia “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik”.

haptun/a.tirtairawan/2016 106
AUPB dalam UUAP Nomor 30 Tahun 2014

Pasal 10 UUAP
(1) AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum; dan
h. pelayanan yang baik.
(2) Asas-asas umum lainnya di luar AUPB sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diterapkan sepanjang dijadikan dasar penilaian hakim yang
tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

haptun/a.tirtairawan/2016 107
Arti Penting AAUPB
1. A.A.U.P.B. Merupakan bagian hukum positif yang berlaku dan mempunyai pengaruh
terhadap :
• penafsiran / penerapan dan/atau pembentukan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
•  Pada bidang pembentukan kebijakan (beleid) :
A. menyusun keputusan berdasarkan kewenangan yang mengikat (Gebonden bestuur).
B. Freis ermessen, yang dibuat dalam bentuk :
» Peraturan perundang-undangan semu.
» Norma kongkrit.
» Perencanaan kebijakan
2. Dasar gugatan; seorang Penggugat dapat menyusun gugatannya dengan mendalilkan
bahwa sebuah keputusan diterbitkan dengan melanggar AAUPB.
3. Dasar untuk menguji atau membatalkan keputusan oleh Hakim di PTUN sebagai kontrol dari
segi hukum ( marginal toetsing recht )

haptun/a.tirtairawan/2016 108
Mengapa Dibutuhkan Perbandingan dengan
AAUPB di Negara lain??
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
(AAUPB) sejatinya merupakan kaidah yang hidup
di tengah masyarakat yang dipandu oleh
moralitas dan prinsip-prinsip yang berlaku
secara universal. Sehingga asas yang berlaku di
negara lain, secara arif dapat dipertimbangkan
untuk diterapkan pula di Indonesia.

haptun/a.tirtairawan/2016 109
Di Belanda
• Di Belanda Asas-asas umum pemerintahan yang baik, Algemene
Beginselen van Behoorllijke Bestuur (ABBB), dipandang sebagai norma
hukum tidak tertulis, namun harus ditaati oleh pemerintah. Diatur dalam
Wet Administrative Rechtspraak Overheids Beschikkingen (Wet AROB)
yaitu Ketetapan-ketetapan Pemerintah dalam Hukum Administrasi yang
oleh Kekuasaan Kehakiman dinyatakan “Tidak bertentangan dengan apa
yang ada dalam kesadaran hukum umum merupakan asas-asas yang
berlaku (hidup) tentang pemerintahan yang baik”. Hal itu dimaksudkan
bahwa asas-asas itu sebagai asas-asas yang hidup, digali dan
dikembangkan oleh hakim.
• Sebagai hukum tidak tertulis, arti yang tepat untuk ABBB bagi tiap
keadaan tersendiri, tidak selalu dapat dijabarkan dengan sama untuk
setiap perkara.

haptun/a.tirtairawan/2016 110
• Paling sedikit ada 7 ABBB yang sudah diakui dan dipraktikkan
secara terus menerus di Belanda:
1. Asas persamaan,
2. asas kepercayaan,
3. asas kepastian hukum,
4. asas kecermatan,
5. asas pemberian alasan,
6. Asas larangan menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir),
dan
7. Asas larangan bertindak sewenang2 (willekuer).

haptun/a.tirtairawan/2016 111
Penjelasan Asas (1)
1. Asas persamaan: Hal-hal yang sama harus diperlakukan sama
pula.
Catatan: asas persamaan diberlakukan hanya dalam keadaan positif dalam
arti disesuaikan dengan keadaan hukum yang berlaku.

Contoh 1: A dan B sama-sama memiliki tanah berdampingan, sama-sama


mengajukan permohonan sertipikat dan keduanya telah pula memenuhi
seluruh persyaratan, nyatanya hanya sertipikat A yang terbit. Maka B
dapat menggunakan asas persamaan sebagai dasar gugatannya.

Contoh 2: dalam sebuah wilayah ada 100 rumah yang tidak memiliki IMB,
pemerintah merencanakan penertiban. Penertiban dilakukan bertahap
dan dimulai dari 10 rumah di pinggiran kota. Kesepuluh pemilik rumah
tidak dapat menjadikan asas persamaan sebagai dasar alasan gugatan ke
PTUN.

haptun/a.tirtairawan/2016 112
ASAS KEPERCAYAAN
2. Asas kepercayaan atau asas legal expectation:
harapan-harapan yang wajar dan layak yang timbul
akibat sebuah janji, keterangan, aturan kebijakan,
rencana dan keputusan badan atau pejabat TUN,
sedapat mungkin harus dipenuhi.

Contoh : Sekelompok Pegawai Negeri Sipil dipanggil untuk mengikuti diklat


kepemimpinan tahap lanjut guna mengisi jabatan-jabatan eselon III yang
kosong di Pemerintah Provinsi, kesemuanya dinyatakan lulus dengan
memuaskan. Faktanya ternyata yang diangkat mengisi jabatan-jabatan
kosong tersebut justru PNS yang belum mengikuti diklat tersebut.
Peserta diklat dapat menggunakan asas ini sebagai dasar alasan gugatan.

haptun/a.tirtairawan/2016 113
ASAS KEPASTIAN HUKUM
(LEGAL CERTAINTY)
3. Asas yang secara materiil menghalangi
badan/pejabat TUN untuk menarik kembali suatu
keputusan dan mengubahnya sehingga
menimbulkan kerugian bagi pihak yang
berkepentingan.
Perubahan/Penggantian keputusan TUN dapat dilakukan dengan alasan:
- Keadaan yang memaksa;
- Keputusan didasarkan kekeliruan;
- Keputusan lahir berdasarkan keterangan yang tidak benar;
- Syarat keputusan tidak ditaati;

haptun/a.tirtairawan/2016 114
Asas Kecermatan
4. Asas kecermatan: suatu keputusan harus diambil
dan disusun dengancermat setelah mendengar
keterangan pihak ketiga yang terkait, hearing,
nasihat, cek-ricek dan crosscek;

Contoh: seorang PNS dihukum pidana percobaan selama 6 bulan karena


terbukti melakukan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan.
Hanya karena ia dipenjara, Walikota menjatuhkan hukuman PTDH PTDH
berdasarkan PP 32/79. walikota telah bertindak tidak cermat karena
semata-mata melihat PNS tersebut dipenjara, tidak melihat batas
minimum ancaman pidana yang dapat dikenakan hukuman PTDH sesuai
PP 32/79;

haptun/a.tirtairawan/2016 115
Asas Pemberian Alasan
Asas pemberian alasan: Keputusan
badan/pejabat TUN hatap harus memiliki dasar
atau alasan, harus ada fakta dan alasan kuat
dan tepat yang mendukung lahirnya keputusan
tersebut;
Contoh: Seorang Kepala Daerah mencopot seorang pejabat
eselon IV dengan pertimbangan yang bersangkutan telah terlalu
lama menempati jabatan tersebut. Tindakan Kepala Daerah
tersebut bertentangan dengan asas pemberian alasan;

haptun/a.tirtairawan/2016 116
Detournement De Puvoir dan Willekuer
6. Asas larangan menyalahgunakan wewenang:
larangan untuk tidak menggunakan
kewenangan untuk tujuan yang lain;
7. Asas larangan bertindak sewenang-wenang:
larangan untuk bertindak di luar
kewenangannya, semata-mata didasarkan
karena kekuasaan.

haptun/a.tirtairawan/2016 117
AAUPB di Indonesia (1)
• 1. Asas kepastian hukum
• 2. Asas keseimbangan: penjatuhan hukuman yg wajar thd
pegawai.
• 3. Asas kesamaan
• 4. Asas bertindak cermat
• 5. Asas motivasi
• 6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan
• 7. Asas permainan yang layak: pemerintah memberikan
kesempatan yg seluas2nya kpd masy u mendapatkan
informasi yg benar dan adil

haptun/a.tirtairawan/2016 118
AUPB di Indonesia (2)
• 8. Asas keadilan atau kewajaran
• 9. Asas menanggapi pengharapan yg wajar
• 10. Asas meniadakan suatu akibat keputusan2 yg batal: jika
akibat pembatalan keputusan ada kerugian, maka phk yg
dirugikan hrs diberi ganti rugi dan rehabilitasi.
• 11. Asas perlindungan pandangan hidup pribadi: setiap PNS
diberi kebebasan dan hak u mengatur hidup pribadinya dgn
batas Pancasila
• 12. Asas kebijaksanaan:Pmrth berhak u membuat
kebijaksanaan demi kepentingan umum
• 13. Asas pelaksanaan kepentingan umum:

haptun/a.tirtairawan/2016 119
Perbandingan ABBB dan AUPB
ABBB AUPB
• Asas persamaan • Asas kesamaan
• asas kepercayaan • Asas menanggapi pengharapan yg
wajar
• Asas kepastian hukum
• asas kepastian hukum
• Asas bertindak cermat
• asas kecermatan
• Asas motivasi
• asas pemberian alasan
• Asas jgn menpuradukkan
• larangan ‘detournement de wewenang
pouvoir’ • Asas keadilan dan kewajaran
• dan larangan bertindak • Asas keseimbangan
sewenang2
• Asas fair play
• Asas meniadakan akibat putusan
batal
• Asas perlindungan pandangan
hidup
• Asas kebijaksanaan
• Asas kepentingn umum
haptun/a.tirtairawan/2016 120
Perbandingan AUPB sebelum dan sesudah
lahirnya UUAP 30/2014
AUPB sebelum UUAP AUPB setelah lahirnya UUAP
a. Asas kesamaan
b. Asas menanggapi pengharapan yang
wajar a. Asas kepastian hukum;
c. Asas kepastian hukum
b. Asas kemanfaatan;
d. Asas bertindak cermat
e. Asas motivasi c. Asas ketidakberpihakan;
f. Asas larangan mencampuradukkan d. Asas kecermatan;
wewenang
g. Asas keadilan dan kewajaran e. Asas tidak menyalahgunakan
h. Asas keseimbangan kewenangan;
i. Asas fair play f. Asas keterbukaan;
j. Asas meniadakan akibat putusan batal
g. Asas kepentingan umum;
k. Asas perlindungan pandangan hidup
l. Asas kebijaksanaan
dan
m. Asas kepentingn umum h. Asas pelayanan yang baik.

haptun/a.tirtairawan/2016 121
Asas formal dan material
• Asas formal: asas yang harus diperhatikan dan ditaati
badan/pejabat TUN dalam mempersiapkan dan merumuskan
sebuah keputusan TUN;
• Asas material: asas yang harus diperhatikan dan ditaati
badan/pejabat TUN dalam memutuskan atau menetapkan isi
keputusan;
• Perbedaan akibat hukumnya: pelanggaran asas formal
mengakibatkan keputusan tersebut dapat diperbaiki dengan
mengikuti asas formal, akan tetapi jika melanggar asas
materiil maka keputusan tersebut tidak dapat diperbaiki dan
harus dibatalkan.

haptun/a.tirtairawan/2016 122
AAUPB

PROSES PERSIAPAN PERUMUSAN ISI KEPUTUSAN


KEPUTUSAN TUN KEPUTUSAN TUN TUN

7 Asas yang harus


1) Persiapan yang 1 Keharusan adanya
diperhatikan
pertimbangan
cermat/
2. Pertimbangan
kecermatan formal harus memadai
3. Kepastian Hukum
2) Asas Fair Play
3) Asas larangan
Deteounement
De Procedure.

AAUPB
haptun/a.tirtairawan/2016 123
AAUPB FORMIL
1. ASAS-ASAS YANG BERKAITAN DENGAN PROSES PERSIAPAN DAN PROSES
PEMBENTUKAN KEPUTUSAN.
• AZAS KECERMATAN.
• AZAS FAIR PLAY.
• AZAS LARANGAN DETORNEMENT DE PROSEDURE.
2. AZAS YANG BERKAITAN DENGAN PERTIMBANGAN (MOTIVERING) SERTA
SUSUNAN KEPUTUSAN :
– KEHARUSAN KEPUTUSAN DISERTAI SUATU PERTIMBANGAN (PADA UMUMNYA)
– KEHARUSAN PERTIMBANGAN YANG CUKUP MEMADAI., MISALNYA :
MELAKUKAN HEARING, KONSULTASI, DAN MEMINTA ADVIS.

haptun/a.tirtairawan/2016 124
AAUPB Materiil
(yang berkaitan dengan isi keputusan, dengan mengacu pada ABBB)

1. Asas larangan detournement


de Pouvoir
2. Asas larangan willikeur
3. Asas kepastian hukum material
4. Asas kepercayaan
5. Asas persamaan perlakuan
6. Asas kecermatan material
(zorvuldikeid)
7. Asas pemberian alasan.
haptun/a.tirtairawan/2016 125
BAB XII
HUKUM PEMBUKTIAN DI PTUN

haptun/a.tirtairawan/2016 126
Pembuktian
 Pembuktian Adalah Cara Para Pihak Untuk Meyakinkan Hakim Akan Kebenaran
Masing-masing Dalil Yang Menjadi Dasar Gugatan Penggugat Maupun Jawaban
Atau Sangkalan Tergugat.

 Ada Dua Macam Pembuktian :


1. Pembuktian Secara Formal, Yaitu Pembuk-tian Yang Didasarkan Pada Alat-alat
Bukti Yang Sah, Tanpa Perlu Adanya Keyakinan Hakim;

2. Pembuktian Secara Materiil, Yaitu Pembuk-tian Yang Didasarkan Pada Alat-


alat Bukti Yang Sah Dengan Disertai Keyakinan Hakim Bahwa Telah Terjadi
Peristiwa Hukum, Dimana Seseorang Dinyatakan Bersalah/ Suatu Sk
Mengandung Cacat Hukum Sehingga Harus Dinyatakan Batal Atau Tidak Sah.

Prinsipnya Semua Dalil Yang Diajukan Para Pihak Selayaknya Didukung Oleh Bukti-
bukti Yang Relevan, Kecuali Keadaan Yang Telah Diketahui Umum Tidak Perlu
Dibuktikan (Notoir)

haptun/a.tirtairawan/2016 127
DASAR HUKUM PEMBUKTIKAN DI PTUN

Pasal 80 UU PERATUN
“Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam
sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai
upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa”.
Pasal 100
(1) Alat bukti ialah :
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan saksi;
d. pengakuan para pihak;
e. pengetahuan Hakim.
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Pasal 107 UU PERATUN
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim”.

haptun/a.tirtairawan/2016 128
KARAKTERISTIK PEMBUKTIAN DI PTUN

• Pembuktian dilakukan dalam rangka


menemukan kebenaran materiel (materiil
waarheids)
• Hakim bersifat aktif (dominus litis)
• Pengetahuan Hakim diakui sebagai alat bukti

haptun/a.tirtairawan/2016 129
Karakteristik Pembuktian di PTUN
Penjelasan Pasal 107 UU PERATUN
Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran
materiel.
Berbeda dengan sistem pembuktian hukum Acara Perdata, maka dengan
memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa
bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim PTUN
dapat menentukan sendiri:
a. Apa yang harus dibuktikan;
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh
pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim
sendiri;
c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam
pembuktian;
d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan;

haptun/a.tirtairawan/2016 130
Jenis Alat bukti
Pasal 100

• Surat Atau Tulisan;


• Keterangan Ahli;
• Keterangan Saksi;
• Pengakuan Para Pihak;
• Pengetahuan Hakim.

haptun/a.tirtairawan/2016 131
BAB XIII
PENUNDAAN (SCHORSING)

haptun/a.tirtairawan/2016 132
 AZAS PRAE SUMPTIO IUSTAE CAUSA
=
Azas Praduga Keabsahan Keputusan Pejabat
Tata Usaha Negara
=
Keputusan Pejabat (benar atau salah) oleh
Publik harus dianggap benar, dan segera
dilaksanakan, kecuali Hakim memerintahkan
untuk menghentikan.

haptun/a.tirtairawan/2016 133
 BAGAIMANA APLIKASI (DAS SAIN) DALAM PRAKTEK
PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA KITA ?

- Dari sisi Pejabat Tata Usaha Negara Pejabat harus menjamin


tentang keabsahan Keputusan TUN yang diterbitkannya, baik dari
segi kewenangan, prosedur dan material substansinya.

- Dari sisi Aparat Penegak Hukum (Hakim PERATUN).


Harus selektif dan hati-hati dalam menerbitkan perintah
penangguhan, karena dengan penangguhan itu berarti
mengecualikan berlakunya suatu Azas Hukum.

- Dari sisi Stake-Holder (rakyat pencari keadilan) hanya yang


kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Pejabat Tata Usaha
Negara yang dapat menggugat ke Pengadilan.

haptun/a.tirtairawan/2016 134
Penundaan Keputusan Objek Sengketa Dalam pasal 67UU PERATUN

• GUGATAN TIDAK MENUNDA DILAKSANAKANNYA KEPUTUSAN


MAUPUN TINDAKAN BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA ;
• PENGGUGAT DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PENUNDAAN
PELEKSANAAN KEPUTUSAN TUN YANG MENJADI OBJEK SENGKETA
SAMPAI ADA PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPUNYAI
KEKUATAN HUKUM TETAP ;
• PERMOHONAN DIAJUKAN BERSAMA DALAM GUGATAN DAN DAPAT
DIPUTUS LEBIH DAHULU;
• DAPAT DIKABULKAN HANYA APABILA TERDAPAT KEPENTINGAN
PENGGUGAT YANG SANGAT MENDESAK DAN KEPENTINGANNYA
SANGAT DIRUGIKAN ;
• TIDAK DAPAT DIKABULKAN APABILA TERDAPAT KEPENTINGAN UMUM
DALAM RANGKA PEMBANGUNAN NASIONAL MENGHARUSKAN
DILAKSANAKANNYA KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA TERSEBUT ;

haptun/a.tirtairawan/2016 135
Apa kriteria Kepentingan Umum untuk
Pembangunan itu ?
 Penjelasan Pasal 49 UU No.5 Tahun 1986 hanya
mengatakan bahwa yang dimaksud kepentingan umum
adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau
kepentingan masyarakat bersama, dan atau kepentingan
pembangunan, sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
 Penjelasan Pasal 67 UU No.5 Tahun 1986, tidak
menjelaskan apa ukuran/kriteria “Kepentingan Umum
dalam rangka Pembangunan”.

haptun/a.tirtairawan/2016 136
Kriteria Pembangunan untuk Kepentingan
Umum dalam UU Nomor 2 Tahun 2012
Pasal 10 UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
a. pertahanan dan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan
lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat
berpenghasilan rendah dengan status sewa
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r. pasar umum dan lapangan parkir umum.
haptun/a.tirtairawan/2016 137
Penundaan Keputusan Objek Sengketa Dalam
pasal 65 dan Pasal 75 UUAP
Pasal 65
1) Keputusan yang sudah ditetapkan tidak dapat ditunda pelaksanaannya, kecuali jika berpotensi
menimbulkan:
a. kerugian negara;
b. kerusakan lingkungan hidup; dan/atau
c. konflik sosial.
2) Penundaan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:
a. Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan; dan/atau
b. Atasan Pejabat.
3) Penundaan Keputusan dapat dilakukan berdasarkan:
a. Permintaan Pejabat Pemerintahan terkait; atau
b. Putusan Pengadilan.

Pasal 75 ayat (3)


4) Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menunda pelaksanaan
Keputusan dan/atau Tindakan, kecuali:
a. ditentukan lain dalam undang-undang; dan
b. menimbulkan kerugian yang lebih besar.

haptun/a.tirtairawan/2016 138
BAB XIV
PUTUSAN

haptun/a.tirtairawan/2016 139
PUTUSAN
PUTUSAN/VONIS ADALAH HASIL ATAU KESIMPULAN
SUATU PEMERIKSAAN PERKARA YANG DIDASARKAN
PADA PERTIMBANGAN YANG MENETAPKAN APA
YANG HUKUM.

• MENURUT SIFATNYA PUTUSAN TERBAGI 3 :


1. PUTUSAN DECLARATOIR ( MENERANGKAN ATAU
MENEGASKAN SUATU KEADAAN HUKUM;
2. PUTUSAN CONSTITUTIF ( MENIADAKAN ATAU
MENIMBULKAN KEADAAN HUKUM BARU );
3. PUTUSAN CONDEMNATOIR ( BERISI PENGHUKUMAN ).

haptun/a.tirtairawan/2016 140
ISI PUTUSAN DAPAT BERUPA :

1. GUGATAN DITOLAK;
2. GUGATAN DIKABULKAN;
3. GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA;
4. GUGATAN GUGUR.

 DALAM HAL GUGATAN DIKABULKAN, PUTUSAN DAPAT MENETAPKAN


KEWAJIBAN YANG HARUS DILAKUKAN PEJABAT/BADAN TUN :

1. PENCABUTAN SKTUN YANG BERSANGKUTAN;


2. PENCABUTAN SKTUN YANG BERSANGKUTAN DAN MENERBITKAN
SKTUN YANG BARU;
3. PENERBITAN KEPUTUSAN TUN DALAM HAL GUGATAN DIDASARKAN
PADA PASAL 3.
+ PEMBEBANAN GANTI RUGI & REHABILITASI.

haptun/a.tirtairawan/2016 141
Dinyatakan Batal Atau Tidak Sah
Dalam diktum putusan harus dipilih antara terminologi
“dinyatakan batal” atau “dinyatakan tidak sah”, sehingga
tidak dibenarkan untuk memakai terminologi, dinyatakan
batal dan dinyatakan tidak sah (vide pasal 53 ayat 1 UU
No.5 tahun1986). Sebab antara pengertian tersebut
secara teoritis terdapat perbedaan yang prinsipil.

[ Surat MARI No. 222/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober


1993 Perihal Juklak yang dirumuskan dalam Pelatihan
Peningkatan Ketrampilan Hakim Peratun Tahap II
Angkatan I tahun l992 ].
haptun/a.tirtairawan/2016 142
Amar Gugatan Dalam Acara Singkat
(Perlawanan Atas Penetapan Dismissal)
Dalam hal gugatan perlawanan penggugat terhadap putusan dissmisal menurut pasal 62
ayat 1 UU No. 5 tahun 1986 Jo UU No. 9 tahun 2004 itu dibenarkan oleh Majelis yang
memeriksa gugatan perlawan, maka diktumnya akan kurang lebih berbunyi :
1. Menyatakan Penggugat sebagai pelawan yang benar ;
2. Mengabulkan gugatan perlawanan Pelawan ;
3. Menyatakan Penetapan Ketua Pengadilan tanggal … Nomor … dalam perkara
gugatan melawan … sebagai Tergugat tidak berdasar;
4. Menetapkan untuk memeriksa gugatan Penggugat menurut acara biasa
[Pasal 62 ayat 4 dan 5 UU No. 5 tahun 1986 Jo UU No. 9 tahun 2004].

Sebaliknya dalam hal perlawanan penggugat menurut pasal 62 ayat 3 tersebut tidak
dapat dibenarkan, maka diktum putusan dalam prosedur perlawanan itu akan
berbunyi :
a) Menyatakan gugatan perlawanan sebagai pelawan yang tidak benar ;
b) Menyatakan gugatan Perlawanan tersebut tidak diterima atau tidak berdasar ;
[ Indroharto,S.H. Usaha Memahami UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku
II Beracara di PTUN, Pustaka Sinar Harapan 1993 halaman l35 ].
haptun/a.tirtairawan/2016 143
KTUN Dinyatakan Batal
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian ;
2. Menyatakan batal Surat Perintah Bongkar Tergugat I No. 893/1.785.2
tanggal 9 April 1991 tersebut ;
3. Memerintahkan kepada Tergugat I untuk terlebih dahulu menerbitkan
Surat Keputusan Pencabutan IMB no: 2200/IMB/75 atas nama Arindo
Wiyanto sebelum mengeluarkan Surat Perintah Bongkar atas bangunan
yang bersangkutan ;
4. Menyatakan bahwa Penetapan Penundaan tertanggal 19 April 1991 No.
035/G/PTUN-JKT/1991 mempunyai kekuatan hukum ;
5. Menolak gugatan untuk selainnya dan selebihnya ;

Menghukum Termohon-Termohon Kasasi/Tergugat I, II, dan III membayar


semua biaya perkara baik yang jatuh dalam peradilan tingkat pertama,
banding, maupun dalam tingkat kasasi, yang dalam tingkat kasasi ini
ditetapkan sebesar Rp 50.000,00 [ lima puluh ribu rupiah ].
haptun/a.tirtairawan/2016 144
Diktum Sesudah KTUN Dinyatakan Batal Atau Tidak Sah

Apabila tuntutan Penggugat dikabulkan maka KTUN


yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah,
maka kepada Penggugat menurut pasal 97 ayat 9
dapat dibebani kewajiban untuk mengeluarkan
keputusan penggantinya yang berupa :
1. Pencabutan ;
2. Pencabutan dan menerbitkan KTUN baru ;
3. Menerbitkan KTUN baru (Keputusan penolakan
berdasarkan pasal 3 UU No. 5 tahun 1986 Jo UU No.
9 tahun 2004 ).
haptun/a.tirtairawan/2016 145
Diktum Sesudah KTUN Dinyatakan Batal Atau Tidak Sah

Apabila dalam gugatan Penggugat disertai


tuntutan tambahan yang berupa tuntutan
ganti rugi dan atau rehabilitasi, maka diktum
yang mengabulkan tuntutan pokok yang
berupa : Menyatakan batal KTUN dan
tambahan diktum :
1. Membebani tergugat atau intansi yang
berwenang untuk itu ;
2. Kewajiban tergugat membayar ganti rugi.
haptun/a.tirtairawan/2016 146
Diktum Sesudah KTUN Dinyatakan Batal Atau Tidak Sah

Apabila menyangkut kepegawaian, maka


diktum menyatakan batal atau tidak sah
dapat ditambah dengan diktum :
 Membebani kewajiban kepada tergugat atau
instansi yang berwenang untuk itu
melakukan rehabilitasi bagi penggugat.
[ pasal 97 ayat 10 UU No. 5 tahun 1986 Jo UU
No. 9 tahun 2004 ]

haptun/a.tirtairawan/2016 147
Penerbitan KTUN Baru
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan batal keputusan Tergugat No.399/386/75/XVIII-/ PHK/6-91
tertanggal 7 Agustus 1991 ;
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk menerbitkan keputusan yang
baru tentang besarnya pesangon yang seharusnya diterima oleh H.M
Saleh (pekerja) sebesar Rp 2.081.450,00 ( dua juta delapan puluh satu
ribu empat ratus lima puluh rupiah ).
4. Menyatakan tidak dapat diterima gugatan penggugat untuk selebihnya ;

Menghukum Pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam


peradilan tingkat kasasi ini yang ditetapkan sebesar Rp 50.000,00 [ lima
puluh ribu rupiah ].
[ Sda. Halaman 101 ] Putusan MARI No. 37 K/TUN/1993 ].

haptun/a.tirtairawan/2016 148
Amar Pencabutan : Penetapan Penundaan Pelaksanaan KTUN

 Menolak gugatan Penggugat/Terbanding ;


 Mencabut Penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta bertanggal 26 Maret 1991 No.
012/1991/PTUN/JKTY tentang penundaan atas
pelaksanaan Surat Perintah Pimpinan Perusahaan Umum
Listrik Negara Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang
tanggal 13 Pebruari 1991 No. 1086/832-B/BIKEU/1991/M ;
 ...................
• [ Putusan MARI No. 15/K/TUN/1992 tanggal 10 Desember
1992, Himpunan Putusan Sengketa Tata Usaha Negara –
MARI 1993- halaman 195].
haptun/a.tirtairawan/2016 149
BAB XV
UPAYA HUKUM DAN EKSEKUSI PUTUSAN PTUN

haptun/a.tirtairawan/2016 150
DASAR FILOSOFIS DIADAKANNYA UPAYA HUKUM DALAM PROSES
BEPERKARA
DI PENGADILAN

BAHWA SETIAP HAKIM YANG MEMUTUS


PERKARA/SENGKETA YANG DIAJUKAN DI
PENGADILAN ADALAH MANUSIA BIASA YANG
TIDAK LUPUT DARI KELEMAHAN DAN
KEKURANGAN, YAITU BISA SALAH, KELIRU DAN
KHILAF, SEHINGGA PEMBENTUK UNDANG-
UNDANG MEMBUKA KEMUNGKINAN BAGI
ORANG YANG DIKALAHKAN UNTUK
MELAKUKAN UPAYA HUKUM.

haptun/a.tirtairawan/2016 151
PENGERTIAN UPAYA HUKUM ADALAH UPAYA YANG DIBERIKAN
UNDANG-UNDANG KEPADA SESEORANG ATAU BADAN HUKUM UNTUK
DALAM HAL TERTENTU MELAWAN PUTUSAN HAKIM/PENGADILAN

DALAM ARTI :
 BAHWA TERHADAP PUTUSAN YANG TELAH DIJATUHKAN OLEH
HAKIM ADA KEMUNGKINAN TIDAK MEMUASKAN SALAH SATU
PIHAK, BAIK ITU PIHAK PENGGUGAT MAUPUN PIHAK TERGUGAT.

 JIKA SALAH SATU PIHAK TERSEBUT TIDAK PUAS TERHADAP


PUTUSAN HAKIM, MAKA YANG BERSANGKUTAN DAPAT
MENGAJUKAN UPAYA-UPAYA HUKUM.

 DALAM HUKUM ACARA TERDAPAT UPAYA-UPAYA HUKUM YANG


MELIPUTI UPAYA HUKUM BIASA DAN UPAYA HUKUM LUAR
BIASA.

haptun/a.tirtairawan/2016 152
• PERLAWANAN TERHADAP PENETAPAN
KETUA TENTANG DISMISSAL
(Pasal 62 UU NO. 5/1986)
• BANDING (Pasal 122 – 130 UU NO. 5/1986)
• KASASI (Pasal 131 UU NO. 5/1986
jo Pasal 66 – 76 UU NO. 5/2004)

UPAYA
HUKUM

• PENINJAUAN KEMBALI (Pasal 132


UU NO. 5/1986
jo Pasal 66 – 76 UU NO. 5/2004)

haptun/a.tirtairawan/2016 153
UPAYA HUKUM BIASA
• PADA PRINSIPNYA UPAYA HUKUM BIASA SELALU TERBUKA
UNTUK DIAJUKAN TERHADAP SETIAP PUTUSAN SELAMA
TENGGANG WAKTU YANG DITENTUKAN OLEH UNDANG-
UNDANG BELUM LEWAT.

• UPAYA HUKUM INI BERSIFAT MENGHENTIKAN PELAKSANAAN


PUTUSAN UNTUK SEMENTARA HINGGA ADANYA SUATU
PUTUSAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP.

• UPAYA HUKUM BIASA ADALAH MELIPUTI : PERLAWANAN


TERHADAP PENETAPAN DISMISSAL, BANDING DAN KASASI.

haptun/a.tirtairawan/2016 154
PERLAWANAN TERHADAP PENETAPAN
DISMISSAL

• MERUPAKAN UPAYA HUKUM YANG DISEDIAKAN PEMBENTUK UNDANG-UNDANG


BAGI PENGGUGAT YANG TIDAK MENERIMA PENETAPAN KETUA PENGADILAN
YANG MENYATAKAN GUGATAN PENGGUGAT TIDAK DAPAT DITERIMA;
• GUGATAN PERLAWANAN DIAJUKAN DALAM TENGGANG WAKTU 14 HARI SETELAH
PENETAPAN DIUCAPKAN DAN DIAJUKAN SEBAGAIMANA SYARAT MENGAJUKAN
GUGATAN;
• GUGATAN PERLAWANAN DIPERIKSA OLEH PENGADILAN DENGAN ACARA SINGKAT;
• DALAM HAL PERLAWANAN DIBENARKAN OLEH PENGADILAN, MAKA PENETAPAN
KETUA DINYATAKAN GUGUR DAN PERKARA POKOK DIPERIKSA DENGAN ACARA
BIASA;
• TERHADAP PUTUSAN PERLAWANAN TERSEBUT TIDAK TERSEDIA UPAYA HUKUM .

haptun/a.tirtairawan/2016 155
GUGATAN
KETUA DISMISSAL
DIDAFTAR DI
PTUN PROSES
KEPANITERAAN

GUGAT BARU

TIDAK ADA UPAYA PERLAWANAN


HUKUM DITOLAK

MAJELIS HAKIM
BERSIDANG DGN.
ACARA SINGKAT
PEMERIKSAAN
PERKARA DIKABULKAN
DILANJUTKAN
haptun/a.tirtairawan/2016 156
UPAYA HUKUM BANDING
• TERHADAP SETIAP PUTUSAN PTUN DAPAT DIMINTAKAN PEMERIKSAAN
BANDING OLEH PARA PIHAK SECARA TERTULIS DALAM TENGGANG WAKTU 14
HARI SETELAH PENGUCAPAN PUTUSAN ATAU PEMBERITAHUAN PUTUSAN KE
PT.TUN;
• DENGAN PERMOHONAN BANDING, PERKARA MENJADI
MENTAH LAGI;
• PUTUSAN PTUN YANG BUKAN PUTUSAN AKHIR HANYA DAPAT DIAJUKAN
BANDING BERSAMA DENGAN PUTUSAN AKHIR TENTANG POKOK PERKARA;
• PT.TUN MENGADILI PERKARA PADA TINGKAT BANDING DENGAN MAJELIS
HAKIM DENGAN SEKURUNG-KURANGNYA TIGA ORANG HAKIM;
• PERMOHONAN BANDING DAPAT DICABUT SEBELUM DIPUTUS OLEH PT.TUN,
DAN SETELAHNYA TIDAK DAPAT DIAJUKAN LAGI MESKIPUN MASIH ADA
WAKTU;
• MENERIMA PUTUSAN PTUN, TIDAK DAPAT DICABUT LAGI !

haptun/a.tirtairawan/2016 157
BAGAN PROSEDUR BANDING
UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1986
PASAL 122

PUTUSAN PERMOHONAN BANDING Panitera mencatat dalam


PTUN Pemohon/Kuasanya dalam Daftar Perkara (Register
tenggang waktu 14 hari Banding)
setelah Putusan
diberitahukan secara sah
Dalam waktu 7 hari
diberitahukan kepada
pihak-pihak terbanding

Paling lambat 30 hari sesudah permohonan


Berkas dikirim ke PT. TUN Banding dicatat. Panitera memberitahukan
selambat-lambatnya 60 hari kepada pihak-pihak mempelajari berkas
sesudah pernyataan Banding dalam tenggang waktu 30 hari setelah
menerima pemberitahuan Banding

haptun/a.tirtairawan/2016 158
UPAYA HUKUM KASASI
• KASASI BERASAL DARI PERKATAAN PERANCIS “CASSER”, YANG ARTINYA
MEMECAHKAN ATAU MEMBATALKAN;

• KASASI ADALAH TINDAKAN MAHKAMAH AGUNG UNTUK MENEGAKKAN DAN


MEMBETULKAN PENERAPAN HUKUM YANG SALAH OLEH PENGADILAN DI
BAWAHNYA;

• KASASI MERUPAKAN SALAH SATU TINDAKAN MAHKAMAH AGUNG UNTUK


MELAKUKAN PENGAWASAN TERTINGGI ATAS PUTUSAN-PUTUSAN PENGADILAN
DARI SEMUA LINGKUNGAN;

• TERHADAP SEMUA PUTUSAN TINGKAT AKHIR PENGADILAN DAPAT DIMOHONKAN


PEMERIKSAAN KASASI SECARA TERTULIS ATAU LISAN MELALUI PANITERA
PENGADILAN TINGKAT PERTAMA KEPADA MAHKAMAH AGUNG, KECUALI PERKARA
YANG DITENTUKAN LAIN DALAM UNDANG-UNDANG;

haptun/a.tirtairawan/2016 159
• PERKARA YANG DIKECUALIKAN : PUTUSAN TENTANG
PRAPERADILAN; PERKARA PIDANA RINGAN (ANCAMAN
HUKUMAN SATU TAHUN DAN/ATAU PIDANA DENDA); DAN
PERKARA TUAN YANG OBJEK SENGKETANYA BERUPA SKTUN
YANG JANGKAUAN BERLAKUNYA DI WILAYAH HUKUM YANG
BERSANGKUTAN;

• PEMOHON PERMOHONAN KASASI WAJIB MENYAMPAIKAN


MEMORI KASASI;

• PERMOHONAN PENCABUTAN KASASI DAPAT DILAKUKAN


SEBELUM DIPUTUS OLEH MAHKAMAH AGUNG, DAN
PERMOHONAN TERSEBUT TIDAK DAPAT KEMBALI DIAJUKAN

haptun/a.tirtairawan/2016 160
BAGAN PROSEDUR KASASI
UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1986
PASAL 131

PUTUSAN PERMOHONAN KASASI Panitera mencatat


PT. TUN Pemohon/Kuasanya dalam tenggang dalam Daftar Perkara
waktu 14 hari setelah Putusan Banding (Register Kasasi)
diterima para pihak

Dalam waktu 30 hari sesudah memori dan kontra Dalam waktu 7 hari
memori kasasi diterima, Panitera PTUN mengirim diberitahukan kepada
berkas kasasi berupa bundel A & B ke Mahkamah pihak-pihak lawannya
Agung RI

Memori kasasi dalam


Kontra memori kasasi selambat-lambatnya 14 hari waktu 14 hari sesudah
sesudah disampaikan memori kasasi harus diterima pernyaataan kasasi harus
di Kepaniteraan PTUN untuk disampaikan pada sudah diterima di
pihak lawannya Kepaniteraan PTUN
haptun/a.tirtairawan/2016 161
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
• PADA PRINSIPNYA UPAYA HUKUM LUAR BIASA DILAKUKAN TERHADAP
PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM
TETAP;
• PADA AZASNYA UPAYA HUKUM LUAR BIASA TIDAK MENANGGUHKAN
EKSEKUSI PUTUSAN YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TTETAP;
• UPAYA HUKUM LUAR BIASA BERUPA PENIJAUAN KEMBALI;
• PERMOHONAN PENIJAUAN KEMBALI DAPAT DIAJUKAN HANYA 1 (SATU)
KALI KEPADA MAHKAMAH AGUNG MELALUI KETUA PENGADILAN YANG
MEMUTUS PERKARA PADA TINGKAT PERTAMA DAN DAPAT DICABUT
SELAMA BELUM DIPUTUS;

haptun/a.tirtairawan/2016 162
DASAR PENGAJUAN PERMOHONAN
PENINJAUAN KEMBALI
• PUTUSAN DIDASARKAN PADA KEBOHONGAN/TIPU MUSLIHAT
PIHAK LAWAN YANG DIKETAHUI SETELAH PERKARA DIPUTUS
ATAU ATAS DASAR PUTUSAN HAKIM PIDANA DINYATAKAN
PALSU;
• DITEMUKAN BUKTI-BUKTI YANG BERSIFAT MENENTUKAN, YANG
TIDAK DIKETEMUKAN SEBELUMNYA;
• PUTUSAN YANG ULTRA PETITA;
• DALAM HAL ADA TUNTUTAN BELUM DIPUTUS TANPA
DIPERTIMBANGKAN SEBAB-SEBABNYA;
• PUTUSAN NEBIS IN IDEM;
• DALAM PUTUSAN TERDAPAT KEKHILAFAN ATAU KEKELIRUAN
HAKIM YANG NYATA.

haptun/a.tirtairawan/2016 163
BAGAN PROSEDUR PENINJAUAN KEMBALI
UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1986
PASAL 132

PUTUSAN PERMOHONAN PENINJAUAN Panitera mencatat dalam


Yang BHT KEMBALI Daftar Perkara (Register
Pemohon/Kuasanya dalam waktu PK)
180 hari sejak putusan BHT para
pihak dapat mengajukan PK
Dalam waktu
14 hari Panitera
memberitahukan PK
kepada pihak lawan

Dalam waktu 30 hari setelah Alasan PK tersebut selambat-lambatnya


menerima jawaban berkas PK Bundel 30 hari sejak alasan PK harus sudah
A & B sudah harus dikirim ke diterima di Kepaniteraan untuk
Mahkamah Agung RI disampaikan kepada pihak lawan

haptun/a.tirtairawan/2016 164
Eksekusi
Pasal 116 dan 117
• Pada Hakikatnya Putusan Hakim (Pengadilan) Yang Sudah
Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap Yang Dapat
Dijalankan/Dilaksanakan (Pasal 115 UU PERATUN).
• Dari Tiga Macam Putusan Menurut Sifatnya Yaitu :
– Putusan Declaratoir ( Menerangkan Atau Menegaskan Suatu
Keadaan Hukum;
– Putusan Constitutif ( Meniadakan Atau Menimbulkan Keadaan
Hukum Baru );
– Putusan Condemnatoir ( Berisi Penghukuman ).
• Hanya Jenis Putusan Condemnatoir, Yaitu Putusan Yang
Mengandung Perintah Kepada Suatu Pihak Untuk Melakukan
Suatu Perbuatan, Yang Harus Dilaksanakan.

haptun/a.tirtairawan/2016 165
Jenis Eksekusi
1. Eksekusi Sempurna; Pasal 116
2. Eksekusi Tidak Sempurna, Pasal 117

haptun/a.tirtairawan/2016 166
Eksekusi Sempurna

• Eksekusi sempurna, yaitu eksekusi sebagaimana diatur pasal


116 uu no. 51 tahun 2009, yang pada pokoknya sebagai berikut :
o Dalam waktu 60 hari tidak dicabut, maka sktun yang disengketakan tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi;
o Dalam hal 3 bulan tergugat belum menerbitk an sktun yhang diperintahkan,
maka penggugat memohon kepada kptun untuk perintahkan tergugat
melaksanakan putusan pengadilan;
o Dalam tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
bht, maka terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa
berupa :
– Pembayaran sejumlah uang paksa/
– Sanksi administrasi;
– Pengumuman melalui media massa cetak;
– Ketua pengadilan mengajukan kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah
tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan
kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan;

haptun/a.tirtairawan/2016 167
Eksekusi Tidak Sempurna

• Eksekusi tidak sempurna, yaitu eksekusi terhadap putusan


pengadilan yang telah bht yang sulit dilaksanakan karena sedemikian
rupa telah terdapat keadaan berubah, maka solusinya diatur pada pasal
117 uu no.5/1986, sebagai berikut :

o Keadaan berubah tersebut wajib tergugat memberitahukan kepada ketua ptun


dan penggugat;
o Dalam waktu 30 hari, penggugat memohon kepada ketua ptun agar tergugat
dibebani bayar ganti rugi atau kompensasi lain yang diinginkan;
o Diupayakan persetujuan antara kedua belah pihak mengenai sejumlah uang atau
kompensasi lain;
o Penetapan ketua ptun;
o Penggugat atau tergugat dapat mengajukannya kepada mahkamah agung untuk
ditetapkan;
o Putusan mahkamah agung dalam eksekusi ini wajib ditaati kedua belah pihak;

haptun/a.tirtairawan/2016 168

Anda mungkin juga menyukai