Anda di halaman 1dari 48

HADITS 15

ARBA’IN
B E R B I C A R A B A I K ATA U D I A M

M E M U L I A K A N T E TA N G G A

M E M U L I A K A N TA M U
Imam Abu Amr bin Ash-Shalah meriwayatkan dari Abu Muhammad bin
Abu Zaid, imam sahabat-sahabat Imam Malik pada zamannya, yang
berkata, "Puncak etika kebaikan bermuara dari empat hadits;

1. Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, 'Barangsiapa beriman


kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata dengan baik
atau hendaklah ia diam'.

ETIKA AGUNG 2. Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, 'Di antara kebaikan
keislaman seseorang ialah ia meninggalkan apa saja yang tidak
pentlng baginya'.

3. Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada orang yang beliau


bersabda kepadanya dengan ringkas, 'Engkau jangan marah.'

4. Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, 'Orang Mukmin mencintai


untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya".
Hadits 15
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫س‬ ‫ر‬
َ ‫ن‬ْ ‫ع‬
َ ،ُ ‫ه‬‫ن‬ْ ‫ع‬
َ ُ ‫هَّللا‬ ‫ي‬
َ ‫ض‬
ِ ‫ر‬
َ َ ‫ة‬‫ر‬َ ْ
‫ي‬ ‫ر‬ َ ُ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫َأ‬
ِ ‫َع ْن‬
‫ َو َم ْن‬،‫ت‬ ْ ‫ص ُم‬ ْ َ‫ فَ ْليَقُ ْل َخ ْي ًرا َأ ْو لِي‬،‫ان يُْؤ ِم ُن بِاهَّلل ِ َو ْاليَ ْو ِم اآْل ِخ ِر‬ َ ‫ « َم ْن َك‬:‫قَا َل‬
ِ ‫ان يُْؤ ِم ُن بِاهَّلل‬ َ ‫ َو َم ْن َك‬،ُ‫اره‬ َ ‫ فَ ْليُ ْك ِر ْم َج‬،‫ان يُْؤ ِم ُن بِاهَّلل ِ َو ْاليَ ْو ِم اآْل ِخ ِر‬ َ ‫َك‬
‫اريُّ َو ُم ْسلِ ٌم‬
ِ َ
‫خ‬ ُ ‫ب‬ ْ
‫ال‬ ُ ‫ه‬ ‫ا‬‫و‬َ ‫ر‬
َ »ُ ‫ه‬ َ ‫ف‬ ْ
‫ي‬ ‫ض‬
َ ‫م‬ ْ ‫ر‬ ِ ْ
‫ك‬ ُ ‫ي‬ ْ
‫ل‬ َ ‫ف‬ ،‫ر‬ِ ‫خ‬
ِ ‫آْل‬‫ا‬ ‫م‬ ِ ‫َو‬
‫و‬ْ َ ‫ي‬ ْ
‫ال‬
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam yang bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam. Barangsiapa beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya.
Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan
tamunya”. (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim)
Redaksi Lain
∙ Di sebagian redaksinya disebutkan, "Maka ia jangan
menyakiti tetangganya”.
∙ Di sebagian redaksi lainnya disebutkan, "Hendaklah ia
baik dalam memuliakan tamunya”.
∙ Di sebagian redaksinya lagi disebutkan, "Hendaklah
ia menyambung kerabatnya", menggantikan
penyebutan tetangga
BERBICARA YANG
BAIK ATAU DIAM
ْ َ‫فَ ْليَقُ ْل َخ ْي ًرا َأ ْو لِي‬
ْ ‫ص ُم‬
‫ت‬
Perbuatan-perbuatan Iman
∙ Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Barangsiapa beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia mengerjakan ini dan itu",
menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut termasuk sifat-
sifat iman.
∙ Amal perbuatan masuk ke dalam iman.
∙ Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menafsirkan iman dengan
kesabaran dan toleransi (as-samaahah).
∙ Al-Hasan berkata, "Yang dimaksud dengan sabar dari seluruh
kemaksiatan dan toleransi dengan taat”
Hak Allah dan Hak Manusia
∙ Perbuatan-perbuatan iman ada terkait dengan HAK-HAK ALLAH, seperti
• mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan.

• Termasuk dalam cakupan perbuatan-perbuatan iman ialah mengatakan yang baik dan diam dari yang
jelek.

∙ Perbuatan-perbuatan iman juga terkadang terkait dengan hak-hak hamba


Allah
• memuliakan tamu
• memuliakan tetangga, dan
• tidak menyakitinya.

• Ketiga hal tersebut diperintahkan kepada orang Mukmin; salah satunya


dengan mengatakan yang baik dan diam dari perkataan yang jelek
Menjaga Lidah dan Tangan
" :َ‫ َقال‬،‫سول َ هَّللا ِ َأ ْوصِ نِي‬ ُ ‫ َيا َر‬:‫ت‬ ُ ‫ «قُ ْل‬:َ‫ َقال‬،‫ار ِب ِّي‬ ِ ‫ص َر َم ا ْل ُم َح‬ْ ‫ث َأ ْس َودَ ْب ِن َأ‬
ِ ‫مِنْ َحدِي‬
" ‫ " َف َهلْ َت ْملِ ُك َيدَ َك؟‬:َ‫ َما َأ ْملِ ُك ِإ َذا لَ ْم َأ ْملِ ْك ل َِسانِي؟ َقال‬:‫ت‬ ُ ‫َهلْ َت ْملِ ُك ل َِسا َن َك؟ " قُ ْل‬
ُ ‫ َواَل َت ْب‬،‫ " َفاَل َتقُلْ ِبل َِسا ِن َك ِإاَّل َم ْع ُرو ًفا‬:َ‫ َف َما َأ ْملِ ُك ِإ َذا لَ ْم َأ ْملِ ْك َيدِي؟ َقال‬:‫ت‬
‫س ْط َيدَ َك‬ ُ ‫قُ ْل‬
‫“ »ِإاَّل ِإلَى َخ ْي ٍر‬
hadits Aswad bin Ashram Al-Muharibi yang berkata, aku berkata, "Wahai Rasulullah,
berilah aku nasihat”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apakah engkau
mengendalikan lidahmu?" Aku menjawab, "Aku tidak mengendalikan jika aku tidak
memiliki lidah”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apakah engkau
mengendalikan tanganmu?" Aku berkata, "Aku tidak mengendalikan jika aku tidak
mempunyai tangan”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau jangan
berkata dengan lidahmu kecuali kebaikan dan jangan menjulurkan tanganmu kecuali
kepada kebaikan”.
Menjaga Lidah
∙ Disebutkan di hadits bahwa LIDAH YANG LURUS TERMASUK SIFAT IMAN, seperti disebutkan
di Al-Musnad dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda, "Iman seseorang tidak lurus hingga hatinya lurus dan hatinya tidak lurus hingga
lidahnya lurus”.

∙ Ath-Thabrani meriwayatkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Seorang hamba tidak mencapai hakikat iman hingga ia
melarang lidahnya bicara“.

∙ Ath-Thabrani meriwayatkan hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Engkau senantiasa selamat selama engkau diam. Jika engkau
bicara, maka kebaikan atau keburukan ditulis untukmu”.

∙ Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu
Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Barangsiapa diam, ia
selamat".
Perkataan Ringan Tapi Akibatnya Berat
∙ Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu
Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Sesungguhnya seseorang mengucapkan kata-kata, ia tidak menyangka bahwa
ucapannya menyebabkan ia tergelincir di neraka lebih jauh daripada jauhnya
antara timur dengan barat".
∙ Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu
dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Sesungguhnya seseorang
mengatakan kalimat yang diridhai Allah dan ia tidak menaruh perhatian
terhadapnya melainkan Allah mengangkatnya beberapa derajat. Sesungguhnya
seorang hamba mengatakan kalimat yang dimurkai Allah dan ia tidak menaruh
perhatian terhadapnya melainkan ia terjerumus dengan sebab kalimat tersebut
ke jahannam".
Berkata Baik dan Diam dari Keburukan
∙ Tidak ada perkataan yang sama kalau diucapkan dan tidak diucapkan:
• Namun bisa jadi perkataan itu baik, karenanya, diperintahkan diucapkan.

• Dan bisa jadi, perkataan tersebut tidak baik, karenanya, perkataan tersebut
diperintahkan tidak diucapkan.

∙ Ibnu Abu Ad-Dunya meriwayatkan hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu
dan teksnya bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, "Hai
Muadz, semoga ibumu kehilangan dirimu (kalimat yang menunjukkan
keheranan). Engkau tidak mengucapkan perkataan melainkan perkataan
tersebut untukmu (dicatat sebagai kebaikan) atau atasmu (dicatat sebagai
keburukan)”.
Apakah Semua Kata Ditulis?
∙ Ada dua pendapat dalam masalah ini.
∙ Ali bin Abu Thalhah berkata dari Ibnu Abbas, "Seluruh kebaikan dan keburukan yang diucapkan seseorang
ditulis hingga ucapannya, “Aku makan, minum, pergi, dan datang”, juga ditulis.
• Pada hari Kamis, ucapan dan perbuatannya diperlihatkan kemudian Allah menetapkan perkataan dan perbuatan yang di
dalamnya terdapat kebaikan atau keburukan dan membuang sisanya. Itulah firman Allah Ta’ala, “Allah menghapuskan apa
yang Dia kehendaki dan menetapkan dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahftrah)”. (ArRa”du: 39).

• Yahya bin Abu Katsir berkata, "Seseorang menaiki keledai kemudian jatuh
terperosok. Ia berkata, “Keledai ini celaka”. Malaikat di sebelah kanan berkata,
“Itu bukan kebaikan, jadi, aku tidak menulisnya.” Malaikat di sebelah kiri
berkata, “Itu bukan keburukan, jadi, aku tidak menulisnya.” Allah memberi
wahyu kepada malaikat di sebelah kiri, “Malaikat di sebelah kanan tidak
meninggalkan sesuatu apa pun, jadi, tulislah perkataan tadi.” Kemudian
malaikat di sebelah kiri menulis perkataan, “Keledai ini celaka,” di daftar
kesalahan-kesalahan".
Kesalahan dan Hukuman
∙ Bahwa sesuatu yang tidak baik itu berarti kesalahan kendati
pelakunya tidak diberi hukuman karenanya, karena sebagian
kesalahan bisa jadi pelakunya tidak diberi hukuman
karenanya.
∙ Bisa jadi kesalahan tersebut dihapus karena pelakunya
menjauhi dosa-dosa besar, namun pelakunya merasakan
kerugian karena waktunya hilang secara sia-sia, akibatnya ia
sedih pada Hari Kiamat.
∙ Kesedihan tersebut sudah merupakan hukuman.
Majlis Tanpa Dzikir
∙ Imam Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasai meriwayatkan hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
yang bersabda, "Tidaklah satu kaum berdiri dari satu majlis tanpa
dzikir kepada Allah di dalamnya, melainkan mereka seperti berdiri dari
bangkai keledai dan mereka mendapatkan kesedihan”.
∙ An-Nasai juga meriwayatkan hadits di atas dari hadits Abu Sa’id Al-
Khudri Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda, "Tidaklah satu kaum duduk di satu tempat duduk (majlis)
tanpa dzikir kepada Allah di dalamnya, melainkan mereka
mendapatkan kesedihan pada Hari Kiamat, kendati mereka masuk
surga"
Bau Busuk dan Wangi
Mujahid berkata, "Tidaklah satu kaum duduk di salah satu
tempat duduk kemudian berpisah sebelum berdzikir kepada
Allah, melainkan mereka berpisah dalam keadaan lebih busuk
daripada bau bangkai dan tempat duduk mereka tersebut
memberi kesaksian untuk mereka tentang kelalaian mereka.
Tidaklah satu kaum duduk di satu tempat duduk kemudian
dzikir kepada Allah sebelum berpisah, melainkan mereka
berpisah dalam keadaan lebih wangi daripada aroma kesturi
dan tempat duduk mereka tersebut bersaksi untuk mereka
tentang dzikir mereka”.
Mana yang Lebih Baik: Bicara atau Diam?
∙ Bicaradan diam tidak diperintahkan secara mutlak, namun mengucapkan
kebaikan dan diam dari keburukan itu harus dilakukan.
• Generasi salaf seringkali memuji sikap diam dari keburukan dan diam dari apa saja
yang tidak penting karena sangat sulit dilakukan jiwa.

• Saking sulitnya, banyak sekali manusia gagal melakukannya.

• Generasi salaf memperbaiki jiwa mereka dan mengusahakannya diam dari apa saja
yang tidak penting bagi mereka.

∙ Al-Fudhail bin Iyadh berkata, "Haji, menjaga daerah perbatasan, dan jihad tidak
lebih berat daripada menjaga lidah. Jika engkau dibuat sedih oleh lidahmu,
engkau berada dalam kesedihan yang mendalam”.
Mana yang Lebih Baik: Bicara atau Diam?
∙ Orang-orang berdiskusi di samping Al-Ahnaf bin Qais tentang mana yang lebih
baik antara bicara dengan diam. Mereka berkata, "Diam lebih baik daripada
bicara”. Al-Ahnaf bin Qais berkata, "Bicara lebih baik daripada diam, karena
keutamaan diam hanya dirasakan pelakunya, sedang perkataan yang baik
dirasakan siapa saja yang mendengarnya”.
∙ Salah seorang ulama berkata di sisi Umar bin Abdul Aziz, "Orang yang diam atas
dasar ilmu adalah seperti orang yang bicara atas dasar ilmu”. Umar bin Abdul
Aziz berkata, "Sungguh orang yang bicara atas dasar ilmu lebih baik kondisinya
pada Hari Kiamat, karena manfaatnya dirasakan manusia, sedangkan diamnya
orang atas dasar ilmu itu manfaatnya untuk dirinya sendiri”. Ulama tersebut
berkata kepada Umar bin Abdul Aziz, "Wahai Amirul Mukminin, bagaimana
dengan fitnah perkataan?" Ketika itulah, Umar bin Abdul Aziz menangis keras
Mana yang Lebih Baik: Bicara atau Diam?
∙ Sungguh indah apa yang dikatakan Ubaidillah bin Abu Ja’far, faqih
penduduk Mesir pada masanya dan salah seorang yang bijak, "Jika
seseorang bicara di salah satu majlis dan bangga dengan bicaranya,
hendaklah ia diam. Jika ia diam dan bangga dengan diamnya, hendaklah
ia bicara”.
∙ Ini sangat baik, karena orang yang bisa seperti itu, maka diam dan
bicaranya karena melawan hawa nafsunya dan karena melawan
kekaguman terhadap dirinya sendiri.
∙ Barangsiapa bisa seperti itu, ia layak mendapatkan bimbingan Allah
dalam diam dan bicaranya, karena bicara dan diamnya untuk mengharap
ridha Allah Azza wa jalla.
“Bicara adalah Perak, Diam adalah Emas”

∙ Ibnu Al-Mubarak berkata, "Maksud perkataan


tersebut ialah jika perkataan karena taat kepada Allah
adalah perak, maka diam dari maksiat kepada Allah
adalah emas”.
∙ Ini disebabkan karena menahan diri dari kemaksiatan
lebih utama daripada mengerjakan ketaatan.
∙ Ibnul Qayyim al-Jauziyah berpendapat yang
sebaliknya
Dilarang Diam
∙ Selaludiam secara mutlak, atau menganggap diam sebagai bentuk taqarrub secara
mutlak, atau menganggap diam sebagai taqarrub di sebagian ibadah seperti haji, i”tikaf,
dan puasa itu dilarang.

∙ Diriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bahwa beliau melarang puasa dengan cara diam.

∙ Al-Ismailimeriwayatkan hadits Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang berkata,
"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang kami diam dalam i”tikaf”.

∙ Ali bin Abu Thalib RadhiyallahuAnhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda, "Tidak boleh diam pada siang hari hingga malam hari”.

∙ Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu berkata kepada wanita yang berhaji dengan
diam, "Diam tidak boleh, karena termasuk perbuatan jahiliyah”.
MEMULIAKAN
TETANGGA
ُ‫فَ ْليُ ْك ِر ْم َجا َره‬
Larangan Mengganggu Tetangga
∙ Mengganggu tetangga adalah haram, karena mengganggu tanpa alasan yang
benar itu diharamkan kepada semua orang dan pengharamannya lebih keras
jika ditujukan kepada tetangga.

∙ Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang pernah ditanya,
"Dosa apakah yang paling besar?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Engkau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Dia yang
menciptakanmu”. Ditanyakan, "Kemudian dosa apa lagi?" Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "Engkau membunuh anakmu karena khawatir ia makan
bersamamu”. Ditanyakan, "Kemudian dosa apa lagi?" Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, "Engkau berzina dengan istri tetanggamu"
Lebih dari 10x Lipat
∙ Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Al-Miqdad Radhiyallahu
Anhu yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Apa yang kalian katakan tentang zina?" Para sahabat berkata, "Haram yang
diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Zina tersebut haram hingga Hari Kiamat”.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “jika seseorang berzina
dengan sepuluh wanita maka itu lebih ringan baginya daripada ia berzina
dengan istri tetangganya”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda
lagi, “Apa yang kalian katakan tentang pencurian?" Para sahabat berkata
"Diharamkan Allah dan Rasul-Nya. jadi, pencurian itu haram”. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika seseorang mencuri dari sepuluh
rumah maka itu lebih ringan baginya daripada ia mencuri dari tetanggan ya”.
Akibat Lain…
∙ Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits dari Abu Syuraih dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Demi Allah, tidak
beriman. Demi Allah, TIDAK BERIMAN. Demi Allah, tidak beriman”.
Ditanyakan, “Siapa wahai Rasulullah?" Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, "Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari
gangguannya".

∙ Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah


Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda, "TIDAK MASUK SURGA orang yang tetangganya tidak
merasa aman dari gangguannya”.
Ahli Ibadah Tapi Menyakiti Tetangga
∙ Imam Ahmad dan Al-Hakim meriwayatkan hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu Anhu yang berkata,
"Dikatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita si Fulanah shalat di
malam hari dan berpuasa di siang hari, namun lidahnya tajam suka menyakiti
tetangganya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada
kebaikan pada wanita tersebut. Ia masuk neraka”. Dikatakan kepada Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, Sesungguhnya wanita si Fulanah mengerjakan
shalat-shalat wajib, berpuasa di bulan Ramadhan, bersedekah dengan keju
padahal ia tidak mempunyai apa-apa selain keju tersebut, dan tidak menyakiti
tetangganya”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ia masuk surga".
Redaksi Imam Ahmad, “Wanita tersebut tidak menyakiti tetangganya dengan
lidahnya”.
Mengubah Perilaku Tetangga
∙ Al-Hakim meriwayatkan hadits Abu Juhaifah yang berkata,
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam guna
mengeluhkan tetangganya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda
kepadanya, “Lemparkan perabotanmu di jalan”. Setiap kali orang-orang
berjalan melewati pemilik perabotan tersebut, mereka melaknat tetangganya.
Orang tersebut datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata,
“Wahai Rasulullah, aku tidak berani bertemu manusia”. Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, “Kenapa engkau tidak berani bertemu mereka?” Orang
tersebut berkata, Mereka melaknatku”. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, Sungguh engkau telah dilaknat Allah sebelum (dilaknat) manusia”.
Orang tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak mengulanginya lagi”.
Menyakiti Binatang Tetangga
∙ Al-Kharaithi meriwayatkan hadits dari Ummu Salamah
Radhiyallahu Anha yang berkata,
"Seekor kambing milik tetangga kami masuk, kemudian aku
mengambil pisau yang berkeluk ujungnya. Setelah itu, aku
berjalan ke arah kambing tersebut dan menyeretnya di antara
kedua jenggotnya (mulutnya) kemudian Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada (istilah)
sedikit dalam menyakiti tetangga".
Memuliakan dan Berbaik Baik kepada Tetangga

ِ ‫َوا ْعبُ ُدوا هَّللا َ َواَل تُ ْش ِر ُكوا بِ ِه َش ْيًئا َوبِ ْال َوالِ َدي ِْن ِإحْ َسانًا َوبِ ِذي ْالقُرْ بَى َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم َسا ِك‬
‫ين‬
َ ‫ت َأ ْي َمانُ ُك ْم ِإ َّن هَّللا‬
ْ ‫يل َو َما َملَ َك‬ ِ ‫ب بِ ْال َج ْن‬
ِ ِ‫ب َواب ِْن ال َّسب‬ ِ ‫َّاح‬
ِ ‫ب َوالص‬ ِ ُ‫ار ْال ُجن‬ِ ‫ار ِذي ْالقُرْ بَى َو ْال َج‬ ِ ‫َو ْال َج‬
‫ان ُم ْختَااًل فَ ُخو ًرا‬ َ ‫اَل ي ُِحبُّ َم ْن َك‬
"Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu
bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
TETANGGA YANG DEKAT DAN TETANGGA YANG JAUH, teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya kalian; sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri”. (An-Nisa”: 36).
Hikmah QS 4:36
∙ Pada ayat di atas, Allah Ta’ala mengumpulkan hak-Nya terhadap
manusia dengan hak-hak manusia terhadap manusia.
∙ Selain itu, Allah Ta’ala menyebutkan orang-orang yang diperintahkan
disikapi dengan baik:
1.ORANG-ORANG YANG MASIH DALAM HUBUNGAN KEKERABATAN.
Allah menyebutkan orang tua secara khusus di antara mereka, karena
keduanya memiliki keistimewaan atas seluruh sanak kerabat dan tidak
ada satu pun dari mereka yang mempunyai keistimewaan tersebut
bersama keduanya, karena keduanya menjadi sebab keberadaan anak,
mempunyai hak mendidik, mengasuhnya, dan lain-lain.
Hikmah QS 4:36
2. ORANG-ORANG LEMAH DAN MEMBUTUHKAN BANTUAN. Mereka terdiri dari dua kelompok;
Pertama, orang-orang yang membutuhkan bantuan karena badan mereka lemah, yaitu anak-
anak yatim. Kedua, orang-orang yang membutuhkan bantuan karena harta mereka sedikit, yaitu
orang-orang miskin.

3. ORANG-ORANG YANG MEMPUNYAI HAK KEDEKATAN DAN INTERAKSI. Mereka terdiri dari tiga
kelompok; Pertama, tetangga dekat. Kedua, tetangga jauh. Ketiga, teman sejawat.

4. ORANG YANG DATANG KEPADA SESEORANG DAN TIDAK MENETAP PADANYA, yaitu musafir, jika
berhenti di salah satu daerah. Ada ulama yang menafsirkannya tamu, maksudnya jika musafir
singgah sebagai tamu pada seseorang.

5. BUDAK. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seringkali menasihati kaum Muslimin agar mereka
berbuat baik kepada budak-budak mereka. Diriwayatkan bahwa wasiat terakhir Nabi Shallallahu
Alaili wa Sallam sebelum beliau wafat ialah, "Shalat dan budak-budak kalian”
3 Jenis Tetangga
∙ Ada ulama yang berkata bahwa tetangga dekat ialah tetangga Muslim sedang
tetangga jauh ialah orang kafir.
∙ Dalam Musnad Al-Bazzar disebutkan hadits Jabir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam yang bersabda,
∙ "Tetangga ada tiga: tetangga yang mempunyai satu hak dan ia adalah tetangga yang
paling rendah haknya, tetangga yang mempunyai dua hak, dan tetangga yang
mempunyai tiga hak yang merupakan tetangga yang paling baik haknya.
1.Tetangga yang mempunyai satu hak ialah tetangga musyrik yang bukan kerabat dan ia berhak
atas hak ketetanggaan.
2.Sedang tetangga yang mempunyai dua hak ialah tetangga Muslim; ia berhak atas hak Ilslam
dan hak ketetanggaan.
3.Sedang tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga Muslim yang masih sanak kerabat;
ia mempunyai hak Islam, hak ketetanggaan, dan hak sanak kerabat”.
Batas Tetangga
∙ Sejumlah generasi salaf berkata, "Batas ketetanggaan ialah empat puluh
rumah”.
∙ Ada lagi yang mengatakan, "Batas ketetanggaan ialah dikelilingi empat
puluh rumah dari segala penjuru”.
∙ Dalam hadits-hadits mursal Az-Zuhri disebutkan bahwa seseorang datang
kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam guna mengeluhkan tetangganya
kemudian beliau menyuruh salah seorang sahabat untuk berseru,
"Ketahuilah bahwa empat puluh rumah adalah tetangga”.
∙ Az-Zuhri berkata, "Empat puluh seperti ini, empat puluh seperti ini, empat
puluh seperti ini, dan empat puluh seperti ini”.
∙ Maksudnya, di depan, di belakang, di sebelah kanan, dan di sebelah kirinya.
Tetangga Terdekat
∙ Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan hadits dari
Aisyah Radhiyallahu Anha yang berkata, aku
berkata,
"Wahai Rasulullah, aku mempunyai dua tetangga;
siapa di antara keduanya yang harus aku beri
hadiah? “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Tetangga yang paling dekat pintunya
denganmu”.
Bentuk Berbuat Baik
∙ Di antara bentuk berbuat baik kepada tetangga ialah
MEMBANTUNYA JIKA IA MEMBUTUHKAN BANTUAN.
∙ Dalam Al-Musnad disebutkan hadits dari Umar bin KhAth-Thab
Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda, “Orang Mukmin tidak akan kenyang sendirian tanpa
tetangganya”.
∙ Al-Hakim meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma
dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Tidaklah
disebut Mukmin jika ia kenyang, sedang tetangganya kelaparan”.
Bentuk Berbuat Baik
∙ Al-Kharaithi dan lain-lain meriwayatkan dengan sanad dhaif hadits Atha’ Al-Khurasan dari Amr bin Syu”aib dari ayahnya dari
kakeknya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

"Barangsiapa menutup pintunya bagi tetangganya karena mengkhawatirkan keluarga dan


hartanya, ia bukan Mukmin. Bukan Mukmin orang yang tetangganya tidak merasa aman dari
gangguannya. Tahukah engkau apa hak tetangga? Jika ia meminta pertolonganmu, bantulah
dia. Jika ia meminta pinjaman kepadamu, pinjamilah dia. Jika ia membutuhkan engkau
mengunjunginya. jika ia sakit, engkau menjenguknya. Jika ia mendapatkan kebaikan, engkau
mengucapkan selamat kepadanya. Jika ia mendapatkan musibah, engkau menghiburnya.
Jika ia meninggal dunia, engkau mengantar jenazahnya. Janganlah engkau meninggikan
bangunan dari bangunannya karena itu menghalangi udara kecuali dengan izinnya, engkau
jangan menyakitinya dengan bau periukmu kecuali engkau memberikan sebagian
daripadanya. Jika engkau membeli buah-buahan, berilah ia hadiah. jika engkau tidak dapat
melakukannya, masukkan buah-buahan tersebut dengan rahasia. janganlah anakmu keluar
dengan buah-buahan tersebut untuk membuat marah anaknya”.
Nasib di Akhirat Tergantung Tetangga
∙ Dalam Al-Musnad disebutkan hadits dari Uqbah bin Amir
Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda, "Dua orang yang pertama kali bermusuhan pada Hari
Kiamat ialah dua orang yang bertetangga”.
∙ Dalam Al-Adab Al-Mufrad Al-Bukhari disebutkan hadits dari
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam yang bersabda, "Betapa banyak tetangga yang
tergantung oleh tetangganya di Hari Kiamat kemudian
tetangganya berkata, “Tuhanku, tetanggaku ini menutup
pintunya bagiku dan menahan kebaikannya
Tetangga Yahudi
Dalam Al-Musnad dan At-Tirmidzi disebutkan hadits dari
Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu Anhuma bahwa ia
menyembelih seekor kambing kemudian berkata, "Apakah
kalian menghadiahkan sebagiannya kepada tetangga kami
yang Yahudi?" - Ia berkata seperti tiga kali -. Ia berkata lagi,
aku dengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Jibril terus menerus berwasiat kepadaku tentang tetangga
hingga aku kira tetangga akan mewarisi”.
Tetangga Naruh Barang
∙ Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan
hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
∙ "Salah seorang dan kalian jangan sekali-kali melarang
tetangganya menancapkan kayu di temboknya”. Setelah itu,
Abu Hurairah berkata, "Kenapa kalian aku lihat kalian
berpaling dari nasehat tersebut? Demi Allah, aku pasti
melemparkan kayu tersebut ke pundak-pundak kalian”
Sabar atas Gangguan Tetangga
∙ Madzhab Imam Ahmad dan Imam Malik melarang seseorang mempergunakan apa saja
miliknya yang mengganggu tetangganya.
∙ Menurut keduanya, seseorang wajib menahan diri dari mengganggu tetangganya dalam
bentuk ia dilarang mempergunakan barang miliknya yang mengganggu tetangganya.
∙ Imam Ahmad mewajibkan orang tersebut memberi apa yang dibutuhkan tetangganya dan
pemberiannya tersebut tidak merugikannya.
∙ Puncaknya, ia bersabar terhadap gangguan tetangganya dan tidak membalasnya dengan
balik menganggunya. Al-Hasan berkata, "Ketetanggaan yang baik bukanlah menahan diri
dari mengganggu, namun ketetanggaan yang baik ialah bersabar terhadap gangguan”.
∙ Diriwayatkan dari hadits Abu Dzar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Sesungguhnya Allah mencintai orang yang mempunyai tetangga dan ia disakiti oleh
tetangganya tersebut kemudian ia bersabar terhadap gangguannya hingga keduanya
dipisahkan kematian atau dengki”. (Diriwayatkan Imam Ahmad).
MEMULIAKAN TAMU
َ ‫فَ ْليُ ْك ِر ْم‬
ُ”‫ض ْيفَه‬
Memberi Hadiah
∙ Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits
Abu Syuraih Radhiyallahu Anhu yang berkata, kedua mataku
melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kedua
telingaku mendengar ketika beliau bersabda, "Barangsiapa
beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan
tamunya dengan memberinya hadiah (untuk bekal perjalanan)”.
Para sahabat bertanya, "Apa hadiahnya?" Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "(Untuk bekal perjalanan) sehari semalam”.
∙ Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda lagi, “Jamuan untuk
tamu ialah tiga hari dan selebihnya adalah sedekah”.
Menjamu Berjamaah
∙ Imam Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan hadits Al-Miqdam bin Ma’dikarib
dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda, "Siapa saja menjamu salah
satu kaum kemudian keesokan harinya mereka tidak diberi apa-apa, maka
menolong mereka adalah hak setiap Muslim hingga ia mengambil jamuan
semalam dari tanaman dan harta orang tersebut”.

∙ Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan dari Uqbah bin Amir
Radhiyallahu Anhu yang berkata, kami berkata, "Wahai Rasulullah, engkau
mengirim kami kemudian kami singgah di kaum yang tidak menjamu kami,
bagaimana pendapatmu?" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada
kami, Jika kalian singgah di salah satu kaum, perintahkan mereka memberikan untuk
kalian apa yang layak diterima tamu dan terimalah. Jika mereka tidak
melakukannya, ambillah dari mereka hak tamu yang harus mereka berikan”.
Tamu Menuntut Jamuan
∙ Nash-nash di atas menunjukkan KEWAJIBAN MENJAMU TAMU SELAMA SEHARI
SEMALAM. Itu pendapat Al-Laits dan Imam Ahmad.
∙ Imam Ahmad berkata, "Tamu berhak menuntut jamuan jika tuan rumah tidak memberinya, karena
jamuan hak wajib baginya”.
∙ Apakah tamu tersebut diperbolehkan mengambil harta tuan rumah jika tuan rumah menolak
menjamunya atau melaporkannya kepada penguasa setempat? Ada dua riwayat dari Imam Ahmad.
∙ Humaid bin Zanjawih berkata, "Malam tamu adalah wajib dan tamu tidak boleh mengambil jamuan
dari tuan rumah dengan paksa, kecuali jika tamu tersebut merupakan musafir untuk kemaslahatan
umum kaum Muslimin dan tidak untuk kemaslahatan pribadi”.
∙ Al-Laits bin Sa’ad berkata, "Jika tamu berhenti di tempat seorang budak, maka budak tersebut
menjamunya dengan harta yang ada di tangannya dan tamu berhak memakan hidangan kendati ia
tidak tahu tuan budak tersebut mengizinkannya, karena jamuan untuk tamu adalah wajib”.
∙ Imam Malik, Imam Syafi’i, dan lain-lain melarang memenuhi undangan budak tanpa izin tuannya.
Dilarang Menyulitkan Tuan Rumah
∙ Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Tamu tidak halal tinggal di rumah tuan rumah kemudian
menyulitkannya, "maksudnya, tamu berada di rumah tuan rumah kemudian membuatnya kesulitan.
∙ Namun, apakah hal tersebut terjadi di tiga hari atau hari-hari sesudahnya?
∙ Jika itu terjadi pada hari yang tidak diwajibkan, maka jelas tanpa ada keraguan dalam
pengharamannya.
∙ Jika itu terjadi di hari yang diwajibkan, yaitu hari dan malam pertama, maka di sini ada pertanyaan;
apakah menjamu diwajibkan atas orang yang tidak mempunyai apa-apa, ataukah menjamu tamu
hanya diwajibkan atas orang yang mempunyai sesuatu untuk menjamu tamunya?
∙ Jika dikatakan bahwa menjamu tamu tidak diwajibkan kecuali atas orang yang mempunyai sesuatu
untuk menjamu ini pendapat sejumlah ulama hadits, di antaranya Humaid bin Zanjawih maka tamu
tidak boleh meminta dijamu oleh orang yang tidak bisa menjamunya. Diriwayatkan dari Salman
yang berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang kami membebani diri untuk tamu
dengan sesuatu yang tidak kami miliki”.
Dilarang Menyulitkan Tuan Rumah
∙ Jika tuan rumah dilarang membebani diri untuk tamu, dengan sesuatu yang tidak
dimilikinya, maka ini menunjukkan bahwa tuan rumah tidak wajib membantu tamunya
kecuali dengan sesuatu yang dimilikinya.

∙ Jika tuan rumah tidak mempunyai sesuatu apa pun, ia tidak wajib memberi tamunya.
∙ Namun, jika tuan rumah mengutamakan tamunya daripada dirinya sendiri seperti yang
dilakukan orang-orang Anshar, di mana ayat berikut diturunkan tentang mereka,

‫ويؤثرون على أنفسهم ولو كان هبم خصاصة‬.

"Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri,


sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)”. (Al-Hasyr: 9).
∙ Maka itu hal yang baik dan mulia, tapi tidak wajib
Dilarang Menyulitkan Tuan Rumah
∙ Jika tamu mengetahui tuan rumah tidak menjamunya kecuali dengan makanannya dan
makanan anak-anaknya, serta bahwa anak-anak menderita karenanya, maka tamu tidak
boleh meminta dijamu tuan rumah tersebut karena mengamalkan sabda Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, "Tamu tidak halal tinggal di rurnah tuan rumah kemudian
menyulitkannya”

∙ Selain itu, menjamu tamu adalah infak yang sifatnya wajib.


∙ Jadi, infak tersebut hanya diwajibkan kepada orang-orang yang makanan dirinya dan
makanan orang-orang yang ditanggungnya lebih, seperti infak kepada sanak kerabat dan
zakat fitrah.

∙ Al-Khathabimenolak penafsiran kata membuatnya berdosa di hadits di atas dengan


penafsiran tamu berada di rumah tuan rumah namun tuan rumah tidak mempunvai
sesuatu apa pun untuk menjamunya.
Dilarang Menyulitkan Tuan Rumah
∙ Al-Khathabi berkata, "Aku kira pendapat tersebut tidak benar,
sebab bagaimana tuan rumah berdosa, padahal ia tidak dapat
menjamu tamunya dan tidak mendapatkan jalan untuk
menjamunya? Namun ia diperintahkan sesuai dengan
kemampuannya. Penafsiran hadits tersebut ialah bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menyukai tamu berada di
rumah tuan rumah setelah tiga hari, agar dada tuan rumah tidak
sesak karena keberadaan dirinya di rumah, kemudian ia
bersedekah dengan mengungkit-ungkitnya dan menyakiti
penerimanya. Jika itu terjadi, maka pahalanya batal”.
Dilarang Menyulitkan Tuan Rumah
∙ Ada catatan tentang perkataan Al-Khathabi tersebut, karena
penafsirannya tentang hadits justru benar dengan penolakannya.
∙ Penjelasan hadits tersebut ialah bahwa jika tamu berada di
rumah tuan rumah, sedang tuan rumah tidak mempunyai apa-
apa untuk menjamunya, maka bisa jadi itu membuat dadanya
sesak dan mengantarkannya kepada dosa dalam perkataan dan
perbuatannya. Jadi, maksudnya bukan berarti tuan rumah
berdosa karena ia tidak menjamu tamu karena ketidak-
mampuannya, wallahu a’lam

Anda mungkin juga menyukai