Pada waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga setengah
tahun, hampir tidak mencatat sejarah perkembangan. Perusahaan-perusahaan
asuransi yang ada di Hindia Belanda pada zaman penjajahan itu adalah :
a) Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda.
b) Perusahaan-perusahaan yang merupakan Kantor Cabang dari
Perusahaan Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan di
negeri lainnya.
Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan
asuransi kerugian di Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan
kepentingan bangsa Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa lainnya. Manfaat dan
peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat
pribumi.
Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih
sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan
pengangkutan. Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran,
karena jumlah kendaraan bermotor masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh
Bangsa Belanda dan Bangsa Asing lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat
adanya perusahaan asuransi kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II
kegiatan perasuransian di Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya
pemsahaan- perusahaan asuransi milik Belanda dan Inggris.
2. zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan.
Pada tahun 1950 berdiri sebuah perusahaan asuransi kerugian yang pertama,
yakni NV. Maskapai Asuransi Indonesia yang kemudian pada awal 2004 sudah
menjadi PT MAI PARK. Pada saat itu, sebagai perintis perusahaan asuransi
kerugian nasional yang pertama, maka perusahaan ini harus bersaing dengan
perusahaan asuransi asing yang unggul baik dalam faktor permodalan maupun
pengetahuan teknis.
Macam-macam resiko :
Risiko dapat dibedakan dengan berbagai macam cara, antara lain :
1. Resiko Murni (risiko yang tidak disengaja), adalah risiko yang apabila terjadi tentu
menimbulkan kerugian dan terjadinya tanpa disegaja.
Contoh : risiko terjadinya kebakaran, bencana alam, pencurian, dsb.
2. Resiko Spekulatif (risiko disengaja), adalah resiko yang sengaja ditimbullkan
oleh yang bersangkutan, agar terjadinya ketidakpastian memberikan keuntungan
kepadanya.
Contoh : resiko produksi, resiko moneter (kurs valuta asing).
3. Resiko Fundamental, adalah risko yang penyebabnya tidak dapat dilimpahkan
kepada seseorang dan yang menderita tidak hanya satu atau beberapa orang
saja, tetapi banyak orang.
Contoh : risiko terjadinya kebakaran, bencana alam, resiko perang, polusi
udara.dsb.
4. Resiko Khusus, adalah risiko yang bersumber pada peristiwa yang mandiri dan
umumnya mudah diketahui penyebabnya, seperti kapal kandas, pesawat jatuh,
tabrakan mobil dan sebagainya.
5. Resiko Dinamis, adalah risiko yang timbul karena perkembangan dan kemajuan
(dinamika) masyarakat di bidang ekonomi, ilmu dan teknologi, seperti risiko
keusangan, risiko penerbangan luar angkasa. Kebalikannya disebut,
Resiko Statis, seperti risiko hari tua, risiko kematian dan sebagainya.
Konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan
ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diter tidak
boleh diubah menjadi KP, karena hal ini mengandung unsur Riba’. Kedua unsur ini
dilarang dapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong
menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar
yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita
kenal sebagai sharing of risk.
Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu pemindahan
risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula
transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung.
Sebagai konsekwensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi
milik perusahaan ausransi.
Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan
asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai
berikut :
1. Akad (Perjanjian)
Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi
dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti.
Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak
adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung,
sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa.
Jika baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal,
perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi.
Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung
merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui
seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan
jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan
ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama
berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.
Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat
tolong-menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah.
Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari
larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar.
Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi
(transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah
milik peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa
mengklaim menjadi milik perusahaan.
3. Tabard dan Tabungan
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat
unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama
dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam
asuransi konvensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus
asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum
periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka
ahliwaris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polistidak
mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional
membayarkan uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan
yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang
bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang
polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebut judi jika
perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab
keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak /sedikitnya
klaim yang dibayarkannya.
5. Riba