Ketentuan Dan Validitas Surat Edaran Dirjen Bimas Islam
Ketentuan Dan Validitas Surat Edaran Dirjen Bimas Islam
Pada tanggal 29 Oktober 2021, Kementerian Agama melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam mengeluarkan surat edaran Nomor P-005/DJ.III/Hk.00.7/10/2021 tentang Pernikahan Mantan
Suami dalam Masa Idah Mantan Istri. Surat edaran ini menetapkan bahwa bekas suami yang akan
melakukan pernikahan baru dengan perempuan lain maka diwajibkan baginya untuk menunggu sampai
masa iddah mantan istrinya selesai.
Surat edaran ini menimbulkan berbagai tanggapan, baik yang mendukung maupun yang menolak.
Tanggapan yang mendukung menyatakan bahwa surat edaran ini merupakan ijtihad baru yang bertujuan
untuk menjaga kehormatan dan hak-hak perempuan. Sementara itu, tanggapan yang menolak menyatakan
bahwa surat edaran ini bertentangan dengan hukum Islam klasik.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian terhadap ketentuan dan validitas surat edaran Dirjen Bimas Islam
tentang pernikahan suami dalam masa iddah istri. Kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
yang lebih baik tentang ketentuan surat edaran tersebut, serta untuk memberikan penilaian terhadap
validitasnya dari perspektif hukum Islam.
Bagaimana validitas penetapan hukum SE
Dirjen Bimas Islam ini?
Surat Edaran DIRJEN BIMAS Islam Nomor P-005/ DJ.III/HK.00.7/10/2021 adalah surat yang
membahas masalah poligami dalam iddah istri. Surat Edaran tersebut termasuk ke dalam hukum
positif apabila dilihat dari pengertiannya. Jika dilihat dari hukum administrasi Negara, Surat
edaran dapat digolongkan kepada aturan kebijakan (bleidsregel). Keberadaan peraturan
kebijakan merupakan konsekuensi dari kewenangan bebas yang dimiliki oleh pemerintah
(diskresi). Peraturan kebijakan merupakan penggunaan diskresi dalam bentuk tertulis. Secara
normatif di Belanda, peraturan kebijakan diartikan sebagai suatu keputusan yang ditetapkan
sebagai peraturan umum, bukan merupakan suatu peraturan yang mengikat secara umum.
Peraturan kebijakan merupakan salah satu bentuk produk hukum yang lahir karena kebebasan
bertindak yang melekat pada administrator Negara yang lazim disebut dengan Freies Ermessen
atau diskresi. Sebab diterbitkannya Freies Ermessen yaitu adanya tuntutan keadaan yang sangat
cepat berubah sedangkan aturan yang ada tidak mampu untuk mengatasi keadaan tersebut,
dengan demikian diperlukan administrasi Negara yang responsif. Dalam hal ini Freies Ermessen
sangat berperan dalam mengatasi dan mengisi kekosongan hukum.