Anda di halaman 1dari 14

Ketentuan dan Validitas Surat Edaran Dirjen Bimas Islam tentang

Pernikahan Suami dalam Masa Idah Istri

Makalah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepenghuluan

Oleh

Kelompok Putra

Dosen Pengampu

Eko Mardiono S.Ag, M.SI

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2023

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................2
BAB 1............................................................................................................................3
PENDAHULUAN.........................................................................................................3
A. Latar Belakang....................................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................4
BAB 2............................................................................................................................5
PEMBAHASAN............................................................................................................5
A. Isi Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor P-005/DJ.III/Hk.00.7/ 10/2021 ttg
Pernikahan dalam Masa Idah Istri..............................................................................5
B. Validitas penetapan hukum SE Dirjen Bimas Islam.............................................5
C. Apakah SE ini hanya berlaku bagi Cerai Talak ataukah juga berlaku bagi Cerai
Gugat?........................................................................................................................8
1. Cerai talak.......................................................................................................8
2. Cerai Gugat...................................................................................................10
3. Apakah SE ini berlaku untuk cerai gugat ?...................................................11
BAB 3..........................................................................................................................14
KESIMPULAN...........................................................................................................14

2
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang
bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dalam
Islam, pernikahan merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan.

Dalam pernikahan, terdapat beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, salah


satunya adalah masa iddah. Masa iddah adalah masa tunggu yang harus dijalani oleh
perempuan yang ditalak, ditinggal mati suaminya, atau habis masa idah karena talak
raj'i. Masa iddah ini bertujuan untuk memastikan apakah perempuan tersebut hamil
atau tidak.

Menurut hukum Islam klasik, bekas suami tidak memiliki masa iddah untuk
menikah kembali dengan perempuan lain. Namun, dalam perkembangannya, terdapat
beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa bekas suami juga memiliki masa iddah
untuk menikah kembali dengan perempuan lain.

Pada tanggal 29 Oktober 2021, Kementerian Agama melalui Direktur Jenderal


Bimbingan Masyarakat Islam mengeluarkan surat edaran Nomor
P-005/DJ.III/Hk.00.7/10/2021 tentang Pernikahan Mantan Suami dalam Masa Idah
Mantan Istri. Surat edaran ini menetapkan bahwa bekas suami yang akan melakukan
pernikahan baru dengan perempuan lain maka diwajibkan baginya untuk menunggu
sampai masa iddah mantan istrinya selesai.

Surat edaran ini menimbulkan berbagai tanggapan, baik yang mendukung


maupun yang menolak. Tanggapan yang mendukung menyatakan bahwa surat edaran
ini merupakan ijtihad baru yang bertujuan untuk menjaga kehormatan dan hak-hak

3
perempuan. Sementara itu, tanggapan yang menolak menyatakan bahwa surat edaran
ini bertentangan dengan hukum Islam klasik.

Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian terhadap ketentuan dan validitas surat
edaran Dirjen Bimas Islam tentang pernikahan suami dalam masa iddah istri. Kajian
ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang ketentuan surat
edaran tersebut, serta untuk memberikan penilaian terhadap validitasnya dari
perspektif hukum Islam.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana validitas penetapan hukum SE Dirjen Bimas Islam ini?


2. Apakah SE ini hanya berlaku bagi Cerai Talak ataukah juga berlaku bagi
Cerai Gugat?

4
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Isi Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor P-005/DJ.III/Hk.00.7/


10/2021 ttg Pernikahan dalam Masa Idah Istri

1. Pencatatan pernikahan bagi laki-laki dan perempuan yang berstatus


duda/janda cerai hidup hanya dapat dilakukan apabila yang bersangkutan
telah resmi bercerai yang dibuktikan dengan akta cerai dari pengadilan
agama yang telah dinyatakan inkrah;
2. Ketentuan masa idah istri akibat perceraian merupakan kesempatan bagi
kedua pihak suami dan istri untuk dapat berpikir ulang untuk membangun
kembali rumah tangga yang terpisah karena perceraian;
3. Laki-laki bekas suami dapat melakukan pernikahan dengan perempuan
lain apabila telah selesai masa idah bekas istrinya;
4. Apabila laki-laki bekas suami menikahi perempuan lain dalam masa idah,
sedangkan ia masih memiliki kesempatan merujuk bekas istrinya, maka
hal tersebut dapat berpotensi terjadinya poligami terselubung;
5. Dalam hal bekas suami telah menikahi perempuan lain dalam masa idah
bekas istrinya itu, ia hanya dapat merujuk bekas istrinya setelah mendapat
izin poligami dari pengadilan.

B. Validitas penetapan hukum SE Dirjen Bimas Islam

Jika dilihat dari hukum administrasi Negara, Surat edaran dapat digolongkan
kepada aturan kebijakan (bleidsregel). Keberadaan peraturan kebijakan merupakan
konsekuensi dari kewenangan bebas yang dimiliki oleh pemerintah (diskresi).
Peraturan kebijakan merupakan penggunaan diskresi dalam bentuk tertulis. Secara
normatif di Belanda, peraturan kebijakan diartikan sebagai suatu keputusan yang

5
ditetapkan sebagai peraturan umum, bukan merupakan suatu peraturan yang mengikat
secara umum. Peraturan kebijakan merupakan salah satu bentuk produk hukum yang
lahir karena kebebasan bertindak yang melekat pada administrator Negara yang lazim
disebut dengan Freies Ermessen atau diskresi. Sebab diterbitkannya Freies Ermessen
yaitu adanya tuntutan keadaan yang sangat cepat berubah sedangkan aturan yang ada
tidak mampu untuk mengatasi keadaan tersebut, dengan demikian diperlukan
administrasi Negara yang responsive. Dalam hal ini Freies Ermessen sangat berperan
dalam mengatasi dan mengisi kekosongan hukum.

Berdasarkan angka 2 huruf c penjelasan undang-undang nomor 14 tahun 1985


tentang mahkamah agung menyatakan bahwa:

Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau


kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalanya peradilan.

Selain itu dalam Bab V, ketentuan lain pasal 79 UU MA menyatakan bahwa


Mahkamah Agung diberi wewenang untuk membuat peraturan lain yang diperlukan
guna kelancaran penyelengaraan peradilan, begitu juga jika terdapat kekurangan atau
kekosongan hukum MA berhak membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi
kekosongan tersebut, yang mana peraturan tersebut disebut dengan PERMA. Dalam
kenyataan praktik selain PERMA dikenal juga Surat Edaran (SEMA).

Sejak tahun 1951 MA telah mengeluarkan surat edaran dikenal dengan SEMA
No.1 tahun 1951 tanggal 20 januari 1951, tentang tunggakan perkara pada pengadilan
negeri yang berisi teguran dan perintah. Demikian itu awal pembuatan surat edaran
oleh MA, setelah itu setiap tahun rata-rata MA menerbitkan 5-6 buah, ada yang berisi
teguran saja, peringatan, dan teguran serta perintah yang dibarengi dengan petunjuk.

Landasan diberlakukanya Surat Edaran MA, yaitu berlandaskan pada pasal 12


ayat 3 Undang-undang Nomor 1 tahun 1950 tentang susunan, kekuasaan dan jalan
pengadilan mahkamah Agung Indonesia, yang berbunyi:

6
Tingkah-laku perbuatan (pekerjaan) pengadilan-pengadilan tersebut dan para
Hakim di pengadilan itu diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung. Guna
kepentingan jawatan maka untuk itu Mahkamah Agung berhak memberi peringatan-
peringatan, teguran dan petunjuk-petunjuk yang dipandang perlu dan berguna kepada
pengadilan-pengadilan dan para Hakim tersebut, baik dengan surat tersendiri maupun
Surat Edran.”

Dengan demikian SEMA memiliki legalitas, karena pembuatannya didasarkan


oleh ketentuan undang-undang, oleh karena itu SEMA mengikat kepada hakim dan
pengadilan, maka hakim dan pengadilan harus tunduk dan taat kepada SEMA tersebut
dalam menjalankan tugasnya terhadap permasalahan yang berkaitan.

Mengenai Surat Edaran DIRJEN BIMAS Islam Nomor P-005/


DJ.III/HK.00.7/10/2021 masalah poligami dalam iddah istri. Surat Edaran tersebut
merupakan hukum positif dilihat dari pengertian Hukum positif adalah kumpulan asas
dan kaidah hukum yang tertulis dan tidak tertulis yang saat ini sedang berlaku dan
mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pememrintah
atau pengadilan dalam Negara Indonesia. Pengertian hukum positif diperluas, bukan
saja yang berlaku sekarang melainkan termasuk juga hukum yang pernah berlaku
dimasa lalu. Hukum positif dibagi menjadi hukum positif tertulis dan tidak tertulis.
Sedangkan hukum positif tertulis dibedakan antara hukum positif tertulis yang
berlaku umum dan hukum positif tertulis yang berlaku khusus. Hukum positif yang
berlaku umum terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan
termasuk didalamnya yakni Surat Edaran, Juklak dan Juknis.

Kusmidi mengemukakan bahwa hikmah idah adalah memberikan kesempatan


kepada kedua belah pihak suami dan istri untuk memikirkan kembali tentang
perkawinan mereka. Memberikan kesempatan untuk melihat apakah ada peluang
untuk mereka kembali bersama dan dapat intropeksi diri dari pihak-pihak terkait.
Tidak dikhususkan untuk istri/perempuan saja, namun hukum idah diturunkan guna

7
mendatangkan kemaslahatan pada seluruh pihak seperti suami, istri, keluarga dan
masyarakat pada umumnya. Dewasa ini perihal ketentuan iddah sebenarnya untuk
suami dan istri karena adanya kesetaraan dalam pasangan dan keadilan yang mana
harus dilakukan oleh kedua pihak. Idah sebenarnya ditujukan bagi laki-laki dan
perempuan atau suami istri, sebab yang melakukan perkawinan adalah keduanya. Hal
ini dikarenakan : pertama, apabila suami memutuskan mengakhiri rumah tangganya
dengan menceraikan istrinya serta menjatuhkan talak ba`in dan kemudian suami ingin
menikahi seseorang yang tidak boleh dinikahinya karena memiliki hubungan dengan
istrinyaa seperti saudara kandung istrinya, maka suami harus menunggu atau beridah
sampai selesei masa idah dari istrinya tersebut: kedua, apabila laki-laki telah memiliki
empat orang istri, kemudian suami mentalak salah seorang istrinya dan hendak
menikah lagi, maka suami harus menunggu atau beribadah sampai masa iddah dari
istri yang ditalak selesei dan baru bisa melangsungkan pernikahan yang lain.

Ketentuan idah secara tersirat yang dilakukan oleh laki-laki atau suami ini terjadi
karena adanya ketentuan idah pada istri dan berdampak padanya jika ingin melakukan
suatu perkara yang berhubungan dengan itu. Jadi, masa iddah tidak serta-merta hanya
dijalankan oleh istri saja. Oleh karena itu, pada dasarnya idah di maksudkan untuk
memberikan kesempatan berpikir pada suami dan istri agar dapat kembali menjalani
kehidupan rumah tangga setelah intropeksi diri masing-masing dan menjadi pribadi
yang lebih baik lagi serta menerima kelebihan kekurangan pasangannya.

C. Apakah SE ini hanya berlaku bagi Cerai Talak ataukah juga berlaku
bagi Cerai Gugat?

1. Cerai talak

Talak, yang secara bahasa merujuk pada tindakan melepas ikatan, memiliki
signifikansi khusus dalam konteks syariah sebagai nama perbuatan untuk melepaskan
ikatan pernikahan. Dalam proses talak, suami yang diwajibkan untuk
melaksanakannya harus memenuhi dua syarat pokok, yaitu status mukallaf (seseorang

8
yang telah mencapai kematangan akal dan tanggung jawab hukum) dan dilakukan
atas kemauan sendiri.

Proses talak tidak hanya sekadar pemutusan hubungan pernikahan, melainkan


juga merupakan tindakan yang memerlukan pertimbangan matang dan tanggung
jawab penuh dari pihak yang melaksanakannya. Suami, sebagai pelaku talak,
diharapkan memahami dampak serta implikasi sosial dan ekonomi yang mungkin
terjadi akibat tindakan tersebut.

Menariknya, dalam konteks ketika seseorang sedang dalam kondisi mabuk, talak
yang dilakukannya tetap dianggap sah menurut syariah karena dianggap sebagai
hukuman baginya. Meskipun dalam keadaan mabuk, yang seharusnya dapat
mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan, hukum talak tetap diberlakukan.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam memberikan keutamaan pada pelaksanaan
hukum dan ketentuan yang telah ditetapkan, bahkan di tengah kondisi yang tidak
ideal.

Penting diketahui bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang


Pengadilan Agama sesuai Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak Dalam konteks hukum perkawinan Islam, penting untuk memahami bahwa
tindakan perceraian memiliki prosedur khusus yang mengamanatkan bahwa proses
tersebut hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Namun, perlu
dicatat bahwa sebelum mencapai tahap tersebut, Pengadilan Agama akan berusaha
secara aktif untuk mendamaikan kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik
pernikahan. Upaya perdamaian yang dilakukan oleh Pengadilan Agama
mencerminkan tekad sistem hukum Islam untuk memfasilitasi penyelesaian konflik
melalui jalan yang penuh kebijaksanaan dan keadilan. Sidang perdamaian ini
bertujuan untuk merestorasi hubungan pernikahan yang terganggu dan memberikan
kesempatan bagi suami dan istri untuk mencari solusi yang dapat mendamaikan

9
perbedaan mereka. Jika upaya perdamaian Pengadilan Agama tidak berhasil
mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak, barulah proses perceraian dapat
dilanjutkan di depan sidang Pengadilan Agama. Pergantian tahap ini menegaskan
pentingnya upaya serius dan itikad baik dalam menyelesaikan konflik pernikahan
sebelum memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut

Dalam ranah hukum Islam, terdapat dua bentuk talak yang diakui, yaitu talak
sharih dan talak kinayah. Talak sharih merujuk pada tindakan talak yang diucapkan
dengan menggunakan bahasa yang secara tegas dan eksplisit menyatakan niat untuk
menceraikan istri. Bahasa yang digunakan dalam talak sharih tidak memberikan
ruang untuk interpretasi ganda dan jelas ditujukan sebagai tindakan perceraian. Hal
ini memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap niat suami dalam
melepaskan ikatan pernikahan. Contoh “saya mentalakmu”, “kamu orang yang
tertalak”, dan “kamu orang yang ditalak.”

Sedangkan, talak kinayah merupakan bentuk talak yang menggunakan bahasa


atau ungkapan yang dapat memiliki interpretasi ganda. Ungkapan dalam talak
kinayah mungkin tidak secara langsung menyatakan niat cerai dan memungkinkan
terjadinya penafsiran berbeda. Contoh engkau adalah wanita yang bebas dan sepi)”,
“susullah keluargamu.

2. Cerai Gugat

Cerai gugat adalah bentuk perceraian di mana istri memainkan peran aktif
sebagai pihak yang mengajukan atau meminta perceraian, dengan tujuan untuk
melepaskan ikatan perkawinan. Dalam konteks ini, istri memiliki hak dan kebebasan
untuk mengambil inisiatif dalam mengakhiri hubungan pernikahannya. Tindakan ini
menegaskan pentingnya partisipasi aktif dan kedua belah pihak dalam proses hukum
perceraian.

Proses cerai gugat melibatkan istri sebagai penggugat yang harus menyampaikan
alasan-alasan tertentu kepada pengadilan sebagai dasar hukum untuk mengajukan

10
perceraian. Alasan-alasan tersebut dapat berkisar dari ketidakcocokan, peristiwa-
peristiwa yang memengaruhi rumah tangga, hingga masalah-masalah yang dianggap
signifikan oleh istri. Dengan demikian, cerai gugat mencerminkan upaya istri untuk
mencari solusi hukum atas ketidakharmonisan atau masalah yang dihadapi dalam
pernikahannya. Selain itu, keputusan cerai gugat ini secara langsung menunjukkan
bahwa pihak yang menggugat tidak bermaksud untuk merujuk kembali kepada
pasangan yang dijatuhkan talak atau mengajukan cerai.

Keberadaan cerai gugat juga memberikan dampak positif terhadap kesetaraan


gender dalam hukum perkawinan Islam, mengakui hak istri untuk memiliki suara dan
kontrol dalam keputusan yang melibatkan kelangsungan pernikahan. Ini
mencerminkan evolusi dalam pandangan hukum Islam terhadap hak dan kewajiban
pihak-pihak dalam perkawinan, di mana istri tidak hanya menerima, tetapi juga
memiliki hak untuk memutuskan langkah-langkah yang ditempuh dalam menanggapi
kondisi pernikahannya.

3. Apakah SE ini berlaku untuk cerai gugat ?

Berdasarkan ketentuan kedua, yang mengatur tentang "Ketentuan masa idah istri
akibat perceraian sebagai kesempatan bagi kedua pihak suami dan istri untuk
mempertimbangkan kembali pembangunan rumah tangga yang terpisah karena
perceraian," dan ke 4 “Apabila laki-laki bekas suami menikahi perempuan lain dalam
masa idah, sedangkan ia masih memiliki kesempatan merujuk bekas istrinya, maka
hal tersebut dapat berpotensi terjadinya poligami terselubung” dapat dipahami bahwa
masa idah memiliki peran penting dalam konteks rekonsiliasi dan peluang untuk
rujuk kembali.

Masa idah, yang merupakan masa tunggu setelah perceraian, menciptakan waktu bagi
suami dan istri untuk merenung, mempertimbangkan, dan memahami implikasi dari
keputusan perceraian yang diambil. Ini bukan hanya sekadar periode hukum, tetapi
juga merupakan jendela kesempatan emosional dan spiritual bagi kedua belah pihak

11
untuk mengevaluasi hubungan mereka, meresapi perasaan masing-masing, dan
mencari solusi untuk membangun kembali hubungan yang telah terpisah.

Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks Surat Edaran (SE) ini, ketentuan tersebut
menggarisbawahi pentingnya memanfaatkan masa idah sebagai peluang untuk rujuk
kembali. Masa idah dapat menjadi periode introspeksi dan refleksi yang mendalam,
memberikan ruang untuk memperbaiki komunikasi, memahami permasalahan yang
mungkin muncul, dan merencanakan langkah-langkah konstruktif untuk membangun
kembali rumah tangga. Dengan penekanan pada potensi rujuk kembali, SE ini
menekankan bahwa cerai talak, yang memungkinkan rujuk kembali, memiliki
perbedaan signifikan dengan cerai gugat yang, seperti dijelaskan, tidak memberikan
opsi rujuk.

Tujuan utama dari Surat Edaran (SE) ini adalah memberikan panduan dan ketentuan
yang mendukung rencana rekonsiliasi antara suami dan istrinya setelah perceraian.
Dengan menetapkan prosedur dan ketentuan terkait masa idah, SE ini bertujuan untuk
memberi kesempatan kepada suami untuk merujuk kembali kepada istrinya setelah
proses perceraian. Adapun masa idah yang diberikan pada suami mirip dengan masa
idah yang diberikan kepada istrinya, memberikan waktu untuk refleksi dan
pertimbangan sebelum mengambil keputusan besar seperti menikah lagi.

Pentingnya memberikan waktu bagi suami untuk menjalani masa idah tidak hanya
menekankan aspek hukum dari proses perceraian, tetapi juga menyoroti nilai-nilai
rekonsiliasi dan kesempatan untuk memperbaiki hubungan. Dengan memberikan
ruang untuk merenung dan memahami akar permasalahan, tujuan SE ini adalah
menciptakan lingkungan yang mendukung pertimbangan matang sebelum suami
mengambil langkah-langkah berikutnya, termasuk kemungkinan merujuk kembali
kepada istrinya.

Selain itu, tujuan SE ini adalah untuk mencegah suami agar tidak langsung menikah
lagi tanpa mempertimbangkan dampak dan tanggung jawab yang melekat dalam

12
pernikahan. Masa idah yang diberikan pada suami memberikan pembatasan waktu
yang sesuai untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil dilakukan
dengan penuh pertimbangan dan kesadaran akan tanggung jawab yang melekat dalam
suatu hubungan pernikahan.

Surat Edaran (SE) ini memiliki batasan fungsi dalam konteks perceraian, terutama
untuk kasus cerai gugat. Hal ini dikarenakan cerai gugat, sebagai tindakan perceraian
yang diajukan oleh salah satu pihak kepada pengadilan, tidak memberikan opsi untuk
rujuk kembali. Dengan kata lain, suatu cerai gugat tidak memungkinkan untuk
memulihkan hubungan pernikahan melalui proses rekonsiliasi.

Sebaliknya, cerai talak memberikan suatu kemungkinan rujuk kembali, selama masih
berada dalam masa iddah. Faktor ini menandakan perbedaan substansial antara cerai
talak dan cerai gugat dalam konteks SE ini. Meskipun demikian, SE ini tetap
memberikan arahan dan ketentuan terkait masa iddah, yang merupakan periode
tunggu setelah perceraian, memberikan suatu pengaturan waktu bagi pasangan untuk
merenung dan mempertimbangkan kembali keputusan mereka sebelum mengambil
langkah-langkah lebih lanjut.

Dengan demikian, meskipun SE ini tidak berlaku untuk cerai gugat, hal tersebut tidak
mengurangi nilai dan pentingnya dalam memberikan kerangka kerja dan panduan
hukum yang mempertimbangkan nilai-nilai rekonsiliasi, terutama pada kasus-kasus
perceraian yang melibatkan cerai talak

13
BAB 3
KESIMPULAN
Dari pembahasan-pembahasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
Surat Edaran Dirjen Bimas Nomor P- 005/DJ.III/HK.00.7/10/2021 tentang
pernikahan dalam masa iddah istri yang salah satu isinya yaitu laki-laki bekas suami
dapat melakukan pernikahan dengan perempuan lain apabila telah selesei masa idah
bekas istrinya. Maka ketika suami ingin menikah lagi dengan wanita lain harus
menunggu masa idah dari istri selesai baru dapat melakukan pernikahan yang baru.
Maka dalam keadaan seperti itulah, iddah suami dapat diterapkan supaya istri
mendapat keadilan dan tidak adanya diskriminasi

Surat Edaran (SE) ini memiliki batasan fungsi dalam konteks perceraian,
terutama untuk kasus cerai gugat. Hal ini dikarenakan cerai gugat, sebagai tindakan
perceraian yang diajukan oleh salah satu pihak kepada pengadilan, tidak memberikan
opsi untuk rujuk kembali. Dengan kata lain, suatu cerai gugat tidak memungkinkan
untuk memulihkan hubungan pernikahan melalui proses rekonsiliasi.

14

Anda mungkin juga menyukai