Anda di halaman 1dari 53

PELATIHAN SURVEILANS PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI (PD3I)

BAGI PETUGAS SURVEILANS DI KABUPATEN/KOTA DAN PROVINSI

MPI 4: SURVEILANS AFP


Dr Dewi Ambarwati, MKM
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
Dr Dewi Ambarwati, MKM
 TTL : Malang 19 Oktober 1977
 Pendidikan : S-1 FK UNPAD
 S-2 FKM USU
 Jabatan : Ketua Tim Kerja
Surveilans dan Imunisasi
 Instansi : Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Barat
 No. HP : 085296637663
 Email :
dewiambar1910@gmail.com
2
HASIL BELAJAR
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu melakukan surveilans Accute Flacid Paralysis (AFP)
sesuai ketentuan yang berlaku.

INDIKATOR HASIL BELAJAR


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta dapat:
1. Menjelaskan konsep surveilans AFP
2. Melakukan penemuan kasus
3. Melakukan manajemen spesimen
4. Melakukan pencatatan dan pelaporan
5. Melakukan analisis data dan rekomendasi
6. Melakukan Sistim Kewaspadaan Dini (SKD) dan Respon
7. Melakukan penanggulangan KLB Polio
Pokok Bahasan Materi Pokok 4 Pencatatan dan Pelaporan AFP
• Materi Pokok 1 Konsep Surveilans AFP Submateri pokok
Sub Materi Pokok: 1. Pencatatan
1. Pengertian dan Definisi Operasional 2. Pelaporan
2. Tujuan Materi Pokok 5 : Analisis data dan rekomendasi
• Materi Pokok 2: Penemuan Kasus AFP Submateri pokok
Submateri pokok 3. Analisis Data
1. Gejala dan Tanda 4. Rekomendasi
2. Strategi Penemuan Kasus Materi Pokok 6 : Sistim Kewaspadaan Dini (SKD) dan Respon
3. Hot Case
Sub Materi Pokok
4. Pelacakan kasus
5. Sistem Kewaspadaan Dini
5. Kunjungan ulang 60 hari
6. Respon
• Materi Pokok 3 : Manajemen spesimen
Materi Pokok 7: Penanggulangan KLB Polio
Sub Materi Pokok 7. Penyelidikan Epidemiologi
1. Cara dan Waktu Pengambilan Spesimen 8. Strategi Penanggulangan KLB Polio
2. Kriteria spesimen yang adekuat
3. Cara pengepakan spesimen
4. Pengiriman Spesimen
5. Jejaring Rujukan Laboratorium
Pokok Bahasan 1.
KONSEP SURVEILANS AFP
1. Pengertian dan Definisi Operasional
2. Tujuan
APAKAH POLIO ITU
 Polio adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang
menyerang susunan saraf manusia sehingga bisa menyebabkan
kelumpuhan permanen dan bahkan kematian.
 Sampai saat ini tidak ada obat untuk mengobati penyakit ini,
tetapi tersedia vaksin yang murah, aman dan efektif untuk
mencegah penyakit ini.
 Karenanya, upaya yang paling penting dalam mengatasi
penyakit ini adalah dengan memberikan imunisasi.
 Polio dapat menyerang siapa saja pada usia berapapun, tetapi
penyakit ini terutama menyerang anak dibawah lima tahun
(Balita)
CARA PENULARAN POLIO
 Polio ditularkan dari orang ke orang melalui
makanan/minuman yang terkontaminasi virus biasanya
melalui oro-fecal.
 Bila seorang anak terinfeksi virus polio, virus masuk ke
tubuh anak dan berkembang di usus.
 Selanjutnya virus dikeluarkan melalui tinja ke lingkungan
dan menyebar dengan cepat, terutama pada kondisi
dengan sanitasi lingkungan yang buruk.
 Virus Polio tidak bisa berkembang dan mati bila tidak
menemukan inang yang rentan, sehingga kalau
semua/sebagian besar anak telah diimunisasi polio, virus
polio akan kesulitan menemukan anak yang rentan.
MENGAPA HARUS MELAKUKAN SURVEILANS AFP?

• Surveilans AFP merupakan tulang punggung program eradikasi polio.


• Surveilans AFP untuk menemukan semua Polio diantara semua kasus
kelumpuhan yang bersifat layuh dan akut.
• Dengan surveilans AFP kita bisa mengidentifikasi kasus polio baru dan
mendeteksi importasi virus polio dari daerah lain.
• Dengan surveilans AFP pula kita bisa memastikan kapan virus telah
sepenuhnya tereradikasi.
Pengertian Surveilans AFP

• Surveilans AFP
• Surveilans AFP adalah
pengamatan yang dilakukan
terhadap semua kasus
lumpuh layuh akut (AFP)
pada anak usia < 15 tahun
yang merupakan kelompok
yang rentan terhadap
penyakit polio
BAGAIMANA MENENTUKAN KASUS AFP

Bila ada anak dengan kelumpuhan, tentukan tiga hal berikut:

1. Apakah anak berumur kurang dari 15 tahun?


2. Apakah kelumpuhan bersifat layuh/lemas? (bersifat lunglai, lemas atau layuh bukan kaku, atau
terjadi penurunan tonus otot).
3. Apakah kelumpuhan terjadi mendadak? (perkembangan kelumpuhan yang berlangsung cepat (rapid
progressive) antara 1 – 14 hari sejak terjadinya gejala awal (rasa nyeri, kesemutan, rasa tebal/kebas)
sampai kelumpuhan maksimal.

Bila jawaban ketiganya adalah “ya” maka kasus tersebut adalah kasus AFP dan harus dilaporkan. Segera
hubungi petugas kesehatan/puskesmas terdekat.
Tujuan Umum
a. Mengidentifikasi daerah risiko tinggi, untuk mendapatkan informasi
tentang adanya transmisi dari importasi VPL, cVDPV, dan daerah dengan
kinerja surveilans AFP yang tidak memenuhi standar/ indikator serta
daerah dengan cakupan imunisasi Polio yang rendah.
b. Memantau kemajuan program Eradikasi polio yang mencapai tahap
Endgame. Surveilans AFP memberikan informasi dan rekomendasi
kepada para pengambil keputusan dalam rangka keberhasilan program
Eradikasi Polio Dunia.
c. Mempertahankan Indonesia bebas polio. Untuk menyatakan bahwa
Indonesia bebas polio, harus dapat dibuktikan bahwa:
i. Tidak ada lagi penyebaran virus-polio liar maupun Vaccine Derived Polio Virus (cVDPV) di
Indonesia.
ii. Sistem surveilans AFP mampu mendeteksi setiap kasus polio paralitik yang mungkin terjadi.
Tujuan Khusus

a. Menemukan semua kasus AFP yang ada di suatu wilayah.


b. Melacak semua kasus AFP yang ditemukan di suatu wilayah.
c. Mengumpulkan dua spesimen semua kasus AFP sesegera mungkin setelah onset
kelumpuhan.
d. Memeriksa spesimen tinja semua kasus AFP yang ditemukan di Laboratorium
Polio Nasional.
e. Memeriksa spesimen kontak terhadap Hot Case untuk mengetahui adanya
sirkulasi VPL.
f. Melakukan kunjungan ulang 60 hari untuk kasus yang spesimennya tidak
adekuat atau mengandung virus vaksin.
g. Mempersiapkan rencana kontigensi KLB Polio
Pokok Bahasan 2.
Penemuan kasus AFP
1.Gejala dan Tanda
2.Strategi Penemuan Kasus
3.Hot Case
4.Pelacakan kasus
5.Kunjungan ulang 60 hari
GEJALA DAN TANDA
• Kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP)
Semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid
(layuh/lunglai, bukan kaku/terjadi penurunan tonus otot,terjadi secara akut (mendadak)
kelumpuhan yang berlangsung cepat (rapid progressive) antara 1 – 14 hari sejak
terjadinya gejala awal (rasa nyeri, kesemutan, rasa tebal/kebas) sampai kelumpuhan
maksimal.
• Kasus Polio Pasti (confirmed polio case) :
 Kasus AFP yang pada hasil pemeriksaan tinjanya dilaboratorium ditemukan virus polio liar (VPL),
VDPV (Vaccine Derived Polio Virus), atau hot case dengan salah satu spesimen kontak positif
VPL/VDPV
• Kasus Polio Kompatibel
Spesimen tidak adekuat dan terdapat paralisis residual pada kunjungan ulang 60 hari
setelah terjadinya kelumpuhan.
Strategi Penemuan Kasus
1. Sistem surveilans aktif rumah sakit
(hospital based surveillance=HBS) 2. Surveilans AFP di
2. Sistem surveilans masyarakat (community masyarakat /CBS
based surveillan-ce=CBS) a. Peran Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dalam
pelaksanaan CBS
1. Surveilans Aktif Rumah Sakit
b. Peran Puskesmas dalam
/HBS CBS
a. Lokasi pengamatan
b. Pelaksana
c. Frekuensi
pengamatan/pengumpulan data
d. Persiapan Pelaksanaan surveilans
aktif RS
HOTE CASE
• Pengertian :
Spesimen tidak adekuat kasus menyerupai polio. Kategori Hot Case dibuat berdasarkan kondisi
spesimen yang tidak adekuat pada kasus yang sangat menyerupai polio. Terdapat 3 Kategori Hot
Case yaitu A, B, dan C dengan kriteria sebagai berikut:

Kategori Hot case


• Kategori A:
• Spesimen tidak adekuat,
• Usia < 5 tahun,
• Demam,
• Kelumpuhan tidak simetris.
• Kategori B:
• Spesimen tidak adekuat,
• Dokter mendiagnosa suspect poliomyelitis.
• Kategori C:
• Spesimen tidak adekuat,
• Kasus mengelompok 2 atau lebih (cluster)
Pelacakan Kasus
• Setiap kasus AFP yang ditemukan harus segera dilacak dan dilaporkan ke unit pelaporan
yang lebih tinggi selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam setelah laporan diterima.
• Tujuan pelacakan kasus AFP :
 memastikan kasus, mengumpulkan data epid/FP1, ambil spesimen, mencari kasus
tambahan, memastikan ada atau tidak sisa kelumpuhan dan resume medis
• Tim Pelacak kasus AFP :
 petugas surveilans yang sudah terlatih dari kabupaten/kota, koordinator surveilans
puskesmas/ dokter puskesmas, dan/atau petugas surveilans propinsi.
• Prosedur Pelacakan kasus AFP:
 Isi FP1, menanyakan riwayat sakit, vaksinasi dll, lengkapi imunisasi anak, ambil
spesimen 2 kali jarak minimal 24 jam, cari kasus tambahan
Kunjungan Ulang 60 hari
• Pada kasus AFP dengan spesimen yang tidak adekuat dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif,
maka belum bisa dipastikan bahwa kasus tersebut bukan polio.
• Informasi penunjang secara klinis pada kunjungan ulang 60 hari. Pada kasus AFP dengan hasil virus
polio vaksin positif, diperlukan KU 60 hari sebagai bahan pertimbangan kelompok kerja ahli dalam
menentukan apakah ada hubungan antara kelumpuhan dengan virus polio vaksin yang ditemukan.
• Kunjungan ulang 60 hari kasus AFP dimaksudkan untuk mengetahui adanya sisa kelumpuhan setelah
60 hari sejak onset kelumpuhan.
• Terdapat 2 kemungkinan hasil pemeriksaan kelumpuhan pada KU 60 hari:
1. Tidak ada sisa kelumpuhan
 Apabila tidak ada sisa kelumpuhan pada KU 60 hari, maka kasus AFP tersebut diklasifikasikan
sebagai kasus AFP non-polio.
2. Ada sisa kelumpuhan
 Apabila ada sisa kelumpuhan pada KU 60 hari, maka kasus AFP tersebut diperlukan pemeriksaan lanjutan oleh
DSA/DSS/Dr.Umum dan dibuatkan Resume Medik sebagai bahan pertimbangan Komite Ahli SAFP dalam
mengklasifikasikan kasus AFP tersebut (Format 31).
• Siapa yang melakukan KU 60 hari?
 KU 60 hari dilakukan oleh petugas surveilans di Puskesmas/kabupaten/kota/provinsi.
Tatalaksana pemeriksanaan kelumpuhan pada KU 60 hari
1. Kunjungi kasus AFP yang spesimennya tidak adekuat atau hasil laboratorium positif virus polio vaksin segera
setelah hari ke 60 sejak terjadi kelumpuhan.
2. Bila perlu ajaklah dokter yang melakukan pemeriksaan awal untuk menetapkan diagnosis akhir kasus dengan
mempertimbangkan hasil pemeriksaan terdahulu.
3. Lakukan tes semua kekuatan otot (bukan hanya yang semula lumpuh saja) dengan cara penderita diminta
untuk melakukan gerakan-gerakan normal seperti: Gerakan leher, angkat lengan/kaki, mengepalkan ke dua
tangan, gerakkan sendi, Gerakan jari, jalan dengan kedua tumit, jalan dengan kedua ujung jari-jari kaki.
4. Bandingkan ukuran anggota gerak kanan dan kiri. Jika salah satu mengalami atropi atau pengecilan maka perlu
dimasukkan ke dalam pencatatan KU 60.
5. Isikan formulir KU 60 hari sesuai hasil pemeriksaan.
6. Segera kirimkan hasil KU 60 hari ke propinsi untuk diteruskan ke Epidata WHO EPI dan Direktorat Pengelolaan
Imunisasi melalui email epidataino@gmail.com dan survpd3i.kipi@gmail.com Ditjen P2P.
• Bila kasus tidak dapat di KU 60 hari yang disebabkan oleh:
1. Meninggal
2. Pindah dengan alamat tidak jelas Tetap lengkapi formulir KU 60 hari dengan mencantumkan alasannya.
3. Menolak
4. Dll.
Materi Pokok 3 :

Manajemen spesimen
1. Persiapan sebelum pengambilan spesimen
2. Cara dan waktu pengambilan spesimen
3. Kriteria spesimen yang adekuat
4. Cara pengepakan spesimen
5. Pengiriman Spesimen
6. Jejaring Rujukan Laboratorium
Manajemen Spesimen
1. Persiapan sebelum pengambilan spesimen setiap kasus AFP
a. 2 buah pot bertutup ulir di bagian luarnya yang dapat ditutup rapat, terbuat dari bahan transparan,
tidak mudah pecah, tidak bocor, bersih dan kering (pot-tinja).
b. 2 buah kantong plastik transparan/ziplock bersih ukuran kecil untuk membungkus masing-masing
pot-tinja.
c. 1 buah kantong plastik transparan/ziplock yang berukuran lebih besar untuk membungkus ke 2 pot-
tinja yang telah dibungkus dengan kantong plastik kecil.
d. 1 buah kantong plastik besar untuk membungkus FP1 dan formulir pengiriman spesimen yang akan
disertakan dalam specimen carrier.
e. 2 buah kertas label auto-adhesive (pada umumnya sudah tertempel di pot yang tersedia).
f. Spidol dengan tinta tahan air untuk menulis label.
g. Formulir pelacakan (FP1) dan pengiriman spesimen (FP-S1).
h. Specimen carrier dengan 5 cold pack:
 Suhu harus terjaga antara 2 - 8 oC yang dibuktikan dengan adanya thermometer analog khusus
refrigerator.
 Tidak dianjurkan menggunakan gel pack atau es batu.
 Harus diberi label: KHUSUS SPESIMEN POLIO.
 Tidak boleh digunakan untuk transportasi vaksin atau keperluan lainnya.
2. Cara dan Waktu Pengambilan Spesimen

• Spesimen yang diperlukan dari penderita AFP adalah spesimen tinja, namun tidak semua kasus AFP yang
dilacak harus dikumpulkan spesimen tinjanya. Pengumpulan spesimen tinja tergantung dari lamanya
kelumpuhan kasus AFP. Walaupun kemungkinan terbesar untuk ditemukan virus polio dalam tinja adalah
dalam waktu 14 hari pertama kelumpuhan (63 - 96%), namun virus polio masih dapat dideteksi
keberadaannya dalam tinja kira-kira sampai dengan dua bulan setelah kelumpuhan terjadi. Keberadaan
virus polio dalam tinja sangat kecil setelah lebih dari dua bulan kelumpuhan (5 - 10%).

• Kriteria diatas didasarkan pada kenyataan bahwa:


 Bila kelumpuhan terjadi < 2 bulan pada saat ditemukan, maka :
1) Isi formulir FP1.
2) Kumpulkan 2 spesimen tinja penderita AFP.
 Bila kelumpuhan terjadi > 2 bulan pada saat ditemukan, maka :
1)Isi formulir FP1 dan KU 60 hari.
2)Tidak perlu dilakukan pengumpulan spesimen tinja penderita AFP.
3)Membuat resume medik.
3. Kriteria spesimen yang adekuat untuk kasus AFP dikategorikan bila

1. 2 spesimen dapat dikumpulkan dengan tenggang waktu minimal 24 jam.


2. Waktu pengumpulan ke 2 spesimen tidak lebih dari 14 hari sejak terjadi
kelumpuhan.
3. Masing-masing spesimen minimal 8 gram (sebesar satu ruas ibu jari orang
dewasa), atau 1 sendok makan bila penderita diare.
4. Pada saat diterima di laboratorium dalam keadaan:
a. 2 spesimen tidak bocor.
b. 2 spesimen volumenya cukup.
c. Suhu dalam spesimen karier 2 - 8° C.
d. 2 spesimen tidak rusak(kering, dll).

Apabila salah satu kriteria diatas tidak terpenuhi maka dikategorikan sebagai
spesimen tidak adekuat.
4. Cara pengepakan spesimen
1. Beri label masing-masing pot-tinja — dengan menggunakan tinta tahan air — yang mencantumkan:
a. Nomor EPID à lihat tatacara pemberian nomor EPID.
b. Nama penderita.
c. Tanggal pengambilan spesimen.
d. Spesimen I atau II
2. Lapisi label dengan cellotape agar tidak mudah lepas, tapi tetap terbaca.
3. Setiap pot-tinja dimasukkan dalam kantong plastik kecil, kemudian bungkus keduanya dalam satu kantong plastic besar.
4. Selanjutnya spesimen dimasukkan ke dalam specimen carrier yang diberi cold packs sehingga suhu dapat dipertahankan
antara 2 - 8 0C sampai di laboratorium pemeriksa atau propinsi.
5. Letakkan spesimen sedemikian rupa sehingga specimen tidak terguncang-guncang. Masukkan thermometer kedalam
spesimen carrier kemudian tutup.
6. Formulir pelacakan (FP1), formulir pengiriman specimen (FP-S1), dan formulir pemantauan rantai dingin (format 22)
spesimen dibungkus plastik dan diletakkan di luar specimen carrier.
7. Tutup specimen carrier dan rekatkan dengan lackban agar tutup tidak dibuka.
8. Tempelkan pada badan specimen carrier: alamat laboratorium yang dituju (Format 4) dan alamat pengirim.
4. Cara pengepakan spesimen
9. Spesimen siap dikirim ke laboratorium polio nasional. Spesimen harus tiba di laboratorium paling lambat 3
hari setelah pengemasan tersebut diatas.
a. Bila diperkirakan akan dikirim ≤ 3 hari setelah pengemasan, maka simpanlah di lemari es pada suhu 2-8
0
C.
b. Bila diperkirakan baru dapat dikirim >3 hari setelah pengemasan, maka simpanlah di freezer.

Apabila penderita dirawat di RS :


1. Mintalah bantuan kepada salah seorang petugas rumah sakit untuk mengumpulkan spesimen dari
penderita.
2. Titipkan perlengkapan untuk mengambil spesimen kepada petugas rumah sakit.
3. Jelaskan kepada petugas bersangkutan cara:
a) mengumpulkan spesimen, termasuk seberapa banyak spesimen yang harus dikumpulkan, dan
emasukkannya ke dalam pot-tinja.
b) menyimpan spesimen dalam specimen carrier.
c) mengelola specimen carrier: Specimen carrier hanya boleh dibuka pada waktu akan menyimpan
spesimen ke dalamnya dan harus ditutup rapat segera setelah specimen dimasukkan ke dalamnya.
5.Pengiriman Spesimen
Sebelum spesimen dikirim ke tujuan (kabupaten/kota, propinsi, laboratorium), yakinkan bahwa spesimen dalam keadaan
baik (volume cukup, tidak kering dan tidak bocor) dengan mengisi formulir Pemantauan Rantai Dingin spesimen atau Form
FPS-0 (Format 22).
1. Pengiriman spesimen ke laboratorium di lakukan oleh tim surveilans yang ada di kabupaten/kota atau propinsi.
2. Kabupaten/kota dapat langsung mengirim spesimen ke laboratorium polio nasional yang telah ditunjuk dengan tetap
melaporkan FP1 kepada dinkes provinsi.
3. Spesimen dikemas dalam specimen carrier kemudian dikirim melalui jasa pengiriman paket/kurir ke laboratorium yang
dituju dalam waktu 1 – 2 hari.
4. Upayakan agar spesimen tiba di laboratorium tidak pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur lainnya, kecuali sudah ada
konfirmasi dengan laboratorium yang dituju.
5.Pengiriman Spesimen
5. Jika spesimen dikirim melalui provinsi maka petugas surveilans provinsi harus :
a. Memeriksa kondisi spesimen (ada/tidak kebocoran, kecukupan volume, dingin/tidak) dengan menggunakan APD
yang sesuai (gown, masker dan sarung tangan)
b. Menuliskan kondisi spesimen serta tanggal pengiriman spesimen dari provinsi ke laboratorium pada formular
permintaan pemeriksaan spesimen (Format 9).
c. HARUS melakukan penggantian coldpack dengan yang baru. Jika provinsi menerima spesimen dalam kondisi
bocor :
 Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yaitu gown, sarung tangan dan masker
 Masukkan wadah spesimen ke dalam plastik baru
 Ganti coldpack dan spesimen carrier dengan yang baru
 Dekontaminasi coldpack dan spesimen carrier yang terkontaminasi dengan larutan hipoklorit 1% yang segera
digunakan <24 jam atau menggunakan vircon (dapat digunakan <1 minggu)
• Bersamaan dengan pengiriman spesimen ke laboratorium, harus dikirimkan juga form FP1 ke Epidata WHO EPI
dan Direktorat Pengelolaan Imunisasi melalui email epidataino@gmail.com dan survpd3i.kipi@gmail.com Ditjen
P2P.
• Apabila laporan FP1 tersebut belum diterima oleh Epidata WHO EPI dan Direktorat Pengelolaan Imunisasi, data
tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut, walaupun telah ada hasil laboratorium.
6. Jejaring Rujukan Laboratorium

Laboratorium memiliki peran penting dalam memberikan informasi virologi yang dapat digunakan untuk eradikasi virus
polio. Laboratorium harus memberikan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang sirkulasi virus polio yang dapat
digunakan untuk mencapai eradikasi polio global.
1. Melakukan isolasi virus polio dari sampel tinja pada kasus AFP dan menentukan diagnose pasti kasus poliomielitis
melalui isolasi virus polio
2. Melakukan identifikasi pada semua isolat virus polio dengan pemeriksaan ITD sesegera mungkin untuk menentukan
serotipe dan jenis virus
3. Melakukan karakterisasi genetik terhadap isolat virus polio termasuk analisis genom untuk mengetahui asal isolate
4. Saat ini di Indonesia terdapat 3 laboratorium yang ditunjuk oleh Kementerian kesehatan sebagai laboratorium polio
nasional yaitu:
 Pusjak SKK dan SDK, BKPK, Kemkes RI, Jakarta

 Laboratorium PT Biofarma, Bandung

 Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK), Surabaya


VIDEO : Link……..
Materi Pokok 4:
Pencatatan dan Pelaporan
1.Pencatatan
2.Pelaporan
Pusat
(Subdit
• Melaporkan form Surveilans) Mengirim
database (PLIFA)
Alur Pencatatan FP1/KU/RM ke Pusat
paling lambat hari Membuat ringkasan performa pemeriksaan
spesimen AFP
surveilans AFP dan diseminasi
dan Pelaporan Kamis
• Merekap kasus AFP ke Dinkes Prov

Surveilans AFP ke List Penderita AFP


Dinas
Melaporkan Kasus Kesehatan Laboratorium
AFP / Suspek PD3I • Melaporkan form Provinsi
Lain ke Dinkes FP1/KU/RM dan
Kab/Kota dengan menngirimkan • Koordinasi dg Dinkes Mengirim
mengan spesimen ke Kab/Kota untuk melakukan spsesimen ke
menggunakan form Dinkes Prov investigasi jika ada laporan Lab Rujukan
notifikasi RS untuk • Merekap kasus kasus PD3I dari RS Nasional dengan
suspek PD3I AFP ke List • Memberikan feedback melampirkan
Penderita AFP performa surveilans AFP FP1 dan form
permintaan
Dinas pemeriksaan
RSUP Kesehatan spesimen

Melaporkan Kasus Kab / Kota


AFP / Suspek PD3I Koordinasi dg
Lain ke Dinkes Melaporkan form FP1/KU/RM
Puskesmas untuk
Kab/Kota dengan dan mengirimkan spesimen
melakukan investigasi
mengan ke Dinkes Kab/kota
jika ada laporan kasus
menggunakan form • Dokter Praktik Swasta
PD3I dari RS
notifikasi fasyankes • Bidan
untuk suspek AFP RSUD Puskesmas • Kader
Investigasi kasus dengan • Masyarakat
Form FP1/KU/RM dan
pengambilan spesimen
Suspek
AFP
Alur Pencatatan dan
Pelaporan Surveilans AFP
• Mingguan ke Dinkes Kab/Kota:
Puskesmas  Form FP1 Investigasi Kasus Suspek AFP

• Mingguan: ke Dinkes Prov


Dinkes Form FP1 Investigasi Kasus Suspek AFP
Kab/Kota • Bulanan ke Dinkes Prov:
List Penderita Suspek AFP

• Mingguan ke Pusat:
Dinkes Form FP1 Investigasi Kasus Suspek AFP
• Bulanan ke Pusat:
Provinsi List Penderita Suspek AFP

Pusat
INSTRUMEN PELAPORAN
SURVEILANS AFP
• Instrumen UTAMA dalam investigasi kasus AFP
• Berisikan identitas kasus, riwayat penyakit, riwayat imunisasi, riwayat
Form FP1 bepergian, dll.
• Sebagai dokumen pendukung dalam pemeriksaan spesimen
(Puskesmas) • Dilaporkan segera setelah kasus ditemukan

• Digunakan pada saat kunjungan ulang 60 hari kasus AFP yang spesimen tidak
Form KU 60 dan R diambil/tidak adekuat/hasil positif VPV
esume • Memantau apakah kasus masih memiliki kelumpuhan setelah 60 hari atau tidak
• Jika masih memliki paralisis residual/meninggal perlu dibuatkan resume medik
Medik • Dilaporkan segera setelah dilakukan KU60
(Puskesmas)

• Form rekapitulasi kasus AFP yang ditemukan


Form List Kasus • Berfungsi sebagai raw data untuk analisis lebih lanjut
AFP • Dapat berfungsi sebagai control nomor epid
(Dinkes Kab • Dikirim ke Provinsi pada tanggal 5 setiap bulan, Dikirim ke Pusat pada tanggal
15 setiap bulan
/Kota/Prov)
Tidak Boleh
kosong

Tanggal pelacakan
Tidak Boleh tidak boleh
kosong mendahului tanggal
mulai sakit / lumpuh

Tanggal pengambilan
dan pengiriman
spesimen harus diisi
dan sesuai dengan
data pada form
pengiriman spesimen
Tidak
Boleh
kosong

Contoh Laporan FP1


Coba Cari Kesalahan dalam Laporan Ini
Wajib
Melampirkan

Jika ada paralisis


residual

Contoh laporan KU60 dan RM


Materi Pokok 5:

Analisis Data dan Rekomendasi


1. Analisis Data
2. Rekomendasi
Analisis Data
• Semua laporan Puskesmas di rekapitulasi oleh kabupaten/kota dan semua laporan kabupaten/kota
direkapitulasi oleh provinsi dan selanjutnya dilaporkan ke pusat (kementerian Kesehatan RI). Saat
melakukan rekapitulasi data di cek kelengkapannya, ketepatan waktunya dan validitas datanya sesuai
dengan indikator kinerja surveilans AFP.
• Indikator kinerja surveilans AFP yang perlu dilaporkan adalah: AFP rate, Non Polio AFP rate, Zero
reporting, specimen adekuat, Kujungan pertama, kunjungan ulang dan jumlah specimen adekuat selain
indicator lainnya yang harus dilaporkan dalam surveilans tersebut.
• Analisis data surveilans AFP dapat dilakukan secara deksriptif dan analitik. surveilans AFP dianalisis
secara deskripsi dengan menggambarkan variable orang, tempat dan waktu dari kasus-kasus AFP serta
specimen dan hasil pemeriksaan spesimennya.
• Dengan analisis deksriptif dapat dibuat sebaran berdasarkan variable orang (umur dan jenis kelamin),
tempat (desa dan kecamatan), waktu (hari, minggu dan bulan) sehingga dengan membuat sebaran kasus
AFP tersebut dapat diidentifikasi apakah kasus probable, atau hot cases dan lain sebagainya dan harus
juga melihat surveilans lingkungannya yang telah dilaksanakan oleh kabupaten/kota.
ANALIS DATA
Tujuan Analisis data
• Evaluasi pelaksanaan surveilans difteri
• Mengetahui besar masalah difteri di suatu wilayah
tertentu
Analisis data dilakukan :
• Memahami pola penyebaran dan gambaran
• Setiap minggu dilakukan analisa data untuk mehui adanya
epidemiologi difteri
peningkatan kasus berdasarkan wilayah kejadian.
• Memantau keberhasilan upaya pencegahan dan • Setiap bulan dibuat analisa dan penyajian data menurut
penanggulangan yang telah dilakukan variabel epidemiologi. (contoh analisa dan penyajian data
• Menentukan strategi intervensi serta menyusun rencana terlampir).
upaya pencegahan dan penanggulangan lebih lanjut • Identifikasi kelompok rentan serta wilayah risiko tinggi
berdasarkan cakupan Imunisasi
• Hasil kajian dipergunakan untuk menentukan rencana
tindak lanjut program surveilans dan imunisasi. Hasil
analisis data disampaikan pada saat kegiatan
minilokarya lintas program dan lintas sektor.
Kasus AFP Berdasarkan Kelompok Usia
Status Imunisasi N = 28
N = 28
Unknown • Waktu &Tempat :
Analisis data dilakukan 3 doses
3%
10-15 y Melihat tren dan
menurut : 1 dose
10% 7% kasus sdh berhenti
3% 5-9y atau belum, Melihat
20% sebaran kasus,
<1y
• Orang : Status imunisasi 50% pemetaan dan
dan kasus per Kelompok intervensi yang akan
1-4y
usia 23% dilakukan
0 dose
83%

REKOMENDASI
• Membuat rekomendasi dan
tindak lanjut berdasarkan hasil
kajian data epidemiologi.
• Hasil kajian dipergunakan
untuk membuat dan
memberikan rekomendasi dan
menentukan rencana tindak
lanjut program surveilans dan
imunisasi.
• Membantu Kab/Kota dalam
menentukan strategi intervensi
Materi Pokok 6:
Sistem Kewaspadaan Dini
dan Respon
1. Sistem Kewaspadaan Dini
2. Respon
SISTEM KEWASPADAAN DINI
DAN RESPON
SKD DAN RESPON
Terlambat
dilaporkan atau
tidak dilaporkan

Verifikasi rumor
Deteksi dini dari
surveillans 
penanganan dini

ORI/Imunisasi
massal, pemberian
obat pencegahan

• Menemukan kasus sedini mungkin  mencegah terjadi penularan yang lebih luas
• Melakukan upaya containment  pelacakan kontak, karantina dan isolasi
• Upaya Eradikasi dan Eliminasi  menemukan suspek untuk dibuktikan secara
laboratorium bukan karena pathogen yang akan di-eliminasi atau di-eradikasi
Mengetahui tren potensial Melakukan deteksi dini p
KLB potensial KLB

Sebagai triger untuk verifikasi Menilai dampak program pencegahan


dan melakukan respons cepat dan pengendalian potensial KLB

Meminimalkan kesakitan/
kematian akibat KLB
SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPON

A. Sistem kewaspadaan dini (SKD)


• Surveilans penyakit adalah kapasitas inti di bawah Peraturan Kesehatan International, 2005
(IHR), dan strategi untuk meningkatkan deteksi dini wabah yang telah dikembangkandi
berbagai negara.
• Deteksi dini melalui SKDR
• Meningkatkan sensitivitas surveilans.
• Selain menggunakan pendekatan jejaringan dan atau website, system kewaspadaan dini
surveilan AFP dari kasus Suspek (AFP), kasus pending, kasus kompatibel, hot case atau
kasus perobel Polio (baik Kasus Polio liar dan VDPV) juga dilakukan secara konvensional.

B. Respon
• satu kasus AFP dilakukan investigasi /Surveilans AFP yang sensitif
• Jika kasus AFP di perlukan pembahasan dengan komite ahli untuk menentukan kasus polio atau
bukan
• Jika hasil lab positif maka segera respon mencari kasus tambahan dan dilakukan dengan notifikasi
ke IHR dan WHO
• Jika tidak terkonfirmasi positif/negative maka tidak diperlu mencari kasus tambahan
Materi Pokok 7:
Penanggulangan KLB

1. Penyelidikan Epidemiologi
2. Strategi Penanggulangan KLB Polio
Penanggulangan KLB

Penyelidikan Epidemiologi

• Setiap kasus AFP yang ditemukan harus segera dilacak dan


dilaporkan ke unit pelaporan yang lebih tinggi selambat-
lambatnya dalam waktu 24 jam setelah laporan diterima.
Penanggulangan KLB Polio

• Merupakan serangkaian kegiatan untuk menghentikan transmisi virus polio


liar atau cVDPV di suatu wilayah, dan upaya pencegahan kecacatan yang
lebih berat.

• KLB/Wabah polio ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan


apabila ditemukan :
Virus polio liar atau cVDPV pada manusia kecuali orang yang memiliki
riwayat terpapar virus polio tipe 2 di laboratorium atau fasilitas
produsen vaksin atau
WPV atau VDPV pada lebih dari satu sampel lingkungan terpisah
(sampel dikumpulkan lebih dari satu lokasi pengambilan sampel yang
berbeda atau sampel diambil pada lokasi yang sama namun jarak
pengambilan sampel lebih dari dua bulan.
Strategi Penanggulangan KLB

• Langkah-langkah strategis penanganan KLB Polio, antara lain:


• Melakukan koordinasi dengan Pemerintah wilayah terdampak dan pemangku
kepentingan terkait lainnya untuk penanganan KLB Polio.
• Membuat tim untuk melakukan investigasi epidemiologi.
• Pelaksanaan segera Outbreak Response Immunization (ORI) untuk kelompok usia
rentan di wilayah terkena KLB Polio.
• Penguatan surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP) di Puskesmas, Rumah Sakit dan
fasilitas kesehatan lainnya di seluruh kabupaten/kota dan pelaporan setiap minggu
melalui Early Warning Alert and Response System (EWARS).
• Penyiapan sumber daya yang diperlukan untuk penanganan KLB Polio.
• Penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat terkait pencegahan dan pengendalian
Polio.
• Penguatan surveilans di pintu pelabuhan keluar/masuk negara.
• Membuat suear edaran Kewaspadaan dan Respon terhadap KLB Polio cVDPV kepada
seluruh Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten dan Kota serta Kantor Kesehatan
Pelabuhan se-Indonesia
Penanggulangan KLB/Wabah Polio

• Respon Imunisasi
Respon Imunisasi terbatas Adalah pemberian imunisasi polio tambahan
kepada sasaran tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya yang
dilaksanakan selambat-lambatnya 14 hari setelah teridentifikasi virus polio liar
maupun VDPV melalui konfirmasi laboratorium rujukan nasional. Kelompok
sasaran merupakan seluruh anak usia kurang dari 5 tahun (balita) atau
kelompok usia lainnya berdasarkan kajian epidemiologi.
Lanjutan Penanggulangan KLB/Wabah Polio
 SubPIN Polio adalah pemberian imunisasi polio tambahan kepada sasaran
sebanyak 3 putaran, tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya,
pada daerah yang berisiko tinggi terjadi transmisi virus polio.
 Putaran pertama Sub PIN harus dilaksanakan selambat-lambatnya 4
minggu setelah pelaksanaan respon imunisasi polio terbatas. Kelompok
sasaran merupakan seluruh anak usia kurang dari 5 tahun (balita) atau
kelompok usia lainnya berdasarkan kajian epidemiologi.
 Apabila penyebaran virus polio sudah meluas dan secara epidemiologi
dibuktikan bahwa transmisi dapat terjadi pada skala nasional maka harus
dilakukan PIN Polio. PIN Polio dilaksanakan diseluruh wilayah Indonesia,
juga sebanyak 3 putaran tanpa terkecuali.
Thank You

Anda mungkin juga menyukai