Anda di halaman 1dari 47

DIKLATSAR I-II & PEMBEKALAN

KODE ETIK CALON PPAT


Jakarta, 21-22 Juli 2023

TEKNIK PEMBUATAN AKTA 1


 AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN (APHT) & SKMHT

Dr. SUDIRMAN, S.H., M.Kn.


Wakabid Pelatihan Teknis Hukum Ke PPATan
JENIS JAMINAN

Bersifat umum (Ps 1131 BW) Bersifat khusus:


1. Jaminan perorangan (borgtocht (Ps 1820-Ps1850 BW)
2. Jaminan kebendaan (zakelijke zekerheid) :

a. Hak tanggungan – UU no. 4/1996

b. Gadai (Ps 1150-Ps1160 BW)

c. Fidusia – UU no. 42/1999

d. Hipotek – Ps 1162-Ps 1231 BW


e. Resi Gudang (UU No. 9 Th 2011
tentang Perubahan UU 9/2006 tentang
Resi Gudang)
Landasan Hukum Jaminan Hak Tanggungan
• Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
• Perkaban Nomor 8 tahun 2012
• Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2019 tentang
Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik.
• Permen ATR/Kepala BPN OMOR 22 TAHUN 2017 Tentang
Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit Tertentu
PERKEMBANGAN
HUKUM JAMINAN ATAS TANAH
1848 1908 1960 1985 1996
BW (Buku II Koninlijk Besluit (Stb 1908- UUPA (Psl 51 Jo Psl 57) UU No. 16 Thn 1985 Ttg UU no. 4 tahun 1996 Ttg
Ke 1 &21 542 Rumah Susun Hak Tanggungan
Lembaga Jaminan hak Lembaga Jaminan Lembaga Jaminan Hak ats Lembaga jaminan ats Lembaga jaminan hak
Tanah hak tanggungan yang tanah hak tanggungan ats tanah satuan-
ats tanah hipotik Hak ats tanah menggunakan hiipotek & Hak
(Psl 1162 jjo 1133 BW (Crediietsverband) Tanggungan
fiducia satuannya hak
tanggungan ttp msh
mengenai eksekusi
masih menggunakan
Ps 224 HIR/258 RBG
Obyek Hipotik Obyek Obyek Hak Obyek Hak Obyek Hak
(Ps 1164 Hak ats tanah barat) Creditsverband Tanggungan Tanggungan Tanggungan
Tanah-Tanah HMA (HM, HGU, HGB) Rumah Susun, Obyek Fidusia Tanah Hak Milik, HGU, HGB,
HMRS diats tanah HPATN HPATN

Kreditor: Kreditor: Kreditor: Kreditor: Kreditor:


Siapa saja:Perorangan Bank Yg ditunjuk WNI WNI WNI
Bank Swasta Pemerintah Gubernur Jenderal WNA WNA WNA
Algeine Volks Crediets BHI BHI BHI
Bank (AVB)/BRI, Bak Badan Hukum Asing Badan Hukum Asing Badan Hukum Asing
Pemerintah:
BRI,BNI,BDN,BBD Exim,
Bapindo
PENGERTIAN
• Menurut Pasal 1 angka 1 UUHT Hak Tanggungan adalaah hak jaminan yang
dibebankan pada HAT sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah ini, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
• Poin penting dari pengertian tersebut “HAK TANGGUNGAN YANG DIBEBANKAN PADA
HAK ATAS TANAH”, artinya apabila termasuk diatas tanah berarti harus dipertegas
dalam APHT-nya, karena hukum tanah nasional menggunakan asas pemisahan
horisontal.
SUBJEK HAK TANGGUNGAN
1. PEMBERI HAK TANGGUNGAN (DEBITUR)
Pasal 8 UUHT → pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau
badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum. Terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan (HM, HGU,
HGB, Hak Pakai atas tanah negara)
a. Pemilik Hak Milik
Pasal 21 ayat (1) UUPA, orang perseorangan → WNI
Pasal 21 ayat (2) UUPA → badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak
milik dengan syarat-syarat diatur dalam PP 38 tahun 1973
1. Bank pemerintah
2. Perkumpulan koperasi yang didirikan berdasarkan UU No.79 tahun
1958
3. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Agraria/Pertanian
setelah mendengar Menteri Agama
4. Badan-badan sosial yang ditunjuk Menteri Pertanian/Agraria setelah
mendengar Menteri Sosial

6
b. Pemilik Hak Guna Usaha
Pasal 30 ayat (1) UUPA → HGU dapat diberikan pada WNI dan badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
c. Pemilik Hak Guna Bangunan
Pasal 36 ayat (1) UUPA → Hak Guna Bangunan dapat diberikan pada WNI
dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan Indonesia
d. Pemilik Hak Pakai Atas Tanah Negara
Pasal 42 UUPA Hak Pakai Atas Tanah Negara dapat diberikan pada:
• WNI
• Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
• Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
• Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia

2. PENERIMA/PEMEGANG HAK TANGGUNGAN (KREDITUR)


Pasal 9 UUHT → pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan
atau badan hukum yang berkedudukan sebagai kreditur

7
Objek Hak Tanggungan
• Menurut Pasal 4 UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan :
• 1. Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah:
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan.
2. Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas
tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut
sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga di bebani Hak Tanggungan.
• Pasal 53 :
1. Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
2. Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya
Hak Pakai.
• Maka dapat disimpulkan bahwa Hak Pakai yang terdaftar dapat dibebani Hak
Tanggungan, demikian juga bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada dan
akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, baik yang
merupakan milik pemegang hak atas tanah (Pasal 4 ayat (4) UUHT), maupun bukan
(Pasal 4 ayat (5) UUHT) selama dan sepanjang tindakan tersebut dilakukan oleh
pemiliknya dan pembebanannya dengan tegas dinyatakan didalam APHT yang
dibuat dihadapan PPAT.
Bagaimana dengan Hak Pakai, apakah merupakan objek HT ?
• Bahwa apabila kita melihat rumusan PP No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah menyebutkan :
Pasal 52 :
Pemegang Hak Pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan
dengan Hak Pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya
serta untuk memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau
selama digunakan untuk keperluan tertentu.
ASAS-ASAS HAK TANGGUNGAN
 Memberikan kedudukan diutamakan kepada pemegangnya (Droit De
Preference);
 Tidak dapat dibagi-bagi (Onsplitsbaarheid)
 Hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada;
 Perjanjian HT adalah perjanjian accessoir;
 Dapat menjamin lebih dari satu utang;
 Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;
 Droi De Suite
 Dapat dibebankan berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut
 Tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegangnya apabila
debitor wanprestasi
 Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada
 Diatas HT tidak dapat diletakkan sita oleh Pengadilan
ASAS-ASAS HAK TANGGUNGAN
1. Hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan
pada kreditur pemegang hak tanggungan.
Pengertian yang “diutamakan” dijumpai dalam:
a. Angka 4 penjelasan umum UUHT, yaitu: dalam hal debitur cidera
janji, kreditur berhak menjual melalui pelelangan umum, tanah
yang dijadikan jaminan dengan hak mendahului dari kreditur lain
b. Pasal 20 ayat (1) UUHT yang menentukan sebagai berikut:
• Kreditur pertama berhak menjual objek Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UUHT
• Titel Eksekutorial terdapat dalam sertifikasi Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) UUHT
 Dalam penjelasan umum → hak kreditur pemegang Hak Tanggungan
ternyata harus mengalah pada piutang negara yang berkaitan dengan
Hak Tanggungan → dalam UUHT piutang negara = pajak
 Pendapat Kepala BUPLN → piutang negara adalah pajak + piutang-
piutang macet dari Bank Pemerintah dan BUMN lain sesuai UU No.49
Prp 1960 → yang penagihannya pada BUPLN
12
Prof. Remy Syahdeini tidak sependapat → karena yang merupakan piutang
negara yang punya hak istimewa → hanya pajak dengan mengacu pada:
• UU No.49 Prp 1960 tentang PUPN tidak dijumpai ketentuan yang
menyebutkan bahwa didahulukannya tagihan piutang negara atas
hipotek dan gadai
• Pasal 1137 KUHPerdata → yunto angka 4 Penjelasan Umum UUHT;
piutang negara yang kedudukannya lebih tinggi dari Hak Tanggungan
hanya pajak

2. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi


Pasal 2 UUHT → Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak
Tanggungan, dengan demikian → dilunasi sebagian dari hutang yang
dijaminkan → tidak berarti terbebas dari sebagian objek Hak
Tanggungan, kecuali diperjanjikan oleh para pihak, dengan demikian
roya partial atas Hak Tanggungan dimungkinkan
Asas ini sesuai dengan pasal 1163 KUHPerdata; yang berlaku atas
hipotek, pada hakekatnya tak dapat dibagi-bagi dan terletak diatas
semua benda tak bergerak yang dikaitkan dalam keseluruhan, diatas
masing-masing dari benda-benda tersebut

13
3. Hak tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah
yang telah ada
Pasal 8 ayat (2) UUHT → pada saat pendaftaran hak tanggungan, debitur
(pemberi hak tanggungan) harus punya kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum
Dalam hipotek → pasal 1175 BW → hipotek hanya dapat dibebankan atas
benda yang sudah ada. Hipotek atas benda yang baru akan ada kemudian
hari → adalah batal

4. Hak tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga


berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut.
Pasal 4 ayat (4) UUHT → Hak Tanggungan dapat dibebankan tidak saja
pada tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan tetapi juga pada
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang menjadi kesatuan dengan tanah
Pasal 4 ayat (5) UUHT → benda-benda yang dapat dibebani Hak
Tanggungan tidak terbatas pada benda pemegang hak, tetapi juga pada
pihak ketiga

14
5. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang baru akan ada kemudian hari.
 Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan → Hak Tanggungan → dapat dibebankan
atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada kemudian →
misalnya, benda tersebut baru ditanam atau baru dibangun
 Jika dibandingkan dengan ketentuan KUHPerdata pasal 1165 → asas pelekatan →
setiap hipotek meliputi juga segala apa yang menjadi satu dengan benda tersebut
karena pertumbuhan atau pembangunan. Dengan kata lain → tanpa diperjanjikan
demi hukum apa yang melekat pada tanah objek hipotek terbebani hipotek
tersebut

6. Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian accesoire


 Butir 8 Penjelasan Umum → “Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya
merupakan ikutan atau accesoire pada suatu piutang tertentu yang didasarkan
pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan
keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”
 Pasal 10 ayat (1) dan pasal 18 ayat (1) UUHT;
• Pasal 10 ayat (1) UUHT → perjanjian untuk memberi Hak Tanggungan →
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang
tersebut.
• Pasal 18 ayat (1) UUHT → Hak Tanggungan hapus karena hapusnya hutang
yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan
15
7. Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek hak
tanggungan itu berada
 Pasal 7 UUHT → Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun
objek tersebut berada.
 Dalam KUHPerdata ketentuan tersebut dikenal dengan droit de suite → pasal 1163
KUHPerdata dan pasal 1198 KUHPedata

8. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Asas


Specialitas)
 Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT → dalam Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian
yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan artinya harus spesifik dapat ditunjukkan
dalam akta pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan

9. Hak Tanggungan wajib didaftarkan (Asas Publisitas)


 Pasal 13 UUHT, pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada kantor
pertanahan. Pendaftaran pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak
untuk lahirnya Hak Tanggungan dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak
ketiga (asas publisitas dan keterbukaan)
 Pasal 1179 KUHPerdata pembukuan hipotek harus dilakukan dalam register-register
umum yang memang khusus disediakan
16
10. Hak Tanggungan dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu
 Pasal 11 ayat (2) UUHT; Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji
tertentu. Janji-janji tersebut dicantumkan dalam APHT. Janji-janji tersebut bersifat
fakultatif dan tidak limitatif

11. Objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh
kreditur jika debitur cidera janji
 Pasal 12 UUHT; janji yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk
memiliki objek hak tanggungan, jika debitur cidera janji, batal demi hukum
 Dalam ketentuan hipotek dijumpai dalam pasal 1178 KUHPerdata, “verbal beding”
maksudnya: untuk melindungi debitur yang mempunyai kedudukan lemah
terpaksa menerima syarat yang berat, karena membutuhkan dana (kredit)

12. Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti


 Pasal 6 UUHT; jika debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama berhak
menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum,
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Pemegang
Hak Tanggungan pertama berhak melakukan parate eksekusi
 Tanpa minta izin debitur atau meminta penetapan Pengadilan Negeri untuk minta
Kepala Kantor Lelang Negara melakukan pelelangan atas objek Hak Tanggungan
(lihat SE BUPLN No. 21/PN/1999)
17
Beda pengaturan eksekusi hipotek tidak dapat
dilakukan parate eksekusi jika tidak diperjanjikan dalam
akte pemberian hipotek.

Sertifikat Hak Tanggungan → berirah-irah “Demi


Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
mempunyai kekuatan eksekutorial sama dengan
keputusan hakim (pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT)

Dengan demikian UUHT memberi kemudahan dan


kepastian dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan

18
E. JANJI-JANJI DALAM HAK
TANGGUNGAN
Pasal 11 ayat (2) UUHT, dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan dapat dicantumkan antara lain:
1. Janji untuk membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan
untuk menyewakan objek Hak Tanggungan atau mengubah
jangka waktu sewa kecuali dengan persetujuan tertulis dari
pemegang Hak Tanggungan
2. Janji untuk membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan
untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek Hak
Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis pemegang
Hak Tanggungan
3. Janji untuk memberi kewenangan pada pemegang Hak
Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri di daerah
hukum letak objek Hak Tanggungan dalam hal debitur cidera
janji
19
4. Janji untuk memberikan kewenangan pada kreditur untuk
menyelamatkan objek Hak Tanggungan, berkaitan dengan
pelaksana eksekusi
5. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama berhak
menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan
dalam hal debitur cidera janji
6. Janji agar objek Hak Tanggungan tidak dibersihkan oleh
pembeli
7. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh
seluruh ataupun sebagian dari uang asuransi yang diterima
oleh pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya,
jika objek Hak Tanggungan diasuransikan
8. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan
objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak
Tanggungan

20
Penjelasan
Ad.1 Janji untuk membatasi kewenangan pemberi Hak
Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan atau
mengubah jangka waktu sewa kecuali dengan persetujuan
tertulis dari pemegang Hak Tanggungan
 Dalam KUHPerdata → dikenal dengan Huurbeding
 Pasal 1185 KUHPerdata; pemberi hipotek harus minta izin pemegang
hipotek bila akan menyerahkan objek hipotek atau jika disewakan jangka
waktunya ditentukan
 Karena jika terjadi cidera janji, objek hipotek akan dilelang, akan
merugikan kreditur berkaitan dengan pasal 1576 KUHPerdata → jual beli
tidak mengakhiri sewa-menyewa
 Pasal 1185 KUHPerdata, kreditur dapat menuntut agar perjanjian sewa
dibatalkan, jika kreditur tidak melaksanakan “Huurbeding”

21
Ad.2 Janji untuk membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan
untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek Hak Tanggungan,
kecuali dengan persetujuan tertulis pemegang Hak Tanggungan
 Janji ini dibutuhkan untuk mencegah bila objek Hak Tanggungan
menurut sebagai akibat dilakukan perubahan

Ad. 3 Janji untuk memberi kewenangan pada pemegang Hak


Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum letak objek
Hak Tanggungan dlm hal debitur cidera janji
 Yang memberi kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk
mengelola objek Hak Tanggungan, dapat merugikan debitur Hak
Tanggungan oleh karenanya, jika akan diperjanjikan dalam APHT,
pelaksanaan harus dengan ketetapan Ketua PN

Ad. 4 Janji untuk memberikan kewenangan pada kreditur untuk


menyelamatkan objek Hak Tanggungan, berkaitan dengan
pelaksana eksekusi
 Dimaksudkan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan agar nilai
tidak susut dalam rangka pelaksanaan eksekusi untuk mencegah agar
objek Hak Tanggungan tidak hapus/batal
22
Ad. 5 Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama berhak
menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan dalam hal
debitur cidera janji (parate eksekusi)
 Prof. Remy → menganggap janji ini berlebihan karena → pasal 6 UUHT telah
menentukan sebagai ketentuan yang mengikat → dalam arti bank
diperjanjikan/tidak diperjanjikan → pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai kewenangan untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya.
 Pencantuman janji seperti ini menurut Prof. Remy hanya bersifat psychologies
bukan yuridis → lebih memberikan rasa mantap pada kreditur
 Jika kita teliti lebih lanjut → indikasi untuk mencantumkan janji ini dalam APHT
tersirat dalam penjelasan pasal 6 UUHT secara lengkap sebagai berikut:
“Hak menjual Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan perwujudan
dari kedudukan yang diutamakan yang dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan
pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan.
Hal tersebut didasarkan atas janji diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan jika
yang bersangkutan cidera janji, untuk menjual sendiri objek Hak Tanggungan
melalui pelelangan tanpa persetujuan pemberi Hak Tanggungan. Kemudian
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan lebih dahulu dari kreditur
lain, sisa tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Dalam KUHPerdata beding
van eigenmatchtige verkoop. Pasal 1178 KUHPerdata → pemegang hipotek
pertama dapat minta ditetapkan suatu janji bahwa pemegang hipotek diberi
kekuasaan yang tidak dapat dicabut kembali untuk menjual objek hipotek tanpa
bantuan pengadilan (fiat eksekusi) penjualannya tetap harus melalui pelelangan
umum”
23
Ad. 6 Janji agar objek Hak Tanggungan tidak dibersihkan oleh
pembeli
 Dalam KUHPerdata → pasal 1210 ayat (2) pemegang hipotek pertama
dapat meminta diperjanjikan dalam perjanjian hipotek, bahwa
hipoteknya tidak akan dibersihkan (ditiadakan) apabila agunan dijual
oleh pemilik.
 Pasal 1210 ayat (1) KUHPerdata → menentukan jika agunan yang
dibebani hipotek dijual, baik oleh pemegang hipotek untuk memenuhi
piutangnya maupun oleh pemberi hipotek, maka pembeli dapat
meminta agar hipotek ditiadakan dari beban yang melebihi harga
pembelian hipotek itu.
 Hal ini akan merugikan pemegang hipotek karena sisa piutangnya
menjadi tidak terjamin lagi oleh hipotek itu.
 Upayanya → dengan Beding Van Niet Zuivering
 Dalam UUHT ketentuan tesebut diatas dapat dijumpai dalam pasal 11
ayat (2) huruf f, ada hal menarik dalam rumusan pasal tersenut diatas
“janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa
objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan”
 Rumusan ini “terbalik” seharusnya yang memberi janji adalah pemberi
Hak Tanggungan (Prof. Remy Syahdeini). Seharusnya “pemegang Hak
Tanggungan” dapat minta diperjanjikan.
24
Ad. 8 Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan
objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan
 Objek Hak Tanggungan seringkali berupa rumah yang dihuni dimana
penghuni tersebut dapat penyewa atau pemberi Hak Tanggungan sendiri.
 Jika pada saat eksekusi objek Hak Tanggungan dalam keadaan dihuni jelas
→ harganya jatuh jika dilelang.
 Melalui pasal 11 ayat (2) huruf j UUHT → dimungkinkan pemegang Hak
Tanggungan memperjanjikan sejak awal; bahwa pada saat eksekusi Hak
Tanggungan dilaksanakan objek Hak Tanggungan harus dalam keadaan
kosong.
 Menurut Prof. Remy → untuk mengantisipasi kemungkinan “gagal” dalam
pengosongan maka tetap harus ditetapkan oleh pemegang Hak
Tanggungan/Kantor Lelang untuk meminta penetapan Ketua Pengadilan
Negeri → upaya paksa → dengan bantuan polisi
 Pembatasan pada janji-janji pada pasal 12 UUHT:
“Janji pada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak
Tanggungan, dalam hal debitur cidera janji → batal demi hukum” (sesuai
dengan pasal 1178 KKUHPerdata)

25
PEMBERIAN, PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN
Prosedur Pembebanan Hak Tanggungan
Ada 2 tahap dalam pembebanan Hak Tanggungan, yaitu:
1. Tahap pemberian Hak Tanggungan. Dengan dibuatkannya Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT [pasal 10 ayat (2)
UUHT jo pasal 14 PP 10/1961] yang didahului dengan
perjanjian pokoknya yaitu perjanjian utang piutang (perjanjian
kredit)
2. Tahap pendaftaran Hak Tanggungan pasal 13 UUHT jo PMA/Ka.
BPN No.5/1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor
Pendaftaran Tanah dengan cara:
a. Membuat buku tanah Hak Tanggungan
b. Mencatat dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek
c. Menyalin catatan tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan
26
SURAT KUASA MEMEGANG HAK TANGGUNGAN
• SKMHT → harus dibuatkan dengan akte Notaris/PPAT
• Pasal 1171 ayat (2) KUHPerdata → kuasa memasang hipotek
harus dibuat dengan akte otentik, dalam praktek akte notaris.
• Pasal 15 ayat (1) UUHT → SKMHT wajib dibuat dengan akte
otentik atau akte PPAT.
• Syarat-syarat lain sebagai berikut:
1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain, selain
pembebanan Hak Tanggungan
2. Tidak memuat kuasa substitusi
3. Secara jelas dicantumkan:
a. Identitas debitur/kreditur
b. Jumlah hutang
c. Objek hak tanggungan

27
JANGKA WAKTU SKMHT
• PERMEN Agraria /Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996
• Permen Nomor 22 Tahun 2017 tentang Penetapan Batas Waktu
Penggunaan SKMHT Untuk menjamin Pelunasan Kredit Tertentu
SKMHT sampai berakhirnya perjanjian kredit

1. Kredit usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam lingkup pengertian usaha
produktif perseorangan/badan usaha perseorangan;
2. Kredit Perumahan (kepemilikan atau perbaikan rumah inti, rumah
sederhana dan rusun), Kepemilikan kapling siap bangun luas tanah
54 m2), kredit pproduktif dengan plafon 200 jt
3. Untuk SKMHT 3 bulan
SKMHT berlaku 3 bulan

1. Kredit usaha mikro/kecil plafon 50 jta sd 250 jt;


2. Kredit pengadaan rumah toko oleh usaha mikro kecil menengah
paling luas tanah 200 m2
3. Proses Peralihan Hak (AJB,HIBAH,Tukar Menukar atau dialihkan
karena pewarisan)
SKMHT berlaku 1 bulan
• Take over kredit yang disesuaikan dengan jangka waktu roya Hak
tanggungan
• Pendaftaran HT diluar wilayah kerja PPAT
PERINGKAT HAK TANGGUNGAN
• Suatu objek Hak Tanggungan dapat dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan sehingga
pemegang Hak Tanggungan peringkat I, II, III.
• Pasal 5 ayat (1) UUHT → menentukan objek Hak Tanggungan dapat dibebani lebih dari
satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang.
• Pasal 5 ayat (2) UUHT → apabila suatu objek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih
dari satu Hak Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan
menurut tanggal pendaftaran pada Kantor Pertanahan.
• Pasal 5 ayat (3) UUHT → peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang
sama ditentukan menurut tanggal pembuatan APHT yang bersangkutan.
• Dalam hal lebih dari satu Hak Tanggungan atas satu objek Hak Tanggungan dibuat
pada tanggal yang sama, peringkat Hak Tanggungan tersebut ditentukan oleh nomor
urut akte pemberiannya. Hal ini dimungkinkan karena pembuatan APHT hanya dapat
dilakukan pada PPAT yang sama.

32
Peralihan Hak Tanggungan.
• Atas HT yang sudah ada, pada prinsipnya dapat dilakukan suatu peraliham.
Peralihan HT bisa saja dilakukan, misalnya karena adanya pengalihan piutang.
Pasal 16 ayat (1) UUHT menentukan bahwa jika piutang yang dijamin dengan
HT beralih karena cessie (perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh
kreditor pemegang HT kepada pihak lain), subrogasi (penggantia kreditor oleh
pihak ketiga yang melunasi debitor), pewarisan atau sebab-sebab lain
(misalnya alam hal pengambilalihan atau penggabungan perusahaan
sehingga menyebabkan beralihnya piutang dari perusahaan semula kepada
perusahaan yang baru) HT tsb ikut beralih karena hukum kapada kreditor
baru. Atas peralihan piutang tsb pemilik piutang baru diwajibkan untuk
melakukan pendaftaran ke Kantor Pertanahan.
Sebab-Sebab Peralihan
Hak Tanggungan
 Jika hutang berpindah pada pihak ke-III (cessie, subrogasi, pewarisan)
 Pasal 16 ayat (1) UUHT → jika piutang yang dijamin Hak Tanggungan beralih
karena cessie, subrogasi, pewarisan atau sebab-sebab lain Hak Tanggungan
ikut beralih karena hukum kepada kreditur baru.
 Ayat (2) → beralihnya Hak Tanggungan wajib didaftarkan oleh kreditur yang
baru pada Kantor Pertanahan.
 Cessie → perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditur pemegang
Hak Tanggungan pada pihak lain.
 Surbogasi → penggantian kreditur oleh pihak ke-III yang melunasi hutang
debitur
 Sebab-sebab lain → merger, penggabungan perusahaan
 Peralihan Hak Tanggungan yang diatur dalam pasal 16 tersebut karena hukum
tidak perlu dibuktikan dengan akta PPAT cukup dengan akta yang
membuktikan peralihan piutang yang dijamin oleh kreditur baru.
 Yang diatur dalam pasal 16 UUHT, hanya peralihan piutang → tidak diatur
peralihan hutang (debitur).
 Novasi → menghapuskan perjanjian utang-piutang yang lama.
 Dengan cara → perjanjian pengambil-alihan hutang yang tidak mengakhiri
perjanjian utang-piutang semula. → Pasal 1471 KUHPerdata jo pasal 1420 34
KUHPerdata
HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN
• Menurut Pasal 18
• (1). Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
• hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
• dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
• pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan
Negeri;
• hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
• (2). Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan
pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh
pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
• (3). Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan
peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah
yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari
beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
• (4). Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang di beban Hak
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

• Pasal 6 UUHT menyatakan bahwa apabila debitor cedera janji,


pemegangHT mempuyai hak untuk menjual objek HT atas kekuasan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya tersebut.
Menurut Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (2) UUHT dapat didimpulkan
bahwa eksekusi atas objek jaminan HT dapat ditempuh melalui 3 cara yaitu :
a.parate eksekusi
b.titel eksekutorial
c.penjualan dibawah tangan
ketiga jenis eksekusi HT tersebut masing-masing memiliki prosedur pelaksanaan
yang berbeda. Pengertian parate eksekusi dapat ditemui dlm Pasal 6 UUHT
sebagaimana tersebut diatas.
• Pasal 6 UUHT → apabila debitur cidera janji pemegang
Hak Tanggungan pertama, mempunyai hak untuk menjual
objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang
dari hasil penjualannya.
• Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan tersebut,
didasarkan pada janji yang diberikan pemberi Hak
Tanggungan dalam hal debitur cidera janji.
Penjualan tersebut melalui pelelangan umum tanpa
persetujuan pemberi Hak Tanggungan.
Mengambil pelunasan piutang
Sisa hasil penjualan tetap hak pemberi Hak Tanggungan
(debitur)

37
Pendaftaran Hak Tanggungan.
• Berdasarkan Pasal 13 UUHT, pendaftaran HT merupakan syarat imperatif, artinya wajib didaftarkan di Kantor
Pertanahan, yang menurut penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT, pendaftaran merupakan aplikasi dari asas Publisitas,
serta sekaligus merupakan syarat mutlak untuk lahirnya dan mengikatnya HT kepada Pihak Ketiga.
• Jenis layanan Hak Tanggungan yang dapat diajukan melalui Sistem HT-el (Pasal 6 Permen ATR No 9 Tahun
2019), meliputi:
a. pendaftaran Hak Tanggungan;
b. peralihan Hak Tanggungan;
c. perubahan nama kreditor; dan
d. penghapusan Hak Tanggungan.
• Terdapat kewajiban PPAT sebagai pembuat APHT berdasarkan Pasal 13 ayat (2), dimana PPAT yang bertindak
membuat APHT wajib mengirimkan APHT dan warkah pendukungnya yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
Pengiriman tersebut dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja dari tanggal penanda-tanganan, dan PPAT yang lalai
memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan sanksi. Ketentuan tsb apakah dapat diterapkan ?
• Asas openbaar dan perlindungan hukum (legal protection), terhitung dari tanggal penerimaan pendaftaran.
1. Apakah yang wajib tercantum dalam APHT yang dibuat dihadapan PPAT
Menurut Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan :
1) Nama dan identitas pemegang dan pemberi HT. apabila HT dibebankan pula pada
benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik orang perorangan
atau badan hukum lain daripada pemegang ha katas tanah, pemberi HT adalah
pemegang hak atas tanah bersama-sama pemilik benda tsb.
2) Domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi HT, dan apabila diantara mereka ada
yang berdomisili diluar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili
pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT
tempat pembuatan APHTdianggap sebagai domilsili yang dipilih.
3) Penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin pelunasannya dengan
HT dan meliputi juga nama dan identitas debitor ybs.
a. Nilai HT, dan
b. Uraian yang jelas mengenai objek HT, yaitu meliputi rincian mengenai sertipikat
hak atas tanah ybs atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya
memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas dan luasnya.
• Proses pembebanan HT dilakukan melalui 2 tahap :
1.Tahap pemberian HT. dengan dibuatnya APHT oleh PPAT, yang didahului dengan
perjanjian utang piutang yang dijamin.
2.Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya tanggungan
yang dibebankan.
Sebagaimana difahami bahwa hukum tanah nasional kita didasarkan pada hukum adat yang
menggunakan asas pemisahan horisontal. Maka dalam kaitannya dengan bangunan,
tanaman, dan hasil karya tsb juga menggunakan asas pemisahan horizontal. Dalam rangka
asas pemisahan horizontal, benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
menurut hukum agraria, bukan merupakan bagian dari tanah ybs.
• Pelaksanaan eksekusi HT mudah dan pasti merupakan salah satu prinsip dari HT sesuai
dengan Pasal 20 UUHT, yang memuat 3 cara :
a.Hak pemegang HT pertama untuk menjual objek HT sebagaimana Pasal 6 UUHT (Parate
Eksekusi).
b.Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat HT (Pasal 14 ayat (2).
c.Ekesekusi melalui penjualan objek HT dibawah tangan atas kesepakatan pemberi dan
pemegang HT (Pasal 20 ayat 2).
Terlampir Draft APHT dan SKMHT
Sesuai Perkaban Nomor 8 Tahun 2012

PERKA-BPN-8-2012-L8.pdf

PERKA-BPN-8-2012-L6.pdf
Bagaimana Penerapan APHT dan SKMHT
Pada Bank Syariah ?
• Dalam suatu pembiayaan dengan menggunakan skema syariah,
khusus untuk perjanjian jaminan masih tetap tunduk dan
menggunakan seluruh ketentuan hukum jaminan yang diatur dalam
hukum positif di Indonesia.
Oleh karena itu, seluruh ketentuan jaminan yang digunakan dalam
penyaluran kredit secara konvensional, juga berlaku bagi pembiayaan
dengan menggunakan skema syariah dalam perbankan syariah.
• Belum ada harmonisasi antara perikatan syariah (akad pembiayaan)
dengan Jaminan Syariah
Contoh pencantuman klausula Apht & Skmht Dalam Sesuai Perkaban
Nomor 8 Tahun 2012.

Para Pihak menerangkan :


bahwa oleh Pihak Kedua dan Perseroan Komanditer CV.ANDIKA PERKASA yang berkedudukan di Kota Kendari, selaku
Debitor, telah dibuat dan ditandatangani perjanjian utang ‑piutang yang dibuktikan dengan : -----------------------
Akad Perjanjian Pemberian Line Facility (Musyarakah) Nomor: 17 , tanggal 21-08-2018 (dua puluh satu Agustus dua ribu
delapan belas), yang dibuat dihadapan saya Notaris.
bahwa untuk menjamin pelunasan utang Debitor sejumlah Rp. 870.000.000,- (delapan ratus tujuh puluh juta rupiah)/
sejumlah uang yang dapat ditentukan di kemudian hari berdasarkan perjanjian utang ‑piutang tersebut di atas dan
penambahan, perubahan, perpanjangan serta pembaruannya (selanjutnya disebut perjanjian utang ‑piutang) sampai sejumlah
Nilai Tanggungan sebesar Rp. 1.087.500.000,- (satu milyar delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah), oleh
Pihak Pertama diberikan dengan akta ini kepada dan untuk kepentingan Pihak Kedua, yang dengan ini
menyatakanmenerimanya, Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang ‑undang Hak Tanggungan dan peraturan ‑peraturan
pelaksanaannya atas Obyek/Obyek‑obyek berupa 1 (satu) Bidang, untuk peringkat Pertama ( I ) hak atas tanah yang
diuraikan di bawah ini : --------------------------------------------------------------------------------------

Pasal 2 point (4)


 Dalam hal Debitor sungguh-sungguh cidera janji, Pihak Kedua oleh Pihak Pertama dengan akta
ini diberi dan menyatakan menerima kewenangan, dan untuk itu kuasa, untuk mengelola Obyek
Hak Tanggungan berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi letak Obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan;
• Tidak ada singkronisasi dalam penormaan
antara akad pembiayaan dan jaminan APHT.
• Cara Penyelesaian HT antara UU No.4 Tahun
1996 dengan PERMA No. 14 tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelesaian Ekonomi
Syariah berbeda
• Beberapa Putusan Hakim Pengadilan Agama
tentang penetapan eksekusi jaminan hak
tanggungan yang berujung pada sengketa
Conditio Sine Qua Non Terhadap APHT SYARIAH

1. Perlunya harmonisasi peraturan dari semua lembaga sektoral baik eksekutif, yudikatif untuk
mewujudkan adanya lembaga jaminan syariah khususnya hak tanggungan. Harmonisasi dilakukan
secara vertikal dan horizontal melalui Pemberdayaan Komite Pengawas Jasa Keuangan Syariah
(KPJKS OJK), Komite Nasional Ekonomi Syariah (KNES), DSN-MUI dan Kamar Agama
Mahkamah Agung, dan Badan Pertanahan Nasional, sehingga aturan jaminan syariah berbasis hak
tanggungan atas tanah yang diterapkan berlaku secara komprehensif dan konsisten seperti halnya
UU Hak Tanggungan.
2. Ketentuan Fatwa DSN No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn tasjily belum mengakomodir
prinsip-prinsip jaminan hak tanggungan dalam APHT, sehingga perlu adanya regulasi penggunaan
hak tanggungan (SKMH dan APHT) secara syariah, dengan metode pendekatan yang berorientasi
pada kebijakan (policy oriented approach) dari Kementerian ATR/Kepala BPN termasuk organisasi
profesi Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), untuk memikirkan dan membuat Rancangan
UU Hak Tanggungan Syariah atau lebih mendesak segera menerbitkan peraturan yang sejenis
dengan Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 dengan model hak tanggungan yang sesuai nilai-nilai
syariah. Dikarenakan secara normatif, awal kehadiran hak tanggungan memang hanya
diperuntukkan pada perbankan konvensional bukan perbankan syariah.

Anda mungkin juga menyukai