Anda di halaman 1dari 19

BEBERAPA KONSEP DAN TEORI

MULTIKULTURALISME
Mata Kuliah Masyarakat Multikulturalisme dan Politik Identitas

Program studi Magister Sosiologi

FISIP – UNIVERSITAS AIRLANGGA


Pertanyaan-Pertanyaan seputar masyarakat
multikultural di Indonesia

1. Apakah masyarakat Indonesia secara alamiah menyatakan


dirinya sebagai masyarakat multikultural?
2. Fakta-fakta empiris apa yang mendukung masyarakat Indonesia
sebagai masyarakat multikultural?
3. Apakah kondisi multikultural pada masyarakat Indonesia
didukung oleh kesadaran kolektif para anggota masyarakatnya?
4. Jika diibaratkan sebagai pendulum, bagaimanakah
kecenderungan gerak multikulturalisme di Indonesia, apakah
mengarah pada upaya integrasi atau disintegrasi bangsa?
5. Sebutkan konsep-konsep yang berkaitan dengan fenomena
masyarakat multikultural di Indonesia.
Beberapa konsep yang berkaitan dengan masyarakat
multikultural
• Multikulturalisme (multiculturalism):
Multikulturalisme mengkonsepkan pandangan terhadap keanekaragaman kehidupan di dunia, ataupun
kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan
berbagai macam budaya di dalam realitas masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem sosial, praktik
budaya, adat-kebiasaan, dan filosofi politik yang dianut dalam konteks tertentu. Multikulturalisme tidak
bertujuan untuk menciptakan keseragaman ala monisme atau pun penciptaan budaya universal ala
pluralisme. Multkulturalisme lebih maju dari monisme dan pluralisme.

Prasangka/Prejudice:
• membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah
ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa
dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras.

Stereotype:
• Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana
orang tersebut dapat dikategorikan. stereotipe adalah setiap pemikiran yang diadopsi secara luas
tentang tipe individu tertentu atau cara berperilaku tertentu yang dimaksudkan untuk mewakili seluruh
kelompok individu.
• Stereotipe timbul karena adanya kecenderungan untuk menggeneralisasi secara berlebihan tanpa
diferensiasi sehingga menimbulkan bias dan sikap negatif yang dialamatkan kepada suatu kelompok
sosial (ras,suku atau agama) dan anggotanya.
Stigma:
• Stigma sosial adalah tidak diterimanya seseorang pada suatu kelompok karena kepercayaan bahwa orang tersebut
melawan norma yang ada. Stigma sosial sering menyebabkan pengucilan seseorang ataupun kelompok.

Rasisme:
• serangan sikap, kecenderungan, pernyataan, dan tindakan yang mengunggulkan atau memusuhi kelompok
masyarakat terutama karena identitas ras.
• Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan rasisme sebagai rasialisme. Di mana rasialisme adalah
prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda.

Diskriminasi:
• adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya
bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau
keanggotaan kelas-kelas sosial.

Out group:
• ialah kelompok yang berada di luar suatu kelompok yang ditandai oleh adanya antagonisme, prasangka atau
antipati.

Kesenjangan sosial:
• merupakan suatu kondi dimana ada hal yang tidak seimbang di dalam kehidupan masyarakat, entah itu secara
personal maupun kelompok. Dimana ada ketimpangan sosial yang terbentuk dari sebuah ketidakadilan distribusi
banyak hal yang dianggap penting oleh masyarakat.
• Perbedaan (Difference)
• Dalam multikulturalisme ide ini memiliki dua aspek. Ada perbedaan dari luar, perbedaan yang
dipaksakan pada orang-orang, perbedaan negatif yang dianggap berasal dari, seperti misalnya rasisme,
yang mengatakan 'kami putih, kamu hitam, dan kamu lebih rendah'. Ilustrasi kontemporer lainnya adalah
Islamofobia sebagai bentuk rasisme budaya
• Aspek kedua disebut 'perbedaan' yang dialami dari dalam, perbedaan subjektif atau intersubjektif yang
dirasakan orang tentang diri mereka sendiri, rasa identitas mereka.
• Multikulturalis menekankan bahwa rasa identitas yang diungkapkan orang akan berubah – identitas itu
cair dan tentu saja tidak homogen – namun gagasan tentang pengenalan identitas merupakan gagasan
penting dalam multikulturalisasi kewarganegaraan dan sebagainya.
• Persamaan/Kesetaraan (Equality):
• konsep kesetaraan/persamaan memiliki dua aspek. Aspek pertama adalah non-diskriminasi atau
toleransi. Ini adalah konsep liberal klasik. Konsep kesetaraan dalam pandangan multikulturalis yang khas
adalah gagasan tentang rasa hormat, tidak mengharuskan memperlakukan semua orang dengan
standar yang seragam atau bahwa semua kebijakan tidak harus diterapkan dengan cara yang sama
untuk semua kelompok.
• Aspek kedua, mengikutsertakan mereka yang memiliki 'perbedaan' dengan rasa hormat. Bukan seperti
asimilasi, yang menawarkan kesetaraan pada minoritas dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
Contoh yang paling konkrit adalah penyediaan makanan halal di sekolah atau lembaga publik lainnya 
menerapakan prinsip non-diskriminasi.
• Kelompok Etno-Agama (Ethno Religious Group)
• Konsep ini secara khusus berkembang di Eropa Barat dan Inggris. Mereka memasukkan gagasan
bahwa kelompok agama, atau kelompok etnis-agama, orang-orang seperti Sikh, Muslim, Hindu dan
sebagainya harus dimasukkan dalam multikulturalisme.
• Di Eropa Barat ketika orang-orang berbicara tentang multikulturalisme, mereka hampir selalu
berbicara tentang agama dan kebanyakan tentang Muslim.
• Identitas Nasional
• Will Kymlicka, Bhikhu Parekh dan Charles Taylor selalu berbicara tentang kewarganegaraan nasional
dan multikulturalisme sebagai sesuatu yang mengubah identitas nasional kita. Kewarganegaraan
nasional kita telah dipahami sebagai wahana multikulturalisme.  keragaman harus dipikirkan dalam
bingkai identitas nasional.
• Dialog
• Parekh (Parekh, 2000/2006: bab 9) secara eksplisit menjadikan dialog antarbudaya sebagai pusat
konsepsinya tentang multikulturalisme. Demikian pula, James Tully terus menekankan bahwa
kerjasama di bawah kondisi keragaman yang mendalam atau 'multiplisitas' membutuhkan 'multilog'
(Tully, 1995).
• Contoh intervensi multikulturalis yang menyerukan dialog seputar hijab (jilbab), dan pelarangan hijab
khususnya di Prancis dan beberapa bagian benua Eropa. Atau contoh yang lain lagi, menekankan
perlunya membuka dialaog tentang apa artinya menjadi orang Inggris, jadi itu bukan pemaksaan
yang bersifat top-down tetapi menciptakan pemahaman dialogis tentang Inggris kontemporer di
masa depan. Dialog seperti itu sangat penting bagi multikulturalisme.
• Jarak sosial (social distance):

Jarak sosial adalah pemisahan secara sosial yang dianggap ada


dan terjadi antarindividu, antarkelompok, atau antara individu
dan kelompok. Penggunaan jarak sosial dalam sosiologi adalah
untuk mengetahui hubungan sosial dalam suatu kelompok atau
antar kelompok.
mendeskripsikan jarak antarberbagai kelompok dalam
masyarakat dan bukan merupakan jarak fisik (lokasi). Gagasan
ini tidak hanya mencakup perbedaan-perbedaan seperti kelas
sosial, ras/etnis, gender atau seksualitas, tetapi juga fakta bahwa
anggota kelompok yang berbeda kurang berbaur
dibandingkan dengan anggota dari kelompok yang sama.
• Istilah ini sering diterapkan di kota-kota, tetapi penggunaannya
tidak terbatas hanya di kota saja.
• Jarak sosial merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk
menggantikan penggunaan istilah diskriminasi dan bukan
diskriminasi pada hubungan sosial. Penggunaan konsep jarak
sosial mempermudah pembentukan tingkatan diskriminasi
yang kontinum.
• Konsep jarak sosial pertama kali dianalisa oleh Emory S.
Bogardus dan menghasilkan alat ukur dan alat banding sikap
masyarakat yang disebut skala Bogardus. Penanggap diminta
untuk menanggapi pernyataan-pernyataan tentang hubungan
sosial dengan kelompok sosial lain dengan tingkat kesamaan
yang berbeda-beda dengan kelompok asalnya.
KONSEP-KONSEP LAINNYA:
• Penerimaan sosial (social acceptance)
• Chaplin (1995:50) mengatakan bahwa penerimaan sosial adalah pengakuan dan
penghargaan terhadap nilai-nilai individu. Individu yang mendapatkan
penerimaan sosial akan merasa mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari
individu lain atau kelompok secara utuh. Penerimaan sosial menurut Berk (2003:
215) adalah kemampuan seseorang sehingga ia dihormati oleh anggota
kelompok yang lainnya sebagai partner sosial yang berguna/bernilai.
• Kepercayaan sosial (social trust):
• Kepercayaan sosial adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat
yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan
norma-norma yang dianut bersama-sama anggota masyarakat.
Konsep-konsep lainnya yang memiliki
relevansi dengan masyarakat multikultural
• Pengakuan
• Saling percaya (mutual trust)
• Partisipasi
• Kecerdasaran kultural (cultural intelegence)
• Terlibat
• Modal sosial (social capital)
• Kerja sama
• Simpati
• Kohesivitas
• Toleran
• integrasi
• Penghargaan
 Eksklusif vs Inklusif
NASIONALISME MULTIKULTURAL (RELASI
MAYORITAS-MINORITAS)
• Dapat diilustrasikan dengan contoh pendidikan tentang pengajaran agama (tetapi
juga dapat diperluas bukan hanya pada pendidikan agama) dan ibadah di sekolah
negeri standar (yaitu, bukan sekolah agama). Kita tidak boleh, misalnya, meminta
sekolah untuk menghentikan pengajaran atau peribadatan agama Kristen atau
merayakan Natal karena kehadiran Muslim atau Hindu; sebaliknya, kita harus
memperluas perayaan untuk memasukkan, misalnya, Idul Fitri dan Diwali.
• Kelas-kelas yang terpisah dan ibadah khusus agama seperti itu perlu
diseimbangkan dengan pendekatan yang menyatukan semua anak dan berdialog
untuk mencegah potensi memecah belah sekolah dan masyarakat.
Teori penilaian/penerimaan sosial
• Teori Penilaian Sosial (Sherif &Hovland,1952)
Asumsi:
• bahwa sikap terhadap individu atau kelompok lain yang didasarkan pada kriteria
atau opini tertentu akan mempengaruhi keputusan untuk melakukan penerimaan
atau penolakan.
• Setiap individu maupun kelompok cenderung menciptakan kondisi yang
menguntungkan bagi dirinya (Sherif&Hovland,1961).
• Penciptaan kondisi yang menguntungkan, juga akan menciptakan suatu perilaku
yang disesuaikan dengan waktu dan tempat tertentu (Sherif, 1961), dimana hal
tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik secara internal maupun
eksternal. Faktor internal dapat dipengaruhi oleh keberadaan sikap, emosi, motif,
pengalaman historis, rasionalitas, dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eksternal
dapat berupa individu, kelompok maupun lingkungan yang ada di sekitar
Proposisi
1. Penilaian sosial mempengaruhi sikap yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang
dalam relasi antarindividu maupun kelompok.
2. Penilaian sosial ini dapat menjadi dasar untuk menjelaskan sikap yang nampak pada
proses komunikasi atau interaksi. Penilaian tersebut dapat berupa diskriminasi
karena adanya kategorisasi serta perbandingan yang dijadikan pegangan dasar.
3. Perbedaan yang dimiliki oleh individu atau kelompok dapat menciptakan sikap
penerimaan dan penolakan terhadap individu atau kelompok lain, dimana hal ini
dapat dikaitkan dengan toleransi terhadap perbedaan.
4. penilaian sosial yang menciptakan kategorisasi dapat mempengaruhi dan
meningkatkan nilai yang dimiliki individu maupun kelompok, nilai sosial maupun nilai
personal.
5. Berbagai nilai yang dimiliki individu atau kelompok digunakan sebagi acuan untuk
menciptakan kategorisasi perbedaan atau persamaan
PROPOSISI
6. Ketika kategorisasi yang dimiliki telah dilandaskan pada penilaian dan keyakinan
yang diakui, maka dapat mempengaruhi kecenderungan pengambilan sikap.
Misalnya ketika suatu kelompok telah menyatakan untuk menolak kelompok
lain yang memiliki perbedaan bahasa, budaya dan lain sebagainya, maka
mereka telah menjadikan kategorisasi yang dimilikinya sebagai dasar
pengambilan sikap.
7. Proses penilaian sosial akan menghasilkan sikap menerima, menolak maupun
acuh yang didasarkan pada kategorisasi yang dibuat. Hasil dari penilaian sosial
berdasarkan patokan nilai yang diakui dan digunakan dalam berinteraksi
Implikasi Teori
• Substansi dari teori ini digunakan untuk mengkaji hubungan antarkelompok.
• Dalam perkembangannya, teori penilaian sosial dapat mencakup pembahasan mengenai
relasi ras atau etnis, pemilihan umum, dan sebagainya (Granberg, 1982).
• Ketika penilaian mendekati standar patokan akan terjadi asimilasi karena tidak
terdapat perbedaan yang berarti, sedangkan ketika penilaian menjauhi standar patokan
akan terjadi kontras karena perbedaan yang besar. Konsep asimilasi dan kontras ini dapat
mengidentifikasi kecenderungan sikap menerima atau menolak dalam interaksi
(Maccoby, 1962;Sarwono, 2019).
• Dalam kehidupan multikultur, sikap menerima atau menolak juga dapat dilihat melalui
keterbukaan maupun prasangka terhadap individu atau kelompok lain (Jung et al, 2017).
• Prasangka yang dimiliki secara umum dianggap sebagai suatu sikap negatif terhadap
individu maupun kelompok lain yang dapat mendasari penilaian sosial
• Dalam kehidupan masyarakat multikultur, prasangka yang ada dianggap tidak objektif dan
wajar dari kelompok mayoritas terhadap minoritas sehingga dapat menciptakan
kesenjangan pada masyarakat heterogen
Instrumen pengukuran
• Dalam teori penilaian sosial, dapat diketahui bahwa terdapat pengukuran sikap.
Pengukuran tersebut seringkali dikenal sebagai derajat atau tingkat sikap
penerimaan atau penolakan.
• bahwa sikap terhadap individu atau kelompok lain dibedakan sebagai berikut:
• (1)Latitude of acceptance (kebebasan dalam penerimaan) – Derajat Penerimaan: sikap
yang terbentuk melalui rangkaian opini yang menunjukkan adanya penerimaan karena
terdapat kesesuaian dengan patokan yang dimiliki,
• (2)Latitude of rejection (kebebasan dalam penolakan) – Derajat Penolakan: sikap yang
terbentuk melalui rangkaian opini yang menunjukkan adanya penolakan karena terdapat
ketidaksesuaian dengan patokan yang dimiliki dan tidak dapat ditolerir
• (3)Latitude of noncommitment (kebebasan untuk tidak berkomitmen)– Derajat
Ketidakterlibatan: sikap yang terbentuk karena tidak adanya opini terhadap individu atau
kelompok lain sehingga bersifat netral bahkan acuh tak acuh.
• Menurut Sherif dan Hovland (1961), komunikasi (atau interaksi) dapat
mempengaruhi pengambilan sikap terhadap individu atau kelompok lain.
Pengambilan sikap semacam itu berkaitan dengan penerimaan atau penolakan
karena keterlibatan dan penilaian yang didapatkan melalui interaksi.
• penilaian sosial merupakan bagian dari mengukur dampak komunikasi yang
tampak melalui asimilasi atau kontras dalam interaksi. Dengan adanya
komunikasi antar kelompok, terdapat batasan yang jelas mengenai persamaan
dan perbedaan yang dimiliki sehingga dapat mempertegas sikap yang diambil
dalam interaksi.
Teori Modal Sosial
• Dapat dikatakan bahwa jaringan sosial (sebagai bagian dari modal sosial) yang
terjadi merupakan suatu modal yang bernilai, dimana hal tersebut dapat
meningkatkan kohesivitas untuk memberikan tujuan yang ingin dicapai dalam
jaringan tersebut.
• Modal sosial berkaitan dengan struktur sosial dan perilaku individu atau kelompok
dalam struktur tersebut, perilaku tersebut berkaitan dengan kepercayaan,
asosiasi dan implementasi norma di kalangan individu maupun kelompok
(Ritchie&Gill, 2007).
• Cakupan dalam modal sosial dapat berupa struktur hubungan yang terjadi antara
individu atau kelompok (Coleman, 2000). Dari beberapa studi kasus, dapat
diketahui bahwa modal sosial dapat digunakan untuk mencapai tujuan dalam
berbagai bidang, termasuk tujuan untuk hidup bersama secara damai meski
dalam perbedaan.
• Dalam hubungan sosial, modal sosial dijadikan sebagai investasi yang
menghasilkan suatu “keuntungan” sehingga individu atau kelompok yang terlibat
dalam suatu interaksi dan jaringan sebagai upaya pencapaian keuntungan baik
dalam bidang ekonomi maupun non-ekonomi
• Perubahan yang terjadi pada relasi dan perilaku seseorang memperngaruhi
keberadaan modal sosial. Modal sosial tercipta dan dapat berfungsi ketika
terdapat kepercayaan di dalam kehidupan sosial (Coleman, 2000).
• Lingkup dari modal sosial antara lain adalah (Putnam, 1995):
• jaringan sosial;
• norma sosial, dan
• kepercayaan sosial (social trust)

Anda mungkin juga menyukai