Anda di halaman 1dari 23

Penafsiran Dalam

Hukum Tata Negara


Rahmat Saputra
Pengantar

Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung dalam


teks-teks hukum untuk dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus atau
mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret.
Menafsirkan intinya adalah kegiatan mengerti atau memahami (Arief Sidharta)
Dalam Hukum Tata Negara, penafsiran dalam hal ini adalah judicial
interpretation (penafsiran oleh hakim), berfungsi sebagai metode perubahan
konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang
terdapat dalam suatu teks undang-undang dasar.
Teori Penafsiran Letterlijk atau Harafiah
• Penafsiran yang menekankan pada arti atau makna kata-kata yang tertulis.
• Misalnya : Kata Servants dalam konstitusi jepang artikel 15 (2) “All Public
Officials are servants of the whole community and not of any group thereof”
• Kata a natural association dalam artikel 29 ayat(1) dan kata the moral dalam
ayat (2) Konstitusi Italia yang menyatakan :
“(1) The republic recognizes the rights of the family as a natural association
founded on marriage, (2) marriage is based on the moral and legal equality of the
spouses, within the limits laid down by law to safeguard the unity of the family”
Teori Penafsiran Gramatikal atau Interpretasi
Bahasa
• Penfasiran ini menekankan makna teks yang di dalamnya kaidah hukum
dinyatakan. Penafsiran dengan cara demikian bertolak dari makna
menurut pemakaian bahasan sehari-hari atau makna teknis yuridis yang
lazim atau dianggap sudah baku.
Teori Penafsiran Historis
• Penafsiran Historis mencakup dua pengertian, yaitu (1) penafsiran sejarah perumusan undang-
undang, (2) penafsiran sejarah hukum.
• Penafsiran yang pertama, memfokuskan diri pada latar belakang sejarah perumusan naskah,
yaitu bagaimana perdebatan yang terjadi ketika naskah itu hendak dirumusakan. Oleh karena itu
yang dibutuhkan adalah kajian mendalam tentang notulen-notulen rapat, catatan-catan pribadi
peserta rapat, tulisan-tulisan peserta yang tersedia baik dalam bentuk tulisan ilmiah maupun
komentar tertulis yang pernah di buat.
• Penafsiran kedua, mencari makna yang dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa lampau.
Dalam pencarian makna tersebut juga kita merujuk pendapat-pendapat pakar dari masa lampau,
termaksud pula merujuk kepada norma-norma hukum masa lalu yang masih relevan.
Teori Penafsiran Sosiologi
• Konteks sosial ketika suatu naskah dirumuskan dapat dijadikan perhatian
untuk menafsirkan naskah yang bersangkutan. Peristiwa yang terjadi
dalam masyaakat acapkali memengaruhi legislator ketika naskah hukum
itu dirumuskan. Misalnya kalimat “dipilih secara demokratis” dalam Pasal
18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Gbernur ,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah
Propinsi, Kabupaten dan Kota di pilih secara demoktratis”
Teori Penafsiran Sosio-Historis
• Berbeda dengan penafsiran sosiologi, penafsiran sosio-historis
memfokuskan pada konteks sejarah masyarakat yang mempengahui
rumusan naskah hukum. Misalnya ide persamaan dalam teks konstitusi
republik V Perancis, ide ekonomi kekeluargaan dalam pasal 33 UUD
1945, dan ide Negara Kekaisaran Jepang.
Teori Penafsiran Filosofis
• Penafsiran dengan fokus perhatian pada aspek filosofis. Misalnya ide
negara hukum dalam konstitusi republik V perancis artikel 66 “ No.
Person may be detained arbitrarily” ide negara hukum dalam pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang
menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Contoh lain
adalah rumusan ide demokratis terpusat dalam konstitusi Cina.
Teori Penafsiran Teleologis
• Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-kaidah
hukum menurut tujuan dan jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta
bahwa pada kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan
dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempengaruhi interprestasi.
Dalam penafsiran demikian juga diperhitungkan konteks kenyataan
kemasyarakatan yang aktual.
Teori Penafsiran Holistik
• Penafsiran ini mengakitkan suatu naskah dengan konteks keseluruhan jiwa
dari naskah tersebut.
• Misalnya the individual economy dalam article 11 ayat 1 Konstitusi Cina
“ (1) The individual economy of urban and rural working people, operated
within the limits prescribed by law, is a complement to the sosialist public
economy..........”
Teori Penafsiran Holistik Tematis-Sistematis
• Dalam hal ini, misalnya, regular election dalam Article 68 dan 69 Kontitusi Amerika Serikat : “Regular
elections to the National Assembly shall be held within sixty days prior to the expiration of the term of
the current Assembly. Procedures for elections to the National Assembly Assembly shall be prescribed by
law. The date of elections shall be fixed by Presidential decree. The first session of a newly elected
National . Assembly shall convene on the second Thursday following the elections of at least two thirds
of the total number of Deputies. Until the election of the total number of Deputies. Until the election of
the President of National Assembly, its meetings shall be chaired by the Deputy who is most senior in
age”
• The regular sessions of the National Assembly shall convene twice per year from the second Monday of
September to the second Wednesday of December and from the first Monday of February to the second
Wednesday of June. The sittings of the National Assembly shall be open to the public. Closed door
sittings may be convened by a resolution of the national assembly”
Selain ke-9 teori penafsiran tersebut diatas, dapat pula
dikemukakan adanya pendapat Utrecht mengenai
penafsiran undang-undang :
1. Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)
• Hakim wajib mencari arti kata dalam undang-undang dengan cara
membuka kamus bahasa atau meminta keterangan ahli bahasa. Kalaupun
belum cukup, hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan kata-
kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan- peraturan lainnya. Cara
penafsiran ini, menurut Utrecht, yang pertama ditempuh atau usaha
permulaan untuk menafsirkan
2. Penafsiran Historis (historis interpretatie)

Cara penafsiran historis ini, menurut Utrecht, dilakukan dengan (i)


menafsirkan menurut sejarah hukum (rechtshistorische interpretatie), dan; (ii)
menafsirkan menurut sejarah penetapan suatu ketentuan (wetshistorische
interpretatie).

Penafsiran menurut sejarah, menurut Utrecht, merupakan penafsiran luas


atau mencakup penafsiran menurut sejarah penetapan. Kalau penafsiran
menurut sejarah penetapan dilakukan dengan cara mencermati laporan-
laporan perdebatan dalam perumusannya, surat- surat yang dikirim
berkaitan dengan kegiatan perumusan, dan lain-lain, sedangkan penafsiran
menurut sejarah hukum dilakukan menyelidiki asal naskah dari sistem
hukum yang pernah diberlakukan, termasuk pula meneliti asal naskah dari
sistem hukum lain yang masih diberlakukan di negara lain
3. Penafsiran sistematis 4. Penafsiran sosiologis

Penafsiran sistematis merupakan penafsiran Menurut Utrecht, setiap penafsiran


menurut sistem yang ada dalam rumusan undang-undang harus diakhiri dengan
hukum itu sendiri (systematische penafsiran sosiologis agar keputusan
interpretative). Penafsiran sistematis juga hakim dibuat secara sungguh-sungguh
dapat terjadi jika naskah hukum yang satu sesuai dengan keadaan yang ada dalam
dan naskah hukum yang lain, di mana masyarakat. Utecht mengatakan bahwa
keduanya mengatur hal yang sama, hukum merupakan gejala sosial, maka
dihubungkan dan dibandingkan satu sama setiap peraturan memiliki tugas sosial
lain. Jika misalnya yang ditafsirkan itu yaitu kepastian hukum dalam masyarakat.
adalah pasal dari suatu undang-undang, Tujuan sosial suatu peraturan tidak
maka ketentuan-ketentuan yang sama, senantiasa dapat dipahami dari kata-kata
apalagi satu asas dalam peraturan lainnya, yang dirumuskan. Oleh karena itu, hakim
harus dijadikan acuan harus mencarinya. Penafsiran sosiologis
5. Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie)

Penafsiran otentik ini sesuai dengan tafsir yang dinyatakan oleh pembuat
undang-undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri.21 Misalnya, arti
kata yang dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Jikalau ingin
mengetahui apa yang dimaksud dalam suatu pasal, maka langkah pertama adalah
lihat penjelasan pasal itu. Oleh sebab itu, penjelasan undang-undang selalu
diterbitkan tersendiri, yaitu dalam Tambahan Lembaran Negara, sedangkan
naskah undang-undang diterbitkan dalam Lembaran Negara.
7 (tujuh) model penafsiran hukum, Visser’t Hoft

Penafsiran Gramatikal atau Interpretasi Bahasa Penafsiran Sejarah Hukum

Penafsiran Sistematis Penafsiran Teleologis

Penafsiran Sejarah Undang-Undang Penafsiran Antisipatif

Penafsiran Evolutif-Dinamis
Jazim Hamidii, mencatat 11 (sebelas) macam metode penafsiran
hukum

1. Intrestasi Gramatikal menfsirkan kata-kata dalam sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.
2. Interpretasi Historis, yaitu penafsiran sejarah undang-undang dan sejarah hukum.
3. Interpretasi sistematis menafsirkan undang-undang sebagai sebagai keseluruhan sistem perundang- undangan.
4. Interpretasi Sosiologis atau Teleologis, makna undang-undang dilihat berdasarkan tujuan kemasyarakatannya, sehingga
penafsiran dapat mengurangi kesenjangan antara sifat positif hukum dengan kenyataan hukum.
5. Interpretasi Komparatif, menafsirkan dengan cara membandingkan dengan berbagai sistem hukum.
6. Interpretasi Fituristik, menafsirkan undang-undang dengan cara melihat pula RUU yang sedang dalam proses pembahasan.
7. Interpretasi Restriktif, membatasi penafsiran berdasarkan kata yang maknanya sudah tertentu.
8. Interpretasi Ekstensif, menafsirkan dengan melebihi batas hasil penafsiran gramatikal.
9. Interpretasi Otentik, penafsiran yang hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam undang-undang.
10. Interpretasi Interdisipliner, menggunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.
11. Interpretasi Multidisipliner, menafsirkan dengan menggunakan tafsir ilmu lain di luar ilmu hukum.
Konstruksi hukum menurut teori dan praktek dapat dilakukan dengan
4 (empat) metode, yaitu :

1. Analogi atau Metode argumentum per analogium. 2. Metode Argumentum a Contrario.


Cara kerjanya, metode ini diawali dengan pencarian
esensi umum suatu peristiwa hukum yang ada dalam Ini digunakan jika ada ketentuan
undang- undang. Esensi yang diperoleh kemudian undang-undang yang mengatur
dicoba terhadap peristiwa yang dihadapi. Apakah
peristiwa itu memiliki kesamaan prinsip dengan
hal tertentu untuk peristiwa
prinsip yang terdapat dalam esensi umum tadi. tertentu, sehingga untuk hal lain
Umpamanya apakah seorang yang “memancing yang sebaliknya dapat ditafsirkan
Belut” dapat diberi sanksi, sementara larangan yang
tertera di sudut kolam berbunyi “ dilarang
sebaliknya.
memancing ikan”
3. Metode Penyempitan Hukum. 4. Fiksi Hukum.

Misalnya “perbuatan melawan Menafsirkan atau menginterpretasi,


hukum” dapat dipersempit menurut Arief Sidharta, intinya adalah
kegiatan mengerti atau memahami.
artinya untuk peristiwa tertentu Hakikat memahami sesuatu adalah yang
yang termasuk perbuatan disebut filsafat hermeneutika atau
melawan hukum, sehingga metode memahami atau metode
interpretasi dilakukan terhadap teks
terdapat peristiwa yang dapat secara holistik dalam bingkai keterkaitan
dikatagorikan perbuatan antara teks, konteks, dan
melawan hukum. kontekstualisasi.
Hermeneutika Hukum
Secara etimologis, kata hermeneutika (Inggris hermenutics) berasal dari kata kerja Yunani
hermēneuein yang berarti “menafsirkan” dan kata benda hermēneia yang berarti “interpretasi”
atau “penafsiran.”Tetapi kedua kata tersebut pun memiliki pengertian: ‘menerjemahkan’ dan
‘bertindak sebagai penafsir’. Palmer lebih jauh menunjukkan tiga makna dasar istilah
hermēneuein dan hermēneia yakni: (1) mengungkapkan dengan kata-kata, “to say”; (2)
menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti menterjemahkan
bahasa asing.
Ketiga makna istilah ini dapat dipadatkan dengan kata “menginterpretasi” (“to interpret”).
Interpretasi melibatkan: pemahaman dan penjelasan yang masuk akal, pengucapan dengan kata-
kata sehingga dapat dipahami, dan penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain.
Mengutip Hans George Gadamer (1965), Arief Sidharta
memaparkan ilmu hukum ada sebuah eksemplar hermeneutik in
optima forma, yang diaplikasikan pada aspek hukum kehidupan
bermasyarakat. “Hermeneutika itu suatu aliran kefilsafatan.

hermeneutika penting bagi ilmu hukum sebagai tendensi lawan


terhadap suatu fondasi berpikir yang telah mapan dan
menghegemoni semua pemikiran. Minimal, hermeneutika hadir
sebagai tendensi lawan atas kegelisahan hegemoni positivisme.
Hermeneutika berbeda dari penafsiran yang dikenal dalam ilmu
hukum. “Pemikiran hermeneutik itu tidak tunggal seperti
penafsiran dalam ilmu hukum,
Metode Penelitian Hukum Melalui Pendekatan Aliran Hermeneutika Hukum

Pada dasarnya, inti kegiatan intelektual dalam pengembanan Ilmu Hukum yang dimaksud dengan Ilmu Hukum
di sini adalah ilmu normatif yang termasuk ke dalam kelompok Ilmu-ilmu Praktikal yang keseluruhan kegiatan
ilmiahnya (menghimpun, memaparkan, mensistematisasi, menganalisis, menginterpretasi dan menilai hukum
positif) pada analisis terakhir terarah untuk menawarkan alternatif penyelesaian terargumentasi yang paling
akseptabel terhadap masalah hukum konkret (aktual maupun potensial) berdasarkan dan dalam kerangka
tatanan hukum yang berlaku.

Ilmu Hukum ini disebut Dogmatika Hukum atau Ilmu Hukum Praktikal; ada juga yang menyebutnya Ilmu
Hukum Positif atau Ilmu Hukum Dogmatik. Masalah hukum berintikan pertanyaan tentang apa hukumnya
bagi situasi konkret terberi, artinya apa yang menjadi hak dan kewajiban orang dalam situasi
kemasyarakatan konkret tertentu, dan berdasarkan itu apa yang seharusnya dilakukan orang, yang
kepatuhannya tidak diserahkan sepenuhnya kepada kemauan bebas yang bersangkutan, melainkan dapat
dipaksakan oleh otoritas publik (pemerintah dan aparatnya).
Pengembanan metode penelitian melalui Hermeneutik Ilmu Hukum berintikan kegiatan menginterpretasi
teks yuridik untuk mendistilasi kaidah hukum yang terkandung dalam teks yuridis itu dan dengan itu
menetapkan makna serta wilayah penerapannya. Antara ilmuwan hukum (interpretator) dan teks yuridik itu
terdapat jarak waktu.

Teks yuridik adalah produk pembentuk hukum untuk menetapkan perilaku apa yang seyogianya dilakukan
atau tidak dilakukan orang yang berada dalam situasi tertentu karena hal itu oleh pembentuk hukum
dipandang merupakan tuntutan ketertiban berkeadilan.

Jadi, terbentuknya teks yuridis itu terjadi dalam kerangka cakrawala pandang pembentuk hukum berkenaan
dengan kenyataan kemasyarakatan yang dipandang memerlukan pengaturan hukum dengan mengacu cita
hukum yang dianut atau hidup dalam masyarakat. Dalam upaya mendistilasi kaidah hukum dari dalam teks
yuridis dengan menginterpretasi teks tersebut, interpretator dari peneliti/ilmuwan tidak dapat lain kecuali
dalam kerangka pra-pemahamanan dan cakrawala pandangnya dengan bertolak dari titik berdirinya sendiri,
jadi terikat pada waktu yang di dalamnya interpretasi itu dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai