Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH GLUKOSA TERHADAP PRODUKSI BIOSURFAKTAN OLEH Azotobacter Vinelandii DAN PENGARUH BIOSURFAKTAN TERHADAP BIODEGRADASI TPH OLEH

KONSORSIUM BAKTERI PETROFILIK EFFECT OF GLUCOSE IN BIOSURFACTANTS PRODUCTION BY Azotobacter Vinelandii AND THE EFFECT SURFACTANT IN TPH BIODEGRADATION BY PETROFILIK BACTERIAL CONSORTIUM
1

Luhur Akbar Devianto dan 2Edwan Kardena

Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Jl Ganesha 10 Bandung 40132 1 luhur@students.itb.ac.id dan 2kardena@pusat.itb.ac.id
Abstrak : Sumber karbon merupakan salah satu faktor penting dalam produksi biosurfaktan. Pada penelitian ini produksi biosurfaktan variasi konsentrasi glukosa sebagai sumber karbon menunjukkan produksi paling banyak dihasilkan pada jam ke-48 dengan max = 0,416/jam dan Ks = 6,55 g/L. Produksi Produksi biosurfaktan fraksi eksopolisakarida cenderung mengalami peningkatan seiring dengan penambahan konsentrasi glukosa, sedangkan produksi biosurfaktan fraksi asam lemak cenderung konstan. Peningkatan glukosa dari 2% (w/v) hingga 3,5% (w/v) tidak memberikan peningkatan produksi biosurfaktan secara signifikan. Penambahan surfaktan, baik surfaktan sintetis ataupun biosurfaktan dapat meningkatkan efisiensi degradasi TPH minyak bumi dan oli bekas. Penambahan surfaktan sintetis sebanyak 5% (v/v) dapat meningkatkan efisiensi degradasi TPH minyak bumi dan oli bekas sebanyak 78,2% dan 86,6%. Sedangkan penambahan biosurfaktan sebanyak 5% (v/v) dapat meningkatkan efisiensi degradasi TPH minyak bumi dan oli bekas sebanyak 86,73% dan 88,44%. Kata kunci : Biosurfaktan, Azotobacter vinelandii, hidrokarbon minyak bumi total (TPH), bioemulsifier. Abstract: Sources of carbon is one important factor in the biosurfactants production. In this experiments the production of biosurfactants in variation concentration glucose as carbon source showed the biggest production was produced at the 48th hour with max = 0.416/jam and Ks = 6.55 g/L. Exopolysccharide fraction of biosurfactant production tends to increase in line with the increasing of glucose concentration, whereas the production of fatty acid fraction of biosurfactants remains constant. Increase glucose concentration that added in medium from 2% to 3.5% does not provide increase of biosurfactants production efficiency. Addition of surfactants, either synthetic or microbial surfactant can increase the efficiency of TPH degradation. The addition of synthetic surfactants 5% (v/v) can increase the efficiency of TPH degradation of crude oil and waste motor lubricant oil as much as 78.2% and 86.6%. While the addition of biosurfaktan 5% (v/v) can increase the efficiency of TPH degradation of crude oil and waste motor lubricant oil as much as 86.73% and 88.44%. Key words: Biosurfactants, Azotobacter vinelandii, total petroleum hydrocarbons (TPH), bioemulsifier

WW8-1

PENDAHULUAN Kegiatan eksploitasi, eksplorasi, transportasi, dan konsumsi minyak bumi memungkinkan terjadinya tumpahan dan pembuangan yang memicu pelepasan polutan hidrokarbon ke alam yang menyebabkan permasalahan lingkungan (Okonkwo, 1984; Rhodes dan Hendricks 1990; Oluwole et al., 2005; Okoh, 2006 dalam Obayori, 2009). Polutan minyak tidak hanya bersifat toksik, namun juga seperti yang kita ketahui bersama bersifat karsinogenik terhadap komponen biologi di lingkungan. Metode pengolahan secara fisik dan kimia untuk mereduksi polutan hidrokarbon sangat mahal, membutuhkan waktu yang lama, dan tidak ramah lingkungan (Mandri dan Lin 2007; Van Hamme et al., 2003). Oleh karenanya bioremidiasi adalah pilihan metode yang cukup menjanjikan dalam menyisihkan polutan hidrokarbon di lingkungan (Obayori, 2009). Kelarutan yang rendah dan tingkat hidrofobisitas yang tinggi dari senyawa hidrokarbon menyebabkan senyawa ini sulit untuk di degradasi mikroorganisme. Secara umum penambahan biosurfaktan adalah salah satu strategi dalam mempercepat degradasi PAH dan senyawa hidrofobik (Obayori, 2009). Surfaktan adalah molekul amphipatik yang terdiri dari gugus hidrofilik dan hidrofobik, sehingga dapat berada di antara cairan yang memiliki sifat polar dan ikatan hidrogen yang berbeda seperti di antara minyak dengan air. Hal ini menyebabkan surfaktan mampu mereduksi tegangan permukaan dan antar permukaan dan membentuk mikroemulsi sehingga hidrokarbon dapat larut dalam air dan begitu pun sebaliknya (Desai dan Banat, 1997; Mulligan, 2005; Singh, 2006). Biosurfaktan adalah hasil ekskresi mikroorganisme yang memiliki sifat mirip dengan surfaktan (Thavasi, 2009). Karakteristik surfaktan yang mampu berfungsi sebagai detergen, pengemulsi, foaming, dan pendispersi, menjadikan surfaktan banyak digunakan dalam proses kimia (Desai dan Banat, 1997). Surfaktan dan pengemulsi sering digunakan dalam berbagai industri seperti kosmetik, farmasi, petrokimia, makanan dan minuman, tekstil, sabun, pertambangan dan manufaktur, serta berpotensi untuk crude oil recovery dan bioremediasi pada tanah yang terkontaminasi (Banat, 1997; Christofi dan Ivshina, 2002). Penggunaan surfaktan tidak selamanya dapat meningkatkan degradasi minyak bumi. Surfaktan sintetis dilaporkan dapat menurunkan tingkat degradasi dari senyawa organik, yang kemungkinan disebabkan oleh efek toksik yang ditimbulkannya (Bruheim et al., 1999 dan Rouse et al., 1994 dalam Christofi dan Ivshina, 2002). Sehingga penggunaan biosurfaktan yang memiliki toksisitas relatif lebih rendah dibanding surfaktan sintetis (Kosaric, 1992), dan lebih mudah terurai saat ini menjadi pilihan yang sangat menarik (Christofi dan Ivshina, 2002). Salah satu industri yang paling potensial dalam mengaplikasikan biosurfaktan ini adalah industri minyak, biosurfaktan ini dapat digunakan dalam biodegradasi minyak bumi. Sepuluh hingga lima belas tahun terakhir penggunaan surfaktan untuk meningkatkan bioavaibility polutan yang bersifat hidrofobik mulai disadari (Christofi dan Ivshina, 2002). Penambahan surfaktan, baik surfaktan sintetis maupun surfaktan alami (biosurfaktan) terbukti mampu meningkatkan efisiensi degradasi hidrokarbon, karena surfaktan dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam air. Oleh karena sifat biosurfaktan yang ramah lingkungan, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola produksi biosurfaktan pada variasi konsentrasi glukosa. Kemudian biosurfaktan dengan kualitas dan kuantitas produksi yang baik, akan digunakan untuk aplikasi penigkatan biodegradasi TPH oleh konsorsium bakteri petrofilik.

WW8-2

METODOLOGI Secara garis besar penelitian dilakukan secara skala laboratorium pada reaktor batch diawali dengan tahap pengayaan bakteri mutan Azotobacter vinelandii yang diperoleh dari kultur murni ke dalam media ashby dalam kultur cair. Media tersebut merupakan media selektif pertumbuhan genus Azotobacter dengan kriteria ketiadaan nitrogen tetap dan digunakan manitol sebagai sumber utama (Schlegel, 1986). Penelitian dilanjutkan dengan menanam kultur mutan Azotobacter vinelandii ke dalam media pengaya sebanyak 10% volume media pengaya dipindahkan ke dalam media pengaya secara aseptis. Azotobacter vinelandii yang telah ditanam diinkubasi di dalam rotary shaker dengan kecepatan 100 rpm, kondisi temperatur ruang. Kultur segar dipanen pada hari ketiga untuk tahapan penelitian selanjutnya. Percobaan dalam reaktor batch dilakukan dengan memindahkan kultur segar sebanyak 10% (v/v) secara akseptis. Media penelitian untuk penumbuhan bakteri adalah media basal dengan variasi komposisi glukosa sebesar 2%, 2,5%, 3%, dan 3,5%. Percobaan variasi konsentrasi glukosa ini dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan glukosa sebagai sumber karbon. Pengamatan terhadap pertumbuhan bakteri dan pengukuran kuantitas biosurfaktan fraksi asam lemak dan kuantitas eksopolisakarida (EPS) diamati setiap 24 jam sekali selama empat hari. Percobaan dengan reaktor batch dilakukan dengan kisaran pH netral 6-7, temperatur ruang, serta kecepatan shaker 100 rpm. Berdasarkan komposisi glukosa yang berikan diharapkan diketahui kecenderungan dan efisiensi pemanfaatan glukosa sebagai sumber karbon. Alat dan Bahan Minyak mentah yang digunakan untuk menguji kapasitas emulsifikasi diperoleh dari Sumur Bula, Maluku yang di eksploitasi oleh Kalrez Petroleum (Seram) Ltd. Media selektif yang digunakan untuk aklimatisasi bakteri Azotobakter vinelandii dengan manitol sebagai sumber karbon utama (Schlegel 1986) adalah media ashby. Media ashby terdiri dari ( dalam 1 liter aquades ) : Manitol (15 gr); K2HPO4 (0,5 gr) MgSO4 7 H2O (0,2 gr); CaSO4 (0,1 gr); NaCl (0,2 gr); CaCO3 (5 gr). Media yang digunakan untuk meneliti pertumbuhan bakteri dan produksi biosurfaktan adalah media basal minimum (Helmy. et al., 2008) dengan variasi sumber karbon glukosa 2%, 2,5%, 3%, 3,5%. Komposisi media basal minimum tersebut adalah ( dalam 1 Liter aquades ) : K2HPO4 ( 1,5 gr), KH2PO4 (0,5 g), (NH4)2SO4 (0,4 g), MgSO4.7H2O (0,2 g), dan 10 mL trace element yang mengandung (dalam 1 L aquades): Na2EDTA2.2H2O (12 g), FeSO4.7H2O (2 g), CaCl2 (1 g), ZnSO4.7H2O (0,4 g), NaSO4 (10 g), MnSO4.4H2O (0,4 g), CuSO4.5H2O (0,1 g), Na2MoO4.2H2O (0,5 g). Medium disterilkan dengan menggunakan autoclave dengan suhu 120oC dalam waktu 20 menit dengan tekanan sebesar 15 psi. Media yang digunakan untuk meneliti pengaruh surfaktan dalam degradasi TPH adalah medium SBS cair (Effendi, 1987). Komposisi medium SBS cair adalah (dalam 1 Liter aquades) : K2HPO4 ( 1,5 gr), KH2PO4 (0,5 g), (NH4)2SO4 (0,5 g), MgSO4.7H2O (0,2 g), Yeast extract (0,5 g). Medium disterilkan dengan menggunakan autoclave dengan suhu 120oC dalam waktu 20 menit dengan tekanan sebesar 15 psi. Peralatan yang digunakan adalah labu Erlenmeyer 2 liter, labu Erlenmeyer 500 ml, labu Erlenmeyer 250 ml, botol vial 20 ml, tabung reaksi, mikropipet, pipet ukur, pipet tetes, filler, sentrifuge, timbangan analitik, kertas saring bebas abu, autoclave, rotary shaker, vortex, lemari pendingin, spektrofotometer, pH meter, waterbath, desikator, oven 105 0C.

WW8-3

Percobaan dalam reaktor batch Pengaruh glukosa dalam produksi biosurfaktan oleh Azotobacter vinelandii. Untuk mempelajari pengaruh konsentrasi glukosa pada pertumbuhan bakteri dan produksi biosurfaktan, dilakukan variasi konsentrasi glukosa pada variasi konsentrasi sebagai berikut: 20, 25, 30, dan 35 g/L. Parameter yang diamati pada tahap ini adalah pertumbuhan sel, kuantitas biosurfaktan fraksi asam lemak, kuantitas biosurfaktan fraksi eksopolisakarida (EPS), dan indeks emulsifikasi (E24), yang dilakukan setiap 24 jam sekali. Dari variasi konsentrasi glukosa terlarut tersebut kemudian dipilih yang menghasilkan aktivitas emulsifikasi yang paling optimal untuk bakteri Azotobacter vinelandii sebagai dasar perlakuan selanjutnya. Pengaruh surfaktan dalam penurunan TPH oleh konsorsium bakteri petrofilik. Percobaan pengaruh penambahan surfaktan terhadap biodegradasi oleh konsorsium bakteri petrofilik dilakukan dengan menggunakan erlenmeyer 1000 mL yang berisi 500 mL medium Standard Basal Salts (SBS) cair dengan sumber karbon minyak bumi sebesar 5%. Untuk melihat pengaruh penambahan surfaktan dilakukan variasi penambahan jumlah surfaktan diantaranya biosurfaktan 3,5%, surfaktan sistesis, dan kontrol terdiri atas medium dengan penambahan konsorsium bakteri petrofilik saja. Persiapan Isolat Bakteri Bakteri yang digunakan adalah bakteri Azotobacter vinelandii yang telah disinari dengan sinar ultraviolet selama 40 menit. Bakteri ini diperoleh dari koleksi kultur murni Laboratorium Bioteknologi Lingkungan, Program Studi Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. Pada penelitian ini dilakukan penumbuhan bakteri pada media ashby dalam kultur cair. Setelah itu bakteri ini ditumbuhkan pada media basal glukosa 2% selama 72 jam pada suhu 370C dengan kecepatan agitasi 110 rpm. Biakan ini selanjutnya digunakan sebagai inokulum untuk percobaan selanjutnya, pada konsentrasi 10% (v/v) dengan kerapatan sel 106 sel/mL. Pengujian Parameter Penelitian Pertumbuhan Mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme diuji dengan metode tidak langsung, yaitu dengan analisa spektrofotometer. Meningkatnya turbiditas suatu kultur merupakan indikasi pertumbuhan. Turbiditas diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang () 420 nm. Panjang gelombang 420 nm digunakan karena merupakan yang paling optimal untuk mengukur turbiditas media yang secara umum berwarna kuning. Isolasi Biosurfaktan Fraksi Asam Lemak. Pertama-tama biosurfaktan dipisahkan dari kultur dengan sentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 60 menit. Sehingga diperoleh supernatan. Biosurfaktan diperoleh dengan metode yang dilakukan Suryatmana (2006) yaitu supernatan diasamkan dengan penambahan 2N HCl sampai pH 2 kemudian diendapkan selama 1 malam pada suhu 4C pada hari selanjutnya dilakukan pemisahan fraksi asam lemak dengan cara menambahkan kloroform kemudian dikocok dengan menggunakan vorteks selama 2 menit lalu fraksi media yang terpisah disisihkan dari sampel. Endapan biosurfaktan yang terbentuk selanjutnya diukur secara gravimetrik setelah melalui evaporasi pada suhu 40C selama 1 malam. Isolasi Biosurfaktan Fraksi Eksopolisakarida (EPS). Untuk memperoleh fraksi eksopolisakarida dilakukan dengan menambahkan aseton dingin dengan volume 1:1 (v/v) ke dalam supernatan
WW8-4

yang didapat dari sentrifugasi sampel. Larutan kemudian dikocok dengan vortex pada kecepatan maksimum selama dua menit, kemudian didiamkan semalam disimpan pada ruang dengan temperatur 4C. Endapan eksopolisakarida yang terbentuk kemudian disaring menggunakan kertas saring, dan dikeringkan pada temperatur 105C selama 1 jam. Kertas saring selanjutnya distabilisasi dalam desikator selama 2 jam dan diukur secara gravimetrik (Vermani et. al, 1995, dikutip dari Muchtasjar, 2006). Uji Index Emulsifikasi (E24). Uji ini dilakukan untuk menguji tingkat emulsifikasi biosurfaktan fraksi total terhadap crude oil. Pengujian dilakukan adalah dengan menambahkan 5 ml supernatan yang berasal dari hasil sentrifugasi selama 60 menit pada kecepatan 13.000 rpm pada 5 ml minyak bumi atau crude oil. Larutan campuran antara minyak dengan biosurfaktan kemudian dikocok dengan vorteks dengan kecepatan tinggi selama tiga hingga empat menit sampai tercampur merata, lalu dibiarkan selama 24 jam. Indeks Emulsifikasi (E24) diukur dengan metode yang telah dilakukan Suryatmana (2006) yaitu mengukur ketinggian larutan minyak teremulsi dibagi tinggi total larutan setelah 24 jam. Uji Total Petroleum Hydrocarbon (TPH). Lima ml sampel dicampurkan dengan 5 ml N-hexan. Larutan campuran sampel dan N-hexan dikocok dengan vortex selama 2 menit. Kemudian didiamkan selama 30 menit sehingga petroleum hidrokarbon yang terekstrak hexan berada di bagian atas. Supernatan yang terbentuk kemudian dipindahkan ke pial yang sudah di timbang sebelumnya. Selanjutnya hexan diuapkan pada suhu 70 C, sehingga yang tertinggal hanya TPHnya saja, kemudian dihitung dengan gravimetri. Analisa Data. Analisa dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel. Data yang ditampilkan pada bagian pembahasan merupakan rataan dari data triplo. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengayaan Bakteri Penghasil Biosurfaktan Media ashby merupakan media selektif untuk pertumbuhan bakteri dari genus Azotobacter. Kondisi pengayaan Azotobacter vinelandii dalam penelitian ini adalah secara aerob dengan media tanpa nitrogen dan digunakan mannitol sebagai sumber karbon. Perlakuan tersebut bertujukan untuk mendapatkan isolat-isolat bakteri yang siap untuk digunakan untuk tahapan penelitian selanjutnya. Untuk menyuplai kebutuhan oksigen bagi pertumbuhan bakteri, dilakukan pengocokan dengan menggunakan rotary shaker pada kecepatan 100 rpm selama tiga hari. Pada kondisi tersebut bakteri telah berada pada fase pertumbuhan eksponensial. Kinetika Pertumbuhan Bakteri Azotobacter vinelandii pada Sumber Karbon Glukosa Nilai konstanta kejenuhan monod (Ks) dan laju pertumbuhan spesifik maksimum (max) merupakan parameter kinetika yang spesifik untuk setiap mikroorganisme dan substratnya. Ks menunjukkan afinitas sel terhadap substrat dimana nilai Ks merupakan konsentrasi substrat pada saat = 1/2 max. Jika bakteri ditumbuhkan pada konsentrasi dibawah nilai Ks nya maka laju pertumbuhan maksimum dari mikroba tidak akan tercapai. Sebaliknya jika mikroba di tumbuhkan pada konsentrasi diatas nilai Ks nya maka sebanyak apapun substrat yang ditambahkan tidak akan menaikkan laju pertumbuhan maksimum dari mikroba tersebut. Oleh

WW8-5

karena itu substrat yang di berikan pada mikroba untuk tumbuh sebaiknya sama atau sedikit lebih tinggi dari nilai Ks nya. Untuk menentukan nilai , pertumbuhan Azotobacter vinelandii diamati dengan cara ditumbuhkan pada konsentrasi substrat yang berbeda-beda. Azotobacter vinelandii ditumbuhkan pada variasi konsentrasi glukosa sebesar 0,6%, 0,8%, 1%, 1,2%, 1,4%, dan 1,6% (w/v). Linearisasi kurva pertumbuhan Azotobacter vinelandii pada fase eksponensial menghasilkan garis regresi dengan slope yang merupakan yang merupakan laju pertumbuhan spesifiknya. Nilai Ks dan maks didapat dengan memetakan hubungan antara 1/ dengan 1/S dengan lineariasasi persamaan Monod pada Gambar 1. Hasil plot antara 1/ dengan 1/S didapatkan persamaan garis linier dimana kemiringan garis merupakan Ks/max. Intercept terhadap sumbu x menunjukkan nilai -1/Ks sedangkan pada sumbu y menunjukkan nilai 1/max. Dari persamaan garis linear diketahui 1/max = 2,403 sehingga max = 0,416/jam sedangkan Ks didapatkan sebesar 0,655% atau 6,55 g/L.
y = 0,157x + 2,403 R = 0,951 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 -16 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 1/S 1/

Gambar 1. Penentuan max dan Ks bakteri Azotobacter vinelandii pada sumber karbon glukosa dengan linearisasi persamaan Monod. Nilai Ks sebesar 0,655% menunjukkan bahwa dengan konsentrasi glukosa sebesar 0,655%, Azotobacter vinelandii mampu tumbuh dengan laju pertumbuhan spesifik sebesar dari laju pertumbuhan maksimumnya. Jika konsentrasi glukosa kurang dari 0,655% maka laju pertumbuhan maksimum Azotobacter vinelandii tidak akan tercapai. Produksi Biosurfaktan Sumber karbon merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam produksi biosurfaktan EPS dan asam lemak oleh Azotobacter vinelandii. Produksi biosurfaktan EPS dan asam lemak oleh Azotobacter vinelandii dipengaruhi oleh sumber karbon serta variasi konsentrasinya. Hal ini terlihat dari variasi konsentrasi biosurfaktan yang dihasilkan pada masing-masing konsentrasi sumber karbon. Secara umum terlihat bahwa kuantitas biosurfaktan EPS dan asam lemak tertinggi dihasilkan pada jam ke-48 pengamatan, yaitu pada saat terjadi fase eksponensial. Berdasarkan parameter pertumbuhan yang ditunjukkan oleh jumlah biomassa pada Gambar 2 diketahui bahwa pada pertumbuhan bakteri Azotobacter vinelandii cenderung mengalami fase lag pada hari pertama. Fase eksponensial terjadi pada hari pertama sampai hari kedua. Berdasakan nilai biomassa, pada pengamatan hari ketiga Azotobacter vinelandii masih mengalami pertumbuhan. Pada variasi konsentrasi glukosa 3%, bakteri mengalami pertumbuhan sampai hari keempat pengamatan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
WW8-6

Muchtasjar (2006) dan Latunnusa (2007) yang menyebutkan bahwa dengan menggunakan media basal glukosa pada suhu ruang, dengan menggunakan Azotobacter vinelandii masih menunjukan pertumbuhan bahkan sampai hari kelima pengamatan. Secara visual pertumbuhan bakteri dapat diketahui dengan adanya perubahan warna media. Kepekatan warna tersebut disebabkan terjadinya produksi biomassa serta kemungkinan adanya metabolit-metabolit sekunder hasil perombakan senyawa oleh mikroorganisme (Hidayat, 2009). Produksi biosurfaktan fraksi eksopolisakarida (EPS) pada berbagai variasi konsentrasi glukosa cenderung mengalami peningkatan sampai hari kedua dan kemudian turun pada hari ketiga dan keempat. Latunussa (2007) melaporkan bahwa setelah inkubasi selama 48 jam, terjadi penurunan produk EPS bakteri Lactobacillus rhamnosus hingga mencapai 82%. Degradasi EPS dalam proses fermentasi yang lama pada Lactobacillus rhamnosus diduga disebabkan oleh degradasi proses enzimatik atau perubahan parameter fisik kultur. Produksi biosurfaktan fraksi asam lemak pada berbagai variasi konsentrasi glukosa cenderung naik dari hari pertama sampai hari ketiga, namun pada hari keempat produksi mengalami penurunan Jika dibandingkan dengan produksi EPS, kuantitas produksi asam lemak yang dihasilkan oleh Azotobacter vinelandii lebih rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muchtasjar (2006), Latunussa (2007), Stephanie (2007), Hidayat (2009) yang menyebutkan bahwa Azotobacter vinelandii yang ditumbuhkan pada sumber karbon glukosa pada suhu 270C memproduksi asam lemak lebih rendah dari EPS. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan struktur kimia dari keduanya (Muchtasjar, 2006).
8 7 Konsentrasi (g/L) 6 5 4 3 2 1 0 24 1,52 2,14 0,537 1,24 1,14 1,71 1,138 6,832 7,051 Asam Lemak EPS Biomass 1,142 Konsentrasi (g/L) 5,553 5,541 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 9,73 7,7 Asam Lemak 6,82 4,37 2,29 2,71 0,427 24 1,394 3 1,88 1,53 EPS Biomass

1,493

48 72 waktu (jam)

96

48 72 waktu (jam)

96

(a)
12 Konsentrasi (g/L) 10 8 6 4 2 0 24 48 72 Waktu (jam) 96 2,43 2,02 0,689 4,33 2,62 2,08 8,32 10,78 Asam Lemak Konsentrasi (g/L) EPS Biomass 3,493 0,94 3,878 2,32

(b)

14 12 10 8 6 4 2 0 24 2,57 11,23

12,36

Asam Lemak EPS 7,66 5,61 7,52 Biomass 3,58 1,978

1.94 0,607

2,876

3,11

48 72 Waktu (jam)

96

(c)

(d)

Gambar 2. Produksi biosurfaktan pada konsentrasi glukosa 2%(a), 2,5% (b), 3%(c), 3,5%(d).
WW8-7

Index Emulsifikasi (E24) Uji indeks emulsifikasi dilakukan untuk mengetahui kapasitas emulsifikasi biosurfaktan yang dihasilkan oleh Azotobacter vinelandii. Indeks emulsifikasi merupakan salah satu parameter penentuan konsentrasi glukosa terlarut terbaik untuk produksi biosurfaktan, karena biosurfaktan yang diproduksi diharapkan tidak hanya banyak dari segi kuantitas, namun juga dari segi kualitas. Berdasarkan hasil penelitian selama 96 jam, indeks emulsifikasi biosurfaktan pada konsentrasi 2%, 2,5%, 3% sebesar 100% sedangkan pada konsentrasi 3,5% emulsifikasi sebesar 90%. Latunnusa (2007) melaporkan bahwa Bahwa pada kondisi suhu 270C, dengan sumber karbon glukosa, dan kecepatan agitasi 110 rpm bakteri Azotobacter vinelandii mampu menghasilkan indeks emulsifikasi 100%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Muchtasjar pada tahun 2006, biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri Azotobacter vinelandii pada temperatur 250C memiliki nilai indeks emulsifikasi sebesar 74,2%. Pemanfaatan glukosa sebagai sumber karbon
40 35 30 Massa (g) 25 20 15 10 5 0 2% 2,5% 3% 3,5% Konsentrasi glukosa (w/v) 9,56 1,24 2,14 7,051 11,16 1,39 2,72 9,73 2,62 2,03 10,78 2,87 1,94 12,36 14,57 Tidak terpakai Biomass Asam Lemak EPS 17,8

Gambar 3. Kesetimbangan massa glukosa dalam variasi konsentrasi. Dari Gambar 3 diketahui bahwa peningkatan konsentrasi glukosa dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri Azotobacter vinelandii serta produksi biosurfaktan. Pada konsentrasi glukosa 2% biomassa yang terbentuk sebesar 1,24 gram dengan produksi biosurfaktan total sebesar 9,191 gram. Sedangkan 9,56 gram glukosa tidak terpakai dalam produksi biosurfaktan. Pada konsentrasi glukosa 3,5% (w/v) diperoleh 14,3 gram biosurfaktan dari 1,94 gram biomassa yang terbentuk. Glukosa yang tidak dipergunakan dalam produksi sebesar 17,8 gram. Bila membandingkan antara glukosa yang tidak terpakai dalam produksi biosurfaktan, maka semakin besar penambahan konsentrasi ini tidak memberikan efisiensi peningkatan produksi. Glukosa yang tidak terpakai dalam produksi biosurfaktan dimungkinkan digunakan sebagai energi pada saat adaptasi, namun masih dimungkinkan keberadaan glukosa yang tidak dipakai sama sekali. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian keberadaan glukosa sisa.

WW8-8

Pengaruh Penambahan Beberapa Jenis Surfaktan Terhadap Degradasi TPH oleh Konsorsium Bakteri Petrofilik. Percobaan pengaruh penambahan biosurfaktan terhadap biodegradasi oleh konsorsium bakteri petrofilik dilakukan dengan sumber karbon minyak bumi dan Oli bekas masingmasing sebesar 5%. Sedangkan beberapa jenis surfaktan yang digunakan adalah surfaktan sintetis (dari PAU) sebanyak 5% (v/v), Biosurfaktan dengan konsentrasi glukosa 3,5% sebanyak 5% (v/v) dengan kontrol yang terdiri atas medium dengan penambahan konsorsium bakteri petrofilik saja. Pengamatan degradasi TPH dilakukan pada hari ke-9. Efisiensi penyisihan TPH minyak bumi dan oli bekas dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 1. Efisiensi Penyisihan TPH dari Minyak Bumi pada Variasi Penambahan Surfaktan. Parameter Konsorsium bakteri petrofilik Surfaktan sintetis Biosurfaktan 5% Efisiensi (%) 74,8% 78,2% 86,73%

Tabel 2. Efisiensi Penyisihan TPH dari Oli Bekas pada Variasi Penambahan Surfaktan. Parameter Efisiensi (%) Konsorsium bakteri petrofilik 83,1% Surfaktan sintetis 86,6% Biosurfaktan 5% 88,44% Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa penambahan surfaktan dan biosurfaktan mampu meningkatkan efisiensi degradasi TPH. Dari Tabel 1 diketahui konsorsium bakteri petrofilik dapat mendegradasi TPH minyak bumi sebesar 74,8% dalam waktu 9 hari. Penambahan surfaktan sintetis, degradasi TPH minyak bumi meningkat menjadi 78,2% dalam periode yang sama. Sedangkan penambahan Biosurfaktan 5% (v/v) mampu meningkatkan degradasi TPH minyak bumi sampai 86,73%. Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa penyisihan TPH oli bekas menunjukkan efisiensi yang lebih tinggi dibanding penyisihan TPH minyak bumi. Konsorsium bakteri petrofilik mampu mendegradasi hingga 83,1%. Dengan penambahan surfaktan sintetis dan biosurfaktan 5%, mampu meningkatkan efisiensi menjadi 86,6% dan 88,44% dalam tempo yang sama. Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2 diketahui bahwa peningkatan biodegradabilitas terbesar pada penambahan Biosurfaktan 5% (v/v) yaitu dengan efisiensi penyisihan pada minyak bumi dan oli bekas sebanyak 86,73% dan 88,44%. Hoesni (2009) melaporkan bahwa pengaruh penambahan biosurfaktan sebanyak 1,5%, 3%, dan 5% dapat meningkatkan effisiensi terhadap biodegradasi TPH oleh bakteri petrofilik degradasi sebanyak 54,08%, 59,16%, 61,8% dalam waktu tiga hari. Sedangkan penyisihan hanya dengan menggunakan konsorsium bakteri petrofilik memberikan efisiensi penyisihan sebesar 47,04% dalam waktu yang sama. Efisiensi penyisihan yang dapat dicapai dengan penambahan biosurfaktan dapat menunjukkan kapasitas biosurfaktan tersebut dalam meningkatkan efektivitas biodegradasi.

WW8-9

KESIMPULAN Produksi biosurfaktan fraksi eksopolisakarida cenderung mengalami peningkatan seiring dengan penambahan konsentrasi glukosa, sedangkan produksi biosurfaktan fraksi asam lemak cenderung konstan. Peningkatan glukosa dari 2% (w/v) hingga 3,5% (w/v) tidak memberikan peningkatan produksi biosurfaktan secara signifikan. Penambahan surfaktan, baik surfaktan sintetis ataupun biosurfaktan dapat meningkatkan efisiensi degradasi TPH dari minyak bumi dan oli bekas. Dengan penambahan biosurfaktan sebanyak 5% (v/v) dapat meningkatkan efisiensi degradasi TPH minyak bumi dan oli bekas sebanyak 86,73% dan 88,44%. DAFTAR PUSTAKA Christofi, N dan I.B. Ivshina. 2002. A REVIEW: Microbial surfactants and their use in field studies of soil remediation. Journal of Applied Microbiology, 93: 915-929. Desai, J.D. and I.M. Banat. 1997. Microbial Production of Surfactants and Their Commercial Potential. Microbiol. And Molecular Biol. Review. P.47-64. Hoesni, P.S. (2007). Optimasi Produksi Biosurfaktan Oleh Bakteri Azotobacter vinelandii Untuk Meningkatkan Efisiensi Proses Biodegradasi Minyak Bumi. Laporan tugas akhir Institut Teknologi Bandung. Johnsen AR, Wick LY, Harms H (2005) Principles of microbial PAHdegradation in soil. Environ Pollut 133:7184. doi:10.1016/j.envpol.2004.04.015. Kosaric, N. 1992. Biosurfactant in Industry. J Am Oil Chem Soc, Vol 64:1731-1737 Latunussa, C.E.L. (2007). Pengaruh Variasi Sumber Karbon Terhadap Produksi Biosurfaktan oleh Azotobacter vinelandii. Laporan tugas akhir Institut Teknologi Bandung. Mandri T., Lin J. 2007. Isolation and characterization of engine oil degrading indigenous microrganisms in Kwazulu-Natal, South Africa. African Journal of Biotechnology Vol. 6(1), pp. 023-027. Muchtasjar, Bunjamin. (2006). Produksi Biosurfakan oleh Bakter Pseudomonas sp, Azotobacter vinelandii, dan Bacillus cereus. Tesis. Program Studi Teknologi Pengolahan Air dan Limbah. Institut Teknologi Bandung. Mulligan C.N. 2005. Environmental application for biosurfactant. Environmental Pollution 133:183-198. Obayori, O.S. (2009). Degradation of hydrocarbons and biosurfactant production by Pseudomonas sp. strain LP1.Microbiol Biotechnol 25:16151623. Schlegel, Hans. G. 1986. General Microbiology. English: Cambridge University. Suryatmana, P. (2006) Biodegradasi Hidrokarbon Minyak Bumi dengan Penambahan Azotobacter Chroococcum AC04 sebagai Bakteri Penghasil Biosurfaktan .Disertasi Institut Teknologi Bandung, Bandung. Thavasi R, Nambaru M.S., Jayalakhsmi S., Balasubramanian T., Banat I.M., (2009). Biosurfactant Production by Azotobacter chroococcum Isolated from the Marine Environment. Mar Biotechnol 11:551-556. Van Hamme JD, Singh A, Ward OP (2003). Recent Advances in Petroleum Microbiology. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 67(4): 503549. Vermani, M. V., Kelkar, S.M., Kamat, M. Y. (1997). Studies in polyscaccharide production and growth of Azotobacter Vinelandii MTCC 2459, a plantrhizosphere.

WW8-10

Anda mungkin juga menyukai