Anda di halaman 1dari 10

Artikelilmiahsidangsarjana 2014

UJI PRODUKSI BIOSURFAKTAN


OLEH Pseudomonas peli PADA SUMBER KARBON YANG BERBEDA SEBAGAI AGEN ANTI
KERAK (Scale Inhibitor) PADA PIPA PENDISTRIBUSIAN MINYAK BUMI
Cinthia Fajri
08101003035
Jurusan Kimia FMIPA UniversitasSriwijaya
E-mail: fajriyak@gmal.com
SUMMARY : Biosurfactant production by Pseudomonas peli with molase, crude oil, and coconut oils waste
as carbon source were tested as scale inhibitor in crude oil distribution pipe. The study aims to determine the
best carbon source for biosurfactant produced by Pseudomonas peli. Biosurfactant production as scale
inhbitorwas tested by using gravimetric analysis methode. The result of research showed that Pseudomonas peli
growth which is the best in molase as carbon source with the total number of living cells as much 1,8 x 10 9
CFU/mL and it could dissolve scale with the percentage of soluble scale in biosurfactant solution 20% as much
16,01%. The extract components qualitatively were identified by using GC, it showed that the hydrocarbon
composition of soluble scale in each biosurfactant are different.
Keywords: Biosurfactant, Pseudomonas peli, carbon source, molase, scale
RINGKASAN: Produksi biosurfaktan dari Pseudomonas peli dengan menggunakan molase, crude oil, dan
limbah minyak kelapa sawit telah diuji sebagai agen anti kerak pada pipapendistribusian minyak bumi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sumber karbon terbaik untuk produksi biosurfaktan dari
Pseudomonas peli. Pengujian potensi biosurfaktan sebagai agen anti kerak dilakukan dengan menggunakan
metode gravimetri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pseudomonas peli dapat hidup paling baik dalam
sumber karbon molase dengan jumlah sel hidup sebanyak 1,8 x 109 CFU/mL dan biosurfaktan tersebut mampu
melarutkan kerak dengan persentase kerak terlarut dalam laruan biosurfaktan 20% sebanyak 16,01%. Ekstrak
kerak terlarut didentifikasi dengan menggunakan GC menunjukkan adanya perbedaan komposisi senyawa
hidrokarbon dalam masing-masing biosurfaktan.
Kata Kunci : Biosurfaktan, Pseudomonas peli,sumber karbon, molase, kerak
I. PENDAHULUAN
Pada bagian fasilitas produksi sering dijumpai
adanya masalah-masalah yang dapat mengganggu
pendistribusian minyak mentah (crude oil), hal ini
umumnya disebabkan oleh terbentuknya endapan
(scale) di sepanjang pipa distribusi (Syahri dan
Sugiarto, 2008).
Adanya scale dapat
mengakibatkan pipa pendistribusian minyak bumi
rusak dan pecah. Metode yang umum digunakan
untuk mencegah terbentuknya scale adalah dengan
menambahkan agen anti kerak (scale inhibitor).
Scale inhibitor yang digunakan umumnya memiliki
ikatan oksigen posfor yang sangat tidak stabil
dalam larutan encer dan akan terhidrolisa dalam air,
selain itu biaya yang harus dikeluarkan untuk
mencegah terbentuknya scale juga tinggi
(Asnawati, 2001). Oleh karena itu banyak peneliti
yang mencoba untuk mencari scale inhibitor
Jurusan Kimia FMIPA Unsri

alternatif yang cenderung lebih ekonomis dan stabil


di dalam air.
Salah satu senyawa kimia yang memiliki sifat
yang diperlukan sebagai scale inhibitor adalah
biosurfaktan.
Biosurfaktan
juga
memiliki
keuntungan lain di antaranya ramah lingkungan,
tidak toksik, dan mudah didegradasi oleh mikroba
(Al Sulaimani, 2011). Biosurfaktan yang saat ini
tengah banyak diteliti adalah biosurfaktan jenis
ramnolipid dikarenakan potensi penggunaannya
yang sangat luas antara lain sebagai bahan
emulsifier, pengendali hama tanaman, campuran
bahan kosmetika, agen pada proses bioremediasi,
dan digunakan luas pada proses MEOR (Microbial
Enhanced Oil Recovery). Ramnolipid merupakan
salah satu jenis biosurfaktan yang dihasilkan oleh
mikroba Pseudomonas peli. Seperti kebanyakan
biosurfaktan, ramnolipid mempunyai gugus
hidrofobik yang berupa rantai karbon dan gugus
Page 1

Artikelilmiahsidangsarjana 2014
hidrofilik yang berupa ramnosa (Lang and
Wullbrandt, 1999). Adanya gugus hidrofobik dan
gugus hidrofilik pada biosurfaktan inilah yang
memberikan hipotesa bahwa biosurfaktan dapat
menjadi scale inhibitor. Gugus hidrofobik pada
biosurfaktan diharapkan akan dapat melarutkan
minyak mentah pada oil coated scale sedangkan
gugus hidrofilik pada biosurfaktan diharapkan
mampu melarutkan ion-ion penyebab scale.
Biosurfaktan yang dihasilkan oleh mikroba
akan berbeda tergantung pada jenis mikroba dan
nutrien yang dikonsumsinya. Demikian pula untuk
jenis mikroba yang sama, jumlah surfaktan yang
dihasilkan berbeda berdasarkan nutrien yang
dikonsumsinya (Duvnjak et al. 1983 dalam Priyani
et al. 2011). Nutrien merupakan hal yang sangat
penting artinya bagi pertumbuhan mikroba
termasuk mikroba penghasil biosurfaktan. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa elemen makro yang memegang peranan
penting dalam menunjang pertumbuhan bakteri
penghasil biosurfaktan adalah elemen karbon dan
nitrogen (Horowitz et al. 2005 dalam Nugroho,
2006). Perbedaan sumber karbon dan panjang rantai
substrat hidrokarbon sering berakibat signifikan
terhadap konsentrasi akhir fermentasi biosurfaktan
(Georgiou, 1992). Sebagai contoh, Arthrobacter
hanya memproduksi 75% biosurfaktan ekstraseluler
ketika ditumbuhkan pada asetat dan etanol namun
dapat mencapai 100% biosurfaktan ekstraseluler
ketika ditambahkan pada substrat hidrokarbon
(Mulligan and Gibbs. 1993). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa sumber karbon yang
berbeda dengan konsentrasi yang berbeda akan
menghasilkan jumlah biosurfaktan yang berbeda
pula.
Telah banyak dilakukan penelitian untuk
mengetahui sumber karbon terbaik dalam proses
produksi ramnolipid. Adapun sumber karbon yang
telah digunakan pada proses produksi ramnolipid
adalah glukosa (Guerra-Santos et al. 1984), minyak
kedelai (Andriani, 2007), gasolin, paraffin oil, dan
whey (Rashedi et al. 2006), molase (Priyani et al.
2011), minyak sawit (Nurani dan Marsudi, 2013),
dan crude oil (Nugroho, 2006).
Sumber karbon yang akan digunakan pada
penelitian ini adalah molase, limbah minyak kelapa
sawit, dan crude oil. Limbah minyak kelapa sawit
digunakan sebagai sumber karbon dikarenakan
mengandung gliserol yang dapat langsung
dikonsumsi
oleh
mikroba
dalam
genus
Jurusan Kimia FMIPA Unsri

Pseudomonas (Nurani dan Marsudi, 2013). Molase


digunakan sebagai sumber karbon karena
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Priyani
et al (2011) merupakan sumber karbon yang paling
baik dalam proses produksi ramnolipid, crude oil
digunakan karena mikroba Pseudomonas peli
merupakan mikroba indigen dari sumur tua minyak
bumi yang mengkonsumsi minyak bumi, selain itu
molase, limbah minyak kelapa sawit, dan crude oil
dipilih sebagai sumber karbon dikarenakan
melimpahnya keberadaan sumber karbon tersebut di
Provinsi Sumatera Selatan. Selanjutnya ramnolipid
yang dihasilkan akan diuji keefektivannya sebagai
scale inhibitor yang mampu melarutkan kerak
(scale) pada pipa pendistribusian crude oil.
II. METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan
Juni - Oktober 2014di Laboratorium Penelitian
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya. Analisis
GC di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Teknik
Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya.
2.2 Alat dan Bahan
2.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian
ini: autoklaf, erlenmeyer 1000 mL, erlenmeyer 250
mL, tabung reaksi, hot plate, magnetic stirrer,
inkubator, jarum ose, colony counter, rotary shaker,
, cawan petri, kertas saring, beker gelas, dan pipet
tetes.
2.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan terdiri dari isolat
mikroba Pseudomonas aeruginosa (diisolasi dari
sumur tua minyak mentah Desa Babat Toman Musi
Banyuasin), media NB (Nutrient broth), plate count
agar, yeast extract, crude oil, blood agar, alkohol
70%, molase, limbah minyak kelapa sawit, dan
bongkahan scale dari pipa distribusi minyak
mentah.
2.3. Prosedur Penelitian
2.3.1

Sterilisasi Alat
Semua peralatan tahan panas disterilisasi
dengan autoklaf dengan suhu 121 C, sedangkan
peralatan lainnya disterilisasi dengan alkohol 70%

Page 2

Artikelilmiahsidangsarjana 2014
2.3.2

Pembuatan Media
Media NB dibuat dengan melarutkan 25
gram media NB (Nutrient Broth) dengan 1000 mL
akuades. Media dimasukkan ke dalam erlenmeyer
1000 mL, kemudian dididihkan di atas hot plate dan
dihomogenkan dengan magnetic stirrer. Setelah
mendidih larutan disterilisasi dengan autoklaf pada
suhu 121 C dan tekanan 15 lbs selama 15 menit.

hemolisis dilakukan dengan metode Kirby-Bauer


(metode difusi) dengan cara kertas cakram steril
dicelupkan ke dalam crude biosurfaktan, kemudian
diletakkan di atas medium agar darah (Blood Agar),
lalu diinkubasi dengan suhu 400 C selama 1x24 jam.
Aktifitas hemolisis yang ditandai dengan
terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri
dapat menjadi indikator terbentuknya biosurfaktan
(Modifikasi Benson, 2001).

2.3.3 Peremajaan Pseudomonas peli


Pseudomonas peli diinokulasikan dengan
gerakan zig-zag secara aseptis ke dalam agar miring
ZoBell. Kultur lalu siap diinkubasi pada suhu 37
C selama 24 jam. Setelah inkubasi kultur siap

2.3.6

digunakan.
2.3.4 Pembuatan Starter Pseudomonas peli
Disiapkan Erlenmeyer 500 mL kemudian
ditambahkan crude oil sebagai sumber karbon
sebanyak 2% (v/v) dan. Selanjutnya , ditambahkan
Medium NB ke dalam erlenmeyer hingga total
volume 200 mL. Lalu, ke dalam Erlenmeyer
tersebut dimasukkan 5 ose isolat Pseudomonas peli.
Kemudian dilakukan proses aerasi (guna mensuplay
oksigen) dengan cara memasukkan selang plastik
yang telah disambungkan dengan aerator. Proses
aerasi tersebut dilakukan selama 24 jam (Munawar,
2014). Jumlah koloni bakteri dihitung sampai
kepadatan 107 cfu/mL dengan alat colony counter
sebelum starter bakteri digunakan untuk tahap
penelitian selanjtnya. Perlakuan yang sama juga
digunakan untuk variasi sumber karbon molase dan
limbah minyak kelapa sawit (Murdini, 2013).
2.3.5 Produksi Biosurfaktan
Dibuat media yang terdiri dari yeast extract
sebanyak 0,1 % dan crude oil masing-masing
sebanyak 2% (v/v), 3% (v/v), dan 4% (v/v)
dimasukkan ke dalam media NB dengan total
volume 200 mL, lalu dipindahkan ke dalam
Erlenmeyer 1000 mL. kemudian media disterilisasi
menggunakan autoklaf selama 15 menit. Lalu ke
dalam media diinokulasikan 10% (v/v) starter isolat
bakteri dengan kepadatan sel 107 cfu/mL. Kultur
diaerasi (guna mensuplay oksigen) dengan aerator
selama 24 jam. Biosurfaktan crude oil siap
digunakan untuk penelitian berikutnya. Perlakuan
yang sama juga digunakan untuk variasi sumber
karbon crude molase dan limbah minyak kelapa
sawit (Mirfat, 2011). Ada tidaknya biosurfaktan
diuji dengan menggunakan uji hemolisis. Uji
Jurusan Kimia FMIPA Unsri

Pembuatan Larutan Biosurfaktan


Biosurfaktan yang dipakai dalam penelitian
ini adalah biosurfaktan molase dengan konsentrasi
5% ; 10% ; 15% ; 20%, biosurfaktan crude oil
dengan konsentrasi 5% ; 10% ; 15% ; 20%, dan
biosurfaktan limbah minyak kelapa sawit dengan
konsentrasi 5% ; 10% ; 15% ; 20%.
Biosurfaktan dengan konsentrasi 5% dibuat
dengan 5% dibuat 5 mL. Biosurfaktan yang
didapatkan dari 3.3.6 ditambahkan akuades
sehingga volume total 100 mL. Cara yang sama
juga dilakukan untuk pembuatan biosurfaktan
dengan konsentrasi 10%, 15%, dan 20%.
2.3.7

Penentuan Potensi Biosurfaktan Sebagai


Agen Anti Kerak (Scale Inhibitor)
100 mL biosurfaktan molase dengan
konsentrasi 5% dimasukkan ke dalam beker gelas
250 mL, selanjutnya bongkahan scale sebanyak 5
gram dimasukkan ke dalam beker gelas dan
kemudian dilakukan pengadukan dengan shaker
selama 24 jam. Setelah pengadukan dihentikan,
campuran disaring dengan menggunakan kertas
saring yang sudah ditimbang terlebih dahulu
sebelumnya. Kemudian endapan yang ada di kertas
saring dikeringkan dan ditimbang. Untuk
mengetahui potensi biosurfaktan sebagai agen
penghilang kerak pada pipa pendistribusian minyak
bumi maka dihitung jumlah kerak terlarut dengan
menggunakan metode gravimetri. Pekerjaan di atas
diulangi untuk konsentrasi biosurfaktan yang
berbeda dan untuk biosurfaktan yang berbeda
(biosurfaktan limbah minyak kelapa sawit dan
biosurfaktan crude oil).
2.3.8 Analisis GC
Biosurfaktan dengan persentase kerak
terlarut paling tinggi diekstrak dengan n-heksan.
Kemudian, ekstrak tersebut di encerkan dengan nheksan dengan perbandingan 1 : 9. Lalu, ekstrak
diambil beberapa mL untuk diinjeksi pada alat GC
Shimadzu dengan suhu terprogram (75-2800 C).
Suhu injektor 3200 C dan gas pembawa adalah
Page 3

Artikelilmiahsidangsarjana 2014
helium (kecepatan alir total 40 mL/menit). Jenis
kolom yang dipakai adalah Rtx-5MS dengan
panjang kolom 30 m dan diameter 0,25 mm.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Telah dilakukan produksi biosurfaktan oleh
Pseudomonas peli dengan menggunakan sumber
karbon molase, crude oil, dan limbah minyak
kelapa sawit. Selanjutnya dimanfaatkan sebagai
agen anti kerak pada pipa pendistribusian minyak
bumi. Untuk menguji potensi produksi biosurfaktan
tersebut diukur beberapa parameter di antaranya
adalah jumlah bakteri, diameter zona bening, persen
kerak terlarut, dan analisis komposisi senyawa dari
ekstrak kerak terlarut dengan menggunakan GC.
Hasil penelitian tersebut ialah sebagai berikut :
3.1 Jumlah Bakteri
Perhitungan jumlah bakteri dilakukan pada
starter yang sebelumnya telah dilakukan aerasi
dengan menggunakan aerator selama 24
jam.Perhitungan jumlah bakteri dilakukan masingmasing untuk starter dari Pseudomonas peli yang
ditumbuhkan
pada
konsentrasi
yang
berbeda.Metode yang dilakukan untuk menghitung
jumlah Pseudomonas peli dilakukan dengan metode
SPC (Standard Plate Count). Rata-rata jumlah
Pseudomonas peli yang ditumbuhkan pada sumber
karbon limbah minyak kelapa sawit, crude oil, dan
molase disajikan pada Tabel 4.1 berikut :
No
Sumber Karbon
P-7
P-8
1.
Limbah minyak
183
55
kelapa sawit
2.
Crude oil
210
127
3.
Molase
TBUD
184
Keterangan : TBUD : Tidak Bisa Untuk Dihitung
Berdasarkan data di atas, Pseudomonas peli
mencapai jumlah yang paling tinggi pada sumber
karbon molase. Wahaibiet al., (2013) melaporkan
bahwa biosurfaktan mencapai konsentrasi yang
lebih tinggi dengan menggunakan sumber karbon
molase. Penelitian Shun et al. (2010) melaporkan
bahwa Enterobacter cloacae dapat menghasilkan
biosurfaktan
sebanyak
8,83
g/L
dengan
menggunakan molase sebagai sumber karbon
tunggal. Shavandi et al. (2010) melaporkan bahwa
Rhodococucus
TA6
dapat
memproduksi
biosurfaktan paling baik dengan menggunakan
sukrosa sebagai sumber karbon.
Hal ini menunjukkan bahwa produksi
biosurfaktan akan mencapai konsentrasi paling
Jurusan Kimia FMIPA Unsri

tinggi jika ditumbuhkan dengan gula sebagai


sumber karbon. Hidayat dkk (2006) mengemukakan
bahwa gula merupakan senyawa kimia yang siap
difermentasi tanpa perlakuan. Priyani dkk (2009)
menjelaskan bahwa molase adalah karbohidrat
berbentuk polisakarida sehingga dapatdimanfaatkan
oleh bakteri secara berkelanjutan yang mengandung
62% gula yang terdiri dari 32% sukrosa, 14%
glukosa dan 16% fruktosa yang siap digunakan oleh
mikroba untuk memproduksi biosurfaktan, sehingga
dapat disimpulkan bahwa penggunaan molase
sebagai sumber karbon akan lebih efektif daripada
menggunakan jenis karbohidrat seperti glukosa,
sukrosa, atau fruktosa (Wahaibi et al., 2013; Jainet
al., 2013).
3.2 Uji Potensi Biosurfaktan dengan Agar darah
(Blood Agar)
Uji potensi biosurfaktan dapat dilakukan
dengan uji pembentukan zona bening. Pada
penelitian ini digunakan sumber karbon dengan
konsentrasi masing-masing 2%, 3%, dan 4%
(Bharali et al., 2011)
Tabel 4. Diameter zona bening yang terbentuk pada
agar darah
No
Sumber Karbon
Konsentrasi Sumber
Karbon (%)
1.
Limbah minyak
2
kelapa sawit
3
4
2.

3.

Crude Oil

2
3
4

Molase

2
3
4
Berdasarkan Tabel 4 diketahui biosurfaktan
yang diproduksi di dalam sumber karbon molase
dengan konsentrasi 4% membentuk zona bening
dengan diameter yang paling besar yaitu 23,325
mm. Bakteri Pseudomonas peli membentuk zona
bening yang paling besar pada saat ditumbuhkan
dengan sumber karbon molase dengan konsentrasi
4%. Hal ini bersesuaian dengn data bahwa
Pseudomonas peli tumbuh dengan jumlah yang
paling banyak saat ditumbuhkan dengan sumber
karbon molase.
Page 4

Artikelilmiahsidangsarjana 2014
Hasil penelitian yang dilakukan secara
kualitatif oleh Sarafin et al. (2014) menunjukkan
bahwa Kocuria marina BS-15 dapat membentuk
zona bening di atas Blood Agar Plate dalam uji
haemolisis. Chandankere et al. (2013) melaporkan
bahwa Bacillus methylotropicus USTBa dapat
membentuk zona bening dengan diameter 2 cm.
Penelitian yang dilakukan oleh Bharali et al. (2011)
menyatakan bahwa Alcaligenes faecalis dapat
membentuk zona bening dengan diameter 1 cm
dengan metode uji haemolisis.
Pembentukan zona bening ini erat kaitannya
dengan kemampuan bakteri untuk menghasilkan
biosurfaktan ke lingkungan sekitarnya sehingga
mampu melisiskan sel-sel darah merah medium
Blood Agar (Manurung, 2014). Yudono dkk (2013)
menyatakan bahwa semakin besar zona bening yang
terbentuk, makasemakin besar pula potensi bakteri
tersebut untuk menghasilkan biosurfaktan.
3.3 Uji PotensiCrude Biosurfaktan dari
Pseudomonas peli sebagai Agen Anti Kerak pada
Pipa Pendistribusian Minyak Bumi
Uji potensi biosurfaktan dari Pseudomonas peli
sebagai agen anti kerak pada pipa pendistribusian
minyak bumi dilakukan masing-masing untuk
sumber karbon limbah minyak kelapa sawit, crude
oil,dan molase. Biosurfaktan yang digunakan
adalah biosurfaktan dari bakteri Pseudomonas peli
yang ditumbuhan dalam berbagai sumber karbon
dengan konsentrasi 2%, 3%, dan 4%. Hasil uji
potensi biosurfaktan dari Pseudomonas peli yang
ditumbuhkan dalam sumber karbon limbah minyak
kelapa sawit, crude oil, dan molase tersaji pada
grafik di bawah ini
12

Limbah minyak
kelapa sawit

10
8

Crude oil

persen kerak terlarut 6


Molase

4
2
0

0 5 10 15 20 25

konsentrasi biosrfaktan

Jurusan Kimia FMIPA Unsri

Grafik 1. Grafik persen kerak terlarut pada berbagai


konsentrasi biosurfaktan dengan konsentrasi sumber
karbon 2%
16
Limbah minyak
kelapa sawit

14
12

persen kerak terlarut

10

Crude oil

Molase

6
4
2
0

10

15

20

konsentrasi biosurfaktan

Grafik 2. Grafik persen kerak terlarut pada berbagai


konsentrasi biosurfaktan dengan kosnsentrasi
sumber karbon 3%
Limbah minyak
kelapa sawit

18
16
14

Crude oil

12
10
persen kerak terlarut

Molase

6
4
2
0

10

15

20

konsentrasi biosurfaktan

Grafik 3. Grafik persen kerak terlarut pada berbagai


konsentrasi biosurfaktan dengan konsentrasi sumber
karbon 4%
Pada masing-masing grafik menunjukkan
bahwa persen kerak terlarut yang paling tinggi
terletak pada penggunaan biosurfaktan dengan
konsentrasi 20%. Hal yang sama juga berlaku untuk
berbagai sumber karbon. Hal ini dapat terjadi
karena semakin tinggi konsentrasi biosurfaktan
yang digunakan maka kandungan biosurfaktan dan
mikroorganisme di dalam larutan tersebut juga
semakin besar. Adanya biosurfaktan dan
mikroorganisme yang lebih banyak akan membantu
Page 5

Artikelilmiahsidangsarjana 2014
proses pelarutan kerak dengan lebih maksimal.
Semakin besar kandungan biosurfaktan maka
semakin banyak pula gugus hidrofob yang akan
mengekstrak minyak yang melapisi kerak dan
gugus hidrofil yang akan melarutkan ion-ion yang
menyusun kerak tersebut (Daryasafar, 2010).
Larutan biosurfaktan yang diproduksi pada
sumber karbon molase 4% dengan konsentrasi 20%
mampu melarutkan kerak dengan persentase kerak
terlarut paling tinggi sebesar 16,01%. Jain et al.
(2013) melaporkan bahwa biosurfaktan juga pernah
digunakan untuk mengekstrak minyak dari tanah
yang terkontaminasi minyak. Sebanyak 57-90%
minyak mampu diekstrak dengan menggunakan
biosurfaktan yang diproduksi oleh Pseudomonas
aeruginosa
SP4,
Bacillus
subtilis
PT2,
Rhodococcus rubber, dan Klebsiella sp. RJ-03 (Jain
et al., 2012; Urum et al., 2004; Whang et al., 2008;
Lai et al., 2009 dalam Jain et al., 2013).
3.4 Analisis Kromatogram Hasil GC pada
Biosurfaktan Limbah Minyak Kelapa Sawit dan
Biosurfaktan Molase Setelah Proses Uji Potensi
sebagai Senyawa Penghilang Kerak
Berdasarkan metode analisa gravimetri yang
telah dilakukan, didapatkan data yang menyatakan
bahwa biosurfaktan dapat melarutkan kerak yang
diketahui dari beratakhir kerak yang berkurang
setelah proses shaker berlangsung. Pada proses
kelarutan kerak, penambahan biosurfaktan yang
masih mengandung bakteri Pseudomonas peli dapat
mengurangi berat kerak yang menghasilkan fraksi
hidrokarbon yang larut dalam air dan bersifat
volatil. Susanti (2009) mengemukakan bahwa
senyawa yang mempunyai kisaran suhu penguapan
antara 50-350 bahkan 500C dapat dianalisa dengan
metode kromatografi gas. Pengukuran GC
dilakukan untuk melihat perubahan antara puncak
kromatogram yang ada pada biosurfaktan dari
sumber karbon yang paling potensial dalam
melarutkan kerak dengan biosurfaktan dari sumber
karbon yang tidak potensial untuk melarutkan kerak
yang dalam hal ini biosurfaktan dari sumber karbon
molase dan limbah minyak kelapa sawit.
Gambar4
merupakan
kromatogram
biosurfaktan molase setelah recovery menunjukkan
terdapat 22 puncak yang muncul pada waktu retensi
yang berbeda. Pada waktu retensi tertentu, terdapat
puncak yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
puncak-puncak yang lainnya yaitu pada waktu
Jurusan Kimia FMIPA Unsri

retensi 2,049; 2,082; 2,118; 2,225; dan


2,362.Puncak yang muncul pada waktu retensi yang
lainnya memiliki puncak yang jauh lebih rendah
dibandingkan dengan peak pada waktu retensi yang
telah disebutkan sebelumnya.Pada menit ketujuh
hingga tiga belas, hanya ada satu puncakyang
muncul pada waktu retensi 11,517 yang muncul
pada menit kesebelas.pada akhir proses GC terdapat
tujuh puncak yang muncul pada waktu retensi
masing-masing 14,092; 14,708; 15,038; 15,894;
16,766; 17,234; dan 17,294.

Gambar 4. Kromatogram Ekstrak Kerak Terlarut


dengan Biosurfaktan yang Diproduksi pada Sumber
Karbon Molase

Gambar 5. Kromatogram Ekstrak Kerak Terlarut


dengan Biosurfaktan yang Diproduksi pada Sumber
Karbon Limbah Minyak Kelapa Sawit
Gambar 5 merupakan kromatogram limbah
minyak kelapa sawit menunjukkan adanya empat
belas puncak yang muncul dengan empat puncak
tinggi yang muncul pada waktu retensi 2,046;
2,114; 2,222; dan 2,359. Puncak-puncak lain yang
muncul relatif lebih rendah dibandingkan dengan
keempat puncak yang telah disebutkan sebelumnya.
Page 6

Artikelilmiahsidangsarjana 2014
Pada suhu 183C yang ditunjukkan dengan menit
ke 17 pada proses GC terdapat satu puncak yang
muncul dengan waktu retensi 17,256. Puncak
tersebut adalah puncak terakhir yang muncul pada
proses GC. Hal ini menyatakan bahwa puncak
tersebut merupakan puncak dari senyawa yang
paling akhir mengalami proses penguapan pada
proses GC.
Yudono (1994) menyatakan bahwa dalam
analisis GC dapat digunakan metode temperatur
terprogram. Penggunaan temperatur terprogram
dapat mengidentifikasi fraksi karbon yang ada pada
kromatogram. Fraksi rantai karbon tersebut dapat
dikelompokkan berdasarkan kisaran temperatur
program seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Identifikasi Senyawa Hidrokarbon yang
Terdegradasi
Kisaran Temperatur
Fraksi rantai karbon yang
teridentifikasi
<100C
< C10
100C - 150C
C11 C14
150C - 200C
C15 C17
200C - 250C
C18 C21
250C - 300C
>C22
Berdasarkan Tabel 3 didapatkan kesimpulan
bahwa terdapat persamaan antara kromatogram
biosurfaktan
molase
dengan
kromatogram
biosurfaktan limbah minyak kelapa sawit.
Persamaan tersebut terletak pada munculnya
puncak-puncak tinggi pada rentang menit kedua dan
ketiga proses GC. Senyawa dengan jumlah atom
karbon kurang dari 10 akan menguap pada suhu di
bawah 100C yang ditunjukkan dengan munculnya
puncak dengan waktu retensi
delapan menit
pertama pada kedua kromatogram tersebut.
Kedua
kromatogram
tersebut
juga
menunjukkan perbedaan yang dapat dilihat pada
jumlah puncak yang muncul pada waktu retensi 14
menit hingga 18 menit pada proses GC.
Kromatogram biosurfaktan molase menunjukkan
adanya tujuh puncak pada waktu retensi 14 menit
hingga 18 menit sedangkan kromatogram
biosurfaktan limbah minyak kelapa sawit hanya ada
satu puncak yang muncul pada waktu retensi empat
belas menit hingga delapan belas menit.Puncak
yang muncul pada waktu retensi tersebut
merupakan puncak yang mewakili senyawa
hidrokarbon dengan kisaran jumlah rantai karbon
antara 15 hingga 17 rantai karbon.

Jurusan Kimia FMIPA Unsri

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh


Munawaroh
(2014)
menunjukkan
bahwa
biosurfaktan mampu mengekstrak minyak bumi
dengan
kromatogram yang ditunjukkan pada
Gambar 6.

Gambar 6. Kromatogram Crude Oil


Dengan membandingkan Gambar 4,
Gambar 5, dan Gambar 6 dapat ditarika kesimpulan
bahwa biosurfaktan yang diproduksi dengan sumber
karbon molase dapat mendegradasi lebih banyak
fraksi berat minyak bumi yang ditunjukkan dengan
adanya 7 puncak yang muncul pada suhu 156 C
hingga 192C. Sedangkan, biosurfaktan yang
diproduksi dengan sumber karbon limbah minyak
kelapa sawit hanya mampu mendegradasi fraksi
ringan minyak bumi yang ditunjukkan dengan
adanya lebih banyak puncak yang muncul pada
suhu 100C dibandingkan dengan adanya puncak
pada rentang suhu 156 C hingga 192C.
Adanya perbedaan kemampuan untuk
mendegradasi senyawa hidrokarbon
sangat
tergantung dengan adanya sumber karbon yang
digunakan dalam produksi biosurfaktan. Silva et al.
(2014) menjelaskan bahwa penggunaan sumber
karbon dengan tingkat kepolaran yang semakin
dekat dengan air akan sangat berpengaruh dalam
proses produksi biosurfaktan dan juga dalam proses
biodegradasi senyawa hidrokarbon.
IV.
KESIMPULAN dan SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Sumber
karbon
terbaik
dalam
menumbuhkan bakteri Pseudomonas peli
adalah molase dengan jumlah bakteri total
1,8 x 109 yang dihitung dengan metode SPC
(Standart Plate Count)
Page 7

Artikelilmiahsidangsarjana 2014
2. Biosurfaktan dari Pseudomonas peli yang
paling potensial dalam melarutkan kerak
pada pipa pendistribusian minyak bumi
adalah biosurfaktan yang ditumbuhkan pada
sumber karbon molase dengan konsentrasi
sumber karbon 4% yang mampu melarutkan
kerak dengan persentase 16,01%.
4.2. Saran
Proses produksi biosurfaktan sangat bergantung
pada kondisi pertumbuhan seperti agitasi,
temperatur, pH, dan keberadaan oksigen sehingga
perlu dilakukan optimasi kondisi produksi
biosurfaktan agar dapat menghasilkan biosurfaktan
dengan persentase yield yang tinggi untuk
pengembangan penggunaan biosurfaktan sebagai
agen anti kerak pada pipa pendistribusian minyak
mentah pada skala yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sulaimani,H. 2011. Microbial Biotechnology for
Enhancing Oil Recovery : Current
Developments
and
Future
Prospect.
Biotechnol.Bioinf. Bioeng. 2 : 147-158.
Al-Wahaibi,Y., Joshi, S., Al-Bahry, Elshafie, A., AlBemani, A., & Sributal, B. 2013.
Biosurfactant Production by Bacillus Subtilis
B 30 and Its Application in Enhancing Oil
Recovery. Colloids and Surfaces B:
Biointerfaces. 114 : 324-333.
Andriani, D. 2007. Produksi Biosurfaktan
Menggunakan Minyak kedelai Secara
Biotransformasi
oleh
Rhodococcus
rhodochrous dan Aplikasinya Untuk Recovery
Ion Logam Cd. Skripsi. Jurusan Kimia.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam.Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Chandankere, R., Yao, J., Cai, M., Masakorala, K.,


Jain, A.K. & Choi, M. M. F. 2014. Properties
and Characterization of Biosurfactant in
Crude Oil Biodegradation by Bacterium
Bacillus methylotrophicus USTBa. Fuel. 122 :
140-148.
Chotiah,S. 2008. Kelangsungan Hidup Plasma
Nutfah Mikroba Pseudomonas SPP. Setelah
Penyimpanan Jangka Lama Pada Suhu Kamar
dan -15 C. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor.
De Lima. C.J.B., E.J.Ribeiro, E.F.C. Servulo, M.M.
Resende, & V.L. Carduso.2009. Biosurfaktan
Production by Pseudomonas aeruginosa
Grown in Residual Soybean Oil.Appl
Biochem Biotechnol. 152 : 156-168.
Desai, J. D., Banat, I. M. 1997. Microbial
Production of Surfactants and Their
Commercial Potential. Microbiology and
Molecular Biology Reviews. 61 : 47-64
Georgiou, G., Lin, S. C., & Sharma, M. M. 1992.
Surface Compounds From Microorganism.
Bio/Technology. 10 : 60-65
Gudina, E.J., Jorge F.B.A., Ligia R.R., Joao A.P.C.,
& Jose A.T. 2012.Isolation and Study of
Microorganis from Oil Samples for
Application in Microbial Enhanced Oil
Recovery.International Biodeteriovation and
Biodegradation.68 : 56-64.
Guerra-Santos, L., O. Kappeli, & A. Fiechter. 1984.
Biosurfactant Production in Continuous
Culture With Glucose as Carbon Source.
Applied and Environmental Microbiology. 48:
301-305.

Asnawati.2001. Pengaruh Temperatur Terhadap


Reaksi Fosfonat dalam Inhibitor kerak pada
Sumur Minyak.Jurnal Ilmu Dasar. 2 (1).

Halimatuddahliana, 2003.Pencegahan Korosi dan


Scale pada Proses Produksi Minyak Bumi.
USU Digital Library.

Bharali,P., Das, S., Konwar, B.K., & Tahkur, A. J.


2011. Crude Biosurfactant from Thermophilic
Alcaligenes faecalis : Feasibility in Petro-spill
Bioremediation. International Biodeteriation
and Biodegradation. 65 : 682-690.

Jennings, E.M., R.S. Tanner. 2000. BiosurfactantProducing Bacteria Found in Contaminated


and Uncontaminated Soils. Proceedings of the
2000 Conference on Hazardous Waste
Research.299-306.

Jurusan Kimia FMIPA Unsri

Page 8

Artikelilmiahsidangsarjana 2014
Jie Xia, W. Zhi, B.L., Han, P.D., Li Yu, Qing, F.C.,
&
Yong,
Q.B.
2012.
Synthesis,
Characterization,
and
Oil
Recovery
Application of Biosurfactant Produced by
Indigenous Pseudomonas aeruginosa WJ-1
Using Waste Vegetable Oil. Appl Biochem
Biotechnol. 166: 1148-1166.
Kosaric, N. 2001.Biosurfactants and Their
Application for Soil Bioremediation. Food
Technol. Biotechnol. 39 (4) : 295-304.
Muliawati, D. I., 2006.Sintesis Biosurfaktan dengan
Menggunakan Minyak Kedelai sebagai
Sumber
Karbon
Tambahan
Secara
Biotransformasi
Oleh
Pseudomonas
aeruginosa.Skripsi. Jurusan Kimia. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sebelas Maret.
Mulligan, C.N., B.F. Gibbs. 1993. Factor
Influencing the Economics of Biosurfactants.
New York : Marcel Dekker Inc.
Munawar, A., 2007. Kajian Statistik Terhadap
Nutrien Organik dan Anorganik untuk In Situ
Tes Bioremediasi Tumpahan Minyak Bumi
dengan Metode Biostimulation di Lingkungan
Pantai. J. Ilmiah Teknik Lingkungan. 2. 41-54.
Murdini, L.A. 2013. Pengaruh Aerasi dan Nutrisi
pada Bioremediasi Limbah Cair Minyak Bumi
oleh Konsorsium Bakteri Petrofilik dan
Salvinia molesta D.S. Mitchell. Skripsi.
Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan
Ilmu
Pengetahuan
Alam.
Universitas
Sriwijaya. Tidak Dipubilkasi.
Nie, M., Yin, X., Ren, C., Wang, Y., Xu, F., & Shen,
Q. 2010. Novel Rhamnolipid Biosurfactants
Produced by a Polycylic Aromatic
HydrocarbonDegrading
Bacterium
Pseudomonas aeruginosa Strain NY3.
Biotechnology Advances. 28 : 635-643
Nugroho, A. 2006.Produksi Biosurfaktan oleh
Bakteri Pengguna Hidrokarbon dengan
Penambahan Variasi Karbon.Biodiversitas. 7:
312-316.

Jurusan Kimia FMIPA Unsri

Nurani, D., Sidik, M., 2013.Produksi Biosurfaktan


Ramnolipid Oleh Pseudomonas aeruginosa
IFO 3924 dengan Teknik Kultivasi Umpan
Curah dan Sumber Karbon Kelapa
Sawit.Seminar Nasional Matematika, Sains
dan Teknologi Universitas Terbuka, 18
November
2013,
Tangerang
Selatan,
Indonesia.
Patton, C. 1981. Oilfield Water System 2ed.
Oklahoma : Cambeel Petroleum Series
Priyani, N., Erman M., & Nikmah R.B.
2011.Optimasi Produksi Biosurfaktan oleh
Pseudomonas aeruginosa dengan Variasi
Sumber
Karbon
dan
Nirogen
Medium.Prosiding Seminar Nasional Biologi.
Medan.
Qinhong,W. Xiangdong F., Baojun B., Xiaolin B.,
Patrick J.S., Wiliam A.G., Yangchun T., 2007.
Engineering Bacteria for Production of
Rhamnolipid as an Agent for Enhanced Oil
Recovery.Biotechnology and Bioengineering.
4: 842-853
Rashedi, H., M. M. Assadi, E. Jamshidi, & B.
Bonakdarpour. 2006. Optimization of the
Production of Biosurfactant by Pseudomonas
aeruginosa HR isolated from an Iranian
Southern Oil Well. Iran J. Chem Chem Eng.
25 (1) : 25-30.
Salleh,M.S., Md Noh, N.S., & Mohd Yahya, A.R.,
2011. Comparative Study : Different
Recovery Techniques of Rhamnolipid
Produced by Pseudomonas aeruginosa
USMAR-2. IPCBEE. 18:132-135.
Sarafin, Y., Donio, M., Velmurugan, S.,
Michaelbabu, M., & Citarasu, T. 2014.
Kocuria marina BS-15 a Biosurfactant
Producing Halophilic Bacteria Isolated from
Solar Salt Works in India. Saudi Journal of
Biological Science.
Sari, R.P. 2011. Studi Penanggulangan Problem
Scale dari Near-Wellbore Hingga Flowline di
Lapangan Minyak Limau. Skripsi. Jurusan
Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas
Indonesia.
Page 9

Artikelilmiahsidangsarjana 2014
Shavandi, M., Mohebali, G., Haddadi, A.,
Shakarami, H., & Nuhi, A. 2010.
Emulsification Potential of a Newly Isolated
Biosurfactant
Producing
Bacterium
Rhodococcus sp. Strain TA6. Colloids and
Surfaces B: Biointerfaces. 82: 477-482.
Simanjuntak, R. 2009. Studi Pembuatan Etanol dari
Limbah Gula (Molase).Skripsi. Jurusan
Teknik Pertanian. Fakultas Pertanian.
Universitas Sumatera Utara Medan.
Singh, D., N., Tripathi, A. N. 2012. Coal Induced of
a Rhamnolipid by Pseudomonas stutzeri,
Isolated from The Formation Water of Jharia
Coalbed. Bioresorce Technology. 128 : 215221.
Sun,S., Zhang, Z., Luo, Y.,Zhang, W., Xiao,M., Yi,
W., Yu, L., & Fu, P. 2011. Exopolysaccharide
Production by A Genetically Engineered
Enterobacter cloacae Strain for Microbial
Enhanced Oil Recovery. Bioresources
Technology. 102 : 6153-6158.

Jurusan Kimia FMIPA Unsri

Syahri,M., Sugiarto,B. 2008. Scale Treatment pada


Pipa Distribusi Crude Oil Secara Kimiawi.
Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2008
Bidang Teknik Kimia dan Tekstil, 22
November 2008, Yogyakarta, Indonesia.
Yudono, B., Estuningsih, S.P. 2013. Kinetika
Degradasi
Limbah
Minyak
Bumi
menggunakan
Bakteri
Konsorsium
(Micrococcus sp, Pseudomonas pseudomallei,
Pseudomonas psedoalcaligenes, dan Bacillus
sp) dan Rumput Eleusine Indica (L.) Gaernt.
Prosiding Semirata FMIPA Universitas
Lampung.
Zajic, J. E., Grignard, H., & Gerson, F.D. 1977.
Emulsifying and Suface Active Agents from
Corybacterium
hydrocarbonclatus.Biotech
and Bioeng.19 : 1285-1301.

Page 10

Anda mungkin juga menyukai