Anda di halaman 1dari 8

TUGAS PAPER

Pembuatan Etanol Dengan Memanfaatkan Biomassa / Limbah


Rumput Laut Eucheuma Cottonii Sebagai Bahan Baku

KELOMPOK II DISUSUN OLEH :

Luraselly Arda Aprilia (062140422501)


Miftahul Jannah ` (062140420354)
Muhamad Riko (062140422502)
M. Al Chapis A.T. (062140422503)
Nabilah Ayunisa Putri (062140422505)
Putri Maharani (062140422508)

KELAS : 4 KIA

DOSEN PENGAMPU : Ir. Erwana Dewi, M.Eng.

PROGRAM STUDI DIV TEKNOLOGI KIMIA INDUSTRI


JURUSAN TEKNIK KIMA

POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA


TAHUN 2023
Pembuatan Etanol Dengan Memanfaatkan Biomassa / Limbah Rumput Laut Eucheuma
Cottonii Sebagai Bahan Baku

I. PENDAHULUAN
Kebutuhan bioetanol di dunia sangat tinggi, seperti halnya di negara Indonesia kebutuhan
bioetanol secara nasional sekitar 390.000 kiloliter per tahun, akan tetapi pabrik bioetanol
yang ada di dalam negeri hanya mampu memenuhi kurang dari 4% saja dari yang
dibutuhkan (Susilawati, 2012).

Pabrik bioetanol yang ada di Indonesia memproduksi etanol dari bahan baku singkong,
tebu, ubi jalar dan jagung. Bahan-bahan baku tersebut termasuk dalam tanaman pangan
yang pembudidayaannya masih terbatas, lambat, memerlukan lahan yang luas dan dapat
menimbulkan persaingan dengan kebutuhan pangan manusia. Ketersediaan bahan baku
yang seringkali dalam kondisi terbatas tersebut mengakibatkan produksi bioetanol belum
bisa optimal (Susilawati, 2012). Kondisi tersebut mendorong pencarian sumber bahan
baku alternatif yang ketersediaannya melimpah dan kontinyu sepanjang tahun.

Secara umum rumput laut mengandung polisakarida seperti selulosa, alganate dan
monosakarida seperti glukosa, fruktosa dan xilosa. Komposisi tersebut menunjukkan
potensi rumput laut sebagai bahan baku etanol (Jung et al., 2012). Alam et al. (2012)
menyatakan bahwa makro rumput laut dapat dijadikan sebagai bahan baku utama dalam
pembuatan biofuel pengganti energi fosil karena ramah lingkungan dan mampu
mengurangi emisi gas karbondioksida yang berdampak pada efek rumah kaca dan
pemanasan global.

Rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu rumput laut dari jenis alga
merah (Rhodophyta). Rumput laut jenis ini memiliki thallus yang licin dan silindris,
berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah. Tumbuh melekat pada substrat dengan
alat perekat berupa cakram (Atmadja dkk,1996).
Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea
Genus : Eucheuma
Species : Eucheuma alvarezii
Keadaan warna tidak selalu tetap, kadangkadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu
atau merah sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu
proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai
kualitas pencahayaan (Aslan, 1998). Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik
di daerah pantai terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran
air laut. Kondisi perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii
yaitu perairan terlindung dari terpaan angin dan gelombang yang besar, kedalaman
perairan 7,65 - 9,72 m, salinitas 33 -35 ppt, suhu air laut 28-30 oC, kecerahan 2,5-5,25 m,
pH 6,5-7,0 dan kecepatan arus 22- 48 cm/detik (Wenno, 2009).

Fermentasi merupakan proses mikrobiologi yang dikendalikan oleh manusia untuk


memperoleh produk yang berguna, dimana terjadi pemecahan karbohidrat dan asam
amino secara anaerob. Peruraian dari kompleks menjadi sederhana dengan bantuan
mikroorganisme sehingga menghasilkan energi. (Perry, 1999). Fermentasi dapat diartikan
juga sebagai perubahan gradual oleh enzim beberapa bakteri, khamir dan jamur. Contoh
perubahan kimia dari fermentasi meliputi pengasaman susu, dekomposisi pati dan gula
menjadi alkohol dan karbondioksida, serta oksidasi senyawa nitrogen organik (Hidayat,
dkk, 2006). Perubahan gula pereduksi menjadi etanol dilakukan oleh enzyme invertrase,
yaitu enzim kompleks yang terkandung dalam ragi.

Ditinjau dari reaksi diatas, terlihat O2 tidak diperlukan, hanya ada pengubahan zat
organik yang satu menjadi zat organik yang lain (glukosa menjadi etanol). Selanjutnya
apabila etanol telah melewati rentang waktu fermentasinya maka akan terjadi proses
fermentasi lanjutan berupa fermentasi asam asetat dimana mulamula terjadi pemecahan
gula sederhana menjadi etanol, selanjutnya etanol menjadi asam asetat.
Bakteri
2C2H5OH + 2O2  2CH3COOH + 2H2O
Bakteri yang aktif :
Acetobacter aceti
Acetobacter pasteurianum
Acetobacter oxydans, dll

Laju Pembentukan Etanol, laju fermentasi disini merupakan massa etanol yang dihasilkan
dari suatu proses fermentasi per satuan waktu fermentasi. Massa yang dihasilkan dari
proses ini adalah massa dari etanol yang terbentuk selama proses fermentasi dalam
rentang waktu tertentu. Berikut ini merupakan persamaan untuk menentukan laju
pembentukan etanol dalam proses fermentasi Eucheuma cottonii

Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme unggul yang digunakan dalam


proses fermentasi etanol. Dalam melakukan proses fermentasi, S. cerevisiae dipengaruhi
oleh faktor tumbuh yang meliputi pH pertumbuhan antara 2,0-8,6 dengan pH optimum
antara 4,5-5,0. Laju fermentasi gula oleh S. cerevisiae relatif intensif pada pH 3,5-6,0
(Goebol, 1987). Saccharomyces cerevisiae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa,
galaktosa serta rafinosa (Kunkee dan Mardon,1970). Saccharomyces cerevisiae
merupakan top yeast tumbuh cepat dan sangat aktif memfermentasi pada suhu 20oC
(Frazier dan Westhoff 1978). S. cerevisiae dapat toleran terhadap alkohol yang cukup
tinggi (12-18 % v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan
fermentasi pada suhu 4-32oC (Harisson dan Graham,1970).

II. BAHAN BAKU


1. Limbah Eucheuma cottoni : ± 110 kg
2. Saccaromyces Cereviciae : ± 500 gram
3. Senyawa NaOH : 1 kg
4. Effective Microorganism (EM4) : 1 liter
5. Kapur (CaCO3) : 1 kg

III. CARA KERJA


1. Mencuci 90 kg limbah rumput laut jenis Eucheuma cottonii untuk memisahkan
butiran pengotor dan pasir.
2. Memberikan pretreatment awal limbah Eucheuma cottonii yaitu dengan direndam
dalam air tawar selama 24 jam dengan penambahan kapur (CaCO3) untuk
menghilangkan/menetralkan kandungan garam yang ada di dalamnya, agar nantinya
tidak menghambat/ mengganggu proses fermentasi.
3. Melakukan pretreatment berupa proses delignifikasi yaitu dengan menggunakan
proses delignifikasi secara kimia yaitu dengan menggunakan senyawa NaOH sebagai
katalis dalam proses delignifikasi dengan variasi sebagai berikut:
a. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 10 %
selama 1 jam.
b. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 15%
selama 1 jam.
c. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 20 %
selama 1 jam.
4. Selanjutnya untuk setiap variasi pretreatment delignifikasi pada langkah nomor 3
diberikan treatment yang bertujuan untuk menghidrolisis selulosa menjadi gula
sederhana. Adapun variasi yang digunakan dalam proses treatment ini adalah sebagai
berikut:
• 15 kg limbah cottonii di treatment secara fisika, yaitu dengan dikukus selama 30
menit di dalam basin stainless steel pada temperatur 90°C -100 °C, lalu ditiriskan
selama 1 jam (dalam hal ini proses sakarifikasi untuk menstabilkan derajat
keasaman) dalam suhu ruangan (27°C - 30°C). Setelah itu barulah masuk pada
tahapan proses fermentasi dengan penambahan ragi dengan variasi komposisi
1:0,0015, 1:0,003, 1:0,0045, 1:0,006, 1:0,0075 untuk limbah Eucheuma cottoni
dan ragi.
• Treatment secara biologi dilakukan dengan menggunakan 15 kg limbah cottonii
yang di panaskan selama 30 menit di dalam basin stainless steel pada temperatur
90°C - 100° C lalu ditiriskan selama 1 jam dalam suhu ruangan (27°C - 30°C).
Setelah itu ditambahkan cairan EM4 dengan perbandingan 1 kg limbah cottonii
ditambahkan dengan 20 ml EM4 yang selanjutnya masuk pada tahapan proses
fermentasi dengan penambahan ragi dengan variasi komposisi 1:0,0015, 1:0,003,
1:0,0045, 1:0,006, 1:0,0075 untuk limbah cottoni dan ragi.
5. Memasukkan kelima variasi campuran ragi dan limbah cottonii pada setiap
pembagian treatment tersebut kedalam toples kaca agar tidak terjadi kontaminasi dan
ditutup dengan rapat, agar tercipta kondisi anaerob sehingga khamir Saccharomyces
cerevisiae dapat bekerja dengan baik dalam proses fermentasi.
6. Dalam setiap rentang waktu 3 hari hasil fermentasi limbah Eucheuma cottonii
ditampung dalam gelas ukur, lalu diukur volume etanol yang dihasilkan pada setiap
variasi treatment (fisika dan biologi) ,variasi delignifikasi NaOH dan variasi
konsentrasi ragi.
7. Melakukan proses pengukuran kadar kemurnian etanol dengan menggunkan
vinometer.
8. Menghitung laju fermentasi dalam dalam satuan (kg/hari) dari setiap rentang waktu
fermentasi dari setiap variasi delignifikasi, pada setiap variasi perlakuan fisika dan
biologi lalu bandingkan dengan laju fermentasi dan laju pembentukan etanol pada
proses fermentasi tanpa delignifikasi.

IV. HASIL
Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa pada variasi delignifikasi dengan
menggunakan NaOH 15% dengan perbandingan (1:0,006) untuk limbah cottonii dan
ragi pada proses fermentasi memberikan hasil kadar etanol yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan variasi delignifikasi dan perbandingan rasio fermentasi yang
lainnya.

Volume etanol yang dihasilkan akan semakin meningkat seiring dengan


bertambahnya waktu fermentasi. Dari perbandingan data secara keseluruhan
didapatkan pula hasil bahwa secara keseluruhan volume etanol yang dihasilkan pada
perlakuan biologi ternyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan volume etanol yang
dihasilkan dengan perlakuan secara fisika. Volume etanol tertinggi didapatkan pada
variasi delignifikasi dengan menggunakan NaOH 15% dimana volume etanol
maksimal yang dapat dihasilkan adalah sebanyak 245 ml pada perlakuan fisika dan
234 ml pada perlakuan biologi, pada hari ke 9 fermentasi.
Volume Etanol Pada Perbandingan
Limbah cottonii dan Ragi Terbaik
(ml)
Pretreatment Waktu Fermentasi
(1:0.006)
Perlakuan Perlakuan
Fisika Biologi
3 175 190
NaOH 10% 6 185 204
9 200 215
3 186 200
NaOH 15% 6 215 227
9 234 245
3 150 162
NaOH 20% 6 180 192
9 195 202
KESIMPULAN

1. Proses perlakuan awal (pretreatment) memegang peranan yang sangat penting dan
berperan besar dalam suatu usaha pendegradasian lignin pada proses pembuatan etanol
dari bahan baku berlignoselulosa karena akan menghambat kerja dari yeast dalam
mengkonversi glukosa menjadi etanol. Dan lebih banyak selulosa yang bisa didapatkan
sebagai bahan baku pembuatan bioetanol dari limbah biomassa berlignoselulosa
khususnya biomassa yang hidup di perairan.
2. Kadar kemurnian terbaik dan volume etanol yang maksimal diperoleh pada tahapan
proses delignifikasi limbah Eucheuma cottonii dengan senyawa NaOH 15%. Pada proses
delignifikasi dengan menggunakan senyawa NaOH 15% pada setiap perbandingan limbah
cottonii dengan ragi pada proses fermentasi didapatkan kadar kemurnian etanol rata – rata
diatas 12% abv dan volume etanol yang dihasilkan adalah 245 ml pada perlakuan biologi
dan 234 ml pada perlakuan fisika pada hari ke 9 fermentasi.
3. Perbandingan (1:0,006) untuk limbah cottonii dan ragi merupakan perbandingan yang
terbaik dimana, pada perbandingan ini diperoleh kadar kemurnian, volume etanol dan laju
fermentasi terbaik. Dimana kadar etanol tertinggi didapatkan dari perlakuan secara
biologi yaitu sebesar 15,5% dan secara fisika sebesar 14,8% pada hari ke 6 fermentasi.
Begitu juga dengan volume etanol yang dihasilkan lebih tinggi dimana volume maksimal
yang mampu dihasilkan adalah 245 ml pada perlakuan biologi dan 234 ml pada perlakuan
fisika pada hari ke 9 fermentasi. Sementara itu laju fermentasi tertinggi yang mampu
dihasilkan adalah sebesar 0,058 kg/hari pada perlakuan fisika, dan 0,063 kg/hari pada
perlakuan biologi pada hari ke 3 fermentasi.
4. Secara keseluruhan kadar kemurnian etanol, volume etanol dan laju fermentasi yang
dihasilkan dengan treatment secara biologi memberikan hasil yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kadar etanol yang dihasilkan dari treatment secara fisika.
5. Perlu dilakukan suatu pendekatan pemodelan matematis dalam usaha memberikan
hipotesis dan perkiraan hasil penelitian kedepannya serta untuk dapat mengkomparasikan
hasil penelitian secara eksperimen dan secara pemodelan.

Anda mungkin juga menyukai