KELAS : 4 KIA
I. PENDAHULUAN
Kebutuhan bioetanol di dunia sangat tinggi, seperti halnya di negara Indonesia kebutuhan
bioetanol secara nasional sekitar 390.000 kiloliter per tahun, akan tetapi pabrik bioetanol
yang ada di dalam negeri hanya mampu memenuhi kurang dari 4% saja dari yang
dibutuhkan (Susilawati, 2012).
Pabrik bioetanol yang ada di Indonesia memproduksi etanol dari bahan baku singkong,
tebu, ubi jalar dan jagung. Bahan-bahan baku tersebut termasuk dalam tanaman pangan
yang pembudidayaannya masih terbatas, lambat, memerlukan lahan yang luas dan dapat
menimbulkan persaingan dengan kebutuhan pangan manusia. Ketersediaan bahan baku
yang seringkali dalam kondisi terbatas tersebut mengakibatkan produksi bioetanol belum
bisa optimal (Susilawati, 2012). Kondisi tersebut mendorong pencarian sumber bahan
baku alternatif yang ketersediaannya melimpah dan kontinyu sepanjang tahun.
Secara umum rumput laut mengandung polisakarida seperti selulosa, alganate dan
monosakarida seperti glukosa, fruktosa dan xilosa. Komposisi tersebut menunjukkan
potensi rumput laut sebagai bahan baku etanol (Jung et al., 2012). Alam et al. (2012)
menyatakan bahwa makro rumput laut dapat dijadikan sebagai bahan baku utama dalam
pembuatan biofuel pengganti energi fosil karena ramah lingkungan dan mampu
mengurangi emisi gas karbondioksida yang berdampak pada efek rumah kaca dan
pemanasan global.
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu rumput laut dari jenis alga
merah (Rhodophyta). Rumput laut jenis ini memiliki thallus yang licin dan silindris,
berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah. Tumbuh melekat pada substrat dengan
alat perekat berupa cakram (Atmadja dkk,1996).
Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea
Genus : Eucheuma
Species : Eucheuma alvarezii
Keadaan warna tidak selalu tetap, kadangkadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu
atau merah sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu
proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai
kualitas pencahayaan (Aslan, 1998). Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik
di daerah pantai terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran
air laut. Kondisi perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii
yaitu perairan terlindung dari terpaan angin dan gelombang yang besar, kedalaman
perairan 7,65 - 9,72 m, salinitas 33 -35 ppt, suhu air laut 28-30 oC, kecerahan 2,5-5,25 m,
pH 6,5-7,0 dan kecepatan arus 22- 48 cm/detik (Wenno, 2009).
Ditinjau dari reaksi diatas, terlihat O2 tidak diperlukan, hanya ada pengubahan zat
organik yang satu menjadi zat organik yang lain (glukosa menjadi etanol). Selanjutnya
apabila etanol telah melewati rentang waktu fermentasinya maka akan terjadi proses
fermentasi lanjutan berupa fermentasi asam asetat dimana mulamula terjadi pemecahan
gula sederhana menjadi etanol, selanjutnya etanol menjadi asam asetat.
Bakteri
2C2H5OH + 2O2 2CH3COOH + 2H2O
Bakteri yang aktif :
Acetobacter aceti
Acetobacter pasteurianum
Acetobacter oxydans, dll
Laju Pembentukan Etanol, laju fermentasi disini merupakan massa etanol yang dihasilkan
dari suatu proses fermentasi per satuan waktu fermentasi. Massa yang dihasilkan dari
proses ini adalah massa dari etanol yang terbentuk selama proses fermentasi dalam
rentang waktu tertentu. Berikut ini merupakan persamaan untuk menentukan laju
pembentukan etanol dalam proses fermentasi Eucheuma cottonii
IV. HASIL
Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa pada variasi delignifikasi dengan
menggunakan NaOH 15% dengan perbandingan (1:0,006) untuk limbah cottonii dan
ragi pada proses fermentasi memberikan hasil kadar etanol yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan variasi delignifikasi dan perbandingan rasio fermentasi yang
lainnya.
1. Proses perlakuan awal (pretreatment) memegang peranan yang sangat penting dan
berperan besar dalam suatu usaha pendegradasian lignin pada proses pembuatan etanol
dari bahan baku berlignoselulosa karena akan menghambat kerja dari yeast dalam
mengkonversi glukosa menjadi etanol. Dan lebih banyak selulosa yang bisa didapatkan
sebagai bahan baku pembuatan bioetanol dari limbah biomassa berlignoselulosa
khususnya biomassa yang hidup di perairan.
2. Kadar kemurnian terbaik dan volume etanol yang maksimal diperoleh pada tahapan
proses delignifikasi limbah Eucheuma cottonii dengan senyawa NaOH 15%. Pada proses
delignifikasi dengan menggunakan senyawa NaOH 15% pada setiap perbandingan limbah
cottonii dengan ragi pada proses fermentasi didapatkan kadar kemurnian etanol rata – rata
diatas 12% abv dan volume etanol yang dihasilkan adalah 245 ml pada perlakuan biologi
dan 234 ml pada perlakuan fisika pada hari ke 9 fermentasi.
3. Perbandingan (1:0,006) untuk limbah cottonii dan ragi merupakan perbandingan yang
terbaik dimana, pada perbandingan ini diperoleh kadar kemurnian, volume etanol dan laju
fermentasi terbaik. Dimana kadar etanol tertinggi didapatkan dari perlakuan secara
biologi yaitu sebesar 15,5% dan secara fisika sebesar 14,8% pada hari ke 6 fermentasi.
Begitu juga dengan volume etanol yang dihasilkan lebih tinggi dimana volume maksimal
yang mampu dihasilkan adalah 245 ml pada perlakuan biologi dan 234 ml pada perlakuan
fisika pada hari ke 9 fermentasi. Sementara itu laju fermentasi tertinggi yang mampu
dihasilkan adalah sebesar 0,058 kg/hari pada perlakuan fisika, dan 0,063 kg/hari pada
perlakuan biologi pada hari ke 3 fermentasi.
4. Secara keseluruhan kadar kemurnian etanol, volume etanol dan laju fermentasi yang
dihasilkan dengan treatment secara biologi memberikan hasil yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kadar etanol yang dihasilkan dari treatment secara fisika.
5. Perlu dilakukan suatu pendekatan pemodelan matematis dalam usaha memberikan
hipotesis dan perkiraan hasil penelitian kedepannya serta untuk dapat mengkomparasikan
hasil penelitian secara eksperimen dan secara pemodelan.