Anda di halaman 1dari 8

Laporan Praktikum Hari, Tanggal: Selasa, 22 Maret 2016

Teknologi Bioindustri Dosen: Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si.


Golongan : P3
Asisten : 1. Taufik Ismatullah (F34120072)
2. Putty Rahmasari (F34120016)

PRODUKSI BIOETANOL

Disusun Oleh:

Aji Najib N (F34130085)


Rizkya Hatami (F34130086)
Rizky Pangestu (F34130092)
Sindi Naulah (F34130092)
Tesar M. Rivaldi (F34130092)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTUITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bioetanol merupakan salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dan
ramah lingkungan. Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar menjadi sangat
penting. Semakin sedikitnya sumber energi fosil yang ada di bumi dan semakin
tingginya pencemaran lingkungan menjadi faktor utama dibutuhkannya energi
alternatif yang lebih ramah lingkungan. Penggunaan bioetanol menjadi bahan
bakar kendaraan dapat menjadi sebuah alternatif yang aman, karena sumbernya
berasal dari tumbuhan dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan.
Produksi secara domestik dan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar
dapat menurunkan ketergantungan pada minyak yang berasal dari luar, mengurangi
defisit perdagangan, menciptakan lapangan kerja di daerah pedesaan, mengurangi
polusi udara, dan mengurangi perubahan iklim global akibat bertambahnya karbon
dioksida. Bioetanol, tidak seperti bensin, adalah bahan bakar yang mengandung
35% oksigen, yang dapat mengurangi partikulat dan emisi NOx dari proses
pembakaran. Berdasarkan peraturan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral
No 32 tahun 2008, pada tahun 2008 sampai 2010 etanol harus mensubstitusi
premium sebanyak 3% untuk transportasi dan akan meningkat menjadi 5% di tahun
2015, 10% pada tahun 2020 dan 15% pada tahun 2025.
Meskipun memiliki berbagai keuntungan, produksi bioetanol juga dapat
menimbulkan masalah. Bahan baku pembuatan bioetanol seperti tebu, jagung, dan
singkong merupakan tanaman pangan yang banyak dikonsumsi masyarakat. Jika
lahan tanaman pangan tersebut dialihkan menjadi lahan produksi bioetanol, maka
produksi pangan akan menurun sehingga harganya menjadi naik. Oleh karena
itu, banyak pertimbangan yang perlu diperhatikan sebelum melakukan produksi
bioetanol termasuk pemilihan bahan baku dan metode yang tepat sehingga industri
bioetanol dapat berkembang di Indonesia dan bermanfaat untuk lingkungan.

Tujuan

Praktikum ini bertujuan mengetahui proses produksi bioetanol dengan


bahan baku molases dan mengamati parameter yang memengaruhi proses produksi
bioetanol.

METODOLOGI

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah erlenmeyer, pH meter, gelas ukur, otoklaf, lup
inokulasi, leher angsa, spektrofotometer, sentrifugasi, dan oven. Sedangkan bahan
yang digunakan adalah biakan Saccharomyces cerevisiae, air, molases, larutan
urea, dan asam sulfat.

Metode

Molases

Air Dicampur
(Perbandingan Molases 1 : 4 Air)
(P
(
Asam Sulfat pH diatur menjadi 4.5

Disterilisasi dalam otoklaf 121˚C Larutan Urea


selama 15 menit 1 g/L 50 mL

Inokulasi dengan biakan khamir


sebanyak 1 lup

Labu erlenmeyer ditutup dengan


leher angsa

Diinkubasi dalam suhu kamar

Diamati parameter
pengamatannya

Bioetanol
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

[Terlampir]

Pembahasan

Bioetanol adalah etanol atau senyawa organik yang terdiri dari karbon,
hidrogen, dan oksigen sehingga merupakan turunan senyawa hidrokarbon yang
mempunyai gugus hidroksi dengan rumus C2H5OH yang berasal dari sumber
hayati. Dalam industri pembuatan etanol dapat dilakukan dengan cara non
fermentasi atau sintetik yaitu dengan tidak menggunakan enzim atau
mikroorganimse, serta cara fermentasi yaitu memanfaatkan proses metabolisme
untuk perubahan kimia substrat oleh enzim yang dihasilkan mikroorganisme
(Endah et al. 2009). Pembuatan bioetanol menggunakan proses fermentasi
membutuhkan subtrat berupa bahan bergula, berpati serta berserat (Hikmiyati
2009). Bahan yang umum digunakan sebagai sumber karbon atau gula pada proses
fermentasi alkohol diantaranya adalah molases dari tebu, tapioka dari ubi kayu,
serta ubi jalar (Wahyuni 2008). Bioetanol yang dihasilkan dari proses fermentasi
memiliki lama fermentasi optimal yaitu selama 3 hari. Lama fermentasi ini
dipengaruhi oleh faktor langsung maupun tidak langsung seperti substrat, suhu pH,
oksigen, serta mikroorganissme yang digunakan (Azizah et al. 2012).
Bioetanol memiliki nilai tambah cukup tinggi karena dapat menjadi
alternatif bahan bakar. Bioetanol dapat digunakan untuk menggantikan atau sebagai
campuran pada bahan bakar premium. Hal tersebut dapat mengurangi emisi karbon
dioksida secara tidak langsung akibat penyerapan emisi karbon dioksida oleh
tanaman penghasil bioetanol (Samsuri et al. 2007). Pemanfaatan bioetanol secara
besar juga secara tidak langsung akan menciptakan lapangan pekerjaan untuk
memproduksi bioetanol, serta meningkatkan pendapatan petani melalui penanaman
tanaman penghasil etanol (Prihanda et al. 2007).
Proses produksi bioetanol umumnya menggunakan mikroorganimse yaitu
Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae ini memiliki keunggulan
dibanding mikroorganimsme lain karena memiliki kemampuan beradaptasi dengan
lingkungan yang baik, tahan terhadap kadar alkohol tinggi, dan mudah untuk
didapatkan (Azizah et al. 2012). Saccharomyces cerevisiae merupakan
mikroorganimse kelompok khamir atau ragiyang memiliki kemampuan untuk
mengubah glukosa menjadi aklohol dan CO2. Saccharomyces cerevisiae
merupakan mikroorganisme bersel tunggal yang tidak memiliki klorofil.
Mikroorganimse ini berukuran 5 sampai 20 mikron berbentuk boladan tidak
memiliki struktur tambahan dibagian luar seperti flagella. Saccharomyces
cerevisiae memiliki lapisan dinding luar yang terdiri dari polisakarida kompleks
yang mengelilingi membran sel. Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dalam
media padat serta cair. Saccharomyces cerevisiae berkembang biak dengan
pembelahan sel secara aseksual yaitu dengan pembentukan tunas. Saccharomyces
cerevisiae juga dapat berkembang biak secara seksual dengan produksi spora
seksual atau akrospora (Supriyanto 2010).
Selain Saccharomyces cerevisiae, beberapa mikroorganimse lain juga dapat
menghasilkan bioetanol. Umumnya mikroorganisme khamir seperti
Saccharomyces cerevisiae, hanya dapat memfermentasi C6 untuk menghasilkan
etanol sehingga telah dikembangkan penggunaan mikroorganimse lain seperti
bakteri, kapang, dan jamur. Untuk dapat memfermentasi gula C5 dan C6 maka perlu
rekayasa genetik dengan memasukkan gen gen yang berperan dalam asimilasi dan
metabolisme gula pentosa pada strain yag digunakan. Penggunakan
mikroorganisme yang dapat menggunakan bahan berlignoselulosa untuk
membentuk etanol juga dikembangkan seperti Zymomonas mobilis dengan
melakukan rekayasa genetik.Untuk mendapatkan rendemen etanol yang tinggi juga
dikembangkan penggunaan Escherichia coli yang merupakan bakteri aerobik yang
dapat berkembang dengan cepat melalui rekayasa genetik (Riyanti 2009).
Kondisi-kondisi yang mempengaruhi kadar bioetanol dalam proses
fermentasi sangat bermacam-macam, lama waktu proses fermentasi juga
berpengaruh kepada jumlah bioetanol yang dihasilkan. Seperti halnya penilitian
yang dilakukan oleh Bestari dkk (2013) menunjukkan bahwa semakin lama waktu
fermentasi makan bioetanol yang dihasilkan akan semakin banyak. Ini terlihat dari
hasil penilitiannya dimana hari ke 6 dan hari ke 8 kadar bioetanol yang dihasilkan
semakin banyak. Hal yang lain yang berpengaruh pada proses adalah pH, dalam
penilitian yang dilakukan oleh Minarni dkk (2013) terlihat bahwa pH akan
mempengaruhi hasil bioetanol yang dihasilkan, pH 4 merupakan pH yang optimum
untuk mendapatkan bioetanol yang tinggi yaitu sekitar 1,61%. Peningkatan pH
lebih dari 4 akan membuat kadar bioetanol yang dihasilkan akan menurun, selain
pH yang mempengaruhi kadar bioetanol adalah suhu dalam fermentasi. Menurut
Kumalasari (2011) suhu optimal untuk fermentasi yang dilakukan adalah sekitar
30-35̊C, dan puncak tertinggi dalam produksi bioetanol ketika 33̊C, suhu yang lebih
rendah dari kisaran akan membuat proses fermentasi akan menjadi lambat,
sedangkan ketika suhu diatas rentan akan membuat mikroorganisme yang berperan
akan mati. Proses hidrolisis merupakan proses untuk mendapatkan glukosa yang
akan digunakan dalam fermentasi bioetanol, dalam penilitian Minarni dkk (2013)
menunjukkan bahwa konsetrasi Asam akan mempengaruhi proses hidrolisis
tersebut, dari selang 0-3 M HCl, konstrasi 3 lah yang membuat kadar glukosa paling
tinggi, dan penambahan konstrasi HCl lebih dari 3 akan membuat kadar glukosa
stasioner atau menurun.
Bahan-bahan dalam pembuatan bioetanol memiliki fungsi-fungsi tersendiri,
bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi bioetanol diantara lain adalah
molases, urea, dan asam sulfat. Molases merupakan bahan baku sekaligus energi
dalam proses fermentasi tersebut. Menurut Judoamijojo (1992) gula dapat dijadikan
bahan untuk pembuatan bioetanol dengan bantuan mikroorganisme tertentu, selain
itu molases dengan hidrolisis oleh mikroorganisme dapat diubah menjadi gula
sederhana lalu menjadi etanol. Menurut Azizah dkk (2012) bahwa karbohidrat
adalah sumber karbon atau sumber energi yang dibutuhkan selama proses
fermentasi oleh bakteri selain itu, sumber karbon dalam praktikum kali ini adalah
molases itu sendiri, dan selain karbon juga mikroorganisme membutuhkan nitrogen
dalam proses fermentasinya, dan yang dijadikan sumber nitrogen oleh
mikroorganisme dalam praktikum kali ini adalah larutan urea. Asam sulfat disini
berfungsi untuk membuat kondisi pH optimum dalam proses fermentasi, menurut
Minarni dkk (2013) bahwa pH optimum untuk mikroorganise Saccharomyces
cerevisae tumbuh adalah sekitar pH 4, oleh sebab itu asam sulfat digunakan dalam
praktikum ini agar pH dalam proses fermentasi berkisar 4-4,5.
Produksi gas didapat selama proses fermentasi maka pertumbuhan
Saccharomyces cereviceae akan berhenti meskipun Saccharomyces cereviceae
masih dalam keadaan hidup. Kemudian akan mulai menghasilkan alkohol kembali
jika gas CO2 dihilangkan (Azizah, Al-Baarri dan Mulyani 2012). Oleh karena itu
saat fermentasi, erlemyer dipasang leher angsa di atasnya. Leher angsa didesain
sedemikian rupa sehingga dapat menampung air netral dan dipasang kapas untk
menghambat mikroba pengkontaminan dari luar. Leher angsa berfungsi berfungsi
untuk menyalurkan gas CO2 keluar (Amin dan Empayus 2014).
Menurut Desrosier (1989), meningkatnya jumlah gas yang terbentuk
tersebut disebabkan oleh pertumbuhan mikroba perombak pati menjadi glukosa dan
mikroba perombak glukosa menjadi alkohol yang semakin banyak, sehingga kadar
alkohol yang dihasilkan juga semakin banyak. Jumlah gas yang cenderung
meningkat tersebut menunjukkan bahwa kemampuan Saccharomices cerevisea
cukup optimal atau jumlah biomassa tercukupi sehingga produksi etanol cenderung
meningkat. Percobaan kali ini sesuai dengan literatur, yakni menurut
Rohmatningsih (2014) Dari variasi waktu fermentasi 24, 48, 72, dan 96 jam
diketahui bahwa waktu fermentasi 72 jam lebih efisien untuk produksi etanol.
Penurunan pada jam ke- 96 disebabkan karena biomassa yang tersedia telah habis
sehingga jumlah gas yang dihasilkan menurun.
Menurut Simanjuntak (2009), jumlah mikroba yang tumbuh akan semakin
banyak seiring dengan meningkatnya waktu perlakuan. Jika mikroorganisme yang
terdapat pada molase semakin banyak maka enzim invertase (yang mengubah
glukose menjadi etanol) juga akan semakin banyak sehingga keasaman bahan
semakin tinggi, dimana asam dihasilkan dari perombakan alkohol menjadi asam
asetat dan asam - asam lainnya, sehingga pH molase yang dihasilkan semakin
menurun. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan menurut Amerine et al (1972),
pada proses fermentasi dihasilkan asam - asam mudah menguap, diantaranya asam
laktat, asam asetat, asam formiat, asam butirat dan asam propionat. Semakin tinggi
kadar keasaman bahan, pH bahan tersebut semakin menurun. Mikroba yang
terbentuk akan semakin banyak seiring dengan meningkatnya waktu perlakuan.
Semakin besar jumlah mikroba perombak pati menjadi glukose dan mikroba
perombak glukose menjadi alkohol semakin banyak, sehingga kadar alkohol yang
dihasilkan semakin tinggi (Desrosier 1989).
PENUTUP

Simpulan

Bioetanol adalah etanol atau senyawa organik yang terdiri dari karbon,
hidrogen, dan oksigen sehingga merupakan turunan senyawa hidrokarbon yang
mempunyai gugus hidroksi dengan rumus C2H5OH yang berasal dari sumber
hayati. Bioetanol memiliki nilai tambah cukup tinggi karena dapat menjadi
alternatif bahan bakar. Proses produksi bioetanol umumnya menggunakan
mikroorganimse yaitu Saccharomyces cerevisiae. Kondisi-kondisi yang
mempengaruhi kadar bioetanol dalam proses fermentasi sangat bermacam-macam,
lama waktu proses fermentasi juga berpengaruh kepada jumlah bioetanol yang
dihasilkan.

Saran

Komoditi yang diuji dan metode uji lebih beragam agar dapat mengetahui
bagaimana pengaruh dan perbedaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Amerine M. A and M. V. Croes. 1972. The Technology of Wine Making. Westport


(AS) : The AVI Publishing Company.
Amin M Jaksen dan Empayus. 2014. Faktor ragi roti dan waktu fermentasi tepung
umbi talas (Colocasia Esculenta [L] Schoot) menjadi bioetanol. Prosiding
Seminar Nasional Lahan Suboptimal. Palembang 26-27 September 2014
Azizah N, Al-Baari N, Mulyani S. 2012. Pengaruh lama fermentasi tehadap kadar
alkohol, pH, dan produksi gas pada proses fermentasi bioetanol dari whey
dengan substitusi kulit nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 1 (2) : 72-
77.
Bestari K, Sutrisno I, Sumiyati S. 2013. Pengaruh lama fermentasiterhadap kadar
bioetanol dari limbah kulit pisang kepok dan raja. Jurnal Teknik Lingkungan
vol 3, no 5. 54-60
Desrosier. 1989. Teknologi pengawetan pangan. Penerjemah M. Muljohardjo.
Jakarta (ID): UI-Press
Endah RD, Sperisa D, Adrian N, Paryanto. 2009. Pengaruh kondisi fermentasi
terhadap yield etanol pada pembuatan bioetanol dari pati garut. Gema Teknik.
10 (2): 1-6.
Hikmiyati N. 2009. Pembuatan Bioetanol Dari Limbah Kulit Singkong Melalui
Proses Hidrolisa Asam Dan Enzimatis [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas
Teknik, Universitas Diponegoro.
Judoamidjojo. 1992. Teknologi Fermentasi, Edisi 1. Jakarta[ID]: Rajawali Press
Kumalasari, I. J. 2011. Pengaruh Variasi Suhu Inkubasi terhadap Kadar Etanol
Hasil Fermentasi Kulit dan Bonggol Nanas (Ananas sativus). Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Semarang,Semarang.
Minarni N, Ismuyanto B, Sutrisno. Pembuatan bioetanol dengan bantuan
Saccharomyces cerevisiae dari glukosa hasil hidrolisis biji durian (Durio
zhibetinus) . Jurnal Kimia. 1 (1): 36-42.
Prihanda R, Noerwijan K, Adinurani PG, Setyaningsih D, Setiadi S, Hendroko R.
2007. Bioetanol Ubi Kayu, Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta (ID):
AgroMedia.
Riyanti EI. 2009. Biomassa sebagai bahan baku bioetanol. Jurnal Litbang. 28 (3):
101-110.
Rohmatningsih R N. 2014. Optimalisasi fermentor untuk produksi etanol dan
analisis hasil fermentasi menggunakan gas chromatografi. Jurnal
Matematika, Sains, dan Teknologi. Vol 15 (1) : 13 - 20
Samsuri M, Gozan M, Mardias R, Baiquni M, Hermansyah H, Wijanarko A,
Prasetya B, Nasikin M. 2007. Pemanfaatan selulosa bagas untuk produksi
ethanol melalui sakarifikasi dan fermentasi serentak dengan enzim xylanase.
Makara Teknologi. 11 (1): 17-24.
Simanjuntak R. 2009. Studi Pembuatan Etanol dari Limbah Gula (Molase).
(Skripsi). Medan (ID): USU.
Supriyanto. 2010. Proses Produksi Etanol Oleh Saccharomyces cerevisiae Dengan
Operasi Kontinyu Pada Kondisi Vakum [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas
Teknik, Unversitas Diponegoro.
Wahyuni A. 2008. Rekayasa Bioproses Pembuatan Bioetanol Dari Sirup Glukosa
Ubi Jalar Dengan Menggunakan Saccharomyces cerevisiae [tesis]. Bogor
(ID): Departmen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai