Apa kalian pernah mendengar kasus tabrakan tanker dengan kapal sinar kapuas? Kapal tanker
yang membawa ribuan liter minyak mentah milik otoritas kelautan Singapura atau biasa
disingkat MPA. Tabrakan antara kapal tanker Alyarmouk dengan kapal pengangkut barang
Sinar Kapuas itu terjadi pada 2 Januari 2015 dan mengakibatkan 4.500 ton minyak tumpah ke
lautan. Hal ini menyebabkan air laut menjadi tercemar dan organisasi ekosistem lautan
menjadi rusak, lalu bagaimana cara mengatasinya? Meskipun sebenarnya lingkungan
memiliki kemampuan untuk mendegradasi pencemar yang masuk ke dalamnya melalui
proses biologis dan kimiawi namun seringkali beban pencemaran di lingkungan lebih besar
dibandingkan dengan kecepatan proses degradasi zat pencemar tersebut secara alami.
Akibatnya, zat pencemar akan terakumulasi sehingga dibutuhkan campur tangan manusia
dengan teknologi yang ada untuk mengatasi pencemaran tersebut. Upaya yang dilakukan
untuk mengatasi pencemaran minyak secara kimiawi (kemoremedasi) dan fisik
(fisikoremedasi) ternyata dikhawatirkan menambah efek toksiknya bagi organisme hidup.
Alternatif lain yang dapat digunakan dalam penggulangan pencemaran minyak bumi adalah
bioremediasi. Berkembangnya teknologi ini adalah karena teknik penerapannya yang relatif
mudah dilapangan dengan biaya operasional yang murah. Teknologi proses bioremediasi
cukup potensial diterapkan di Indonesia. Kondisi iklim tropis dengan sinar matahari,
kelembapan yang tinggi, serta keanekaragaman mikroorganisme yang tinggi sangat
mendukung percepatan proses pertumbuhan mikroba untuk aktif mendegradasi minyak.
BAKTERI PENGURAI MINYAK
Bakteri adalah mikroorganisme prokariotik yang secara morfologi terdapat dalam
bentuk kokus, basil dan spiral. Adanya bakteri dalam bahan pangan dapat mangakibatkan
pembusukan, menimbulkan penyakit yang ditularkan memalui makanan dan juga dapat
Bacillus licheniformis adalah salah satu bakteri mesofilik yang telah digunakan dalam
berbagai proses bioteknologi. Pati merupakan salah satu sumber karbohidrat dengan
kelimpahan terbesar di dunia. Genom dari B. licheniformis telah berhasil di-sekuens, dan
terdapat banyak sekali gen pengkode enzim pengurai karbohidrat dalam genom B.
licheniformis yang potensial yang dapat diaplikasikan di industri. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pola ekspresi serta keanekaragaman dari karbohidrase ekstraseluler
dari bakteri ini pada dua medium dengan sumber nitrogen yang berbeda, yaitu pepton dan
petis udang. Pola ekspresi dipelajari dengan melihat aktivitas aamilase ekstraseluler,
dilakukan juga pengukuran konsentrasi protein serta analisis menggunakan SDS-PAGE
terhadap sampel kultur umur 2, 4, 24, 48, 72, 96, dan 120 jam.
Bakteri langsung memasuki fase log, kemudian stasioner setelah 6 jam. Aktivitas
amilase paling tinggi pada kultur yang menggunakan pepton sebagai sumber nitrogen terukur
sebesar 126,88 unit/ml pada umur kultur 72 jam. Pada kultur yang menggunakan petis udang
sebagai sumber nitrogen, aktivitas tertinggi dicapai pada umur 120 jam sebesar 2145 unit/ml.
Dari hasil pengukuran terhadap suhu dan pH optimum, diketahui bahwa enzim a-amilase dari
B. licheniformis HK1 memiliki aktivitas optimum pada suhu 60C dan pH antara 6-6,5. Hasil
pengukuran konsentrasi protein menunjukkan bahwa konsentrasi protein pada sampel kultur
yang menggunakan sumber nitrogen pepton terus mengalami peningkatan, dengan
konsentrasi protein tertinggi pada umur kultur 120 jam sebesar 82,2 g/ml, sedangkan
konsentrasi protein tertinggi untuk medium dengan petis udang adalah sebesar 60,4 g/ml
pada umur kultur 24 jam. Elektroferogram menunjukkan 22 jenis protein dengan berat
molekul yang berbeda. Berat molekul ini kemudian dibandingkan dengan berat molekul yang
diperoleh dari basil perhitungan sekuens asam amino enzim karbohidrase.
B. licheniformis HK1 diperkirakan menghasilkan glukoamilase, siklomaltodekstrin
glukanotransferase, pullulanase, dan arabinase pada kultur yang menggunakan pepton, aamilase maltogenik, kitinase, endoglukanase, levansukrase, invertase, dan pektin liase pada
kultur yang menggunakan sumber nitrogen petis udang. Sedangkan a-amilase, xilanase,
lichenase, galaktanase, dan (3-mannanase dihasilkan pada kedua medium. Secara umum
terjadi peningkatan konsentrasi terhadap waktu untuk karbohidrase ekstraseluler pada kultur
yang menggunakan pepton sebagai sumber nitrogen, sedangkan pada kultur yang
menggunakan sumber nitrogen petis udang terlihat perubahan konsentrasi karbohidrase
ekstraseluler yang lebih beragam. Aktivitas aamilase pada kultur yang menggunakan petis
udang sebagai sumber nitrogen, lebih tinggi dibandingkan kultur yang menggunakan sumber
nitrogen pepton. Enzim karbohidrase B. licheniformis sangat potensial untuk dipelajari lebih
lanjut terutama untuk kepentingan modifikasi gen yang mengkode karbohidrase.
Microbial Enhanced Oil Recovery (MEOR) merupakan suatu metode untuk
meningkatkan perolehan minyak bumi dengan menggunakan aktivitas bakteri
hidrokarbonoklastik. Bakteri tersebut bekerja pada minyak bumi dan batuan dalam formasi
reservoir, kemudian dihasilkan beberapa produk seperti gas, asam-asam organik, biopolimer
dan biosurfaktan. Produk-produk tersebut digunakan untuk merangsang pelepasan minyak
dari batuan reservoir dengan cara mengubah porositas batuan penyusun reservoir,
menurunkan tegangan antarmuka dan viskositas minyak bumi. Penelitian ini dilakukan untuk
mengisolasi bakteri dari reservoir minyak bumi dan air formasi, dan menguji karakteristik
bakteri tersebut yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam MEOR.
Isolasi bakteri hidrokarbonoklastik ini menggunakan medium SMSSe yaitu Stone
Mineral Salt Solution yang diperkaya dengan ekstrak ragi dan ditambah 5% minyak bumi
pada suhu 50, 60, 70, 80 dan 90C serta pengocokan 120 rpm. Hasil isolasi tersebut
mendapatkan 10 isolat bakteri yang toleran pada suhu di atas 50C. Setelah melalui adaptasi
pada medium recovery, diperoleh 6 isolat bakteri yang terdiri dari Flavimonas oryzihabitans,
Amphibacillus xylanus, Bacillus polymyxa, Bacillus macerans, Bacillus stearothermophillus
dan Clostridium butyricum.
Kemampuan bakteri dalam mengubah sifat fisika-kimia minyak bumi dilakukan
dengan menggunakan uji densitas, tegangan antarmuka, viskositas, pengembangan volume
minyak (Oil Swelling) dan GCMC (Gas Chromatograph-Mass Spectrophotometry) sebagai
kultur tunggal. Persentase degradasi rantai hidrokarbon yang berbeda untuk setiap bakteri
teramati pada data yang diperoleh dari metode GCMS, yaitu bakteri Flavimonas
oryzihabitans (3-25%), bakteri Amphibacillus xylanus (2-28%), bakteri Bacillus
polymyxa (3-35%), bakteri Bacillus macerans (0,3-24%), bakteri Bacillus
stearothermophillus (0,4-36%) dan bakteri Clostridium butyricum (5-43%). Penurunan
tegangan antarmuka yang tertinggi terjadi pada bakteri Flavimonas
oryzihabitans danAmphibacillus xylanus, masing-masing sebesar 16%, Penurunan viskositas
tertinggi terjadi pada bakteri Clostridium butyricum, yaitu sebesar 12,77%. Pengembangan
volume minyak tertinggi terjadi pada bakteri Bacillus polymyxa, yaitu sebesar 6%. Bakteribakteri lainnya mengalami penurunan hanya berkisar 12-16% untuk tegangan antarmuka,
3,55-12,77% untuk viskositas dan 1,5-6% untuk pengembangan volume minyak. Berdasarkan
hasil yang diperoleh, bakteri hasil isolasi tersebut memiliki potensi untuk digunakan dalam
MEOR.
Penelitian tentang isolasi dan karakterisasi bakteri hidrokarbonoklastik dari salah satu
sumur minyak di Cirebon, Jatibarang telah dilakukan. Sampel minyak bumi diperoleh dari
sumur minyak bumi Jatibarang JTB-140 di Cirebon. Media yang digunakan untuk
mengisolasi bakteri dari sampel minyak bumi ialah Stone Mineral Salt Solution (SMSS).
Suhu inkubasi yang digunakan dalam isolasi bertahap adalah 45C. Dua belas isolat bakteri
diperoleh dari hasil isolasi bertahap, tetapi hanya lima isolat bakteri yang dipilih untuk
penelitian lebih lanjut berdasarkan hasil shining suhu. Hasil isolasi bakteri diuji kemampuan
hidupnya pada suhu 45C, 50C, 55C, 60C, 70C, 80C, dan 90C.
Jumlah isolat yang mampu hidup pada suhu reservoar (90C) ada dua isolat,
yaituBacillus circulans dan Bacillus stearothermophillus. Hasil identifikasi menunjukkan
kelima isolat bakteri tersebut ialah Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas diminuta,
Pseudomonas putida, Bacillus circulans, dan Bacillus stearothermophillus. Selanjutnya
kelima isolat bakteri masing-ma sing diuji kemampuan degradasinya terhadap minyak
bumi. Karakterisasi hasil degradasi minyak bumi oleh kelima isolat tersebut dilakukan
dengan metode GC. Pada kromatogram terlihat bahwa semua isolat bakteri yang diperoleh
dari isolasi bertahap mampu mendegradasi minyak bumi.
dilakukan dengan menggunakan mikroba lokal. Pada umumnya, di daerah yang tercemar
jumlah mikroba yang ada tidak mencukupi untuk terjadinya bioproses secara alamiah.
Dalam teknologi bioremediasi dikenal dua cara menstimulasi pertumbuhan mikroba, yaitu
dengan biostimulasi dan bioaugmentasi. Biostimulasi dalah memperbanyak dan
mempercepat pertumbuhan mikroba yang sudah ada di dalam tanah tercemar dengan cara
memberikan lingkungan pertumbuhan yang diperlukan, yaitu penambahan nutrient (misalnya
sumber Nitrogen dan Phospor) dan oksigen. Jika jumlah mikroba yang ada sangat sedikit,
maka harus ditambahkan mikroba untuk mencapai jumlah mikroba rata-rata 103 cfu/gram*
tanah sehingga bioproses dapat dimulai. Mikroba yang ditambahkan adalah mikroba yang
sebelumnya diisolasi dari lahan tercemar kemudian setelah melalui proses penyesuaian di
laboratorium diperbanyak dan kembalikan ke tempat asalnya untuk memulai bioproses.
Penambahan mikroba dengan cara ini disebut sebagai bioaugmentasi. Kondisi lingkungan
yang memadai akan membantu mikroba tumbuh, berkembang dan memakan polutan
tersebut (atau memanfaatkan Carbon dari polutans sebagai sumber energi untuk
pertumbuhan). Sebaliknya jika kondisi yang dibutuhkan tidak terpenuhi, mikroba akan
tumbuh dengan lambat atau mati. Secara umum kondisi yang diperlukan ini tidak dapat
ditemukan di area yang tercemar.
Dengan demikian, perencanaan teknis (engineering design) yang benar memegang peranan
penting untuk mendapatkan proses bioremediasi yang efektif. Dalam aplikasi teknik
bioremediasi dikenal dua teknik yang sangat umum diterapkan yaitu biopile dan landfarming.
Pada teknik biopile, tanah tercemar ditimbun diatas lapisan kedap air dan suplai udara yang
diperlukan oleh mikroba dilakukan dengan memasang perpipaan untuk aerasi (pemberian
udara) dibawah tumpukan tanah tercemar. Pompa udara dipasang diujung perpipaan sehingga
semua bagian tanah yang mengandung mikroba dan polutan berkontak dengan udara. Dengan
teknik ini, ketinggian tanah timbunan adalah 1 sampai 1,5 meter. Teknik landfarming
dilakukan dengan menghamparkan tanah tercemar diatas lapisan kedap air. Ketebalan
hamparan tanah 30 50 cm memungkinkan kontak mikroba dengan udara. Untuk menjamin
bahwa semua bagian dari tanah yang diolah terkontak dengan udara maka secara berkala
hamparan tanah tersebut di balikkan. Nama landfarming digunakan karena proses pembalikan
tanah yang dilakukan sama dengan pembalikan tanah pada saat persiapan lahan untuk
pertanian. Dalam melakukan bioremediasi, diperlukan biodegradasi senyawa hidrokarbon
secara berkelanjutan dan terkontrol baik. Bioremediasi senyawa hidrokarbon dapat dilakukan
dengan cara penambahan nutrient (biostimulasi) atau dengan penambahan mikroorganisme
pendegradasi hidrokarbon secara langsung. Dalam hal ini, bakteri adalah mikroorganisme
yang tepat dan umum digunakan dalam bioremediasi hidrokarbon.Bakteri dapat
mendegradasi senyawa hidrokarbon dan menggunakan senyawa tersebut sebagai sumber
karbon untuk pertumbuhan.
Pelaksanan bioremediasi dengan menggunakan bakteri pada dasarnya menmbutuhkan kerja
sama lebih dari satu spesies bakteri. Hal tersebut karena senawa hidrokarbon seperti minyak
bumi terbentuk dari bayak gugus yang berbeda dan bakteri hanya dapat menggunakan
hidrokarbon pada kisaran tertentu.Oleh karena itu, dalam memanfaatkan bakteri,
diperlukannya suatu identifikasi yang tepat untuk menyesuaikan dengan kemampuannya
dalam mendegradasi hidrokarbon. Beberapa bakteri yang memanfaatkan hidrokarbon sebagai
senyawa pertumbuhan serta secara tidak langsung berperan dalam bioremediasi adalah :
1. Pseudomonas sp.
Pseudomonas sp. merupakan salah satu bakteri yang memanfaatan bakteri menjadi
biosurfaktan. Dengan demikian, jenis bakteri ini dapat di,amanfaatkan dengan baik dalam
melakukan bioremediasi dengan hidrokarbon. Tetapi terdapat beberapa faktor, salah satu
faktor tersebut adalah kelarutannya yang rendah, sehingga sulit mencapai sel bakteri.Dalam
produksi biosurfaktan, berkaitan dengan keberadaan enzim regulatori yang berperan dalam
sintesis biosurfaktan. Ada dua macam biosurfaktan yang dihasilkan bakteri Pseudomonas :
1.
Surfaktan dengan berat molekul rendah (seperti glikolipid, soforolipid, trehalosalipid,
asam lemak dan fosfolipid) yang terdiri dari molekul hidrofobik dan hidrofilik. Kelompok ini
bersifat aktif permukaan, ditandai dengan adanya penurunan tegangan permukaan medium
cair.
2.
Polimer dengan berat molekul besar, yang dikenal dengan bioemulsifier polisakarida
amfifatik. Dalam medium cair, bioemulsifier ini mempengaruhi pembentukan emulsi serta
kestabilannya dan tidak selalu menunjukkan penurunan tegangan permukaan medium.
Biosurfaktan merupakan komponen mikroorganisme yang terdiri atas molekul hidrofobik dan
hidrofilik, yang mampu mengikat molekul hidrokarbon tidak larut air dan mampu
menurunkan tegangan permukaan.Selain itu biosurfaktan secara ekstraseluler menyebabkan
emulsifikasi hidrokarbon sehingga mudah untuk didegradasi oleh bakteri.Biosurfaktan
meningkatkan ketersediaan substrat yang tidak larut melalui beberapa mekanisme. Dengan
adanya biosurfaktan, substrat yang berupa cairan akan teremulsi dibentuk menjadi miselmisel, dan menyebarkannya ke permukaan sel bakteri. Substrat yang padat dipecah oleh
biosurfaktan, sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel (Pelezar, 1986).
Pelepasan biosurfaktan ini tergantung dari substrat hidrokarbon yang ada.Ada substrat (misal
seperti pada pelumas) yang menyebabkan biosurfaktan hanya melekat pada permukaan
membran sel, namun tidak diekskresikan ke dalam medium.Namun, ada beberapa substrat
hidrokarbon (misal heksadekan) yang menyebabkan biosurfaktan juga dilepaskan ke dalam
medium.Hal ini terjadi karena heksadekan menyebabkan sel bakteri lebih bersifat
hidrofobik.Oleh karena itu, senyawa hidrokarbon pada komponen permukaan sel yang
hidrofobik itu dapat menyebabkan sel tersebut kehilangan integritas struktural selnya
sehingga melepaskan biosurfaktan untuk membran sel itu sendiri dan juga melepaskannya ke
dalam medium.
2. Bakteri Nictobacter
Bakteri ini merupakan bakteri probioaktif yang mampu bekerja menguraikan bahan
organik protein,karbohidrat,dan lemak secara biologis. Bermanfaat dalam menguraikan
NH3 dan NO pada sampah,tinja,dan kotoran hewan ternak, dan dapat menekan populasi
bakteri patogen pada penampung tinja yang menyebabkan sumber air tanah akan
terkontaminasi jika air remebesan tinja bercampur dengan sumber air tanah.
3. Bakteri Endogenous
Tidak hanya mengendalikan senyawa amoniak dan nitrit, teknik bioremediasi dengan
menggunakan bakteri endogenus juga bertujuan untuk mengendalikan senyawa H2S yang
banyak menumpuk di sedimen tambak (Dwidjosaputro, 1998).Dengan menggunakan bakteri
fotosintetik dari jenis Rhodobakter untuk menghilangkan senyawa H2S.Hasilnya H2S tidak
terdeteksi sama sekali di tambak,Untuk mengatasinya dia menggunakan bakteri dari jenis
Bacillus. Karena bakteri Bacillus yang di gunakan merupakan bakteri endogenous, maka
efektivitasnya lebih baik jika dibandingkan dengan produk bioremediasi dengan
menggunakan bakteri dari luar Indonesia,
4. Bakteri Nitrifikasi
Nitirifikasi untuk menjaga keseimbangan senyawa nitrogen anorganik (amonia, nitrit
dan nitrat) di sistem tambak. Pendekatan bioremediasi ini diharapkan dapat menyeimbangkan
kelebihan residu senyawa nitrogen yang berasal dari pakan, dilepaskan bempa
gas N2 1 N20ke atmosfir. Peran bakteri nitrifikasi adalah mengoksidasi amonia menjadi nitrit
atau nitrat, sedangkan bakteri denitrifikasi akan mereduksi nitrat atau nitrit menjadi
dinitrogen oksida (N20)atau gas nitrogen (Nz).
Sitokrom P-450 pada jamur ini memiliki kemiripan dengan sistem yang dimiliki mamalia.
Adapun langkah-langkahnya yaitu pembentukan monofenol, difenol, dihidrodiol dan quinon
dan terbentuk gugus tambahan yang larut air (misalnya sulfat, glukuronida, ksilosida,
glukosida).Senyawa ini merupakan hasil detoksikasi pada jamur dan mamalia.
Secara umum terdapat tiga cara transpor hidrokarbon ke dalam sel bakteri yaitu sebagai
berikut :
a)
Interaksi sel dengan hidrokarbon yang terlarut dalam fase air. Pada kasus ini, umumnya
rata-rata kelarutan hidrokarbon oleh proses fisika sangat rendah sehingga tidak dapat
mendukung.
b)
Kontak langsung (perlekatan) sel dengan permukaan tetesan hidrokarbon yang lebih
besar daripada sel mikroba. Pada kasus yang kedua ini, perlekatan dapat terjadi karena sel
bakteri bersifat hidrofobik. Sel mikroba melekat pada permukaan tetesan hidrokarbon yang
lebih besar daripada sel dan pengambilan substrat dilakukan dengan difusi atau transpor aktif.
Perlekatan ini terjadi karena adanya biosurfaktan pada membran sel bakteri Pseudomonas.
c)
Interaksi sel dengan tetesan hidrokarbon yang telah teremulsi atau tersolubilisasi oleh
bakteri. Pada kasus ini sel mikroba berinteraksi dengan partikel hidrokarbon yang lebih kecil
daripada sel. Hidrokarbon dapat teremulsi dan tersolubilisasi dengan adanya biosurfaktan
yang dilepaskan oleh bakteri Pseudomonas ke dalam medium (Waluyo, 2005).
Jadi apakah bioremediasi aman untuk digunakan? Bioremediasi sangat aman untuk
digunakan karena menggunakan mikroba yang secara alamiah sudah ada dilingkungan
(tanah). Mikroba ini adalah mikroba yang tidak berbahaya bagi lingkungan atau masyarakat.
Bioremediasi juga dikatakan aman karena tidak menggunakan/ menambahkan bahan kimia
dalam prosesnya. Nutrien yang digunakan untuk membantu pertumbuhan mikroba adalah
pupuk yang digunakan dalam kegiatan pertanian dan perkebunan. Karena bioremediasi
mengubah bahan kimia berbahaya menjadi air (H2O) dan gas tidak berbahaya (CO2), maka
senyawa berbahaya dihilangkan seluruhnya. Teknologi bioremediasi banyak digunakan pada
pencemaran di tanah karena beberapa keuntungan menggunakan proses alamiah / bioproses.
Tanah atau air tanah yang tercemar dapat dipulihkan ditempat tanpa harus mengganggu
aktifitas setempat karena tidak dilakukan proses pengangkatan polutan. Teknik ini disebut
sebagai pengolahan in-situ. Teknik bioremediasi yang diterapkan di Indonesia adalah teknik
ex-situ yaitu proses pengolahan dilakukan ditempat yang direncanakan dan tanah tercemar /
polutan diangkat ke tempat pengolahan. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
pengolahan tergantung pada faktor jenis dan jumlah senyawa polutan yang akan diolah,
ukuran dan kedalaman area yang tercemar, jenis tanah dan kondisi setempat dan teknik yang
digunakan. Jenis minyak mentah ringan (light crude sesuai nomor API ) yang diolah dengan
teknik biopile bioaugmetnasi dan konsentrasi pengolahan sesuai dengan yang ditetapkan oleh
Kepmen LH 128/2003 yaitu max 15% memerlukan waktu 4 6 bulan. Sedangkan minyak
mentah berat (heavy crude) akan memerlukan waktu dari 1 tahun atau lebih. Kondisi ini
bervariasi dari satu area tercemar dengan area lainnya, sehingga waktu yang diperlukan
dalam rentang 4 bulan sampai 1 tahun. Kondisi akhir (end point) untuk menyatakan bahwa
proses bioremediasi berhasil dan selesai adalah konsentrasi total hidrokarbon minyak bumi
(TPH) 1%. Kepmen LH 128/2003 untuk saat ini baru menggunakan parameter TPH saja
karena kegiatan yang menerapkan teknologi bioremediasi masih terbatas pada industri migas.
Kelebihan teknologi bioremediasi ditinjau dari aspek komersil adalah relatif lebih ramah
lingkungan, biaya penanganan yang relatif lebih murah dan bersifat fleksibel. Teknik
pengolahan limbah jenis B3 dengan bioremediasi umumnya menggunakan mikroorganisme
(khamir, fungi, dan bakteri) sebagai agen bioremediator. Pendekatan umum yang dilakukan
untuk meningkatkan kecepatan biotransformasi ataupun biodegradasi adalah dengan cara:
1. Seeding, atau mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (bioremediasi
Referensi
http://biologiembasoke.blogspot.co.id/2015/04/bakteri-pendegradasi-minyak.html
https://www.academia.edu/8413838/BIOREMEDIASI_TUMPAHAN_MINYAK_Tugas_Mata_Kuli
ah_Kimia_Dalam_Kehidupan