Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi yang berasal dari faktor ibu adalah penyulit kehamilan seperti ruptur uteri dan diabetes melitus. Perdarahan masih merupakan trias penyebab kematian maternal tertinggi, di samping preeklampsi/eklampsi dan infeksi. Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan pembekuan darah. Batasan perdarahan pada kehamilan lanjut berarti perdarahan pada kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan, sedangkan perdarahan pada persalinan adalah perdarahan intrapartum sebelum kelahiran. Sebuah kajian deskriptif tentang profil kematian janin dalam rahim di RS Hasan Sadikin, Bandung periode 2000-2002 mendapatkan 168 kasus kematian janin dalam rahim dari 2974 persalinan. Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi oleh karena faktor ibu yaitu ibu dengan penyulit kehamilan ruptur uteri dan penyulit medis diabetes melitus. Maka sebab itulah dibuat referat ini untuk membahas lebih lanjut mengenai ruptur uteri, faktor resikonya, etiologinya, bagaimana mendiagnosisnya serta penatalaksanaannya.

TINJAUAN PUSTAKA
1

DEFINISI Ruptur Uteri adalah robekan pada rahim sehingga rongga uterus dan rongga peritoneum dapat berhubungan.Yang dimaksud dengan ruptur uteri komplit adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum.Peritoneum viserale dan kantong ketuban keduanya ikut ruptur dengan demikian janin sebagia atau seluruh tubuhnya telah keluar oleh kontraksi terakhir rahim dan berada dalam kavum peritonei atau rongga abdomen. Pada ruptur uteri inkomplit hubungan kedua rongga tersebut masih dibatasi oleh peritoneum viserale. Pada keadaan yang demikian janin belum masuk ke dalam rongga peritoneum. Apabila pada ruptur uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut robek, hal tersebut dinamakan ruptur uteri komplet. Pada dehisens (regangan) dari parut bekas bedah sesar kantong ketuban juga belum robek, tetapi jika kantong ketuban ikut robek maka disebut telah terjadi ruputura uteri pada parut. Dehisens bisa berubah jadi ruputura pada waktu partus atau akibat manipulasi pada rahim yang berparut, biasanya bekas bedah sesar yang lalu.Dehisens terjadi perlahan, sedangkan ruptur uteri terjadi secara dramatis.Pada dehisens perdarahan minimal atau tidak berdarah, sedangkan pada ruptur uteri perdarahannya banyak yang berasal dari pinggir parut atau robekan baru yang meluas. EPIDEMIOLOGI Terjadinya ruptur uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin masih merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwa dan janinnya. Kematian ibu dan anak akibat ruptur uteri masih tinggi. Sebuah kajian deskriptif tentang profil kematian janin dalam rahim di RS Hasan Sadikin, Bandung periode 2000-2002 mendapatkan 168 kasus kematian janin dalam rahim dari 2974 persalinan.Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi oleh karena faktor ibu yaitu ibu dengan penyulit kehamilan ruptur uteri dan penyulit medis diabetes melitus. Lebih lanjut, dilakukan pula evaluasi kasus ruptur uteri di RS Hasan Sadikin dan 3 rumah sakit jejaringnya pada periode 1999-2003. Hasilnya, insiden kasus ruptur uteri di RS Hasan Sadikin 0,09% (1 : 1074). Insiden di rumah sakit jejaring sedikit lebih tinggi yaitu 0,1% (1:996). Di RSHS, tidak didapatkan kematian ibu, sedangkan di 3 rumah sakit jejaring didapatkan sebesar 0,4%. Sebaliknya, kematian perinatal di 2

RSHS mencapai 90% sedangkan di rumah sakit jejaring 100%. Maka dari itu dapat disimpulkan, kasus ruptur uteri memberi dampak yang negatif baik pada kematian ibu maupun bayi. Ruptur uteri dapat terjadi secara komplet dimana robekan terjadi pada semua lapisan miometrium termasuk peritoneum dan dalam hal ini umumnya janin sudah berada dalam cavum abdomen dalam keadaan mati, dan ruptur inkomplet , robekan rahim secara parsial dan peritoneum masih utuh. Angka kejadian sekitar 0.5% Ruptur uteri dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma dan dapat terjadi pada uterus yang utuh atau yang sudah mengalami cacat rahim (pasca miomektomi atau pasca sectio caesar) serta dapat terjadi dalam pada ibu yang sedang inpartu (awal persalinan) atau belum inpartu (akhir kehamilan). Kejadian ruptur uteri yang berhubungan dengan cacat rahim adalah sekitar 40%, ruptur uteri yang berkaitan dengan low segmen caesarean section (insisi tranversal) adalah kurang dari 1% dan pada classical caesarean section (insisi longitudinal) kira kira 4% 7%. KLASIFIKASI 1. Menurut sebabnya : a. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil i. pembedahan pada miometrium : seksio sesarea atau histerektomi, histerorafia, miomektomi yang sampai menembus seluruh ketebalan otot uterus, reseksi pada kornua uterus atau bagian interstisial, metroplasti. ii. Trauma uterus koinsidensial : instrumentasi sendok kuret atau sonde pada penanganann abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau peluru, ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya (silent rupture in previous pregnancy). iii. Kelainan bawaan : kehamilan dalam bagian rahim (born) yang tidak berkembang b. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan i. sebelum kelahiran anak: his spontan yang kuat dan terus menerus, pemakaian oksitosin atau prostaglandin untuk merangsang persalinan, trauma luar tumpul atau tajam, versi

luar, pembesaran rahim yang berlebihan misalnya hidramnion atau kehamilan ganda. ii. Dalam periode intrapartum : versi-ekstraksi, ekstraksi cunam yang sukar, ekstraksi bokong, anomali janin yang menyebabkan distensi berlebihan pada segmen bawah rahim, tekanan kuat pada uterus dalam persalinan, kesulitan dalam melakukan manual plasenta. iii. Cacat rahim yang didapat : plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia trofoblas, gestasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidus inkarserata. 2. Menurut Lokasinya : a. Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami miemektomi b. Segmen bawah rahim (SBR), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya c. Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forseps atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap d. Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina. 3. Menurut etiologinya : a. Ruptur uteri spontanea Ruptur uteri spontanea dapat terjadi akibat dinding rahim yang lemah seperti pada bekas operasi sesar, bekas miomektomi, bekas perforasi tindakan kuret atau bekas tindakan plasenta manual. Ruptur uteri spontan dapat pula terjadi akibat peregangan luar biasa dari rahim seperti pada ibu dengan panggul sempit, janin yang besar, kelainan kongenital dari janin, kelainan letak janin, grandemultipara dengan perut gantung (pendulum) serta pimpinan persalinan yang salah. b. Ruptur uteri violenta Ruptur uteri violenta dapat terjadi akibat tindakan tindakan seperti misalnya Ekstraksi forceps, versi dan ekstraksi, embriotomi, braxton hicks version, manual plasenta, kuretase ataupun trauma tumpul dan tajam dari luar. 4 operasi seperti seksio sesarea klasik (korporal),

ETIOLOGI Ruptur uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang telah diseksio sesarea pada persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus yang demikian dilakukan partus percobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitosin atau sejenisnya. Pasien yang berisiko tinggi antara lain : a. persalinan yang mengalami distosia, grande multipara, penggunaan oksitosin atau prostaglandin untuk mempercepat persalinan b. pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah seksio sesarea atau operasi lain pada rahimnya c. pernah histerorafi d. pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio sesarea, dan sebagainya. Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas seksio sesarea klasik berlaku pepatah Once Sesarean Section always Sesarean Section. Pada keadaan tertentu seperti ini dapat dipilih elective cesarean section (ulangan) untuk mencegah ruputura uteri dengan syarat janin sudah matang.

Gambar 1. Klasik dan low transverse insisi pada bedah sesar (sumber : www.healthyrecipesdiary.org)

PATOFISIOLOGI

Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian, dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik keatas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab (misalnya : panggul sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang bertambah mengecil pada waktu ada his harus diimbangi perluasan segmen bawa rahim ke atas. Dengan demikian lingkaran retraksi fisiologis semakin meninggi kearah pusat melewati batas fisiologis menjadi patologis yang disebut lingkaran bandl (ring van bandl). Ini terjadi karena rahim tertarik terus menerus kearah proksimal tetapi tertahan dibagian distalnya oleh serviks yang dipegang ditempatnya oleh ligamentum ligamentum pada sisi belakang (ligamentum sakrouterina), pada sisi kanan dan kiri (ligamentum cardinal) dan pada sisi dasar kandung kemih (ligamentum vesikouterina). Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin tidak kunjung turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin tinggi dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menjadi sangat tipis. Ini menandakan telah terjadi rupture uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada saat dinding segmen bawah rahim robek spontan dan his berikutnya datang, terjadilah perdarahan yang banyak (rupture uteri spontanea). Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama pada parut pada bekas seksio sesarea klasik dibandingkan pada parut bekas seksio sesarea profunda. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang tenang pada saat nifas memiliki kemampuan sembuh lebih cepat sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai sedangkan pada bekas seksio profunda lebih sering terjadi saat persalinan. Ruptur uteri biasanya terjadi lambat laun pada jaringanjaringan di sekitar luka yang menipis kemudian terpisah sama sekali. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terjadi rupture uteri inkompleta. Pada peristiwa ini perdarahan banyak berkumpul di ligamentum latum dan sebagian lainnya keluar. Dalam sudut patofisiologi ruptur uteri dapat ditinjau apakah terjadi dalam masa hamil atau dalam persalinan, apakah terjadi pada rahim yang utuh atau pada rahim 6

yang bercacat, dan sebagainya. Tinjauan ini mungkin berlebihan karena tidak penting dari sudut klinik mungkin ada guna dari aspek lain. Tinjauan tersebut bias mempengaruhi pilihan operasi, apakah akan dilakukan histerektomi atau histerorafia. Dibawah diuraikan tinjauan tersebut menurut beberapa aspek: 1. Aspek anatomik Berdasarkan lapisan dinding rahim yang terkena ruptur uteri dibagi kedalam ruptur uteri komplit dan ruptur uteri inkomplit. Pada ruptur inkomplit ketiga lapisan dinding rahim ikut robek, sedangkan pada yang inkomplit lapisan serosanya atau perimetrium masih utuh. 2. Aspek sebab Berdasarkan pada sebab mengapa terjadi robekan pada rahim, ruptur uteri dibagi ke dalam ruptur uteri spontan, ruptur uteri violent, dan ruptur uteri traumatika. Ruptur uteri spontan terjadi pada rahim yang utuh oleh karena kekuatan his semata, sedangkan ruptur uteri violent disebabkan ada manipulasi tenaga tambahan lain seperti induksi atau stimulasi partus dengan oksitosin atau sejenis, dorongan yang kuat pada fundus dalam persalinan. Ruptur uteri traumatika disebabkan oleh trauma pada abdomen seperti kekerasan dalam rumah tangga dan kecelakaan lalu lintas. 3. Aspek keutuhan rahim Ruptur uteri dapat terjadi pada uterus yang masih utuh , tetapi bias terjadi pada uterus yang bercacat misalnya pada parut bekas bedah sesar atau parut jahitan ruptur uteri yang pernah terjadi sebelumnya(histerorafia) , miomektomi yang dalam sampai ke rongga rahim, metroplasti, rahim yang rapuh akibat telah banyak meregang misalnya pada grandemultipara atau pernah hidramnion atau hamil ganda, uterus yang kurang berkembang kemudian menjadi hamil, dan sebagainya. 4. Aspek waktu Yang dinamakan dengan waktu disini ialah dalam masa hamil atau pada waktu bersalin. Ruptur uteri dapat terjadi dalam masa kehamilan, misalnya karena trauma atau rahim yang bercacat , sering pada bedah sesar klasik. Kebanyakan ruptur uteri terjadi dalam persalinan kala I atau kala II dan pada partus percobaan bekas seksio sesarea, terlebih pada kasus yang hisnya diperkuat dengan oksitosin atau prostaglandin yang sejenis. 5. Aspek sifat

Rahim robek bias tanpa menimbulkan gejala yang jelas(silent) seperti pada ruptur yang terjadi pada parut bedah sesar klasik dalam masa hamil tua. Parut itu merekah sedikit demi sedikit (dehiscence) dan pada akhirnya robek tanpa menimbulkan perdarahan yang banyak dan rasa nyeri yang tegas. Sebaliknya, kebanyakan ruptur uteri terjadi dalam waktu yang sangat cepat dengan tanda-tanda serta gejala-gejala yang jelas (overt) dan akut, misalnya ruptur uteri yang terjadi pada kala I atau kala II akibat dorongan atau pacuan oksitosin. Kantong kehamilan ikut robek dan janin terdorong masuk ke dalam rongga peritoneum, terjadi perdarahan internal yang banyak dan perempuan bersalin tersebut merasa sangat nyeri dan syok. 6. Aspek paritas Ruptur uteri dapat terjadi pada perempuan yang baru pertama kali hamil (nulipara) sehingga sedapat mungkin padanya diusahakan histerorafia apabila lukanya rata dan tidak infeksi. Terhadap ruptur uteri pada multipara umumnya lebih baik dilakukan histerektomi atau jika keadaan umumnya jelek dan luka robekan pada uterus tidak luas dan tidak compang camping, robekan pada uterus dijahit kembali (histerorafia) dilanjutkan tubektomi. 7. Aspek gradasi Kecuali akibat kecelakaan, ruptur uteri tidak mendadak. Peristiwa robekan yang umumnya terjadi pada segmen bawah rahim didahului oleh his ysng kuat tanpa kemajuan dalam persalinan sehingga batas antara korpus dan segmen bawah rahim yaitu lingkaran retraksi yang fisiologik naik bertambah tinggi menjadi lingkaran bandl yang patologik, sementara ibu yang melahirkan itu meras sangat cemas dan ketakutan oleh karena menahan rasa nyeri his yang kuat. Pada saat ini penderita berada pada stadium ruptur uteri imminens (membakat). Apabila keadaan yang demikian berlanjut dan tidak terjadi atonia uteri sekunder, maka pada gilirannya dinding segmen bawah rahim yang sudah sangat tipis itu robek. Peristiwa ini disebut ruptur uteri spontan. TANDA DAN GEJALA KLINIS Tanda dan gejala ruptur uteri: o Nyeri tajam, yang sangat pada abdomen bawah saat kontraksi hebat memuncak. o Penghentian kontraksi uterus disertai hilangnya rasa nyeri o Perdarahan vagina ( dalam jumlah sedikit atau hemoragi ) 8

o Terdapat tanda dan gejala syok, denyut nadi meningkat, tekanan darah menurun dan nafas pendek ( sesak ) o Temuan pada palpasi abdomen tidak sama dengan temuan terdahulu o Bagian presentasi dapat digerakkan diatas rongga panggul o Janin dapat tereposisi atau terelokasi secara dramatis dalam abdomen ibu o Bagian janin lebih mudah dipalpasi o Gerakan janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun menjadi tidak ada gerakan dan DJJ sama sekali atau DJJ masih didengar o Lingkar uterus dan kepadatannya ( kontraksi ) dapat dirasakan disamping janin ( janin seperti berada diluar uterus ). o Kemungkinan terjadi muntah o Nyeri tekan meningkat diseluruh abdomen o Nyeri berat pada suprapubis o Kontraksi uterus hipotonik o Perkembangan persalinan menurun o Perasaan ingin pingsan o Hematuri ( kadang-kadang kencing darah ) o Perdarahan vagina ( kadang-kadang ) o Tanda-tanda syok progresif o Kontraksi dapat berlanjut tanpa menimbulkan efek pada servik atau kontraksi mungkin tidak dirasakan o DJJ mungkin akan hilang DIAGNOSIS 1. Data subyektif Gejala Nyeri Abdomen dapat tiba-tiba, tajam dan seperti disayat pisau. Apabila terjadi ruptur sewaktu persalinan, konstruksi uterus yang intermitten, kuat dapat berhenti dengan tiba-tiba. Pasien mengeluh nyeri uterus yang menetap.

Perdarahan Pervaginam dapat simptomatik karena perdarahan aktif dari pembuluh darah yang robek.Gejala-gejala lainnya meliputi berhentinya persalinan dan syok, yang mana dapat di luar proporsi kehilangan darah eksterna karena perdarahan yang tidak terlihat. Nyeri bahu dapat berkaitan dengan perdarahan intraperitoneum. Riwayat Penyakit Dahulu Ruptur uteri harus selalu diantisipasi bila pasien memberikan suatu riwayat paritas tinggi, pembedahan uterus sebelumnya, seksio sessaria atau miomektomi. 2. Data obyektif a. Pemeriksaan Umum Takikardi dan hipotensi merupakan indikasi dari kehilangan darah akut, biasanya perdarahan eksterna dan perdarahan intra abdomen. b. Pemeriksaan Abdomen o Sewaktu persalinan, kontur uterus yang abnormal atau perubahan kontur uterus yang tiba-tiba dapat menunjukkan adanya ekstrusi janin. Kontraksi uterus dapat berhenti dengan mendadak dan bunyi jantung janin tiba-tiba menghilang. o Sewaktu atau segera melahirkan, abdomen sering sangat lunak, disertai dengan nyeri lepas mengindikasikan adanya perdarahan intraperitoneum. c. Pemeriksaan Pelvis o Menjelang kelahiran, bagian presentasi mengalami regresi dan tidak lagi terpalpasi melalui vagina bila janin telah mengalami ekstrusi ke dalam rongga peritoneum. o Perdarahan pervaginam mungkin hebat. o Ruptur uteri setelah melahirkan dikenali melalui eksplorasi manual segmen uterus bagian bawah dan kavum uteri.Segmen uterus bagian bawah merupakan tempat yang paling lazim dari ruptur. Ruptur uteri iminens mudah dikenal pada ring van Bandl yang semakin tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis dan keadaan ibu yang gelisah takut karena nyeri abdomen atau his kuat yang berkelanjutan disertai tanda-tanda gawat janin. Gambaran 10

klinik ruptur uteri adalah khas sekali. Oleh sebab itu pada umumnya tidak sukar menetapkan diagnosisnya atas dasar tanda-tanda klinik yang telah diuraikan. Untuk menetapkan apakah ruptur uteri itu komplit perlu dilanjutkan dengan periksa dalam. Pada ruptur uteri komplit jari-jari tangan pemeriksa dapat menemukan beberapa hal berikut : 1. jari jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding perut yang licin 2. dapat meraba pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di segmen bawah rahim 3. dapat memegang usus halus atau omentum melalui robekan 4. dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung-ujung jari-jari tangan dalam sehingga ujung jari-jari tangan luar saling mudah meraba ujung jari-jari tangan dalam.

Gambar 2. Ring van Bandl (www.healthyorigin.org)

KOMPLIKASI Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi adalah dua komplikasi yang fatal pada peristiwa ruptur uteri. Syok hipovolemik terjadi bila pasien tidak segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan transfusi darah segar. Darah segar mempunyai kelebihan selain menggantikan darah yang hilang juga mengandung 11

semua unsur atau faktor pembekuan dan karena itu lebih bermanfaat demi mencegah dan memngatasi koagulopati dilusional akibat pemberian cairan kristaloid yang umumnya banyak diperlukan untuk mengatasi atau mencegah gangguan keseimbangan elektrolit antar-kompartemen hipovolemik. Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri telah terjadi sebelum tiba di rumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah. Sayangnya hasil pemeriksaan kultur dan resistensi bakteriologik dari sampel darah pasien baru diperoleh beberapa hari kemudian. Antibiotika spektrum luas dalam dosis tinggi biasanya diberikan untuk mengantisipasi kejadian sepsis. Syok hipovolemik dan sepsis merupakan sebab-sebab utama yang meninggikan angka kematian maternal dalam obstetrik. Meskipun pasien bisa diselamatkan, morbiditas dan kecacatan tetap tinggi. Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus yang belum punya anak hidup meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan mendalam. Jalan keluar bagi kasus ini untuk mendapatkan keturunan tinggal satu pilihan melalui assisted reproductive technology termasuk pemanfaatan surrogate mother yang hanya mungkin dikerjakan pada rumah sakit tertentu dengan biaya tinggi dan dengan keberhasilan yang belum sepenuhnya menjanjikan serta dilema etik. Kematian maternal dan/atau perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupakan komplikasi sosial yang sulit mengatasinya. PENANGANAN Dalam menghadapi masalah ruptur uteri semboyan prevention is better than cure sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelola persalinan di mana pun persalinan itu berlangsung. Pasien risiko tinggi haruslah dirujuk agar persalinannya berlangsung di rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup dan berpengalaman. Bila telah terjadi ruptur uteri tindakan terpilih hanyalah histerektomi dan resusitasi serta antibiotika yang sesuai. Diperlukan infus cairan kristaloid dan transfusi darah yang banyak, tindakan antisyok, serta pemberian antibiotika spektrum luas, dan sebagainya. Tindakantindakan pada ruptur uteri : 12 cairan dalam tubuh dalam menghadapi syok

a. Histerektomi Histerektomi adalah operasi pengangkatan kandungan (rahim dan uterus) pada seorang wanita, sehingga setelah menjalani operasi ini dia tidak bisa lagi hamil dan mempunyai anak. Histerektomi dapat dilakukan melalui irisan pada bagian perut atau melalui vagina. Pilihan ini bergantung pada jenis histerektomi yang akan dilakukan, jenis penyakit yang mendasari, dan berbagai pertimbangan lainnya. Ada beberapa jenis histerektomi yang perlu kita ketahui. Berikut ini adalah penjelasannya : o Histerektomi parsial (subtotal). Pada histerektomi jenis ini, rahim diangkat, tetapi mulut rahim (serviks) tetap dibiarkan. Oleh karena itu, penderita masih dapat terkena kanker mulut rahim sehingga masih perlu pemeriksaan pap smear (pemeriksaan leher rahim) secara rutin. o Histerektomi total. Pada histerektomi ini, rahim dan mulut rahim diangkat secara keseluruhannya. o Histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral. Histerektomi ini mengangkat uterus, mulut rahim, kedua tuba fallopii, dan kedua ovarium. o Histerektomi radikal. Histerektomi ini mengangkat bagian atas vagina, jaringan, dan kelenjar limfe disekitar kandungan. Operasi ini biasanya dilakukan pada beberapa jenis kanker tertentu untuk bisa menyelamatkan nyawa penderita.

13

Gambar 4. Macam Histerektomi ( www.medscape.com)

b. Histerorafi Histerorafi adalah tindakan operatif dengan mengeksidir luka dan dijahit dengan sebaik-baiknya. Jarang sekali bisa dilakukan histerorafia kecuali bila luka robekan masih bersih dan rapi pasiennya belum punya anak hidup. PENCEGAHAN Resiko absolut terjadinya ruptur uteri dalam kehamilan sangat rendah namun sangat bervariasi tergantung pada kelompok tertentu: 1. Kasus uterus utuh 2. Uterus dengan kelainan kongenital 3. Uterus normal pasca miomektomi 4. Uterus normal dengan riwayat sectio caesar satu kali 5. Uterus normal dengan riwayat sectio lebih dari satu kali Pasien dengan uterus normal dan utuh memiliki resiko mengalami ruptur uteri paling kecil ( 0.013% atau 1 : 7449 kehamilan ) Strategi pencegahan kejadian ruptur uteri langsung adalah dengan memperkecil jumlah pasien dengan resiko, kriteria pasien dengan resiko tinggi ruptur uteri adalah: 1. Persalinan dengan SC lebih dari satu kali 2. Riwayat SC classic ( midline uterine incision ) 3. Riwayat SC dengan jenis low vertical incision 4. LSCS dengan jahitan uterus satu lapis 5. SC dilakukan kurang dari 2 tahun 6. LSCS pada uterus dengan kelainan kongenital 7. Riwayat SC tanpa riwayat persalinan spontan pervaginam 8. Induksi atau akselerasi persalinan pada pasien dengan riwayat SC 9. Riwayat SC dengan janin makrosomia 10. Riwayat miomektomi per laparoskop atau laparotomi Ibu hamil dengan 1 kriteria diatas akan memiliki resiko 200 kali lebih besar dibandingkan ibu hamil umumnya.

14

PROGNOSIS Prognosis bergantung pada apakah ruptur uteri pada uterus yang masih utuh atau pada bekas seksio sesarea atau suatu dehisens. Bila terjadi pada bekas seksio sesarea atau pada dehisens perdarahan yang terjadi minimal sehingga tidak sampai menimbulkan kematian maternal dan kematian perinatal. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kecepatan pasien menerima tindakan bantuan yang tepat dan cekatan. Ruptur uteri spontan dalam persalinan pada rahim yang tadinya masih utuh mengakibatkan robekan yang luas dengan pinggir luka yang tidak rata dan bisa meluas ke lateral dan mengenai cabang-cabang arteri uterina atau ke dalam ligamentum latum atau meluas ke atas atau ke vagina disertai perdarahan yang banyak dengan mortalitas maternal yang tinggi dan kematian yang jauh lebih tinggi.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, Gary et.all, 2005. Obstetri Williams Edisi 21. EGC. Jakarta. 2. Gyamfi C, Juhasz G, Gyamfi P, Blumenfeld Y, Stone JL. Single- versus double-layer uterine incision closure and uterine rupture. J Matern Fetal Neonatal Med. Oct 2006;19(10):639-43. 3. Leveno KJ, Cunningham FG, Norman F. Alexander GJM, Blomm SL, Casey BM. 4. Dashe JS, Shefield JS, Yost NP. In: William Manual of Obstetrics. Edisi 2003. 5. The University of Texas Southwestern Medical Centre at Dallas. 2003 6. Locatelli A, Regalia AL, Ghidini A, et al. Risks of induction of labour in women with a uterine scar from previous low transverse caesarean section. BJOG. Dec 2004;111(12):1394-9.

7.

Norwitz, Errol dan Schorge, John, 2007. At a Glance Obstetri &

Ginekologi Edisi kedua. Penerbit Erlangga. Jakarta. 8. Prawirohardjo, Sarwono, 2011, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta. 9. Prawirohardjo, Sarwono, 2011, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta. 10. Resnik R. High Risk Pregnancy. In: Emedicine journal obstetrics and gynekology. Volume 99. No: 3. Maret 2003.

16

Anda mungkin juga menyukai