Anda di halaman 1dari 10

Pengorbanan Seorang Ibu

Jalannya sudah tertatih-tatih, karena usianya sudah lebih dari 70 tahun, sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo, karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Di samping itu keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah, tetapi ia tetap mempertahankannya, oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya. Selain aib yang harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telahelahirkan seorang bayi haram tanpa bapa. Walaupun demikian ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan di mana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love - Kasih. Siang ia harus bekerja berat di pabrik dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang ia bisa dapatkan. Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan, bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, di samping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya. Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian, karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya, uang untuk daging yang seyogianya ia bisa beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan. Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luaran sangat dingin sekali, karena pada saat itu lagi musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yang telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca diluaran dingin sekali, bahkan dlm keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja. Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya walaupun untuk ini ia harus bekorban, jadi dlm keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja, selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta. Karena perjuangan dan pengorbanannya akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya diluar kota. Di sana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu

yang bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia. Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang, bahkan kehadirannya tidaklah diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak saat itu bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar dari putrinya, karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu. Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin, sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya, karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya. Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima dan diperbolehkan bekerja disana. Di rumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai babu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa ia permohonannya telah dikabulkan. Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Di samping itu sering sekali dibentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dlm kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya. Setelah bekerja bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya dirumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo. Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pension yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya. Pada tahun lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di samping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya. Suhu diluaran telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan salujupun turun dengan lebatnya, jangankan manusia anjingpun pada saat ini tidak mau keluar rumah lagi, karena di luaran sangat

dingin, tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dengan putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus berjam-jam di luaran. Ia harus dua kali ganti bus, karena jarak rumah jompo tempat di mana ia tinggal letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dlm keadaan sakit. Setiba di rumah putrinya dlm keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan ternyata purtinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong di mana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya ? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegor: "Kamu sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang rumah!" "Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena di luaran dingin sekali dan sedang turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!" kata wanita tua itu. "Maaf saya tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!" ucapan putrinya dengan nada kesal. Setelah itu pintu ditutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis. Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih, belas kasihanpun tidak ada. Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya "Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelpon ke kantor polisi, sebab di halte bus di depan ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!" Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya. Seorang Ibu melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan pamrih apapun juga. Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dlm setahun. Seorang Ibu mendoakan dan mengingat anaknya tiap hari bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa dan mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita hanya pada waktu hari Ibu saja "Mother's Day" sedangkan di hari-hari lainnya tidak pernah mengingatnya, boro-boro memberikan hadiah, untuk menelpon saja kita tidak punya waktu. Kita akan bisa lebih membahagiakan Ibu kita apabila kita mau memberikan sedikit waktu kita untuknya, waktu nilainya ada jauh lebih besar daripada bunga maupun hadiah. Renungkanlah: Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu? Kapan kita terakhir mengundang Ibu? Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan-jalan? Dan kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis

dengan ucapan terima kasih kepada Ibu kita? Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita? Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi. When Mother prayed, she found sweet rest, When Mother prayed, her soul was blest; Her heart and mind on Christ were stayed, And God was there when Mother prayed! Our thanks, O God, for mothers Who show, by word and deed, Commitment to Thy will and plan And Thy commandments heed. A thousand men may build a city, but it takes a mother to make a home. No man is poor who has had a godly mother!

PETANG itu, di serambi rumah usang milik keluarga kami di Kuala Terengganu, saya duduk bersila berhadapan dengan adik bongsu, Amid atau nama sebenarnya Syed Mohammad Nazri Syed Bidin. Kenapa kau nak berhenti sekolah? soal saya. Amid menundukkan kepala dan membisu. Saya tidak puas hati. Sekali lagi saya ulang soalan yang sama. Amid tak nak sekolah sebab nak jaga emak. Amid nak jaga emak sampai akhir hayat, jawab Amid dengan lembut, tetapi tegas. Saya tersentak mendengar jawapan Amid. isshhh. betul ke budak ni? Baru darjah enam, masa seronok budak-budak pun masih belum habis, hati saya berkata kata. Cakap betul-betul dengan abang. Kenapa tak nak sekolah? Ada budak jahat kacau ke? pujuk saya lagi. Saya tidak mahu Amid berhenti sekolah kerana tidak tahan dengan gangguan budakbudak nakal. Betul bang, Amid tak tipu. Amid tak nak sekolah sebab nak jaga emak. Nanti kalau Amid belajar pandai-pandai, kena duduk jauh dari mak. Amid tak nak tinggalkan mak, katanya separuh merayu. Melihat kesungguhannya, saya jadi buntu. Nampak gayanya, Amid tidak bergurau. Betul ke ni? soal saya masih tidak percaya. Betul, balas Amid pula tanpa ragu ragu. Suka hati adiklah, kata saya selepas lama termenung. Mendengar jawapan saya, Amid tersenyum lalu meminta izin untuk masuk ke dalam rumah. Saya termenung di serambi. Kata kata Amid itu benar-benar memberi kesan terhadap jiwa saya. Kecil-kecil lagi sudah ada kesedaran mahu berbakti kepada emak. Tetapi, peristiwa itu berlaku 17 tahun dulu. Kini Amid sudah dewasa, umur pun sudah mencecah 29 tahun. Saya tidak lagi ragu-ragu terhadap Amid. Memang betul, Amid tidak mahu bersekolah dulu kerana mahu menjaga emak. Amid tidak bergurau. Amid telah membuktikan kepada saya dan adik beradiknya yang lain, memang dia ikhlas mahu menjaga emak. Memang tidak dapat dinafikan, di antara kami Sembilan beradik, Amidlah anak yang paling taat terhadap emak. Tingkah lakunya, tutor katanya, begitu tertib ketika bersama emak atau orang

yang lebih tua darinya. Seumur hidup, saya dan adik-beradik lain tidak pernah melihat Amid bersikap atau bercakap kasar terhadap emak. Apa saja keputusan atau kehendaknya, Amid akan merujuk kepada emak terlebih dahulu. Emaklah yang akan memutuskan. A kata emak, A jugalah katanya. Hitam kata emak, hitamlah kata Amid. Saya sendiri, termasuk adik beradik lain tidak mampu untuk bersikap seperti Amid. Pernah juga saya mengajak Amid bekerja di Kuala Lumpur mencari rezeki di sana, tetapi dia menolak. Katanya, biarlah dia tinggal bersama emak. Kalau semua pergi, sapa nak jaga emak? Sapa nak uruskan lembu kambing? Kakak? Dia perempuan. Mana larat buat kerja yang berat-berat. Lagipun takkan nak biarkan rumah ni tak ada lelaki? Abang dan kakak pun dah ada keluarga masing-masing. Abang Usop dan Abang Mat pula dah duduk di KL. Jadi, biarlah Amid duduk di kampung aja. Kerja jaga kambing dan lembu pun tak apalah, kata Amid kepada saya. Setiap kali saya mengajak, pasti jawapan Amid sama. Lama-kelamaan saya mengalah. Kami adik-beradik sudah faham perangai Amid. Saya tahu, pasti Amid tidak akan setuju untuk ke Kuala Lumpur. Amid dan emak bagaikan isi dengan kuku. Bagaikan satu nyawa. Tidak boleh berpisah. Dia lebih rela menjadi gembala lembu daripada meninggalkan emak yang sudah tua itu. Bukan itu sahaja, dalam hal-hal makan minum pun, Amid tetap akan mendahulukan emak. Sekiranya dia membawa pulang kuih-muih yang dibeli dari pekan, janganlah sesiapa sentuh, selagi emak tidak menjamah terlebih dulu. Ada kalanya saya perasan, emak menjamah sikit makanan itu, semata-mata untuk menjaga hati Amid. Jika Amid berkenan untuk membeli sesuatu barangan, dia tidak akan terus membelinya. Amid terlebih dulu akan pulang dan meminta izin emak untuk membeli barang tersebut. Sekiranya emak mengizinkan, barulah dia beli barang itu. Jika tidak, dia tidak akan beli, biarpun barangan itu memang dia inginkan. Ketika emak terlantar sakit dan hampir lumpuh, Amidlah yang menjaganya. Kami adik-beradik ketika itu benar-benar mengharapkan Amid sebagai anak lelaki untuk menjaga emak. Maklumlah, kami di Kuala Lumpur. Tetapi Amid memang tidak mengecewakan kami. Cerita emak kepada saya, setiap malam Amid akan tidur berdekatan emak di ruang tamu rumah tempat emak terbaring. Tidak pernah sekalipun dia tidur di biliknya selama emak terlantar. Pantang terdengar emak bergerak Mau terbatuk di tengah malam buta, Amid pasti terjaga. Kenapa mak? Mak nak buang air ke? Lapar? Mak nak minum? Amid akan bertanya pada emak.

Sekiranya emak mahu buang air, Amid akan memapahnya ke bilik air. Jika emak mahu minum, dia akan menyediakan minuman. Kalau emak pening, Amid akan memicit-micit kepala emak sehingga orang tua itu terlena. Jika emak menggigil kesejukan, Amid akan menarik selimut menutupi tubuh emak daripada kedinginan malam. Satu malam, cerita emak kepada saya lagi, ketika sedang berbaring, tiba-tiba dia berasa pening kepala. Lalu emak pun mengadu pada Amid yang sedang berbaring di sebelahnya. Amid bingkas bangun lalu memicit micit kepala emak. Tiba-tiba, emak terasa nak muntah sangat-sangat. Amid yang baru saja bangun untuk mengamhil besen, apabila melihatkan keadaan emak, membatalkan hasratnya ke dapur. Amid segera berteleku dihadapan emak lalu menadah tangannya, meminta emak muntah di telapak tangannya. Berlambak muntah emak di telapak tangan Amid. Tetapi, Amid sedikit pun tidak kisah atau berasa geli-geleman. Apabila mendengar cerita emak, saya sendiri yang menitis air mata. Memang, Amid sanggup berbuat apa sahaja untuk emaknya. Sehingga kini, apabila saya teringatkan peristiwa itu, air mata pasti bergenang. Sebak hati saya apabila emak menceritakan bagaimana Amid melayannya ketika dia sedang terlantar sakit. Pengorbanan Amid terhadap emak memang tidak mampu dilakukan oleh adik-beradik yang lain termasuk saya sendiri. Di samping itu, Amid juga bertanggungjawab memberi makan lembu kambing sebanyak 30 ekor. Semuanya Amid laksanakan tanpa bersungut. Amid menjaga emak sehingga sembuh sepenuhnya.Semenjak berhenti sekolah, sehingga ke usianya hampir mencecah 30-an, rutin hidup Amid tidak pernah berubah. Pagi, Amid akan ke kebun dan selepas solat Zuhur, dia akan pulang untuk makan tengah hari. Sementara menunggu petang menjelang, dia akan tidur sebentar melepaskan lelah. Kemudian, selepas solat Asar, Amid akan keluar semula. Dia akan ke kebun yang jaraknya kirakira dua kilometer dari rumah untuk memastikan lembu kambing yang sudah kekenyangan itu dimasukkan semula ke dalam kandang. Begitulah kehidupan Amid seharian. Biarpun ketika Itu, usianya sudah cukup matang untuk mendirikan rumah tangga, namun dia langsung tidak terfikir ke arah itu. Katanya pada saya, buat masa ini, cukuplah seorang wanita bergelar ibu di dalam hidupnya. Khamis 7 Oktober 2004 AJAL dan maut di tangan Tuhan. Tidak ada sesiapa yang mampu menolak ketentuan Ilahi. Saya sendiri tidak menyangka, hari itu, Amid akan meninggalkan kami buat selamanya. Terlalu cepat rasanya Amid pergi terutama dalam usianya yang masih muda.Amid meninggal dipanah petir.

Ceritanya begini. Pada hari itu, selepas pulang dari kebun menghantar emak ke rumah, Amid menunaikan solat Asar. Selepas selesai, dia akan menunggang motosikal buruknya ke kebun untuk menghalau kambing dan lembu masuk semula ke kandang.Ketika itu, langit sudah gelap. Kilat mula memancar diiringi dentuman guruh. Menurut cerita kakak saya, Mek, Amid berada di kandang sehingga pukul 6.00 petang. Mek nampak Amid menghalau lembu kambingnya sebab rumah Mek dekat saja dengan kandang haiwan itu. Kira-kira pukul 6.15 petang, hujan mula turun dengan lebat. Kakak saya, Mek, Jah bersama adik saya, Nor dan Ana sedang berada di rumah mereka pada waktu itu. Apabila hujan lebat turun dan guruh serta petir sabung-menyabung, mereka sangkakan Amid sudah pulang ke rumah emak.Jadi mereka langsung tidak memikirkan tentang Amid kerana menyangka Amid sudah pulang ke rumah sebelum hujan turun. Tiba-Tiba. prangggggg. tuuuuummmmt! Dentuman serta panahan petir yang teramat kuat itu membuatkan Mek, Jah, Nor dan Ana terperanjat. Panahan petir itu turut membelah beberapa batang pokok pisang yang ditanam di belakang rumah serta merobekkan dinding dan pintu bilik air rumah Mek. Pada masa yang sama, emak yang sedang berada di halaman rumahnya kira-kira dua kilometer dari rumah Mek, turut terperanjat mendengar bunyi dentuman petir itu. Darahnya berderau. Lutut emak tiba-tiba saja jadi lemah. Dirinya terasa seperti di awang-awangan. Tiba-tiba mulut emak terpacul kata kata, Ya Allah. anak aku! Hati emak jadi berdebar-debar. Dia teringatkan Amid yang sedang berada di kebun. Emak tibatiba bimbang terjadi sesuatu yang buruk terhadap Amid. Kira-kira setengah jam berlalu, hujan semakin reda. Pancaran kilat dan guruh juga sudah sayupsayup bunyinya. Tiba-tiba Mek teringatkan Amid. Dia menghubungi emak, tetapi kata emak, Amid masih belum pulang. Mek mula rasa tidak sedap hati. Dia mengajak abang kami, Pok Yee untuk keluar bersama mencari Amid. Mereka berdua menuju ke kandang yang tidak jauh dari rumah mereka itu. Sampai di sana Ya Allah, adik akuuuuuu!!! jerit Mek sebaik sahaja melihat Amid terbaring mengiring di bawah pohon sentul di depan kandang kambingnya.

Mek memangku kepala Amid. Mek Jerit nama Amid beberapa kali, tapi Amid tidak lagi menyahut. Tubuhnya kaku. Cerita Mek kepada saya. ketika itu dia melihat darah mengalir laju keluar dari telinga Amid. Kesan lukanya pula seperti terkena tembakan peluru. Dari waJahnya, sehingga ke paras dada, menjadi hitam kesan terbakar. Amid dibawa ke hospital dengan hantuan seorang jiran dan disahkan sudah meninggal dunia. Ketika menunggu hospital membenarkan kami membawa pulang jenazah Amid, Mek pun bercerita kepada kami bagaimana dia melihat sesuatu yang agak pelik pada mayat Amid ketika dia mula-mula menjumpainya. Cerita Mek, mayat Amid dijumpainya terbaring mengiring menghadap ke arah kiblat dan keduadua tangannya pula dalam keadaan kiam. Lazimnya seseorang yang dipanah petir, tercampak dan keadaan anggota badannya tidak teratur. Tetapi ini tidak, mayat Amid seolah olah dibaringkan dan tangannya dikiamkan ke dada. cerita Mek kepada kami lagi. Pagi Jumaat 8 Oktober 2004 PAGI itu, suasana pilu menyelubungi rumah kami. Mayat Amid terbujur kaku diselimuti kain kapan di ruang tamu. Saya termasuk beberapa orang adik-beradik dan orang kampung, sibuk menguruskan urusan pengebumian Amid. Di sekeliling mayat, kelihatan saudara-mara memenuhi ruang rumah, termasuk orang-orang kampung membacakan surah Yasin. Setelah solat jenazah, mayat Amid dibawa ke perkuburan. Sebaik selesai urusan pengebumian, azan solat Jumaat pun berkumandang. Sehari selepas Amid dikebumikan, saya ke kuburnya untuk membacakan surah Yasin. Saya tiba di tanah perkuburan kira-kira pukul 9.00 pagi. Ketika sedang khusyuk membaca Yasin. tiba tiba saya terdengar suara burung berkicauan di atas pokok-pokok di kuburan itu. Pada mulanya saya tidak hiraukan kicauan burung-burung tersebut. Tetapi lama-kelamaan, saya dengar bunyi kicauan itu semakin kuat dan rancak. Saya pun mendongak, kelihatanlah sekumpulan burung sedang terbang berpusing dan galak berkicau.Mula timbul rasa pelik dalam diri saya sebab sewaktu mula-mula sampai ke tanah perkuburan, langsung tidak nampak kelibat seekor burung pun. Saya menyambung kembali bacaan sehingga tamat. Anehnya, sebaik saya habis membaca surah Yasin, bunyi kicauan burung itu hilang serta-merta. Apabila saya mendongak, saya dapati sekawan burung yang berterbangan tadi juga sudah ghaib entah ke mana. Serentak itu saya terbau saw haruman yang tidak pernah saya rasai sebelum ini. Baunya amat harum. Saya mencaricari dari mana datangnya bau harum itu, mungkin dari orang lain yang berkunjung ke kawasan perkuburan itu, tapi saya tidak menemuinya. Tiada orang lain di kawasan perkuburan itu kecuali saya.

Saya kemudian meninggalkan pusara Amid, sedang di dalam kepala masih terfikir-fikir tentang kejadian pelik sebentar tadi.Apabila pulang ke rumah emak, tambah memeranjatkan, apabila saya terbau haruman yang sama di dalam bilik Amid. Saya masuk ke biliknya dan mendapati bau tersebut datangnya dari sudut bilik tempat Amid sering bersembahyang. Subhaanallah! Itu saja yang mampu saya katakan dalam hati. Bukanlah tujuan saya untuk bercerita tentang kebaikan adik sendiri atau bertujuan untuk berbangga, riak dan sebagainya, tetapi bagi keluarga kami, Amid menjadi contoh seorang anak yang begitu taat kepada ibunya. Dan kisah ini ingin saya kongsikan bersama sebagai satu pengajaran buat kita semua. Setiap kali saya terbaca kisah-kisah sadis dan kejam seperti kejadian anak membunuh ibu, atau anak sanggup menghantar ibu bapa ke rumah jagaan orang-orang tua di akhbar atau majalah, pasti saya akan teringatkan sikap Amid. Biarpun Amid sudah pergi meninggalkan kami hampir bertahun lamanya, namun apabila saya terkenangkannya, saya akan menitiskan air mata. Sedih dan terharu apabila mengenangkan pengorbanan Amid terhadap emak. Namun, dalam sedih, ada terselit di hati saya rasa gembira. Sikap taatnya kepada ibu, dan peristiwa pelik yang berlaku pada Amid ketika kematiannya, membuatkan saya yakin, itu adalah petunjuk dari Tuhan, sebagai balasan buat seorang anak yang telah mengabdikan diri terhadap ibu sehingga ke akhir hayatnya. Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua-dua ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dengan menanggung kelemahan demi kelemahan (dari awal mengandung hingga akhir menyusunya) dan tempoh menceraikan susunya ialah dalam masa dua tahun; (dengan yang demikian) bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua-dua ibu bapamu; dan (ingatlah), kepada Akulah jua tempat kembali (untuk menerima balasan). Surah Luqman ayat 14.

Read more: http://fid.ohmacamitu.com/search/kisah-pengorbanan-ibu/#ixzz1LzoujN5y

Anda mungkin juga menyukai