Anda di halaman 1dari 4

Penderes : Kaum Marjinal yang perlu mendapat perhatian

Saya hanya berharap semoga tulisan ini dibaca oleh mereka yang memiliki akses kewilayah pemerintahan dan dengan hati tulus mau memperjuangkan nasib para penderes, sehingga mereka bisa ikut merasakan manisnya kehidupan, semanis gula kelapa

Kita semua pasti tahu bahkan pernah merasakan manisnya gula kelapa atau lebih sering dinamakan gula merah, gula yang terbuat dari air nira yang berasal dari pohon kelapa. Sebenarnya sepanjang pengetahuan saya, ada jenis lain dari gula merah selain gula kelapa, yaitu gula aren ( yang berasal dari air nira pohon aren, dan mungkin didaerah lain masih ada gula-gula merah lainnya yang berasal dari pohon lain ), tapi pembahasan kita kali ini akan kita fokuskan pada gula merah yang berasal dari pohon kelapa, atau gula kelapa. Gula kelapa banyak kita jumpai di pasar-pasar tradisional, di supermarket, atau di warungwarung yang menjual bahan pokok kebutuhan sehari-hari. Gula kelapa banyak digunakan misalnya untuk pemanis masakan dan jajanan, bahkan dimakan begitu saja juga sedap dan manis rasanya apalagi kalau menjadi teman makan singkong rebus, atau kelapa muda, atau nasi ketan, Wah tambah nikmat rasanya. Dalam skala industri, gula kelapa adalah bahan baku untuk membuat kecap manis. Jadi jika Anda sedang makan mie instant goreng, maka salah satu bumbunya kecap berbahan dasar gula merah selain kedelai. Bahkan kecapnya sendiri dijual dalam berbagai rasa dan merek. Puluhan merek kecap ternama dan ratusan merek lokal lainnya terpajang di setiap toko, supermarket dan warung-warung yang semuanya berbahan dasar gula kelapa atau gula merah. Gula kelapa juga dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional baik industri jamu yang berskala nasional maupun lokal. Bahkan konon, gula kelapa sendiri adalah obat turun panas yang cukup handal, obat keracunan makanan, dan berbagai macam kegunaan lainnya. Dari sejumlah manfaat dan rasanya yang nikmat itu, tahukan Anda darimana gula kelapa berasal? Ya, sesuai dengan namanya, gula kelapa pasti dibuat dari dari salah satu bagian dari pohon kelapa yang disebut dengan air nira. Air nira ini berasal dari bunga pohon kelapa (manggar) yang diiris ujungnya sehingga mengeluarkan cairan yang rasanya manis dan ditampung dalam wadah-wadah khusus. Satu buah pohon kelapa biasanya terdapat 2 sampai 4 irisan yang dalam jangka waktu tertentu irisan tersebut harus berpindah ke bunga yang lain. O ya, jangan Anda bayangkan bahwa air nira yang keluar bagaikan pancuran yang mengucur deras dan segera memenuhi wadah. Air nira akan keluar setetes demi setetes sehingga dalam waktu setengah hari memperoleh liter air nira dalam 1 wadahpun sudah termasuk bagus. Dalam satu hari biasanya dua kali panen. Jadi misalnya pagi hari meletakan wadah, maka sore hari wadah-wadah tersebut diambil sembari meletakan lagi wadah lainnya untuk diambil pagi hari berikutnya, demikian seterusnya. Nah, orang yang berusaha dalam industri gula kelapa paling hulu inilah yang disebut dengan penderes. Penderes kadang kala juga sekaligus mejadi petani apabila hasil deresannya langsung diolah sendiri menjadi gula kelapa. Tetapi lebih sering terjadi, kalau penderes ini hanyalah orang upahan dari pemilik kebun kelapa yang sekaligus menjadi petani, atau paling banter penderes ini menyewa 10 atau 20 pohon kelapa kepada pemilik kebun, dimana harga sewanya biasanya dihitung

dengan sejumlah tertentu gula kelapa. (Kalau di kampung saya, harga sewa 1 batang pohon kelapa dinilai dengan 1 kg gula kelapa untuk jangka waktu 1 bulan). Saudara, sudah banyak sekali artikel atau berita di koran-koran yang mengulas tentang nasib petani gula kelapa yang begitu mengenaskan. Misalnya seperti harga yang sudah disetel naik/turun sesuai dengan selera pemilik modal yang lebih besar adalah hal biasa, pokoknya si petani kejatuhan sialnya saja. Atau petani gula kelapa yang terperangkap sistim ijon dari para tengkulak, atau cuaca yang tidak ramah sehingga penghasilan petani tidak menentu, atau air tanah yang jauh menyusut akibat penggundulan hutan sehingga nira yang keluar semakin sedikit, adalah berita-berita yang sudah kerap kita dengar atau baca. Kali ini saya akan membahas tentang satu dari sekian banyak kaum marjinal di negeri kita yang nasibnya belum terjamah oleh uluran tangan pemeritah pusat maupun daerah, yaitu penderes. Saya hanya berharap, semoga tulisan ini dibaca oleh mereka yang memiliki akses kewilayah pemerintahan dan dengan hati tulus mau memperjuangkan nasib para penderes, sehingga mereka dapat ikut merasakan manisnya kehidupan, semanis gula kelapa. Sebelum saya masuk ke inti tulisan ini, ada baiknya saya ceritakan terlebih dulu tentang profesi penderes sehingga Anda memiliki gambaran yang cukup lengkap tentang salah satu kaum yang dimarjinalkan dinegeri ini. Penderes, seperti yang telah saya kemukakan didepan, adalah profesi dari lingkaran industri gula kelapa yang paling hulu, jadi pekerjaannya adalah menyadap air nira. Untuk menyadap air nira ini, mereka harus memanjat pohon kelapa, duduk atau berdiri diatas pelepah daun kelapa, mengambil wadah yang telah terpasang sebelumnya, kemudian menyayat bunga kelapa (manggar) dengan sayatan baru agar keluar air niranya, dan terakhir memasang wadah khusus yang masih kosong. Memasang wadahnyapun tidak sembarangan, harus diusahakan tidak kemasukan air hujan jika hujan turun. Jadi ketika memanjat mereka membawa golok (!) untuk menyayat manggar sekaligus membersihkan pelepah kelapa yang sudah tua dan membawa 3 atau 4 buah wadah yang masih kosong. Ketika turun mereka membawa wadah-wadah yang sudah terisi air nira. Menjadi penderes harus memiliki keahlian khusus bukan sekedar hanya bisa memanjat pohon, karena penderes harus memahami betul karakteristik dari pohon kelapa, harus pandai memilih bunga kelapa yang banyak mengandung nira, juga harus bisa memilih pelepah mana yang masih kuat menahan beban tubuhnya ketika diinjak. Anda jangan mengira kalau pohon kelapa yang mereka panjat hanya setinggi rumah. Pohon kelapa yang sudah siap berproduksi air nira paling tidak setinggi 15 30 meter, atau minimal setinggi apartemen 4 lantai! Dan memanjatnyapun jangan Anda pikirkan menggunakan pengaman seperti para climber jika sedang beraksi memanjat dinding atau lereng gunung yang terjal. Mereka nggak akan mampu membeli peralatan pengaman semahal itu. Mereka bahkan sama sekali tidak menggunakan pengaman! Ketika suatu kali saya bertanya mengapa mereka tidak menggunakan pengaman, jawabnya adalah oh saya menggunakan pengamanan kok. Pengaman saya adalah berdoa kepada Allah SWT. Nah silahkan Anda terjemahkan sendiri jawaban salah seorang penderes itu.

Setiap penderes, rata-rata mengelola 10 sampai 15 batang pohon kelapa. Jadi dalam sehari penuh dia harus memanjat sebanyak 20 sampai 30 kali. Hasil yang diperoleh dalam sehari itu adalah ini : satu batang pohon maksimal bisa menghasilkan 3 ons gula. Jadi kalau si penderes mempunyai 10 batang pohon, berarti dia memperoleh hasil sebanyak 3 kg gula atau setara dengan uang 18.000 rupiah. Hasil ini utuh jika pohon kelapanya milik sendiri, tapi kalau dia sekedar orang upahan atau pohon kelapanya menyewa kepada orang lain, hasil yang cuma segitu tentunya masih harus berbagi lagi dengan orang lain. Cukup? Untuk Anda orang kota, uang sekecil itu mungkin hanya dianggap uang recehan untuk membayar parkir. Tapi untuk ukuran orang desa mungkin hasil itu cukup untuk makan sehari. Taruhlah cukup untuk membeli beberapa ons beras dan bumbu dapur, sedangkan sayurnya tinggal memetik diladang. Tapi menjadi tidak cukup jika digunakan juga untuk membayar SPP anak, membeli buku, seragam, apalagi jika ada salah satu anggota keluarganya sakit dan harus ke rumah sakit. Ungkapan orang miskin dilarang sakit rupanya berlaku juga untuk keluarga penderes!! Sehubungan dengan pekerjaannya itu, selain masalah ekonomi

permasalahan apa lagi yang sebenarnya dihadapi oleh para penderes? Pertama adalah, mereka tidak bisa menunda pekerjaan! Artinya begini, wadah air nira yang dipasang pagi hari harus diambil sore harinya, demikian juga wadah yang dipasang sore hari harus diambil pagi keesokan harinya. Sebab kalau tidak demikian maka kualitas air nira yang diperoleh akan jauh menurun, bahkan kadang berbau busuk. Kedua, dan ini erat kaitannya dengan hal pertama adalah bahwa pekerjaan menderes adalah suatu pekerjaan yang beresiko sangat tinggi. Karena keharusan mengambil hasil tepat waktu itulah maka walaupun di sore hari hujan sedang turun, kilat menyambar-nyambar dan petir menggelegar, mereka para penderes harus tetap memanjat. Atau di pagi hari ketika embun masih membasahi batang pohon sehingga licin kalau dipanjat (apalagi ketika musim hujan, batang-batang pohon kelapa banyak yang berlumut), mereka harus tetap memanjat. Akibatnya ? Kecelakaan kerja sangat sering terjadi, entah itu terpeleset karena batang pohon yang licin, atau jatuh karena pelepah daun yang diinjak tak kuasa lagi menahan beban sehingga lepas dari batang, atau lebih mengenaskan lagi karena tersambar petir! Saudara, dikampung saya saja setiap tahunnya (terutama pada awal dan akhir musim penghujan), rata-rata ada 4 orang penderes yang mengalami musibah karena sebabsebab diatas! Ketika pada suatu waktu saya menengok tetangga saya seorang penderes yang terpeleset dan jatuh dari ketinggian 10 meter karena batang pohon kelapa yang dipanjatnya licin berlumut, hati saya benar benar trenyuh. Demi memperoleh uang sepuluh atau duapuluh ribu perak, sekarang mas Nur demikian dia biasa dipanggil harus terbaring tak berdaya karena tulang kedua kakinya dan tulang punggungnya patah. Mau dibawa kerumah sakit, jelas keluarganya tidak memiliki biaya cukup, akhirnya dia hanya diobati seadanya saja, menggunakan obat-obatan tradisional. Mengapa kambing yang dikandang itu tidak dijual saja untuk biaya pengobatan? Ya, saya melihat ada 4 ekor kambing dikandang disebelah rumahnya. Ketika hal itu saya bisikkan mas Nur menjawab lemah, bahwa kambing itu bukan miliknya, tetapi titipan seseorang untuk dipelihara dengan sistim bagi hasil. Hati saya lebih trenyuh lagi karena saya tahu pasti kalau dialah tumpuan hidup keluarganya, yang terdiri dari seorang isteri dan 4 orang anak yang masih kecil-kecil. Akan diberi makan apakah anak isterinya nanti?

Perhatian dari desa jika terjadi musibah semacam itu memang ada. Setidaknya uluran tangan dan tanda simpati dari lurah beserta bawahannya sedikit menghibur keluarga yang terkena mushibah, sebagai wujud dari kegujuban hidup bersama. Tapi kemampuan mereka dan kemampuan desa sebagai lembaga pemerintahan juga sangat terbatas. Harus ada perhatian dalam skala yang lebih luas, semisal dari pemerintah daerah/kabupaten, toh mereka para penderes inilah yang sebenar-benarnya berhak disebut pahlawan gula kelapa yang turut meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), bukan petaninya, bukan tengkulaknya dan juga bukan pedagang gulanya. Ketika saya sedang berpikir bentuk perhatian bagaimana yang cocok untuk para penderes ini, saya teringat kalau di bidang bidang lain sudah banyak jaminan-jaminan sosial yang orang nikmati. Ambil contoh dibidang ketenagakerjaan, ada astek (asuransi tenaga kerja) yang sekarang berubah nama menjadi jamsostek (jaminan sosial tenaga kerja), di bidang kesehatan ada askes (sekarang jamkes), kemudian dibidang transportasi ada asuransi jasa raharja, dan masih banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu. Dan alangkah pasnya jika para penderes juga diikutsertakan dalam program asuransi jiwa atau asuransi kecelakaan pekerjaan, atau apalah namanya yang penting mereka dapat bekerja dan berusaha dengan tenang karena tubuh dan jiwa mereka beserta keluarga mereka telah dilindungi, sehingga ketika terjadi musibah seperti yang saya uraikan diatas, maka mereka akan memperoleh jaminan untuk dapat berobat, atau sekalipun nyawa mereka hilang, maka keluarga mereka masih mempunyai harapan untuk hidup sewajarnya. Persoalannya sekarang, siapa yang membayar premi bagi jaminan itu? Kalau di bidang ketenagakerjaan, premi dibayar oleh perusahaan dimana orang tersebut bekerja (atau dipotong dari gaji mereka), kalau di bidang transportasi diperhitungkan dengan nilai tiket yang mereka beli atau dari pajak kendaraan, lalu untuk penderes, siapa yang membayar premi ? Penderes itu sendiri ? Lha wong hasilnya buat makan aja senin-kemis (senin bisa makan, kamis nggak tau makan apa red), boro-boro untuk membayar premi asuransi. Nah disinilah dituntut kebesaran hati para pengelola negeri ini, karena saya rasa yang paling tepat menanggung premi tersebut adalah pemerintah daerah setempat, bisa dengan menganggarkan sejumlah dana dalam anggaran daerah, atau dengan menarik pajak khusus perdagangan gula kelapa, atau bisa juga bekerja sama dengan industri-industri pengguna gula kelapa (misalnya pabrik kecap, industri jamu, dan lain lain), teknisnya terserah pada kebijakan daerah masing-masing. Yang jelas bagi Anda pemerintah daerah, jika Anda dengan tulus ikhlas membantu meningkatkan harkat dan martabat para penderes sebagai bagian dari kaum yang termarjinalkan di daerah Anda, percayalah, pujian dan dukungan yang tulus juga akan terus mengalir, bukan hanya dari masyarakat Indonesia atau bahkan dunia, tapi juga dari Tuhan Semesta Alam. Saudara, saya tidak ambil pusing apakah pemikiran saya ini sudah atau sedang dijalankan disuatu daerah atau belum. Kalau ada pemerintah daerah di bumi Indonesia ini yang sudah berupaya meningkatkan harkat dan martabat para penderes melalui jaminan sosial atau semacamnya, saya hanya berharap semoga iktikad baik itu diikuti oleh pemerintah daerah-pemerintah daerah yang lain. Sedangkan kalau belum, semoga seruan ini didengar oleh mereka yang mempunyai akses ke pusat pemerintahan baik daerah maupun pusat agar nasib para penderes segera mendapat perhatian. Tujuan saya hanya satu, yaitu agar tidak ada mas Nur-mas Nur lain di bumi kita yang tercinta ini.

Anda mungkin juga menyukai