Anda di halaman 1dari 3

teori john bowlby Perkembangan Sosial Emosional 1. Kelekatan Pra kelahiran Lingkungan prenatal adalah fisiological environment.

Pengaruh psikologis selama kehamilan akan berpengaruh pada fisiological anak. Sejak dari kandungan anak sudah memiliki ikatan emosional dengan ibunya. Di dalam kandungan, ibu sudah memiliki rasa penerimaan terhadap bayi (physiological attachment). Ikatan ini membuat bayi bisa bertahan selama berada di dalam kandungan ibu. Ketika bayi dilahirkan, dengan pemotongan tali pusar yang menghubungkan bayi dan anak, maka kelekatan fisik (physical attachement) menjadi terputus dan mulailah ikatan secara psikologis (psychological attachement ) antara ibu dan anak. Penelitian menemukan bahwa ikatan psikologis berperan bagi anak itu nantinya untuk mempertahankan hidupnya di dunia ini. 3. Teori tentang kelekatan bayi : a. Ethological Explanation (John Bowlby 1969) Teori ini percaya pada peranan pengasuh (ibu, nenek, bibi, dll), konsistensi, dan lingkungan. Pengasuh yang sering bersama anak dapat membaca tanda-tanda / respon anak. Demikian juga lingkungan yang konsisten akan membuat anak lebih dekat dengan orang-orang dan situasi yang selalu bersama anak. Diperlukan objek lekat yang memenuhi kebutuhan psikologis anak. Bowlby menjelaskan sejumlah kunci yang menunjukkan kelekatan anak pada orang dewasa : 1) Seorang anak dilahirkan dengan predisposisi untuk lekat pada pengasuhnya. 2) Seorang anak akan dapat mengatur perilakunya dan menjaga hubungan kelekatan dengan orang yang dekat dengannya yang merupakan kunci kemampuan bertahan hidupnya secara fisik dan psikologis. 3) Perkembangan social sangat berhubungan dengan perkembangan kognisi. Seorang bayi berusia 6 bulan ke atas bertemu dg wanita selain ibunya, dia mulai bisa mengenali bahwa dia bukan ibunya. Seorang bayi mengenali ibunya dengan menunjukkan senyum 4) Seorang anak akan memelihara hubungan dengan orang lain jika orang tersebut banyak menunjukkan fungsinya yang bertanggungjawab pada diri anak itu. 5) Jika orangtua tidak mampu menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan anak, maka anak akan mengalami hambatan dalam perkembangan emosi dan kemampuan berpikirnya. 6) Perilaku anak seperti tersenyum, memanggil, menangis, menggelayut menunjukkan perilaku kelekatan pada orang yang ada di hati anak. Gangguan perlekatan merupakan dampak psikologis dari pengalaman negatif dengan pengasuhnya, biasanya sejak kecil, yang mengganggu hubungan khusus dan eksklusif antara anak dan pengasuh utamanya. Tingkah laku bertentangan dan bermusuhan bisa diakibatkan oleh gangguan perlekatan. Banyak anak-anak yang mengalami kehilangan pengasuh utamanya akibat terpisah secara psikis dari orang tuanya atau karena pengasuhnya yang kurang mampu memberikan pengasuhan yang memadahi. Dipisahkan dari pengasuh utama dapat mengakibatkan masalah serius dengan merusak perlekatan primer, sekalipun pengasuh kedua cukup mampu. Gangguan perlekatan sudah dibahas dalam literatur psikologi dan psikiatri selama kurang lebih 50 tahun. Kondisi yang menurut Rene Spitz sebagai depresi anaclitic kini diaggap

sebagai gangguan perlekatan. Spitz mengamati anak-anak kecil di panti asuhan yang diberi makan dan dijaga kebersihannya dan dalam kondisi fisik yang baik namun tidak mendapat kasih sayang dari pengasuhnya. Hilangnya kehangatan emosional berdampak pada anak-anak, terutama pada perkembangan emosionalnya dan pertumbuhan dan kondisi fisiknya. Spitz menyimpulkan bahwa hanya dengan menyediakan kebutuhan fisik seorang bayi tidak akan mencukupi untuk perkembangan yang normal. Tidak lama kemudian, John Bowlby, seorang psikoanalist tertarik pada perbandingan anak manusia dengan bayi binatang, menggabungkan penelitian Harlow pada monyet resus dengan studinya tentang anak-anak yang mengalami ketergantungan pada ibunya. Dia menyimpulkan bahwa perpisahan pada bulan-bulan awal kehidupan akan berdampak pada pembentukan psikis pada seorang bayi dan perpisahan dengan figur orang tua dapat mengakibatkan kecemasan. Bowlby sebagai penemu teori perlekatan, membuat laporan untuk WHO menekankan pentingnya sensitifitas sebagai orang tua dalam perkembangan anak yang adekuat. Sensitifitas sebagai orang tua yaitu kemampuan orang tua untuk memahami keadaan pikiran dan emosi pada anaknya dan meresponnya secara positif dan suportif. Perlekatan mengarah pada serangkaian tingkah laku dan gambaran emosi yang dapat diamati pada anak. Manusia membutuhkan perlekatan dengan manusia lain untuk perlembangan psikologis dan emosional untuk dapat bertahan hidup. Gejala awal dari perlekatan termasuk hubungan yang unik dan eksklusif antara seorang anak dengan orang tuanya. Orang tua dan anak membentuk hubungan yang berkesinambungan yang memiliki keistimewaan khusus. Kualitas hubungan ini akan mewarnai hubungan seseorang selama hidupnya. teori attachment yang diangkat pertama kali oleh John Blowby tahun 1979. Menurut Bowlby (1982) dalam Mikulincer, Gillath, & Shaver (2002), bayi memiliki kecenderungan yang kuat untuk menjalin kedekatan dengan caregiver sebagai manifestasi nyata sistem bawaan sejak lahir, sehingga mampu bertahan hidup dan kelak mampu bereproduksi. Sistem tersebut berkembang seiring dengan adanya interaksi individu pada masa bayi dan anak-anak dengan ibu atau caregiver, sehingga muncullah kecenderungan gaya attachment diantaranya secure, avoidant, ambivalent, dan disorganized-disoriented (Papalia, Olds,& Feldman, 2007). Gaya attachment tersebut mempengaruhi hubungan interpersonal individu hingga akhir hayat (Bowlby, 1979 dalam Sternberg & Barnes, 1988). Menurut penelitian Shaver & Brennan (1992), terdapat hubungan antara attachment style dengan hubungan romantis. Individu dengan gaya anxious-ambivalent diasosiasikan dengan tidak memiliki hubungan dan gaya insecure diasosiasikan dengan kecenderungan bercerai. Penelitian lain menyimpulkan bahwa gaya secure memiliki korelasi positif dengan hubungan romantis yang langgeng, sebaliknya dengan gaya unsecure (Monteoliva & Martinez, 2005). Dalam kaitannya dengan unrequited love, attachment theory berpandangan bahwa gejala tersebut merupakan hal yang lazim sebagai manifestasi usaha mempertahankan kelangsungan hidup dan reproduksi. Individu dengan attachment style tertentu (anxious-ambivalence, insecure, avoidance) cenderung mengalami unrequited love dibandingkan yang lain (secure). Teori Attachment tersebut memiliki kelemahan dalam menjelaskan bagaimana individu yang dikatakan secara universal memiliki keinginan untuk memiliki keintiman dengan orang lain demi kehidupan yang optimal (Ryff & Singer, 2000 dalam Baron, Byrne,& Branscombe, 2006) dapat berperan sebagai rejector yang menolak cinta yang ditawarkan oleh would-be lover. Selain itu, attachment theory juga tidak dapat menjelaskan fakta bahwa seorang wouldbe lover pada saat yang sama dapat pula menjadi seorang rejector (Sinclair & Frieze, 2005). Jika would-be lover disebabkan oleh attachment style yang unsecure maka seharusnya

individu yang berperan sebagai would-be lover secara ekstrem akan terus-menerus mengalami unrequited love. Unrequited love sebagai bagian dari romantic love, menimbulkan konflik antara would-be lover dan rejector serta dapat menimbulkan kerugian baik secara fisik dan psikologis, oleh karenanya perlu strategi mengatasi gejala tersebut. Berdasarkan teori interdependence, bagi would-be lover solusi yang ditawarkan adalah dengan berusaha secara aktif untuk mendapatkan cintanya, bukan hanya menunggu. Karena dengan berusaha secara aktif, wouldbe lover akan merasakan petualangan yang baik bagi well-being, serta memiliki kesempatan untuk menang dalam cinta (Baumeister & Wotman, 1992) . Namun would-be lover juga harus mempertimbangkan tindakannya, apabila rejector nampak cukup terganggu, apalagi jika telah menolak, maka sebaiknya would-be lover menerima kenyataan dan berhenti mengejar rejector, kemudian membuka diri untuk cinta yang lain yang bersifat mutual romantic love. Sedangkan bagi rejector, sebaiknya ia memutuskan segera menolak would-be lover jika merasa tidak mungkin untuk mencintainya, karena dengan kejelasan sikap tersebut, meskipun would-be lover merasa tersakiti, ia akan menyadari bahwa tindakannya membuat rejector merasa terganggu sehingga memutuskan untuk berhenti, selain itu would-be lover dapat segera mengobati rasa sakitnya dan melanjutkan hidup serta menemukan cinta sejati (companionate love). Hal tersebut jauh lebih baik dibandingkan membiarkan would-be lover merasa terombang-ambing dalam ketidakjelasan dan harapan semu. Pada dasarnya gejala unrequited love merupakan gejala yang pernah dirasakan o hampir leh semua orang. Menurut teori interdependence, faktor lingkungan dan situasi tertentu adalah penyebab seseorang mengalami unrequited love. Berbeda halnya dengan pandangan teori attachment yang beranggapan bahwa individu telah memiliki kecenderungan untuk menjadi woud-be lover. Pada kenyataannya, teori interdependence lebih relevan dalam menjelaskan gejala unrequited love, terbukti seorang would-be lover tidak selamanya menjadi would-be lover melainkan pada waktu yang sama dapat pula berperan sebagai rejector.
http://depe.blog.uns.ac.id/2010/05/10/teori -john-bowlby/

Anda mungkin juga menyukai