M. Firmansyah1
Fakultas Ekonomi Universitas Mataram
Abstrak
Paper ini sedikit mengulas eksistensi ekonomi islam vs ekonomi konvensional
dalam aplikasi rill sehari-hari, terutama dalam dunia pendidikan. Kemudian dibahas pula
berbagai kendala ekonomi islam dalam aktifitas berekonomi masyarakat, dan kendala
operasional bank syariah sebagai manifestasi dan aplikasi langsung ekonomi islam.
Materi atau teori pendidikan ekonomi pada lembaga-lembaga tinggi yang
menelurkan jutaan ekonom selama ini bukanlah disesuaikan dengan kondisi nyata negara
kita (adaptasi) melainkan bersumber dari teori asing (adobsi) dari negara luar yang nota
bene konsep tersebut lebih menjunjung tinggi rasionalitas, efisientis dan siteris paribus.
Ekonomi Islam adalah solusi jitu, yang aplikasinya benar-benar sesuai dengan
kondisi masyarakat manapun dan di manapun2. Selain membangun konsep rasional, juga
sesuatu yang irasional dalam sebuah teori ekonomi konvesional, namun boleh jadi sangat
rasional menurut pandangan islam.
Kendala utama dalam berekonomi islam di masyarakat kita, antara lain sulitnya
merubah kurikula sistem pendidikan yang bermuatan kapitalis, kemudian penarawang
globalisasi telah memaksa masyarakat untuk memilih trend barat ketimbang nilai-nilai
islam, kebijakan pemerintah diduga tidak independent karena telah masuk perangkap
IMF, Bank Dunia dan lain-lain lewat hutang negara yang tak kunjung selesai, sehingga
seringkali kebijakan penganggaran pemerintah jauh dari haluan islam, konsep perjanjian
dan beban hutang (bunga) itu sendiri tidak sesuai dengan roh nilai-nilai islam.
Bank Syariah akan menuai beberapa kendala di Kota Mataram ini, antara lain:
perekonomian masih dikuasai non-pribumi dan investor asing yang jelas tidak
terkontaminasi dengan hukum ribanya bunga bank, hampir setengah penduduk kota
adalah non-muslim juga tidak terkontaminasi dengan fatwa MUI tersebut, kalangan
muslim sudah terbiasa dengan bank konvensional, bahkan sampai saat ini yang
mengelola ONH (Ongkos Naik Haji) justru oleh bank konvensional, fasilitas dan
pelayanan bank konvesional juga masih lebih unggul, sehingga sulit bagi masyarakat
untuk beralih kotak penyimpan uang.
1
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Mataram
2
Penulis ucapkan terima kasih pada Prof. Mudrajad Kuncoro dan Prof. Insikundro yang memberikan dasar-
dasar menulis yang baik di MSi UGM, terima kasih pula untuk teman-teman dosen FE UNRAM,
khususnya yang sedang menempuh doktoral ekonomi islam atas diskusi-diskusinya.
1
Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir muncul beberapa kritikan pedas terhadap lembaga pendidikan
yang menelurkan berbagai sarjana di bidang ekonomi. Masyarakat luas mulai
mempertanyakan realisme dan relevansi ilmu ekonomi bagi pembangunan (Mubyarto,
2003), khususnya pembangunan ekonomi masyarakat dalam lingkup negara (nasional)
maupun tingkat lokal (daerah).
Universitas Gadjah Mada sebagai salah satu perguruan tinggi ekonomi unggulan
Indonesia juga tidak lepas dari lampiasan kritikan tersebut, muncul anggapan bahwa
secara tidak langsung Universitas Gadjah Mada ikut terlibat menjebloskan negara ini ke
dalam keterpurukan ekonomi bangsa yang berkepanjangan. Karena FE UGM dianggap
lebih mengakomodir pengembangan kepentingan kurikulum teori-teori ekonomi neo-
klasik ketimbang paham ekonomi lokal yang lebih mengakomodir nilai-nilai pemerataan,
walau pandangan tersebut disanggah secara tegas oleh ekonom UGM sendiri3 .
Kritikan pedas terhadap ilmu ekonomi bukan baru-baru ini mencuat dipermukaan, jauh
hari Paul Ormerod dalam bukunya yang berjudul The Death of Economics membahas
kenapa ilmu ekonomi tidak mampu mengatasi krisis sebuah bangsa alias mandul. Apa
yang salah dengan pengajaran ilmu ekonomi? Kenapa sebegitu banyaknya sarjana
ekonomi tidak mampu mengangkat bangsa dari keterpurukan panjang, terutama ketika
puncak-puncaknya krisis pertangahan tahun 1997 lalu, apakah kurang pengalaman para
ekonom kita ini, padahal ilmu ekonomi Indonesia memiliki doktor pertama sejak tahun
1943.
Subsidi BBM misalnya, bulan Mei 2008 lalu menjadi catatan penting sejarah ekonomi
bangsa, kembali pemerintah melakukan pengurangan subsidi BBM, implikasinya harga
BBM melambung naik, maksimal 30 persen. Pemerintah kembali menggunakan langkah
instan, lewat mekanisme BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang bertujuan meningkatkan
kembali kekuatan konsumsi masyarakat yang merosot tajam.
Bila merujuk pada teori makro ekonomi Keynes, bahwa konsumsi agregat masyarakat
akan dipengaruhi oleh pendapatan disposibelnya (disposable income), yaitu pendapatan
3
Dosen UGM Dr. Bagus Santoso membantah kalau pengajaran ekonomi di Fakultas
Ekonomi UGM lebih mengakomodir konsep-konsep neo-kapitalis, lihat Santoso, 2003.
2
asli yang siap dibelanjakan setelah dikurangi pajak dan ditambah dengan subsidi. Dalam
kondisi ini, pada dasarnya BLT hanya akan meningkatkan konsumsi dasar (autonomous)
bukan pada peningkatan disposable income yang tidak bersifat temporer atau setidaknya
mampu bertahan beberapa tahun.
Dewasa ini muncul alternatif pengajaran ilmu ekonomi yaitu ilmu ekonomi yang
berprinsipil nilai islam. Lebih-lebih setelah fatwa MUI tahun 2003 yang mengharamkan
praktek riba dalam penerapan bunga tabungan bank-bank konvensional, yang ternyata
mulai menyadarkan beberapa ekonom kita, khususnya ekonom islam akan pentingnya
suatu pemikiran yang mengakomodir sebuah konsep pembangunan dalam Islam.
Banyak sudah karya tulis yang diterbikan, baik itu berupa buku teks, journal-journal,
artikel atau makalah-makalah yang bertemakan ekonomi islam, baik menyangkut studi
komparatif dengan ekonomi konvensional maupun artikel-artikel hasil penelitian dan ide
konseptual dari ajaran islam sendiri.
Sebenarnya konsep ilmu ekonomi Islam merupakan langkah maju yang positif dalam
perkembangan ilmu ekonomi secara umum, khususnya di tanah air kita sekarang ini,
terutama dalam upaya filterisasi dan penyeimbang setiap paham-paham barat (liberal)
yang sedang membabi buta di negara kita dan negara-negara islam umumnya.
Masyarakat semakin jauh dari prinsip-prinsip agama dalam kehidupan sehari-hari, baik
kehidupan ekonomi, sosial politik serta budaya, tentu saja kondisi ini mengkhawatirkan
kita semua. Hal ini mungkin timbul sebagai akibat dari prinsip-prinsip pengajaran
ekonomi di perguruan-perguruan tinggi berlandaskan pada paham ekonomi produk
Amerika dan Eropa, sehingga lahirlah berbagai sarjana yang cendrung berpikir
materialistis dan efisientis serta parametris.
Dalam aplikasi-nya perjalanan ilmu ekonomi yang berlandaskan syariat islam akan
menuai hambatan serius, dan penyerapannya tidak semudah membalikan telapak tangan,
butuh proses panjang dan terus menerus. Disamping masih kurangnya ekonom yang ahli
dibidang ini, aplikasi pengajaran ilmu ekonomi islam juga akan berbenturan dengan tarik
ulur kepentingan berekonomi antar golongan di dalam negeri, terutama dalam
mengakomodir keinginan sebagian kaum kapitalis yang banyak mengusai sektor investasi
di tanah air.
Di samping itu juga akan sulit merubah prinsip berekonomi masyarakat secara umum
yang terlanjur melekat dengan prinsip-prinsip ekonomi barat, yang berimplikasi pada
penerapan trend atau mode ala barat pula dalam kehidupan masyarakat kita sehari-hari.
3
Paper ini mencoba membahas kendala eksistensi ekonomi islam di tanah air sekarang dan
masa akan datang.
Namun demikian harus diakui bahwa selama ini pengajaran ilmu ekonomi itu sendiri
sebenarnya banyak menuai masalah, karena apa yang diajarkan selama ini bukan
merupakan economics adapted melainkan economics adopted5, adopsi-nya yang sering
diangkat bukan adaptasi-nya, sehingga seringkali arah kebijakannya menyimpang dari
yang diharapkan dan persoalan ekonomi bangsa justru semakin melebar dan bertambah
parah, terutama dalam masalah disparitas kesejahteraan yang cendrung tidak mampu
ditemukan mana ujung pangkalnya.
Materi ekonomi islam, tidak banyak yang diterapkan dalam institusi pendidikan ekonomi
di tanah air, baik pendidikan menengah maupun pendidikan tingkat tinggi, padahal
sekitar 80 persen lebih penduduk negara ini menganut dan memeluk agama islam yang
konsekuensi logisnya perilaku masyarakat sehari-hari juga pasti berlandakan islam
sebagai nilai religi.
Sebenarnya perbedaan mendasar antara konsep islam dan ekonomi konvensional terletak
pada konsep rasionalitas serta realitas setiap konsep kebijakan. Pandangan ekonomi
konvensional lebih mengedepankan rasionalitas dalam membangun teori, semua teori
diupayakan dapat diukur (parametrics) secara nyata (riil), semua itu untuk memenuhi
kebutuhan materialistis stockholders, kemudian kompetisi yang mengarah kepada
efisientis.
Semua yang tidak efisien harus dibuang jauh-jauh, terutama subsidi-subsidi untuk rakyat
miskin dianggap sebagai penyakit yang dapat merongrong perekonomian. Teori
4
Lihat: Jusmalina, 2006
5
Lihat: Santoso, 2003
4
konvensional dibangun untuk menjembatani kebutuhan-kebutuhan duniawi semata, tidak
ada ruang teori ekonomi menjangkau konsep-konsep ketuhanan dan kebutuhan akherat
yang mereka anggap masih bersifat abstrak.
Pokok ajaran ekonomi islam adalah lebih mengedepankan nilai-nilai ketuhanan, keadilan
dan kebersamaan. Ekonomi islam tidak memberi kesempatan persaingan yang tidak
sehat, yang hanya menguntungkan satu pihak dan pihak lain dirugikan. Teori dalam
ekonomi islam selain konsep rasionalitas juga mengutamakan konsep abstrak (tidak riil)
yang dianggap sebagian sekulerist sebagai sesuatu yang irasional. Ekonomi islam
menjadi jembatan kehidupan dunia dan akherat, namun tujuan akhirnya adalah meraih
kehidupan yang lebih kekal yaitu akherat.
Katakan saja konsep dalam islam yang mewajibkan zakat dan anjuran bersedekah bagi
umatnya, kemungkinan akan dianggap sebagai inefisiensi yang akan menghabiskan
income individu yang implikasi logisnya akan mengurangi preference terhadap barang
dan jasa lain. Namun bagi umat islam kepuasan maksimal (utilitas) nya mungkin saja
terhadap zakat adalah tertinggi dibandingkan dengan yang lainnya, yang secara teori
menyebabkan indeference curve berposisi pada tingkat paling atas. Di samping itu Allah
menjanjikan kekayaan yang bertambah bagi yang membelajakan harta kejalan-Nya
Teori konsumsi Keynes menjelaskan bahwa setiap yang namannya kenaikan pendapatan
akan meningkatkan konsumsi seseorang, padahal seharusnya kenaikan pendapatan tidak
serta merta akan meningkatkan konsumsi riil, dalam hal ini zakat diabaikan, sedekah
dihilangkan karena sekali lagi mereka anggap dari segi rasionalitas sedekah dan zakat
perlu dipertanyakan.
Bukti memburuknya kesenjangan ekonomi Indonesia dapat dilihat baik pada kesenjangan
produkfitas relatif antara sektor industri dan pertanian, kesenjangan antara yang kaya dan
miskin, antara kota dan desa dan lain-lain. Dengan demikian dapat ditarik benang
merahnya betapa tinggi korelasi antara sistem ekonomi dengan konglomerasi,
konglomerasi dengan korupsi serta konglomerasi dengan kesenjangan ekonomi7. Waktu
berganti, era pemerintahan-pun sudah beberapa kali berubah namun neo liberalisme
belum juga ada tanda-tanda tergantikan di tanah air ini.
6
Lihat Baswir, 2003: 5
7
Ibid: 6-15
5
Prof. Sumitro Djojohadikusumo adalah ekonom Indonesia pertama yang bergelar Doktor
(1943). Fakultas Ekonomi yang didirikan Sumitro di Jakarta (1950) yang lebih dikenal
The Jakarta School of Economics kadang-kadang dianggap mengajarkan falsafah
ekonomi liberal8, kemungkinan ini menjadi starting point ekonomi neo kapitalis tumbuh
dan berkembang di tanah air sampai saat ini. Buku teks ekonomi yang paling laris di
dunia saat ini dan yang mudah diterjemahkan dalam banyak bahasa di luar bahasa Inggris
adalah buku Paul Samuelson, yang berjudul Economics, kini mencapai edisi ke 16,
Samuelson mampu menjadikan ilmu ekonomi laksana agama dari kaum progresif dan
tuhannya adalah efisiensi pasar, apapun yang efisien adalah baik dan yang tidak efisien
adalah buruk9.
Kedua, dunia lewat media sebagai corong globalisasi telah menjebak negara-negara
berkembang untuk mengikuti trend kebarat-baratan, implikasinya perilaku dengan jiwa
dan budaya ketimuran dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan jaman dan suatu
kemunduran yang nyata, maka harus segera ditinggalkan.
Ketiga, kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini diduga tidaklah independent, terasa betul
aroma pesanan dibaliknya, sehingga kebijakan hanya mengakomodir kepentingan-
kepentingan tertentu saja. Kondisi ini jelas karena berbagai perangkap kaum kapitalis
global telah sengaja atau tidak sengaja masuk dan sulit untuk keluar lagi, salah satu
perangkap tersebut adalah hutang negara pada lembaga-lembaga keuangan kapitalis
seperti IMF, Bank Dunia dan lain-lain, padahal jelas banyak kebijakan-kebijakan
lembaga tersebut justru memperpuruk kondisi negara-negara debitur yang umumnya
tergolong sedang berkembang10.
Keempat. Pinjaman itu sendiri jauh dari konsep-konsep syariah islam, baik dalam hal
pembungaan yang mecekik leher, maupun proses perjanjian yang selalu tidak
menguntungkan pihak debitur.
8
Mubyarto, 2003
9
Ibid
10
Lihat Stigliz, 2002
6
bermula dari kebijakan BI yang menurunkan tingkat suku bunga SBI yang otomatis
diikuti penurunan bunga simpanan pada bank-bank konvensional. Saat itu bunga bank
merosot hingga 6 persen sementara bagi hasil usaha Bank Syariah masih bertenggeng
ditingkat 8 persen. Kelebihan dana bank syariah tersebut terutama dipacu oleh dana-dana
pensiun yang relatif besar dan sangat sensitif akan perputaran keuntungan, angin segar ini
benar-benar dimanfaatkan kalangan pasar modal untuk secepatnya menerbitkan berbagai
obligasi syariah
Namun perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh bagi pembuat kebijakan bank syariah
bahwa kelebihan liquiditas akan ada implikasi serius yang menyertainya, yaitu semakin
besarnya porsi pembagian hasil usaha untuk nasabah. Umumnya dalam keadaan stagnasi
ekonomi saat-saat ini menyebabkan kredit usaha (sisi rentabilitas) akan sangat minim,
sehingga penyaluran kelebihan liquiditas perbankan pun akan terhambat, kondisi ini
memaksa bank syariah menurunkan porsi bagi hasil usaha dalam beberapa persen, dan
dikhawatirkan akan terjadi lagi perpindahan dana secara cepat kembali ke dalam pelukan
bank konvensional.
Sememtara yang belum terbantahkan sampai saat ini adalah bahwa bank konvensional
masih lebih siap dalam memberi pelayanan dan kepuasan ekstra bagi nasabahnya, bahkan
sangat sering menawarkan berbagai hadiah yang menggiurkan nasabah.
Kondisi ini akan sangat rentan masalah kalau lokasi operasional-nya di Kota Mataram.
Alasannya adalah pertama: pelaku ekonomi secara dominan masih dikuasai non-pribumi
dan investor luar, karena kredit usaha masih didominasi sektor perdagangan, hotel dan
restoran, kemungkinan stockholder tersebut tetap rasional berpikir dalam berupaya
menghasilkan keuntungan lebih dari uang yang disimpannya, tentu saja tanpa
memperdulikan fatwa haramnya bunga bank oleh MUI.
Kedua hampir 50 persen penduduk Kota Mataram sebagai pusat ekonomi NTB adalah
non muslim yang sudah dipastikan mereka tidak terkontaminasi (baca: terusik) dengan
fatwa MUI tersebut.
Dalam dunia pendidikan kebutuhan transfer, pelayanan ATM dan lain-lain bagi
mahasiswa dan pelajar antar wilayah, bank-bank konvensional masih mapan dan sukses
dalam memenuhi kepuasan nasabah-nya, sehingga kerja sama antara bank konvensional
dan lembaga perguruan tinggi masih tetap langgeng. Demikian pula kredit sektor usaha
utama lainnya bank konvensional masih tetap stabil dan terdepan.
Oleh karena itu bank syariah di wilayah ini sebaiknya tidak hanya sekedar
mengedapankan konsep syariah (baca: haramnya bunga bank) semata namun tetap
memperhatikan persaingan usaha serta rasionalitas dalam merebut pasar yang ada. Bank
7
syariah harus berani masuk jauh mengenal ke dalam titik kelemahan dan kepincangan
bank konvensional yang kini telah menjadi rahasia umum. Fungsi intermediasi perbankan
konvensional masih terasa pincang alias berat sebelah, kebanyakan bank konvensional
lebih mengedepankan kesiapan jaminan (agunan) ketimbang keseriusan seorang debitur
dalam memenuhi kewajibannya, sehingga sektor kredit lebih didominasi oleh
perusahaan-perusahaan besar yang nota bene memiliki jaminan miliyaran rupiah.
Belum lagi adanya distorsi antar yang punya uang dan yang mengajukan kredit, di mana
dari sisi penabung, pengusaha-pengusaha kaya, pensiunan atau mantan pejabat kaya tiap
bulan menikmati bunga deposito puluhan persen dari simpanan depositonya di bank,
sementara pengusaha kecil terlilit hutang akibat bunga kredit yang dirasa berat dan
mengancam eksistensi usahannya ke depan.
Ini lah kelemahan mendasar konsep bunga pada bank-bank konvensional sekarang ini,
yaitu terasa berat menjadikan orang kecil kaya, namun gampang menyulap orang kaya
terus menjadi kaya lagi. Harapannya Bank Syariah disamping konsisten memikirkan
strategi jitu pengembangan usaha lewat studi pasar, sebagai pembawa amanah umat,
bank syariah juga sebaiknya menjadikan usaha kecil dan menengah sebagai mitra utama
alokasi kredit usaha, karena sesungguhnya UKM (Usaha Kecil dan Menengah) sangat
pantas bersanding dengan sistem bagi hasil.
Untuk mencapai keberhasilan dalam aplikasi operasional syiar islam ini sebaiknya jangan
sepenuhnya diembankan kepada pihak bank syariah semata, semua pihak harus membatu,
alim ulama lewat pencerahan-pencerahan agama, pemerintah daerah menjadi mediasi dan
bertanggung jawab penggunaan bank syariah pada sektor publik, universitas khususnya
fakultas ekonomi yang banyak menelurkan ahli-ahli dibidang ekonomi islam juga sangat
membantu menciptakan konsep-konsep baru, sehingga neo-kapitalis bisa kita lawan dari
segala sisi.
Daftar Pustaka
A Karim Adiwarman, Senin 31 Mei 2004. Bejana Berhubungan Bank Syariah. Harian
Republika.
Baswir, Revrisond, 2004. Drama Ekonomi Indonesia, Belajar Dari Kegagalan Orde
Baru. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Jusmaliana, 2005. Menuju Kebijakan dan Perilaku Ekonomi Yang Islami, dalam
Jusmaliana dan Muhammad Soekarni (eds), Kebijakan Ekonomi Dalam Islam.
Yogyakarta: Kreasi Wacana
Mubyarto, 2002. Meninjau Kembali Ekonomika Neoklasik, Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia. Vol 17, No.2, 2002: 119-129.
Santoso, Bagus. 2002. Quo Vadis Pengajaran Ilmu Ekonomi. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia. Vol 17,No.2, 2002: 130-135.
8
Stigliz, Joseph E, 2002. Globalization and Its Discontents. England: Pinguin Books.