Anda di halaman 1dari 177

ISSN 0216-1338

DAFTAR I S I
Dari Redaksi Editorial
.............. .............. ii iii

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008 KEP MEN KEHAKIMAN DAN HAM RI NO. M.01-HU.03.02 TAHUN 2004 Penanggung Jawab Abdul Wahid Masru, S.H.,M.H. Pemimpin Redaksi Made Kamini, S.H.,M.H. Dewan Redaksi Qomaruddin, S.H.,M.H. Suhariyono AR, S.H.,M.H. Dr. Wahiduddin Adams, M.A. Dr. Wicipto Setiadi, S.H.,M.H. Sofyan Sitompul, S.H.,M.H. Anggota Dewan Redaksi Linus Doludjawa, S.H. Drs. Hudiyono Ibnu Ghoffur Sutirah, S.H.,M.H. Dwi Ambar Lasmiasih, S.Pd. Mualimin Abdi, S.H.,M.H. Julkhaidir, S.H.,M.H. Nuryakin, S.H. Staf Redaksi Tri Wahyuningsih, S.H.,M.H. Dra. Mardiningsih Welastuti Slamet Kurniawan, S.H. I Nyoman Sukanadji Andi Batara, S.H.,M.H. Kristiyanto, S.H. Rizki Arfah, S.H. Sri Lisnawati, S.H. Khabiburohman, S.H. Satirah Atminah Lud Firdiansyah Penerbit Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI Jl. HR. Rasuna Said Kav. 6-7 Jakarta Selatan Telp. / Fax. (021) 5264517 E-mail:legislasi@yahoo.com Website:http//www.djpp.depkumham.go.id

Artikel :
Sistem Multipartai di Indonesia Oleh: Drs. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP.,M.Si. Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah Oleh: Partono, SIP,MA Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis Oleh: Dr. Wicipto Setiadi, S.H.,M.H. Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum Oleh: Prof. Dr. Jeane Neltje Saly, S.H.,M.H. Demokrasi dan Partai Politik Oleh: Zainal Abidin Saleh, S.H.,M.H. Paradigma Baru Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Oleh: A.A. Oka Mahendra, S.H. Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten Oleh: Zainal Abidin, S.H. Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia Oleh: Chudry Sitompul, S.H.,M.H. Dampak Sistem Multipartai Dalam Kehidupan Politik Indonesia Oleh: Drs. Zafrullah Salim, M.H.
..............

.............. 13

.............. 29

.............. 40

.............. 56

.............

81

............. 90

............. 102

............. 130

Informasi UU:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

.............. 137 .............. 165

Biodata Penulis

DARI REDAKSI

DARI REDAKSI
Kaidah demokrasi adalah harus menjunjung kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab dan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengakui dan menjamin tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia. Sejarah perkembangan partai politik di Indonesia sangat mewarnai perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat mudah dipahami, karena partai politik merupakan gambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat. Berawal dari keinginan untuk merdeka dan mempertahankan kemerdekaan serta mengisi pembangunan, partai politik lahir dari berbagai aspirasi rakyat yang berkeinginan untuk bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Romantika kehidupan partai politik sejak kemerdekaan, ditandai dengan bermunculannya multipartai. Harapannya dengan multipartai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Penerapan sistem multipartai di Indonesia dilaksanakan pada tahun 1955, 1999 dan tahun 2004 kemudian sistem tersebut akan diterapkan juga pada tahun 2009 nanti. Jurnal Legislasi Indonesia untuk Volume 5 Nomor 1 mengangkat tema Sistem Multipartai di Indonesia, yang bertujuan untuk menyambut pemilihan umum yang akan dilaksanakan pada tahun 2009 lebih demokratis dan berjalan sesuai harapan rakyat Indonesia. Kami mengharapkan komentar, kritik, dan saran dari para pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan isi Jurnal Legislasi Indonesia. Sumbangan tulisan dari pembaca tetap kami harapkan.
Selamat membaca (Redaksi).

ii

E DITORIAL

EDITORIAL
Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah pemilihan umum (pemilu). Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau daerah dalam periode tertentu. Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat dan mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan dapat menyerap serta memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia telah melaksanakan sembilan kali Pemilihan Umum (yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999 dan 2004). Indonesia telah menjalankan sistem multipartai sejak Indonesia mencapai kemerdekaan. Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta No. X/1949 merupakan tonggak dilaksanakannya sistem multipartai di Indonesia. Walaupun konstitusi kita (UUD 1945) tidak memberikan rambu-rambu yang jelas dan tegas mengenai sistem kepartaian apa yang hendak dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun konstitusi mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem multipartai, yaitu pada Pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut sistem multipartai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik. Sistem presidensial di Indonesia hingga saat ini belum dapat mewujudkan secara penuh pemerintahan yang kuat dan efektif. Praktik yang sekarang terjadi adalah ketiadaan koalisi besar yang permanen, sehingga setiap pengambilan keputusan oleh pemerintah tidak selalu mendapat dukungan penuh dari parlemen. Tidak sedikit program-program pemerintah yang memerlukan persetujuan dari parlemen, mendapatkan resistensi dari DPR, bahkan ditolak oleh DPR. Dengan demikian program atau rencana kerja pemerintah tidak dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah mendorong terbentuknya koalisi partai politik yang permanen. Pembatasan partai politik dilakukan dengan menerapkan berbagai prosedur sistem pemilu. Secara sah, legal, dan demokratis, sistem pemilu menjadi sarana untuk menyeleksi jumlah partai politik dalam jangka panjang. Hal ini diperlukan sebagai upaya agar bisa tetap sejalan dengan prinsip check and balances dari sistem presidensial dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif.

iii

Sejak pemilu 1999, Indonesia telah menerapkan electoral threshold sebesar 2% dari suara sah nasional. Electoral Threshold didefinisikan sebagai ambang batas syarat angka perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya. Artinya, berapapun kursi yang diperoleh di parlemen, untuk turut kembali dalam pemilihan umum berikutnya angka electoral threshold itu harus dicapai. Pemilu 2004 menerapkan angka electoral threshold sebesar 3% dari perolehan suara sah nasional. Hal ini dilakukan untuk lebih memperketat partaipartai yang mengikuti Pemilu berikutnya. Semangat dari peningkatan threshold yang semakin besar adalah untuk membangun sistem multipartai sederhana dengan pendekatan yang lebih moderat. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD menggunakan sistem Parliamentary Threshold (PT) yaitu syarat ambang batas perolehan suara parpol untuk bisa masuk ke parlemen. Jadi, setelah hasil jumlah suara masing-masing partai politik diketahui seluruhnya, lalu dibagi dengan jumlah suara secara nasional. Jika suara partai politik itu mencapai angka 2,5% dari jumlah suara nasional, maka dia berhak menempatkan wakilnya di parlemen, tanpa mempermasalahkan berapa jumlah kursi hasil konversi suara yang dimiliki partai politik tersebut. Akhirnya sistem apapun yang dipilih, masyarakat telah lama mendambakan peran nyata dari sebuah partai politik sebagai pilar utama demokrasi yang tidak sekedar hanya berorientasi pada perolehan dukungan suara dalam rangka memperoleh kekuasaan semata namun dapat memainkan peran sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state) dan warga negaranya (the citizen).

iv

ARTIKEL

SISTEM MULTIPARTAI DI INDONESIA


Oleh: Drs. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP.,M.Si.

Kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta demokratis dan berdasarkan hukum. Hak asasi tersebut terwujud dalam institusi partai politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik1 mendefinisikan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Tidak ada negara demokrasi tanpa partai politik.2 Karena itu partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi, karena mereka memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state) dengan warga negaranya (the citizen).3 Indonesia menganut paham demokrasi yang artinya kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Yang selanjutnya dijalankan melalui

1 2

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, (hukumham.info, 2008), hlm. 2. Rainer Adam, DPRD dan Partai Politik, FNS dan P3OD-UMM, dalam Sabastian Salang, Potret Partai Politik di Indonesia, Asesmen Terhadap Kelembagaan, Kiprah, dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Forum Politisi-Friedrich Naumann Stiftung, Oktober 2007), hlm. 3. 3 Sabastian Salang, hlm. 3.

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

mekanisme pelembagaan yang bernama partai politik. Kemudian partai politik saling berkompetisi secara sehat untuk memperebutkan kekuasaan pemerintahan negara melalui mekanisme pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden. Dalam demokrasi, partai politik merupakan pilar utama (bukan kedua atau ketiga), karena pucuk kendali roda pemerintahan ada di tangan eksekutif, yaitu presiden dan wakil presiden. Sebagaimana dirumuskan dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat (2), bahwa calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Artinya hak itu secara eksklusif hanya partai politik yang disebut UUD 1945-diberikan kepada partai politik. Karena itulah, semua demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan mapan guna menyalurkan berbagai tuntutan warganya, memerintah demi kemaslahatan umum serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.4 Sangat rasional argumentasinya jika upaya penguatan partai politik dibangun oleh kesadaran bahwa partai politik merupakan pilar yang perlu dan bahkan sangat penting untuk pembangunan demokrasi suatu bangsa. jadi, derajat pelembagaan partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara.5 Fungsi Partai Politik Pada umumnya, para ilmuan politik biasa menggambarkan adanya empat fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo6, meliputi: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sarana sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekrutmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management). Sementara dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp7, fungsi partai politik mencakup (i) mobilisasi dan integrasi,

Institute For Multyparty Democracy (IMD), Suatu Kerangka Kerja Pengembangan Partai Politik yang Demokratis, dalam Sabastian Salang, hlm. 3. 5 Sabastian Salang, hlm. 3. 6 Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 163-164, dalam Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstituusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 59. 7 Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: britain, France, Italy, gemany, (Third Edition, Oxpord University Press, 1998), dalam Ibid, hlm. 59.

Sistem Multipartai di Indonesia

(ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns), (iii) sarana rekrutmen politik, dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan. Dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, bahwa fungsi Partai Politik adalah sebagai sarana: (i) pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas; (ii) penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; (iii) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat; (iv) partisipasi politik warga negara Indonesia; dan (v) rekrutmen politik.8 Kesemua fungsi partai politik tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan atau political interests yang terdapat atau kadang-kadang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide, visi, dan kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau menjadi materi9 dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik. Ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik disosialisasikan kepada konstituen untuk mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dalam sosialisasi itu partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik10 bagi masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.11 Fungsi selanjutnya partai politik adalah sebagai sarana rekrutmen politik. Partai dibentuk memang dimaksudkan menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin12 dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan kesetaraan dan keadilan gender.13

8 9 10 11 12 13

UU No. 2 Tahun 2008 tentang Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hlm. Ibid, hlm. 60. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Ibid, hlm. 60. UU No. 2 Tahun 2008 tentang

Partai Politik, hlm. 6. 59. Partai Politik, hlm. 6. Partai Politik, hlm. 6.

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik. Peranan ini berupa sarana agregasi kepentingan yang berbeda-beda melalui saluran kelembagaan partai politik. Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengelola konflik dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.14 Sistem Kepartaian Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi dalam suatu sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari sistem kepartaian yang diterapkan di suatu negara. dalam suatu sistem tertentu, partai berinteraksi dengan sekurang-kurangnya satu partai lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi regulasi yang diberlakukan. Sistem kepartaian memberikan gambaran tentang struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam upaya meraih kekuasaan dalam pemerintahan. Sistem kepartaian yang melembaga cenderung meningkatkan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan.15 Untuk melihat sistem kepartaian suatu negara, ada dua pendekatan yang dikenal secara umum. Pertama, melihat partai sebagai unit-unit dan sebagai satu kesatuan yang terlepas dari kesatuan-kesatuan lain. Pendekatan numerik ini pernah dikembangkan Maurice Duverger (1950-an), ilmuwan politik kebangsaan Prancis. Menurut Duverger, sistem kepartaian dapat dilihat dari pola perilaku dan interaksi antarsejumlah partai dalam suatu sistem politik, yang dapat digolongkan menjadi tiga unit, yakni sistem partai tunggal, sistem dwi partai, dan sistem multipartai.16 Selain itu, cara lain dapat dijadikan pendekatan yaitu teori yang dikembangkan Giovani Sartori (1976), ilmuwan politik Italia. Menurut Sartori, sistem kepartaian tidak dapat digolongkan menurut jumlah partai atau unitunit, melainkan jarak ideologi antara partai-partai yang ada, yang didasarkan pada tiga hal, yaitu jumlah kutub (polar), jarak diantara kutub (bipolar), dan arah perilaku politiknya. Sartori juga mengklasifikasikan sistem kepartaian

14 15

Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hlm. 61. Sabastian Salang, Op.cit., hlm. 63. 16 FS. Swantoro, Meneropong Sistem Kepartaian Indonesia 2020, hlm. 122-123, dalam Soegeng Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Meneropong Indonesia 2020 (Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate, 2004).

Sistem Multipartai di Indonesia

menjadi tiga, yaitu pluralisme sederhana, pluralisme moderat, dan pluralisme ekstrem. Kedua pendekatan ini bisa digunakan untuk melihat sistem kepartaian Indonesia di masa lalu, kini, dan mendatang. 17 Dalam sejarahnya, Indonesia telah mempraktikkan sistem kepartaian berdasarkan pada sistem multipartai. Meski dalam derajat dan kualitas yang berbeda. Pada pemilu pertama tahun 1955-sebagai tonggak kehidupan politik pasca kemerdekaan hingga sekarang menghasilkan lima partai besar: PNI, Masyumi, NU, PKI, dan PSI. Jumlah partai yang berlaga dalam pemilu itu lebih dari 29 partai, ditambah independen. Dengan sistem pemilu proporsional, menghasilkan anggota legislatif yang imbang antara Jawa dan Luar Jawa. Pemilu dekade 1950-an 1960-an adalah sistem multipartai tanpa ada pemenang mayoritas.18 Namun, di era demokrasi parlementer tersebut telah terjadi tingkat kompetisi yang tinggi.19 Memasuki era demokrasi parlementer yang ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden yang tujuannya untuk mengakhiri konflik ideologi antarpartai. Pada masa itu, sistem kepartaian menerapkan sistem multipartai, namun tidak terjadi kompetisi.20 Memasuki dekade 1970-an sampai Pemiliu 1971, Indonesia masih menganut sistem multipartai sederhana (pluralisme sederhana). Waktu itu ada sembilan partai politik yang tersisa dari Pemilu 1955. Kesembilan partai ditambah Golkar, ikut berlaga dalam Pemilu 1971. Fenomena menarik dalam Pemilu 1971 ini adalah faktor kemenangan Golkar yang sangat spektakuler di luar dugaan banyak orang. Padahal kalangan partai tidak yakin akan memenangkan pemilu. Hal itu didasari pada dua hal, yaitu ABRI tidak ikut pemilu dan Golkar belum berpengalaman dalam pemilu. Tetapi, setelah pemilu digelar, ternyata justru bertolak belakang, Golkar menang mutlak lebih dari 63%. Kemenangan itu menandakan Indonesia memasuki era baru, yaitu Orde Baru.

17 18 19 20

Ibid, hlm. 123. Ibid, hlm. 149. Sabastian Salang, Op.cit., hlm. 67. Ibid, hlm. 67.

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pada era orde baru, sistem kepartaian masih disebut sistem multipartai sederhana, namun antarpartai tidak terjadi persaingan.21 Karena Golkar menjadi partai hegemoni. Sehingga ada pendapat bahwa secara riil sistem kepartaian menjurus ke sistem partai tunggal (single entry). Kenapa? Karena Golkar hanya berjuang demi status quo.22 Pada masa reformasi, Indonesia kembali menerapkan sistem multipartai. Hal ini dapat dipahami karena selama puluhan tahun kebebasan berekspresi dan berserikat serta berkumpul dikekang. Sehingga ketika reformasi memberikan ruang kebebasan, hasrat para politisi untuk mendirikan partai politik tersalurkan. Sebagai sebuah proses pembelajaran, fenomena menjamurnya partai politik mestinya dilihat sebagai sesuatu yang wajar di tengah masyarakat yang sedang mengalami euforia politik.23 Pada Pemilu 1999, yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon tertutup (stelsel daftar) diikuti 48 partai peserta pemilu. Jumlah partai sekitar 140 buah, tetapi lolos verifikasi hanya 48 partai. Dari jumlah itu, keluar enam partai besar pemenang pemilu, yakni PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Sistem kepartaiannya multipartai, dan tidak ada partai pemenang pemilu yang memperoleh suara mayoritas.24 Setelah dua kali pemilihan umum paska reformasi dengan sistem multipartai, Indonesia bisa belajar banyak. Proses evaluasi diri perlu dilakukan, baik partai-partai politik, maupun sistem yang diterapkan. Apakah partai-partai paska reformasi telah berperan sebagai pilar demokrasi yang mendorong demokrasi kita lebih efektif dan pemerintahan yang stabil, atau sebaliknya. Sistem kepartaian secara ideal harus mendorong pemerintahan yang stabil dan demokrasi yang semakin efektif. Bila tidak, maka tentu ada yang salah dengan sistem yang diterapkan.25 Pemilu 2004 adalah pesta rakyat yang sangat bersejarah bagi Indonesia. Pasalnya, untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan pemilu secara langsung. Keberhasilan pemilu secara langsung telah mendaulat Indonesia sebagai negara paling demokrasi ketiga di dunia setelah Amerika dan India.

21 22 23 24 25

Ibid, hlm. 67. FS. Swantoro, Op.cit., hlm. 157. Ibid, hlm. 67 Ibid, hlm. 156. Ibid, hlm. 67.

Sistem Multipartai di Indonesia

Setelah dua kali pemilu paska reformasi dengan sistem multipartai, Indonesia bisa belajar banyak. Proses evaluasi diri perlu dilakukan, baik partaipartai politik, maupun sistem yang diterapkan. Apakah partai-partai paska reformasi telah berperan sebagai pilar demokrasi yang mendorong demokrasi kita lebih efektif dan pemerintahan yang stabil, atau sebaliknya. Sistem kepartaian secara ideal harus mendorong pemerintahan yang stabil dan demokrasi yang semakin efektif. Bila tidak, maka tentu ada yang salah dengan sistem yang diterapkan26 Penyederhanaan Partai Politik Sistem kepartaian yang kita bangun haruslah diarahkan untuk terwujudnya sebuah tata kelola sistem pemerintahan presidensil yang didukung oleh jumlah partai yang sedikit di tingkat suprastruktur. Berkaca pada pengalaman hampir sepuluh tahun paska reformasi, demokrasi Indonesia dengan sistem multipartai belum signifikan memberikan harapan bagi pengelolaan tata pemerintahan yang efektif dan efisien. Alasannya karena sistem multipartai telah mengalami perluasan fragmentasi, sehingga mempersulit proses pengambilan setiap keputusan di legislatif. Karena itu, tidak heran bila berbagai pihak mulai mendorong penerapan sistem multipartai sederhana. Persoalannya, bagaimana mendorong proses penyederhanaan partai harus dilakukan? Alam demokrasi tentu tidak menggunakan larangan secara langsung bagi pendirian partai politik, karena itu hak asasi yang harus dihormati. Pembatasan partai politik dilakukan dengan menerapkan berbagai prosedur sistem pemilu. Secara sah, legal, dan demokratis, sistem pemilu menjadi alat rekayasa yang dapat menyeleksi dan memperkecil jumlah partai politik dalam jangka panjang.27 Duverger berpendapat, bahwa upaya mendorong penyederhanaan partai politik dapat dilakukan dengan menggunakan sistem distrik. Dengan penerapan sistem distrik dapat mendorong ke arah integrasi partai-partai politik dan mendorong penyederhanaan partai tanpa harus melakukan paksaan. Sementara dalam sistem proporsional cenderung lebih mudah mendorong fragmentasi partai

26 27

Ibid, hlm. 67. Denny JA, Partai Politik pun Berguguran (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. 16.

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

dan timbulnya partai-partai politik baru. Sistem ini dianggap mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai.28 Dalam sistem distrik, teritori sebuah negara dibagi menjadi sejumlah distrik. Banyaknya jumlah distrik itu sebanyak jumlah anggota parlemen yang akan dipilih. Setiap distrik akan dipilih satu wakil rakyat.29 Dalam sistem distrik berlaku prinsip the winner takes all. Partai minoritas tidak akan pernah mendapatkan wakilnya. Katakanlah, dalam sebuah distrik ada sepuluh partai yang ikut serta. Tokoh dari Partai A hanya menang 25%, namun tokoh partai lain memperoleh suara yang lebih kecil. Walau hanya mendapatkan suara 25% suara, distrik itu akan diwakili oleh tokoh partai A. Sembilan tokoh lainnya akan tersingkir.30 Metode the winner takes all ini akibatnya menjadi insentif negatif bagi partai kecil. Dalam studi perbandingan, sistem distrik ini memang merangsang partai kecil untuk membubarkan diri, atau menggabungkan diri dengan partai lain, agar menjadi mayoritas. Dalam perjalanan waktu, sistem ini hanya menyisakan dua partai besar saja. Partai kecil lainnya terkubur dengan sendirinya.31 Kelebihan sistem distrik dalam menyederhanakan jumlah partai karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik (daerah pemilihan) hanya satu, akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan dan mengadakan kerjasama. Dengan berkurangnya partai, pada gilirannya akan mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan meningkatkan stabilitas nasional. Selain itu, sistem distrik dapat meningkatkan kualitas keterwakilan karena wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat, dan dengan demikian ia akan mendorong untuk memperjuangkan aspirasi mereka.32 Meskipun sistem distrik diakui dapat menyederhanakan jumlah partai politik, namun untuk saat ini sistem tersebut belum menjadi pilihan bagi Indonesia. Mengingat realitas sosial masyarakat Indonesia yang heterogen sehingga cukup

28 29 30 31 32

Sabastian Salang, Op.cit., hlm. 68. Denny JA, Op.cit., hlm. 16. Ibid, hlm. 16. Ibid, hlm. 16. Sabastian Salang, Op.cit., hlm. 68.

Sistem Multipartai di Indonesia

sulit menerapkan sistem distrik. Karena dari golongan-golongan yang ada, golongan minoritas dikhawatirkan tidak terakomodir. Karena itu, pilihan untuk tetap menerapkan sistem proporsional merupakan suatu keputusan yang relevan untuk konteks Indonesia saat ini.33 Pertanyaannya, apakah dengan menerapkan sistem proporsional jumlah partai politik secara alami dapat terkurangi? Sistem proporsional memiliki mekanisme tersendiri untuk menyederhanakan jumlah partai politik. Penyederhanaan partai politik dalam rangka menghasilkan parlemen dan pemerintahan yang efektif, dalam era reformasi ini perundang-undangan menerapkan Electoral Threshold pada Pemilu 1999 dan 2004, dan terbukti dari 48 partai politik peserta Pemilu 1999 berkurang menjadi 24 partai politik pada Pemilu 2004. Dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, Electoral Threshold didefinisikan sebagai ambang batas syarat angka perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya. Artinya berapapun kursi yang diperoleh di parlemen, untuk turut kembali dalam pemilihan umum berikutnya harus mencapai angka Electoral Threshold itu. jadi, partai politik yang gagal memperoleh batasan suara minimal berarti gagal untuk mengikuti pemilu berikutnya. Pada pemilu 1999, Indonesia menerapkan electoral threshold sebesar 2% dari suara sah nasional. Peserta pemilu yang lolos berdasarkan perolehan suara ada enam partai. Dengan demikian, hanya keenam partai yang berhak mengikuti Pemilu 2004, yakni PDI P, Golkar, PKB, PPP, PAN, dan PBB.34 Secara prosedural, partai-partai di luar keenam partai itu tidak diperkenankan mengikuti Pemilu 2004. Tetapi, dalam praktiknya tidak demikian, karena partai lama mengubah namanya atau menambah satu kata di belakang nama partai sebelumnya. Artinya, partai yang tidak memenuhi electoral threshold tetap ikut pemilu berikutnya dengan karakter partai serta pengurus partainya tidak berubah.35

33 34 35

Ibid, hlm. 69. Ibid, hlm. 70. Ibid, hlm. 70.

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pemilu 2004 menerapkan angka electoral threshold menjadi 3% dari perolehan suara sah nasional. Hal ini dilakukan untuk lebih memperketat partaipartai yang mengikuti Pemilu berikutnya. Semangat dari peningkatan threshold yang semakin besar yaitu untuk membangun sistem multipartai sederhana dengan pendekatan yang lebih moderat. Dengan threshold 3%, partai yang bisa mengikuti Pemilu 2009 hanya tujuh partai, yaitu Golkar, PDI P, PKB, PPP, PAN, Partai Demokrat, dan PKS.36 Tetapi faktanya di parlemen ada 17 partai. Hal ini yang mengurangi keefektifan parlemen dalam bekerja karena lambat. Artinya penerapan Electoral Threshold ternyata tidak membuat partai mengerucut dan mendukung tata kelola parlemen yang efektif . Itulah latar belakang dari Panitia Khusus UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, telah mengundang sejumlah pakar dan ahli untuk memberikan pemikiran-pemikiran yang menyatakan bahwa Electoral Threshold itu tidak dikenal di negara manapun, atau menimbulkan anomali. Sehingga secara teoritis, saya kutip dari saudara Dr. Sutradara Gintings dan Prof. Dr. Ryaas rasyid saat pembahasan UU tersebut, sesungguhnya yang ada dalam sistem pemilu adalah Parliamentary Threshold yang artinya adalah syarat ambang batas perolehan suara parpol untuk bisa masuk ke parlemen. Jadi, setelah hasil jumlah suara masing-masing partai politik diketahui seluruhnya, lalu dibagi dengan jumlah suara secara nasional. Jika suara partai politik itu mencapai angka 2,5% dari jumlah suara nasional, maka dia berhak menempatkan wakilnya di parlemen, tanpa mempermasalahkan berapa jumlah kursi hasil konversi suara yang dimiliki partai politik tersebut. Inilah teori untuk menghasilkan parlemen yang efektif. Jika kita lakukan simulasi dengan data Pemilu 2004, maka di parlemen hanya akan ada 7 partai. Sehingga dengan Parliamentary Threshold akan terjaring sejumlah partai yang betul-betul legitimate. Sehingga sebelum pemilu diselenggarakan, dengan sendirinya partai politik akan mengukur diri sampai sejauh mana dukungan rakyat kepadanya. Hal ini juga akan membuat fungsi-fungsi parpol yang dirumuskan dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik akan berjalan efektif karena sebelum parpol itu melakukan fungsi rekrutmen (penentuan calon legislatif),

36

Ibid, hlm. 71.

10

Sistem Multipartai di Indonesia

partai politik pasti akan lebih dulu menjalankan fungsi sosialisasi, fungsi edukasi, fungsi agregasi dan fungsi kaderisasi. Selain itu mereka juga akan berkarya dan mengabdi kepada masyarakat. Disinilah adanya korelasi dan hubungan yang sangat signifikan antara UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, dalam sistem multipartai di Indonesia. Kesimpulan Tujuan utama pemilihan umum adalah untuk menghasilkan parlemen yang legitimate dan pemerintahan yang kuat. Hal ini menjadi tidak mungkin terwujud jika pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan pada saat yang bersamaan karena isu keduanya berbeda sehingga perilaku pemilih juga tidak bisa dipastikan. Hal ini akan mengakibatkan tidak terjadinya hubungan yang signifikan antara parlemen dengan presiden dan wakil presiden sehingga tidak terwujud tata kelola sistem pemerintahan yang stabil. Artinya, pemilihan umum merupakan rangkaian tak terpisahkan antara pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, adanya sequence (jeda waktu) antara keduanya, adalah untuk memastikan gambaran riil partai politik pendukung di parlemen terhadap pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih. Karena hanya partai politik dan gabungan partai politik yang berhasil masuk parlemen-lah yang berhak mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Sehingga keluhan yang menyatakan presiden terbelenggu menjadi tidak relevan, karena persoalannya bukanlah di UUD 1945, tetapi lebih pada produk dari pemilihan umum yang belum secara signifikan memposisikan dan menempatkan sistem multipartai pada proporsi yang sebenarnya. Adalah hak rakyat untuk membuat partai politik, dan hak partai politik untuk ikut pemilu. Tetapi untuk masuk ke parlemen ada mekanisme yang harus ditempuh yaitu Parliamentary Threshold. Agar partai politik dibentuk tidak hanya sekadar untuk ikut pemilu tapi partai politik dibuat agar fungsi-fungsi partai politik dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga parpol menjadi sarana dan wahana dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi keniscayaan. Dan rakyat pun akan kembali menghargai dan menghormati partai politik karena sesungguhnya demokrasi tidak akan mungkin tanpa adanya partai politik.
11

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Inilah sistem multipartai yang kita bangun untuk diarahkan menuju terbentuknya sebuah rezim pemerintahan presidensil yang efektif. Karena dalam sistem presidensil itu tidak dikenal jumlah partai yang banyak. Selain itu, sebuah keharusan bagi partai politik dan gabungan parpol di parlemen yang mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk masing-masing menyamakan visi dan misinya agar selanjutnya dijadikan dokumen negara yang harus dipertanggungjawabkan dan diumumkan kepada publik.

12

SISTEM MULTIPARTAI, PRESIDENSIAL DAN PERSOALAN EFEKTIVITAS PEMERINTAH


Oleh: Partono, SIP, MA1

Abstrak
Artikel ini berpendapat bahwa salah satu faktor utama permasalahan efektivitas dan stabilitas pemerintah saat ini disebabkan oleh kombinasi sistem pemerintahan dan sistem kepartaian, sistem presidensial dan multipartai, tidak mendukung terciptanya sebuah pemerintahan yang efektif dan stabil. Meskipun demikian, tidak dapat dinafikan bahwa faktor personal pejabat presiden juga mempengaruhi efektivitas dan stabilitas pemerintahan yang dipimpinnya. Artikel ini kemudian menyimpulkan bahwa untuk menciptakan sebuah pemerintah yang efektif dan stabil maka diperlukan sebuah perubahan di dalam sistem politik di Indonesia. Sistem presidensial dapat mewujudkan pemerintah yang efektif dan stabil jika dikombinasikan dengan sistem kepartaian yang sederhana.

Pendahuluan Perdebatan paling seru menjelang di selenggarakannya hajatan nasional, pemilu 2009, adalah bagaimana melanjutkan reformasi di bidang politik, khususnya sistem pemilu dan pemerintahan, yang ditujukan untuk memperkuat stabilitas dan meningkatkan efektifitas dalam mengimplementasikan kebijakankebijakan pemerintah. Tidak sedikit ahli politik berpendapat bahwa pasca turunnya Presiden Suharto, stabilitas dan efektivitas pemerintahan dinilai lemah. Kebijakankebijakan pemerintah tidak efektif di implementasikan, bahkan pemerintah terpilih dapat diberhentikan ditengah masa kerjanya. Contoh yang paling mudah diingat adalah ketika Presiden Abdurrahman Wahid diturunkan dari jabatannya oleh MPR. Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono tidak sedikit kebijakan-kebijakan atau program-program pemerintah mendapatkan

Penulis adalah Peneliti Senior CETRO. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat lembaga.

13

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

perlawanan bahkan penolakan dari DPR, misalnya pengangkatan Gubernur BI, rencana meningkatkan BBM, dan sebagainya. Berbaliknya pendulum politik di Indonesia pasca turunnya Presiden Suharto tidak lepas dari hasil amandemen UUD 1945. Posisi presiden yang terlalu dominan di dalam sistem politik Indonesia dianggap sebagai salah satu faktor yang mendorong munculnya pemerintahan yang otoriter. Oleh karena itu dalam proses amandemen UUD 1945 kekuasaan presiden dikurangi, disisi lain kekuasaan parlemen ditambah dan dipertegas. Amandemen ini sebenarnya dilakukan untuk menjamin terjadinya proses checks and balances antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Namun dalam kenyataanya, akibat dari amandemen adalah hubungan antara kedua lembaga ini menjadi disharmoni. Akibat dari ketidakharmonisan hubungan antara kedua lembaga ini menyebabkan implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah tidak berjalan dengan efektif. Penulis berpendapat bahwa masalah dari ketidakefektifan implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah karena terdapat hubungan yang tidak harmonis antara lembaga eksekutif dengan parlemen. Akar permasalahan ini paling tidak ada 2 (dua) faktor. Pertama adalah sistem politik yang diimplementasikan oleh Indonesia, sistem presidensial dan sistem multipartai, tidak mendukung terciptanya pemerintahan yang stabil dan efektif. Kedua adalah personal dan kapasitas yang menjadi presiden. Di dalam tulisan ini penulis bermaksud mengidentifikasi hubungan antara sistem multipartai dan sistem presidensial kaitannya dengan permasalahan efektivitas dan stabilitas pemerintah. Selain itu, tulisan ini memberikan beberapa alternatif jawaban yang dapat diimplementasikan di Indonesia dan memberikan rekomendasi pilihan jawaban yang paling cocok dalam konteks Indonesia. Definisi Sistem Kepartaian Sistem multi partai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian yang berkembang di dunia modern saat ini. Andrew Heywood (2002) berpendapat bahwa sistem partai politik adalah sebuah jaringan dari hubungan dan interakasi antara partai politik di dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Untuk mempermudah memahami sistem partai politik Heywood kemudian memberikan kata kunci untuk membedakan tipe-tipe sistem kepartaian. Kata kunci tersebut adalah jumlah partai politik yang tumbuh atau
14

Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

eksis yang mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan melalui pemilu. Parameter jumlah partai politik untuk menentukan tipe sisem partai politik pertama kali dikenalkan dan dipopulerkan oleh Duverger pada tahun 1954 dimana Duverger membedakan tipe sitem politik menjadi 3 sistem, yaitu sistem partai tunggal, sistem dua partai, dan sistem multipartai. Dari definisi yang diperkenalkan oleh Duverger tersebut kita dengan mudah menentukan sistem partai politik di sebuah negara. Kalau di negara tersebut hanya terdapat satu partai politik yang tumbuh atau satu partai politik yang dominan dalam kekuasaan maka dapat dipastikan bahwa sistem tersebut adalah sistem partai tunggal. Namun jika terdapat dua partai politik maka sistem partainya adalah sitem dua partai. Sebaliknya, jika di dalam negara tersebut tumbuh lebih dari dua partai politik maka dikatakan sebagai sistem multipartai. Sartori (1976) menyatakan bahwa yang paling terpenting dari sebuah sistem kepartaian adalah sebuah pengaturan mengenai hubungan partai politik yang berkaitan dengan pembentukan pemerintahan, dan secara lebih specifik apakah kekuatan mereka memberikan prospek untuk memenangkan atau berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah. Meski demikian, pada perkembangan selanjutnya pendekatan yang hanya berdasarkan jumlah dan interaksi antar partai politik tersebut mendapat kritikan dan ketidaksetujuan dari beberapa ahli misalnya Bardi and Mair (2008) dan Blau (2008). Bardi dan Mair berpendapat bahwa sistem kepartaian tidak bisa ditentukan semata-mata oleh jumlah partai yang ikut dalam pemilu akan tetapi sebagai fenomena yang multi dimensi. Selanjutnya Bardi dan Mair menjelaskan bahwa tipe partai politik dipengaruhi oleh 3 (tiga) dimensi, yaitu vertikal, horisontal dan fungsional. Dimensi veritikal yang mempengaruhi sistem partai politik dicontohkan dengan adanya polarisasi dan segmentasi di dalam masyarakat pemilih (bahasa, etinisitas, agama dan lain-lain). Sedangkan dimensi horisontal ditentukan oleh pembedaan level pemerintahan dan level pemilu. Dimensi fungsional disebabkan oleh karena pembedaan arena kompetisi (nasional, regional, dan lokal). Praktek Sistem Kepartaian di Indonesia Konsititusi kita (UUD 1945) tidak mengamanatkan secara jelas sistem kepartaian apa yang harus diimplementasikan. Meskipun demikian konstitusi mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem multipartai. Pasal
15

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

tersebut adalah pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut sistem multipartai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik. Kata gabungan partai poltitik artinya paling sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden untuk bersaing dengan calon lainnya yang diusung oleh partai politik lain. Dengan demikian dari pasal tersebut di dalam pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit terdapat tiga partai politik. Kenyataanya, Indonesia telah menjalankan sistem multi partai sejak Indonesia mencapai kemerdekaan. Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta No. X/1949 merupakan tonggak dilaksanakannya sistem multipartai di Indonesia. Keputusan Wapres ini juga ditujukan untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu yang pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen (perseorangan). Beberapa partai politik yang mendapatkan suara signifikan pada pemilu pertama antara lain PNI (22,32%), Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%), PSII (2,89%), Parkindo (2,66%), PSI (1,99%), Partai Katolik (2,04%), dan IPKI (1,43%)2. Sejak Suharto menjadi presiden pada tahun 1967 partai politik dianggap sebagai penyebab dari ketidakstabilan politik yang terjadi pada tahun 1950an - 1960an. Oleh karena itu agenda yang penting untuk menciptakan pemerintahan yang stabil adalah melakukan penyederhanaan partai politik. Pada pemilu pertama di masa Orde Baru, tahun 1971, terdapat 10 partai politik, termasuk partai pemerintah (Golkar) ikut berkompetisi memperebutkan kekuasaan. Pada tahun 1974 Presiden Suharto melakukan restrukturisasi partai politik, yaitu melakukan penyederhanaan partai melalui penggabungan partaipartai politik. Hasil dari restrukturisasi partai politik tersebut adalah munculnya tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI). PPP merupakan hasil fusi dari beberapa partai politik yang berasaskan Islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti). PDI merupakan hasil penggabungan dari partai-partai nasionalis dan agama

Wikipedia yang diakses pada tanggal 12 Mei 2008. dapat diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/ Pemilu_1955.

16

Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

non-Islam (PNI, IPKI, Parkindo, Katolik). Sedangkan Golkar adalah partai politik bentukan pemerintah Orde Baru. Meskipun dari sisi jumlah partai politik yang berkembang di Indonesia pada saat itu, Indonesia dikategorikan sebagai negara yang menganut sistem multipartai, banyak pengamat politik berpendapat bahwa sistem kepartaian yang dianut pada era Orde Baru adalah sistem partai tunggal. Ada juga yang menyebut sistem kepartaian era Orde Baru adalah sistem partai dominan. Hal ini dikarenakan kondisi kompetisi antar partai politik yang ada pada saat itu. Benar, jika jumlah partai politik yang ada adalah lebih dari dua parpol sehingga dapat dikategorikan sebagai sistem multipartai. Namun jika dianalisis lebih mendalam ternyata kompetisi diantara ketiga partai politik di dalam pemilu tidak seimbang. Golkar mendapatkan privelege dari pemerintah untuk selalu memenangkan persaingan perebutan kekuasaan. Gerakan reformasi 1998 membuahkan hasil liberalisasi disemua sektor kehidupan berbangasa dan bernegara, termasuk di bidang politik. Salah satu reformasi dibidang politik adalah memberikan ruang bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik yang dianggap mampu merepresentasikan politik mereka. Liberalisasi politik dilakukan karena partai politik warisan Orde Baru dinilai tidak merepresentasikan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Hasilnya tidak kurang dari 200 partai politik tumbuh di dalam masyarakat. Dari ratusan parpol tersebut hanya 48 partai yang berhak mengikuti pemilu 1999. Pemilu 1999 menghasilkan beberapa partai politik yang mendapatkan suara yang signifikan dari rakyat Indonesia adalah PDI.Perjuangan, Partai Golkar, PKB, PPP, dan PAN. Peserta pemilu tahun 2004 berkurang setengah dari jumlah partai politik pemilu 1999, yaitu 24 partai politik. Berkurangnya jumlah parpol yang ikut serta di dalam pemilu 2004 karena pada pemilu tersebut telah diberlakukan ambang batas (threshold). Ambang batas tersebut di Indonesia dikenal dengan Electoral Threshold. Di dalam UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu diatur bahwa partai politik yang berhak untuk mengikuti pemilu berikutnya adalah partai politik yang mendapatkan sekurang-kurangnya 2% jumlah kursi DPR. Partai politik yang tidak mencapai ambang batas tersebut dapat mengikuti pemilu berikutnya harus bergabung dengan partai lain atau membentuk partai politik baru. Kalau pemilu 1999 hanya menghasilkan lima parpol yang mendapatkan suara signifikan dan mencapai Electoral Threshold (ET). Meskipun persentasi
17

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

ET dinaikan dari 2% menjadi 3% jumlah kursi DPR, Pemilu 2004 menghasilkan lebih banyak partai politik yang mendapatkan suara signifikan dan lolos ET untuk pemilu 2009. Pemilu 2004 menghasilkan tujuh partai yang mencapai ambang batas tersebut. Ketujuh partai tersebut adalah Partai Golkar, PDI. Perjuangan, PKB, PPP, Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Sistem Presidensialisme di Indonesia Sistem presidensial paling tidak memiliki 2 (dua) ciri utama (Mainwarring, 1990). Ciri pertama adalah kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara terpisah dengan pemilihan anggota parlemen. Dengan demikian hasil pemilu legislatif tidak menentukan kekuasaan pemerintah (eksekutif) secara langsung. Ciri yang kedua adalah kepala pemerintah dipilih untuk memerintah dengan periode waktu yang tetap (misalnya 5 tahun). Selain kedua ciri utama yang dikemukakan oleh Mainwaring tersebut, Heywood memberikan beberapa ciri lain dari sebuah sistem presidensial. Ciri-ciri tersebut antara lain kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat oleh seorang presiden, kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden sedangkan kabinet yang terdiri dari menteri-menteri adalah pembantu dan bertanggungjawab kepada presiden, dan di dalam sistem presidensial terdapat pemisahan personel yang ada di parlemen dan di pemerintah. Selain ciri-ciri utama yang telah disebutkan oleh dua ilmuwan politik tersebut masih ada ciri lain yang tidak kalah penting, yaitu hubungan antara lembaga keprisidenan dan lembaga parlemen. di dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan parlemen, sebaliknya parlemen tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan/ memberhentikan presiden. Di beberapa negara yang menganut sistem presidensial parlemen memiliki hak impeachment. Namun demikian hak impeachment parlemen ini disertai dengan persyaratan yang sangat berat. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Berbeda dengan sistem kepartaian yang tidak diatur secara tegas oleh konstitusi, UUD 1945 secara tegas dan rinci mengatur sistem pemerintahan yang mengacu pada sistem presidensial. Pengaturan tersebut terdapat di dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara dan Bab IV tentang Kementerian Negara.

18

Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

Presiden dan Wakil Presiden Indonesia dipilih melalui pemilu yang terpisah dengan pemilu legislatif. Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945 presiden dan wakil presiden dipilih melalui pemilihan oleh anggota MPR. Pada rejim Orde Baru pemilihan presiden seolah-olah tidak memberikan kesan yang berarti bagi republik karena setiap sidang umum untuk memilih presiden dapat dipastikan anggota MPR secara aklamasi memilih kembali Presiden Suharto. Pemilihan presiden dan wakil presiden yang terjadi di Gedung DPR/MPR pada tahun 1999 kembali menjadi sorotan publik masyarakat Indonesia dan internasional. Pertama kalinya anggota MPR memilih presiden dan wakil presiden melalui pemungutan suara. Sistem pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilakukan oleh anggota MPR sampai tahun 1999 dinilai kurang demokratis dan tuntutan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada saat itu semakin kuat. Akhirnya pada tahun 2001 terjadi amandemen ketiga terhadap UUD 1945, salah satu materi yang diamandemen adalah presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Akhirnya, pada tahun 2004 rakyat Indonesia pertama kali memilih kepala negara secara langsung. Pemilu presiden secara langsung ini ditujukan untuk mendapatkan pemimpin pemerintahan dan negara yang memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih dan didukung secara langsung oleh mayoritas rakyat Indonesia. Pemilu presiden dan wakil presiden 2004 menghasilkan pemerintahan yang memiliki legitimasi yang kuat. Namun persoalan lain yang muncul adalah pemerintah terpilih tidak mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa. Ketidakmampuan pemerintah mengimplementasikan kebijakan-kebijakan publik disebabkan karena pemilu presiden secara langsung tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif, kuat dan stabil. Presidensialisme Multi Partai dan Efektivitas Pemerintah Banyak pernyataan yang disampaikan oleh akademisi, anggota parlemen, dan pengamat politik bahwa pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yodoyono dinilai kurang atau tidak efektif dalam mengimplementasikan program-program yang dihasilkan di tengah-tengah masyarakat. Banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak efektifnya pemerintahan SBY disebabkan karena hubungan antara lembaga kepresidenan dan lembaga parlemen tidak baik. Tidak sedikit program-program pemerintah yang harus
19

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

mendapatkan persetujuan dari parlemen mendapatkan resistensi dari DPR, bahkan ditolak oleh DPR. Dengan demikian program atau rencana kerja pemerintah tidak dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya. Problem efektivitas pemerintah yang dialami oleh Indonesia saat ini juga banyak dialami negara-negara lain yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Mainwaring (2008) berpendapat bahwa hanya empat negara penganut sistem presidensial yang berhasil dalam menciptakan pemerintah yang efektif dan stabil. Keempat negara tersebut adalah Amerika Serikat, Costa Rica, Columbia, dan Venezuela. Sebaliknya, mayoritas negara-negara yang menganut sistem parlementer dinilai sukses dalam hal menjaga stabilitas dan efektifitas pemerintahan. Beberapa negara tersebut antara lain; Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Jerman, Irlandia, Belanda, Inggris, Selandia Baru, Italia, dan sebagainya. Pertanyaan berikutnya adalah mengapa kombinasi antara sistem presidensial dan sistem multi partai yang dipraktekkan di Indonesia tidak mendorong terjadinya pemerintahan yang efektif dan stabil? Penulis tidak ingin menyatakan bahwa sistem pemerintahan memiliki korelasi langsung terhadap efektivitas pemerintahan, karena terdapat bukti kalau kedua sistem pemerintahan mampu menciptakan pemerintahan yang efektif. Meskipun tidak ada hubungan yang langsung antara sistem pemerintahan dengan efektifitas pemerintah, akan tetapi ada beberapa hal di dalam sistem presidensialime yang mempengaruhi efektivitas pemerintah. Dari segi menjaga stabilitas politik dan pemerintahan, Indonesia memiliki pengalaman yang berharga dan mampu menjawab bahwa sistem presidensial ternyata mampu menghasilkan stabilitas politik dan pemerintahan yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem parlemen. Pelaksanaan demokrasi parlemen pada tahun 1950an ternyata dinilai gagal di dalam menciptakan stabilitas pemerintah dan politik yang akhirnya dinilai gagal menyejahterakan rakyat Indonesia. Salah satu alasan Amerika dengan sistem presidensial mampu menghasilkan pemerintah yang efektif karena ditopang oleh sistem dwi-partai. Sedangkan Indonesia mempraktekan sistem presidensial dan sistem multi partai. Ada beberapa alasan mengapa sistem presidensial dan sistem multi partai kurang berhasil di dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil dibandingkan dengan sistem parlementer yang dikombinasikan dengan sistem dua partai. Menurut Mainawrring (2008) terdapat beberapa alasan/kelemahan
20

Sistem Multpartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai. Pertama, karena pemilihan presiden dan parlemen diselenggarakan secara terpisah maka kemungkinan presiden yang terpilih adalah presiden yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Hal ini terjadi di Indonesia, Presiden SBY berasal dari partai politik yang memiliki suara dan kursi yang kecil, Partai Demokrat mendapatkan suara 7,45%. Padahal di dalam sistem presidensial dukungan parlemen kepada presiden sangat berpengaruh di dalam proses pembuatan undang-undang dan pelaksanaan kebijakan dan program program pemerintah. Semakin besar dukungan parlemen kepada presiden maka implementasi kebijakan publik oleh pemerintah akan semakin efektif. Sebaliknya semakin kecil dukungan parlemen maka efektifitas pemerintah di dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan akan semakin berkurang. Kedua, personal presiden termasuk kepribadian dan kapasitas merupakan salah satu faktor yang penting. Di dalam sebuah situasi yang sulit seperti keadaan krisis ekonomi saat ini presiden dihadapkan pada pekerjaan yang sangat banyak dan rumit. Oleh karena itu presiden juga dituntut memiliki kapasitas yang baik untuk menangani berbagai permasalahan yang sedang dihadapi. Selain dituntut untuk memiliki kapasitas dalam menangani permasalahan bangsa, karena presiden membutuhkan support/dukungan dari parlemen maka presiden juga dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dan lobby yang baik dengan parlemen. salah satu faktor kurang efektifnya pemerintahan SBY saat ini oleh beberapa kalangan dinilai disebabkan kelemahan SBY di dalam mengelola dukungan dari koalisi partai politik yang mendukung pemerintah dan lemahnya/ketidakmampuan presiden melakukan komunikasi dan lobby politik dengan parlemen. Ketiga, di dalam sebuah sistem presidensial dan multipartai membangun koalisi partai politik untuk memenangkan pemilu adalah hal yang sangat wajar dan umum terjadi. Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang sangat sulit. Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di dalam sistem presidensial khususnya di Indonesia tidak bersifat mengikat dan permanen. Partai politik yang tergabung di dalam sebuah koalisi mendukung pemerintah bisa saja menarik dukungannya. Contohnya adalah PAN sebagai partai pendukung SBY tibatiba menarik dukungannya ditengah perjalanan. Tidak adanya jaminan bahwa koalisi terikat untuk mendukung pemerintah sampai dengan berakhirnya masa
21

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

kerja presiden. Partai-partai politik yang tergabung di dalam koalisi cenderung mengambil keuntungan dari pemerintah. Jika kebijakan atau program yang diambil oleh pemerintah tidak populer partai politik cenderung melakukan oposisi. Selanjutnya koalisi partai politik yang dibangun untuk mendukung calon presiden tidak mencerminkan dan menjamin dukungan semua anggota parlemen dari masing-masing partai politik yang ada di dalam koalisi kepada presiden. Partai politik tidak mampu melakukan kontrol terhadap para anggotaanggotanya di parlemen untuk selalu mendukung pemerintah. Hal yang menarik adalah tidak sedikit anggota DPR dari partai Golkar, PPP, PKB, yang memiliki wakilnya di kabinet melakukan perlawanan terhadap program-program yang akan dilakukan oleh pemerintah yang notabene harus di dukungnya. Di dalam sistem parlementer koalisi partai politik lebih bersifat permanen dan disiplin. Koalisi partai politik dibangun atas dasar parlemen. Anggota parlemen dari koalisi partai politik pendukung pemerintah yang tidak mendukung kebijakan pemerintah akan dikeluarkan dari parlemen. Selain ancaman dikeluarkan dari keanggotan parlemen oleh partai politiknya, jika anggota tidak mendukung program-program pemerintah agar berhasil perolehan kursi partai mereka akan terancam pada pemilu berikutnya. Sehingga suksesnya pemerintah terbentuk juga mempengaruhi citra partai politik pendukungnya. Jika koalisi parpol dalam sistem parlementer dibangun setelah pemilu, koalisi parpol dalam sistem presidensial dibangun sebelum pemilu presiden dilaksanakan. Akibatnya beberapa partai politik mendukung di dalam pencalonan akan tetapi tidak mendukung ketika calon tersebut terpilih. Hal ini disebabkan, misalnya, tidak terwakilinya partai tersebut di kabinet. Kalaupun terdapat perwakilan partai di kabinet, partai politik tersebut tidak bertanggungjawab atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Keempat adalah lemahya penegakan fatsoen politik politisi yang ada di eksekutif maupun parlemen. Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat beberapa politisi di parlemen yang tidak mengindahkan etika dalam berpolitik. Beberapa anggota DPR terkesan ingin mencari popularitas di hadapan publik dengan melakukan berbagai kritikan-kritikan terhadap semua kebijakan pemerintah, tidak peduli apakah program dan kebijakan tersebut baik atau tidak bagi masyarakat. Perilaku inilah yang menyebabkan pengambilan keputusan di parlemen sulit untuk dicapai secara efektif. Sebaliknya beberapa menteri di
22

Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

kabinet lebih menunjukkan loyalitas kepada ketua partainya dibandingkan dengan kepada presiden. Atau bahkan para pembantu presiden tersebut lebih disibukkan dengan kegiatan konsulidasi internal partai politik dibandingkan dengan membantu presiden mengimplementasikan program-program pemerintah. Tidak bisa dipungkiri kabinet hasil koalisi ini sering terjadi conflict of interest karena pejabat partai politik yang ditunjuk sebagai menteri tidak mengundurkan diri dari jabatan di partai politik. Pilihan Solusi Masalah Kalau kita sepakat bahwa tujuan utama penataan sistem politik Indonesia ditujukan untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil maka ada beberapa alternatif jawaban yang patut dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan. Beberapa alternatif tersebut adalah sebagai berikut; 1. Mengubah Sistem Presidensial menjadi Sistem Parlemen Sepertinya pilihan pertama ini sangat sulit, kalau tidak dibilang mustahil, untuk dilakukan. Selain pengalaman traumatis yang pernah dialami Indonesia pada masa demokrasi parlementer, UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial. Tidak mudah untuk melakukan amandemen terhadap UUD, akan memerlukan perdebatan yang panjang dan pasti akan mendapatkan resistensi yang sangat besar. Pilihan ini adalah tidak realistik untuk dipilih. 2. Mengubah Sistem Kepartaian Contoh negara yang mengimplementasikan sistem presidensial yang sukses adalah Amerika dimana sistem presidensial di dukung oleh sistem dwi partai. Kalau bangsa Indonesia ingin berkiblat kepada Amerika di dalam menata sistem politiknya maka sistem multipartai haruslah diubah menjadi sistem dwi partai. Tawaran solusi ini sepertinya juga sulit untuk direalisasikan karena akan melawan arus demokrasi. Masyarakat Indonesia yang sifatnya plural tidak akan bisa direpresentasikan oleh dua partai politik saja. 3. Mengurangi Jumlah Partai Politik Jumlah partai politik yang terlalu banyak juga merupakan salah satu faktor penyumbang tidak efektifnya sistem pemerintah di Indonesia. Banyaknya partai politik yang ikut dalam pemilu menyebabkan koalisi yang dibangun untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden terlalu gemuk karena melibatkan
23

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

banyak parpol. Gemuknya koalisi ini mengakibatkan pemerintahan hasil koalisi tidak dapat berjalan efektif karena harus mempertimbangkan banyak kepentingan. Jika saja partai politik yang ikut serta pemilu tidak banyak, maka koalisi parpol yang dibangun juga tidak akan menjadi gemuk. Presiden terpilih idealnya berasal dari koalisi yang sekurang-kurangnya mendapatkan dukungan parlemen 50% dari jumlah kursi DPR dan jumlah partai yang ikut berkoalisi tidak banyak, cukup dua atau tiga partai saja. Usulan solusi ini lebih moderat jika dibandingkan dengan pilihan 1 dan 2 karena masih mempertahankan sistem presidensial dan sistem multi partai. Hanya saja jumlah partai di Indonesia yang terlalu banyak ini perlu disederhanakan. Penyederhanaan partai politik sebenarnya sudah dilakukan sejak pemilu 1999 dengan mengimplementasikan ambang batas bagi partai politik untuk ikut serta dalam pemilu berikutnya (Electoral Threshold) dan ambang batas bagi partai politik untuk mengirimkan wakilnya di parlemen (Parliamentary Threshold) akan diberlakukan pada pemilu 2009. 4. Menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Legislatif secara Bersama-sama (Concurrent Elections) Beberapa pengamat politik berpendapat penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden secara bersama-sama, concurrent elections, akan menciptakan pemerintahan yang efektif. Dengan concurrent elections presiden terpilih akan mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat dan mendapatkan dukungan yang kuat dari parlemen. Di dalam masyarakat/negara yang menganggap pemilihan presiden lebih penting dibandingkan pemilihan legislatif, pemilih akan cenderung memilih partai poltitik yang mencalonkan presiden yang didukungnya. Akibatnya partai politik yang mendukung calon presiden terpilih akan memiliki peluang besar untuk memenangkan pemilu legislatif. Dengan demikan mayoritas anggota parlemen berasal dari partai tersebut. Solusi yang ditawarkan Alternatif solusi ketiga, mengurangi jumlah partai dan dibarengi dengan koalisi partai yang disiplin dan mengikat, adalah solusi yang paling memungkinkan dalam konteks Indonesia. Berapa jumlah partai politik yang efektif dan ideal bagi bangsa Indonesia yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Beberapa pengamat mengatakan bahwa masyarakat Indonesia cukup diwakili oleh 5 partai politik
24

Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

saja. Sedangkan berdasarkan survey yang pernah diselenggarakan oleh salah satu lembaga survey jumlah partai politik yang dikehendaki oleh publik adalah 5 - 7 partai. Lantas mekanisme seperti apa yang diperlukan untuk mengurangi jumlah partai politik yang ada? Ada beberapa mekanisme yang bisa diberlakukan untuk melakukan penyederhanaan partai. Beberapa mekanisme telah dipraktekan oleh bangsa kita. Pertama adalah melakukan restrukturisasi seperti yang dilakukan Presiden Suharto pada tahun 1974. Kedua, memberlakukan ambang batas (threshold). ET diberlakukan pada pemilu 2004 dan 2009. sedangkan PT diberlakukan pada pemilu 2009. ET ternyata tidak efektif untuk menyederhanakan partai politik karena para pemimpin partai yang tidak lolos ET bisa mendirikan partai baru untuk ikut pemilu berikutnya. Sehingga meskipun dengan menaikkan angka persentasi ET tetap saja tidak akan mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu. Yang efektif adalah meningkatkan angka persentasi PT. PT lebih efektif mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu karena jelas punishment nya. Partai politik yang tidak mampu mencapai ambang batas yang telah ditetapkan tidak diperbolehkan untuk mengirimkan wakilnya di parlemen. di beberapa negara memiliki angka persentase yang berbedabeda. Di Jerman ambang batasnya adalah 5%, sedangkan di Turki sebesar 10%. Dengan ambang batas 10% Turki hanya memiliki 3 atau 4 partai politik yang memiliki wakilnya di parlemen. Ketiga adalah dengan memperkecil alokasi kursi di masing-masing daerah pemilihan (district magnitude). Semakin kecil alokasi kursi di setiap DP maka peluang partai untuk mendapatkan kursi semakin kecil. Hanya partai-partai besar saja yang berpeluang mendapatkan kursi. Sedangkan partai kecil dan menengah akan kehilangan peluang untuk memenangkan persaingan. Dengan demikian pengecilan alokasi kursi tersebut merupakan alat untuk menyeleksi partai politik yang benar-benar mendapat dukungan dari publik. Partai politik yang tidak mendapatkan suara signifikan secara alami didorong untuk melakukan koalisi dengan partai lain atau akan mati karena tidak mendapatkan suara dan kursi di parlemen. Dua mekanisme penyederhanaan partai politik yang terakhir menaikan ambang batas dan memperkecil district magnitude - tersebut tentu akan lebih efektif kalau keduanya dilaksanakan secara berbarengan. Dua metode terakhir akan lebih diterima dibandingkan dengan metode yang pertama.
25

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Dengan terciptanya sistem kepartaian yang lebih sederhana maka akan mendorong koalisi partai politik yang lebih ramping, disiplin dan mengikat. Bagaimana mekanisme untuk mendorong agar supaya partai politik membangun koalisi yang disiplin dan mengikat? Tentu yang pertama adalah memperbaiki disiplin internal partai politik masing-masing. Partai politik harus mampu mengontrol anggota-anggotanya di parlemen untuk mengikuti kebijakan partainya dalam mendukung pemerintahan. Jika perlu, partai politik memberikan sanksi tegas kepada anggotanya di parlemen yang tidak mendukung program dan kebijakan pemerintah. Kedua, fatsoen politik harus ditegakkan. Para politisi yang ada di DPR dan kabinet harus sejalan dan seiring dengan program dan kebijakan presiden. Pejabat partai politik yang dipilih di kabinet seharusnya mengundurkan diri dari jabatan di masing-masing partai untuk mengurangi conflict of interest. Ketiga, partai-partai politik di dalam koalisi harus berkomitmen kuat untuk terus mendukung sampai dengan pemilu presiden berikutnya. Kesimpulan Faktor personalitas presiden dan wakil presiden berpengaruh dalam menciptakan efektivitas dan stabilitas pemerintahan. Persoalan efektivitas pemerintahan di Indonesia saat ini lebih disebabkan oleh karena disharmoni hubungan antara lembaga kepresidenan dengan parlemen. faktor kemampuan berkomunikasi, lobby, dan menjaga dan mempertahankan dukungan dari parlemen oleh presiden sangat penting dalam menciptakan pemerintah yang efektif dan stabil. Meskipun demikian permasalahan efektifitas dan stabilitas pemerintah di Indonesia tidak saja dipengaruhi oleh personalitas pejabat presiden dan wakil presiden saja. Efektivitas dan stabilitas pemerintah juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan dan sistem kepartaian yang dilaksanakan. Sistem presidensial dan sistem multipartai dengan jumlah partai yang terlalu banyak ternyata merupakan faktor lain yang krusial. Observasi dan kajian yang dilakukan oleh Mainwaring (2008) menunujukkan bahwa sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multi partai yang dilaksanakan di beberapa negara gagal untuk menciptakan pemerintahan yang ideal. Amerika Serikat berhasil menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil karena menggunakan kombinasi sistem presidensial dan dwi partai.
26

Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

Di Indonesia dengan masyarakat yang sangat heterogen tidak mungkin akan dibawa menuju sistem dwi partai. Maka solusi yang ditawarkan adalah jalan tengah antara kombinasi sistem presidensial dengan multipartai yang sederhana. Multi sistem partai yang sederhana harus didukung oleh koalisi partai yang ramping, disiplin dan mengikat. Untuk menyederhanakan partai politik yang ada di Indonesia terdapat dua mekanisme yang dapat diimplementasikan secara bersamaan yaitu meningkatkan ambang batas (PT) dan memperkecil district magnitude.

27

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

DAFTAR PUSTAKA

Blau Adrian, The Effective Number of Parties at Four Scales, Sage Publication Vol. 14 No. 2, 2008. Bardi, Luciano and Mair, Peter, The Parameters of Party Sistem, Sage Publication Vol. 14 No. 2, 2008. Heywood, Andrew, Politics, Palgrave Foundations, Second Edition, New York, 2002. Mainwaring, Scott, Presidensialism, Multy Party Systems, and Democracy : The Difficult Equation, Working Paper 144 September 1990. Mellaz, August, Keserentakan Pemilu dan Penyederhanaan Kepartaian, Position Paper yang tidak dipublikasikan. NIMD, Buku Pegangan Pengembangan Institusional : Suatu Kerangka Kerja Pengembangan Partai Politik yang Demokratis, NIMD, Den Haag, 2006. UUD 1945 Hasil Amandemen, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, 2002.

28

PERAN PARTAI POLITIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU YANG ASPIRATIF DAN DEMOKRATIS
Oleh: Dr. Wicipto Setiadi, S.H.,M.H.1

A. Pendahuluan Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah pemilihan umum (Pemilu). Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau kepemimpinan daerah dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan Pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, Pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi kekuasaan. Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, Pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian peserta Pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, Pemilu yang diselenggarakan secara berkala, dalam artian Pemilu harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Ketiga, Pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Tidak ada satu pun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalam proses Pemilu. Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana bebas, tidak di bawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Kelima, penyelenggara Pemilu yang tidak memihak dan independen. Dalam kedudukannya sebagai pilar demokrasi, peran partai politik dalam sistem perpolitikan nasional merupakan wadah seleksi kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah. Pengalaman dalam rangkaian penyelenggaraan seleksi kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah melalui Pemilu

Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM. Memperoleh gelar S1 (SH) dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, S2 (Magister Hukum) dari Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, dan S3 (Doktor Ilmu Hukum) dari Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

29

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

membuktikan keberhasilan partai politik sebagai pilar demokrasi. Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2004 dinilai cukup berhasil oleh banyak kalangan, termasuk kalangan internasional. Dengan gambaran ini dapat dikatakan bahwa sistem perpolitikan nasional dipandang mulai sejalan dengan penataan kehidupan berbangsa dan bernegara yang di dalamnya mencakup penataan partai politik. Peran partai politik telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi sistem perpolitikan nasional, terutama dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dinamis dan sedang berubah. Jika kapasitas dan kinerja partai politik dapat ditingkatkan, maka hal ini akan berpengaruh besar terhadap peningkatan kualitas demokrasi dan kinerja sistem politik. Oleh karena itu, peran partai politik perlu ditingkatkan kapasitas, kualitas, dan kinerjanya agar dapat mewujudkan aspirasi dan kehendak rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi. Pada saat ini sedang dirampungkan 5 (lima) paket Undang-Undang di bidang politik untuk menyongsong Pemilu Tahun 2009. Dari 5 (lima) paket Undang-Undang tersebut, baru berhasil diselesaikan 3 (tiga) undang-undang, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4721); 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4801); dan 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4836). Sisanya, yaitu: 1. Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; dan 2. Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, akan segera dibahas di DPR pada masa sidang berikutnya.

30

Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis

B. Pemilu Demokratis Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan dapat menyerap serta memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terselenggaranya Pemilu secara demokratis menjadi dambaan setiap warga negara Indonesia. Pelaksanaan Pemilu dikatakan berjalan secara demokratis apabila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Setiap pemilih hanya menggunakan hak pilihnya satu kali dan mempunyai nilai yang sama, yaitu satu suara. Hal ini yang sering disebut dengan prinsip one person, one vote, one value (opovov). Yang dimaksud dengan Pemilu yang bersifat langsung adalah rakyat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara. Warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih berhak mengikuti Pemilu dan memberikan suaranya secara langsung. Sedangkan Pemilu yang bersifat umum mengandung makna terjaminnya kesempatan yang sama bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi. Pemilu yang bersifat bebas berarti bahwa setiap warga negara yang berhak memilih bebas untuk menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. Pemilu yang bersifat rahasia berarti bahwa dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Selanjutnya, Pemilu diselenggarakan oleh penyelenggara Pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas yang dilaksanakan secara lebih berkualitas, sistematis, legitimate, dan akuntabel dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah, peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, pemilih, dan semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama dan
31

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

bebas dari kecurangan atau perlakuan yang tidak adil dari pihak mana pun. Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. C. Sistem Kepartaian Sederhana Sistem presidensial di Indonesia hingga saat ini belum dapat mewujudkan secara penuh pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif perlu didukung pula oleh sistem kepartaian yang sederhana. Dengan sistem kepartaian sederhana akan dapat dihasilkan tingkat fragmentasi yang relatif rendah di parlemen, yang pada gilirannya dapat tercipta pengambilan keputusan yang tidak berlarut-larut. Jumlah partai yang terlalu banyak akan menimbulkan dilema bagi demokrasi, karena banyaknya partai politik peserta Pemilu akan berakibat sulitnya tercapai pemenang mayoritas. Di sisi lain, ketiadaan partai politik yang mampu menguasai mayoritas di parlemen merupakan kendala bagi terciptanya stabilitas pemerintahan dan politik. Seperti kita ketahui bersama, praktik yang sekarang terjadi adalah ketiadaan koalisi besar yang permanen, sehingga setiap pengambilan keputusan oleh pemerintah hampir selalu mendapat hambatan dan tantangan dari parlemen. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah mendorong terbentuknya koalisi partai politik yang permanen, baik yang mendukung pemerintahan maupun koalisi partai politik dalam bentuk yang lain. Hal ini diperlukan sebagai upaya agar bisa tetap sejalan dengan prinsip check and balances dari sistem presidensial. Munculnya banyak partai politik selama ini dikarenakan persyaratan pembentukan partai politik yang cenderung sangat longgar. Selain itu, penyederhanaan sistem kepartaian juga terkendala oleh belum terlembaganya sistem gabungan partai politik (koalisi) yang terbangun di parlemen atau pada saat pencalonan presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, serta bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota. Pada Pemilu presiden Tahun 2004 dan terpilihnya beberapa kepala daerah dan wakil kepala daerah baru-baru ini, gabungan partai politik (koalisi) sebetulnya sudah dilaksanakan. Namun, gabungan (koalisi) tersebut lebih bersifat instan, lebih berdasarkan pada kepentingan politik jangka pendek dan belum berdasarkan pada platform dan program politik yang disepakati bersama untuk jangka waktu tertentu dan bersifat permanen.
32

Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis

Secara teori ada keterkaitan yang erat antara upaya penataan sistem politik yang demokratis dengan sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam masa transisi politik, pemahaman terhadap hubungan antara kedua proses itu menjadi sangat penting. Karena keterbatasan waktu dan tenaga, seringkali penataan elemen sistem politik dan pemerintahan dilakukan secara terpisah. Logika yang digunakan seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam realitas, semua elemen tersebut akan digunakan dan menimbulkan kemungkinan komplikasi satu dengan lainnya. Berdasarkan pengalaman, ada hubungan yang relatif konsisten antara sistem kepartaian dengan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama partai politik dan gabungan partai politik yang mengantarkan presiden untuk memenangkan Pemilu tidak dapat dipertahankan untuk menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya. Alasan lain adalah bahwa komitmen anggota parlemen terhadap kesepakatan yang dibuat pimpinan partai politik jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain, tidak adanya disiplin partai politik membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti. Perubahan dukungan dari pimpinan partai politik juga ditentukan oleh perubahan kontekstual dari konstelasi politik yang ada. Tawaran yang diberikan untuk memperkuat sistem presidensial agar mampu menjalankan pemerintahan dengan baik adalah dengan menyederhanakan jumlah partai politik. Jumlah partai politik yang lebih sederhana (efektif) akan mempersedikit jumlah veto dan biaya transaksi politik. Perdebatan yang terjadi diharapkan menjadi lebih fokus dan berkualitas. Publik juga akan mudah diinformasikan baik tentang keberadaan konstelasi partai politik maupun pilihan kebijakan bila jumlah kekuatan politik lebih sederhana. D. Pelembagaan Partai Politik Problematik lain, partai politik di Indonesia dewasa ini belum terlembaga sebagai organisasi moderen. Yang dimaksud dengan pelembagaan partai politik adalah proses pemantapan sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk suatu budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip
33

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

dasar sistem demokrasi. Dalam konteks pembangunan politik, yang terpenting bukanlah jumlah partai politik yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. Sistem kepartaian disebut kokoh dan adaptabel, apabila partai politik mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai politik hanya akan menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna menampung partisipasi politik. Sistem kepartaian yang kokoh sekurang-kurangnya harus memiliki dua kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai politik, sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan. Kedua, mencakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan organisasi partai politik yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna mengasimilasikan kelompok baru ke dalam sistem politik. Penguatan partai politik di Indonesia dapat dilakukan pada 3 level, yaitu: level akar rumput, level pusat, dan level pemerintahan. Pada level akar rumput, partai politik menghadapi konteks lokal, partai politik lokal, pendukung, serta masyarakat pemilih. Pada level pusat, partai politik menghadapi konteks nasional, partai-partai lain, dan negara. Pada level pemerintahan, partai politik menghadapi konteks dalam pemerintahan, fraksi-fraksi lain, komisi, dan negara. Penguatan partai politik pada level akar rumput merupakan ujung tombak partai, merekalah yang secara langsung bersentuhan dengan basis sosial partai dan masyarakat secara umum. Pengelolaan partai politik pada akar rumput ini pada akhirnya akan menentukan kuat atau lemahnya dukungan terhadap partai. Persoalan memelihara loyalitas pendukung menjadi problema utama bagi partai politik di akar rumput. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa peranan partai di akar rumput saat ini lebih banyak diambil oleh organisasi masyarakat sipil dan media massa. Penguatan juga harus dilakukan pada level partai di pusat. Partai di pusat bukan hanya menjadi payung bagi aktivitas partai pada level pemerintahan, tetapi juga menjadi pendukung aktivitas pekerja partai dan koordinator berbagai kepentingan. Apa pun kebijakan yang diambil harus dikomunikasikan kepada partai politik pada level akar rumput dan pada partai politik di pemerintahan. Peran partai politik dalam penyelenggaraan
34

Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis

pemerintahan yang diraih oleh partai politik kemudian harus ditransformasikan dalam berbagai kebijakan dengan mengedepankan kepentingan rakyat. Pelembagaan partai politik biasa dilakukan melalui penguatan 4 (empat) komponen kunci, yakni, pengakaran partai (party rooting), legitimasi partai (party legitimacy), aturan dan regulasi (rule and regulation), dan daya saing partai (competitiveness). Pengakaran partai politik dimaksudkan agar partai terikat secara organik dengan masyarakat, khususnya dengan konstituennya. Dengan ini partai politik dapat secara kontinyu menjalankan fungsi-fungsinya yang terhubung secara langsung dengan masyarakat, seperti pendidikan politik, sosialisasi dan komunikasi politik dan juga agregasi kepentingan yang lebih luas. Selanjutnya, pelembagaan kepartaian bisa juga dilakukan dengan menata aturan dan regulasi (rule and regulation) dalam partai politik. Maksudnya adalah penguatan partai politik dengan menciptakan kejelasan struktur dan aturan kelembagaan dalam berbagai aktivitas partai baik di pemerintahan, internal organisasi, maupun akar rumput. Dengan adanya aturan main yang jelas dan disepakati oleh sebagian besar anggota, dapat dicegah upaya untuk manipulasi oleh individu atau kelompok tertentu bagi kepentingan-kepentingan jangka pendek yang merusak partai. Kemudian, dalam perbaikan terhadap struktur dan aturan, dapat dilekatkan berbagai nilai demokrasi dalam pengelolaan partai. Pelembagaan partai politik juga dilakukan dengan menguatkan daya saing partai yakni yang berkaitan dengan kapasitas atau tingkat kompetensi partai untuk berkompetisi dengan partai politik lain dalam arena Pemilu maupun kebijakan publik. Daya saing yang tinggi dari partai politik ditunjukkan oleh kapasitasnya dalam mewarnai kehidupan politik yang didasari pada program dan ideologi partai sebagai arah perjuangan partai. Secara teoretik, daya saing partai berarti kapasitasnya untuk memperjuangkan program yang telah disusun. Partai politik yang demikian seringkali dianggap memiliki identitas partai programatik. Dengan demikian, secara keseluruhan pelembagaan partai dapat dilihat dari seberapa partai memperkuat dirinya dalam hal pengakaran, penguatan legitimasi, pembuatan aturan main, dan peningkatan daya saing. E. Fungsi Partai Politik Persoalan lain yang dihadapi sistem kepartaian adalah belum berjalannya secara maksimal fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik
35

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat. Fungsi partai politik terhadap negara antara lain adalah menciptakan pemerintahan yang efektif dan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan fungsi partai politik terhadap rakyat antara lain adalah memperjuangkan kepentingan, aspirasi, dan nilai-nilai pada masyarakat serta memberikan perlindungan dan rasa aman. Kebanyakan partai politik pada saat ini belum sepenuhnya memberikan pendidikan politik dan melakukan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan keder-kader pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik. Sistem kepartaian yang ada juga masih menghadapi derajat kesisteman yang rendah serta kurang mengakar dalam masyarakat, struktur organisasi partai yang tidak stabil yang tidak mengacu pada AD/ART, dan citra partai di mata publik yang masih relatif buruk. Selain itu, partai politik yang ada pada umumnya cenderung mengarah pada tipe partai politik kharismatik dan klientelistik ketimbang partai programatik. Lemahnya pelembagaan partai politik di Indonesia, terutama disebabkan oleh belum munculnya pola partai kader. Partai politik cenderung membangun partai massa yang memiliki ciri-ciri: meningkatnya aktivitas hanya menjelang Pemilu, menganut sistem keanggotaan yang amat longgar, belum memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta belum mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kelemahan yang mencolok partai politik yang berorientasi pada massa adalah kurang intensif dan efektifnya kerja partai. Sepanjang tahun sebagian besar kantor partai politik hampir tidak memiliki agenda kegiatan yang berarti. Hal ini ditandai dengan tidak dimilikinya rencana kerja partai yang bersifat jangka panjang, menegah dan jangka pendek. Partai politik semestinya merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai visi, misi, program dan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan politik itu memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebagai akibatnya, partai politik tidak memiliki program yang jelas dalam melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan, belum dapat membangun sosialisasi politik dan komunikasi politik untuk menjembatani rakyat dengan pemerintah.

36

Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis

Partai politik semacam ini hanya berorientasi pada perolehan dukungan suara di daerah pemilihannya dalam rangka memperoleh kekuasaan tanpa memperhatikan kepentingan dan pemenuhan hak konstituennya. Hal ini yang membuat partai gagal dalam mengembangkan dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Dalam kondisi krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang berakibatkan pada penurunan dukungan masyarakat terhadap perolehan suara, hal ini dapat menimbulkan frustasi bagi kader dan pengurus partai. Kondisi ini akan berakibat kader dan pengurus partai yang berdedikasi tinggi sekaligus memiliki karakter, dengan mudah mengubah garis politiknya. Bertolak dari sistem rekrutmen dan ketidakjelasan program kerja dan orientasi partai, pemenuhan hak dan kewajiban yang terabaikan, rendahnya kepercayaan masyarakat, kepemimpinan partai yang kurang responsif dan inovatif sehingga menimbulkan sejumlah problematik dan konflik yang sering tidak terselesaikan oleh internal partai. Konflik yang tidak terselesaikan tersebut disebabkan oleh terbatasnya pengaturan penyelesaian konflik yang dilakukan melalui prinsip musyawarah mufakat internal partai, maupun penyelesaian konflik/ perselisihan yang dilakukan melalui pengadilan. Tambahan lagi, tidak adanya kesadaran para pengurus untuk segera menyelesaikan konflik dan masing-masing mau menangnya sendiri akan mengakibatkan semakin berlarut-larutnya konflik tersebut. Faktor lain yang menyebabkan lemahnya pelembagaan sistem kepartaian adalah belum ada pengaturan yang dapat dijadikan pedoman untuk membekukan kepengurusan partai politik, baik untuk kepengurusan tingkat pusat, tingkat provinsi, maupun tingkat kabupaten/kota. Problem lain yang dihadapi adalah upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik sekalipun masih menemukan kendala kultural dan struktural. F. Kemandirian Partai Politik Problematik lain yang dijumpai adalah gejala belum adanya kemandirian partai politik yang terkait dengan pendanaan yang tidak memadai di luar iuran anggota dan subsidi negara. Iuran anggota pada sebagian besar partai politik relatif tidak berjalan karena partai umumnya bersifat massa dan juga lemahnya mekanisme hadiah dan ganjaran di dalam internal partai. Hal ini mengakibatkan
37

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

partai politik senantiasa tergantung atau berharap pada sumbangan dari pemerintah dan pihak lain baik pribadi atau perusahaan. Akibatnya, partai politik sibuk mencari tambahan dana partai sedangkan pada saat yang bersamaan partai politik harus memperjuangkan kepentingan rakyat. Selain itu, mekanisme pengelolaan keuangan yang tidak didasarkan pada perencanaan dan penganggaran, pengakuntansian dan pelaporan yang baik, mengakibatkan tidak terwujudnya laporan pertanggungjawaban keuangan partai yang transparan, akuntabel dan auditable. Hal ini mendorong rendahnya tingkat kepercayaan anggota dan masyarakat terhadap partai politik dalam mengelola keuangan dan kekayaannya. G. Pembentukan Partai Politik Hal lain yang turut serta menyokong lemahnya pelembagaan partai politik adalah longgarnya syarat bagi pembentukan partai politik. UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menentukan bahwa Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akte notaris. Dari ketentuan itu terlihat bahwa pendirian atau pembentukan partai politik mudah dilakukan karena cukup mengumpulkan 50 (lima puluh) orang, sehingga mendorong setiap orang atau kelompok orang untuk mendirikan partai politik. Oleh karena itu, di masa depan perlu diupayakan adanya kenaikan jumlah warga negara yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun untuk mendirikan partai politik paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) orang. Hampir sebagian besar partai politik menghadapi masalah sentralisasi yang terlalu kuat dalam organisasi partai, antara lain ditandai oleh sentralisasi dalam pengambilan keputusan di tingkat pengurus pusat (DPP) dan pemimpin partai. Hal ini membuat kepengurusan partai politk di daerah sering kali tidak menikmati otonomi politik dan harus rela menghadapi berbagai bentuk intervensi dari pengurus pusat partai. Dalam kaitan ini, penyempurnaan sistem kepartaian dalam rangka mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensial dan sistem perwakilan, perlu diatur ketentuan yang mengarah pada terbentuknya sistem multipartai sederhana, terciptanya pelembagaan partai yang efektif dan kredibel, terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel, dan penguatan basis dan struktur kepartaian.

38

Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis

H. Kesimpulan Wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara Pemilu yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk lebih meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan Pemilu. Perlu dilakukan upaya untuk mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern. Upaya tersebut antara lain dapat ditempuh melalui pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, perlu diupayakan perubahan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan menguatkan pula sistem pemerintahan presidensial sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

39

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

PEMAHAMAN ATAS MULTIPARTAI PERKEMBANGAN MASYARAKAT DAN POLITIK HUKUM1


Oleh: Prof. Dr. Jeane Neltje Saly, S.H.,M.H.

A. Pengantar Multipartai yang merupakan wadah untuk mengeluarkan pendapat setelah reformasi sampai saat ini, bahkan pernah ada di negara kita setelah kemerdekaan, mengalami pasang surut dalam keberadaannya. Ada yang mengatakan multipartai bermanfaat untuk membangun demokrasi dalam kehidupan berbangsa, dan ada yang beranggapan bahwa multipartai belum saatnya dilaksanakan di Indonesia. Para pengamat politik beranggapan bahwa keberadaan partai setelah kemerdekaan tidak dapat menyelesaikan masalah sehingga dibubarkan, bahkan ada pula yang mengatakan bahwa membangun partai-partai adalah kesalahan besar.2 Dan dari pihak anggota masyarakat kurang berminat memanfaatkan suaranya. Hal itu dapat dilihat dalam pemberitaan di media masa tentang penggunaan hak suara di wilayah Jawa Barat, misalnya Depok dalam rangka pemilihan Gubernur. Wilayah Depok hanya menggunakan suara yang sangat minim dibandingkan dengan jumlah penduduknya.3 Sejak reformasi sampai saat ini, dalam jangka waktu 9 (sembilan) tahun, hukum (peraturan perundang-undangan) yang mengatur kegiatan politik mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Hal itu disebabkan perkembangan kebutuhan masyarakat menimbulkan keragaman pandangan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik (UU No. 2 Tahun 1999 tentang Parpol) hanya berlaku dalam jangka waktu yang singkat, 2 (dua) tahun, diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU No.31 Tahun 2002 tentang Parpol) karena dianggap multipartai yang sederhana lebih efisien dan sehat dalam proses pemilihan umum. Berlakunya UU ini hanya 6

Prof. Dr. Jeane N Saly. Paper berisi kumpulan pandangan Penulis dalam beberapa Artikel dan pemaparan dalam seminar-seminar, baik dengan pihak asing maupun pihak nasional tentang Fungsi Hukum, Politik Hukum, dan Negara Berkembang, Jakarta, 24 April 2008. 2 Makmur Makka, Demokrasi Pasar, http://www.xs4all.nl/~peace/pubind/mb/multipar.html, 14/06/ 2005, Last Update: 07/07/2005. 3 Kompas, Sinar Harapan, dan Media elektronik, awal April 2008.

40

Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

(enam) tahun diganti dengan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik), karena dipandang perlu menampung kebutuhan masyarakat majemuk yang beragam yang menuntut peningkatan peran, fungsi dan tanggung jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional. Perwujudan tujuan yang ingin dicapai masih mengalami kendala. Asas demokrasi mengeluarkan pendapat/suara ternyata masih belum dipahami oleh masyarakat. Para pengamat politik, antara lain Grafita,4 mengatakan bahwa belum saatnya prinsip demokrasi diterapkan pada pemilihan umum. Hal ini disebabkan keadaan masyarakat Indonesia yang tidak setara dalam bidang pendidikan, berakibat tidak dapat menilai kompetensi seorang pemimpin yang akan menjadi leader. B. Permasalahan 1 Bagaimana dinamika hukum partai politik dan pengaruhnya terhadap bidang lain dalam kehidupan berbangsa sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik? 2 Bagaimana pelaksanaan politik hukum dan kendalanya dalam memenuhi kebutuhan multipartai masyarakat Indonesia yang heterogen? C. Pembahasan 1. Dinamika Hukum Partai Politik dan Pengaruhnya Terhadap Bidang lain Dalam Pembangunan Negara Para pakar mengatakan, antara lain Bagir Manan,5 bahwa hukum saling mempengaruhi dalam diri hukum itu sendiri tetapi juga pada bidang-bidang lain di luar hukum. Kegiatan parpol yang ditentukan dalam hukum/peraturan perundang-undangan apabila tidak berjalan sesuai dengan tujuan hukum itu, maka bidang lain di luar hukum akan terpengaruh, baik atau buruknya. Hal itu benar karena hukum bukan hanya aturan (legal substance) saja tetapi juga ada aspek lain di luar hukum yang mempengaruhi tujuan dibentuknya hukum

Grafita, Demokrasi, Pernyataan Kehendak Melalui Partai, dan Hak Suara Anggota Masyarakat, Surabaya Post, Surabaya, Maret 2008. 5 Bagir Manan, Bahan Kuliah Pascasarjana (S3), Universitas Padjadjaran, Bandung, Maret 1999, hlm. 5.

41

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

itu dalam perwujudannya. Sebagaimana dikatakan oleh Friedman,6 masih ada 2 aspek lain, yaitu legal structur, dan legal culture. Tentunya masih banyak pandangan pakar tentang terwujudnya tujuan hukum, misalnya ditunjang oleh sarana prasarana, mekanisme yang baik, dan sebagainya. Dalam kaitan dengan kegiatan multipartai yang perlu dibenahi agar tujuan dibentuknya UU parpol dapat terwujud disamping aspek sarana prasarana dan mekanisme pelaksanaannya, adalah legal culture, kesadaran akan tujuan hukum (UU parpol) tersebut. Apabila tidak demikian keberadaan partai yang beragam akan mempengaruhi bidang-bidang dan menghambat pembangunan ekonomi. Hukum yang mengatur kegiatan politik terus berkembang sesuai perkembangan dalam masyarakat yang sangat cepat sebagai akibat arus globalisasi yang melanda kehidupan manusia saat ini. Hal itu terjadi pula dalam pembentukan hukum yang berkaitan dengan kegiatan politik di Indonesia. Dinamika hukum sebagai dasar kegiatan multipartai terus diubah sesuai dengan berkembangnya masyarakat. Sejak Indonesia merdeka pengaturan hukum multipartai terus berkembang sesuai dengan berkembangnya masyarakat. Saat reformasi kegiatan multipartai didasarkan pada pertimbangan untuk menanggapi ditegakkannya hak asasi manusia melalui pembentukan partai politik. UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang merupakan dasar hukum pelaksanaannya dibentuk sebagai tanggapan atas ketentuan Pasal 28 UUD 1945, yang menentukan hak warga masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. UU ini tidak membatasi jumlah partai yang dibentuk oleh rakyat. Melalui partai politik rakyat dapat mewujudkan hak untuk menyatakan pendapat berkaitan dengan arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Keragaman pendapat dalam masyarakat melahirkan keinginan untuk membentuk berbagai partai politik sesuai dengan ragam pendapat yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian pada hakekanya negara tidak membatasi jumlah partai politik yang dibentuk oleh rakyat. UU No. 21 Tahun 1999 tentang Partai Politik dianggap tidak dapat menampung perkembangan masyarakat serta perubahan ketatanegaraan, dan oleh karena itu perlu

Friedman, Ed Candy, How to Build Character to Implementation The Law, Harvard University, Boston Masatchusstetts, USA, p. 121.

42

Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

diperbaharui. Oleh sebab itu UU ini diganti dengan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, dan 6 (enam) tahun kemudian dibentuk UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Dibentuknya UU ini sebagai akibat perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut adanya dasar hukum bagi sarana partisipasi politik masyarakat. Tujuan pembentukannya yaitu untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia dalam menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan. Selanjutnya untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dalam perkembangan masyarakat Indonesia yang majemuk. UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum optimal menampung dinamika masyarakat yang menuntut peran serta politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern. UU ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah pembaharuan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan partai politik, yang berkaitan dengan demokratisasi secara internal dari partai politik, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan partai politik, peningkatan kesetaraan jender dan kepemimpinan partai politik dalam sistem nasional, berbangsa dan bernegara. Pengaturannya antara lain tentang pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan jender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik, dan inisiatif warganegara serta meningkatnya kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas pertimbangan tersebut, pendidikan politik terus ditingkatkan agar terbangun karakter bangsa yang merupakan watak atau kepribadian bangsa Indonesia yang terbentuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara lain kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti dan keiklasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa. Dalam UU ini ditentukan larangan untuk menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme Leninisme, sebagaimana diamanatkan oleh Tap.MPRS No. XXV/MPRS/1966. Tap MPRS ini diberlakukan dengan memegang teguh prinsip berkeadilan dan menghormati hukum, demokratik, dan hak asasi manusia. Tujuan pembentukan undang-undang tersebut adalah untuk menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan suara sebagai hak
43

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

asasi manusia untuk mewujudkan kehidupan berkebangsaan yang kuat dalam negara kesatuan yang merdeka, sesuai dengan isi konstitusi negara, UUD 1945. Apabila diamati maka ternyata asas demokrasi yang diterapkan dalam pelaksanaan multipartai belum dapat dilakukan sebagai akibat kurangnya pendidikan berpartai dan berlapisnya taraf pendidikan anggota masyarakat. Sesuai dengan hasil pengkajian beberapa pengamat politik, antara lain Rauf,7 mengemukakan bahwa banyaknya partai menimbulkan masalah baru bagi pemerintah. Keadaan itu terjadi sejak kemerdekaan sampai saat ini. Saat pemerintahan setelah kemerdekaan dianggap banyaknya partai hanya menimbulkan kesulitan dan mengganggu ketenangan masyarakat. Partaipartai saling melakukan perlawanan dan tidak bisa menyelesaikan masalah, maka saat itu diadakan kampanye untuk menguburkan partai-partai. Tantangan yang dihadapi adalah anggapan bahwa dengan dibubarkannya partaipartai maka terkuburlah demokrasi, demikian pandangan sebagian besar tokoh politik yang tidak menginginkan hapusnya multipartai, Salah satu kelemahan utama partai politik setelah masa reformasi, adalah tidak berperan secara optimal sebagaimana fungsinya sebagai partai. Partai politik hanya semata-mata muncul kurang lebih menjadi perantara bagi para elite partai atau siapa saja untuk menduduki kekuasaan. Hal ini bisa terjadi,8 karena kesalahan lahir. Ketika pemerintahan Orde Baru lengser keprabon dan menyerahkan jabatannya kepada Wapres pada saat itu (tahun 1998), sesuai ketentuan UUD 1945, sejumlah tokoh, termasuk tokoh partai mendesak untuk menyelenggarakan pemilu dalam waktu paling lama tiga bulan. Hal itu ditolak Kepala Negara dengan pertimbangan belum adanya UU politik baru yang merubah sistem kepartaian, dan yang akan berkuasa kembali adalah kekuatan politik lama yakni partai yang besar, karena orpol inilah yang sekarang memiliki infrastruktur partai yang kuat. Diperlukan waktu minimal persiapan satu tahun. Setahun kemudian sesuai perkiraan, terbentuklah UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. UU ini memberi kebebasan berdirinya partai baru, dan tidak melarang jumlahnya, namun sangat disayangkan karena pada umumnya

Rauf Andika, Pendidikan Politik dan Demokrasi Dalam Mengeluarkan Suara, Surabaya Pagi, Surabaya, Desember 2007, hlm. 3. 8 A.Makmur Makka, Op.cit., hlm.1.

44

Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

partai yang berdiri orientasinya hanya kekuasaan. Bagaimana dengan segera mengganti presiden yang dikatakannya transisi dan statusquo, kemudian menduduki kursi kepresidenan dan membagi-bagi jabatan menteri-menteri. Para pengamat politik, antara lain Lukiman,9 mengatakan bahwa partai-partai didirikan hanya untuk memenuhi syarat administratif belaka, platform partai yang muluk-muluk hanya selesai di atas kertas. Terkabul, ketika para pimpinan partai itu akhirnya bisa berkuasa dan menduduki jabatan penting, maka selesailah tugas partai itu. Partai yang dibentuk setelah reformasi itu pada umumnya kurang optimal melakukan lagi konsolidasi internal yang ketat. Hal itu diindikasikan dengan hasil muktamar, kongres, yang dinonjolkan adalah hanya perebutan jadi pimpinan partai, bahkan kalau perlu lahir pengurus kembar. Jarang partai yang melakukan fungsi pendidikan politik pada kader - jika memiliki kader. Tidak ada political sosialization, atau memelihara konsensus dalam masyarakat mengenai program dan cita-cita partai yang mungkin sedang berkuasa. Bandingkan partai-partai yang didirikan sebelum pemilu 1955. Partai-partai dibentuk dengan kohesi berbagai ideologi dan agama yang jelas dan solid, seperti islam, nasionalis, sosialis, komunis, katholik, kristen serta dipimpin oleh tokoh yang kharismatik yang sudah biasa dalam gerakan politik sebelum Indonesia merdeka. Saat ini, menurut Embong Pranata,10 kegiatan partai yang menonjol dan sangat dominan, hanyalah fungsi partai sebagai mobilization of voters, baik menghadapi pemilu nasional yang lalu maupun dalam pilkada gubernur dan kepala daerah. Ini setali tiga uang, urusan kekuasaan lagi. Dalam pilkada, bahkan partai seperti kehilangan inisiatif. Yang muncul pertama kali adalah inisiatif para calon, partai kemudian dikendalikan oleh para calon yang punya uang dan punya kharisma. Partai hanya memberikan stempel dan legitimasi yang bukan tidak mungkin melalui tawar-menawar materi. Itulah sebabnya banyak muncul calon ganda dari satu partai, atau calon yang sebenarnya tidak terpuji dalam masyarakat, melenggang jadi calon.

Surabaya Pos, Keberadaan Partai, dan Manfaatnya Bagi Pendidikan Politik, Surabaya, 20 Oktober 2006, hlm. 3. 10 Embong Pranata, Surabaya Pagi, Fungsi Partai Dalam Membangun Bangsa dan Pelaksanaan Asas Demokrasi Berdasarkan UUD 45, Surabaya, Februari 2008, hlm. 3.

45

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pandangan masyarakat di atas menunjukkan bagaimana kegiatan partai politik yang belum secara optimal melakukan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan untuk membangun bangsa dan negara. Hukum cukup memadai, namun aspek karakter para elit perlu dibangun (character building) untuk memahami keberadaan masyarakat yang heterogen dan bukan memanfaatkannya dan akan berakibat tidak kondusifnya bagi lancarnya perekonomian nasional. Akibat dari keadaan ini akan mempengaruhi aspek lain yang ada, seperti terhambatnya pembangunan di segala bidang, terutama bidang ekonomi. Investor akan kurang berminat menanamkan modalnya di Indonesia. Padahal di era globalisasi saat ini, investasi ke luar dan yang datang di suatu negara sudah dihilangkan hambatannya melalui prinsip persamaan perlakuan (Artikel III WTO). Bahwa investor asing diperlakukan sama dengan investor domestik. Dan tentunya akan mempengaruhi peningkatan ekonomi nasional, baik melalui transfer of technology, penyerapan tenaga kerja, manajemen, dan sumber daya manusia. Selain itu keadaan tersebut menimbulkan keengganan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam berpartai. Padahal dalam kegiatan politik yang berasaskan demokrasi, semua memiliki peluang masuk dalam parpol termasuk para investor domestik. Namun saat ini konglomerat merasa kurang berminat karena keberadaan parpol yang masih perlu dibenahi. Kurang berminatnya pelaku ekonomi termasuk konglomerat tidak tertarik menggunakan peluang itu dapat dilihat dalam pernyataan-pernyataannya dalam media-media masa dan elektronik. Pelaku ekonomi sebagai salah satu aspek penunjang ekonomi nasional tidak akan ambil pusing dengan siapa yang akan menjadi pemimpin, Yang penting adalah terciptanya suasana politik dalam membangun bangsa ini secara aman dan damai. Hal itu dapat dilihat dalam pandangan yang dikutip dari Retno Yulianty,11 tentang adanya beberapa hal dalam pernyataan juru bicara kongklomerat. Konglomerat Indonesia tidak akan ambil pusing terhadap perubahan kepemimpinan nasional (presiden), siapapun yang menggantikan

11

Retno Yulianti, Multi Partai Adalah Jalan Keluar Demokratis Bagi Politik Indonesia, http:// www.xs4all.nl/~peace/pubind/mb/multipar.html, Jakarta, 10 April 2008.

46

Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

atau menjadi presiden tidak menjadi masalah sejauh dapat menjamin stabilitas ekonomi Indonesia.12 Pimpinan nasional harus dapat menjaga keamanan konglomerat, untuk mengembangkan modalnya. Kaum konglomerat memilih menjadi penonton saja dan tidak akan aktif dalam politik indonesia. Kaum konglomerat tersebut tidak akan melarikan diri ke luar negeri jika ada krisis, karena semua modal mereka ada di dalam negeri dan tidak mungkin dilarikan keluar negeri. Berdasarkan pernyataan itu dapat digambarkan bahwa kaum kapitalis akan tetap menjauhi (keep distance) politik, seakan-akan kepentingan mereka (yang bersangkutan keamanan modal) diserahkan begitu saja pada politisi. Padahal dalam prakteknya merekalah yang paling banyak terlibat terhadap kebijakan politik negara selama ini, dari soal perampasan tanah rakyat, penyogokan birokrasi, sistim pengupahan dan kesejahteraan kaum buruh, manuver terhadap partai-partai politik, sistem keamanan nasional (dari soal penyelundupan kayu, miras sampai ekstasy ), eksistensi kapital dan pemiliknya yang tidak akan kemana-mana jika ada krisis. Padahal sudah juga menjadi rahasia umum bahwa kaum kapitalis secara diam-diam melempar modalnya dalam bentuk investasi di luar negeri jauh-jauh hari sebelumnya. Seperti yang dikemukakan oleh Intelektual dalam Media Indonesia (10 November 1996) juga. Keadaan tersebut perlu dibenahi agar tidak terjadi sebagaimana di negaranegara lain seperti Uni Sovyet. Dari keadaan disintegrasi akibat permainan politik akan mempengaruhi disintegrasi bangsa. Dari pengalaman Soviet Union, menunjukkan bahwa kontradiksi di dalam negeri, akan mengundang kepentingan Luar Negeri, dalam hal ini Kapitalis negara-negara maju, seperti Amerika dan Kapitalis Eropah Barat untuk mempercepat proses krisis dan memenangkannya. Setelah rezim Gorby (dan slogan glasnost perestroikanya) jatuh maka penggantinya adalah seorang yeltzin yang melempengkan jalan kapitalisme untuk menjarah setiap republik ex Soviet Union, yang sudah terpecah sehingga mudah untuk dikuasai. Sebenarnya pengalaman bangsa ini juga sudah cukup banyak. Taktik persekutuan dagang VOC, untuk memecah belah dan mengadu domba agar dapat menguasai baik bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan. Masa tahun kolonial tersebut

12

Media Indonesia, Minggu, 10 November 1996, hlm. 3.

47

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

mewariskan kebodohan, minder, irasionalitas, mental budak dan ketakutan untuk mengeluarkan suara, karena terlalu sering dipecah belah dan diadu domba oleh tuan-tuan pedagang dari negeri Belanda. Hukum yang mengatur kegiatan multipartai yang bertujuan membangun demokrasi di Indonesia dalam pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan. Kebutuhan aneka ragam dari rakyat yang berasal dari latar belakang yang berbeda baik budaya, agama, maupun adat istiadat serta tingkat pendidikan akan beradu secara fair dan demokratis, dan akan menghasilkan pemerintahan yang semakin lama semakin baik, karena akan menunjuk pemimpin yang mewakili semua aspirasi dan kepentingan mayoritas rakyat. Multipartai akan mengangkat kepentingan setiap daerah. Karena desentralisasi ekonomi dan politik akan menemui jalan yang mudah, sehingga justru menjamin keutuhan kesatuan dan persatuan bangsa. Setiap sektor sosial, aliran dan keyakinan masyarakat akan diperjuangkan lewat partai partai di Dewan Perwakilan Rakyat. Negara hanyalah alat untuk melayani masyarakat dan untuk kepentingan rakyat. Hukum yang menjadi dasar berpolitik seyogyanya menampung kebutuhan masyarakat Indonesia yang heterogen. Politik hukum yang diprogramkan dalam pembangunan perlu memperhatikan perkembangan masyarakat yang semakin cepat dengan meningkatnya media komunikasi melalui elektronik. Disamping aturan juga penegakannya perlu dioptimalkan dalam kehidupan berbangsa kita demi mencegah disintegrasi bangsa. 2. Pengertian Hukum, Politik Hukum dan Perkembangan Masyarakat Pada umumnya, hukum dipandang oleh masyarakat saat ini sebagai peraturan, atau undang-undang. Dan masyarakat melihat hukum sebagai gambaran pemenuhan kebutuhan mereka dalam melakukan hubungannya dengan anggota masyarakat lainnya, serta patokan pelaksanaan keadilan oleh penguasa. Pandangan ini sebagian benar, karena hukum yang tidak mengandung aturan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di tempat hukum tersebut berlaku, dipandang tidak efektif. Namun demikian, hukum tidak sekedar undang-undang atau peraturan tertulis. Para ahli hukum berpandangan bahwa hukum tidak hanya peraturan tertulis, tetapi juga peraturan tidak tertulis (kebiasaan yang mengikat anggota masyarakat tersebut).
48

Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

Pandangan ahli hukum ini dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut, yaitu sistem hukum kontinental, dan hukum dasar negara yang tidak mengabaikan keberadaan kebiasaan yang hidup dan mengikat anggota masyarakat. Lain dengan pandangan penganut hukum murni bahwa hakekat hukum dapat dipahami apabila hukum dianggap sebagai seperangkat peraturan, dalam satu kesatuan yang berisi tata kehidupan manusia. Hal itu berarti bahwa teori hukum murni berusaha mencapai hasil-hasilnya semata-mata pada hukum positif. Austin,13 mengatakan bahwa hukum sebagai peraturan yang dibuat oleh penguasa bertujuan mengatur tingkah laku manusia. Padahal hukum tidak saja peraturan yang mengatur kegiatan manusia dan pergaulannya, baik tertulis maupun tidak tertulis, tetapi juga prinsip-prinsip hukum, prosedur hukum, lembaga-lembaga hukum yang terkait dengan peradilan, dan tindakan administrasi hukum, dan sebagainya.14 Roscoe Pound,15 mengemukakan bahwa hukum mengandung banyak aspek, baik aturan tertulis, maupun etika kehidupan, mencakup kesusilaan, keagamaan, petunjuk moral, mekanisme berpolitik, adat istiadat pada umumnya, dan pengawasan sosial sebagai suatu keseluruhan. Pengertian hukum semacam

John Austin, The Pure Theoy of Law and Analytical Jurisprudence, Harv .L Lev, USA, 1942. hlm. 44-70. 14 Bahkan pakar hukum senior,14 mengatakan bahwa hukum: memiliki banyak aspek, terdiri dari jauh lebih banyak komponen atau unsur yang lain, seperti filsafat hukum, sumber hukum, kaedah hukum, yurisprudensi, hukum kebiasaan, penegakan hukum, pelayanan hukum, profesi hukum, lembaga hukum, pranata hukum, prosedur dan mekanisme hukum, hukum acara, pendidikan hukum, penelitian hukum, perilaku hukum masyarakat maupun pejabat hukum, atau perilaku profesi hukum, kesadaran hukum, dan sebagainya. Aspek-aspek di atas saling terkait dalam satu sistem untuk melaksanakan fungsi hukum, sesuai dengan kebutuhan di mana hukum itu diberlakukan. Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat bahwa hukum dipandang sebagai aturan yang berkaitan satu dengan lainnya secara konsisten termasuk mekanisme dan prosedurnya, dan kebiasaan yang mengikat. Hal tersebut berbeda dengan pandangan ahli hukum Amerika,14 yang melihat hukum pada pandangan hakim di pengadilan/keputusan di Pengadilan, dan peranannya sebagai lembaga hukum. Keputusan pengadilan merupakan peraturan yang dapat diikuti oleh hakim berikutnya. Hal ini sesuai dengan pandangan,14 hukum Amerika yang mengatakan bahwa: Law is what the courts will do in fact. Pandangan ahli hukum Belanda,14 menekankan pada kehendak pemerintah yang harus dituruti. Dan apabila tidak dikenakan sanksi. Hukum dalam kaitan ini berfungsi sebagai mengatur kehendak pemerintah, sekaligus penegakannya. 15 Roscoe Pound, The Task of Law,Franklin and Marshal College, Lancaster, Pennsylvania, USA,1946, Terj. Muh. Radjab, Bhrata, Jakarta, 1965, p.35.

13

49

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

ini dikenal pada abad pertengahan, tatkala kontrol sosial,16 yaitu kesadaran bersama sebagai manusia yang dibatasi oleh kekuatan yang sepadan bagi intensitas (keadaan tingkatan, atau ukuran intensinya) untuk bertingkah laku dalam cara-cara tertentu tanpa memandang secara berlebih-lebihan kepentingan sendiri dengan lingkungan sekelilingnya belum mengenal diferensiasiyaitu proses pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan usia, jenis kelamin ketika hanya satu istilah harus mencakup artian peraturan tertulis dan etika serta kebiasaan pada umumnya, kehidupan dalam masyarakat yang berorganisasi politik di dalam negara-negara kota, adat pada umumnya, dan pengawasan sosial, sebagai suatu keseluruhan. Pada akhir zaman pertengahan, hukum Romawi dipahami sebagai titah Raja yang diundangkan, bersifat mengikat (Codex Theodosius atau Peraturan perundang-undangan Kaisar Justinianus)-yang diajarkan di universitasuniversitas. Plato, pada abad 4 SM, mengatakan bahwa negara yang ideal hukum tidak dibutuhkan, karena keadilan yang berlaku sudah terdapat dalam titah raja yang juga sebagai filosof.17 Hukum dianggapnya merupakan pencerminan akal manusia yang paling sempurna dalam kehidupan bernegara sehingga dapat diartikan sama dengan ilmu pengetahuan yang dijadikan patokan bukanlah peraturan yang diundangkan, tetapi gagasan tentang urutan sebab akibat, berdasarkan observasi.18 Dinamika hukum terus berkembang sesuai dengan berkembangnya pergaulan masyarakat. Oleh karena itu hukum harus bersifat mengayomi, mengandung asas-asas yang dijadikan rambu-rambu dalam menentukan

16

Kontrol sosial diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 523, sebagai kesadaran bersama sebagai manusia yang dibatasi oleh kekuatan yang sepadan bagi intensitas (keadaan tingkatan, atau ukuran intensinya) untuk bertingkah laku dalam cara-cara tertentu tanpa memandang secara berlebih-lebihan kepentingan sendiri dengan lingkungan sekelilingnya. Belum mengenal diferensiasi (proses pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan usia, jenis kelamin). 17 Encyclopaedia Britannica, Britanica Inc. USA, hlm. 716. 18 Roscoe Pound, Op.cit., hlm. 37 Ahli filsafat positivis memikirkan tentang hakekat, seperti di dalam hukum yang mirip dengan hukum fisika, dan ilmu bintang, yang dapat diketemukan dengan observasi dan dibuktikan kebenarannya dengan observasi lebih lanjut yang terkait dengan perkembangan sosial dan terletak pada dasar-dasar ilmu kemasyarakatan. Jadi dalam ilmu-ilmu kemasyarakatan terdapat hukum. Oleh karena itu ada pandangan bahwa hukum dipengaruhi ilmu-ilmu lain dil luar hukum itu. Hukum yang adalah gagasan tentang aturan, mengandung apa yang benar yang ditegakkan oleh penguasa, yang mengatur kehidupan manusia, diundangkan dalam bentuk tulisan para ahli hukum tersebut, kemudian pada abad ke 17 mengandung hak yang dilindungi hukum, disahkan oleh Raja.

50

Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

keputusan untuk memenuhi kepentingan masyarakat .19 Roscoe Pound,20 selanjutnya mengatakan bahwa pada abad akhir abad ke 17 memasuki abad ke 18 pemikiran ahli hukum semakin bergeser pada pemikiran bahwa ketertiban hukum dianggap bertujuan memelihara itikad baik, dan kesusilaan. Apa yang dibenarkan dalam kaidah kesusilaan dibenarkan dalam hukum. Pada Abad ke 19 hukum berfungsi untuk menciptakan ketertiban agar hak pribadi dilindungi sebebas-bebasnya, dan oleh karenanya undang-undang sangat dibutuhkan. Abad ke 20 memasuki abad ke 21 menampilkan pemikiran para ahli hukum yang mengatakan dibutuhkannya ketertiban politik, dan ketertiban hukum yang berkeadilan. Ketertiban politik mengatur bagaimana pemerintah mengimplementasikan rencananya dalam melaksanakan pemerintahan dengan menampung kebutuhan masyarakat yang kompleks. Ketertiban hukum menentukan bagaimana hukum memfungsikan dirinya agar niat pemerintah tercapai (misalnya dalam melaksanakan pembangunan) dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di mana hukum diberlakukan. Hukum di Indonesia sebagaimana di negara-negara lain yang bekas dijajah tidak hanya satu tetapi beberapa sistem hukum.21 Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan

19

Ibid, Encyclopedia. Menurut pengertian ini, hukum yang berwibawa adalah sekumpulan penuntun yang berwibawa atau dasar-dasar kebijakan, yang dikembangkan dan ditetapkan melalui teknik penyusunan yang baik dengan tujuan yang jelas yaitu mencapai ketertiban. Dalam mencapai hukum yang otoritatif/berwenang memerintah atau berwibawa ini dicapai melalui tahapan, dimulai dengan hukum untuk memelihara perdamaian, dengan cara menerapkan keadilan melalui ganti rugi. Hukum semacam ini mengandung kaidah atau norma yang menentukan akibat hukum tertentu dan terperinci bagi suatu keadaan atau situasi tertentu yang berkenaan dengan fakta, yang dilaksanakan dengan menggunakan pemikiran secara rasional oleh para ahli hukum dalam pelaksanaannya dengan dipagari asas-asas. Hukum terus berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat yang diindikasikan dengan bervariasinya pemanfaatan sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian diharapkan hukum dapat menfungsikan dirinya agar tidak tertinggal dari perkembangan sekelilingnya. Disamping itu tantangan semakin bertambah dengan rumitnya ketertiban ekonomi. Hukum harus menampilkan diri dapat menampung permasalahan yang terjadi. Hukum tidak hanya berfungsi sebagai aturan tingkah laku antar anggota masyarakat, tetapi juga tingkah laku perusahaan. Keinginan manusia berkembang terus, pemikiran meningkat sehingga mulai memikirkan bahwa hukum, disamping mengandung aturan tingkah laku manusia, mengandung asas untuk menjadi pedoman dalam menafsirkan hukum. Kontrol sosial difungsikan, tidak sebagaimana pada abad pertengahan sebelum Masehi. Hal ini dibutuhkan untuk memenuhi tujuan hukum tentang bagaimana anggota masyarakat memandangnya untuk memenuhi kebutuhan mereka. 20 Roscoe Pound, Op.cit., hlm. 53. 21 Kenichi Ohmae, Government in The PostNational Era, Whaton Scool Publishing, Wharton University, Pensylvania, 2002, p. 121.

51

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

ahli hukum,22 bahwa hukum dikatakan efektif apabila memenuhi kebutuhan pelaksanaan pembangunan yang diartikan,23 sebagai tindakan merombak, memperbaiki atau menghapuskan. 3. Politik Hukum dan Perkembangan serta Susunan Masyarakat Politik hukum adalah salah satu dari tiga aspek kerangka kajian hukum, selain Filsafat hukum, dan Ilmu hukum, yang mempunyai kekuatan saling tarik menarik. Filsafat hukum lebih banyak meramu ide-ide tentang hukum, dan diolah oleh ilmu hukum. Politik hukum lebih banyak mengarah pada perumusan konkrit tentang apa dan bagaimana seharusnya hukum yang akan datang akan dibentuk dan dirumuskan agar memenuhi kebutuhan masyarakat dan tujuan pemerintah dalam program-programnya untuk mensejahterakan rakyat. Keberadaan hukum menuntut adanya persyaratan yang merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi sesuai dengan hakekat hukum dasar dalam negara tersebut. Agar hukum yang akan dibentuk ditaati dan memberi keamanan bagi masyarakat Indonesia, maka hukum tersebut hendaknya mengandung pesan yang tergambar dalam pembukaan UUD 45, yaitu bagaimana agar rakyat Indonesia dapat melaksanakan kehidupan yang bebas sebagai suatu bangsa yang merdeka. Hal itu menuntut adanya persyaratan, baik yang terkait dengan perangkat hukum/peraturan perundang-undangan, maupun sistem hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai aspek kehidupan, termasuk berinteraksi dengan dunia luar. Konsepsi umum mengatakan bahwa hukum, khususnya peraturan perundang-undangan (tertulis), adalah produk politik. Bukan saja oleh lembagalembaga politik seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau Presiden, tetapi peraturan perundang-undangan pada dasarnya akan mencerminkan berbagai pemikiran dan kebijaksanaan politik yang paling berpengaruh dalam negara yang bersangkutan. Pikiran politik dan kebijaksanaan politik yang berpengaruh tersebut dapat bersumber dari idiologi tertentu, kepentingan tertentu (seperti kepentingan para konglomerat), atau tekanan-

22 23

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung, Bina Cipta hlm. 7. Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Dan Pembaharuan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, BinaCipta, Bandung, 1978, hlm. 7.

52

Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

tekanan sosial yang kuat dari masyarakat.24 Pada umumnya doktrin yang dianut suatu negara akan mempengaruhi politik hukum negara tersebut. Doktrin sosialisme akan mempengaruhi politik hukum negara yang menganutnya, dan tentunya berbeda dengan politik hukum negara yang didasarkan doktrin kapitalisme. Hukum yang dibentuk akan berbeda, misalnya saja negara penganut doktrin sosialisme, hukum di bidang ekonomi di negara tersebut akan menerapkan dalam ketentuannya pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi. Demikian pula hukum di bidang ekonomi pada negara penganut doktrin kapitalisme akan banyak mengandung ketentuan mengenai ekonomi pasar. Di bidang politik di negara tersebut akan dipengaruhi oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat. Di negara yang memegang prinsip demokrasi akan berbeda pelaksanaannya. Kemandirian rakyat akan diperhatikan, dan pemerintah berperan mengkoordinasikannya. Namun demikian secara seutuhnya prinsip itu akan dilakukan di negara-negara maju yang sifat masyarakatnya homogen, tidak sebagaimana di Indonesia yang masih bersifat heterogen (keanekaragaman), dan keadaan ini biasa terjadi di negara berkembang akibat penjajahan. Disamping itu dengan semakin tipisnya batas teritorial negara-negara di dunia, maka dasar pembentukan hukumpun ikut terpengaruh. Pelaksanaan hukum dari negara-negara yang melakukan hubungan perdagangan akan mempengaruhi sistem hukum masing-masing negara tersebut, bergantung dari obyek-obyek yang diatur. Saat ini,25 tidak tepat lagi untuk membedakan secara tajam antara serba negara dan serba pasar, karena bagi kebanyakan negara, pendekatan yang serba idiologis sudah berangsur-angsur ditinggalkan, dan yang dipakai sebagai patokan adalah idiologis negara untuk melindungi rakyat dan membuka diri menerima prinsip dari belahan dunia luar yang dikombinasikan. Di bidang politik dengan cara multipartai politik hukumnya adalah menunjang pelaksanaan hak anggota masyarakat dalam menentukan haknya

24

Bagir Manan, Pembinaan Hukum, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 tahun Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H.,LL.M, Unpad Prss, Bandung, 1999 hlm. 231. 25 Bagir Manan, Op.cit., hlm. 232.

53

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

dan juga tunduk pada kewajibannya yaitu mewujudkan cita-cita dalam kehidupan berbangsa dalam keberadaan masyarakat Indonesia yang beragam sangat rentan terhadap disintegrasi bangsa. Oleh karena itu dalam menentukan politik hukum unsur-unsur ini perlu diperhatikan, misalnya bagaimana pengaturannya terhadap rakyat yang tingkat pendidikannya rendah (yang lebih banyak jumlahnya di daerah-daerah) dalam memanfaatkan peluang mengeluarkan suara agar tidak dijadikan komoditas oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingannya dalam mencari kekuasaan. D. Penutup 1. Kesimpulan a Pengaturan hukum yang menjadi patokan pelaksanaan Parpol dalam kehidupan berbangsa terus berubah sesuai perkembangan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam, terakhir ditampung dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. b Politik hukum dalam memenuhi pelaksanaan multipartai masyarakat Indonesia yang heterogen dilakukan dengan memperhatikan keadilan terhadap rakyat, antara lain memperhatikan keberadaan masyarakat baik terhadap budaya, agama, dan adat istiadat yang berbeda. 2. Saran a Seyogyanya pelaksanaan kegiatan partai politik disamping melakukan pemahaman dan usaha mencapai tujuan memajukan dan mempersatukan bangsa, juga memperhatikan pendidikan berpolitik dan pendidikan dalam mempersiapkan anggota untuk menjadi pemimpin. b Untuk mencapai efektivitas pelaksanaan prinsip demokrasi berpolitik dalam masyarakat yang heterogen, juga hendaknya memperhatikan hak masyarakat yang tingkatan pendidikannya masih rendah dan sering dimanfaatkan untuk kepentingan partai, melalui sosialisasi dan praktek pelaksanaannya.

54

DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Pembinaan Hukum, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 tahun Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja,SH,LL.M, Unpad Prss, Bandung, 1999. Bahan Kuliah Pascasarjana (S3), Universitas Padjadjaran, Bandung, Maret 1999. Embong Pranata, Surabaya Pagi, Fungsi Partai Dalam Membangun Bangsa Dan Pelaksanaan Asas Demokrasi Berdasarkan UUD 45, Surabaya, Februari 2008. Encyclopaedia Britannica, Britanica Inc. USA. Friedman, Ed Candy, How to Build Character to Implementation The Law, Harvard University, Boston Masatchusstetts, USA. Grafita, Demokrasi, Pernyataan Kehendak Melalui Partai, Dan Hak Suara Anggota Masyarakat, Surabaya Post, Surabaya, Maret 2008. John Austin, The Pure Theoy of Law and Analytical Jurisprudence, Harv .L Lev, USA, 1942. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Kenichi Ohmae, Government in The Post National Era, Whaton Scool Publishing, Wharton University, Pensylvania, 2002, p. 121. Makmur Makka, Demokrasi Pasar, http://www.xs4all.nl/~peace/pubind/mb/ multipar.html, 14/06/2005, Last Update: 07/07/2005. Media Indonesia, Minggu, 10 November 1996. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung, BinaCipta hlm. 7. Pembinaan Dan Pembaharuan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, BinaCipta, Bandung, 1978. Rauf Andika, Pendidikan Politik Dan Demokrasi Dalam Mengeluarkan Suara, Surabaya Pagi, Surabaya, Desember 2007, hlm. 3. Retno Yulianti, Multi Partai Adalah Jalan Keluar Demokratis Bagi Politik Indonesia, http://www.xs4all.nl/~peace/pubind/mb/multipar.html, Jakarta, 10 April 2008. Roscoe Pound, The Task of Law,Franklin and Marshal College, Lancaster, Pennsylvania, USA,1946, Terj. Muh. Radjab, Bhrata, Jakarta, 1965.
55

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

DEMOKRASI DAN PARTAI POLITIK


Oleh: Zainal Abidin Saleh, S.H.,M.H. Abstrak
Menurut paham negara Demokrasi modern, Partai Politik, Pemilihan Umum dan Badan Perwakilan Rakyat merupakan tiga institusi yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Setiap Partai Politik akan selalu berusaha untuk memperoleh dukungan rakyat yang besar pada saat Pemilihan Umum agar Badan Perwakilan Rakyat di dominasi oleh Partai Politik yang bersangkutan. Pada saat pemilu dijadikan manifestasi prinsip kedaulatan rakyat, maka mulai saat itulah rakyat diberikan kebebasan dalam menentukan calon-calon wakil rakyat yang tergabung dalam Partai Politik. Kehendak rakyat ialah dasar kekuasaan pemerintah. Kehendak itu akan dilahirkan dalam pemilihan-pemilihan berkala dan jujur yang dilakukan dalam pemilihan umum dan berkesamaan atas pengaturan suara yang rahasia, dengan cara pemungutan suara yang bebas dan yang sederajat dengan itu. Dengan demikian kebebasan, kejujuran, rahasia dan berkesamaan merupakan hal yang esensial dalam penyelenggaraan pemilu.

A. Pendahuluan Pelaksanaan demokrasi dalam negara demokrasi modern sudah tidak mungkin lagi dilaksanakan dengan mempergunakan model demokrasi langsung. Banyak kendala yang dihadapi, jika demokrasi langsung itu akan dilaksanakan. Oleh sebab itu, pelaksanaan demokrasi dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk sebagai anggota Badan Perwakilan Rakyat. Sehubungan dengan hal tersebut cara yang dipergunakan untuk menentukan keanggotaan Badan Perwakilan Rakyat tersebut adalah : 1. Pemilihan Umum; 2. Pengangkatan; dan 3. Campuran (Kombinasi antara Pemilihan Umum dan Pengangkatan). Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem politik demokrasi. Tujuan Pemilihan Umum tidak lain adalah untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara memilih wakil56

Dekomrasi dan Partai Politik

wakil rakyat di Badan Perwakilan Rakyat. Kesemuanya itu dilakukan dalam rangka mengikut sertakan rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan. Dalam Pemilihan Umum tercakup dua macam hak pilih, yaitu: Hak pilih aktif atau sering dikenal sebagai Hak untuk memilih; dan Hak pilih pasif, yaitu hak untuk dipilih menjadi Anggota Badan Perwakilan Rakyat.

Menurut Henry B. Mayo dengan adanya Pemilihan Umum maka salah satu nilai demokrasi dapat terwujud, artinya terjadi perpindahan kekuasaan negara dari pemegang yang lama kepada pemegang yang baru secara damai.1 Perlu diketahui pula, bahwa disamping untuk menentukan keanggotaan Badan Perwakilan Rakyat, Pemilihan Umum juga dapat dipergunakan untuk menentukan orang-orang yang berhak menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden. B. Pemilu dan Rekruitmen Kepemimpinan Nasional2 Salah satu fungsi utama Pemilu dalam negara demokratis tidak lain adalah untuk menentukan Kepemimpinan Nasional secara konstitusional. Kepemimpinan Nasional yang dimaksud disini menyangkut juga kepemimpinan kolektif yang direfleksikan dalam diri para Wakil Rakyat. Oleh sebab itu dalam bentuk dan jenis sistem pemerintahan apapun, Pemilu menduduki posisi yang sangat strategis dalam rangka melaksanakan tujuan tersebut. Dalam sistem Presidensiil yang murni, Pemilu diselenggarakan sebanyak dua kali, yaitu pertama, untuk menentukan wakil rakyat yang duduk di parlemen. Kedua, untuk menentukan Presiden (Kepala Pemerintahan) dalam rangka menyelenggarakan Pemerintahan Negara. Di dalam sistem parlementer, Pemilu pada prinsipnya hanya dilaksanakan satu kali, yakni utamanya untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen. Dan pembentukan Parlemen inilah kemudian ditentukan Kepala Pemerintahan. Penentuan Kepala Pemerintahan ini biasanya sangat dipengaruhi oleh komposisi perolehan suara dari Partai Politik Peserta Pemilu. Bagi Partai

Henry B. Mayo, dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm. 61. 2 Topik ini diambil dari Makalah B Hestu Ciptohandoyo, SH,M.Hum yang berjudul Indonesia Menyongsong Pemilihan Umum 2004 , Seminar Sehari Media Law & Election, Kerjasama FH-UAJ dan Indonesia Media Law & Policy Centre, Yogyakarta, 29 Juni 2002.

57

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Politik yang menduduki kursi mayoritas, maka diberi kesempatan pertama untuk menentukan komposisi Pemerintahan Negara. Sedangkan jika ternyata dalam Pemilu tidak ada satupun Partai Politik yang mampu menduduki kursi mayoritas, maka penentuan komposisi Pemerintahan Negara dilakukan dengan cara koalisi, yakni bergabungnya dua Partai Politik atau lebih untuk memperkuat suara di Parlemen. Dengan demikian dalam konteks sistem Parlementer, maka korelasi antara Pemilu dan Pemilihan Kepala Pemerintahan sifatnya adalah tidak langsung. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Sistem Presidensiil. Di dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Sidang Umum (SU) MPR tahun 1999, kelaziman tersebut ditolak melalui argumentasi konstitusional yang menegaskan bahwa Pemilihan Presiden merupakan wewenang MPR. Oleh sebab itulah hasil Pemilu tahun 1999 tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan secara langsung jabatan Kepala Pemerintahan. Konstitusional kasus3 semacam inilah yang mengakibatkan Megawati harus berlapang dada untuk memberikan kesempatan kepada KH. Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, walaupun dalam Pemilu tahun 1999 Partai yang dipimpin oleh Megawati yakni PDIP memperoleh suara (kursi) di MPR lebih kurang 36%. Hal ini berarti antara Pemilu dan Pemilihan Presiden bukan merupakan satu tarikan nafas dalam penentuan rezim. Dari gambaran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum guna menentukan seseorang menjadi pejabat negara (Presiden dan Wakil Presiden), dapat ditempuh melalui dua alternatif, yaitu: 1. Pemilihan secara langsung, artinya para pemilih melakukan pemilihan orang atau kontestan (peserta) yang disukai; dan 2. Pemilihan secara bertingkat (tidak langsung), yaitu para pemilih melakukan pemilihan orang-orang untuk menjadi anggota suatu lembaga kenegaraan yang mempunyai wewenang untuk memilih orang yang akan menjadi pejabat negara tersebut. Contoh cara seperti ini pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang dilakukan oleh MPR sebelum Amandemen UUD 1945.

Maksud Konstitusional Kasus disini adalah keadaan atau realitas konstitusi yang tidak sesuai dengan paradigma teori ketatanegaraan.

58

Dekomrasi dan Partai Politik

Pada umumnya Anggota Partai Politik dapat duduk di Lembaga Perwakilan Rakyat melalui Pemilihan Umum, tetapi karena ada kelompokkelompok fungsional yang hidup dan berkembang di dalam suatu masyarakat serta dibutuhkan keterwakilannya di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat, maka dikenal pula adanya cara-cara pengangkatan maupun penunjukkan. Kendatipun demikian dalam negara yang menganut prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat, tentunya keberadaan anggota-anggota Lembaga Perwakilan Rakyat yang berasal dari Pemilihan Umum komposisinya harus lebih banyak ketimbang anggota-anggota Lembaga Perwakilan Rakyat yang berasal dari pengangkatan atau penunjukkan. Sehubungan dengan pola pengisian keanggotaan Lembaga Perwakilan Rakyat tersebut, maka mekanisme untuk menentukan anggota-anggota di Lembaga Perwakilan Rakyat dapat digolongkan ke dalam dua sistem, yaitu :4 1. Sistem Pemilihan Organis, yakni mengisi keanggotaan Lembaga Perwakilan Rakyat melalui pengangkatan atau penunjukan. 2. Sistem Pemilihan mekanis. Sistem ini sering disebut juga Pemilihan Umum. Berkaitan dengan adanya dua sistem tersebut, di bawah ini akan penulis sampaikan pokok-pokok pikiran yang dikembangkan oleh masmg-masing sistem di atas. 1. Sistem Pemilihan Organis. Menurut Wolhoff, sistem pemilihan organis ini dilandasi oleh pokok pikiran bahwa :5 a. Rakyat dalam suatu negara dipandang sebagai sejumlah individu yang hidup bersama dalam beraneka ragam persekutuan hidup, seperti genealogi (keluarga), teritorial (daerah), fungsional spesialis (cabang industri), lapisanlapisan sosial (buruh, tarn) dan lembaga-lembaga sosial (LSM/ORNOP). b. Persekutuan-persekutuan hidup inilah yang bertindak sebagai pengendali hak pilih. Artinya yang mempunyai kewenangan atau hak untuk mengutus wakil-wakilnya duduk sebagai anggota Lembaga Perwakilan Rakyat adalah Persekutuan-persekutuan hidup tersebut.

Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1988, hlm. 171, dst. 5 Wolhoff, dalam Bintan R. Saragih, Loc.cit.

59

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

c. Partai-partai Politik dalam struktur kehidupan kemasyarakatan seperti ini tidak dibutuhkan keberadaannya. Hal ini disebabkan mekanisme pemilihan diselenggarakan dan dipimpin sendiri oleh masing-masing persekutuan hidup tersebut. Berdasarkan pokok pikiran inilah, maka keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat - menurut sistem pemilihan organis - tidak lebih hanya merupakan Lembaga Perwakilan Persekutuan-persekutuan hidup. Dengan kata lain Lembaga Perwakilan yang hanya berfungsi untuk mengurus kepentingan-kepentingan khusus dari persekutuan-persekutuan hidup yang ada di dalam masyarakat suatu negara. Dengan demikian melalui sistem pemilihan organis ini kedudukan Lembaga Perwakilan menjadi lemah, dan tingkat representasinya sangat rendah. Oleh sebab itu apabila Lembaga Perwakilan jenis ini akan menetapkan suatu Undang-Undang yang menyangkut hak-hak rakyat, maka Undang-Undang tersebut dapat berlaku efektif jika rakyat telah menyetujui, misalnya melalui referendum. 2. Sistem Pemilihan Mekanis. Masih menurut Wolhoff, sistem pemilihan mekanis berpangkal tolak dari pemikiran bahwa :6 a. Rakyat di dalam suatu negara dipandang sebagai massa individu-individu yang sama. b. Individu-individu inilah yang bertindak sebagai pengendali hak pilih aktif. c. Masing-masing individu berhak mengeluarkan satu suara dalam setiap pemilihan untuk satu Lembaga Perwakilan Rakyat. d. Dalam negara liberal mengutamakan individu-individu sebagai kesatuan otonom dan masyarakat dipandang sebagai suatu kompleks hubunganhubungan antar individu yang bersifat kontraktual. Sedangkan di dalam negara sosialis-komunis lebih mengutamakan totaliteit kolektif masyarakat dan mengecilkan peranan individu-individu dalam totaliteit kolektif ini. e. Partai politik atau organisasi politik berperan dalam mengorganisir pemilih, sehingga eksistensinya (keberadaannya) sangat diperlukan, baik menurut sistem satu partai, dua partai ataupun multipartai.

Loc.cit

60

Dekomrasi dan Partai Politik

Berpangkal tolak dari pemikiran tersebut di atas, maka keberadaan Lembaga Perwakilan Rakyat yang terbentuk bersifat Lembaga yang merepresentasikan kepentingan-kepentingan politik rakyat secara menyeluruh yang dalam perkembangannya disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Parlemen. Dengan adanya sistem pemilihan mekanis inilah, maka dikenal adanya dua sistem Pemilihan Umum, yaitu: a. Sistem Pemilihan distrik; dan b. Sistem Pemilihan Proporsional. Dalam perkembangan lebih lanjut, kedua sistem Pemilihan Umum ini membuka peluang adanya kombinasi antara keduanya. Sistem Pemilihan yang mengkombinasikan antara sistem distrik dan Proporsional adalah sistem Pemilihan Umum yang dilaksanakan di Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu.7 Sistem yang dimaksud adalah Sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka8 a. Sistem Pemilihan Distrik. Tatanan Pemilihan umum seperti ini dapat digambarkan sebagai berikut. Wilayah suatu negara yang menyelenggarakan suatu pemilihan untuk wakilwakil di parlemen, dibagi atas distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan kursi yang tersedia di parlemen (kursi di Parlemen yang diperebutkan dalam Pemilihan umum). Setiap distrik hanya memilih satu orang wakil untuk duduk di Parlemen dari beberapa calon untuk distrik tersebut. Jikalau pembagian distrik dirasa terlalu banyak, maka dapat juga dipergunakan cara penentuan distrik berdasarkan kursi di Parlemen di bagi dua. Hal ini berarti untuk masing-masing distrik bisa mengirimkan dua calon untuk duduk di kursi Parlemen. Contohnya: Jumlah Kursi di Parlemen adalah 500. Untuk cara yang pertama dapat ditempuh dengan membagi wilayah negara menjadi 500 distrik. Jikalau cara seperti ini mengakibatkan jumlah distrik terlalu banyak, maka dapat ditempuh dengan membagi wilayah negara menjadi 250 distrik. Cara yang kedua ini mengakibatkan masing-masing distrik bisa mengirimkan wakil sebanyak 2 (dua) orang.

Ketika buku ini disusun RUU tentang Pemilihan Umum tersebut masih dalam tahap pembicaraan di DPR-RI 8 Pasal 5 ayat (l) UU tentang Pemilihan Umum.

61

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Berdasarkan tatanan (sistem) Pemilihan distrik semacam ini, maka keuntungan yang dapat diperoleh adalah : 1. Hubungan antara rakyat dengan sang wakil relatif dekat. Hal ini disebabkan partai-partai politik tidak mungkin mencalonkan calon wakil rakyat yang tidak populer di masing-masing distrik. Selain itu dalam perkembangan lebih lanjut sang wakil tidak akan mengatas namakan Partai Politik, karena dalam Pemilihan distrik, rakyat memilih orang. Bukan Partai Politik. 2. Sistem ini mendorong penyatuan partai-partai (khususnya jika suatu negara itu mempergunakan sistem multi partai). Hal ini disebabkan calon yang terpilih di masing-masing distrik hanya satu atau lebih dari satu, dan terpilihnya mereka ini semata-mata hanya karena kepopuleran dan kredibilitasnya. Oleh sebab itulah ada kemungkinan partai-partai politik itu bergabung untuk mencalonkan seseorang yang lebih mumpuni diantara mereka. Calon yang mumpuni itu belum tentu berasal dari satu partai. Bahkan ada kemungkinan adalah calon independen dan non partisan. 3. Organisasi dari penyelenggaraan pemilihan dengan sistem distrik ini relatif sederhana. Tidak memerlukan banyak orang dan banyak birokrasi untuk menyusun kepanitiaan Pemilihan. Biayanya relatif lebih murah dan penyelenggaraannya relatif singkat. Sisa suara yang terbuang tidak perlu diperhitungkan. 4. Dengan mempergunakan sistem distrik, maka ada kemungkinan pertumbuhan Partai Politik yang cenderung sektarian, ideologis/aliran, dan primordialisme menjadi berkurang. Hal ini mengingat tokoh-tokoh politik yang terpilih menjadi wakil masing-masing distrik lebih mengedepankan kepentingan rakyat di masing-masing distrik, ketimbang kepentingan kelompok Partai yang justru kadangkala menyimpang dari kepentingan rakyat banyak. Sedangkan kelemahan dan sistem pemilihan distrik, dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Banyak suara yang terbuang. Bahkan ada kemungkinan terjadi fenomena Low representative Versus High representative. Artinya Calon yang menjadi wakil dari suatu distrik, pada hakikatnya hanya memperoleh suara minoritas (Low Representative) yang ada di distrik yang bersangkutan, jikalau dibandingkan jumlah total suara (High Representative) dari calon62

Dekomrasi dan Partai Politik

calon lain di distrik tersebut. Contohnya : Calon A : 40 suara. Calon B : 39 suara. Calon C : 25 suara. Calon D : 20 Suara. Calon E : 15 suara. Berdasarkan suara tersebut maka Wakil Rakyat dari Distrik tersebut adalah A. Akan tetapi bila dilihat jumlah total perolehan suara (B+C+D+E), maka representasi dari calon A di distrik tersebut adalah rendah (Low representative). 2. Menyulitkan bagi Partai-partai kecil dan golongan-golongan minoritas untuk mempunyai wakil di Lembaga Perwakilan Rakyat. Apalagi mereka ini terpencar dalam berbagai distrik pemilihan. b. Sistem Pemilihan Proporsional (Multi member constituency). Tatanan (sistem) pemilihan umum seperti ini adalah mempergunakan mekanisme sebagai berikut. Kursi yang tersedia di Parlemen Pusat diperebutkan dalam suatu Pemilihan Umum, dibagi kepada Partai-Partai Politik atau golongangolongan politik yang ikut serta dalam Pemilihan Umum sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh dalam pemilihan yang bersangkutan. Misalnya untuk kepentingan ini ditentukan suatu perimbangan 1 : 400.000. Imbangan suara seperti ini, artinya 1 (satu) orang wakil harus memperoleh dukungan suara 400.000 rakyat pemilih yang berhak. Dengan kata lain sejumlah 400.000 pemilih mempunyai 1 (satu) orang wakil di Parlemen. Dalam sistem ini, negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan, dan tiap suara dihitung. Dalam arti bahwa suara yang diperoleh dari suatu daerah dapat ditambahkan dari suara yang diperoleh dari suatu daerah lainnya. Sehingga besar kemungkinan setiap organisasi peserta Pemilihan Umum (Partai Politik/ Golongan Politik) memperoleh kursi/wakil di Parlemen Pusat. Kendatipun negara dianggap satu daerah pemilihan, namun mengingat luas wilayah suatu negara serta jumlah penduduk yang besar, maka pada umumnya dalam sistem pemilihan proporsional ini sering dibentuk daerah pemilihan (bukan distrik pemilihan), yaitu wilayah negara dibagi dalam daerahdaerah pemilihan. Kemudian - dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah penduduk dan faktor-faktor politik lainnya - kursi yang tersedia di Parlemen
63

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pusat yang akan diperebutkan dalam Pemilihan Umum harus lebih dulu dibagikan ke daerah-daerah pemilihan. Tetapi jumlah kursi yang diperebutkan ini tidak boleh satu untuk satu daerah pemilihan, melainkan harus lebih dari satu. Inilah yang sering disebut Multy member constituency. Sehingga pemenang dari satu daerah pemilihan terdiri dari lebih dari satu orang. Contoh yang dapat dipergunakan untuk memperjelas sistem ini adalah : Misalnya suatu negara yang mempunyai 30 kursi di Parlemen akan menyelenggarakan Pemilihan Umum dengan sistem proporsional. Langkahlangkah yang harus ditempuh adalah : Pertama : dibagikan terlebih dahulu 30 kursi tersebut kepada daerahdaerah pemilihan, misalnya ada 4 (empat) daerah pemilihan. Kedua: dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah penduduk dan sebagainya, maka ditentukan sebagai berikut : Daerah Pemilihan A: 10 kursi. Daerah Pemilihan B : 7 kursi. Daerah Pemilihan C: 7 kursi. Daerah Pemilihan D : 6 kursi. Ketiga : misalnya kursi yang berada di daerah pemilihan A yang berjumlah 10 dibagikan kepada Partai politik/golongan politik peserta Pemilihan Umum sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh dalam pemilihan umum yang bersangkutan. Keempat : dari hasil yang diperoleh tersebut, Partai politik/golongan politik dapat menentukan anggota-anggotanya yang akan duduk di Parlemen dengan berlandaskan pada stelsel daftar calon anggota Parlemen. Stelsel daftar ini tersusun berdasarkan nomor urut. Oleh sebab itu nomor urut yang paling atas-lah yang memungkinkan untuk dapat dipilih oleh Partai politik yang bersangkutan sebagai wakil rakyat yang duduk di Parlemen.

Dalam perhitungan suara - dalam rangka menentukan jumlah kursi yang diperoleh masing-masing Partai politik/golongan politik peserta Pemilihan Umum - maka cara yang ditempuh adalah dengan membagi jumlah suara yang diperoleh masing-masing peserta Pemilihan Umum dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Sedangkan sisa suara yang mungkin ada di suatu daerah pemilihan tidak dapat dipindahkan ke daerah pemilihan yang lain. Secara ideal sistem pemilihan umum proporsional ini mengandung kebaikan-kebaikan, seperti jumlah suara pemilih yang terbuang sangat sedikit,
64

Dekomrasi dan Partai Politik

merangkum partai-partai kecil atau golongan minoritas untuk mendudukkan wakilnya di Parlemen. Akan tetapi sistem ini mengandung kelemahan yang cukup substansiil, yaitu :9 1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Dengan keadaan yang demikian ini, maka dengan mempergunakan sistem proposional justru menjurus kearah munculnya bermacam-macam golongan, sehingga lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada. Kurang mendorong untuk dipergunakan dalam mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Dengan mempergunakan sistem ini peta Politik justru mengarah pada politik aliran yang sarat dengan konflik ideologi. 2. Wakil-wakil yang terpilih justru merasa lebih dekat dengan induk organisasinya, yaitu Partai Politik. Kurang memiliki loyalitas kepada rakyat pemilih. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa keberadaan Partai Politik dalam menentukan seseorang menjadi wakil rakyat lebih dominan dari pada kemampuan individu dari sang wakil. Rakyat hanya memilih Partai Politik. Bukan memilih seorang wakil. 3. Dengan membuka peluang munculnya banyak partai, maka sistem ini justru mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil, sebab pada umumnya penentuan pemerintahan didasarkan pada koalisi dari dua partai atau lebih. Disamping kedua sistem tersebut di atas, masih dijumpai adanya sistem lain, yaitu sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka. Sistem semacam ini dikembangkan oleh Indonesia dalam melaksanakan Pemilu tahun 2004. Mekanisme dari sistem ini hampir sama dengan sistem proporsional. Akan tetapi dalam penentuan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, Partai Politik hanya mengajukan calon-calon dalam daftar yang disusun berdasarkan abjad. Bukan nomor urut. Kemudian dalam pelaksanaan pemungutan suara, rakyat pemilih disamping mencoblos Partai Politik yang dikehendaki, mereka juga memilih nama-nama calon wakil yang diajukan oleh Partai Politik yang bersangkutan. Cara semacam ini dimunculkan sebagai respon atas keprihatinan rakyat terhadap kualitas wakil-wakil rakyat yang lebih condong mementingkan kepentingan Partai Politik. Sehingga dengan mempergunakan cara semacam ini, diharapkan wakil rakyat benar-benar mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Hal ini

Ibid, hlm. 180

65

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

mengingat walaupun seseorang dicalonkan oleh Partai Politik, namun secara definitif dapat atau tidaknya orang tersebut duduk di DPR sangat tergantung pada hasil pilihan rakyat yang diambil dari daftar calon tersebut. Menurut Pasal 2 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, pelaksanaan Pemilu berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan. Perluasan asas pemilu semacam ini memang dirasa terlalu membabi-buta. Akan tetapi. berdasarkan pengalaman Pemilu di Indonesia yang selalu bernuansa manipulatif, penuh intimidasi, tidak jujur, sewenang-wenang, maka memang masuk akal jika asas-asas Pemilihan umum tersebut dikembangkan sedemikian rupa. Masih berkaitan dengan asas Pemilihan Umum. Di dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004 dan ketentuan Pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum dilaksanakan secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan beradab. Berkaitan dengan ketentuan semacam inilah, maka Undang-undang tentang Pemilihan Umum mengembangkan asas Pemilihan Umum.10 Pengertian dan makna asas-asas Pemilu Indonesia yang sedemikian komplek tersebut di atas, kalau diterjemahkan lebih singkat pada hakikatnya dipergunakan untuk memberikan landasan bagi seluruh rangkaian proses penyelenggaraan Pemilu. Hal ini berbeda dengan asas-asas Pemilu yang pernah berlaku semasa Orde Baru. Semasa Orde Baru asas-asas Pemilu yang dipergunakan hanyalah LUBER (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Asas-asas semacam ini pada hakikatnya hanya dipergunakan pada saat pemungutan suara. Sementara untuk memberikan landasan filosofis bagi seluruh rangkaian proses penyelenggaraan Pemilu belum ada asasnya. C. Tahap-tahap Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahapan Pemilihan Umum di Indonesia - sebagaimana dirancang oleh KPU - pada prinsipnya melalui 10 (sepuluh) tahapan teknis. Secara singkat ke

10

Lihat Penjelasan Umum dalam Draft RUU tentang Pemilihan Umum.

66

Dekomrasi dan Partai Politik

sepuluh tahapan teknis sesuai Pasal 4 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu (1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali (2) Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi : a. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih b. Pendaftaran peserta pemilu c. Penetapan peserta pemilu d. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan e. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten kota f. Masa kampanye g. Masa tenang h. Pemungutan dan Penghitungan suara i. Penetapan hasil Pemilu j. Pengucapan sumpah janji anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota. D. Kilas Balik Pemilu di Indonesia Dalam catatan sejarah Indonesia telah menyelenggarakan 9 (sembilan) kali Pemilu. Sejak Pemilu tahun 1955, perkembangan untuk mencapai masyarakat yang demokratis masih nampak suram. Kalaupun Pemilu tahun 1955 dan Pemilu tahun 1999 dikatakan banyak orang adalah Pemilu yang demokratis, namun kenyataan menunjukkan bahwa hasil-hasil Pemilu dari kedua penyelenggaraan Pemilu tersebut tidak cukup signifikan untuk dipergunakan sebagai tolok ukur proses perjalanan sistem demokratis yang diidam-idamkan. Dalam Pemilu tahun 1955 banyak analis politik dan pakar ketatanegaraan menganggap bahwa Pemilu tersebut merupakan Pemilu yang paling demokratis yang pernah dilakukan di Indonesia. Kendatipun demikian, Herbert Feith mengemukakan bahwa penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 sesungguhnya merupakan bentuk kompromi politik Sukarno terhadap berbagai tekanan yang muncul dari TNI soal otoritas pemerintahan yang korup dan nepotis, percekcokan antar Partai Politik serta bancinya pemerintahan dalam menghadapi urusan-urusan ekonomi.11 Kondisi sebagaimana digambarkan oleh

11

Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955.

67

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Feith ini juga nampak jelas dalam realitas politik menjelang dan sesudah Pemilu tahun 1999, yang juga dianggap sebagai salah satu Pemilu di Indonesia yang demokratis. Kondisi Politik menjelang Pemilu tahun 1999 ditandai dengan ambruknya legitimasi rezim Orde Baru sebagai akibat bobroknya moralitas para penyelenggara negara melalui penguatan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) secara sistemik yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya krisis multidimensional. Kondisi semacam ini yang kemudian mengakibatkan munculnya kompromi-kompromi dikalangan elit politik setelah jatuhnya Presiden Soeharto - untuk mempercepat pelaksanaan Pemilu pada tahun 1999. Tidak dapat dipungkiri bahwa secara umum Pelaksanaan Pemilu tahun 1999 memang lebih demokratis ketimbang Pemilu-pemilu semasa Orde Baru. Akan tetapi pelaksanaan yang demokratis tersebut tidak diimbangi dan dibarengi dengan kelanjutan mekanisme sistem ketatanegaraan yang demokratis pula. Bahkan disana-sini cenderung kearah anarkhis. Berbagai kompromi politik pasca Pemilu tahun 1999 masih tetap mendominasi dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan. Konflik antara Eksekutif dan Legislatif memuncak dan tak terkendali. Dalam negara demokratis, kompromi-kompromi politik seharusnya diletakkan dalam lingkup konstitusional (kelembagaan) demokratis secara konstitusional. Tidak hanya sekedar pertemuan-pertemuan informal antar elit Partai Politik yang sifatnya jelas ekstra-konstitusional. Kita bisa mengambil beberapa contoh, diantaranya adalah penentuan Kabinet di Era KH. Abdurrahman Gus Dur Wahid dan Era Megawati Soekarno Putri yang sarat dengan kompromi politik untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Contoh lain adalah pertemuan-pertemuan elit Partai Politik yang dilakukan di luar Parlemen dan semakin marak guna mengambil kesepakatan-kesepakatan politik dalam rangka menghadapi suatu moment ketatanegaraan tertentu, misalnya menghadapi Sidang Tahunan (ST) MPR. Contoh-contoh tersebut di atas mengakibatkan hasil Pemilu tahun 1999 hanya bermakna demokratis yang semu. Rakyat sebagai subyek utama prinsip kedaulatan rakyat masih tetap diletakkan sebagai obyek dari Partai-partai Politik dalam menancapkan hegemoninya untuk melanggengkan kekuasaan. Tragisnya proses pembodohan rakyat masih terus saja berlangsung. Inilah gambaran kilas balik Pemilu yang dapat penulis kemukakan secara singkat. Semoga gambaran
68

Dekomrasi dan Partai Politik

ini dapat dipergunakan sebagai refleksi untuk menyusun sistem ketatanegaraan dan Pemilu yang lebih demokratis dan aspiratif. E. Partai Politik Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan ketatanegaraan pertama kali dijumpai di Eropa Barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang patut diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses politik, Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat dalam proses politik (kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan), maka secara spontan Partai Politik berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain.12 Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa sebagai organisasi yang secara khusus dipakai sebagai penghubung antara rakyat dengan Pemerintah, keberadaan Partai Politik sejalan dengan munculnya pemikiran mengenai paham demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan. Sudah banyak definisi yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai pengertian Partai Politik tersebut. Definisi-definisi tersebut antara lain :13 1. Carl J. Friedrich: Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materiil. 2. R.H. Soltou: Sekelompok warganegara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasaan memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka. 3. Sigmund Neumann: Organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan atau golongan-golongan lain yang tidak sepaham.

12 13

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm. 159. Ibid, hlm. 160-161.

69

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

4. Miriam Budiardjo: Suatu kelompok yang terorganisir yang anggotaanggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijaksanaankebijaksanaan mereka. Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, kita dapat melihat adanya benang merah hubungan pengertian antara pendapat yang satu dengan yang lain, yaitu bahwa tujuan Partai Politik itu didirikan adalah untuk merebut ataupun mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan guna melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah digariskan oleh masing-masing Partai Politik. Untuk merebut dan mempertahankan penguasaannya di dalam Pemerintahan tentunya dilakukan secara konstitusional. Hal ini berarti keberadaan Partai Politik juga dimaksudkan sebagai sarana untuk meredam konflik kepentingan ataupun persaingan yang muncul di lingkungan masyarakat dalam mempengaruhi pemerintahan. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya jikalau Keberadaan partai Politik di negara modern dipergunakan untuk mewujudkan tatanan kehidupan kenegaraan yang lebih beradab. Hal ini mengingat sebelum dikenal adanya paham mengikut sertakan rakyat dalam sistem politik, perebutan kekuasaan selalu dilakukan dengan cara kekerasan. Kasus Ken Arok dalam sejarah Indonesia merupakan contoh yang dapat dipergunakan disini. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka pada hakikatnya Partai Politik adalah suatu kelompok manusia yang terorganisir secara teratur baik dalam hal pandangan, tujuan maupun tata cara rekruitmen keanggotaan, dengan tujuan pokok yakni menguasai, merebut ataupun mempertahankan kekuasaannya dalam pemerintahan secara konstitusional. Tujuan Partai Politik. Setiap organisasi yang dibentuk oleh manusia tentunya memiliki tujuantujuan tertentu. Demikian pula organisasi yang disebut Partai Politik. Tujuan pembentukan suatu Partai politik, disamping yang utama adalah merebut, mempertahankan ataupun menguasai kekuasaan dalam pemerintahan suatu negara - juga dapat diperlihatkan dari aktivitas yang dilakukan. Rusadi Kantaprawira mengemukakan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh Partai Politik

70

Dekomrasi dan Partai Politik

pada umumnya mengandung tujuan :14 a. Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti mendudukkan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah sehingga dapat turut serta mengambil atau menentukan keputusan politik atau output pada umumnya; b. Berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu terhadap kelakuan, tindakan, kebijaksanaan para pemegang otoritas (terutama dalam keadaan mayoritas pemerintahan tidak berada dalam tangan Partai Politik yang bersangkutan). c. Berperan untuk dapat memadu (streamlining) tuntutan-tuntutan yang masih mentah (raw opinion), Sehingga Partai Politik bertindak sebagai penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik (political issue) yang dapat dicerna dan diterima oleh masyarakat secara luas. Dengan melihat aktivitas dari Partai Politik tersebut di atas, maka rakyat sebagai subyek dalam sistem ketatanegaraan dapat melakukan pilihan-pilihan alternatif, yakni Partai Politik mana yang akan diikuti atau menjadi saluran politik mereka. Berkaitan dengan hal ini, di dalam struktur masyarakat yang masih paternalistik, maka pilihan rakyat untuk berafiliasi kepada suatu Partai Politik tertentu sangat ditentukan oleh ideologi atau aliran yang dianut oleh suatu Partai Politik. Oleh sebab itulah di dalam negara dengan struktur masyarakat yang masih paternalistik, Partai Politik gemar untuk memainkan ideologi-ideologi Partai guna memperoleh dukungan massa rakyat, sehingga memperkuat posisi dalam kehidupan politik ketatanegaraan. Penekanan mengenai program kehendak menjadi titik tolak utama untuk memperoleh dukungan massa rakyat. Kehidupan dan aktivitas Partai politik semacam ini masih dapat dikategorikan sebagai Partai Politik tradisionil. Klasifikasi Partai Politik.15 Banyak jenis dan bentuk Partai Politik yang hidup dan berkembang di dalam suatu kehidupan ketatanegaraan. Berkaitan dengan hal inilah, maka pada hakikatnya Klasifikasi Partai Politik dapat digambarkan sebagai berikut:

14

Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia suatu Model Pengantar, Cet V, Sinar Baru, Bandung, 1988, hlm. 62. 15 Dirangkum dari Mirriam Budiano, Op.cit., hlm. 166-167.

71

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

1. Klasifikasi Partai Politik ditinjau dari Komposisi dan Fungsi Keanggotaannya. Klasifikasi semacam ini dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis Partai Politik, yaitu : a. Partai Massa, yakni suatu Partai Politik yang lebih mengutamakan kekuatannya berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Oleh karena itu biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. b. Partai Kader, yaitu suatu Partai Politik yang lebih mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dan anggota-anggotanya. Pemimpin Partai biasanya menjaga kemurnian doktrin Partai yang dianut dengan jalan mengadakan saringan calon-calon anggotanya secara ketat. 2. Klasifikasi Partai Politik ditinjau Dari Sifat dan Orientasinya. Partai Politik dengan Klasifikasi semacam ini dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu : a. Partai Lindungan (Patronage Party), yaitu suatu Partai Politik yang pada umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (meskipun organisasi di tingkat lokal sering cukup ketat). Disiplin yang lemah dan biasanya tidak terlalu mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Tujuan utama dari Partai Politik jenis ini adalah memenangkan Pemilihan Umum untuk anggota-anggota yang dicalonkannya. Oleh sebab itu Partai semacam ini hanya giat melaksanakan aktivitasnya menjelang Pemilu. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah Partai Demokrat dan Republik di AS. b. Partai Ideologi (Partai Asas), yaitu suatu Partai Politik (biasanya) yang mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pemimpin dan berpedoman pada disiplin Partai yang kuat dan mengikat Hampir sebagian besar Partai-partai Politik yang ada di Indonesia dapat dikategorikan sebagai Partai Ideologi. Berdasarkan dua klasifikasi besar mengenai Partai Politik tersebut di atas - jika Partai-partai Politik itu akan melakukan koalisi - maka langkah yang paling mudah dan relatif berhasil untuk ditempuh adalah dengan melakukan koalisi Partai Politik yang sama-sama berjenis Partai Massa atau sama-sama Partai Lindungan. Koalisi antar Partai Kader atau antar Partai Ideologi relatif
72

Dekomrasi dan Partai Politik

sulit untuk dilakukan. Apalagi Koalisi antar Partai Politik dengan Ideologi yang jauh berseberangan. Misal Koalisi antar Partai yang berideologikan keagamaan tertentu. Sistem Kepartaian. Dalam kehidupan Politik ketatanegaraan suatu negara, pada prinsipnya dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu :16 a. Sistem Partai Tunggal (the single party system). Istilah ini dipergunakan untuk Partai Politik yang benar-benar merupakan satu-satunya Partai Politik dalam suatu Negara, maupun untuk Partai Politik yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa Partai politik lainnya. Namun demikian - oleh para sarjana - dianggap merupakan bentuk penyangkalan diri (contradictio in terminis), mengingat dalam pengertian sistem itu sendiri akan selalu mengandung lebih dari satu unsur atau komponen. Kecenderungan untuk mengambil sistem Partai Tunggal disebabkan, karena Pimpinan negara-negara baru sering dihadapkan masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial budaya ini dibiarkan tumbuh dan berkembang, besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial yang menghambat usaha-usaha pembangunan dan menimbulkan disintegrasi. b. Sistem dua Partai (two party system). Menurut Maurice Duverger, sistem ini adalah khas Anglo Saxon (Amerika, Filipina). Dalam sistem ini Partaipartai Politik dengan jelas dibagi kedalam Partai Politik yang berkuasa (karena menang dalam Pemilihan Umum) dan Partai Oposisi (karena kalah dalam Pemilihan Umum).17 c. Sistem Banyak Partai (multy party system). Pada umumnya sistem kepartaian semua ini muncul karena adanya keanekaragaman sosial budaya dan politik yang terdapat di dalam suatu negara.18

16 17 18

Lihat Ibid, hlm. 167. Loc.cit. Ibid, hlm. 169.

73

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

F. Perkembangan Partai Politik Di Indonesia.19 1. Keberadaan Partai Politik di Indonesia dimulai sejak Pemerintah Hindia Belanda mencanangkan Politik Etis pada tahun 1908. Dengan adanya Politik Etis ini, maka banyak kalangan cerdik pandai kaum Bumiputera yang mulai tergerak untuk ikut serta dalam kehidupan ketatanegaraan melalui berbagai organisasi kemasyarakatan. Pelopor utama dari Organisasi kemasyarakat tersebut adalah Boedi Oetomo. 2. Dengan keluarnya Maklumat Wk. Presiden No. X tahun 1945 tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 - Indonesia menganut sistem Multi Partai yang ditandai dengan munculnya 24 Partai Politik yang berbasis Aliran (ideologi). 3. Menjelang Pemilu tahun 1955 yang berdasarkan Demokrasi Liberal terdapat 70 Partai Politik maupun perseorangan yang mengambil bagian dalam Pemilu tersebut. Perlu diketahui bahwa Pemilu tahun 1955 dipergunakan untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas untuk merumuskan UUD yang akan menggantikan UUDS 1950, dan memilih DPR. 4. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dilakukanlah penyederhanaan sistem Kepartaian di Indonesia, yaitu : - Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 13 Tahun 1960 mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran Partai-partai Politik. - Pada tanggal 17 Agustus 1960 PSI dan Masyumi dibubarkan. 5. Tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 9 Partai Politik yang mendapat pengakuan, yaitu PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katolik, Perti, Murba, dan Partindo. Dengan berkurangnya jumlah Partai Politik tersebut, tidak berarti konflik ideologi dalam masyarakat umum sebagai akibat pengaruh yang dibawa oleh Partai-partai Politik tersebut menjadi berkurang. Untuk mengatasi hal ini, maka pada tanggal 12 Desember 1964, di Bogor diselenggarakan pertemuan Partai-Partai Politik dan menghasilkan Deklarasi Bogor.

19

Dirangkum dari Ali Moertopo, Strategi Pembangunan Nasional, Get II, CSIS, Jakarta, 1982, hlm. 190, dst.

74

Dekomrasi dan Partai Politik

6. Tanggal 12 Maret 1966 setelah terjadi Pemberontakan G/30/S PKI, maka PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai Partai terlarang di Indonesia. Kemudian dimulailah usaha pembinaan Partai-partai Politik yang dilakukan oleh Orde Baru. 7. Tanggal 20 Pebruari 1968 didirikan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada, dan yang belum tersalurkan aspirasinya. Pendukung dari Partai ini adalah Muhammadiyah, HMI, PII, Aliwasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM). 8. Tanggal 27 Pebruari 1970, Presiden Soeharto mengadakan konsultasi dengan Partai-partai Politik, guna membahas gagasan untuk mengelompokkan Partai-partai Politik yang ada di Indonesia. Gagasan Pengelompokkan Partai-partai Politik. Gagasan pengelompokkan Partai-partai Politik (Fusi) di Indonesia mengandung tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah mempertahankan stabilitas nasional dan kelancaran pembangunan dalam rangka menghadapi Pemilihan Umum. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah melakukan penyederhanaan kehidupan kepartaian di Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966. Gagasan penyederhanaan kehidupan kepartaian di Indonesia ini tidak hanya mengandung arti pengurangan jumlah Partai Politik, tetapi juga melakukan perombakan sikap dan pola kerja dari Partai-partai politik menuju orientasi pada program. Juga disarankan oleh Presiden Soeharto untuk mempergunakan asas Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan gagasan ini, maka disarankan pembentukan dua kelompok Partai-partai Politik, sebagai berikut : 1. Kelompok materiil-spirituil yaitu terdiri dari Partai-partai Politik yang lebih menekankan pada pembangunan materiil tanpa mengabaikan aspek spirituil. Pengelompokkan jenis ini diikuti oleh PNI, Murba, IPKI, Partai Katolik, dan Parkindo. 2. Kelompok Spirituil-materiil yaitu terdiri dari Partai-partai Politik yang lebih menekankan pada aspek pembangunan spirituil tanpa mengabaikan aspek meteriil. Pengelompokkan jenis ini diikuti oleh NU, Parmusi, PSII dan Peru.

75

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Dua pengelompokkan Partai Politik berdasarkan orientasi tersebut memang terasa janggal. Kita ambil contoh misalnya Partai Katolik dan Parkindo yang jelas-jelas bernafaskan spirituil keagamaan, ternyata dimasukkan dalam pengelompokkan materiil-spirituil. Kondisi semacam ini mungkin disebabkan adanya kesulitan-kesulitan ideologis untuk menggabungkan kedua Partai tersebut untuk masuk ke kelompok spirituil-materiil, karena sebagaimana kita ketahui kelompok spirituil-materiil terdiri dari Partai-partai Politik yang basis ideologinya adalah Islam. Pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokkan Partai-partai Politik dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI. Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba. Kemudian pada tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti. Langkah terakhir adalah pada tanggal 5 dan 10 Januari 1973 terbentuklah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai fusi Kelompok Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia sebagai fusi Kelompok Demokrasi Pembangunan. Disamping kedua kelompok (hasil Fusi) Partai Politik tersebut, ternyata dalam perkembangannya terdapat golongan-golongan fungsional yang tidak dapat dimasukkan kedalam salah satu dari Partai Politik yang berfusi tersebut di atas. Golongan-golongan tersebut kemudian membentuk satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut sebagai Golongan Karya (Golkar). Menurut Ali Moertopo, Golongan Karya adalah golongan-golongan dalam masyarakat yang masing-masing menyumbangkan peranan khusus bagi berfungsinya masyarakat, yakni organisasi ekonomi, kultural, sosial dan pertahanan.20 Akhirnya dalam Pemilihan Umum tahun 1971 hanya terdapat tiga bendera kekuatan Politik Peserta Pemilihan Umum, yaitu dua Partai Politik (PPP dan PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar). Keberadaan ketiga organisasi kekuatan sosial politik ini kemudian dikukuhkan dengan keluarnya UndangUndang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Dengan adanya Undang-undang tersebut, praktis kehidupan kepartaian di Indonesia di era Orde Baru, dibatasi. Artinya Tidak diperkenankan munculnya

20

Ibid, hlm. 197.

76

Dekomrasi dan Partai Politik

Organisasi atau Golongan Politik lainnya, di luar yang telah diatur oleh UU No. 3 Tahun 1975. Walaupun Undang-Undang ini mengalami perubahan berulangkali, namun kondisi kepartian di Indonesia berjalan tetap seperti semula. Ini berarti kehidupan demokrasi yang ditandai dengan adanya jaminan kebebasan masyarakat untuk berkumpul dan berserikat, menyampaikan pendapat baik tertulis maupun lisan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 28 UUD 1945 tidak terakomodasi dengan baik. Bahkan dalam berbagai hal, Pemerintahan rezim Orde Baru membatasi ruang gerak dari kedua Partai Politik yang ada. Golkar sebagai kekuatan mayoritas dan selalu memegang posisi single majority selalu mendominasi peta kehidupan politik ketatanegaraan Indonesia. Kemampuan Golkar yang demikian ini, sebenarnya tidak melulu karena kekuatan diri sendiri, melainkan karena diberikannya fasilitas-fasilitas politik oleh Pemerintah. Pada hakikatnya kekuatan GOLKAR dalam lingkup politik, disebabkan oleh adanya tiga pilar utama sebagai penyangga, yakni Presiden Soeharto (sebagai Dewan Pembina GOLKAR), Birokrasi dan Militer (TNI/ Polri). Bahkan dalam konteks Floating Mass (massa mengambang) yang hanya diperkenankan untuk membentuk kepengurusan sampai ke tingkat Desa, hanyalah Golkar melalui struktur Birokrasi yang ada. Pegawai Negeri Sipil dan TNI maupun Polri secara otomatis merupakan Keluarga Besar Golkar. Dengan keterpasungan kehidupan kepartaian selama rezim Orde Baru inilah, maka pelaksanaaan sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi tidak sejalan alias menolakprinsip-prinsip Pemerintahan yang demokratis. Puncak dari keterpasungan kehidupan kepartaian di Indonesia tersebut mencapai titik kulminasi dan menimbulkan perlawanan-perlawanan politik, adalah ketika Partai Demokrasi Indonesia dipecah oleh Pemerintah Orde Baru dengan cara tidak mengakui kepemimpinan Megawatt Sukarno Putri, dan hanya mengakui PDI yang dipimpin oleh Soerjadi. Perpecahan di tubuh PDI tersebut menimbulkan kemelut berkepanjangan yang pada akhimya mengakibatkan peristiwa berdarah yang sering disebut Peristiwa Sabtu Kelabu pada tanggal 27 Juli tahun 1996. Peristiwa ini disebabkan sikap dari aparat Keamanan yang bertindak sangat represif kepada massa pendukung PDI versi Megawati Sukamo Putri yang menduduki Kantor Pusat PDI di Jln. Diponegoro Jakarta. Dari Peristiwa Sabtu Kelabu inilah, muncul berbagai perlawanan susulan dari para aktivis gerakan Pro demokrasi
77

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

untuk menentang kezaliman rezim Orde Baru. Perlawanan dari para aktivis pro demokrasi ini mencapai titik keberhasilan setelah Indonesia menghadapi krisis ekonomi di akhir tahun 1997 yang ditandai dengan merosotnya nilai tukar Rupiah atas Dolar AS sampai berkisar Rp. 15.000,-/Dolarnya. Kondisi ekonomi dan moneter ini kemudian menjadi titik tolak untuk menumbangkan Presiden Soeharto yang telah memegang kepemimpinan nasional yang kalau diakumulasikan berlangsung sepanjang kurang lebih 32 tahun. Dengan tumbangnya Presiden Soeharto inilah, maka terbuka kesempatan untuk mengembangkan kehidupan kepartaian yang lebih demokratis. Sehingga menjelang Pemilu tahun 1999, sistem Kepartaian di Indonesia berubah menjadi sistem multi partai. Sistem seperti ini dikukuhkan dengan munculnya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Demikianlah perjalanan sejarah kehidupan kepartaian di Indonesia. Dari sejarah perjalanan tersebut, kecenderungan akan menguatnya politik aliran (ideologi) yang dibawa oleh masing-masing Partai Politik masih menunjukkan kekentalannya. Pertanyaannya, kapankah peta kehidupan politik Indonesia lebih menunjukkan pola egaliter? jawaban atas permasalahan ini, sangat tergantung dan perkembangan budaya politik dan masyarakat Indonesia. G. Penutup a. Kesimpulan 1. Tidak ada demokrasi tanpa Partai Politik. 2. Partai Politik adalah produk dari kebebasan berfikir berpendapat, berserikat dan berkumpul. 3. Partai Politik merupakan alat bagi rakyat dalam menjalankan kedaulatan rakyat. 4. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah mekanisme untuk menentukan pilihan rakyat terhadap Partai Politik. b. Saran Banyaknya Partai Politik, merupakan konsekwensi kelirunya penilaian terhadap demokrasi Indonesia. Menyongsong Pemilu 2009 saja, tidak kurang dari 60 Partai Politik sebagai Peserta Pemilu. Oleh karena itu demi mewujudkan demokrasi sejati dan bukan demokrasi semu yang mengatas-namakan rakyat, sebaiknya Partai-partai Politik : 1. Mampu memperkuat jajaran Pimpinan dan kepengurusan termasuk
78

Dekomrasi dan Partai Politik

pendidikan politik bagi kader-kadernya sehingga dapat mengembangkan organisasi partai yang baik. 2. Mampu mandiri dalam masalah keuangan sehingga tidak tergantung pada Pemerintah. Oleh karena itu perlu adanya sejumlah kader Partai yang kaya dan dapat memberikan kontribusi kepada partainya secara maksimal. 3. Mampu menyelesaikan konflik internal secara damai sehingga tidak merusak citra dan keutuhan partai yang pada akhirnya akan memperoleh simpati rakyat dalam pemilu. 4. Mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan partai sebagai sarana untuk pemberdayaan masyarakat karena pemberdayaan rakyat merupakan bagian tak terpisahkan dalam pembentukan kekuasaan.

79

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konsituante 1956-1959, Grafita, Jakarta, 1995. Arief Budiman, Teori Negara Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996. Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1988. B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2003. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Fakultas Pasca Sarjana UI, Jakarta,1990. Hasan Al Rasyid, Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta, 1999. Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Cet. IV, Aksara Baru, Jakarta, 1987. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia-Jakarta, 1986 Moh. Kusnardi & Hasmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN-FHUI, Jakarta, 1983. Rusadi Kartaprawira, Sistem Politik Indonesia suatu Modal Pengantar, Cet. V, Sinar Baru, Bandung, 1988. Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen I, II, III dan IV. Undang-Undang No. 22 Tahun 2007, tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Undang-Undang No. 2 Tahun 2008, tentang Partai Politik. Undang-Undang No.10, tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

80

PARADIGMA BARU UU NO. 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK


Oleh: A.A. Oka Mahendra, S.H.

Pendahuluan Sesudah amandemen ke-3 UUD Negara R.I. Tahun 1945 basis konstitusional eksistensi partai politik di Indonesia semakin kuat sebagai salah satu pilar pelaksanaan prinsip negara yang berkedaulatan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD Negara R.I. Tahun 1945 dan Pasal 1 ayat (2) UUD Negara R.I. Tahun 1945. Sebelum amandemen ke-3 UUD Negara R.I. Tahun 1945, eksistensi partai politik memperoleh dasar konstitusionalnya dalam Pasal 28 UUD yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Sejak amandemen ke-3 UUD secara eksplisit ditentukan peranan partai politik dalam pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat (2) untuk dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu UUD menentukan pula peranan partai politik sebagai peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD (Pasal 22E ayat (3). Mengapa UUD menekankan pada salah satu fungsi partai politik saja yaitu sebagai sarana rekrutmen kepemimpinan politik? Padahal disamping itu partai politik mempunyai fungsi lainnya seperti fungsi sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik dan sarana pengatur konflik (Mariam Budiardjo, 1981:14-17). Sebabnya ialah karena pembentuk UUD memandang soal kepemimpinan politik sangat strategis dalam penyelenggaraan negara. Melalui proses rekrutmen kepemimpinan yang demokratis diharapkan supra struktur politik akan diisi oleh pemimpin-pemimpin yang akseptabel dan kapabel melalui proses seleksi yang demokratis. Sudah tentu fungsi lainnya dari partai politik tetap dianggap penting dan secara lebih rinci akan diatur dalam UU sebagai pelaksanaan ketentuan konstitusi. Seperti diketahui sesudah amandemen ke-3 UUD Negara R.I. tahun 1945 pada tahun 2002 telah diundangkan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik untuk menggantikan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
81

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

perubahan ketatanegaraan serta sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/2001 dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002. Dalam perkembangan selanjutnya UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik oleh pembentuk undang-undang dipandang perlu untuk diperbaharui sesuai dengan tuntutan dan dinamika masyarakat. Sehubungan dengan itu pada tanggal 4 Januari 2008 telah diundangkan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Permasalahannya ialah: a. Mengapa UU No. 31 Tahun 2002 dicabut, apa latar belakangnya? b. Perubahan apa saja yang dimuat dalam UU No. 2 Tahun 2008? c. Apakah UU No. 2 Tahun 2008 akan menjamin peningkatan kualitas partai politik dimasa yang akan datang? Latar belakang pencabutan UU No. 31 Tahun 2002 Jawaban atas permasalahan mengapa UU No. 31 Tahun 2002 dicabut dapat kita simak dari konsideran menimbang dan Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 2008. Ada 3 alasan pokok yang dikemukakan sebagai berikut: a. Untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang diakui dan dijamin oleh UUD Negara R.I. Tahun 1945. Prinsip kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan R.I. yang merdeka, berdasarkan hukum (konsideran menimbang huruf a dan b). b. Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut peningkatan peran, fungsi dan tanggung jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik masyarakat (Penjelasan Umum alinea ke-2) c. UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum optimal mengakomodasikan dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern. Pembentuk UU tampakya berkeinginan agar dibawah UU yang baru partai politik lebih beperan, berfungsi dan bertanggung jawab sebagai sarana
82

Paradigma Baru UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan demokrasi. Partai politik diharapkan tidak sekedar menjadi mesin pengumpul suara yang digerakkan menjelang dan pada saat pemilihan umum. Partai politik diharapkan menjadi sarana partisipasi politik masyarakat. Mariam Budiardjo (1981:1) mengemukakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Lebih lanjut dikemukakan bahwa di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orangorang yang akan memegang tampuk pimpinan untuk masa berikutnya. Jadi partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Partai politik diharapkan dapat menjadi sarana yang efektif untuk turut menentukan kebijakan publik dan memilih pemimpin politik yang dipercaya untuk menjalankan kekuasaan untuk kepentingan rakyat. Untuk itu partai politik dibangun sebagai organisasi modern. Sebagai organisasi modern dan bersifat nasional, maka partai politik mesti dibangun dengan visi kebangsaan dengan governance culture yang demokratis. Sebagai organisasi modern partai politik juga harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas. Dengan demikian partai politik akan menjadi organisasi yang sehat dan mampu memainkan peranannya dalam kehidupan politik. Perubahan yang dimuat dalam UU No. 2 Tahun 2008 Penjelasan Umum alinea ke-4 UU No. 2 Tahun 2008 mengemukakan: UU ini mengakomodasikan beberapa paradigma baru seiring dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah pembaharuan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan partai politik yang menyangkut demokratisasi internal partai politik, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan partai politik, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan partai politik dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut pada alinea ke-5 dikemukakan antara lain: Dalam UU ini diamanatkan perlunya pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan
83

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Marilah kita simak satu persatu apa yang disebut dengan beberapa paradigma baru dalam UU No. 2 Tahun 2008. 1. Penguatan Sistem dan Kelembagaan Partai Politik Penguatan Sistem dan Kelembagaan Partai Politik antara lain tercermin dari persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk menjadi badan hukum khususnya yang berkaitan dengan syarat memiliki kepengurusan paling sedikit 60% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan (Pasal 3 ayat (2) huruf d). Selain itu ditentukan pula bahwa partai politik yang bersangkutan harus memiliki rekening atas nama partai politik (Pasal 3 ayat (2) huruf e). Kemudian dalam Pasal 12 huruf j ditentukan partai politik berhak membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik. Selanjutnya dalam Pasal 17 ditentukan bahwa kepengurusan partai politik terdiri atas organisasi tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota dan dapat dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain dan organisasi partai politik tersebut memiliki hubungan kerja yang bersifat hierarkis. Partai politik menurut Pasal 30 berwenang membentuk dan menetapkan peraturan dan/atau keputusan partai politik berdasarkan AD dan ART serta tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan. 2. Demokratisasi Internal Partai Politik Demokratisasi internal partai politik antara lain tercermin dalam Pasal 22 yang menentukan kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis sesuai dengan AD dan ART. Kemudian dalam Pasal 27 dan Pasal 28 ditentukan pengambilan keputusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan secara demokratis sesuai dengan AD dan ART. UU No. 2 Tahun 2008 seperti juga UU No. 31 Tahun 2002 sama-sama menentukan kedaulatan partai politik berada ditangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART. Dan anggota partai politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih. Dalam praktek kedaulatan anggota ini tidak benar-benar terwujud. Sebab sesungguhnya yang memanfaatkan kedaulatan dan hak-hak anggota
84

Paradigma Baru UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

tersebut adalah anggota yang termasuk dalam lingkaran elit partai. Lebihlebih lagi tipologi partai politik di Indonesia dekat dengan partai massa. Menurut Maurice Duverger (1981:19) Lingkungan dalam (inner circle) ini menyerupai sedikit banyak kepemimpinan partai tradisional yang seakanakan menyelinap di tengah-tengah jantung partai masa tersebut. Elit politiklah yang sesungguhnya menentukan kebijakan partai termasuk kepemimpinan partai. Bahkan tak jarang elit politiklah yang sesungguhnya menentukan kebijakan partai termasuk kepemimpinan partai. Bahkan tak jarang di kalangan partai politik tertentu pengambilan keputusannya bersifat top down ketimbang bottom up. 3. Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Keuangan Partai Politik Mengenai transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan partai politik diatur secara rinci dalam Bab XV mengenai keuangan yang terdiri dari Pasal 34 sampai dengan Pasal 39. Undang-undang menentukan bahwa penerimaan dan pengeluaran keuangan partai politik dikelola melalui rekening kas umum partai politik dan pengurus partai politik di setiap tingkatan melakukan pencatatan atas semua penerimaan dan pengeluaran keuangan partai politik (Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3). Selanjutnya dalam Pasal 37 ditentukan bahwa pengurus partai politik di setiap tingkatan organisasi menyusun laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berkenan berakhir. Kemudian Pasal 38 menentukan hasil pemeriksaan dan pengeluaran keuangan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terbuka untuk diketahui masyarakat. Ketentuan yang cukup bagus tersebut dalam praktek sulit dilaksanakan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa partai politik belum tertib mengelola keuangannya. Lebih-lebih lagi ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38 tersebut tidak bersifat mewajibkan sehingga pelanggaran terhadap ketentuan tersebut tidak ada sanksinya. 4. Peningkatan Kesetaraan Gender Peningkatan kesetaraan gender tampaknya menjadi salah satu isu penting dalam perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Pasal-Pasal Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang berkaitan dengan peningkatan kesetaraan gender dimulai dari Pasal 2 ayat (5) yang menentukan : Kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan . Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 dikenai
85

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum oleh Departemen Hukum dan HAM. Pasal 20 menentukan kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten / kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% yang diatur dalam AD dan ART partai politik masing-masing. Pasal 31 ayat (1) menentukan bahwa dalam melakukan pendidikan politik, partai politik memperhatikan kesetaraan gender. 5. Pendidikan Politik Partai politik menurut Pasal 31 melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain: a. Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; b. Meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; c. Meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun kesatuan bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Selanjutnya ditentukan bahwa pendidikan politik dilaksanakan untuk membangun etika dan budaya politk sesuai dengan Pancasila. Pendidikan politik sangat penting sebagai wahana untuk membangun etika dan budaya politik. Menurut Almond dan Verba seperti dikutip oleh Affan & Gaffar (1999;101) Negara-negara yang mempunyai civil cultur yang fungsi akan menopang demokrasi yang stabil, sebaliknya negara-negara yang memiliki derajat civil cultur yang rendah tidak mendukung terwujudnya sebuah demokrasi yang stabil. Meski pendidikan politik sangat strategis, namun tampaknya partai politk belum banyak melakukannya, karena disibukkan dengan urusan pemilihan umum dan menyelesaikan konflik-konflik internal. Partai politik juga belum mampu memberikan suri teladan bagi perilaku politik yang etis dan sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang bermartabat. Peningkatan Kualitas Partai Politik Undang-Undang tentang Partai Politk mengatur syarat pembentukan partai politik, perubahan AD dan ART, asas dan ciri, tujuan dan fungsi, hak dan kewajiban partai politik, keanggotaan dan kedaulatan anggota, organisasi dan
86

Paradigma Baru UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

tempat kedudukan, pengambilan keputusan, rekrutmen politik, peraturan dan keputusan partai politik, pendidikan politik, penyelesaian perselisihan partai politik, keuangan, larangan, pembubaran dan penggabungan partai politk dan pengawasan. Pengaturan yang cukup lengkap tersebut tidak dengan sendirinya meningkatkan kualitas partai politik. Peningkatan kualitas partai politik dapat diwujudkan bila partai politik terkonsolidasi dengan baik. Setidak-tidaknya kepemimpinnya di semua tingkatan cukup kuat, struktur organisasinya mantap, kader-kadernya handal dan mekanisme demokrasi dalam tubuh partai berjalan dengan baik. Sudah tentu dukungan sumber daya yang memadai diperlukan untuk membangun organisasi partai politik yang efektif. Secara fungsional partai politik dapat dikatakan meningkat kualitasnya apabila partai politik semakin mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana pendidikan politk, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat, penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat, partisipasi politik dan rekrutmen politik. Outcome yang diharapkan adalah stabilitas kehidupan politik dan semakin berkembangnya demokrasi. Dewasa ini kepercayaan rakyat kepada partai politik menurun, karena partai politik merupakan bagian dari permasalahan ketimbang bagian dari solusi untuk memecahkan permasalahan krusial yang dihadapi bangsa Indonesia seperti masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan, jaminan sosial, infrastruktur perekonomian, konflik horizontal/vertikal di beberapa daerah yang dapat mengancam keutuhan NKRI dan menurunnya peranan Indonesia dalam percaturan politik internasional. Bahkan akhir-akhir ini partai politik sering menyuguhkan tontonan yang tidak bisa dijadikan tuntunan dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Partai politik dibelenggu oleh hukum besinya oligarki dan focus pada upaya memperoleh, mempertahankan dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan politiknya : Doktrin Benjamin Disraeli seperti dikutip Whitman (2003:80) menyatakan Real politics are the possession and distribution of power tampaknya sangat relevan dengan kondisi kepartaian di Indonesia. Partai politik berebut untuk menggeggam kekuatan dan distribusi kekuasaan dijadikan salah satu sarana bargaining politik. Partai politik memang perlu membenahi rumah tangganya. Partai politik perlu melakukan konsolidasi organisasi, konsolidasi kader, konsolidasi
87

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

demokrasi internalnya dan konsolidasi program agar lebih aspirasif dan aplikatif. Sementara itu Undang-undang Partai Politik akan memberi sumbangan berharga untuk peningkatan kualitas partai politik di masa mendatang, apabila undangundang tersebut dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Partai politik diharapkan tidak hanya sibuk menjelang pemilihan umum atau kongres/musyawarah/muktamar partai politik yang bersangkutan, tetapi secara nyata memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD Negara R.I Tahun 1945. Partai politik yang berfungsi secara efektif akan selalu bersama rakyat, berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Penutup Dari uraian di atas dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Eksistensi partai politik memiliki basis konstitusional yang kuat dalam Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945 sebagai salah satu pilar penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat. 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dibentuk antara lain dengan pertimbangan untuk menampung dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk guna meningkatkan peran, fungsi dan tanggung jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi. 3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengakomodasikan paradigma baru antara lain penguatan sistem kelembagaan partai politik, yang menyangkut demokratisasi internal partai politik, transparasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangannya, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan partai politik dalam sistem nasional, berbangsa dan bernegara dan perlunya pendidikan politik. 4. Partai politik di masa mendatang diharapkan meningkatkan kualitasnya sehingga dapat memainkan peranan yang lebih positif untuk membangun demokrasi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Untuk itu partai politik perlu melakukan konsolidasi organisasi, kepemimpinan, kader dan programnya agar lebih aspiratif.

88

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Afan Gaffar, 1999, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Maurice Duverger, 1981, Partai-Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, Bina Aksara Jakarta. Miriam Budiardjo, 1981, Partisipasi dan Partai Politik, PT Gramedia, Jakarta. William B Whitman, 2003, The Quotable Politician, The Lyons Press, Connecticut.

89

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

PENYEDERHANAAN PARTAI DALAM SISTEM MULTIPARTAI: TIDAK KONSISTEN


Oleh: Zainal Abidin, S.H.

1. Pendahuluan Paska reformasi, sistem demokrasi di Indonesia memasuki era baru khususnya dengan munculnya sistem multipartai dalam pemilu di Indonesia. Hal ini terlihat dari kehadiran partai politik dalam pemilu tahun 1999 sebanyak 48 partai politik yang mengikuti pemilu. Jumlah partai yang mengikuti pemilu ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hanya 3 pihak yang ikut pemilu yaitu Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sistem multipartai ini dimaksudkan untuk menjamin semua partai politik dapat berpartisipasi dalam demokrasi. Sistem multipartai ini diimbangi dengan adanya pembatasan jumlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan adanya mekanisme electoral threshold (ET). Dalam pemilu Tahun 1999, partai-partai politik yang tidak memenuhi jumlah kursi 2% di Parlemen tidak dapat mengikuti pemilu tahun 2004. Ketentuan pembatasan peserta pemilu kemudian berlanjut dengan peningkatan 3% jumlah kursi di parlemen untuk dapat mengikuti pemilu tahun 2009 sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu.1 Pembatasan dengan ET ini kemudian dianggap sebagai cara untuk mengeliminasi partai-partai yang sesungguhnya tidak diinginkan kehadirannya, dan di Indonesia threshold menjadi bentuk pembatasan untuk mengikuti pemilu berikutnya bagi partai yang ikut pemilu yang tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah partai politik. Akibatnya, partai-partai politik yang tidak memenuhi ET tidak dapat mengikuti pemilu berikutnya. Kondisi ini memunculkan gugatan bahwa mekanisme ET melanggar kontitusi yaitu UUD 1945 yang pada akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).2

1 2

Lihat Pasal 9 UU No. No. 12 Tahun 2003. Lihat Permohonan Judicial Review 17 Partai Politik di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 16/PUU-V/2007.

90

Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten

Pada tahun 2008, pemerintah dan DPR membahas revisi UU Pemilu yang menghasilkan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU ini juga masih memberikan batasan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan parliamentary threshold (PT). Demikian pula dalam pengaturan tentang partai politik yang dapat mengikuti pemilu tahun 2009, secara garis besar sama dengan ide penyederhanaan partai politik. Namun, dalam aturan peralihannya di Pasal 316 huruf (d) terdapat ketentuan bahwa partai politik peserta pemilu 2004 yang tidak memenuhi 3% ET dapat mengikuti pemilu tahun 2009 asal mempunyai satu kursi di DPR. Ketentuan tersebut berarti bahwa partai politik yang hanya mempunyai 1 (satu) kursi di DPR pun bisa langsung ikut pemilu tahun 2009. Pasal 316 (d) inilah yang bisa dianggap tidak menunjukkan suatu konsistensi sikap atas kebijakan penyederhanan partai politik peserta pemilu melalui ET. Tulisan ini akan menguraikan tentang ketentuan ET dalam sistem Multipartai di Indonesia, khususnya dalam melihat konsistensi kebijakan penyederhanaan partai politik dalam peraturan perudang-undangan dan perlindungan terhadap partai politik dalam konstitusi. Tulisan disusun berdasarkan analisis sejumlah UU terkait dengan Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 16/PUU-V/2007. 2. Electoral Threshold Merupakan Legal Policy Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menegaskan posisi penting partai politik yakni peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Demikian pula dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Namun demikian, masih diperlukan UU untuk mengatur tentang pemilu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa tatacara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dengan UU dan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan UU. Berdasarkan konstruksi dalam UUD 1945 tersebut, kedudukan partai politik dan sistem pemilu kemudian dikuatkan dalam sejumlah undang-undang,
91

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

diantara UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Dalam UU tersebut, juga diatur ketentuan pembatasan partai politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya (tahun 2009) dengan ketentuan sebagaimana pasal 9:
(1) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus: a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR; b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia. (2) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila: a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.

Ketentuan dalam Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2003 itulah yang kemudian digunakan sebagai acuan untuk menentukan peserta pemilu tahun 2009 mendatang. Hasil perolehan suara pemilu tahun 2004, dari 24 partai politik yang ikut pemilu hanya 7 partai politik yang memenuhi ketentuan 3% dan dapat lolos secara langsung mengikuti pemilu 2009, sementara sisanya 17 partai politik tidak dapat mengikuti pemilu tahun 2009 kecuali bergabung dengan partai lain untuk memenuhi syarat 3%.3 Hasil pemilu tahun 2004 tersebut ternyata tidak cukup memuaskan partaipartai kecil yang tidak memenuhi 3% persen jumlah kursi di DPR RI dan

Lihat Perolehan suara dan kursi Partai di DPR RI pada pemilu 1999/2004. 7 (tujuh) partai politik yang memanuhi 3% adalah Partai Golkar, PDIP, PPP, Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PKS.

92

Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten

kemudian mengajukan permohonan judicial review terhadap Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2003 ke MK.4 Para pemohon ini mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2003 bertentangan UUD 1945 khususnya terkait dengan hak asasi manusia yakni Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2). Permohon untuk menguji Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2003 tersebut sejatinya merupakan pengujian terhadap ketentuan electoral threshold, atau bisa dikatakana bahwa berdasarkan para pemohon ketentuan mengenai electoral threshold tersebut telah melanggar hak konstitusional para pemohon. MK pada akhirnya tidak mengabulkan permohonan tersebut dan menyatakan bahwa Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD 1945. MK berpendapat bahwa karena pasal tersebut hanya memuat tentang persyaratan obyektif kepada semua parpol tanpa kecuali apabila ingin mengikuti pemilu berikutnya dan tidak mengurangi kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan. MK juga menyatakan bahwa persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara demokratis melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung dari partai politik yang bersangkutan dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan undangundangnya. Kebijakan ET sebetulnya merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan mandat bebas kepada pembentuk UU untuk mengaturnya, termasuk mengenai persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan ET. MK menambahkan bahwa kebijakan hukum (legal policy) di bidang kepartaian dan pemilu tersebut bersifat objektif, dalam arti sebagai seleksi alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai yang hidup kembali di Indonesia di era refomasi.

Para pemohon ini terdiri dari 13 Parpol yakni PPD, PPIB, PBR, PDS, PBB, PKPI, PPDK, PNBK, Partai Pelopor, PPDI, PBSD, PSI, dan PKPB.

93

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Dari berbagai pertimbangan tersebut, MK menyimpulkan bahwa Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Pemilu tidak mempengaruhi hak untuk berserikat dan berkumpul, termasuk hak untuk mendirikan partai politik, serta tidak ada unsur yang bersifat diskriminatif sehingga ketentuan dalam pasal tersebut tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.5 Berdasarkan putusan MK, telah jelas bahwa ketentuan pembatasan partai politik untuk mengikuti pemilu bukanlah pelanggaran terhadap konstitusi. Partai-partai politik yang tidak memenuhi ET 3% kemudian mulai melakukan upaya-upaya untuk dapat mengikuti pemilu tahun 2009 dengan menggabungkan diri ataupun membentuk partai baru. 3. Ketidakkonsistenan dalam UU No. 10 Tahun 2008 Ketentuan mengenai ET untuk dapat mengikuti pemilu tahun 2009 mendatang pada awalnya diasumsikan akan diatur dengan substansi yang sama dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2003 dalam UU pemilu yang direvisi. Hal ini tercermin dalam serangkaian dokumen tentang persiapan untuk revisi UU No. 12 Tahun 2003 misalnya Naskah Akademis maupun RUU penyempurnaan UU Pemilu. Demikian pula dengan dokumen Daftar Inventaris Masalah (DIM) saat pembahasan RUU Pemilu di DPR. Berdasarkan Naskah Akademik RUU Pemilu versi Pemerintah, penyempurnaan UU No. 12 Tahun 2003 pada prinsipnya ditujukan untuk menciptakan keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective governance). Agar tercapai keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective governance) harus dilakukan langkah-langkah regulasi yang salah satunya adalah melakukan penyederhanaan jumlah pelaku. Kebutuhan untuk menyederhanakan jumlah pelaku adalah sangat penting sehingga ide tentang penyederhaan jumlah pelaku inilah yang kemudian diangkat dalam penyempurnaan UU No. 12 Tahun 2003, yang antara lain diwujudkan dalam penentuan batasan threshold bagi partai politik untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Melalui penciutan peserta Pemilu secara wajar dan rasional, diharapkan

Lihat Putusan MK Perkara No. No. 16/PUU-V/2007, hlm. 83.

94

Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten

pula isu-isu yang diusung oleh partai politik dalam pemilihan umum nasional adalah betul-betul isu nasional yang terpilih dan berbobot untuk ditangani lembaga perwakilan rakyat dan pemerintah tingkat nasional. Cakupan penyempurnaan UU No. 12 Tahun 2003 salah satu agendanya adalah pengetatan persyaratan bagi partai peserta Pemilu legislatif dalam rangka mengkondisikan sistem multipartai sederhana. Ruang lingkup agenda pengetatan persyaratan peserta Pemilu yang dapat dilakukan adalah: a. Memberlakukan persyaratan partai peserta Pemilu sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan sebelum Pemilu diselenggarakan. Persyaratan ini diperlukan agar tersedia cukup waktu bagi calon partai peserta Pemilu memperluas jaringan organisasi serta dikenal oleh masyarakat; b. Mempertahankan persyaratan electoral threshold (ET) bagi partai peserta Pemilu legislatif berikutnya yang ditingkatkan secara bertahap, dari 3 (tiga) persen untuk Pemilu tahun 1999 menjadi 5 (lima) persen untuk Pemilu 2014. Persyaratan ET 2 (dua) persen pada Pemilu 2004 memang berhasil mengurangi jumlah partai peserta Pemilu dari 48 partai peserta Pemilu 1999 menjadi separohnya (24 partai) pada Pemilu berikutnya. Persyaratan ET 3 persen untuk Pemilu 2009 dan ET 5 persen untuk Pemilu 2014 diharapkan dapat mengurangi jumlah partai peserta Pemilu secara lebih signifikan lagi; c. Partai politik yang tidak lolos ET 3 persen dapat bergabung dengan partai yang lolos ET dan meleburkan diri, atau bergabung dengan partai-partai yang tidak lolos ET 3 % sehingga memenuhi ET 3%, kedua metode dimaksud sebagaimana dimaksud telah diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota; d. Menetapkan jumlah minimal anggota partai terdaftar sekurang-kurangnya 1000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (satu permil) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota yang dibuktikan dengan kepemilikan KTA (Kartu Tanda Anggota). Dalam Naskah Akademis RUU tersebut juga dinyatakan adanya kesadaran bahwa terdapat berbagai problematika UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD yang salah satunya adalah persyaratan electoral threshold tidak diterapkan secara konsisten. Walaupun
95

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

jumlah partai peserta Pemilu berkurang, namun UU No. 12 Tahun 2003 kurang dapat mendorong terjadinya pembatasan partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen, sehingga kebutuhan akan hadirnya partai mayoritas tidak terjadi. Oleh karenanya, dalam RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD salah satu materi penting yang diatur adalah partai politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum bagi partai politik untuk menjadi peserta Pemilu ditingkatkan menjadi memiliki kepengurusan lengkap di seluruh jumlah provinsi, dan memiliki kepengurusan lengkap sekurang-kurangnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi. Sedangkan persyaratan khusus berupa perolehan kursi bagi partai politik yang pernah mengikuti Pemilu sebelumnya berupa perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPR, perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di (setengah) jumlah provinsi di Indonesia, dan perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di (setengah) jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh kurang dari 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh kurang dari 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang tersebar paling sedikit di 50% (lima puluh perseratus) jumlah provinsi dan di 50% (lima puluh perseratus) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, tidak boleh ikut dalam Pemilu berikutnya kecuali bergabung dengan partai politik lain. Apabila partai politik bergabung dengan partai politik lain dilakukan dengan cara: a. bergabung dengan partai politik peserta Pemilu tahun 2004; b. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan perolehan kursi pada Pemilu tahun 2004 dengan menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung; atau c. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan perolehan kursi pada Pemilu tahun 2004 dengan menggunakan nama dan tanda gambar baru.6

Lihat Naskah Akademis RUU tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (8 Mei 2007).

96

Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten

Pandangan dan paradigma tentang penyederhanaan partai politik yang mengikuti pemilu tersebut sejalan dengan pasal-pasal mengenai peserta Pemilu dalam RUU Pemilu versi Pemerintah yang tercantum dalam BAB XXI Ketentuan Peralihan dalam Pasal 286 dan Pasal 287.7
Pasal 286 Partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh 3% (tiga perseratus) atau lebih dari jumlah kursi DPR atau memperoleh paling sedikit 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang tersebar paling sedikit di 50% (lima puluh perseratus) jumlah provinsi dan di 50% (lima puluh perseratus) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai partai politik peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004. Pasal 287 (1) Partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh kurang dari 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh kurang dari 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang tersebar paling sedikit di 50% (lima puluh perseratus) jumlah provinsi dan di 50% (lima puluh perseratus) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, tidak boleh ikut dalam Pemilu berikutnya kecuali bergabung dengan partai politik lain. (2) Bergabung dengan partai politik lain dilakukan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan cara: a. bergabung dengan partai politik peserta Pemilu tahun 2004 sebagaimana ketentuan dalam Pasal 286; b. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286, dengan menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung; c. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286, dengan menggunakan nama dan tanda gambar baru.

Berdasarkan dua dokumen yaitu Naskah Akademis dan RUU, paradigma dan kebijakan penyederhaan partai politik peserta Pemilihan Umum melalui threshold telah konsisten dengan upaya untuk mencapai keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective governance) dan sesuai dengan kesadaran bahwa UU No. 12 Tahun 2003 tidak dapat berlaku secara konsisten

Lihat RUU Pemilu versi pemerintah.

97

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

sehingga perlu disempurnakan. Hal ini telah pula sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 16/PUU/V/2007. Bahwa sampai dengan pembahasan di DPR, Rumusan Pasal 286 dan 287 RUU Pemilihan Umum tetap menjadi pembahasan yang terlihat dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap RUU Pemilu.8 Bahkan sampai dengan tahap-tahap akhir pembahasan RUU Pemilihan Umum, rumusan dalam Pasal 286 dan 287 RUU Pemilihan Umum secara subtansi masih sama dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2003. Namun kemudian dalam pengesahan RUU Pemilihan Umum menjadi UU Pemilihan Umum (yang menjadi UU No. 10 Tahun 2008) muncul ketentuan baru tentang dibolehkannya partai peserta Pemilihan Umum 2004 yang tidak memenuhi threshold sebagaimana disyaratkan dalam UU Pemilihan Umum namun mempunyai kursi di DPR dapat langsung mengikuti Pemilihan Umum 2009 tanpa harus 1) bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang memenuhi ketentuan, atau 2) bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi, atau 3) bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 315 dan 316 UU No. 10 Tahun 2008.
Pasal 315 Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurangkurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.

Lihat Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Buku Keempat.

98

Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten

Pasal 316 Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan: a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam UndangUndang ini.

Kemunculan Pasal 316 huruf (d) dalam UU No. 10 Tahun 2008 tersebut kembali menimbulkan pertanyaan mendasar tentang konsep penyederhanaan partai politik yang dapat mengikuti pemilu (khususnya tahun 2009). Ketentuan ini justru mereduksi konsep penyederhanaan partai yang akan diupayakan di Indonesia. Akibatnya, peserta Pemilihan Umum tahun 2009 tidak akan sesuai dengan yang diharapkan karena dibuka kemungkinan adanya partai politik yang dapat mengikuti Pemilihan Umum tahun 2009 meskipun tanpa memenuhi threshold. Hal ini tercermin dari kondisi awal bahwa berdasarkan hasil pemilu tahun 2004 yang seharusnya hanya 7 partai politik yang dapat mengikuti pemilu 2009 secara langsung menjadi 16 partai politik.9 Ketentuan sebagaimana dalam Pasal 316 huruf (d) UU No. 10 Tahun 2008 ini kemudian memunculkan banyak kritikan yang pada pokoknya menunjukkan bahwa tidak ada konsistensi mengenai konsep penyederhanaan partai peserta pemilu.10 Bahkan ketentuan tersebut dianggap pula sebagai sebuah kemunduran dalam demokrasi dan merusak tatanan sistem pemilu.11

Partai-partai yang langsung dapat mengikuti pemilu tahun 2009 meskipun tidak memenuhi 3% kursi di DPR adalah PBB, PBR, PDS, PKPB, PKPI, PPDK, PNI Marhaenisme, Partai Pelopor, dan PPDI. 10 Media Indonesia, 1 Maret 2008; 18:29. Penghapusan ET Sebuah Kemunduran Berdemokrasi. Lihat juga Okezone. Selasa, 4 Maret 2008; 00:35 WIB. UU Pemilu 2008 Kemunduran dari UU Pemililu 2003. 11 Suara Karya, Electoral Threshold Aturan Peralihan, Tragedi Politik, 6 Maret 2008.

98

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Bahkan ketentuan tersebut juga dianggap merupakan ketentuan yang memberikan perlakukan yang berbeda (diskriminatif) terhadap partai politik perserta pemilu tahun 2004 yang tidak mempunyai kursi di DPR, meskipun mendapatkan suara yang signifikan dan bahkan melebihi jumlah suara beberapa partai yang punya kursi di DPR.12 4. Penutup Sistem Multipartai dalam pemilu di Indonesia telah berkonsekuensi membludaknya partai politik yang ingin mengikuti pemilu. Hal ini wajar karena paska reformasi telah terbuka peluang untuk pendirian partai-partai politik baru diluar 3 partai politik yang hidup pada era Orde Baru. Namun demikian, pembatasan partai politik peserta pemilu memang perlu dilakukan untuk memperkuat dan memperdalam demokrasi. Pembatasan inipun bukan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. UU No. 10 Tahun 2008 dengan aturan peralihan Pasal 316 huruf (d) justru kembali mundur dengan ketentuan memberikan peluang partai politik yang tidak memenuhi threshold namun punyai kursi di DPR langsung ikut pemilu tahun 2009. Ketentuan tersebut kembali meneguhkan sikap partai-partai politik di DPR yang lebih mendahulukan kepentingan partainya daripada kepentingan untuk penguatan sistem pemilu di Indonesia. Akibatnya, cita-cita untuk adanya keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective governance) dengan cara melakukan penyederhanaan jumlah peserta pemilu tidak tercapai. Kedepan, semua partai politik harus konsisten dengan regulasi yang dibuat dan tidak merubah kembali tujuan dilakukannya penyederhanaan jumlah peserta pemilu. Jika tidak, apalagi dengan terus menerus merubah aturan main pemilu yang hanya ditujukan untuk kepentingan sesaat maka akan mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.

12

Lihat Permohonan Judicial Review 5 partai politik ke MK terhadap ketentuan Pasal 316 huruf (d) UU No. 10 Tahun 2008.

100

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Permohonan Judicial Review 17 Partai Politik di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 16/PUU-V/2007. Permohonan Judicial Review 5 partai politik ke MK terhadap ketentuan Pasal 316 huruf (d) UU No. 10 Tahun 2008. Perolehan suara dan kursi Partai di DPR RI pada pemilu 1999/2004. Putusan MK Perkara No. No. 16/PUU-V/2007. Naskah Akademis RUU tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (8 Mei 2007). Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Buku Keempat. Media Indonesia, 1 Maret 2008; 18:29. Penghapusan ET Sebuah Kemunduran Berdemokrasi. Okezone. Selasa, 4 Maret 2008; 00:35 WIB. UU Pemilu 2008 Kemunduran dari UU Pemililu 2003. Suara Karya, Electoral Threshold Aturan Peralihan, Tragedi Politik, 6 Maret 2008.

101

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

KONFLIK INTERNAL PARTAI SEBAGAI SALAH SATU PENYEBAB KOMPLEKSITAS SISTEM MULTIPARTAI DI INDONESIA
Oleh: Chudry Sitompul, S.H.,M.H.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Kajian mengenai partai politik (parpol) merupakan salah aspek penting di dalam ilmu hukum tatanegara. Bila kita berbicara mengenai parpol, berarti kita akan membicarakan mengenai partisipasi rakyat dalam dua hal, yaitu pertama: partisipasi rakyat dalam menentukan arah kebijakan negara; kedua: partisipasi rakyat dalam membuat peraturan-peraturan perundang-undangan.1 Oleh karena itu, kajian mengenai parpol akan terkait dengan studi mengenai pemilihan umum (pemilu) dan konsep negara hukum. Prof. Abdul Bari Azed berpandangan bahwa konsep negara hukum merupakan pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) yang harus dilindungi, dan HAM yang paling penting adalah keikutsertaan atau partisipasi rakyat dalam membuat peraturan-peraturan perundang-undangan yang akan mengatur kehidupannya.2 Dan partisipasi rakyat untuk menyalurkan kepentingannya dengan ikut serta mengambil bagian dalam pembuatan kebijakan, dan dalam bentuk yang sederhana adalah dengan mengikuti pemilu, atau ikut menjadi anggota parpol mendirikan parpol, atau mengakomodasi kepentingannya dalam kehidupan bernegara. Kendati menurut teori ilmu hukum tata negara parpol merupakan suatu kajian yang penting, tetapi di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Asli tidak menyebut (mengatur) secara eksplisit dan jelas mengenai parpol. Di dalam Penjelasan UUD 1945 (Asli) menyatakan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Dengan demikian pentingnya peranan partai politik di dalam paradigma UUD

Abdul Bari Azed, dan Makmur Amir; Pemilu dan Partai Politik di Indonesia; Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, tahun 2005, hlm. 20. 2 Ibid, hlm. 62.

102

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

1945 (Asli) hanya dapat disimpulkan dari analisa teori-teori hukum tata negara mengenai hubungannya antara negara hukum, kedaulatan rakyat, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Lain hal dengan UUD 1945 yang sudah dirubah (Amandemen Kedua) yang menyebut secara eksplisit mengenai parpol. Di dalam Pasal 6 A UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menyatakan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Maraknya berdirinya partai-partai baru setelah berhentinya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 adalah bersamaan dengan adanya perubahan politik yang besar pada saat itu. Gerakan mahasiswa Indonesia pada tahun 1998 (Gerakan 1998) akan ditulis tinta emas di dalam sejarah Republik Indonesia. Sekurang-kurangnya ada dua keberhasilan yang sangat fundamental dari Gerakan 1998, yaitu: pertama, berhasil memaksa Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun untuk berhenti, hingga pemerintahan otoriter Orde Baru menjadi; dan kedua, mendorong lahirnya Gerakan Reformasi di segala bidang.3 Pengangkatan Prof. B.J. Habibie sebagai Presiden R.I merupakan tonggak awal periode reformasi.4 Prof. B.J. Habibie melakukan reformasi di segala bidang, memulihkan kehidupan di bidang sosial-ekonomi, dan meningkatkan demokrasi.5 Di dalam era Presiden Prof. B.J. Habibie, kehidupan bernegara menjadi demokratis, termasuk di dalamnya mengenai wacana pendirian partai politik (parpol) yang baru. Sri Bintang Pamungkas mempelopori mendirikan parpol yang baru, di luar tiga parpol yang diakui pada saat itu, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya (Golkar). Kemudian baru lahir parpol-parpol yang lain sehingga berjumlah 48 parpol, yang pada akhirnya parpol-parpol tersebut mengikuti pemilihan umum yang pertama di era reformasi pada tanggal 7 Juni 1999.

Lelita Yunia; Sosialisasi Politik Mahasiswa : Partisipasi Politik Forum Kota (Forkot) dalam Gerakan 1998; Tesis, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Pascasarjana, Depok, tahun 2002; hlm. 46-47. 4 Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia mengangkat sumpah Wakil Presiden Prof. B.J. Habibie untuk menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 setelah Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia. 5 Ramly Hutabarat; Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik di Indonesia (1971-1997); Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pascasarjana, Jakarta, 2004; hlm. 197.

103

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Semenjak itu, peran parpol di dalam kehidupan bernegara semakin menonjol. Kebijakan-kebijakan negara, baik pembuatan undang-undang di Dewan Perwakilan Perwakilan maupun oleh Presiden dalam mengeluarkan peraturan pelaksanaan undang-undang, banyak mendengar masukan dari parpol. Begitupun juga dalam melaksanakan pemilihan umum (pemilu) yang pertama di era reformasi pada tanggal 7 Juni 1999, peranan partai politik sangat sentral dan strategis. Pelaksana pemilu tahun 1999 tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beranggotakan dari seluruh unsur-unsur parpol yang ikut di dalam Pemilu 1999. Selain pelaksana Pemilu 1999, KPU juga yang membuat regulasi Pemilu 1999, penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode tahun 1999-2004, Utusan Golongan dan Utusan Daerah untuk Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat periode tahun 1999-2004. Demikianpun juga dalam pelaksanaan roda pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di daerah, peranan parpol sangat signifikan, terutama di dalam penyampaian aspirasi dan kontrol sosial. Hal tersebut terlihat di dalam proses perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), banyak aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui parpol, terutama mengenai pembatasan masa jabatan presiden, penjaminan hak azasi manusia (HAM), pemilihan presiden secara langsung. Peran parpol di dalam menyerap aspirasi masyarakat juga nampak dari hasil Pemilu 2004. Hasil perolehan suara di dalam Pemilu 2004 memperlihatkan terjadi perubahan, diantaranya yang menonjol yaitu :
Nama Partai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Keadilan/Partai Keadilan Sejahtera Partai Demokrat
Sumber : Komisi Pemilihan Umum

Pemilu 1999 35.689.173 1.436.565 Tidak ikut

Pemilu 2004 21.026.629 8.325.020 8.455.225

Dari tabel di atas menunjukan adanya peran parpol di dalam menyerap aspirasi masyarakat. Sebelum Pemilu 2004 dilaksanakan, banyak masyarakat (terutama mahasiswa dan pemuda) yang tidak puas terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mempunyai kursi terbanyak di DPR tidak dapat memberantas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) secara tuntas, sehingga perolehan suara PDIP di dalam Pemilu 2004 menjadi menurun.
104

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

Sedang Partai Keadilan atau Partai Keadilan Sejahtera (nama pada Pemilu 1999, yang kemudian pada Pemilu 2004 berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera) mendapat penambahan suara yang besar (sekitar 7 juta suara) disebabkan kalangan mahasiswa dan pemuda menaruh harapan agar partai ini sanggup memberantas KKN secara tuntas. Sedang Partai Demokrat yang merupakan parpol yang baru ikut Pemilu 2004, mendapat suara yang melebihi Partai Keadilan Sejahtera, disebabkan ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono yang ada dibelakang Partai Demokrat diharapkan masyarakat luas untuk dapat mengelola negara yang lebih baik. Bersamaan dengan semakin berperannya parpol dalam kehidupan negara yang demokratis, timbul konflik-konflik di dalam tubuh parpol. Salah satu konflik parpol yang menarik perhatian masyarakat adalah perselisihan di dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa. Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) pada hari Rabu tanggal 16 November 2005 telah memutus perkara sengketa partai politik (parpol) antara Alwi Shihab melawan Muhaimin Iskandar di tingkat Kasasi.6 Majelis Hakim Kasasi MA RI menilai pemecatan Alwi Shihab dari keanggotaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) cacat hukum, karena melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PKB. Harifin A. Tumpa (salah satu Anggota Majelis Hakim Kasasi) mengatakan kepada Harian Kompas bahwa putusan tersebut diambil melalui mufakat bulat dan Majelis Hakim tidak mengabulkan seluruh gugatan, melainkan hanya sebagian. Lebih jauh menjelaskan bahwa menurut AD/ART PKB, pemilihan Ketua Umum Dewan Tanfidz dilakukan melalui muktamar yang diselenggarakan lima tahun sekali. Ketua Dewan Tanfidz bertanggungjawab kepada Muktamar. Cacat hukum yang dimaksud adalah pemecatan Alwi tidak dilakukan melalui muktamar. Menurut Harifin A. Tumpa putusan MA RI tersebut tidak membawa konsekwensi apapun, karena pengurus baru sekarang sudah ada. Selanjutnya Harifin A. Tumpa berharap putusan MA RI tersebut membuat para pihak berdamai. Putusan MA RI tersebut bukan saja merupakan perkembangan baru semenjak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang

Harian Kompas, Sabtu 19 November 2005, hlm. 2.

105

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002, tetapi juga merupakan peristiwa yang pertama kali terjadi di era reformasi yang kehidupan politiknya demokratis dan liberal. Konflik kepartaian seperti yang dialami oleh PKB tersebut, juga dialami oleh parpol-parpol besar lainnya seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Demokrat (PD). Namun perselisihan kepartaian yang pada akhir berujung berpekara di pengadilan yang dialami PDIP, PBR, dan PDR belum sampai dengan tingkat kasasi. Bahkan PBR sudah berdamai, dan gugatannya sudah dicabut. Sementara itu perselisihan kepartaian yang pada akhir berujung berpekara di pengadilan yang dialami PKB bukan hanya gugatan dari Alwi Shihab itu saja. Pada tahun 2002 PKB mengalami Dualisme Kepemimpinan antara PKB Batutulis yang dipimpin Matori Abd. Djalil dan PKB Kuningan yang dipimpin Alwi Shihab, yang pada akhirnya berpekara sampai di pengadilan. Sesungguhnya perselisihan internal parpol bukan hanya berujung di pengadilan, tapi ada juga perselisihan internal parpol hingga mengakibatkan parpol bersangkutan pecah, antara lain seperti Haryanto Taslam yang merupakan tokoh pendiri PDIP pada akhirnya mendirikan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK). Atau perselisihan internal parpol hingga menyebabkan tokoh-tokoh pendiri partai meninggalkan parpol yang dibentuknya semula, antara lain Faisal Basri meninggalkan Partai Amanat Nasional (PAN). B. Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka yang pokok permasalahan di dalam tulisan ini adalah : 1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan maraknya konflik internal parpol di awal-awal era reformasi ? 2. Apa akibat-akibat yang timbul dari adanya konflik internal parpol di awalawal era reformasi ? C. Kerangka Teori 1. Partai politik menurut Roy C. Macridis: 7 parpol adalah suatu asosiasi yang mengaktifkan, memobilisasi rakyat, dan

Roy C. Macridis; Teori-Teori Mutakhir Partai Politik (Editor : Ichlasul Amal); Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya, tahun 1996, hlm. 17.

106

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

2.

3.

4.

5.

6.

7.

mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapatpendapat yang bersaing, dan memunculkan kepemimpinan politik. Partai politik menurut Miriam Budiardjo:8 adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijsaksanaan-kebijaksanaan mereka. Partai politik menurut Carl J. Fiederich: 9 adalah sekelompok manusia yang terorganisiir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil. Partai politik menurut Soltau :10 adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakanaan umum mereka. Partai politik menurut Sigmund Neumann :11 adalah organisasi aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Partai politik menurut Ichlasul Amal :12 adalah suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah. Partai politik menurut Mark N. Hagopian:13 adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan

Miriam Budiardjo; Dasar-Dasar Ilmu Politik; Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hlm. 160. 9 Ibid hlm. 161. 10 Ibid hlm. 161. 11 Ibid hlm. 162. 12 Ichlasul Amal (Editor); Teori-Teori Mutakhir Partai Politik; Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya, tahun 1996, hlm. xv. 13 Ibid hlm. xv.

107

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan. 8. Menurut Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi :14 Perpecahan dalam parpol bisa disebabkan tiga hal; a. Perbedaan ideologi dari para anggotanya. b. Perbedaan pelaksanaan kebijaksanaan c. Persaingan kepemimpinan dalam partai. 9. Menurut H. Anto Djawamaku :15 Ada beberapa macam konflik internal dalam tubuh partai politik, yaitu : a. Karena partai tidak memeliki platform yang jelas, sehingga mengakibatkan tidak adanya ikatan ideologis di antara anggota partai. Ketika terjadi perpecahan yang bersifat klik, personal atau kelompok, dengan mudah hal itu memecah belah partai. b. Faktor kepemimpinan tunggal dan manajemen yang buruk. Terlalu kuatnya figur pemimpin partai politik berpotensi mematikan kaderisasi di tubuh partai politik bersangkutan. Figur yang kuat seringkali dianggap mampu menjadi perekat sementara pada saat bersamaan kader yang memiliki kualifikasi sepadan tidak pernah dipersiapkan sebagi calon pengganti. c. Dipandang dari proses regenerasi yang harus dilakukan, kegagalan muncul tokoh baru dalam partai politik menunjukan kegagalan partai politik melakukan reformasi internal, terutama untuk revitalisasi dan regenerasi terutama karena figur petingginya menjadi simbol institusi. 10. Menurut Nurcholish Madjid : 16 Sampai saat ini belum ada kedewasaan berpolitik dalam partai politik. Perpecahan partai politik umumnya disebabkan oleh egoisme politik yang begitu besar yang merupakan indikasi ketidakdewasaan partai tersebut. Ketidakdewasaan partai juga ditunjukkan dengan ketidakberanian partai politik terkait untuk menjadi independen.

14

Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi; Sistem Politik Indonesia; Penerbit : Karunika Jakarta, Universitas Terbuka, 1988, hlm. 5.6. 15 H. Anto Djawamaku; Percehan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah Politik Lainnya; dalam Jurnal Analisis CSIS : Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal, Jakarta, Vol. 34, No.2, 2005, hlm. 126-127. 16 Harian Kompas, 11 Januari 2002.

108

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

II. TEORI-TEORI PARTAI POLITIK A. Batasan dan Pengertian Partai Politik Roy C. Macridis berpendapat bahwa partai politik (parpol) merupakan keharusan dalam kehidupan politik moderen yang demokratis, pengecualiannya hanya pada masyarakat tradisional yang sistem politiknya otoritarian yang pemerintahannya bertumpu pada tentara atau polisi.17 Sebagai organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah (legitimate) dan damai. Menurut Roy C. Macridis, partai politik merupakan suatu asosiasi yang mengaktifkan, memobilisasi rakyat, dan mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat-pendapat yang bersaing, dan memunculkan kepemimpinan politik. Oleh karena itu, partai politik menjadi fenomena umum dalam kehidupan politik di dalam masyarakat moderen. Partai politik adalah alat untuk memperoleh kekuasaan dan untuk memerintah. Partai politik telah digunakan untuk mempertahankan pengelompokan yang sudah mapan (seperti gereja) atau untuk menghancurkan status quo seperti yang dilakukan Bolsheviks pada tahun 1917 ketika menumbangkan kekaisaran Tsar. Sementara itu Miriam Budiardjo berpendapat bahwa Partai politik menurut adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijsaksanaankebijaksanaan mereka.18 Partai politik menurut Carl J. Fiederich adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.19

17 18 19

Roy C. Macridis; Op.cit., hlm. 17. Miriam Budiardjo; Op.cit., hlm. 160. Ibid hlm. 161.

109

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Partai politik menurut Soltau adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakanaan umum mereka.20 Partai politik menurut Sigmund Neuman adalah organisasi aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongangolongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.21 Partai politik menurut Ichlasul Amal adalah suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah.22 Partai politik menurut Mark N. Hagopian adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan.23 Berdasarkan batasan-batasan mengenai parpol seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa : 1. Dasar sosiologis dari suatu parpol adalah ideologi. 2. Kepentingan dari dibentuknya suatu partai politik adalah usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan. B. Fungsi Partai Politik Di dalam negara moderen, menurut Miriam Budiardjo, partai politik mempunyai beberapa fungsi :24 1. Sebagai sarana komunikasi politik : parpol berfungsi menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpang-siuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat moderen yang

Ibid, hlm. 161. Ibid, hlm. 162. 22 Ichlasul Amal (Editor); Teori-Teori Mutakhir Partai Politik; Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya, tahun 1996, hlm. xv. 23 Ibid hlm. xv. 24 Miriam Budiardjo, Op.cit., hlm. 163.
21

20

110

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di pandang pasir apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan, perumusan kepentingan (interest articulation). 2. Sebagai sarana Sosialisasi Politik (Instrument of Political Socializzation). Di dalam ilmu politik, sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses dari seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik di dalam lingkungan masyarakat dimana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-ceramah penerangan, kursus-kursus kader, kursus penataran, dan sebagainya. 3. Sebagai sarana Rekrutmen Politik. Dalam hal ini parpol berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment). Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik. Juga disuahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik untuk menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pimpinan lama (selection of leadership). 4. Sebagai sarana pengatur konflik. Di dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, parpol berusaha untuk mengatasinya. Sementara itu Ramlan Surbakti berpendapat bahwa fungsi utama partai politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan untuk mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu.25 Selain fungsi utama parpol seperti tersebut, menurut Ramlan Surbakti masih ada fungsi parpol lainnya, yaitu : 1. Sosialisasi politik. 2. Rekrutmen politik.

25

Ramlan Surbakti; Memahami Ilmu Politik; Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 116.

111

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

3. 4. 5. 6. 7.

Partisipasi politik. Pemandu Kepentingan. Komunikasi Politik. Pengendalian Konflik. Kontrol Politik.

C. Jenis-Jenis Partai Politik Perbedaan jenis-jenis partai politik yang ada di berbagai negara pada dewasa ini pada hakekatnya karena perbedaan basis sosiologisnya. Menurut Ichlasul Amal, sekurang-kurangnya terdapat lima jenis parpol yang dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat komitmen parpol terhadap ideologi dan kepentingan, yaitu :26 1. 2. 3. 4. 5. Partai Proto. Partai Kader. Partai Massa. Partai Diktatorial. Partai Catch-all.

Partai Proto adalah tipe awal partai politik sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini. Partai semacam ini muncul di Eropa Barat sekitar abad pertengahan hingga akhir abad ke-19. Ciri paling menonjol dari partai proto adalah pembedaan antara kelompok anggota (ins) dengan nonanggota (outs). Selebihnya, partai ini belum menunjukan ciri sebagai parpol dalam pengertian moderen. Karena, partai proto sesungguhnya adalah partai yang dibentuk berdasarkan pengelompokan ideologis masyarakat. Partai kader merupakan perkembangan lebih lanjut partai proto. Partai ini muncul sebelum diterapkannya sistem hak pilih secara luas bagi rakyat hingga sangat bergantung pada masyarakat kelas menengah ke atas yang memiliki hak pilih, keanggotaan yang terbatas, kepemimpinan, serta para pemberi dana. Tingkat organisasi dan ideologi partai kader sesungguhnya masih rendah karena aktivitasnya jarang didasarkan pada program dan organisasi yang kuat. Keanggotaan partai kader terutama berasal dari golongan kelas menengah ke atas. Akibatnya, ideologi yang dianut partai kader adalah konservatisme ekstrem

26

Ichlasul Amal, Op.cit., hlm. xv.

112

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

atau maksimal reformisme moderat. Karena itu partai kader tidak memerlukan organisasi besar yang dapat memobilasasi massa. Dengan demikian, dalam pengertian ini partai kader lebih nampak sebagai suatu kelompok informal daripada sebagai organisasi yang didasarkan pada disiplin. Partai massa muncul pada saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai suatu respon politis dan organisasional bagi perluasan hakhak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Latar belakang muncul partai massa sangat bertolak belakang dengan kemunculan partai proto maupun partai kader. Partai proto dan partai kader terbentuk di dalam lingkungan parlemen (intra parlemen), memiliki basis pendukung kelas menengah ke atas, serta memiliki tingkat organisasial dan ideologis yang relatif rendah. Sebaliknya, partai massa dibentuk di luar lingkungan parlemen (ekstra parleementer), berorientasi pada basis pendukung yang luas, misalnya : buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki ideologi yang cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi yang cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya. Tujuan utama partai massa tidak hanya memperoleh kemenangan dalam pemilihan, tetapi juga memberikan pendidikan politik bagi para anggotanya dalam rangka membentuk elit yang langsung direkrut dari massa. Partai Catch-all merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Istilah Catch-all pertama kali dikemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk memberikan tipologi pada kecenderungan perubahan karakteristik partai-partai politik di Eropa Barat pada massa pasca Perang Dunia Kedua. Catch-all dapat diartikan sebagai menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya. Tujuan utama partai ini adalah memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program-program dan keuntungan bagi anggotanya sebagai ganti ideologi yang kaku. Dengan demikian, aktivitas partai ini erat berkaitan dengan kelompok kepentingan dan kelompok penekan. D. Konflik dan Perpecahan Partai Politik Di dalam masyarakat yang demokratis, perbedaan pendapat dan persaingan di antara warga masyarakat atau golongan-golongan merupakan hal yang wajar. Perbedaan pendapat dan persaingan itu sering kali mengakibatkan konflik, bahkan mengakibatkan terjadi perpecahan.
113

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : 1). Percecokan, pertentangan; 2). Ketegangan atau pertentangan antara dua kekuatan atau dua tokoh.27 Menurut Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi Perpecahan dalam parpol bisa disebabkan tiga hal:28 1) Perbedaan ideologi dari para anggotanya. 2) Perbedaan pelaksanaan kebijaksanaan. 3) Persaingan kepemimpinan dalam partai. Sedangkan menurut H. Anto Djawamaku Ada beberapa macam konflik internal dalam tubuh parpol, yaitu :29 1. Karena partai tidak memeliki platform yang jelas, sehingga mengakibatkan tidak adanya ikatan ideologis di antara anggota partai. Ketika terjadi perpecahan yang bersifat klik, personal atau kelompok, dengan mudah hal itu memecah belah partai. 2. Faktor kepemimpinan tunggal dan manajemen yang buruk. Terlalu kuatnya figur pemimpin parpol berpotensi mematikan kaderisasi di tubuh partai politik bersangkutan. Figur yang kuat seringkali dianggap mampun menjadi perekat sementara pada saat bersamaan kader yang memiliki kualifikasi sepadan tidak pernah dipersiapkan sebagi calon pengganti. 3. Dipandang dari proses regenerasi yang harus dilakukan, kegagalan muncul tokoh baru dalam parpol menunjukan kegagalan parpol melakukan reformasi internal, terutama untuk revitaslisasi dan regenerasi terutama karena figur petingginya menjadi simbol institusi. III. KONFLIK PARTAI POLITIK DI INDONESIA A. Berdirinya Partai Politik di Indonesia. Dari teori-teori ilmu poltik sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan partai politik adalah merupakan alat yang pernah didesain

27 28

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cet. Ketiga, tahun 1990, hlm. 455. Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi; Sistem Politik Indonesia; Penerbit : Karunika Jakarta, Universitas Terbuka, 1988, hlm. 5.6. 29 H. Anto Djawamaku; Percehan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah Politik Lainnya; dalam Jurnal Analisis CSIS : Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal, Jakarta, Vol. 34, No.2, 2005, hlm. 126-127.

114

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

oleh manusia dan paling ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Karena demikian pentingnya keberadaan partai politik, sampai munculnya pameo dalam masyarakat bahwa politisi modern tanpa partai politik sama saja dengan ikan yang berada di luar air. Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Hubungan ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat yang melahirkannya. Kalau kelahiran partai politik sebagai pengejewantahan dari kedaulatan rakyat dalam politik formal, maka semangat kebebasan selalu dikaitkan orang dalam membicarakan partai politik sebagai pengendali kekuasaan. Partai poltik sering dianggap sebagi salah satu atribut negara demokrasi modern, dan tidak ada seorang ahlipun dapat membantahnya, karena partai politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat. Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat, juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakilwakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat. Partai politik, sering diasosiasikan sebagai organisasi perjuangan, tempat seseorang/kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik dalam negara. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik tidak harus menggunakan kekerasan/kekuatan fisik, tetapi melalui berbagai konflik dan persaingan baik intern partai maupun antar partai yang terjadi secara melembaga dalam partai politik umumnya. Sebagaimana dikatakan oleh Huszar dan Stevenson dalam bukunya Political Science mengemukakan Partai Politik ialah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar supaya dapat melaksanakan progam-progamnya dan menempatkan/menundukkan anggota-anggotanya dalam jabatan pemerintah; partai politik berusaha untuk memperoleh kekuasaan dengan dua cara yaitu ikut serta dalam pelaksanaan pemerintah secara sah, dengan tujuan bahwa dalam pemilu memperoleh suara mayoritas dalam badan legislatif, atau mungkin bekerja secara tidak sah/subversif untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara yaitu melalui revolusi atau coup detat. Persaingan antar partai politik merupakan bagian intergral dalam proses politik, guna memperoleh kemenangan dala proses pemilu. Dengan suara
115

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

mayoritas dalam pemilu, partai yang bersangkutan akan dapat berbuat banyak dalam mengendalikan negara dan pemerintahan; memperkuat dan memperjuangkan ideologi partainya; mempertahankan posisi elitnya dalam kekuasaan pemerintahan; serta merealisir tujuan lebih lanjut,yaitu mengawasi kebijaksanaan umum. Sebagaimana dikatakan Carl.J.Friederich bahwa, partai poltik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara mapan dengan tujuan untuk menjamin dan mepertahanlan pemimpin-pemimpinnya, tetap mengendalikan pemerintahan dan lebih jauh lagi memberikan keuntungan-keuntungan terhadap anggota partai baik keuntungan yang bersifat materiil maupun spirituiil. Sejarah mencatat untuk pertama kali partai politik tumbuh dan berkembang di negara-negara Eropa Barat, merupakan suatu tahap agar pemerintahan yang dijalankan harus berdasarkan kontitusi dan perwakilan. Hasil pembangunan politiknya telah membatasi kekuasaan Monarchi absolut dan perluasan hak-hak warga negara. Keberhasilan inilah yang mendorong meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik. Dan pada gilirannya menempatkan partai politik berfungsi menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintahan, dimana rakyat dapat menentukan pilihannya dengan leluasa, memperjuangkan kepentingannya, mengkritik rezim yamg memerintah, melakukan tata hubungan politik dan lain-lain. Telah banyak penelitian empiris menunjukkan perspektif biar di mana partai-partai politik dan sistem kepartainnya bisa dianalisis dan dipahami secara lebih mendalam dalam kehidupan masa kini. Selain itu, berbagai usaha telah dilakukan untuk menghubungkan partaipartai politik dengan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat, dengan berbagai kelompok yang bertujuan mengejar kekuasaan dan pencapaian tujuan-tujuan dan kepentingannya. Dalam konteks ini masyarakat sering dipandang sebagai organisme yang dinamis tempat berkembangnya pelbagai persaingan guna memperoleh prestisi, status, kekuasaan perasaan aman. Kompetisi yang berkembangnya biasanya diliputi oleh tujuan-tujuan yang ingin dicapai, bahkan membawa atribut-atribut kelompok yang berafiliasi untuk diperjuangkan kepentingannya. Kondisi konflik dan persaingan semacam ini merupakan hal yang lumrah dan tidak bisa dielakkan dalam kehidupan sehari-hari. Telah banyak penelitian empiris menunjukkan perspektif baru di mana partai-partai politik bisa dianalisis dan
116

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

dipahami secara lebih mendalam. Kalau kita lihat ketentuan UUD 1945, tidak dijumpai kata-kata partai politik, hal ini tidak berarti bahwa partai politik tidak boleh ada/diatur, apalagi kalau menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Berdasarkan pengalamanpengalaman perkembangan demokrasi di negara kita dalam hubungannya dengan pelaksanaan UUD 1945, Konsitusi RIS dan UUDS50, telah timbul kecenderungan untuk mengatur kehidupan kepartaian. Dilihat dari sudut ideologi dasar, munculnya partai politik di Indonesia pada masa pra kemerdekaan secara garis besar adalah sebagai aktualisasi dari tiga aliran atau pandanagan politik yang menemukan momentum kelahirannya pada dekade abad ke20. Ketiga aliran itu ialah Islam, Nasionalisme, dan Marxisme/Sosialisme. Aktualisasi aliran Islam muncul pertama dalam Serikat Islam (SI), sebagai partai politik pertama yang bercorak nasional. Partai Serikat Islam sering dianggap sebagai partai pelopor dan partai ini menjadi dinamis di bawah pimipinan H.O.S.Cokroaminoto. Hal yang menarik dari SI pada periode awal adalah mampu mengidentifikasikan dirinya dengan aspirasi politik Bumi Putera untuk memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1920-an dengan kelahiran PKI, PNI, yang bercorak ideologi Marxisme dan Nasionalisme, membawa dampak wibawa SI menurun, dan tidak mampu bersaing dengan ideologi-ideologi modern yang berasal dari Barat dalam merebut massa rakyat. PKI yang lahir pada tahun 1920, dalam tempo yang relatif singkat berkembang dengan pesat, baik di bidang organisasi maupun dalam usaha memasyarakatkan Marxisme/Komunisme. Partai ini tidak saja berhasil mempengaruhi massa rakyat, juga berhasil memikat kaum intelektual, terutama dengan memperkenalkan analisa Lenin dan Bucharin tentang imperalisme sebagai tingkat terakhir dari kapitalisme. Bilamana pemberontakan PKI tahun 1926/1927 tidak terjadi, tidak menutup kemungkinan PKI akan menjadi pelopor dalam perjuangan anti kolonialisme/imperalisme. Kesalahan PKI waktu itu membuat satu perjuangan pemberontakan tanpa persiapan yang matang. Periode 1927 sampai dengan 1945 aktualisasi ideologi Marxis hilang dari arena gerakan politik Indonesia. Kondisi seperti ini, kedudukannya mampu digantikan oleh PNI sebagai partai radikal-revolusioner dan Soekarno mampu belajar dari pengalaman dan kelemahan SI dan PKI.

117

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Kalau kita perhatikan jalan pemikiran yang melandasi organisasiorganisasi politik seperti Serikat Islam (1912), PKI (1921), PSII (1930), PNI (1927), Partindo, Parindra, dan kelompok-kelompok yang berdasarkan suku kederahan seperti Paguyuban Pasundan (1914), Serikat Sumatra (1918), Serikat Ambon (1920), Rukun Minahasa dan Kaum Betawi (1923) dan lainlain, jelas perjuangan utama mereka adalah kemerdekaan dari kolonialisme/ imperalisme. Namun kalau dikualifikasi lebih lanjut, akan menunjukkan beragam alasan dari aliran politik Islam, Nasionalisme dan Marxisme dalam melihat tuntutan untuk merdeka. Perjalanan kehidupan partai politik di Indonesia sering dihadapkan pada berbagai masalah, seperti bagaimana partai politik mengorganisir dirinya agar terbebas dari ancaman perpecahan; bagaimana hubungan antara partai politik dengan rakyat pendukungnya; bagaimana peranan ideologi di dalam kehidupan partai untuk memperoleh sarana materiil; serta bagaimana peranan partai politik bagi kelancaran perputaran mesin partai. Achmad Syafei Maarif mengkonstanti, bahwa perpecahan dalam partai politik bukan karena perbedaan penafsiran terhadap ideologi yang dianut, tetapi kerena perbedaan pandangan dalam membawa ideologi itu menjadi aktual. Hal ini menyangkut sikap terhadap pemerintah Hindia Belanda, misalnya dari non-kooperatif ke kooperatif. Pada pokoknya sesudah PNI dibubarkan sampai dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942, tidak ada satu ideologi yang dominan dalam pergerakan politik Indonesia. Sedangkan pada pendudukan Jepang (1942-1945) seluruh kegiatan partai politik dihentikan. Setelah proklamasi kemerdekaan BP-KNIP terhitung mulai tanggal 30 Oktober 1945 bertindak sebagai parlemen sementara sebelum diadakan pemilu, berkeputusan untuk membentuk partai politik dengan konsep banyak partai (multyparty), dengan pertimbangan bahwa berbagai pendapat yang ada di dalam masyarakat akan tersalur secara tertib. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan adalah bahwa partai politik akan memperkokoh perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan pemeliharaan keamanan masyarakat. Dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Moh. Hatta, jelas membawa partai politik garis tempat berpijak yang kokoh. Isi Maklumat itu antara lain memuat keinginan pemerintah akan kehadiran partai politik. Dengan partai politik aliran paham yang ada di dalam masyarakat dapat disalurkan secara
118

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

teratur. Lebih meyakinkan lagi, berupa limit waktu pendirian partai politik, yakni harus sudah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota-anggota badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Dengan dasar maklumat pemerintah ini, lahirlah berbagai partai politik ditambah partai politik yang telah ada pada zaman penjajahan Belanda maupun partai politik pada masa pendudukan Jepang. Partai politik yang berdiri sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tersebut diklasifikasikan dalam buku Kepartaian Indonesia/terbitan Kementerian Penerangan tahun 1951 sebagai berikut : 1. Dasar Ketuhanan: a) Masjumi; b) Partai Sjarikat Indonesia; c) Pergerakan Tarbiah Islamiah; d) Partai Kristen Indonesia; e) Partai Katholik. 2. Dasar kebangsaan; a) Partai Nasional Indonesia (PNI); b) Persatuan Indonesia Raya (PIR); c) Partai Indonesia Raya (Parindra); d) Partai Rakyat Indonesia (PRI); e) Partai Demokrasi Rakyat (Banteng); f) Partai Rakyat Nasional (PRN); g) Partai Wanita Rakyat (PWR); h) Partai Kebangsaan Idonesia (Parki); i) Partai Kedaulatan Rakya (PKR); j) Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI); k) Ikatan Nasional Indonesia (INI); l) Partai Rakyat Jelata (PRJ); m) Partai Tani Indonesia (PTI); n) Wanita Demokrasi Indonesia (WDI). 3. Dasar Marxisme: a) Partai Komunis Indonesia (PKI); b) Partai Sosialis Indonesia; c) Partai Murba; d) Partai Buruh;
119

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

e) Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai). 4. Partai lain-lain: a) Partai Demokrat Tionghoa (PTDI); b) Partai Indonesia Nasional (PIN). Disamping itu ada dua partai politik yang cukup besar pengaruhnya dalam masyarakat, yang belum tercantum dalam daftar di atas yakni Nahdatul Ulama (NU) yang secara resmi berdiri sebagai partai politik yang bernafaskan Islam tahun 1952, dan partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) berdasarkan kebangsaan. Adapun Alfian dalam mengelompokkan partai politik berdasarkan hasil pemilu 1955 yakni; 1. Aliran nasionalis : a) PNI; b) PRN; c) PIR Hazarin; d) Parindra; e) Partai Buruh; f) SKI; g) PIR-Wongsonegoro. 2. Partai Islam : a) Masjumi; b) NU; c) PSII; d) Perti 3. Aliran Komunis : a) PKI; b) SOBSI; c) BTI 4. Aliran Sosialis : a) PSI; b) GTI. 5. Aliran Kristen : a) Partai Katolik; b) Parkindo.

120

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

Cara lain menurut Alfian dengan pengelompokkan partai politik; nonagama, Islam dan Kristen. Pengelompokkan ini nampaknya relevan dengan pemikiran K.H.A.Wahid Hasjim sebagai akibat dari pemerintahan diktator yang dilaksanakan oleh Jepang, maka di dalam negara kita berkembang tiga aliran yakni; a) Nasionalis opportunis; b) Nasionalis Islam; dan c) Komunis/Sosialis. Ketiga golongan utama inilah yang mendominasi kehidupan politik kita melalui partai politik. Kalau pada zaman penjajahan konflik antar golongan dapat ditutupi dengan isu melawan penjajahan, sehingga intrik politik diantara masing-masing golongan tidak menampilkan perpecahan intern, jalan keluarnya dengan mendirikan partai baru yang juga mempunyai problem tersendiri dalam menghadapi pemerintah kolonial. Tetapi dalam perkembangan berikutnya setelah lepas dari penjajahan, nampak semakin intensif upaya menanamkan ideologi dalam masyarakat dan masing-masing sebagai golongan politik menampakkan identitas sebagai golongan yang memang memiliki ambisi untuk mempertaruhkan segalanya demi mencapai tujuan dalam kekuasaan politik. Dengan adanya anjuran dan jaminan penderian serta hak hidup partai politik, maka tahun 1955 kita menyaksikan pertumbuhan partai politik yang subur dengan diselingi konflik yang terkadang berbau antagonis diantara berbagai golongan yang ada. Salah satu ciri utama kehidupan politik masa demokrasi liberal ditandai dengan kabinet yang berulang kali rata-rata berumur 8 bulan. Itulah resiko multipartai yakni pertentangan yang tidak pernah berkesudahan antar elit politik terutama golongan nasionalis dan Islam. Adapun simbul kedua golongan itu adalah PNI dam Masjumi. Hanya terdapat dua kabinet yang diperintah secara berimbang antara dua golongan tersebut. Golongan lain adalah PSI, PSII, NU, IPKI, dan beberapa partai kecil lainnya yang ikut duduk dalam kabinet sampai berakhirnya pemilu 1955. Yang perlu dicatat bahwa masa ini nampak sekali percaturan politik bercirikan militansi politisi sipil. Pemilu 1955 mengangkat posisi NU dan PKI ke panggung politik dan mendepak PSI ke luar, karena partai ini sangat merosot dalam perolehan suara. Karena tidak ada partai yang mayoritas dalam pemilu, membuka peluangnya adanya koalisi. Kondisi semacam ini menjadi salah satu penyebab sering terjadi
121

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

pergantian kabinet, dalam bahasa Orde Baru tidak mungkin menyelenggarakan pembangunan ekonomi karena perhatian lebih banyak ditujukan kepada pembenahan bidang politik. Dengan konflik yang berkepanjangan dalam tubuh badan Konstituante dalam merumuskan UUD yang bersifat tetap, mendorong Presiden Soekarno menggunakan kekuasaan ekstrakonstitusional dengan Dekritnya dan melahirkan demokrasi terpimpin. Masa ini tampak kekuasaan Presiden Soekarno mengisap hampir seluruh kekuasaan yang ada disekelilingnya dan berakhirlah kekuasaan partai-partai politik. Disamping cengkraman kekuasaan Soekarno, masa demokrasi terpimpin ditandai pula oleh adanya keinginan kuat kaum militer untuk tampil dalam gelanggang politik dan sejak itu pula muncul kesadaran untuk mengurangi jumlah partai politik, guna mengatasi berbagai gejolak politik. Dengan dikucilkannya PNI dan Masjumi oleh Presiden Soekarno, memberikan angin segar bagi PKI untuk berkiprah lebih leluasa dalam arena politik. Dalam kurun waktu 1959-1965, tampak antara Soekarno, PKI, dan TNI-AD saling bersaing, sedang partai lain kurang menunjukkan aset yang berarti dalam percaturan politik. Dengan kelihaian PKI dalam memobilisasi massa sampai pelosok pedesaan dengan kader-kader yang disiapkan begitu intensif dan militan, memberikan keyakinan padanya bahwa kemenangan akan diraihnya, manakala suatu saat dilakukan pengambil alihan kekuasaan, dengan cara mengucilkan kekuatan TNI-AD. Inilah malapetaka yang dikenal dengan pemberontakkan G 30S/PKI dengan jatuhnya 7 korban perwira tinggi dan menengah TNI-AD. Dari malapetaka itulah segenap potensi bangsa terutama Militer, Angkatan 66 dan umat Islam ditambah kekuatan sosial keagamaan lainnya ikut bergerak menumpas PKI. Dengan kehancuran PKI, menghantarkan militer berkiprah dalam gelanggang politik. Kehancuran Orde Lama ditandai dengan surutnya politisi sipil dari gelanggang politik dan naiknya peranan militer, oleh Alfian memberi istilah dengan formal politik baru. Awal kebangkitan Orde Baru dalam melakukan pembenahan intitusi politik, tetap berpandangan bahwa jumlah partai yang terlalu banyak tidak menjamin adanya stabilitas politik. Usaha pertama disamping memulihkan partaipartai yang tidak secara resmi dilarang, adalah menyusun UU tentang pemilu yang dianggap sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu. Dan pemilu
122

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

yang direncanakan dilaksanakan dalam waktu dekat, ternyata baru terlaksana tahun 1971. Kalau kita cermati kembali perjalanan partai politik di Indonesia pada masa Orde Baru, sebagai peserta pemilu tahun 1971 ada 10 partai politik yakni: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) Golongan Karya (Golkar); Partai Nasional Indonesia (PNI); Nahdatul Ulama (NU); Partai Katolik; Partai Murba; Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII); Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI); Partai Kristen Indonesia (Parkindo); Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dan; Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah).

Hasil pemilu 1971 yang menunjukkan kemenangan Golkar, kemudian diikuti oleh Parmusi, NU, dan PNI menunjukkan kekuatan formal partai dilihat dari suara yang didapat dalam pemilihan. Hal inipun tidak lepas dari jasa ABRI dalam mensukseskan pemilu pertama dalam masa Orde Baru, yakni memberi peluang cukup leluasa bagi Golkar untuk berusaha sekuat tenaga guna memenangkan pemilu dengan dibantu oleh pemerintah. Dalam gelanggang percaturan politik Orde Baru, nampak hubungan antara ABRI-teknokrat untuk memperkuat birokrasi pemerintahan demikian kuat.Tidak jelas siapa menguasai siapa dalam menggambarkan hubungan ini, hanya kesan umum kekuasaan ABRI lebih kuat dari teknokrat. Dengan adanya partai mayoritas Golkar, sangat mungkin melapangkan jalan untuk penyederhanaan kehidupan partai secara melembaga. Melalui proses fusi yakni partai-partai Islam seperti; NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam. Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) tergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adapun Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan gabungan dari Parkindo, Partai Katolik, PNI, Murba dan IPKI. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975, maka Pemilu 1977 dan 1982 hanya tiga peserta pemilu, yakni PPP, Golkar, dan PDI dimana masing-masing mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

123

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

1. PPP dengan ciri ke-Islaman dan Ideologi Islam. 2. Golkar dengan ciri kekaryaan dan keadilan sosial. 3. PDI dengan ciri demokrasi, kebangsaan (nasionalisme) dan keadilan. Sedang dalam Pemilu 1987 dan 1992, dengan berlakunya UndangUndang Nomor 3 Tahun 1985 (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975), ditetapkan agar semua parpol hanya menggunakan satu-satunya azas, yaitu azas Pancasila. Dengan demikian perlombaan pengaruh antar kontestan hanya berorientasi pada program kerja masing-masing parpol. Di dalam sejarah politik Indonesia, Pemilu 1999 adalah Pemilu yang diikuti oleh paling banyak peserta setelah Pemilu 1955. Ada 48 partai yang mengikuti Pemilu 3 tahun lalu. Itu yang mengikuti Pemilu. Kalau hanya sekedar mendaftarkan diri ke pemerintah (Departemen Kehakiman dan HAM) pada waktu itu ada 141. Untuk mengingat kembali partai-partai tersebut berikut ini bisa dibaca profil masing-masing partai tersebut. Di dalamnya terdapat informasi mengenai nama partai, ketua umum dan sekretaris jenderal, alamat, tujuan dan asasnya, serta sejarah singkatnya. Di dalam Pemilu 2004 terdaftar 24 partai politik yang berhak ikut serta Pemilu 2004. Ke-24 parpol merupakan hasil dari proses seleksi yang cukup panjang. Ke-24 partai ini ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2004 setelah berhasil melalui 3 tahap penyaringan. Penyaringan tahap pertama dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM). Di sini tujuan penyaringan adalah memberikan status atau pengesahan partai politik sebagai sebuah badan hukum sebagaimana ditetapkan oleh UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik. Pada tahap ini ada 50 partai politik yang dinyatakan lulus penyaringan. Penyaringan tahap kedua adalah verifikasi administratif oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Untuk diketahui, UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menegaskan bahwa partai politik yang dibenarkan mengikuti Pemilu adalah partai yang sudah mendapat pengesahan sebagai badan hukum oleh Depkeh dan HAM. Ke-50 partai yang lulus penyaringan tersebut kemudian mendaftarkan diri ke KPU untuk menjadi calon peserta Pemilu. Sesuai dengan amanat UU No. 12 Tahun 2003, khususnya Pasal 7 10, yang kemudian dijabarkan di dalam Keputusan KPU No. 105 Tahun 2003 sebagaimana diperbarui dengan Keputusan KPU No. 615 Tahun 2003, sebuah
124

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

partai politik berhak mengikuti Pemilu apabila memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, mempunyai kepengurusan lengkap di sekurang-kurangnya 2/3 jumlah provinsi di Indonesia. Kedua, mempunyai pengurus lengkap di sekurangkurangnya 2/3 kabupaten/kota di setiap provinsi di mana ia mempunyai kepengurusan. Ketiga, semua kepengurusan tersebut harus mempunyai kantor. Keempat, mempunyai anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk di setiap daerah di mana ia mempunyai pengurus. Pembuktian setiap partai yang mendaftarkan diri tersebut dilakukan melalui proses verifikasi. Ada dua tahap verifikasi di sini, yaitu verifikasi administratif dan verifikasi faktual. Hanya partai yang lulus verifikasi administratif yang bisa mengikuti penyaringan tahap selanjutnya (verifikasi faktual). Penyaringan tahap ketiga adalah verifikasi faktual. Pada tahap ini yang diteliti adalah memastikan apakah benar dokumen-dokumen mengenai kepengurusan dan keanggotaan sebagaimana di dalam verifikasi administratif tersebut mewujud di lapangan. KPU menyusun ketentuan mengenai tata cara dan prosedur verifikasi tersebut di dalam Keputusan KPU No. 105 Tahun 2003 dan yang diperbarui dengan Keputusan KPU No. 615 Tahun 2003. Sebuah catatan perlu ditekankan di sini bahwa 6 dari partai tersebut tidak melalui proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU, baik administratif maupun faktual. Sebab, keenam partai tersebut telah lulus electoral threshold (mempunyai 2% dari jumlah kursi di DPR) di dalam Pemilu 1999. Sedangkan menurut UU No. 12 Tahun 2003 partai yang sudah memenuhi electoral threshold tersebut, langsung ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2004 apabila mendaftarkan diri sebagai calon peserta Pemilu ke KPU. Keenam partai tersebut adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Bulan Bintang. Oleh karena jumlah partai yang mengikuti proses verifikasi ada 44. Setelah keseluruhan proses verifikasi selesai, ada 18 partai yang lulus. Ditambah dengan 6 partai yang lulus threshold, jumlah keseluruhan partai yang berhak menjadi peserta Pemilu 2004 adalah 24, yaitu : 1. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme. 2. Partai Buruh Sosial Demokrat. 3. Partai Bulan Bintang.

125

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.

Partai Merdeka Partai Persatuan Pembangunan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan Partai Perhimpunan Indonesia Baru Partai Nasional Banteng Kemerdekaan Partai Demokrat Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia Partai Penegak Demokrasi Indonesia Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia Partai Amanat Nasional Partai Karya Peduli Bangsa Partai Kebangkitan Bangsa Partai Keadilan Sejahtera Partai Bintang Reformasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Damai Sejahtera Partai Golongan Karya Partai Patriot Pancasila Partai Sarikat Indonesia Partai Persatuan Daerah Partai Pelopor

B. Konflik Partai Politik di Era Reformasi Kecenderungan konflik internal hingga dualisme kepemimpinan partai politik pascakongres atau muktamar kembali terjadi. Kongres PDIP di Bali membelah kepemimpinan PDIP menjadi dua poros kekuatan, antara DPP PDIP Megawati di satu sisi dengan GP PDIP-nya Roy BB Janis di sisi lain. Muktamar PKB di Semarang membuat dualisme kepemimpinan: Gus Dur-Muhaimin Iskandar berhadapan dengan DPP PKB versi Alwi Shibah dan Syaifullah Yusuf yang didukung oleh poros Kiai Langitan-Lirboyo. Sebelumnya soliditas kepemimpinan DPP PPP juga retak oleh konflik internal antara kaukus elite DPP pro-Silatnas (Silaturahmi Nasional) yang anti Hamzah Haz dengan yang anti Silatnas yang pro Hamzah Haz. Fenomena kepengurusan kembar partai politik (parpol) di Indonesia sebagai imbas konflik internal partai sebenarnya merupakan fenomena klasik dalam politik kepartaian di Indonesia.

126

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

Kepengurusan kembar partai, baca: pembelahan organisasi, telah mengakar dalam tradisi politik di Indonesia semenjak era kolonialisme hingga membudaya di alam kemerdekaan, masa Soekarno, Orde Baru (Orba) sampai sekarang ini. Faktornya berbeda-beda. Di jaman kolonial, terjadi akibat rivalitas atau proses radikalisasi ideologi, seperti kasus perpecahan Syarikat Islam (SI) di tahun 1920-an menjadi SI merah-nya Semaoen dan SI putih-nya HOS Tjokroaminoto. Di masa Soekarno, Partai Nasional Indonesia (PNI) diperintahkan Soekarno untuk re-shaping semangat revolusionernya, dengan akibat mantan Wakil PM Hardi tergusur. Sedangkan di masa Orba, pembelahan partai disebabkan oleh intervensi rezim berkuasa yang mencoba menghancurkan partai-partai yang diprasangkakan membahayakan kekuasaan. PNI, yang merupakan partai pendukung kaum Soekarnois di awal Orba di pecah menjadi PNI ASU (Ali Sastroamidjojo-Surachman) dengan PNI Osa-Usep, dengan maksud mencegah konsolidasi barisan pendukung Soekarnois. Pembelahan parpol di awal berkuasanya Orde Baru yang militeristik diorientasikan untuk memandulkan fungsi kontrol partai atas pemerintahan. Di awal 1990-an Orba melakukan pembelahan partai pewaris simbol Soekarnois PDI, sebelah di bawah Soerjadi yang direstui pemerintah, sebelah lagi yang pro-Megawati yang didukung arus bawah. Jaman Reformasi Bisa disimpulkan dalam lintasan sejarah kepartaian di Indonesia, pembelahan (perpecahan) parpol yang menghasilkan dualisme kepemimpinan struktural disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, radikalisasi ideologi. Kedua, intervensi kekuasaan dalam kerangka kepentingan deideologisasi dan de-parpolisasi. Ketiga, strategi resistensi sosial partai. Lantas bagaimana kita menempatkan realitas ini di masa reformasi? Apakah bisa dikatakan konflik partai di era reformasi diakibatkan intervensi pemerintah, atau karena proses radikalisasi ideologi, ataukah oleh sebab lain? Sepanjang era reformasi, PPP sempat terpecah menjadi PPP Reformasi sebelum akhirnya berganti nama menjadi PBR. Kemudian PKB pasca jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan terbelah menjadi PKB Batutulis di bawah komando matori Abdul Djalil dan PKB Kuningan di bawah komando Alwi Shihab dengan dukungan Gus Dur dan para kiai (ulama) kharismatik NU. Perpecahan juga menimpa partai-partai gurem. PDKB, partai kecil yang sempat menempatkan tujuh kadernya di DPR (periode 1999-2004) terpecah
127

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

menjadi dua sebelum resmi mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilu 2004. PRD, partai radikal yang konsisten melawan Orba, pecah berkeping-keping menjadi PDS, PRP, dsb. Akhirnya PDIP pasca kongres Bali, Maret 2005 juga terbelah dua menjadi PDIP dan Gerakan Pembaruan PDIP. Pepecahan ini dalam analisis sosiologis dan psikologis politik disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, bipolaritas kepentingan politik yang berpengaruh terhadap harmoni partai. Bipolaritas antara pragmatisme yang menjangkiti kader/elite partai berhadapan dengan idealisme yang dipegang oleh kader/elite partai yang teguh mempertahankan jiwa ideologi dan garis konstitusional partai. Kedua, terhambatnya proses regenerasi akibat pola kepemimpinan yang patronatif, kharismatik, feodalistik yang menjegal kompetisi demokratis dalam pergantian kepemimpinan partai. Karena tokoh yang kharismatik di dalam partai masih ingin mempertahankan otoritasnya, sementara kekuatan reformis atau dekonstruksi di jajaran kader semakin kuat dan menuntut proses percepatan suksesi. Ini terjadi di partai-partai tradisional yang mengandalkan ikon kepemimpinan partai yang kharismatik dan berbasiskan loyalitas massa kepada figur pemimpin partai. Ketiga, intervensi kekuasaan politik dan modal, yang pada umumnya dilakukan poros kepentingan yang merepresentasikan keinginan pemerintah untuk menumpulkan resistensi oposisional partai terhadap kebijakan pemerintah. Intervensi modal terjadi dan dilakukan oleh kekuatan bisnis yang menjadikan parpol sebagai kendaraan untuk mempermudah penguasaan aset politik yang dekat relasinya dengan sumber daya ekonomi. Intervensi modal dan intervensi kekuasaan politik ini mendorong lahirnya budaya money politics, intrik politik, politik dagang sapi dalam arena kongres atau muktamar partai. Muncul pertanyaan: Mengapa partaipartai mudah sekali terbawa arus perpecahan yang menyulut lahirnya dualisme kepemimpinan? Perpecahan di tubuh partai yang kini marak juga dipengaruhi kondisi internal partai-partai yang pada umumnya masih merupakan partai tradisional, yang hanya aktif dan memiliki orientasi berkompetisi dalam pemilu, yang mengandalkan ikatan perekat antara organisasi dan dukungan massa melalui kharisma ketokohan, serta yang merepresentasikan diri sebagai partai aliran. Watak tradisionalisme kepartaian di Indonesia inilah yang menjadikan partai gagal menjalankan fungsi normatif politik, baik dalam hal edukasi politik massa konstituen, rekruitmen kader kepemimpinan internal dan eksternal,
128

Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

komunikasi politik serta aktifitas transformasi konflik. Kegagalan fungsi normatif partai akhirnya menumbuhkan pola pikir dan perilaku pragmatis di antara kaukus elite/kader pengurus partai. Mereka aktif di partai dengan tujuan berkarir di parlemen dan pemerintahan, serta dalam pemahaman bersama meletakkan partai sebagai kendaraan untuk meraih akses ke sumber daya ekonomi. Sehingga akhirnya terjadi rivalitas politik yang tujuannya untuk bertahan atau merebut kepemimpinan di dalam partai. Para elite partai yang mayoritas bersikap-berfikir pragmatis, menjadikan partai sebagai alat meniti karir, alat cari makan dan jabatan. Karena figur pemimpin partai membawa kepentingan kaukus elite-nya, sedangkan kaukus yang gagal menempatkan tokohnya menjadi ketua umum akan tersingkir dari kepengurusan partai. Berarti karir politik mereka tamat. Untuk mempertahankan eksistensi dan karir politik, akhirnya merekakaukus elite/kaderyang kalah terdorong membentuk struktur tandingan kepengurusan partai dengan harapan bisa melakukan posisi tawar sekaligus jika memenangkan pertikaian yuridis di pengadilan dalam persoalan absah-tidaknya kepengurusan kembar, bisa menyelamatkan masa depan karir politiknya.

129

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

DAMPAK SISTEM MULTIPARTAI DALAM KEHIDUPAN POLITIK INDONESIA


Oleh: Drs. Zafrullah Salim, M.H.1

I.

Agenda Reformasi

Reformasi sebagai bagian dari perjalanan historis bangsa Indonesia untuk mengembalikan cita-cita proklamasi seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak selalu berkaitan dengan penolakan akan kemapanan dan konservatisme, melainkan harus dipandang dan diperlakukan sebagai subsistem dalam proses dinamika mencapai tujuan.2 Pada awal reformasi jilid kedua (1998)3 yang ditandai dengan berakhirnya rezim pemerintahan orde baru, Bagir Manan melihat paling tidak ada empat agenda reformasi dalam rangka revitalisasi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang perlu mendapat perhatian: 1. memulihkan, agar setiap orang dapat menggunakan secara wajar hak-hak demokratis, hak-hak yang terkandung dalam prinsip negara konstitusional dan negara berdasarkan atas hukum; 2. reformasi diarahkan pada usaha pemberdayaan suprastruktur dan infrastruktur politik agar benar-benar menjadi wahana perjuangan mewujudkan dan melaksanakan tatanan demokrasi (antara lain yang telah diselenggarakan adalah pemilihan umum yang bebas (1999) serta kebebasan mendirikan partai); 3. reformasi birokrasi atau administrasi negara (administrative reform), yaitu melepaskan birokrasi dari ikatan politik primordial dari kekuatan politik tertentu yang menimbulkan berbagai kecemburuan politik; dan 4. reformasi ekonomi, seperti peniadaan monopoli dan membangun sistem ekonomi kerakyatan.

1 2

Direktur Publikasi, Kerjasama, dan Pengundangan Peraturan Perundang-undangan. Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta, FH UII Press, 2003), hlm. 132 133. 3 Reformasi tahun 1998 bukan yang pertama, sebab pada waktu angkatan 66 mencetuskan tema tritura (tiga tuntutan rakyat) juga diilhami oleh semangat untuk menuntut reformasi menyeluruh (total) dalam segala segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

130

Dampak Sistem Multipartai Dalam Kehidupan Politik Indonesia

Kebebasan mendirikan partai politik adalah bagian esensial dari hak konstitusional yang telah dirumuskan oleh founding fathers dalam UUD 1945.4 Peraturan perundang-undangan bidang politik tentu menggunakan prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul, yang digariskan dalam konstitusi. Hal itu sejalan pula dengan pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik (civil and political rights) dalam instrumen hukum internasional, yang kemudian dimasukkan dalam amendemen UUD 1945 dengan penyisipan Bab XA Hak Asasi Manusia.5 II. Tujuan Pembaharuan Partai Politik Sejalan dengan dinamika politik terutama sejak reformasi, yang diawali dengan perubahan dan penambahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, upaya pengaturan partai politik terus dilakukan, yang berarti penataan kembali legislasi partai politik dengan membentuk undang-undang partai politik yang baru merupakan keharusan yang tidak mungkin dihindari. Sejak awal tahun ini (4 Januari 2008) berlaku Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menggantikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Alasan penggantian undang-undang lama antara lain adalah belum optimalnya UU No. 31 Tahun 2002 mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran partai politik (parpol) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui UU No. 2 Tahun 2008 diharapkan pula pembaharuan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan parpol, yang menyangkut domokratisasi internal parpol, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan parpol, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan parpol dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara.

Pasal 28 UUD 1945: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. 5 Butir-butir perubahan UUD 1945 demikian banyak, sehingga Ismail Sunny (guru besar em eritus FH UI) dalam suatu ceramahnya pernah mempersoalkan apakah masih tepat disebut sebagai UUD 1945? UUD 1945 lama hanya terdiri dari 71 butir, sedangkan UUD 1945 baru (setelah perubahan) terdiri dari 199 butir, yang berarti perubahan dan penambahan itu sebanyak 174 butir (88 %). (lihat Machmud Aziz, Kedudukan Peraturan Menteri dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (makalah, tidak diterbitkan, 2007).

131

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Di antara substansi UU No. 2 Tahun 2008 yang menarik untuk dianalisis adalah ketentuan mengenai pembentukan parpol yang mengokohkan kembali sistem multipartai yang telah diatur sebelumnya. III. Pembentukan Partai Politik Infrastruktur politik terpenting dalam negara demokrasi adalah partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.6 Meskipun dalam kajian tentang politik belum ada kesepakatan tentang definisi partai politik, namun hukum positif di Indonesia mengartikan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional yang dibentuk oleh sekelompok warga negara secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.7 Perubahan regulasi yang menempatkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional diharapkan dapat mengubah paradigma politik sekelompok kecil masyarakat yang gemar mendirikan partai politik.8 Undangundang berfungsi sebagai a tool of social engineering, dalam hal ini tujuan regulasi partai politik dimaksudkan untuk membatasi kebebasan warga negara mendirikan partai dengan menetapkan persyaratan yang lebih ketat. Persyaratan dimaksud antara lain melalui ketentuan mengenai pembentukan partai politik9

Oka Mahendra, Reformasi Pembangunan Hukum dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta, tanpa penerbit, 2005), hlm. 232. 7 UU No. 2 Tahun 2008, Pasal 1 angka 1. Definisi itu berbeda dengan UU No. 31 Tahun 2002, yaitu dengan mengubah frasa kepentingan anggota menjadi kepentingan politik anggota, organisasi politik menjadi organisasi yang bersifat nasional, dan menghapus frasa melalui pemilihan umum. Perubahan itu sangat signifikan yang mencerminkan arah reformasi di bidang regulasi partai politik. 8 Dalam kajian politik, Miriam Budiardjo mengartikan partai politik sebagai kelompok yang terorganisir dengan tujuan memperoleh jabatan-jabatan pemerintahan. (Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta, Rineka Cipta., 2007). Definisi yang agak lebih luas dikemukakan oleh Milton C. Cummings yang mendefinisikan political parties sebagai organized groups of individuals or other other groups who attempt to exercise power in political system by winning control of the the government or influencing governmental policy. (lihat Cummings dalam Encyclopedia Americana (1980), vol. 22, hlm. 336). Tampaknya pembentuk undang-undang tidak berani menegaskan partai politik sebagai sarana untuk mengantarkan para kadernya memegang kekuasaan pemerintahan, memegang kendali pemerintahan atau mempengaruhi kebijakan pemerintahan, walaupun dalam pikiran para pendiri dan pegiat partai politik pada umumnya demikian. 9 Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2008 mengharuskan kepengurusan partai politik harus mempunyai paling sedikit 60 % dari jumlah provinsi, 50 % dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25 % dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota daerah yang bersangkutan.

132

Dampak Sistem Multipartai Dalam Kehidupan Politik Indonesia

serta organisasi dan kedudukan partai politik.10 Dengan demikian (calon) para deklarator politik harus benar-benar berusaha memperoleh dukungan publik secara nasional sebelum pembentukan partai diumumkan. Di samping itu, pendaftaran partai politik ke Departemen Hukum dan HAM untuk memperoleh status sebagai badan hukum (rechtspersoon) mengharuskan partai politik menempuh proses penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran semua keterangan dalam Anggaran Dasar yang tercantum akta notaris11 dan persyaratan lain yang diperlukan untuk menetapkan status partai sebagai badan hukum.12 Regulasi yang lebih ketat tersebut mungkin berdasarkan pengalaman sebelumnya tentang banyaknya kelompok masyarakat yang mengajukan pendaftaran partai politik. Pada tahun 2003 terdapat 112 partai politik yang mendaftar di Departemen Hukum dan HAM untuk diverifikasi, 84 di antaranya memenuhi syarat diverifikasi. Dan, dari 84 partai politik yang diverifikasi itu, hanya 50 yang memenuhi syarat untuk disahkan sebagai badan hukum.13 Jelaslah bahwa politik hukum nasional pengaturan partai politik memberikan kebebasan warga negara mendirikan partai, dengan kebijakan yang masih longgar dan liberal meskipun agak lebih ketat dibanding dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang telah dicabut. IV. Sistem Multipartai dan Instabilitas Negara Politik hukum yang mempertahankan sistem multipartai14 seperti tersirat dari pengaturan mengenai pembentukan partai politik tentu telah dipertimbangkan secara matang oleh pembentuk undang-undang. Dengan memperhatikan tipe partai politik yang dikenal, yaitu (i) sistem partai partai tunggal; (ii) sistem dwi

10

Pasal 17 mengharuskan kepengurusan partai politik ada pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/ kota.. Selanjutnya Pasal 20 susunan dan komposisi kepengurusan partai politik pada semua tingkat harus pula memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% yang diatur dalam AD/ART partai politik masing-masing. 11 UU No. 2 Tahun 2008 Pasal 2. 12 UU No. 2 Tahun 2008 Pasal 11. 13 Oka Mahendra. Op.cit., hlm. 234. 14 Secara sederhana system multipartai (system banyak partai, system partai banyak, multi-party sistem, multi partism, poly-partism) terwujud manakala mayoritas mutlak dalam lembaga perwakilan rakyat dibentuk atas dasar kerjasama dua kekuatan atau lebih, atau eksekutifnya tidak homogen. Mayoritas mutlak demikian tidak pernah terwujud tanpa melalui kerjasama,koalisi, atau aliansi. (lihat Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, (Bandung, Algensiondo, 2006), hal. 67.

133

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

partai; dan (iii) sistem multipartai, tampaknya pilihan yang ketiga ini paling banyak diterapkan di berbagai negara yang menganut paham demokrasi (Eropa, Asia, Afrika, dan Latin Amerika). Sistem kepartaian jelas tidak hanya menentukan susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD melainkan juga sistem pemerintahan. Konsekuensi sistem multipartai tidak hanya mempengaruhi mekanisme dan efisiensi pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah di DPR atau DPRD, melainkan juga birokrasi pemerintahan yang harus dipegang oleh banyak orang sebagai representasi dari partai politik yang menang dalam pemilihan umum. Wakil-wakil rakyat yang duduk di legislatif dan pemerintahan akan memperjuangkan aspirasi para pendukungnya yang sangat bervariasi. Di antara dampak sistem multipartai yang penting untuk dicatat adalah keharusan pembentukan pemerintahan koalisi (governing coalition), yang dalam praktik di masa lalu banyak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan stratejik karena mempertimbangkan banyak faktor. C. Cumming menulis: The existence of several parties can make it more difficult to form a stable governing coalition than is the face in two-party sistems. Selanjutnya, such coalition are often fragile. At one extreme, governments fall repeteadly, and a country with a multiparty system may have three, or four, or more governments in one year.15 Pada era demokrasi parlementer (1955 1959) apa yang dinyatakan Cumming terbukti benar. Betapa sering terjadi pergantian kabinet, sehingga instabilitas pemerintahan itu menyebabkan peluang untuk melaksanakan pembangunan menjadi terabaikan. Atas dasar pengalaman seperti itu pula, pada masa orde baru, Presiden Soeharto menempuh kebijakan sistem multipartai terbatas, dengan mendorong fusi partai-partai politik (hasil pemilihan umum 1969) sehingga hanya ada tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI) dan pada fraksi DPR/DPRD sederhana menjadi 4 fraksi saja (dengan mengangkat fraksi ABRI). Lebih jauh pandangan dan analisis ahli ilmu politik, mengingatkan pula bahwa sistem multipartai yang dipakai sebagai sarana memodernisasikan

15

Milton C. Cumming, Op.cit., hlm. 339.

134

Dampak Sistem Multipartai Dalam Kehidupan Politik Indonesia

masyarakat di negara sedang berkembang, relatif menumbuhkan instabilitas dari pada di negara yang menganut sistem dua partai. Pada hakekatnya sistem multipartai itu tidak banyak berbeda dengan tiadanya partai dalam masyarakat. Penelitian seperti dkemukakan oleh Samuel P. Huntington yang dikutip Rusadi Kantaprawira, memberikan gambaran tentang instabilitas akibat sistem-sistem politik yang dianut, seperti di bawah ini:16
Distribution of Coups and Coup Attempts in Modernizing Countries Since Independence
Type of Political System Communist One-Party One-Party Dominant Two Party Multiparty No effective Parties Number of Countries 3 18 12 11 22 17 Country with Coups Number Per Cent 0 2 3 5 15 14 0 11 25 45 68 83

Hasil penelitian Huntington di atas mungkin tidak memasukkan kondisi partai politik dalam sample-nya, karena dalam masa demokrasi parlementer dahulu dan bahkan sampai sekarang belum pernah terjadi kudeta (perebutan kekuasaan) seperti banyak terjadi di negara lain yang menganut sistem multipartai. V. Representasi Partai atau Rakyat? Dampak dari sistem multipartai adalah kepentingan apa dan siapa yang diperjuangkan di parlemen dan pemerintahan? UU No. 2 Tahun 2008 memasukkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara. Jelas yang pertama diperjuangkan adalah kepentingan politik anggota. Dari sosiologi politik hal itu berarti urusan masyarakat, bangsa dan negara nomor dua. Pertanyaan yang menggelitik, apakah yang berada di DPR/DPRD itu wakil partai politik atau wakil rakyat? Organ negara tersebut jelas bernama Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah, bukan dewan perwakilan partai, yang

16

Rusadi Kantaprawira, Op.cit., hlm. 182.

135

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

berarti mereka seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat secara keseluruhan. MacIver, dengan mengutip pandangan Nicholas (penulis abad ke-15) mengatakan partai politik sebagai kendaraan politik paling utama dalam demokrasi moderen bermaksud untuk mengorganisasi pendapat masyarakat tentang negara dan memperjuangkannya melalui partai politik. Namun setelah mereka berada di parlemen, mereka sesungguhnya adalah wakil dari rakyat (in uno compendio repraesentivo).17 Pengukuhan sistem multipartai dengan UU No. 2 Tahun 2008 yang diharapkan dapat mewujudkan kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab dan perlakuan yang tidak diskriminatif seperti yang diharapkan oleh pembentuk undang-undang, tampaknya masih akan diuji, sejauhmana cita-cita yang demikian luhur itu terwujud? Nada pesimis tentang keampuhan regulasi politik mengatur kehidupan politik dalam tatananan budaya hukum, pernah diungkapkan oleh Daniel S. Lev, pengamat senior politik hukum Indonesia yang menyatakan bahwa politik tidak berjalan sesuai dengan aturan, tetapi berlangsung sesuai dengan aturan pengaruh, uang, keluarga, status sosial, dan kekuasaan militer.

17

R.M. MacIver, The Web of Government, (New York, MacMillan, 1958), hlm. 208 210.

136

ARTIKEL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta demokratis dan berdasarkan hukum; c. bahwa kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab, dan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu diberi landasan hukum; d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab; e. bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu diperbarui sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Partai Politik. Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 20, Pasal 22E ayat (3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
137

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Anggaran Dasar Partai Politik, selanjutnya disingkat AD, adalah peraturan dasar Partai Politik. 3. Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, selanjutnya disingkat ART, adalah peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD. 4. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 5. Keuangan Partai Politik adalah semua hak dan kewajiban Partai Politik yang dapat dinilai dengan uang, berupa uang, atau barang serta segala bentuk kekayaan yang dimiliki dan menjadi tanggung jawab Partai Politik. 6. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. 7. Departemen adalah Departemen yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia.

138

UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

BAB II PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK (1) Pasal 2 Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris. Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat. AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. asas dan ciri Partai Politik; b. visi dan misi Partai Politik; c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. tujuan dan fungsi Partai Politik; e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan Partai Politik; g. peraturan dan keputusan Partai Politik; h. pendidikan politik; dan i. keuangan Partai Politik. Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

(2) (3) (4)

(5)

Pasal 3 (1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan hukum. (2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. kantor tetap; d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus)
139

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan e. memiliki rekening atas nama Partai Politik. (1) Pasal 4 Departemen menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (2). Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap. Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian dan/atau verifikasi. Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. BAB III PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PARTAI POLITIK Pasal 5 (1) Perubahan AD dan ART harus didaftarkan ke Departemen paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut. (2) Pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan akta notaris mengenai perubahan AD dan ART. Pasal 6 Perubahan yang tidak menyangkut hal pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) diberitahukan kepada Menteri tanpa menyertakan akta notaris. Pasal 7 (1) Menteri mengesahkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap. (2) Pengesahan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
140

(2)

(3)

(4)

UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Pasal 8 Dalam hal terjadi perselisihan Partai Politik, pengesahan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) tidak dapat dilakukan oleh Menteri. BAB IV ASAS DAN CIRI Pasal 9 (1) Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita Partai Politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (3) Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB V TUJUAN DAN FUNGSI Pasal 10 (1) Tujuan umum Partai Politik adalah: a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (2) Tujuan khusus Partai Politik adalah: a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan

141

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional. Pasal 11 (1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana: a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. (2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN Pasal 12 Partai Politik berhak: a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara; b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri; c. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; d. ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; e. membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

142

UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

f.

mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan; g. mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; h. mengusulkan pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan; i. mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; j. membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik; dan k. memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 13 Partai Politik berkewajiban: a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan; b. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. berpartisipasi dalam pembangunan nasional; d. menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia; e. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya; f. menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum; g. melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota; h. membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka kepada masyarakat; i. menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan; j. memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum; dan k. menyosialisasikan program Partai Politik kepada masyarakat.

143

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

BAB VII KEANGGOTAAN DAN KEDAULATAN ANGGOTA Pasal 14 (1) Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin. (2) Keanggotaan Partai Politik bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif bagi warga negara Indonesia yang menyetujui AD dan ART. Pasal 15 (1) Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART. (2) Anggota Partai Politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih. (3) Anggota Partai Politik wajib mematuhi dan melaksanakan AD dan ART serta berpartisipasi dalam kegiatan Partai Politik. Pasal 16 (1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik apabila: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri secara tertulis; c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau d. melanggar AD dan ART. (2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik. (3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB VIII ORGANISASI DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 17 (1) Organisasi Partai Politik terdiri atas: a. organisasi tingkat pusat; b. organisasi tingkat provinsi; dan c. organisasi tingkat kabupaten/kota.

144

UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

(2) Organisasi Partai Politik dapat dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain. (3) Organisasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai hubungan kerja yang bersifat hierarkis. Pasal 18 (1) Organisasi Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara. (2) Organisasi Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. (3) Organisasi Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. BAB IX KEPENGURUSAN (1) (2) (3) (4) Pasal 19 Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara. Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. Kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk sampai tingkat kelurahan/ desa atau sebutan lain, kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan.

Pasal 20 Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing. Pasal 21 Kepengurusan Partai Politik dapat membentuk badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya. Pasal 22 Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART. Pasal 23 (1) Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART.
145

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

(2) Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat pusat didaftarkan ke Departemen paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya pergantian kepengurusan. (3) Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya persyaratan. Pasal 24 Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik hasil forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik, pengesahan perubahan kepengurusan belum dapat dilakukan oleh Menteri sampai perselisihan terselesaikan. Pasal 25 Perselisihan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 terjadi apabila pergantian kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan ditolak oleh paling rendah 2/3 (dua pertiga) dari jumlah peserta forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik. Pasal 26 (1) Anggota Partai Politik yang berhenti atau yang diberhentikan dari kepengurusan dan/atau keanggotaan Partai Politiknya tidak dapat membentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama. (2) Dalam hal dibentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaannya tidak diakui oleh Undang-Undang ini. BAB X PENGAMBILAN KEPUTUSAN Pasal 27 Pengambilan keputusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan secara demokratis. Pasal 28 Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sesuai dengan AD dan ART Partai Politik.

146

UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

BAB XI REKRUTMEN POLITIK Pasal 29 (1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi: a. anggota Partai Politik; b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; c. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden; dan d. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. (2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan. (3) Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan ART. BAB XII PERATURAN DAN KEPUTUSAN PARTAI POLITIK Pasal 30 Partai Politik berwenang membentuk dan menetapkan peraturan dan/atau keputusan Partai Politik berdasarkan AD dan ART serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. BAB XIII PENDIDIKAN POLITIK Pasal 31 (1) Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain: a. meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan c. meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
147

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

(2) Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila. BAB XIV PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK Pasal 32 (1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. (2) Dalam hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. (3) Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART. Pasal 33 (1) Perkara Partai Politik berkenaan dengan ketentuan Undang-Undang ini diajukan melalui pengadilan negeri. (2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. (3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. BAB XV KEUANGAN Pasal 34 (1) Keuangan Partai Politik bersumber dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. (3) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang
148

UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. (4) Bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 35 (1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang diterima Partai Politik berasal dari: a. perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART; b. perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan c. perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran. (2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan kemandirian Partai Politik. Pasal 36 (1) Sumber keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 merupakan pendapatan yang dapat digunakan untuk pengeluaran dalam pelaksanaan program, mencakup pendidikan politik, dan operasional sekretariat Partai Politik. (2) Penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik dikelola melalui rekening kas umum Partai Politik. (3) Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan melakukan pencatatan atas semua penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik. Pasal 37 Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan organisasi menyusun laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berkenaan berakhir. Pasal 38 Hasil pemeriksaan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terbuka untuk diketahui masyarakat.
149

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pasal 39 Pengelolaan keuangan Partai Politik diatur lebih lanjut dalam AD dan ART. BAB XVI LARANGAN Pasal 40 (1) Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan: a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional; d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; e. nama atau gambar seseorang; atau f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain. (2) Partai Politik dilarang: a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundangundangan; atau b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (3) Partai Politik dilarang: a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan; b. menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas; c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan; d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya;atau e. menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan Partai Politik.
150

UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

(4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. (5) Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme. BAB XVII PEMBUBARAN DAN PENGGABUNGAN PARTAI POLITIK Pasal 41 Partai Politik bubar apabila: a. membubarkan diri atas keputusan sendiri; b. menggabungkan diri dengan Partai Politik lain; atau c. dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 42 Pembubaran Partai Politik atas keputusan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf a dilakukan berdasarkan AD dan ART. Pasal 43 (1) Penggabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf b dapat dilakukan dengan cara: a. menggabungkan diri membentuk Partai Politik baru dengan nama, lambang, dan tanda gambar baru; atau b. menggabungkan diri dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda gambar salah satu Partai Politik. (2) Partai Politik baru hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. (3) Partai Politik yang menerima penggabungan Partai Politik lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 44 (1) Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diberitahukan kepada Menteri. (2) Menteri mencabut status badan hukum Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 45 Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Departemen.
151

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

BAB XVIII PENGAWASAN Pasal 46 Pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang secara fungsional sesuai dengan undang-undang. BAB XIX SANKSI (1) Pasal 47 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Pemerintah. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf j dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Komisi Pemilihan Umum. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif yang ditetapkan oleh badan/ lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya. Pasal 48 (1) Partai politik yang telah memiliki badan hukum melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan kepengurusan oleh pengadilan negeri. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri paling lama 1 (satu) tahun. (3) Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana
152

(2) (3)

(4)

(5)

UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

(4)

(5)

(6)

(7)

dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri serta aset dan sahamnya disita untuk negara. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dikenai sanksi pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 49 (1) Setiap orang atau perusahaan dan/atau badan usaha yang memberikan sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang disumbangkannya. (2) Pengurus Partai Politik yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/ atau perusahaan/badan usaha yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterima. (3) Sumbangan yang diterima Partai Politik dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi batas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c disita untuk negara. Pasal 50 Pengurus Partai Politik yang menggunakan Partai Politiknya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan

153

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Negara dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e, dan Partai Politiknya dapat dibubarkan. BAB XX KETENTUAN PERALIHAN (1) Pasal 51 Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya. Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) paling lama pada forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik pada kesempatan pertama sesuai dengan AD dan ART setelah Undang-Undang ini diundangkan. Partai Politik yang sudah mendaftarkan diri ke Departemen sebelum Undang-Undang ini diundangkan, diproses sebagai badan hukum menurut Undang-Undang ini. Penyelesaian perkara Partai Politik yang sedang dalam proses pemeriksaan di pengadilan dan belum diputus sebelum Undang-Undang ini diundangkan, penyelesaiannya diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Perkara Partai Politik yang telah didaftarkan ke pengadilan sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum diproses, perkara dimaksud diperiksa dan diputus berdasarkan Undang-Undang ini. BAB XXI KETENTUAN PENUTUP Pasal 52 Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4251), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 53 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

(2)

(3)

(4)

(5)

154

UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 4 Januari 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Januari 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 2

155

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum. Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab Partai Politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu diperbarui. Undang-Undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai Politik, yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional
156

Penjelasan UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

berbangsa dan bernegara. Dalam Undang-Undang ini diamanatkan perlunya pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, pendidikan politik terus ditingkatkan agar terbangun karakter bangsa yang merupakan watak atau kepribadian bangsa Indonesia yang terbentuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara lain kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan secara tegas larangan untuk menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme/ Marxisme-Leninisme sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/Tahun 1966. Ketetapan MPRS ini diberlakukan dengan memegang teguh prinsip berkeadilan dan menghormati hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Seluruh pokok pikiran di atas dituangkan dalam Undang-Undang ini dengan sistematika sebagai berikut: (1) Ketentuan Umum; (2) Pembentukan Partai Politik; (3) Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; (4) Asas dan Ciri; (5) Tujuan dan Fungsi; (6) Hak dan Kewajiban; (7) Keanggotaan dan Kedaulatan Anggota; (8) Organisasi dan Tempat Kedudukan; (9) Kepengurusan; (10) Pengambilan Keputusan; (11) Rekrutmen Politik; (12) Peraturan dan Keputusan Partai Politik; (13) Pendidikan Politik; (14) Penyelesaian Perselisihan Partai Politik; (15) Keuangan; (16) Larangan; (17) Pembubaran dan Penggabungan Partai Politik; (18) Pengawasan; (19) Sanksi; (20) Ketentuan Peralihan; dan (21) Ketentuan Penutup. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas.
157

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain adalah memiliki kemiripan yang menonjol dan menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan maupun kombinasi antara unsur-unsur yang terdapat dalam nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain. Huruf c Kantor tetap ialah kantor yang layak, milik sendiri, sewa, pinjam pakai, serta mempunyai alamat tetap. Huruf d Kota/kabupaten administratif di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta kedudukannya setara dengan kota/kabupaten di provinsi lain. Huruf e Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Penelitian dan/atau verifikasi Partai Politik dilakukan secara administratif dan periodik oleh Departemen bekerja sama dengan instansi terkait. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas.
158

Penjelasan UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Organisasi sayap Partai Politik merupakan organisasi yang dibentuk oleh dan/atau menyatakan diri sebagai sayap Partai Politik sesuai dengan AD dan ART masing-masing Partai Politik.
159

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Huruf k Yang memperoleh bantuan keuangan adalah Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Laporan penggunaan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan disampaikan oleh Partai Politik kepada Departemen Dalam Negeri. Huruf j Rekening khusus dana kampanye pemilihan umum hanya diberlakukan bagi Partai Politik peserta pemilihan umum. Huruf k Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas.
160

Penjelasan UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas
.

Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Yang dimaksud dengan forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik adalah musyawarah nasional, kongres, muktamar, atau sebutan lainnya yang sejenis. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas.

161

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan perselisihan Partai Politik meliputi antara lain: (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5) pertanggung jawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas.
162

Penjelasan UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan pihak asing dalam ketentuan ini adalah warga negara asing, pemerintahan asing, atau organisasi kemasyarakatan asing. Huruf b Yang dimaksud dengan identitas yang jelas dalam ketentuan ini adalah nama dan alamat lengkap perseorangan atau perusahaan dan/atau badan usaha. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Larangan dalam ketentuan ini tidak termasuk sumbangan dari anggota fraksi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Penggabungan Partai Politik dalam ketentuan ini bukan merupakan gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota hasil pemilihan umum tahun 2004 tidak hilang bagi Partai Politik yang bergabung.
163

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Yang dimaksud dengan sesuai dengan undang-undang dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan undang-undang organik yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara untuk melakukan pengawasan. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 4801

164

BIODATA

BIODATA PENULIS

PROF. DR. JEANE NELTJE SALY, S.H.,M.H.


Lahir di Kupang, 1 Nopember 1947. Riwayat Pendidikan: Sekolah Hakim dan Jaksa Negeri Malang (1967), S1 Hukum (1978), S2 di Universitas Tarumanegara-Jakarta, S3 di Universitas Padjadjaran-Bandung. Pendidikan lainnya: Pendidikan Perancang Peraturan Perundang-undangan (1978-1979); Pendidikan Peneliti Hukum (1985-1986); Pendidikan Peneliti Hukum Departemen Hukum (19811984); Mengikuti Program Post Doctoral Legal Drafting di International Institut of Social Study, Den Haag Belanda (1985-1986); Mengikuti Program Comporative Study Contract Law, Malaysia (1990). Riwayat Pekerjaan: Calon Hakim Muda pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang (19671969), dipindahkan ke Pengadilan Negeri Bau-Bau Buton (1969-1972), alih tugas ke Departemen Kehakiman (1972-1979), dan di Badan Pembinaan Hukum Nasional, Legal Drafter/Perancang Peraturan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (1980-1998), Peneliti Hukum di Badan Pembinaan Hukum Nasional (1998), diangkat oleh LIPI sebagai Peneliti di Bidang Penelitian Hukum Badan Pembinaan Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, memberi kuliah hukum Dagang/Bisnis International di Beberapa Universitas Swasta, seperti Universitas 17 Agustus 1945, Universitas Bung Karno dan Universitas Nasional Jakarta. Melakukan kegiatan penelitian, pengkajian Hukum, penulisan karya ilmiah, dan memberikan seminar/loka karya dan penataran, serta aktif sebagai peserta seminar conferensi di negara lain (1979-2006), dalam berbagai bidang ilmu hukum, antara lain: bidang Hukum Dagang International dan Pembangunan Ekonomi Nasional Negara berkembang, dan Perlindungan Wanita, antara lain: Penelitian Asas-Asas Hukum Nasional Penelitian Hukum Asas-Asas Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Penelitian Hukum Ekonomi Lemah, Pemerintah Daerah dan Globalisasi Perdagangan, Perlindungan Usaha Kecil di Wilayah Indonesia dalam Penerapan World Trade Organization (WTO), Pengkajian Hukum Asylum, Refugees, Dumping dan Negara berkembang dalam Pembangunan Ekonomi, dan Globalisasi Perdagangan Persaingan Curang dalam Perdagangan International dan Pengaruhnya terhadap Pembangunan Ekonomi Negara-Negara ASEAN khususnya bagi Indonesia dalam kaitannya dengan penerapan WTO, dan AFTA/Asean Free Trade Area, RUU Perseroan Terbatas, RUU Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), RUU Merek Paten, Hak Cipta, serta ceramah dalam bidang Hukum antara lain: Pembangunan Ekonomi dan Globalisasi Perdagangan Dunia, juga Perlindungan Hukum terhadap Wanita dalam penerapan Convention on The Elimination of All Forms of
165

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Diskrimination Againts Konvensi/Elimination terhadap segala bentuk Diskriminasi Perempuan, Perlindungan Hukum terhadap Penjualan Perempuan dan Anak-Anak/The Elimination of Trafficking in Women and Children dalam kaitan Tindak Perlindungan Pemerintah, serta penulisan buku/artikel tentang Bisnis Internasional serta aktif sebagai peserta seminar di negara-negara lain.

Drs. AGUN GUNANDJAR SUDARSA, Bc.IP.,M.Si


Lahir di Bandung, 13 November 1958, Pekerjaan : Anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI, Agama Islam. Riwayat Pendidikan: SD Negeri di Jakarta, Lulus tahun 1970; SMP Negeri di Jakarta, Lulus tahun 1973; STM Negeri di Jakarta, Lulus tahun 1976; Mahasiswa Teknik sipil STTN, 19771979; AKIP Dept. Kehakiman di Jakarta, Lulus tahun 1982; STIA LAN Jakarta, Lulus Tahun 1991; Mahasiswa Pasca Sarjana Adm. Negara UI. Tahun 1994-1996; Mahasiswa Pasca Sarjana Kriminologi UI, Tahun 2004-2006; Riwayat Pekerjaan: Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Kls. I Tangerang, Tahun19821984; Staf pengajar AKIP, PUSDIKLAT Pegawai Departemen Kehakiman, Tahun 1985-1996; Anggota Komisi I DPR RI. Tahun 1997-1999; Anggota Komisi II DPR RI. Tahun 199-2004; Anggota Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja MPRRI, Tahun 1999-2004; Anggota Badan Legislasi DPR RI, Tahun 2003-2004; Anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Departemen Kehakiman (UU No. 12 Tahun 1985), Tahun 1997-sekarang; Anggota Komisi III DPR RI, Tahun 2004-sekarang: Anggota Forum Konstitusi, Tahun 2005-sekarang. Riwayat Organisasi: Ketua Umum Komisariat HMI Teknik Sipil, Tahun 1978-1979; Ketua Umum Komisariat HMI AKIP, Tahun 1979-1980; Ketua Umum SENAT Mahasiswa AKIP, Tahun 1981-1982; Ketua Umum SENAT Mahasiswa LAN, Tahun 1989-1990; Sekjen Persatuan Mahasiswa Administrasi Indonesia, Tahun 1989-1991; Ketua Cabang FKPPI Jakarta Selatan, Tahun 1982-1984; Wakil Ketua Cabang FKPPI Kota Tangerang; Sekretaris BAPEKADA GOLKAR Jakarta Selatan, Tahun 1982-1987; Sekretaris Daerah IX, FKPPI DKI JAYA, Tahun 1993-1997; Wakil Sekjen FKPPI Pusat Tahun 1993 1997; Ketua PP GM FKPPI, Tahun 1997-2003; Wakil Ketua Dewan Pertimbangan PP GM FKPPI, Tahun 2003-2006; Sekretaris Umum PP IKA STIA LAN, Tahun 1993sekarang; Penasehat PP IKA AKIP, Tahun 1994-sekarang; Sekretaris UMUM PP AMPG, Tahun 1993-sekarang; Ketua PP AMPG, Tahun 2002-2005; POKJA DPP Partai GOLKAR, Tahun 2002- sekarang. Kegiatan Ilmiah/Seminar/Talk Show Live: Pembicara/Narasumber dalam Seminar Sosialisasi UU Parpol danUU Pemilu Legislatif FKKN (Forum Kajian Kebijakan Negara) di Hotel Burnikarsa, Tahun 2003 Jakarta; Pembicara/Narasumber dalam Lokakarya tentang Polri dan Pemilu yang diadakan oleh Reform for Governace, Tahun 2003 di Hotel Le Meridienn Jakarta; Pembicara/Narasumber dalam Seminar Pemilu Berkah atau Bencana diadakan oleh Senat Mahasiswa ITB, di Kampus
166

Biodata Penulis

ITB, Tahun 2003 Bandung; Pembicara/Narasumber dalam berbagi Seminar Sosialisasi UU Bidang Politik dan Seminar Amandemen UUD 1945 yang diadakan oleh Lembaga Informasi Nasional (LIN) diberbagai Provinsi di Indonesia sepanjang tahun 2003 hingga Awal tahun 2004; Pembicara/Narasumber dalam berbagai Talk Show Live tentang UU Bidang Politik, OTDA, Penegakan Hukum dan UUD 1945 yang diadakan oleh berbagai Stasiun tv seperti TVRI, ANTV, Metro TV, SCTV, RCTI, Lativi, TPI dan Trans TV pada tahun 2002, 2003 hingga awal tahun 2004; Pembicara/Narasumber dalam berbagai Talk Show Live tentang UU Bidang Politik, OTDA, Penegakan Hukum dan UUD 1945 yang diadakan oleh berbagai Stasiun radio seperti Elshinta, Cakrawala, REMACO, Delta FM, Trijaya Sakti, dan lain-lain sepanjang tahun 2002, 2003 hingga awal tahun 2004; Seminar Law and Justice: The Case For Parlianentary di Geneva Swiss, Sept. 2006; Sosialisasi Putusan MPR RI ke Turki dan Qatar, Desember 2006; Pembicara/Narasumber Seminar Nasional: Urgensi Perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dalam upaya mendorong kesinambungan proses reformasi peradilan demi terwujudnya system peradilan yang bersih, akuntabel dan berwibawa di Indonesia di Universitas Parahiyangan Bandung (Kerjasama FH. Unpar dengan Komisi Yudisial); Pembicara/ Narasumber Memperkokoh Visi NKRI sebagai Negara Kepulauan di Rakornas Departemen Kelautan dan Perikanan, Hotel Le Grandeur Mangga Dua Jakarta, Januari 2007; Pembicara/Narasumber Kemauan Politik Membangung Negara Kepulauan Diskusi Masyarakat Kelautan dan Perikanan Jawa Timur, Surabaya, Februari 2007; Pembicara/Narasumber 2007 Saatnya Wakil rakyat Pro Rakyat Sarasehan di Hotel Nikko Internasional Jakarta, Februari 2007; Pembicara/ Narasumber Sosialisasi /Pemasyarakatan UUD RI 1945 dan Ketetapan/ Keputusan MPR RI di Departemen Sosial RI, Maret 2007; Pembicara/ Narasumber The Habibie Center Bincang-Bincang Prokontra RUU Kementrian Negara dan RUU Lembaga Kepresidenan, Maret 2007; Pembicara/ Narasumber di LIPI, Diskusi Interaktif Reformasi Kepolisian : Tantangan dan Prospek ke Depan, April 2007. Lain-lain, Kursus/Pelatihan/Studi Banding: Diklat Kesamaptaan di Cirebon Tahun 1982; Diklat Menembak di Cirebon Tahun 1982; Orientasi Ketahanan Nasional di Bogor Tahun 1986; P4 tingkat Nasional di Jakarta Tahun 1987; Diklat Spala DEPKEH di Jakarta Tahun 1994; Studi Banding Konstitusi (UDD) ke Yunani dan Jerman tahun 2000; Ke Taiwan Tahun 2001, Ke RRC Tahun 2002; Kunjungan Persahabatan Antar Parlemen ke Iran Tahun 2002; Studi Banding Pencucian Uang ke Australia Tahun 2003; Kunjungan MPR RI dan Rumania Tahun 2003; Studi Banding Pansus RUU Dewan Pertimbangan Presiden dan RUU Kemetrian Negara ke Amerika, Desember 2006.

167

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

DR. WICIPTO SETIADI, S.H.,M.H.


Lahir di Purbalingga, 11 September 1957. Menyelesaikan S1 Hukum di Universitas Gajahmada Tahun 1982, S2 Hukum di Universitas Padjajaran Tahun 1991, dan S3 Hukum di Universitas Indonesia Tahun 2004. Pendidikan lain, Legislative Drafing di Belanda Tahun 1985, Program Stage pada Van Vollenhoven Institute, Leiden University Tahun 1996, International Law Course, Monash University Tahun 2000. Riwayat pekerjaan, Staf pada Pusat Dokumentasi Hukum, BPHN Tahun 1984, Staf Subdit Perancangan Direktorat Perundang-undangan Tahun 1989. Pj. Kasubdit HTN, Dit.Tata Negara dan Hukum Internasional Tahun 1995, Kasubdit Hukum Internasional Dit. Tata Negara dan Hukum Internasional Tahun 1999, dan Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Tahun 2004 sampai sekarang.

A.A. OKA MAHENDRA, S.H.


Lahir di Bangli, 12 Juni 1946, menyelesaikan S1 Hukum di UGM di Yogyakarta. Riwayat pekerjaan, Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Denpasar Tahun 1971, Anggota DPRRI Tahun 1971, Pegawai pada Ditjen Peradilan Umum dan TUN, Departemen Kehakiman Tahun 1991, Anggota KPU, Pemilu Tahun 1999, Wakil Ketua Panitia Pemilihan Indonesia Pemilu Tahun 1999, Staf Ahli Menkeh dan HAM 1998, Ketua Tim Pendaftaran Ulang Parpol Tahun 2003, Sekjen Mahkamah Konstitusi Januari sampai bulan Juli 2004, sejak Maret 2005 menjabat Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, dan Penulis di beberapa mass media. Lain-lain, menyusun dan menerbitkan buku dan peraturan perundang-undangan antara lain Undang-undang Paten, Undang-undang tentang Kejaksaan, Gugatan dari Senayan, Dinamika Lembaga Perwakilan dan Kepemimpinan Nasional, Tanah dan Pembangunan, Menguak Masalah Pertanahan, Demokrasi dan Hukum, Kepemimpinan Menurut Ajaran Hindu, dan Merajut Benang Kusut dalam Fragmentasi Etika Moral, Hukum, dan Politik.

PARTONO, SIP, MA
Lahir di Klaten, 20 April 1977. Riwayat Pendidikan : S2/ Master of Arts Institute of Social Studies (ISS), The Hague, The Netherlands. (2005 2006)Jurusan Kebijakan dan Manajemen Publik; S1/Sarjana Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (1996 2001)Jurusan Ilmu Administrasi Negara; SMA N 2 Klaten, Jawa Tengah (1992 1995); SMPN 2 Trucuk, Klaten, Jawa Tengah (1989 1992).
168

Biodata Penulis

Pengalaman Kerja: Koordinator Peneliti CETRO (Center for Electoral


Reform), April 2007 sekarang; Dosen Tidak Tetap STIA Mandala Indonesia, Jakarta, Maret 2007 sekarang; Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara STIA Banten, Februari 2003 September 2004; Dosen STIA Mandala Indonesia, Jakarta, Oktober 2001 Januari 2003; Relawan IRE (Institute of Research and Empowerment), Jogyakarta, Juni 2001 Agustus 2001. Pengalaman Organisasi: Nov 2005 Nov 2006 Sekretaris Umum Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Den Haag, Belanda; Jan 1999 Oktober 2001 Sekretaris Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kalikebo, Trucuk, Klaten; Oktober 1999 Oktober 2001 Ketua Departement Kaderisasi Pemuda Muhammadiyah Kec Trucuk, Klaten, Jateng; Januari 1996 Des 1998 Ketua Ikatan Remaja Masjid Kalikebo (IRMAKA), Kalikebo, Trucuk, Klaten; Juli 1997 Juni 1998 Anggota Presidium Permadi (Persatuan Mahasiswa Administrasi Yogjakarta); Juli 1997 Juni1998 Ketua Himpunana Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIPOL, UGM (KMAN). Training, Kursus dan Seminar: 14 Oktober 2006 Seminar dan Workshop Empowering Community to Community Cooperation: Indonesia The Netherlands yang diselenggarakan oleh ICMI Belanda, KBRI Belanda dan PPI Belanda; 18 23 Juni 2006 Leadership and Social Justice Training, di Washington DC, Amerika, yang diselenggarakan oleh International Fellowship Program Ford Foundation (IFP FF); 18 April 31 Juli 2005 Kursus IELTS yang diselenggarakan oleh Universitas Maastricht, Belanda; Oktober 2004 Maret 2005; Kursus TOEFL yang diselenggarakan oleh PPB UI, Jakarta; 21 24 Juni 2004; Traning dan Workshop Metodologi Penelitian Dosen Negeri dan Swasta se-Banten yang diselenggarakan oleh Departement Pendidikan Nasional. Publikasi: Dampak Korupsi dan Upaya Pencegahannya, Fajar Banten Juni 2004; Legitimasi Peran Militer Dalam Politik Indonesia , Fajar Banten Juli 2004; Quo Vadis Suara Pemilih Islam, Fajar Banten, Agustus 2004; Pemilu 2004: Berharap Munculnya Pemimpin Nasional Baru Fajar Banten, September 2004; Mewaspadai Politisasi Birokrasi Dalam Pilpres 2004 , Fajar Banten, September 2004; Urgensi Pemilihan Presiden Dalam Penciptaan Good Governance, Fajar Banten, Agustus 2004; Mencermati Legitimasi Pilkada Jakarta, Media Indonesia, 26 Juni 2007; Menunda Pilkada Jakarta?, Kompas, 8 Agustus 2007; Menyoal Kinerja Tim Seleksi KPU, Suara Pembaruan 29 Agustus 2007; Oligarchy Maintained With New Political Party Bill, The Jakarta Post, 26 Desember 2007; A Commentary on the Performance National Election Commissions (KPUs) Selection Committee, dapat di akses di www.aceproject.org .

169

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

ZAINAL ABIDIN SALEH, S.H.,M.H.


Lahir di Rangkas Bitung Banten, 28 Februari 1948. Pendidikan terakhir Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia. Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jurusan Hukum Tata Negara; Pasca Sarjana Universitas Indonesia Bidang Ilmu hukum. Riwayat Pekerjaan: a. di Instansi Pemerintah: Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Direktorat Sosial Politik DKI Jakarta; Ass. Dep. Kantor Menpora; Widyaiswara Madya, Pemprov. DKI Jakarta. b. di Swasta: Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah; Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya dan Pudek bidang Kemahasiswaan. Pengalaman Organisasi : Ketua Umum SEMA Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Care Taker DEMA Universitas Indonesia; Ketua MPM Universitas Indonesia; Ketua HMI Cabang Jakarta; Koordinator bidang Kemahasiswaan, PB-HMI.

ZAINAL ABIDIN, S.H.


Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Terlibat dalam berbagai koalisi NGO dan juga dalam penyusunan beberapa Naskah Akademis dan RUU Versi Masyarakat. Saat ini bekerja di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sebagai Direktur Riset dan Pengembangan.

CHUDRY SITOMPUL, S.H.,M.H.


Lahir di Jakarta, 12 Desember 1955, Pekerjaan : Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Riwayat Pendidikan: 1986 : Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 2006 : Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Riwayat Pekerjaan: 2005Sekarang : Ketua Lembaga Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum (LPLIH) Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 2004-Sekarang : Ketua Bidang Studi Hukum Acara/Jurusan Praktisi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 2004-Sekarang: Anggota Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 2004-Sekarang: Ketua Sub Komisi Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 2004-Sekarang: Anggota Pengawasan Mutu Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1995-Sekarang : Penasehat Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1992Sekarang : Dosen Utama Mata Kuliah Praktek Hukum Fakultas Hukum
170

Universitas Indonesia; 1988-Sekarang: Pegawai Negeri tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 2000-2004: Anggota Tim Pakar Kejaksaan Agung Republik Indonesia; 2000-2004: Sekretaris Bidang Studi Hukum Acara/Jurusan Praktisi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1988-1992 : Asisten Dosen Mata Kuliah Praktek Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1987 : Calon Pegawai Negeri Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1987-1995 : Staff Penasehat Hukum Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Drs. ZAFRULLAH SALIM, M.H.


Lahir di Sulit Air, Sumatera Barat 1 April 1953. Pendidikan: S1 Syariah (Hukum Islam); S2 Hukum Ekonomi. Pendidikan di bidang Perundang-undangan : Legislative Drafting Indiana University; Wetgevingstechniek Leiden Universiteit. Riwayat Jabatan : Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat (2007-2008); Direktur Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan Perundang-undangan (2008-sekarang).

171

Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

PANDUAN PENULISAN 1. Naskah yang dikirim berbentuk karya tulis ilmiah, seperti hasil penelitian lapangan, survey, hipotesa, kajian teori, studi kepustakaan, review buku, dan gagasan kritis-konseptual yang bersifat obyektif, sistimatis, analisis, dan deskriptif. Naskah yang dikirim hendaknya merupakan karya tulis asli yang belum pernah dimuat atau dipublikasikan di media lain. Naskah diketik rangkap 2 (dua) spasi di atas kertas ukuran A4, panjang naskah antara 8-25 halaman, daftar pustaka dan disertakan gambar atau foto, tabel jika diperlukan. Naskah yang dikirim disertakan disket dan disebutkan program yang dipakai. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas, sederhana dan mudah dimengerti tidak mengandung makna ganda. Pokok pembahasan atau judul penulisan berupa kalimat yang singkat dan jelas, dengan kata-kata atau frasa kunci yang mencerminkan isi tulisan. Sistimatika penulisan sesuai dengan aturan penulisan ilmiah, yang secara garis besar memuat: abstrak (yang panjangnya antara 100 - 200 kata), pendahuluan (latar belakang permasalahan, tujuan ruang lingkup, dan metodologi), hasil dan pembahasan (tinjauan pustaka, data, dan analisis), penutup (kesimpulan dan saran), dan daftar pustaka ditulis berdasarkan abjad (alfabetis). Pengiriman naskah dengan melampirkan softcopy berupa curriculum vitae beserta pas photo ukuran 4 x 6 cm sebanyak 1 (satu) lembar untuk dimuat di jurnal. Isi, materi, dan subtansi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi berhak mengedit teknis penulisan (redaksional) tanpa mengubah arti.

2. 3.

4. 5. 6. 7.

8.

9.

10. Naskah dikirim ditujukan kepada : Redaksi Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI Jl. HR. Rasuna Said Kav. 6-7 Kuningan - Jakarta Selatan Telepon (021) 5264517/Fax (021) 5205310, e-mail : legislasi@yahoo.com.

172

Anda mungkin juga menyukai