Anda di halaman 1dari 17

MENCETAK GENERASI HARAPAN Pondasi Aqidah (iman) di Usia Dini Mendidik anak sedari kecil adalah ibarat mengukir

di atas batu. Sabda Nabi saw tersebut sangat tepat untuk menggambarkan pentingnya mendidik anak sedini mungkin. Anak yang masih kecil, mendidiknya membutuhkan kesabaran karena harus terus mengulang-ulang konsep yang hendak ditanamkan. Namun begitu konsep tersebut sudah masuk, maka ia akan tertancap dengan kuat di sana, sulit hilang seperti ukiran di atas batu. Anak usia dini merupakan individu yang berbeda, unik, dan memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Masa usia dini merupakan masa keemasan (golden age) dimana stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk tugas perkembangan selanjutnya. Pada masa ini pertumbuhan otak berlangsung sangat pesat (eksplosif). Perkembangan pada tahun-tahun pertama sangat penting menentukan kualitas anak di masa depan. Perkembangan intelektual anak usia 4 tahun telah mencapai 50%, pada usia 8 tahun mencapai 80% dan pada saat mencapai sekitar 18 tahun perkembangan telah mencapai 100%. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa informasi awal yang diterima anak akan cenderung permanen dan menentukan perilaku anak pada masa berikutnya. Oleh karenanya anak perlu rangsangan psikososial dan pendidikan. Bagi anak, pendidikan yang tepat pada usia dini akan menjadi pondasi keberhasilannya pada masa yang akan datang. Pendidikan agama tidak pelak lagi menjadi suatu kebutuhan bagi anak usia dini untuk membentuk kepribadian Islam. Secerdas apapun seorang anak, tanpa memiliki pendidikan agama sebagai landasan hidupnya, maka hidupnya di dunia tidak ada nilainya. Rasulullah saw bersabda : Orang yang cerdas (al kayyis) adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya serta biasa beramal untuk bekal kehidupan setelah mati. Sebaliknya, orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, sementara dia berangan-angan kepada Allah (HR. At tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah, dan al-Hakim). Dengan demikian pendidikan agama adalah kerangka yang kita gunakan dalam membentuk anak usia dini. Ilmu-ilmu lain seperti matematika, membaca, kesenian, sains, kedokteran dan sebagainya adalah pelengkap, yang memberi warna dan penampakan luar bagi kerangka tersebut. Yang terpenting bagi orangtua adalah mengubah paradigma berpikir tentang anak. Selama ini orangtua berpandangan bahwa anak adalah asset, tempat orangtua bergantung nanti saat tua telah datang. Paradigma semacam ini menempatkan anak dalam rangka kebutuhan orangtuanya. Anak diarahkan untuk bisa bekerja, mencari uang untuk menghidupi orangtua kelak. Ada pula paradigma yang lahir dari ide kapitalis-liberalis. Bahwa anak adalah individu yang unik dan berbeda. Maka anak diberi hak untuk bebas dalam menentukan pilihan, bebas untuk berkembang menjadi apapun yang ia inginkan. Bahkan sampai dikeluarkan konvensi hak anak yang mencakup juga hak anak untuk memeluk agama berbeda dari orangtuanya. Paradigma yang seharusnya kita bangun adalah setiap anak memiliki hak untuk masuk surga kelak. Orangtua harus memastikan agar anak memperoleh haknya tersebut. Dengan demikian, orangtua mendidik anak untuk menjadikan hidupnya sebagai ladang amal. Bila anak menyimpang, orangtua wajib untuk meluruskan anak, sekalipun untuk meluruskan tersebut orangtua harus melakukan pemaksaan. Paradigma semacam ini akan membuat orangtua berupaya mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Orangtua dengan cermat akan mengidentifikasi hal-hal apa yang bisa mengantarkan anak untuk meraih keridhaan Tuhannya dan apa saja yang bisa

menghalanginya. Ia akan merumuskan target-target yang harus dicapai dalam mendidik anak, bukan semata mengikuti keadaan dan keinginan anak, atau seperti mengikuti air mengalir saja. Ia memilih apa yang bisa membahagiakan anak di akherat sekalipun pahit, bukan apa yang membahagiakan anak di dunia tapi mencelakakan akhiratnya. Untuk menguasai metode pendidikan anak yang paling tepat, kita terlebih dahulu harus mengenali potensi, karakter dan tahapan perkembangan anak dan menetapkan targettarget yang jelas. Mendidik anak usia dini pada dasarnya adalah mempersiapkan mereka untuk mampu menerima beban tanggung jawab untuk melaksanakan aturan syariat Islam pada saat mereka mencapai usia baligh. Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, antara lain :

Mempersiapkan indera, otak, fisik, emosi, dan seluruh potensi hidup anak sehingga pada tahapan selanjutnya (usia pra baligh dan baligh) telah terlatih dan dapat melakukan aktivitas berpikir dan bersikap berdasarkan Islam Melakukan stimulasi (rangsangan-rangsangan) yang tepat sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini (0-6 tahun) Tidak memberi sanksi dan pembebanan yang lebih dari kemampuan pada anak usia dini Belajar dilakukan sambil bermain tidak dengan pemaksaan Tidak memperlakukan mereka seperti orang dewasa yang telah sempurna akalnya hingga bisa mengendalikan diri dalam pemenuhan kebutuhan jasmani dan naluri

Potensi Anak Usia Dini Potensi yang dimiliki anak adalah sama dengan orang dewasa yakni akal, naluri dan kebutuhan fisik. Akal adalah proses berpikir pada manusia. Proses berpikir terjadi ketika indera menangkap fakta, kemudian mengirimnya ke otak yang menghubungkan fakta dengan informasi yang telah ada sebelumnya untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Untuk mengasah kemampuan berpikir anak, orangtua harus memberikan stimulasi pada komponen-komponen dalam aktivitas berpikirnya. Fakta yang dapat dicerap indera anak diperbanyak, misalnya dengan mengajak anak berjalan-jalan dan mengenalkan anak pada alam dan lingkungan di sekitarnya. Merangsang fungsi indera, seperti menyediakan berbagai mainan dengan berbagai warna, bentuk dan tekstur, memperdengarkan berbagai bunyi-bunyian, mengenalkan beraneka rasa dan seterusnya. Orangtua mengoptimalkan pertumbuhan otak anak dengan memberikan makanan bergizi dan menciptakan suasana penuh kasih sayang. Orangtua memberikan informasi-informasi yang sesuai dengan tahap perkembangan anak seperti mengenalkan nama-nama benda, memperkaya kosa katanya, membacakan cerita, mengenalkan anak pada Alloh dan rasul, dan sebagainya. Naluri memiliki tiga penampakan, yakni naluri mempertahankan diri (gharizah baqa), naluri melangsungkan keturunan (gharizah nau) dan naluri mensucikan sesuatu (gharizah tadayyun). Ketiga naluri ini juga perlu mendapatkan stimulasi sedari dini. Anak kita ajarkan untuk mengontrol emosinya, menyampaikan pendapat secara terbuka dengan cara yang maruf dan memupuk rasa percaya dirinya dalam naluri baqa. Untuk naluri nau, anak kita ajarkan perbedaan laki-laki dan perempuan, mengungkapkan kasih sayang kepada keluarga, dan bersilaturahim. Sedang untuk mengasah naluri tadayyunnya, kita ajak anak untuk mengenal Pencipta melalui alam semesta, menanamkan kekaguman atas keagungan-Nya dan mulai mengajak anak melakukan ibadah.

Untuk potensi yang terkait dengan kebutuhan fisik, maka yang perlu kita perhatikan adalah melatih kemampuan fisik anak, baik motorik kasar seperti berlari, melompat, merayap, berenang, dan sebagainya; juga motorik halus seperti menggunting, menggambar, menarik garis, menempel, dan sebagainya. Selain itu, dalam pemenuhan kebutuhan fisiknya anak mulai kita kenalkan dengan konsep halal haram, sehingga nantinya ia memiliki standar dalam memenuhi kebutuhan fisiknya.

Karakteristik Anak Usia Dini USIA 0-2 TAHUN


Anak berinteraksi secara fisik dan belajar dengan lingkungannya melalui panca indera (mencerap fakta dan informasi). Pada awalnya perbuatan yang dilakukan hasil dari refleks murni; lalu menjadikan dirinya sebagai obyek yang berhubungan dengan obyek-obyek lainnya (memperhatikan sesuatu yang menarik perhatiannya dan berusaha memintanya) Anak belum dapat membedakan antara dirinya dengan lingkungan, karena itu ia menerima segala informasi yang datang dari luar dirinya, memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain, dan pasrah terhadap segala perlakuan yang diberikan kepadanya, baik yang sesuai dengan perkembangan dirinya maupun tidak sesuai dengan perkembangan dirinya. Informasi yang masuk akan diterima anak dengan bentuk global (tidak memperhatikan bagian-bagian), langsung (diterima apa adanya dan langsung mengikutinya), pasif (belum memberi tanggapan yang berarti), dan spontanitas (belum ada kontrol perilaku atau bahasa). Cara berkomunikasi anak usia 0-1 tahun adalah melalui tangisan/jeritan; ocehan atau celoteh; isyarat serta ekspresi emosional, sedangkan pada usia 1-2 tahun anak mulai mengeluarkan bunyi (satu kata) yang mengandung arti yang berbeda-beda (sebagai satu kalimat penuh); menyebutkan dua kata dengan maksud yang lebih jelas (mampu mengatur kembali kata-kata dalam bahasanya). Kemampuan berbahasa anak usia ini diperoleh (menirukan), pengulangan dan merangkai kata-kata. melalui proses imitasi

Sedangkan cara bersosialisasi adalah dengan mengenal orang-orang yang biasa berada disekitarnya , mengajak berkomunikasi dan menjadikan mereka sebagai pemenuh kebutuhannya. Anak juga belum mudah beradaptasi dengan orangorang/tempat-tempat yang baru dikenalnya. Dalam bermain, anak bermain sejajar, yaitu bermain sendiri-sendiri tidak ada kontak satu sama lain (bila ada kontak, maka yang terjadi perebutan dan penguasaan mainan).

Pada usia 0-2 tahun ini, anak diajarkan berbagai ketrampilan untuk hidup mandiri, seperti mengenakan pakaian, makan, minum, dsb. Periode ini juga periode perkembangan fisik yang pesat, sehingga anak perlu dirangsang untuk mengembangkan fisik dan motoriknya. Begitu juga dalam perkembangan bicara, anak perlu dirangsang dengan banyak mengajaknya berbicara, mengenalkan berbagai nama benda dan kosa kata baru, serta membacakan buku cerita anak yang sederhana. Yang paling penting, anak disuasanakan dengan suasana islami untuk menumbuhkan minat dan kecenderungannya terhadap agama. Misalnya memperdengarkan ayat-ayat Al Quran, melibatkan anak dalam shalat, mengajarkan lagu anak-anak Islam, mengajarkan anak mengucap lafazh Allah dan Muhammad, membaca doa-doa harian, dan membiasakan anak perempuan memakai kerudung. USIA 2-4 TAHUN

Latihan proses berpikir anak dilakukan dengan cara: 1. Pengalaman (segala sesuatu yang dialami dan dirasakan sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan atau tidak menyenangkan) 2. Pengulangan (mengulang-ulang suatu perbuatan untuk mencapai kepuasan dan kenikmatan atas perbuatan tersebut 3. Peniruan (imitasi): mengikuti secara persis apa yang dilihat (perbuatan/perlaku) dan yang didengarnya (ucapan) orang disekitarnya 4. Perhatian (Memperhatikan segala sesuatu yang baru dan yang kontras terhadap apa yang dilihat dan didengarnya) Eksploratif secara individu (menjelajah segala sesuatu yang menjadi perhatiannya termasuk dalam bentuk eksplorasi penolakan/pembangkangan) Berpikir statis (tidak dapat berpikir dibalik), telah dapat mengatur secara serial Sudah dapat membedakan dan mengklasifikasi bentuk dan warna Sudah dapat berpikir secara simbolik (menyesuaikan diri dengan pola pikir orang lain dengan cara meniru gerakan dan ucapan orang lain) Belum mampu berpikir secara logis dan abstrak masih bersifat egosentris (berpikir terhadap dirinya sendiri) Cara Berkomunikasi pada usia ini adalah menggunakan bahasa untuk mendapatkan apa yang diinginkannya (sudah mengerti hubungan sebab akibat) dan anak sudah bisa memberi umpan balik dalam berkomunikasi Dalam hal bersosialisasi, anak sudah mulai melepaskan dirinya terhadap ketergantungan dengan orang lain. Ia sudah bisa bermain bersama dengan caranya sendiri-sendiri dan mulai bermain bersama dengan melibatkan dirinya Disiplin sikap mulai dilatih tanpa harus memaksanya untuk melakukan dengan benar, begitu juga dengan disiplin waktu, karena anak belum bisa menerapkan disiplin waktu . Selain terus mengajarkan apa yang harus diajarkan di tahap sebelumnya, anak usia ini sudah dapat diberikan stimulasi yang lebih luas. Untuk merangsang proses berpikirnya, anak diberikan kesempatan mengeksplorasi lingkungannya untuk mendapat pengalaman sebanyak-banyaknya dalam hidup. Misalnya dengan mengajak anak berjalan-jalan ke tempat-tempat yang berbeda, mengamati alam lingkungan dan melakukan berbagai aktivitas. Ini adalah kesempatan yang baik untuk mengenalkan keberadaan Pencipta pada anak melalui pengamatan terhadap ciptaan-Nya. Dalam memberikan informasi untuk merangsang proses berpikirnya, orangtua hendaknya tidak bosan untuk mengulang-ulangnya. Hal ini adalah bagian dari tahapan berpikirnya. Maka buang jauh prasangka kita bahwa anak bandel karena terus melakukan apa yang kita larang atau melanggar apa yang kita perintahkan. Karena masa ini adalah masa imitasi atau peniruan, kita perlu memberikan contoh keteladanan yang baik untuk anak. Mengajaknya untuk ikut shalat, mengaji, dan melibatkannya dalam aktivitas dakwah kita adalah hal yang harus kita lakukan untuk membentuk kebiasaan dan karakter anak. Begitu pula memberikan keteladanan dalam berkata yang baik, berbuat baik, serta mengasah perasaan peduli dengan orang lain. Untuk memunculkan jiwa kepemimpinannya, beri kesempatan pada anak untuk membuat keputusan, menghargai pendapat-pendapatnya, dan merangsang keberaniannya untuk tampil di hadapan orang lain.

Pada usia ini, anak dapat mulai diajak untuk menghafal surat-surat pendek. Sambil bermain, ibu dapat memperdengarkan surat-surat pendek berulang-ulang. Anak akan secara otomatis merekam, sehingga mudah baginya untuk hafal lebih cepat. Ditunjang dengan sifat imitasinya, yaitu meniru, maka sekalipun anak belum mampu melafazhkan dengan tepat, namun ia telah memiliki dasar untuk hafalannya. Begitu pula membacakan doa-doa rutin harian akan mempercepat anak untuk hafal dan menjadi kebiasaannya. Hadist-hadist pendek juga sudah dapat mulai diajarkan. Ketika menegur anak, atau mengajarkan sesuatu, bacakan hadistnya. Misalnya saat anak bertengkar, kita dapat menyampaikan:Kata nabi kita, al muslimu akhul muslim, sesama muslim itu bersaudara. Membacakan hadist akan membangun ketaatan anak pada Rasul saw, dan memudahkan anak menerima beliau sebagai teladan. Anak juga akan terbiasa untuk terikat dengan dalil pada saat melakukan sesuatu. USIA 4-6 TAHUN

Masa keingintahuan (mulai berpikir dengan 4W+1H). Anak menjadi banyak bertanya tentang segala apa yang dilihat dan menjadi perhatiannya. Anak menjelajah untuk mengetahui bagaimana terjadinya benda atau sesuatu itu, dan bagaimana ia dapat masuk atau menjadi bagian dari lingkungan tersebut. Anak juga memiliki kreativitas yang tinggi, suka membongkar pasang mainan dan mengubah bentuk yang sudah jadi atau mainan bongkar pasang Proses terbentuknya kemampuan berpikir, meliputi poin-poin sebagai berikut :

1. Pengalaman disimpan sebagai suatu pelajaran dan menjadi pemahaman bila diberi stimulus yang berhubungan dengan pengalaman tersebut 2. Mengeluarkan informasi yang diperoleh dikeluarkan dalam bentuk pemahaman (bukan sekedar pengulangan kata) 3. Pemahaman yang diperoleh belum mampu untuk direalisasikan, sebatas memahami sesuatu dan menanggapi atas pemahamannya 4. Belum mampu menjabarkan, menguraikan dan menjelaskan secara rinci terhadap pemahaman tersebut

Perkembangan sosialisasi : masa ini adalah masa bermain dan berkelompok. Anak, banyak menghabiskan waktu dengan bermain secara bersama-sama dengan teman sebayanya (bermain sosial). Anak sudah dapat membedakan antara benda miliknya dengan miliknya orang lain; sudah dapat berhubungan dengan orang lain dan akan mencari teman sebaya untuk menjadi anggota kelompoknya. Anak sudah mampu membedakan antara dirinya dengan orang lain dan mampu mengerti apa yang dilakukan orang lain untuk dirinya. Namun di sisi lain anak belum mampu memposisikan dirinya pada tempat orang lain (empati). Cara berkomunikasi:

1. Sudah mampu secara aktif mengambil peran dalam komunikasi dengan keluarga dan teman-teman sebayanya 2. Sudah mulai menunjukkan sikap suka protes dan tidak mau kalah dalam berbicara 3. Sudah mulai menggunakan kata-kata untuk mempertahankan pendapatnya

Masa negativisme, anak sering melakukan sesuatu yang bertentangan Berusaha menunjukkan perhatiannya dengan melakukan berbagai aktivitas untuk dapat perhatian orang lain

Mulai dilatih untuk memahami perpindahan obyek dengan bentuk yang berbeda akan menghasilkan berat yang sama. Sudah mulai bisa menerapkan disiplin waktu Anak sudah dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan akhlaq, ibadah (puasa,berwudlu, sholat) dan muamalah (pinjam-meminjam dan jual-beli).

Untuk anak usia 4-6 tahun, lebih banyak lagi stimulasi yang dapat kita berikan. Namun tetap dengan menciptakan suasana yang menyenangkan anak tanpa melakukan pemaksaan. Rangsang rasa ingin tahu anak dengan memberikan banyak fakta untuk digali. Anak akan banyak bertanya pada usia ini, mungkin dengan pertanyaanpertanyaan yang sulit untuk dijawab semisal : aku darimana, Allah ada di mana, mengapa kita tidak dapat melihat Allah, kemana perginya orang yang mati, dan sebagainya. Berikan jawaban yang sederhana tetapi tidak membohongi anak. Bila mungkin sertakan dalil dari Quran dan hadist. Untuk membentuk aqidah anak, kita teruskan mengenalkan ciptaan Allah dan tandatanda kebesaran-Nya di alam semesta. Selain itu berikan gambaran tentang berbagai nikmat Allah untuk menanamkan kecintaan anak pada-Nya. Misalnya bahwa Allah memberikan kita mata untuk melihat. Minta anak untuk berjalan dengan mata tertutup. Bagaimana bila Allah tidak memberikan mata untuk kita? Begitu pula setiap kita mendapat nikmat Allah, maka ceritakan pada anak dan ajak ia untuk mensyukurinya. Jelaskan bahwa Allah menyayangi kita. Dengan memahami kasih saying Allah, anak akan belajar untuk mencintai-Nya. Di kemudian hari, akan mudah bagi kita untuk memotivasi anak beribadah sebagai manifestasi cintanya kepada Allah. Kenalkan juga anak dengan rukun-rukun iman lainnya. Untuk iman kepada yang ghaib seperti malaikat dan hari akhir, berikan dalil dari al Quran. Sedang keimanan terhadap al Quran, kita bisa jelaskan melalui bahasa sederhana, misalnya dengan penganalogan buku panduan penggunaan alat tertentu di rumah kita. Buku panduan penggunaan kompor misalnya. Bila kita langsung menggunakan kompor gas yang belum pernah kita kenal sebelumnya, maka bisa terjadi kesalahan yang berakibat fatal. Hidup adalah hal yang lebih penting dan lebih rumit. Maka Al Quran adalah buku manual manusia agar tidak salah langkah menggunakan hidupnya. Tanamkan kecintaan anak kepada Rasulullah saw dengan menceritakan kisah-kisah perjuangan beliau, sifat-sifat beliau yang utama, dan kecintaan beliau kepada umat. Jelaskan juga bahwa cara kita mencintai beliau adalah dengan menjadikan beliau sebagai idola kita, teladan kita, mentaati semua ajarannya dan menjauhkan diri dari apa yang beliau larang dan tidak suka. Sedangkan iman kepada qadha dan qadar Allah dapat kita jelaskan dari fakta yang ada di sekitar kita serta cerita-cerita, bahwa ketetapan Allah adalah yang terbaik untuk kita, sekalipun kadang tidak sesuai dengan keinginan kita. Ajak anak untuk menghafal surat-surat yang lebih panjang dari juz amma. Tidak sulit insya Allah bila kita terus menerus mengulangnya. Anak memiliki kemampuan hafalan yang kuat. Sedangkan untuk belajar membaca Al Quran, bisa dimulai pada usia ini namun tidak dipaksakan. Usia ideal bagi anak untuk belajar membaca adalah 7 tahun. Bila kita berkeinginan memulainya sebelum itu, buatlah suasana belajar menjadi suasana bermain yang anak merasa nyaman di dalamnya. Tanpa tekanan, paksaan, atau unsur menyalahkan. Untuk memotivasi anak dalam berbuat di usia ini, kita gunakan arah motivasi mendekat, yaitu motivasi yang membuat anak terdorong untuk melakukan hal yang ia anggap menyenangkan. Bukan motivasi menjauh, yakni menakut-nakuti anak untuk menghindar dari suatu perbuatan. Contoh motivasi mendekat adalah kalau ia berbuat kebaikan, maka Allah akan memberikan pahala dan akan menyayanginya. Bila Allah sayang, maka Allah akan membalas dengan surga yang penuh dengan kenikmatan. Ini akan membuat anak merasa bahwa Allah adalah dzat yang penyayang.

Sebaliknya, memberikan motivasi menjauh seperti bila ia berbuat maksiat Allah akan menghukumnya, atau nanti akan memasukkannya ke neraka, dapat menciptakan image di benak anak bahwa Allah itu kejam. Dengan demikian, kenalkan anak terlebih dahulu dengan surga. Bila ia telah tamyiz, mampu membedakan baik buruk dengan konsekuensinya, baru kenalkan anak pada konsep dosa dan neraka. Motivasi mendekat dapat pula diberikan melalui pemberian hadiah dan pujian. Hadiah tidak selalu dalam bentuk materi, namun bisa berupa cium sayang, pelukan, acungan jempol dan sebagainya. Sedang untuk pujian, selama tidak terkait dengan ibadah, pujian sah-sah saja diberikan. Namun bila terkait dengan ibadah, seperti anak melakukan shalat, pujian harus kita ubah, bukan dengan mengatakan anak umi shalih, namun katakan Allah pasti akan memberimu pahala yang besar, atau anak umi pasti akan disayang Allah. Ini untuk menghindarkan anak dari sifat riya, yaitu beramal untuk mendapatkan pujian. Di usia ini anak sudah bersosialisasi dalam kelompok. Untuk mencetak anak dengan karakter pemimpin, yang terpenting adalah menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Rasa percaya diri dapat ditumbuhkan bila kita membentuk konsep diri yang positif pada anak. Konsep diri, yaitu cara pandang anak terhadap dirinya, bila positif, seperti aku anak pintar, anak shaleh, aku bisa, dan sebagainya, akan membuat anak menghargai dirinya sendiri dan menempatkan diri dalam relasi yang setimbang dalam pergaulan kelompok. Suasana rumah yang terbiasa memberikan penghargaan kepada anak, memberikan kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapat dan membuat keputusan, memberikan kepercayaan pada anak untuk mengerjakan tugas-tugas yang mampu dikerjakan anak, serta menganggap anak memiliki posisi yang penting dalam keluarga, akan membentuk sikap kepemimpinan pada anak. Sikap ini tinggal dipupuk terus agar kelak lahir seorang pemimpin besar. Target Pendidikan untuk Anak Usia Dini Kita perlu membuat target dalam mendidik anak agar kita memiliki arah yang jelas seperti apa kita mendidik mereka. Target akan membuat langkah kita lebih fokus. Target sebaiknya kita buat dalam parameter-parameter yang terukur, bukan dalam bentuk global seperti menjadikan anak kita anak yang shaleh. Bagaimana kriteria shaleh untuk anak usia dini? Perlu kita jabarkan lagi. Target yang harus kita capai dalam pendidikan anak usia dini adalah sebagai berikut: 1. Anak telah mengenal Allah dan rasul-Nya serta rukun iman yang lain 2. Anak hafal juz Amma 3. Anak dapat mengerjakan sholat dengan sempurna (gerakan dan bacaannya) 4. Anak hafal hadits dan doa sehari-hari. 5. Anak mengenal konsep pahala dan sorga, yang tampak dalam aktifitas seharihari, misalnya : gemar beribadah, gemar berbagi (memberi kepada orang lain ), gemar menolong orang lain dan senang melindungi yang lemah, mau mengalah (mendahulukan kepentingan orang lain), sabar (menunggu giliran, menyelesaikan pekerjaanya) 6. Anak memiliki kemampuan untuk bekerjasama dalam kelompok 7. Anak memiliki kepercayaan diri dan jiwa kepemimpinan yang kuat 8. Untuk anak perempuan, telah terbiasa menutup aurat saat bepergian keluar rumah Dengan adanya target-target ini, kita sebagai orangtua akan lebih mudah untuk mengevaluasi kemampuan anak di setiap tahapan umurnya.

Inilah beberapa prinsip dalam mendidik anak di usia dini. Ibu, yang merupakan pelaku utama dalam proses pendidikan ini, harus selalu belajar dan mengembangkan kreativitas dalam memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak. Sekalipun sekolahsekolah untuk anak usia dini telah banyak, termasuk yang bernafaskan Islam, tetapi tetap peran orangtua, terutama ibu tidak tergantikan. Dari orangtualah anak mendapatkan pembiasaan, keteladanan, kasih sayang dan pengertian. Maka orangtua juga harus ikut membenahi diri, mendidik diri sehingga mampu mendidik anaknya. Dengan cara inilah maka kita dapat menunaikan amanah yang diberikan Allah dan siap mempertanggungjawabkannya kelak di akhirat.

MEMBENTUK KEPRIBADIAN ISLAMI PADA ANAK Pembentukan kepribadian anak yang benar haruslah dilakukan dengan pembinaan keimanan (akidah), pembinaan dan pembiasaan ibadah, pendidikan perilaku (akhlak), pembentukan jiwa, pembentukan intelektualitas serta pembinaan interaksi sosial kemasyarakatan. Masing-masing mempunyai cara praktis yang harus dilaksanakan. 1. Pembinaan keimanan.

Pembinaan keimanan bisa dilakukan dengan cara: mengajarkan keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat dan menyertai manusia dimanapun ia berada; menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah saw. serta menjadikan Rasulullah, keluarga dan para Sahabatnya sebagai contoh; menyibukkan anak dengan membaca al-Quran dan as-Sunnah sekaligus membahas maknanya; membina keteguhan mereka dalam mempertahankan keyakinan dan siap berkorban untuk hal tersebut. Pada masa pertumbuhan anak, merupakan karunia Allah bahwa hati manusia akan Allah lapangkan untuk dapat menerima keimanan tanpa harus mengungkapkan argumentasi. Hal ini karena setiap anak yang lahir membawa nilai fitrah dan keimanan (QS al-Araf [7]: 172). Lihatlah, bagaimana Rasulullah saw. menjadikan Ali bin Abi Thalib ra., anak yang belum genap sepuluh tahun usianya, menjadi anak yang pertama memeluk Islam, mengenal Allah, mempelajari aturan-Nya serta membela agama Allah dan Rasul-Nya. Rasul saw. pernah berwasiat kepada Muadz ra.: Nafkahilah keluargamu sesuai dengan kemampuan yang kamu miliki. Janganlah kamu mengangkat tongkatmu di hadapan mereka serta tanamkanlah pada mereka rasa takut kepada Allah (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari).

Rasa takut kepada Allah SWT akan menghindarkan anak dari segala perbuatan buruk. Larangan Allah untuk mencela merugikan, melukai atau membunuh orang lain akan dipatuhi oleh anak yang punya rasa takut kepada Allah SWT. Begitupun makanan dan benda yang diharamkan Allah, akan mereka jauhi. 2. Pembinaan ibadah. Pembinaan ibadah merupakan penyempurnaan dari pembinaan akidah, dan menjadi cerminan keyakinan. Dr. Said Ramadhan al-Buthi mengatakan, Agar akidah anak tertanam kuat dalam jiwanya, ia harus disirami dengan air ibadah dengan segala ragam dan bentuknya. Dengan begitu akidahnya akan tumbuh kokoh dan tegar dalam menghadapi terpaan badai dan cobaan kehidupan. Rasulullah saw. memberikan busyra (kabar gembira) dengan sabdanya, Tidaklah seorang anak tumbuh dalam ibadah sampai ajal menjemput dirinya, melainkan Allah akan memberi dia pahala setara dengan 99 pahala shiddiq (orang-orang yang benar dan jujur). Pembinaan ibadah dilakukan dengan mendorong pelaksanaan shalat wajib, ditambah dengan melakukan shalat sunnah, selain mengajak mereka menghadiri shalat berjamaah di masjid. Ibadah shalat akan mencegah anak dari perbuatan keji dan mungkar (QS al-Ankabut []: 45). Mereka juga harus dibiasakan melakukan shaum sunnah karena shaum akan menguatkan daya kontrol anak terhadap segala keinginan. Mereka akan terbiasa sabar dan tabah. Demikian dengan amalan ibadah lainnya yang harus dibiasakan untuk dilaksanakan oleh anak-anak agar mereka mempunyai keterikatan dengan hukum-hukum Allah SWT. 3. Pendidikan akhlak.

Akhlak adalah perangai yang dibentuk. Karena itu anak memerlukan pendidikan akhlak agar aktivitas sosial mereka terhindar dari penyimpangan serta kesalahan. Anak sangat memerlukan pihak yang memperhatikan perilakunya. Mereka tumbuh sesuai dengan pembiasaan yang dilakukan oleh orangtuanya. Perangai buruk seperti menyendiri, emosional, ceroboh, temperamental, serakah dan sebagainya adalah bentukan pendidik. Begitupun perangai yang baik semisal sopan, peduli, dermawan,

bijak, jujur dan sebagainya adalah bentukan pendidik. Oleh karena itu, jika pendidikan akhlak tidak diberi perhatian serius, perangai buruk akan menjadi masalah sebagaimana yang terjadi pada remaja dewasa ini. Dalam pendidikan akhlak, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Adab (baik saat bergaul dan berinteraksi) adalah prioritas dalam pendidikan akhlak. Dari adab yang baik akan lahir kebiasaan baik dan perilaku terpuji yang melahirkan amal salih. Adab yang buruk akan merusak pola pikir yang melahirkan kebiasaan buruk, membentuk perilaku hina dan rendah serta melahirkan amal-amal buruk lainnya. Dalam hal ini, orangtua adalah contoh pertama, karena mereka adalah pendidik pertama. Ajaklah anak untuk mendatangi ulama dan belajar dari mereka adab dan menjalankan nasihat mereka. Beberapa adab yang wajib diajarkan kepada anak adalah adab terhadap orangtua, bagaimana cara memanggil mereka dan memandang orangtua; adab terhadap orang yang berilmu, terhadap orang yang lebih tua; adab berinteraksi dengan sesama Muslim; adab dengan tetangga, meminta izin dalam berbagai hal (izin memasuki rumah orang, izin penggunaan hak milik orang, dan sebagainya); adab dalam berpenampilan; dan sebagainya. Termasuk perilaku mendasar yang harus dibentuk pada anak adalah sikap amanah. Setiap anak harus memiliki sikap amanah. Rasulullah saw. telah menegaskan tanggung jawab seorang anak atas amanah yang dia pikul. Rasulullah saw. tidak segan-segan untuk memberi sanksi kepada anak yang mengkhianati amanah dengan menjewer telinga anak tersebut. Imam an-Nawawi menyebutkan dalam kitab Al-Adzkar: Kami meriwayatkan dalam kitab Ibnu Sinni dari Abdullah bin Bisir ash-Shahabi ra. Yang berkata: Ibuku pernah menyuruh aku menemui Rasulullah saw. dengan membawa setandan anggur. Namun, aku memakan sebagian anggur itu sebelum menyampaikannya kepada Rasulullah saw. Tatkala aku sampai di hadapan Rasulullah saw., beliau menjewer telingaku sambil berkata, Wahai yang mengkhianati janji. Begitupula tentang akhlak menjaga rahasia orang lain, menjaga kedengkian dan iri hati, serta jujur adalah sikap dasar yang harus dibentuk pada anak. 4. Pembentukan jiwa.

Pembentukan jiwa dilakukan dengan cara memberikan perhatian dan kasih sayang dalam bentuk langsung yang terasa secara fisik seperti: ciuman dan belaian; bermain dan bercanda dengan mereka; menyatakan rasa sayang dengan lisan. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya Al-Adab al-Mufrad bahwa Abu Hurairah ra. Berkata, Saya mendengar dengan kedua telingaku dan melihat dengan kedua mataku, Rasulullah saw. memegang dengan kedua tangannya kedua telapak cucunya, Hasan dan Husain. Kedua telapak kaki mereka di atas telapak kaki Rasulullah saw. Kemudian beliau berkata, Naiklah. Lalu keduanya naik hingga kedua kaki mereka berada di atas dada Rasulullah saw. Kemudian beliau berkata, Bukalah mulutmu. Kemudian beliau menciumnya dan berkata, Ya Allah saya mencintainya dan sungguh saya mencintainya. Selain itu, bisa dilakukan dengan cara memberi mereka hadiah, penghargaan dan pujian. Ini dapat memberi pengaruh besar pada rasa saling berkasih sayang antara orangtua dan anak serta akan membentuk jiwa yang lembut pada mereka. Rasulullah saw. pernah membagi manisan kepada anak-anak yang turut shalat ashar bersama beliau. Bahkan beliau memberi tambahan bagian kepada mereka. Cara lain membentuk jiwa anak adalah menyambut mereka dengan penuh kehangatan. Sambutan penuh hangat akan membuka jiwa mereka dan akan memudahkan mereka untuk mengungkapkan permasalahannya. Sering menanyakan dan memperhatikan keadaan mereka adalah cara lain membentuk jiwa anak. Sikap tanggap orangtua punya peran besar dalam mengatasi persoalan mereka. Suatu hari Ummu Aiman melaporkan bahwa Hasan dan Husain hilang. Rasulullah saw. langsung meminta beberapa Sahabat untuk mencari ke berbagai arah. Ketika ditemukan, Hasan dan Husain sedang berpelukan ketakutan karena di depan

mereka ada ular. Rasulullah saw. segera mengusir ular tersebut dan mendatangi kedua cucu beliau, melepaskan rangkulan mereka dan mengusap kepala mereka sambil berkata, Demi ibu dan ayahku, semoga Allah memuliakan kalian. Kemudian beliau menggandeng mereka dan berkata, Sebaik-baik penunggang adalah mereka berdua. Ini beliau lakukan untuk menghilangkan ketakutan mereka agar jiwanya kembali stabil dan tenang. Perlakuan yang baik terhadap anak akan memberikan ketenangan kepada mereka, mendekatkan hubungan orangtua dan anak sehingga setiap masalah yang mereka hadapi dapat segera diselesaikan. Anak yang jiwanya dipenuhi perhatian dan kasih sayang akan memperlakukan orang lain dengan kasih sayang pula. 5. Pembentukan intelektual.

Orangtua harus memotivasi anak agar semangat mencari dan mencintai ilmu. Menuntut ilmu adalah ibadah utama yang mendekatkan hamba kepada Rabb-nya. Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat baik untuk membangun keilmuan dan pemikiran mereka. Orangtua harus membimbing anak memahami hukum-hukum Islam, mencarikan guru yang salih, mendidik anak terampil bahasa Arab dan bahasa asing yang diperlukan, mengarahkan anak sesuai kecenderungan ilmiahnya, menyediakan bahan bacaan di rumah dengan membuat perpustakaan rumah, mengisahkan riwayat orang-orang salih pada generasi lalu serta mendorong anak untuk mencontoh penguasaan keilmuan mereka. Satu contoh adalah Ibnu Sina. Menginjak usia 10 tahun, beliau telah memahami alQuran dan adab dengan baik. Beliau menguasai dasar-dasar agama, berhitung, ilmu mantik dan yang lainnya. Ia mempelajari fikih, ilmu pengetahuan alam, tauhid dan lainnya sehingga Allah membukakan bagi dirinya semua pintu ilmu karena kecintaan dan kesungguhannya. Kemudian ia senang mempelajari ilmu kedokteran sehingga pada masanya beliau dikenal sebagai ulama yang menguasai banyak ilmu dan saat itu usia beliau 16 tahun. Tatkala beliau menemui kebuntuan dalam memahami satu ilmu, beliau berwudhu dan menuju masjid untuk shalat dan berdoa agar Allah membukakan kunci ilmu untuk dirinya. Beliau mengarang lebih dari 100 buku dan artikel tentang berbagai bidang keilmuan. Semangat menguasai ilmu pada anak-anak akan mengefektifkan waktu mereka dari kesia-siaan dan aktivitas lain yang tidak berguna. 6. Pembinaan kemasyarakatan.

Membina anak untuk melakukan interaksi sosial bersama masyarakat menumbuhkan sikap kepedulian dan tanggung jawab terhadap persoalan umat. Interaksi mereka di tengah masyarakat memerlukan pemahaman yang matang. Utamanya ketika mereka memasuki usia balig. Laksana orang dewasa, mereka terikat dengan aturan interaksi sosial, yakni hubungan antara laki-laki dan perempuan serta hukum-hukum kemasyarakatan seperti perekonomian, hubungan ketetanggaan, kekerabatan, pertemanan, dan lain sebagainya. Anak harus memahami jenis pakaian apa yang harus dikenakan untuk keluar rumah, paham batas-batas hubungan antara lawan jenis, paham siapa yang harus dijadikan teman, dan bagaimana ia bersikap terhadap tetangga. Kepada mereka juga harus dijelaskan tentang peran apa saja yang ditetapkan Islam saat berada di tengah masyarakat. Pemahaman ini akan membentuk sikap kepedulian (tidak apatis) dan mendorong mereka untuk mengambil peran positif dalam masyarakat. Ini bisa dilakukan dengan cara mengajak mereka ke majlis pertemuan orang dewasa, menghadiri kajian di masjid, turut dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, mengunjungi tetangga yang sakit, bermalam di rumah sanak saudara yang salih, turut memberikan sedekah kepada fakir miskin, ikut dalam organisasi sosial kemasyarakatan dan sebagainya. Mereka juga bisa dilibatkan dalam urusan kebutuhan keluarga semisal ditugaskan untuk menagih hutang. Mereka akan diajarkan untuk menagih hutang dengan cara yang santun. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, Dulu ada orang yang suka memberikan pinjaman kepada orang lain. Ia berpesan kepada anak laki-lakinya, Jika kamu mendatangi orang yang

sedang kesulitan maka maafkanlah ia. Semoga Allah memberikan ampunan kepada kita. Lalu ia pun meninggal dan Allah memberi dia ampunan. Hikmahnya adalah ketika anak terdidik untuk membantu keluarga, maka ia akan mempunyai kepekaan baru untuk mengetahui apa saja yang diperlukan keluarganya, sebelum orangtua mereka menjelaskan apa yang mereka perlukan. Dari sini jelaslah bahwa membentuk pribadi anak yang salih memerlukan keluarga yang memahami ideologi Islam, lingkungan masyarakat yang menganut dan menjalankan syariah Islam, serta negara yang menerapkan syariah Islam (termasuk di dalamnya sistem pendidikan Islam). Tanpa semua itu, pembentukan anak salih seutuhnya sulit diwujudkan, bahkan mustahil.

SISTEM KAPITALISME LAHIRKAN GENERASI INSTAN, SISTEM ISLAM LAHIRKAN GENERASI PENGUBAH PERADABAN Beberapa waktu yang lalu, ramai pemberitaan di media tentang ASS (15 tahun) seorang siswi SMP di Depok yang diculik, kemudian mengalami pelecehan seksual. ASS diduga menjadi korban penculik sindikat untuk keperluan seks komersial. Ia berhasil melepaskan diri setelah disekap selama seminggu. Nasib malang ASS dimulai ketika ia berkenalan dengan seseorang di facebook yang mengaku sebagai wartawan dan kemudian berjanji bisa mengorbitkannya menjadi model terkenal. Bak cerita sinetron, si gadis pun tergoda bujuk rayu. Tak lain karena ia ingin meraih cita dan harapan secara instan. Inilah yang mendorongnya tak berpikir panjang menerima tawaran orang yang sama sekali tak dikenal. Niat hati ingin menjadi selebriti terkenal, tapi apa daya justru menjadi korban kejahatan. Kapitalisme Lahirkan Generasi Instan ASS adalah salah satu potret kaum muda Indonesia yang hidup dalam sistem kapitalisme yang liberalis (mengajarkan kebebasan) dan sekuleris (memisahkan agama dari kehidupan). Hidup semaunya dan sesukanya, tak mau diatur dengan aturan apapun, dan menjadikan agama hanya sebagai identitas di kartu pengenal entah Kartu pelajar, KTP atau SIM dan yang semisalnya. Impian mereka ingin meniru artis atau selebritis. Bisa foto model, artis sinetron, boyband atau girlband, komedian atau yang lainnya. Alasannya sederhana, gampang dapat uang dan mudah tenarnya. Mereka ingin raih semua impian tersebut dalam waktu singkat, secara instan. Tak mau bersusah payah dan tak mau bersabar melakukan sebuah proses menuju impian. Generasi muda kita terancam bahaya. Orientasi anak-anak kita akan bergeser untuk menjadi selebritas, bukannya menjadi ilmuwan, cendekiawan, ulama dan sebagainya, cita-cita yang lebih berkontribusi terhadap kemajuan umat. Belum lagi bahaya terhadap akhlak dan agama anak. Budaya selebritas yang dekat dengan pergaulan bebas, eksploitasi fisik, dan kebebasan berkspresi, dikhawatirkan akan berimbas negatif terhadap perkembangan kepribadian anak. Akhirnya, anak hanya mengejar ketenaran dan materi dan kemudian lalai dari tujuan hakiki kehidupannya, mencari ridha Allah, tergantikan tujuan duniawi, menjadi kaya dan terkenal. Ini adalah gambaran generasi muda yang sangat jauh dari harapan umat, dan tentu sangat jauh dari gambaran khoiru ummah (umat terbaik) yang disebut Allah di dalam firmanNya: Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan bagi manusia, yang memerintahkan kepada yang maruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah, Dan sekiranya ahlul kitab beriman maka itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada menjadi orang-orang yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik ((TQS Ali Imran 110

Tak hanya itu, kapitalisme juga lahirkan generasi instan yang juga sangat berbahaya. Keinginan untuk meraih tujuan dengan terburu-buru,dan mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat menjadi celah bagi berbagai kejahatan. Impian menjadi selebriti, ingin diraih dengan instan, akhirnya malah jadi korban penipuan bahkan ada yang tewas mengenaskan. Menurut catatan Komnas PA sepanjang Januari hingga Oktober 2012, setidaknya terjadi 21 kasus penculikan yang berawal dari perkenalan korban dengan pelaku melalui situs jejaring sosial. Satu orang di antaranya tewas saat ditemukan oleh pihak keluarga (kompas.com, 11/10/2012) Kapitalisme juga mengajarkan agar kaum muda berkeinginan untuk meraih kesenangan hidup sesaat, ingin berpakaian dan berdandan mengikuti mode, punya black berry keluaran terbaru, berhura-hura dan mengikuti gaya hidup hedonis lainnya. Semuanya menuntut untuk dipenuhi secara instan karena keterbatasan ekonomi, keahlian maupun ketrampilan. Akhirnya harus mengorbankan harga diri, menjual tubuh, mengorbankan sekolah, masa depan dll. Kapitalisme juga melahirkan generasi yang malas berusaha. Lihatlah persaingan tak sehat ketika Ujian Nasional digelar. Kunci Jawaban diperjualbelikan, nyontek sudah menjadi pemandangan umum di berbagai sekolah, bahkan gurupun terlibat dalam proses kecurangan seputar Ujian Nasional. Orang tuapun berucap alhamdulillah ketika mendengar cerita sang buah hati bahwa ia mendapatkan contekan dari gurunya. Semuanya seolah berlomba untuk melahirkan generasi instan, yang ingin meraih nilai tinggi dalam ujian tapi tak ingin bersusah payah belajar. Apa yang akan terjadi dengan masa depan negeri ini jika generasi mudanya adalah generasi seperti ini? Islam Lahirkan Generasi Pengubah Peradaban Gambaran kaum muda Indonesia di atas tentu sangat jauh dari gambaran generasi muda ideal. Berkaca dari sejarah, ada beberapa anak muda muslim di masa terdahulu yang layak menjadi teladan bagi kaum muda Indonesia karena prestasi mereka yang luar biasa bagi kemajuan umat dan bahkan sebagian dari mereka berkontribusi dalam mengubah peradaban dunia. Usamah bin Zaid, telah ikut berperang sejak kecil, dan karena keahliannya, maka ia diangkat menjadi panglima perang pada usia enam belas tahun, di riwayat yang lain disebut di usia delapan belas tahun. Muadz bin Jabal, salah seorang sahabat Rasul yang terpercaya, Rasulullah saw pernah memujinya: Muadz bin Jabal adalah orang yang paling tahu tentang halal dan haram di kalangan umatku. Beliau ketika dinobatkan menjadi hakim agung negara, usianya masih 18 tahun. Pemuda-pemuda semacam Usamah dan Muadz, banyak kita temui juga pada masa setelah generasi shahabat. Imam Syafii, di usianya yang menginjak 14 tahun telah dijadikan sebagai rujukan dalam memberikan fatwa agama. Muhammad Al fatih, memimpin penaklukan Konstantinopel di usianya yang ke-24. Seorang ahli kedokteran sekaligus penemu ilmu kedokteran yang kita kenal sebagai Ibnu Sina,telah hafal Quran dan belajar ilmu kedokteran di usia 10 tahun. Dan di usia ke 17, Allah memberinya jalan yang tak pernah ia duga sebelumnya, ia berhasil menyembuhkan penyakit raja Bukhara padahal banyak tabib dan ahli tak berhasil menyembuhkannya. Mereka masih sangat muda, namun prestasi mereka luar biasa. Pemuda-pemuda semacam mereka lah yang menjadi gambaran generasi muslim ideal, dan layak untuk dicontoh generasi muda sekarang. Mereka memiliki karakteristik sebagai berikut 1. Keimanan yang kuat Keimanan yang kuat menjadi fondasi dasar yang harus ada dalam setiap muslim. Generasi yang memiliki keimanan yang kokoh hanya menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan Allah dan menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah. Generasi yang menjadikan kecintaannya kepada Sang Maha Pencipta dan Rasul-Nya di atas kecintaan-kecintaannya yang lain. Pada diri mereka tertanam keyakinan yang kuat, bahwa hidup adalah ladang amal untuk mencari ridha Allah. Maka mereka

berusaha dan berbuat sebaik-baiknya untuk mengisi hidupnya dengan spirit perjuangan meninggikan kalimat Allah, menegakkan agama-Nya, dan menyebarkan cahaya Islam ke seluruh dunia. 2. Berkepribadian Islam Sosok generasi yang berkepribadian Islam adalah generasi yang memiliki keyakinan kuat terhadap Islam (berakidah islam), lalu akidah Islam tersebut dijadikan sebagai pijakan dan standar satu-satunya dalam mengarahkan cara berpikirnya dan pola bersikapnya. Semua aktivitas dan problem dalam kehidupan, diatur dan diselesaikan berdasarkan aturan Islam (Syariat Islam). Bagi generasi yang berkepribadian Islam, kenyataan yang ada di masyarakat bukanlah parameter mereka untuk berbuat, tetapi Islam-lah yang harus dipegang kuat. Mereka yakin bahwa hanya aturan Islam yang terbaik dan layak diterapkan. Ini akan mendorongnya untuk secara terus menerus menggerakkan perubahan di masyarakat menuju kehidupan yang Islami. Mereka akan berusaha semaksimal mungkin menjadi teladan dan motor perjuangan Islam yang nyata di tengah masyarakat. 3. Berjiwa pemimpin dan peduli umat. Penerapan Syariat Islam tidak hanya dikhususkan untuk umat Islam saja, tetapi merupakan rahmat bagi seluruh manusia dan mensejahterakan kehidupan dunia. Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (TQS. Al Anbiyaa : 107). Karakter Islam yang demikian inilah yang mendorong umatnya untuk menyebarkan dan memperjuangkan Islam untuk tegak di muka bumi, karena Islam tidak sekedar memperbaiki individu, tapi juga masyarakat, negara dan dunia seluruhnya. Hal ini yang menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kepemimpinan dalam diri umat atau generasi Islam. Generasi ini tidak hanya mementingkan kesenangan hidup di dunia dengan mengejar materi, bermain-main dan berhura-hura (gaya hidup materialistik hedonistik). Generasi ini serius dan sungguh-sungguh dalam memperjuangkan tegaknya Islam hingga menyinari seluruh alam. Generasi yang memberikan keteladanan dan memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan umat secara keseluruhan. Generasi terbaik ini juga memiliki kepedulian yang besar terhadap kondisi umat. Ia tidak rela dengan kondisi keterpurukan dan kelemahan umat. Maka ia mengerahkan seluruh potensinya untuk memperjuangkan kebangkitan umat. Ia menjadi motor perjuangan dan agen perubahan di tengah umat. 4. Menguasai tsaqofah Islam dan ilmu pengetahuan Katakanlah (hai Muhammad), apakah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan. (Qs. az-Zumar [39]: 9). Generasi muslim yang mumpuni akan senantiasa menyesuaikan setiap amalnya sesuai dengan ketetapan Allah. Maka ia berusaha untuk menguasai ilmu-ilmu yang ia butuhkan untuk mampu memahami hukum Allah atasnya. Tak putus-putusnya ia mempelajari tsaqofah Islam, sehingga akhirnya ia mampu menguasainya. Hal ini diimbangi dengan semangat menambah ilmu pengetahuan. Ia memahami bahwa seorang muslim tidak hanya hidup untuk akheratnya saja. Ia memiliki motivasi kuat untuk menguasai teknologi yang akan membawa maslahat dan mengantarkan pada kemajuan umat. Ia tidak rela Islam berada di bawah kendali umat lain dalam teknologi, karena keyakinannya bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang diciptakan Allah seperti dalam Al Quran Surat Ali Imran 110. Menjadi Generasi Pengubah Peradaban, Bukan Generasi Instan

Apa yang dicapai Imam Syafii, al Fatih, Ibnu sina dan tokoh-tokoh muslim lainnya di usia muda adalah buah dari kerja keras dan kekuatan ruhiyah yang mereka miliki, bukan dengan jalan pintas atau berbagai cara instan yang menghalalkan segala cara. Mereka terkenal, bukan karena ingin terkenal tapi karena keinginan untuk memberikan persembahan terbaik kepada umat dan agama, dan ingin meraih kemuliaan hidup dunia dan akhirat. Mereka berhasil setelah bertahun-tahun sebelumnya, mereka mencanangkan tekad dan menempa diri untuk melakukannya dan juga peran dari orang-orang terdekat mereka seperti orang tua, guru dll. Salah satu pepatah Arab man jadda wajada yang artinya barang siapa bersungguhsungguh maka akan berhasil sangatlah tepat untuk menggambarkan upaya mereka. Tengoklah bagaimana kisah hidup Imam Syafii. Karya-karyanya yang luar biasa,telah menjadikannya sebagai ulama besar yang akan selalu dikenang hingga akhir jaman. Itu semua tak diraih dengan mudah dan instan. Beliau lampaui masa kecilnya hanya dengan seorang ibu yang sangat miskin. Kemiskinan yang dialaminya tidak membuat Imam Syafii menyerah dalam mencintai Islam dan menimba ilmu. Beliau sampai harus mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta semata-mata demi kecintaannya dalam menulis ilmu Islam. Sampai-sampai tempayantempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafii juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun badui bani Hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafii belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafii begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya. Muhammad Al Fatih. Yang biasa disebut Al Fatih,Sang Penakluk benteng Konstantinopel, telah belajar keras sejak kecil. Ia dididik sejak kecil oleh ulama-ulama besar pada jamannya yang telah membentuk mental penakluk pada dirinya. Maka tidak mengherankan ketika berumur 23 tahun, al-Fatih telah menguasai 7 bahasa dan dia telah memimpin ibu kota Khilafah Islam di Adrianopel (Edirne) sejak berumur 21 tahun (ada yang memberikan keterangan dia telah matang dalam politik sejak 12 tahun). Sebagian besar hidup al-Fatih berada diatas kuda, dan beliau tidak pernah meninggalkan shalat rawatib dan tahajjudnya untuk menjaga kedekatannya dengan Allah dan memohon pertolongan dan idzinnya atas keinginannya yang telah terpancang kuat dari awal yaitu Menaklukkan Konstantinopel. Al Fatih sangat sadar, untuk menaklukkan Konstantiopel dia membutuhkan perencanaan yang baik dan orang-orang yang bisa diandalkan. Maka diapun membentuk dan mengumpulkan pasukan elit yang dinamakan Janissaries, yang dilatih dengan ilmu agama, fisik, taktik dan segala yang dibutuhkan oleh tentara, Dan pendidikan ini dilaksanakan sejak dini, dan khusus dipersiapkan untuk penaklukan Konstantinopel. 40.00 orang yang loyal kepada Allah dan rasul-Nya pun berkumpul dalam penugasan ini. Selain itu dia juga mengamankan selat Bosphorus yang menjadi nadi utama perdagangan dan transportasi bagi konstantinopel dengan membangun benteng dengan 7 menara citadel yang selesai dalam waktu kurang dari 4 bulan. Tetapi Konstantinopel bukanlah kota yang mudah ditaklukkan, kota ini menahan serangan dari berbagai penjuru dunia dan berhasil menetralkan semua ancaman yang datang kepadanya karena memiliki sistem pertahanan yang sangat maju pada zamannya, yaitu tembok yang luar biasa tebal dan tinggi, tingginya sekitar 30 m dan tebal 9 m, tidak ada satupun teknologi yang dapat menghancurkan dan menembus

tembok ini pada masa lalu. Dan untuk inilah al-Fatih menugaskan khusus pembuatan senjata yang dapat mengatasi tembok ini. Setelah mempersiapkan meriam raksasa yang dapat melontarkan peluru seberat 700 kg, al-Fatih lalu mempersiapkan 250.000 total pasukannya yang terbagi menjadi 3, yaitu pasukan laut dengan 400 kapal perang menyerang melalui laut marmara, kapalkapal kecil untuk menembus selat tanduk, dan sisanya melalui jalan darat menyerang dari sebelah barat Konstantinopel Keseluruhan pasukan al-Fatih dapat direpotkan oleh pasukan konstantinopel yang bertahan di bentengnya, belum lagi serangan bantuan dari negeri kristen lewat laut menambah beratnya pertempuran yang harus dihadapi oleh al-Fatih, sampai tanggal 21 April 1453 tidak sedikitpun tanda-tanda kemenangan akan dicapai pasukan al-Fatih, lalu akhirnya mereka mencoba suatu cara yang tidak terbayangkan kecuali orang yang beriman. Dalam waktu semalam 70 kapal pindah dari selat Bosphorus menuju selat Tanduk dengan menggunakan tenaga manusia. Yilmaz Oztuna di dalam bukunya Osmanli Tarihi menceritakan salah seorang ahli sejarah tentang Byzantium mengatakan: Kami tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar sebelumnya, sesuatu yang sangat luar biasa seperti ini. Muhammad Al-Fatih telah mengubah bumi menjadi lautan dan dia menyeberangkan kapal-kapalnya di puncak-puncak gunung sebagai pengganti gelombang-gelombang lautan. Sungguh kehebatannya jauh melebihi apa yang dilakukan oleh Alexander yang Agung. 70 Kapal al-Fatih dipindahkan dari Selat Bosphorus ke Selat Tanduk melalui Pegunungan Galata dalam waktu 1 malam Subhanallah, upaya yang dilakukan Al Fatih dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, ditambah dengan kedekatannya yang luar biasa kepada Allah, telah memastikan pertolongan Nya kepada Al Fatih. Sejarah dipelajari bukan hanya untuk dikenang tapi agar kita bisa belajar dari sejarah. Banyak orang yang belajar sejarah tapi tak banyak orang yang belajar dari sejarah. Dengan mempelajari sejarah, bagaimana tokoh-tokoh besar tak lahir secara instan, seharusnya memacu para pemuda saat ini untuk bisa menjadi pemuda idaman, pengubah jaman dan peradaban dengan mengerahkan segenap kemampuan. Islam Mengajarkan Cara Meraih Tujuan Boleh saja bermimpi, tapi berusahalah dan tentukan langkah riil untuk meraih impian. Nasihat ini sangat tepat untuk orang-orang yang ingin meraih keberhasilan, dan menggapai mimpi-mimpinya. Dan ini pula yang diajarkan oleh Islam. Dalam perspektif syariat Islam, melakukan upaya untuk meraih suatu tujuan atau yang kemudian disebut dengan istilah as-sababiyah merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT. Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad saw yang hendak meninggalkan untanya. Ia kemudian berkata, Aku akan membiarkan untaku, lalu akan bertawakal kepada Allah. Akan tetapi, Nabi Muhammad Saw bersabda kepadanya, i qilha wa tawakkal yang artinya Ikatlah (untamu) dan bertawakallah (kepada Allah). (HR Ibnu Hibban). Di dalam hadist ini ada dua tuntutan yaitu mengikat unta dan bertawakal. Hukum tawakal adalah wajib sebagaimana firman Allah Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah/ sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya (TQS Ali Imran 159). Hukum mengikat unta (melakukan upaya/usaha untuk meraih tujuan) juga wajib karena kata iqilha (ikatlah untamu) adalah shighat amr (bentuk perintah) yang mengandung tuntutan yang pasti (thalab jazm) untuk mengerjakan sesuatu. Ini karena adanya wawu athaf yang mengandung makna muthlaq al-jami (penyatuan mutlak), yaitu menyatunya mathuf dan mathuf alayh dalam satu hukum. Sehingga dipahami dari hadist ini bahwa mengikat unta yaitu berusaha dan bertawakal, ke duanya hukumnya wajib.

Tak hanya mewajibkan adanya upaya untuk meraih tujuan, Islam juga mengajarkan bahwa upaya tersebut harus dilakukan dengan penuh kesungguhan, melewati berbagai tahapan yang pasti akan penuh dengan rintangan dan hambatan, juga membutuhkan kesabaran dan keteguhan. Jika kita mengkaji secara cermat kehidupan Rasulullah Saw, kita akan dapati bahwa beliau selalu melakukan as sababiyah. Beliau tidak pernah menargetkan kemenangan di medan peperangan tanpa adanya persiapan militer, tidak menuntut perubahan masyarakat tanpa melakukan interaksi dengan mayarakat melalui pergulatan pemikiran, tidak menaklukkan kota Mekah tanpa mempersiapkan pasukan atau tanpa aktivitas jihad. Beliau selalu berupaya dengan penuh kesungguhan untuk meraih tujuan. Bahkan untuk tujuan yang bersifat mubah sekalipun, beliau selalu melakukan as sababiyah. Begitu juga yang dilakukan oleh para shahabat, tabiin, tabiat-tabiin dan generasi setelah mereka. Dengan konsep seperti ini, dengan selalu melakukan as sababiyah (melakukan sebab untuk mendatangkan akibat) yaitu melakukan upaya untuk meraih suatu tujuan dengan penuh kesungguhan dan keteguhan dan kemudian diiringi dengan tawakkal yaitu memasrahkan hasil/keberhasilan dari setiap upaya kepada Allah, maka Islam telah berhasil melahirkan generasi cemerlang, generasi ideal, Pengubah Peradaban dan layak menjadi teladan sepanjang jaman. Inginkah kita semua meraihnya? Tentu.tapi tak bisa secara instan. Perlu upaya dan kesungguhan juga keyakinan akan pertolongan Allah SWT. Dan yang terpenting, generasi tersebut tak bisa lahir selama sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalisme kufur yang rusak dan batil seperti saat ini. Hanya dengan menerapkan syariat islam secara kaaffah dalam naungan sistem islam yaitu Daulah Khilafah Islam, insya Allah kita akan bisa mewujudkannya. Karenanya, adalah sebuah keniscayaan bagi kita semua yang ingin mengubah negeri ini menjadi negeri yang jauh lebih baik, untuk mempersiapkan generasi mudanya agar menjadi generasi baru, yang memiliki semangat, kesungguhan dan keteguhan untuk mengubah peradaban dan berjuang untuk tegaknya Islam secara sempurna, yang akhirnya Islam menjadi rahmat untuk seluruh alam. Insya Allah.

Anda mungkin juga menyukai