Anda di halaman 1dari 89

TEKNIK TENAGA LISTRIK

Hendra Marta Yudha

HENDRA MARTA YUDHA


TEKNIK TENAGA LISTRIK

@2006, Dipublikasikan oleh Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya TIDAK SATUPUN DARI BAGIAN BUKU INI DAPAT DIREPRODUKSI DALAM BENTUK APAPUN TANPA SEIZIN PENULIS DITULIS OLEH ALAMAT : Hendra Marta Yudha, Ir, MSEE. : Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Unsri Jl. Raya Prabumulih KM 32 Inderalaya OI 30662; Telp (0711) 580283- 318373 E-mail: hmymsc@plasa.com

DICETAK PADA PERCETAKAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG 2006

UNTUK ISTRI DAN ANAK-ANAKKU RIANDRA VERDION DAN REANATHA CASSANDRA YANG SECARA TERUS MENERUS MENDORONGKU UNTUK MENYELESAIKAN BUKU INI

KATA PENGANTAR
Rele Proteksi merupakan bagian penting dalam sebuah sistem tenaga elektrik, tidak memiliki manfaat pada saat sistem berada dalam kondisi normal, namun sangat dibutuhkan bilamana sistem tengah mengalami gangguan dan kondisi tidak normal. Rele Proteksi dibutuhkan untuk menginisiasi pemutusan dan mengisolasi daerah yang mengalami gangguan dan menjaga agar daerah yang tidak mengalami gangguan tetap dapat menjalankan fungsinya.

PENULIS, HENDRA MARTA YUDHA, IR, MSEE

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR BAB 1 PENDAHULUAN DAN PHILOSOFI UMUM 1. 1 PENDAHULUAN DAN PHILOSOFIE UMUM 1. 2 TIPIKAL RELE PROTEKSI DAN SISTEM RELE 3 1. 3 KEANDALAN 1. 4 SELEKTIVITAS 1. 5 ZONA PROTEKSI 1. 6 STABILITAS 1. 7 KECEPATAN 1. 8 SENSITIVITAS 1. 9 PROTEKSI UTAMA DAN PROTEKSI CADANGAN 1.10 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SISTEM PROTEKSI 1.11 KLASIFIKASI RELE 33 1.12 UNJUK KERJA RELE 1.13 INFORMASI UNTUK APLIKASI RELE 1.14 DEFINISI DAN TERMINOLOGI BAB 2 SATUAN-SATUAN DASAR: HARGA PERUNIT DAN PERSEN 2. 1 PENDAHULUAN 2. 2 DEFINISI PERUNIT DAN PERSEN 2. 3 ALJABAR VEKTOR 2. 4 MANIPULASI BESARAN-BESARAN KOMPLEKS 2. 5 NOTASI IMPEDANSI 2. 6 HUKUM-HUKUM RANGKAIAN DASAR 2. 7 MERUBAH HARGA PERUNIT (PERSEN) UNTUK BERBAGAI HARGA DASAR BAB 3 PERHITUNGAN GANGGUAN 3. 1 PENDAHULUAN 3. 2 ANALISIS KOMPONEN SIMETRIS 3. 3 PERSAMAAN DAN RANGKAIAN EKIVALEN UNTUK BERBAGAI TIPE GANGGUAN 3. 4 PENGARUH SISTEM PENTANAHAN PADA BESARAN URUTAN NOL BAB 4 TRANSFORMATOR ARUS DAN TEGANGAN 4. 1 PENDAHULUAN 4. 2 TRANSFORMATOR TEGANGAN 4. 3 TRANSFORMATOR ARUS

1 2

23

BAB 5 DASAR-DASAR PROTEKSI 5. 1 PENDAHULUAN 5. 2 PRINSIP-PRINSIP DIFERENSIAL 5. 3 MASALAH DASAR SISTEM PROTEKSI 5. 4 RELE-RELE ELEKTROMAGNETIK 5. 5 RELE-RELE STATIK BAB 6 PROTEKSI ARUS LEBIH DAN GANGGUAN TANAH 6. 1 PENDAHULUAN 6. 2 PROSEDUR KOORDINASI 6. 3 PRINSIP-PRINSIP GRADING ARUS WAKTU 6. 4 MARGIN GRADING 6. 5 CONTOH TIPIKAL GRADING ARUS DAN WAKTU BAB 7 PROTEKSI GENERATOR 7. 1 PENDAHULUAN BAB 8 PROTEKSI TRANSFORMATOR DAN PENYULANG TRANSFORMATOR 8. 1 PENDAHULUAN BAB 9 PROTEKSI MOTOR BAB 10 PROTEKSI BUSBAR DAFTAR ACUAN LAMPIRAN

TEKNIK LISTRIK

TENAGA

1. PENDAHULUAN

1. 1 UMUM Sistem tenaga listrik dapat dikelompokkan atas tiga komponen utama (Gambar 1.1) sebagai berikut: Sistem Pembangkit Sisten Transmisi Sistem Distribusi

Gambar 1.1: Diagram sederhana tipikal sistem tenaga elektrik

1. 1. 1 Pusat Pembangkit Sistem pembangkitan terdiri atas unit unit pembangkit yang umumnya tersebar luas pada daerah pelayanan sistem interkoneksi Stasiun pembangkit umumnya terdiri lebih dari satu unit pembangkit Berdasarkan bahan masukan energi primer, pembangkit dapat dibedakan menjadi: 1. pusat listrik tenaga diesel-PLTD

2. 3. 4. 5. 6.

pusat listrik tenaga uap-PLTU pusat listriktenaga air-PLTA pusat listrik tenaga panas bumi-PLTP pusat listrik tenaga angin dan ombak laut pusat listrik tenaga Nuklir

Jenis bahan bakar untuk PLTD adalah solar, PLTU berupa residu, minyak, batubara, gas atau nuklir. Dalam rangka menaikkan efisiensi dijumpai pembangkitan campuran seperti PLTGU Keuntungan PLTGU adalah proses pembangkitan listrik dapat dilaksanakan secara bertahap dimana pada tahap awal PLTGU bekerja dengan sistem open cyle dan waktu pelaksanaannya relatif lebih cepat, cocok memenuhi kebutuhan mendesak Tegangan keluaran Generator berkisar antara 6,6 hingga 24 kV dan tidak ada standar umum yang dibuat mengatur tegangan keluaran generator. 1. 1. 2 Sistem Transmisi Sebelum energi listrik ditransmisikan maka hal pertama yang dilakukan adalah menaikkan tegangan generator Di Indonesia level tegangan Transmisi adalah 70kV, 150 kV dan 500 kV. Di beberapa daerah masih terdapat level tegangan transmisi yang lebih rendah yaitu 30 kV atau dengan tegangan jaringan 20 kV. Di samping saluran udara tegangan tinggi terdapat pula saluran tegangan tinggi bawah tanah Sering pula interkoneksi antara dua sistem pada pulau-pulau yang berbeda dilakukan dengan menggunakan kabel dibawah laut yang sering disebut sebagai submarine cable. Gardu induk merupakan bagian dari suatu sistem transmisi dimana dilakukan penurunan tegangan ke tingkat yang lebih rendah yang cocok dalam sistem distribusi tenaga listrik Gardu induk digunakan pula sebagai tempat transit daya listrik dari satu penyulang ke penyulang lain sehingga dapat juga disebut sebagai gardu atau tempat interkoneksi Terdapat berbagai macam jenis gardu yang bisa dikategorikan menurut: 1. Level tegangannya 2. Fungsinya 3. Sistem konfigurasinya. Terdapat dua jenis Gardu Induk, yaitu: Indoor atu Outdoors 1.1.3 Sistem Distribusi Sistem distribusi tenaga listrik meliputi semua jaringan tegangan menengah 20 kV dan semua jaringan tegangan rendah 380/220 V hingga meter-meter pelanggan Distribusi tenaga listrik dilakukan dengan menarik kawat distribusi baik penghantar udara maupun penghantar dibawah tanah dari mulai gardu induk hingga ke pusat beban

Setiap elemen jaringan distribusi pada lokasi tertentu dibangun gardu distribusi dimana tegangan distribusi diturunkan ke level tegangan yang lebih rendah yaitu 20 kV menjadi 380/220 V Para pelanggan listrik dilayani dengan menarik kabel tegangan rendah atau dapat juga dilayani secara khusus dengan menggunakan jaringan tegangan menengah baik 150kV ataupun dengan jaringan tegangan 20kV Keuntungan perusahaan listrik dalam pelayanan ini antara lain Tidak membutuhkan investasi instalasi JTR rugi-rugi yang rendah pelaksanaan pembanunan yang lebih cepat Terdapat beberapa sistem jaringan distribusi antara lain: Radial Loop Spindle Sejalan perkembangan teknologi, pengelolaan dan pengaturan sistem tenaga listrik mulai dari pembangkitan, transmisi dan distribusi semakin berkembang Sistem pengaturan berkembang mulai dari sistem pengaturan : - konvensional, tiap-tiap subsistem butuh operator - berbasis komputer agar sistem konvensional tersebut dapat dipantau dan diawasi - terintegrasi dimana sub sistem tidak memerlukan operator lagi, yang berarti fungsi operator diambil alih sepenuhnya oleh eperator control centre Salah satu aspek penting dari segi ekonomi adalah perlunya pengelolaan sistem tenaga listrik dengan rugi pembangkitan, trasmisi dan distribusi yang serendah-rendahnya Pengendalian sistem tenaga dengan menggunakan: - static compersator, untuk memperbaiki rugi-rugi tegangan - load frequancy control, untuk menjaga kualitas tenaga - automatic generation control, untuk mengalokasikan beberapa pembangkit secara optimal dan ekonomis

2. KUANTITAS LISTRIK FUDAMENTAL

2. 1 DEFINISI DAN PARAMETER RANGKAIAN A. Satuan Dasar Dalam sistem ketenaga listrikandigunakan satuan dasar sistem SI, dimana untuk ukuran panjang digunakan satuan meter (m), berat dalam kilogram (kg), waktu dalam detik (s), sedangkan besaran dasar sistem kelistrikan untuk arus adalah ampere (A), yang dapat didefinisikan memakai terminologi Gaya (F) persatuan panjang antara dua konduktor yang dialiri arus, yang dapat ditulis dalam hubungan berikut:

F =k

I I' d

dimana: F : Gaya (N/m) d : Jarak antar konduktor (m) I/I : Arus pada masing-masing konduktor (A) K : Konstanta, k = 0/2 Satuan arus, Ampere didefinisikan sebagai besaran arus yang bilamana mengalir dalam dua buah konduktor paralel yang terletak diruang hampa dapat menimbulkan gaya antara kedua konduktor sebesar 2 x 10-7 N/m. Satuan Amper yang sering di pakai. 1 mA = 1 miliamper = 10 3 A 1 A = 1 mikroamper = 10 6 A Arah aliran arus berdasarkan konvensi berlawanan dengan arah aliran elektron, seperti diperlihatkan dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Arah pergerakan elektron dan arus B. Muatan, q

Arus listrik mengalir dalam sebuah konduktor bilamana muatan q ditransfer dari satu titik ke titik lain dalam konduktor. Relasi arus dan muatan dapat dituliskan sebagai berikut:
i (ampere) = dq (coulomb) dt (det ik )

beberapa penulis menggunakan muatan (q) sebagai besaran dasar listrik, alam hal ini, maka Gaya antara dua muatan q dan q yang terpisah sejauh d, dapat dinyatakan dalam hukum Coulomb sebagai berikut: F =k q q' d2

dimana: F : Gaya (N/m) d : Jarak antar konduktor (m) q/q : Muatan pada masing-masing konduktor (C) k : Konstanta, k = 1/40 Satuan Coulomb yang sering di gunakan : 1 C = 1 mikrocoulomb = 10-6 C

1pC = 1 pikocoulomb = 10-12 C Muatan yang dibawa oleh sebuah elektron (-e) atau photon (+e) adalah e =1,602 x 10-19 C
C. Beda Potensial, V

Beda potensial (v) antara dua titik diukur berdasarkan berapa besar kerja (Usaha) yang dibutuhkan untuk memindahkan satu satuan muatan dari satu titik ke titik lain. 1 Volt adalah 1 Joule usaha yang diperlukan untuk memindahkan 1 Coulomb muatan dari satu titik ke titik lain.
1 Volt = 1 Joule 1 Coulomb

D. Daya, p

Daya listrik p merupakan hasil perkalian antara tegangan v, dan arus i, sebagai berikut: p (Watt) = v (Volt) x i (Ampere) Arus positif sesuai dengan definisi mempunyai arah yang sama dengan tanda panah pada sumber tegangan, arus meninggalkan tanda + dari terminal tegangan seperti diberikan dalam Gambar 2.2. Bilamana p positif, artinya sumber memberikan energi ke rangkaian, jika p merupakan fungsi priodik dengan prioda sepajang T, maka daya rata-rata P adalah sebagai berikut:
P= 1 T
T

p dt
0

Gambar 2.2. Daya listrik p hasil perkalian antara v dan i


E. Energi, W

Daya, p adalah perubahan energi persatuan waktu, atau:

p=

dW , dt

sehingga energi dapat dinyatakan sebagai berikut:


t2

W = p dt
t1

F Tahanan, Induktor dan Kapasitor

Bila energi listrik diberikan pada suatu sirkit elektrik, maka sirkit tersebut akan bereaksi dengan salah satu atau beberapa cara dari tiga cara berikut. Jika energi dikonsumsi, maka elemen sirkit tersebut adalah tahanan murni. Jika energi disimpan dalam medan magnetik, elemen rangkaian tersebut adalah induktor murni. Dan jika energi tersebut disimpan dalam medan listrik, maka elemen rangkaian tersebut adalah kapasitor murni.. Dalam peralatan listrik sesungguhnya, elemen rangkaian yang ada mungkin terdiri lebih dari satu elemen, mungkin saja ketiga elemen tersebut ada pada sebuah sirkit yang sama, namun salah satu mungkin saja lebih dominan. Sebuah koil mungkin dedesain untuk memiliki impedansi tinggi, namun kawat yang dipergunakan tentu saja memiliki tahanan, sehingga koil tersebut memiliki sifat kedua elemen tersebut.
F. 1 Resistor, R

Beda potensial v antara terminal sebuah tahanan murni akan berbanding langsung dengan arus yang melalui tahanan tersebut. Ratio tegangan dan arus tersebut disebut tahanan R, dan dinyatakan dalam hubungan berikut:

v=Ri
dan

i=

v R

Besaran v dan i, mungkin saja bukan merupakan fungsi waktu, seperti pada arus searah. Huruf kecil (v, i, p) menunjukkan fungsi waktu, sedangkan penggunaan huruf besar (V, I,

P) menunjukkan harga konstan, peak, atau harga maksimum bila diberi subskrip (Vm, Im, Pm)
F. 2 Induktor, L

Bila arus dalam rangkaian berubah, fluks magnetik pada sirkit yang sama juga akan berubah. Perubahan fluks ini mengakibatkan terinduksinya tegangan emf v pada sirkit tersebut. Besarnya v tergantung pada perubahan arus yang terjadi bilamana permeabilitas diasumsikan konstan, dan dapat ditulis dalam hubungan berikut:

v=L

di dt

dan
i= 1 v dt L

Bilamana v dalam Volt, dan di/dt dalam ampere/detik, maka satuan bagi L adalah voltdetik/ampere atau henry.
F. 1 Kapasitor, C

Perbedaan potensial v pada terminal kapasitor berbanding langsung dengan muatan q yang besarnya konstan disebut dengan Kapasitoir C. Hubungan antara besaran tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

q=C v i= dv dq =C dt dt

v=

1 i dt C

Bila muatan q dalam Coulomb dan v dalam volt, C dalam Coulomb/volt atau Farad. (1 F = 1 mikrofarad = 10-6 F, dan 1 pikofarad = 1 pF = 10-12 F)

2. 2 HUKUM KIRCHHOFF

1. Jumlah arus yang menuju suatu titik cabang sama dengan jumlah arus yang meninggalkan cabang tersebut. Jika arus menuju titik cabang dinyatakan positif, maka yang meninggalkan titik cabang bertanda negatif. Dengan demikian jumlah arus pada titik cabang tersebut adalah NOL.

2. Jumlah potensial rises dari sebuah sirkit tertutup sama dengan jumlah potensial drop pada sitkit tersebut. Dengan katalain, jumlah aljabar dari potensial yang mengelilingi sirkit tersebut sama dengan NOL

3. HARGA EFEKTIF DAN RATA-RATA

3. 1 BENTUK GELOMBANG

Representasi piktorial atau graph dari v, i, dan p, dan seterusnya adalah bentuk gelombang dari tegangan, arus, dan daya. Analisis rangkaian hanya dilakukan untuk fungsi-fungsi priodik, seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 3-1. jika fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi priodik, paling sedikit dibutuhkan satu prioda untuk menggambarkan bentuk gelombangnya.

Gambar 3.1 Beberapa fungsi priodik Fungsi tegangan dan arus, v dan i adalah ekspresi matematis yang dapat diberikan dalam beberapa bentuk, contohnya fungsi sinus atau cosinus.

Gambar 3.2: Contoh fungsi sinus dan cosinus 3. 2 HARGA RATA-RATA

Fungsi umum y(t) dengan prioda T, memiliki harga rata-rata YAV sebagai berikut:
YAV = 1 y (t ) dt T 0
T

3. 3 HARGA EFEKTIF ATAU ROOT MEAN SQUARE

Arus i dalam sebuah elemen tahanan murni akan menghasilkan daya p dengan daya ratarata P. Harga yang sama diperoleh dari arus konstan I. Arus i memiliki harga efektif atau harga rms Irms yang sama dengan I. Hal yang sama berlaku untuk v, dengan harga efektif Vrms atau V. Fungsi umum y(t) dengan prioda T, mempunyai harga efekti Yrms sebesar:
1 = y (t ) 2 dt T 0
T

Yrms

Harga efektif dari funsgsi a sin t dan a cos t adalah

a 2

4. TEGANGAN DAN ARUS SINUSOIDAL

4. 1 PENDAHULUAN

Bilamana hokum-hukum Khirchhoff diterapkan pada suatu rangkaian hasilnya selalu berupa sebuah persamaan Integrodifferensial. Metode persamaan akan menghasilkan penyelesaian yang dibutuhkan. Apabila metoda ini digunakan untuk menentukan arus yang ditimbulkan oleh suatu sumber tegangan, arus akan terbagi dalam dua bagian yang sebagian adalah transient dan sebagian lagi tunak yang akan tetap sampai terjadi perubahan lain. Mengingat mahasiswa yang masih mengikuti kuliah ini pada umumnya belum dapat mengadopsi teknik penyelesaian persamaan differensial maka focus pembahasan akan disederhanakan.
4. 2 ARUS dan TEGANGAN SINUSOIDAL

Bila arus yang melalui suatu sirkit yang memiliki elemen tunggal murni, masing-masing elemen adalah R, L, dan C adalah sinusoidal, maka tegangan jatuh pada masing-masing elemen seri adalah sebagai berikut:
4.2. 1 Resistor, R

Bila elemen adalah R, maka tegangan jatuh pada elemen ini adalah sebagai berikut:

i = I M sin t

v=Ri

dan vR = R I M sin t

4.2.2. Induktor, L

Bila elemen adalah L, maka tegangan jatuh pada elemen ini adalah sebagai berikut:

i = I M sin t
v=L di dt

dan vL = L I M cos t

F. 1 Kapasitor, C

Bila elemen adalah C, maka tegangan jatuh pada elemen ini adalah sebagai berikut:

i = I M sin t
q=C v

mengingat
i= dq dv =C dt dt

maka
v=

I 1 i dt Jadi vC = M ( cos t ) C C

4. 4 IMPEDANSI Z

Impedansi sebuah elemen, cabang, atau sebuah rangkaian adalah ratio antara tegangan dan arus Impedansi =
Fungsi Tegangan Fungsi Arus

Dengan tegangan dan arus sinusoidal ratio ini akan menghasilkan sebuah magnitude dan sudut. Sudut antara v dan i dikenal dengan sudut phasa, .

4. 5 SUDUT PHASA

Jika tegangan dan arus keduanya fungsi sinusoidal dipetakan pada skala waktu yang sama, maka akan terlihat pergeseran (perbedaan) antara keduanya, kecuali untuk sirkuit tahanan murni. Perbedaan ini disebut sudut phasa dan tidak pernah lebih dari 90 0 atau / 2 radian. Berdasarkan kesepakatan sudut phasa ini selalu dijelaskan sebagai bagaimana arus terhadap tegangan, misal arus i terdahulu dari v sebesar 90 0 pada kapasitor murni, arus tertinggal dari v sebesar 45 0 pada rangkaian RL seri, i sephasa dengan v pada tahanan murni. Sketsa dibawah ini akan memperjelas pernyataan diatas.

Tahanan Murni, R Arus dan tegangan sephasa pada sebuah sirkuit tahanan murni. Magnitude impedansi adalah R.

Induktor Murni, L Arus tertinggal dari tegangan sebesar 90 0 atau / 2 radian pada L murni. Magnitude impedansi adalah L .

v = Vm cos wt I = Im sin wt Kapasitor Murni, C Arus terdahulu oleh tegangan sebesar 90 0 atau / 2 radian pada kapasitor murni. Magnitud impedan si adalah 1/ C

v = Vm sin wt, Im cos wt RL Seri L Arus tertinggal dari tegangan sebesar tan 1 pada rangkaian RL Seri. R Magnitude Impedansi adalah
R 2 + (L )
2

RC Seri 1 Arus terdahulu dari tegangan sebesar tan 1 pada rangkaian RC Seri. CR Magnitude Impedansi adalah

1 R + C
2

4. 6 RANGKAIAN SERI DAN PARALEL

Untuk elemen-elemen rangkaian yang terhubung secara seri, tegangan total adalah jumlah tegangan jatuh pada masing-masing elemen adalah: VT = V1 + V2 + V3 + ...... + Vn Bilamana elemen seri tersebut adalah R, L dan C, maka tegangan total adalah vT = vR + vL + vC seperti dalam Gambar berikut.

Bilamana elemen-elemen tersebut terhubung paralel maka total arus pada sirkuit tersebut adalah jumlah arus masing-masing cabang, yaitu: iT = i1 + i2 + ...... + in

5. BILANGAN KOMPLEKS

5. 1 BILANGAN REAL

Sistim bilangan real terdiri dari bilangan rasional dan irrasional. Seluruh bilangan real dapat diletakkan dan dinyatakan dengan titik-titik pada sebuah garis lurus yang disebut real number line. Setiap titik dinyatakan dengan titik-titik tertentu pada garis bilangan real tersebut, seperti diperlihatkan dalam Gambar 5-1. Akar dari bilangan real positif dapat dinyatakan dalam garis tersebut, namun tidak demikian untuk akar-akar bilangan real negatif.

Gambar 5.1. Garis bilangan real


5. 2 BILANGAN IMAGINER

Akar-akar dari bilangan real negative disebut bilangan imajiner murni yaitu : 3 , 16 , dst. Bila kita menyatakan j =
1 , maka 2=j 2, 4 = j2,
2

1 ,

2,

5 = j

5 , dst.

Hal ini berlaku untuk j 2 = 1, j 3 = j 2 . j = ( 1) j = j; j 4 = ( j 2 ) = 1; j 5 = j , dst Seluruh bilangan imajiner murni dapat digambarkan dengan titik-titik pada suatu garis lurus yang disebut imaginary number line atau garis bilangan imajiner seperti ditunjukkan pada Gambar 5-2.

Gambar 5.2. Garis bilangan imajiner


5. 3 BILANGAN KOMPLEKS

Bilangan kompleks adalah sebuah bilangan dalam bentuk x+jy, dimana x dan y masing-masing adalah bilangan real, sedangkan j = 1 . real dan bagian kedua jy disebut bilangan imajiner. Bila x=0, bilangan kompleks adalah imajiner murni, sedangkan bila y=0, maka bilangan tersebut adalah bilangan real. Sebuah bilangan kompleks termasuk semua bilangan real dan imajiner dan dapat digambar kan dalam satu sumbu, yang terdiri dari sumbu real dan imajiner, seperti diperlihatkan pada Gambar 5-3.

Gambar 5.3. Bilangan kompleks Dua buah bilangan kompleks, a + jb dan c + jd dinyatakan sama jika dan hanya jika a=c dan b=d

5. 4 BENTUK LAIN BILANGAN KOMPLEK

Bilamana x = r cos , y = r sin dan bilangan kompleks Z adalah: Z = x + jy = r (cos + j sin )

dimana r =

x 2 + y 2 disebut modulus atau harga absolute dari Z, dan sudut

= tan 1 y / x disebut amplitude atau argumen Z.


Seperti dalam Gambar untuk Z = 5 + j10, maka Z = 11,16 (Cos 63,40+ jSin 63,40)

Formula Euler, e j = cos + j sin , memungkinkan bentuk lain dari bilangan kompleks yang disebut bentuk eksponensial: Z = r cos + j r sin = re j Bentuk polar atau sket skeinmetz dari sebuah bilangann kompleks Z yang pemakaiannya sangat luas dalam analisis rangkaian ditulis sbb:

Z = re j = r
dimana selalu dalam derajat. Keempat bentuk bilangan kompleks dapat dicari dari salah satu bentuk lainnya, yaitu: Rektanguler ; Z = x + jy Polar atau Steinmenz ; Z = r Eksponensial ; Z = re j Trigonometrik ; Z = r (cos + j sin )

5. 5 KONJUGATE BILANGAN KOMPLEKS

Konjugate Z * bilangan kompleks Z = x + jy adalah bilangan kompleks Z * = x jy. Contoh dua pasang konjuget bilangan kompleks adalah: ; 3 + j2 1. 3 j2 ; -5 j4 2. -5 + j4 Untuk bentuk-bentuk bilangan kompleks lain dan konjugatnya adalah : Z = x + jy ; Z * = x jy ; Z* = r Z = r Z = re j ; Z * = re j Z = r (cos + j sin ) ; Z * = r(cos j sin )

5. 6 OPERASI BILANGAN KOMPLEKS 5.6.1. Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Kompleks

Untuk menjumlahkan bilangan kompleks, tambahkan masing-masing bagian secara terpisah. Demikian pula untuk pengurangan, perkurangan masing-masing bagian secara terpisah seperti contoh berikut : Z = 5 j2 dan Z = -3 j8, maka Z 1 + Z 2 = ( 5-3) + j (-2-8) = 2 j10 Z 2 - Z1 = (-3-5) + j(-8+2) = -8-j6

5.6.2. Perkalian Bilangan Kompleks

Perkalian dua bilangan kompleks bila keduanya dalam bentuk bilangan eksponensial mengikuti aturan bilangan eksponen Z 1 Z 2 = r1e j1 r2e j 2 = r1r2e j (1 + 2 )

)(
)

Demikian pula bila dalam bentuk polar Z 1 Z 2 = r1 1 (r2 2 ) = r r21 + 2 Sedangkan untuk bentuk rectangular, memperlakukannya sebagai binomial, yaitu: Z 1 Z 2 = (x1 + jy1 )(x2 + jy2 ) = x 1 x2 + jx1 y2 + jy1 x2 + j 2 y1 y2 = (x1 x2 y1 y2 ) + j (x1 y2 + y1 x2 ) perkalian keduanya didapat dengan

5.6.3. Pembagian Bilangan Kompleks

Pembagian bilangan eksponensial, yaitu:

kompleks

dalam

bemtuk

eksponensial

mengikutio

aturan

Z1 r1e j1 r1 d (1 2 ) = = e Z 2 r2e j 2 r2

Bentuk Polar atau Steinmetz

Z1 r11 r1 = = 1 2 Z 2 r2 2 r2
Pembagian bilangan kompleks dalam bentuk rektanguler hanya dapat dilakukan dengan mengalikan penyebut dan pembilang dengan konjugat pembilang.
Z1 x1 + jy1 x2 jy2 ( x1 x2 + y1 y2 ) + j ( y1 x2 y2 x1 ) = 2 2 = Z 2 x2 + jy2 x2 + y2 x2 jy2

6. IMPEDANSI KOMPLEKS DAN NOTASI PHASOR

6. 1 IMPEDANSI KOMPLEK

Tinjau sebuah rangkaian seri RL yang diberi catu tegangan v = Vmejt, seperti diperlihatkan dalam Gambar. Dengan Formula Eulers, fungsi ini terdiri dari terminologi sinus dan cosinus, yaitu Vm cos t + j sin t. Menurut Hukum Kirchhoff, berlaku:

Ri + L

di = Vmejt dt

Persamaan diferensial orde satu ini memiliki penyelesaian dalam bentuk arus i= Kejt. Substitusi persamaan arus ini kedalam persamaan tegangan diatas R Kejt + jL Kejt = Vmejt Dari persamaan diatas dapat ditentukan bahwa K=
Vm Vm dan i = ejt R + j L R + j L

Ratio fungsi tegangan dan fungsi arus memperlihatkan bahwa impedansi yang ada adalah sebuah impedansi kompleks, dengan bagian real R dan bagian imajiner L, sebagai berikut:
Z = R + j L

Selanjutnya mari kita lihat rangkaian seri RC yang diberi catu tegangan yang sama, maka berlaku:

Ri + v =

1 i dt = Vmejt C

Persamaan diferensial orde satu ini memiliki penyelesaian dalam bentuk arus i = Kejt. Substitusi persamaan arus ini kedalam persamaan tegangan diatas R Kejt +
1 Kejt = Vmejt j C

Dari persamaan diatas dapat ditentukan bahwa K= dan i=


Vm ejt R j (1 / C )

Vm Vm = R + 1 j C R j (1 C )

Ratio fungsi tegangan dan fungsi arus memperlihatkan bahwa impedansi yang ada adalah sebuah impedansi kompleks, dengan bagian real R dan bagian imajiner -1/C, sebagai berikut:
Z = R - j (1/C) 6. 2 NOTASI PHASOR

Tinjau fungsi f(t) = r ejt. Besaran ini adalah besaran komplek yang mengandung variabel t, meskipum besaran absolute r tetap. Bilamana beberapa sketsa kita gambarkan untuk berbagai harga t, seperti diperlihatkan dalam Gambar berikut.

dengan konstan, sekmen garis akan berputar dengan arah putaran berlawanan dengan arah putaran jarum jam. Apabila kita amati, proyeksi sekmen garis yang berputar ini, baik dalam sumbu x, maupun sumbu y, maka terlihat bahwa proyeksi ini menunjukkan formula Eulers ejt

Pada bagian sebelumnya kita telah melihat sebuah rangkaian seri terdiri dari elemen RL dengan catuan tegangan v = Vmejt, maka akan mengalir arus

sebesar i =

Vm ejt, maka notasi phasor dari tegangan dan arus tersebut R + j L

dapat digambarkan seperti pada Gambar berikut ini:

7. DAYA, FAKTOR DAYA

7. 1 DAYA RATA-RATA, P

Tinjau suatu kondisi ideal dimana sebuah rangkaian pasiv, terdiri dari sebuah elemen induktif, yang diberi catu tegangan v = Vm sin t. Arus yang mengalir dalam rangkaian tersebut adalah i = Im sin(t /2). Daya yang mengalir dalam rangkaian tersebut p = v i = Vm Im (sin t) (sin t /2) mengingat bahwa sin (t /2) = - cos t dan 2 sin x cos x = 2 sin x, diperoleh: p = v i = - Vm Im sin 2t Hasil ini dapat dilihat dalam ilustrasi pada Gambar berikut ini.

Dari gambar dapat dilihat bahwa, bilamana besaran tegangan dan arus pada polaritas yang sama, daya p akan positif dan energi mengalir dari sumber menuju induktor, sedangkan bilamana arus dan tegangan memiliki tanda berbeda, daya p akan negatif, energi membalik dari induktor menuju sumber. Pada keadaan seperti ini, harga daya rata-rata P akan sama dengan NOOL Untuk kasus lain, baik pada rangkaian kapasitif maupun rangkaian resistif ditunjukkan dalam Gambar berikut; Rangkaian Kapasitif

Rangkaian Resistif

Selanjutnya mari kita lihat kasus umum pada sebuah rangkaian pasiv umumnya. yang diberi catu tegangan v = Vm sin t. Maka arus yang mengalir dalam rangkaian tersebut adalah i = Im sin(t + ). Daya yang mengalir dalam rangkaian tersebut p = v i = Vm Im (sin t) (sin t + ) mengingat bahwa sin A sin B = [cos (A B) cos (A + B)] dan cos A = cos A maka p = v i = Vm Im [cos cos (2t + )] Harga daya rata-rata P adalah

P = Vm Im cos = V I cos Terminologi cos disebut dengan FAKTOR DAYA, disingkat pf. Sudut adalah sudut antara V dan I, dan besarnya 900. Harga P selalu positif, seperti diperlihatkan Gambar berikut.

7. 2 DAYA SEMU, S

Perkalian VI disebut dengan daya semu, dinyatakan menggunakan simbol S Satuan daya semu adalah VA dan kVA
7. 3 DAYA REAKTIF, Q

Perkalian VI sin disebut dengan daya reaktif, dinyatakan menggunakan simbol Q. Satuan daya aktif adalah VAR dan kVAR
7. 4 SEGITIGA DAYA

Persamaan yang berhubungan dengan daya rata-rata, daya semu dan daya reaktif dapat dikembangkan dalam sebuah bentuk geometris berupa segitiga yang dikenal dengan sebutan SEGITIGA DAYA, dimana:
P = V I cos Q = V I sin S=VI

Bila diberikan sebuah rangkaian induktif, dimana arus tertinggal terhadap

tegangan, maka sketsa segitiga daya untuk beban induktif diberikan dalam Gambar berikut

sedangkan untuk beban kapasitif dapat dilihat dalam Gambar berikut ini

7. 5 f

Ketiga sisi, S, P dan Q dari segitiga daya dapat dicari dari perkalian antara VI* Hasil perkalian ini adalah sebuah daya kompleks S, dengan bagian real P dan bagian imajiner Q, sebagai berikut: Bilamana V = Vej dan I = Iej(+), maka S = V I* S = Vej I = Iej-(+) S = VI cos j sin S = P jQ Ringkasan dari hal diatas adalah:
P = V I cos = I2 R = Re V I* Q = V I sin = I2 X = Im V I* S = V I = I2 Z

8. TRANSFORMATOR

8. 1 PENDAHULUAN o Pembangkit Listrik Umumnya dibangun jauh dari pusat beban o Energi Elektrik Dibangkitkan pada tegangan 6,6 33 kV o Energi Elektrik Ditransfer via SUTT untuk menekan biaya operasi. o Energi Elektrik Disisi konsumen Tegangan Rendah o TRAFO Dibutuhkan dalam proses transfer Energi Elektrik, baik disisi Tegangan Tinggi maupun Tegangan Rendah

o TRAFO Transfer Energi Elektrik dari satu sirkit ke sirkit lain melalui GANDENGAN MAGNETIK 8.2 PRINSIP KERJA dan KONSTRUKSI DASAR

TRANSFORMATOR selanjutnya disebut TRAFO adalah sebuah alat listrik yang mampu mentransfer energi elektrik dari satu sirkit ke sirkit lain pada frekuensi yang sama. TRAFO dapat dipergunakan untuk menaikkan atau menurunkan tegangan dalam suatu sirkit, tetapi arus akan turun dan naik juga secara proporsional. TRAFO terdiri dari dua belitan induktif yang terpisah secara elektris, namum terhubung secara magnetis melalui sebuah jalur reluctance rendah.

Bila salah satu belitan dihubungkan dengan sumber daya ac, maka akan terbangkit fluks magnetis bolak balik, yang akan menghasilkan e.m.f. Bila belitan lainnya tertutup maka akan mengalir arus, sehingga EE dapat ditransfer Belitan yang terhubung dengan suplai ac disebut belitan primer, sedangkan yang belitan lain disebut belitan sekunder. Meski pada kondisi aktualnya kedua belitan wounded satu dengan lainnya, akan tetapi untuk keperluan analisis kedua belitan digambarkan terletak berlawan pada inti TRAFO.

Elemen sebuah TRAFO selain kedua belitan adalah sebuah inti terlaminasi. Kedua belitan terisolasi satu dengan lain dan dengan inti.

Tebal laminasi berkisar antara 0,35 mm 0,50 mm. Berdasarkan cara melilit inti dikenal ada 2 tipe TRAFO, yaitu TIPE INTI dan TIPE CANGKANG

Berdasarkan cara pendinginannya, dikenal 3 tipe TRAFO, yaitu: OIL FILLED SELF COOLED; OIL FILLED WATER COOLED; dan AIR-BLAST. TRAFO tipe pertama biasa dipakai untuk sistem distribusi.

Belitan primer sebuah TRAFO tidak dapat dihubungkan dengan sumber dc. Bila dihubungkan dengan sumber dc, maka akan timbul fluks konstan, sehingga tidak dihasilkan emf pada belitan sekunder. Bila hal ini dilakukan terus menerus akan mengalir arus yang cukup besar dalam TRAFO yang dapat mengakibatkan kerusakan.
PERSAMAAN E.M.F

Perhatikan Gambar berikut :

Terlihat bahwa FLUKs naik dari nol

mak

dalam siklus

Besarnya e.m.f. rata-rata pada suatu TRAFO

d Eav = N = N 4 f mak dt
Mengingat bahwa bervariasi secara sinusoidal, sehingga harga efektif induksi elektromagnetik menjadi :

Erms = 1,11 Eav = 4, 44 f N mak


harga 1,11 adalah faktor bentuk harga rms/harga rata-rata Induksi elektromagnetik pada belitan masing-masing adalah :

E1 = 4, 44 f N1 mak
E2 = 4, 44 f N 2 mak
RATIO TRAFO

Volt
Volt

Ratio TRAFO (K) : adalah Ratio antara tegangan sekunder terhadap tegangan primer

K=

V2 E2 N 2 = = V1 E1 N1

K > 1 TRAFO penaik tegangan V2 > V1 K < 1 TRAFO penurun tegangan V2 > V1 TRAFO ideal berlaku keseimbangan elektrik maupun keseimbangan magnetik, sehingga : V2 I2 = V1 I1 atau E2 I2 = E1 I1 I2 N2 = I1 N1 Sehingga

I 2 E1 N1 1 = = = I1 E2 N 2 K
Contoh 1.

A 20 kVA, single phase transformer has 200 turns on primary and 40 turns on the secondary. The primary is connected to 1000 V, 50 Hz supplay. Determine (i) the secondary voltage on open circuit (ii) the current flowing through the two windings on full load and (iii) the maximum value of flux PENYELESAIAN (REVIEW DAYA)

Ratio belitan,

K=

N2 40 = N1 200

Besarnya induksi elektromagnetik disisi primer E1 = V1 = 1.000 Volt (i). Besarnya tegangan sekunder sirkit terbuka : V2 = E2 = E1 x N2/N1 = 1.000 x 40/200 = 200 Volt (ii) Arus sisi primer I1 adalah :

I1 =

kVA x 1.000 20 x 1.000 = = 20 A V1 1.000

Arus sisi sekunder I2 adalah :

I2 =

kVA x 1.000 20 x 1.000 = = 100 A V2 200

(iii) Harga fluks maksimum adalah :

mak =

E1 1.000 = = 0, 0225 Wb 4, 44 fN1 4, 44 x 50 x 200

Contoh 2.

Sebuah TRAFO satu fasa 25 kVA memiliki jumlah belitan primer sebanyak 250 dan jumlah lilitan sekunder sebanyak 40 lilitan. Sisi primer terhubung dengan suplai tegangan 1.500kV, 50Hz. Hitung (i) Arus primer dan sekunder beban penuh (ii) e.m.f. sekunder dan (iii) fluksi maksimum pada inti PENYELESAIAN Ratio belitan,

K=

N2 40 = N1 250

Besarnya induksi elektromagnetik disisi primer E1 = V1 = 1.500 Volt (ii) Besar Emf sekunder adalah : E2 = E1 x N2/N1 = 1.500 x 40/250 = 240 Volt (i). Besarnya Arus sisi primer dan sisi sekunder

I1 =

kVA x 1.000 25 x 1.000 = = 16, 670 A 1.500 V1

I2 =

kVA x 1.000 25 x 1.000 = = 104,160 A V2 240


E1 1.500 = 27, 0 mWb = 4, 44 fN1 4, 44 x 50 x 250

(iii) Harga fluks maksimum adalah :

mak =

VEKTOR DIAGRAM TRAFO TANPA BEBAN

Bila sisi primer TRAFO diberi catu tegangan ac dan sisi sekunder terbuka, TRAFO tersebut dikatakan tidak berbeban. Tinjau TRAFO ideal tanpa beban. Bila sisi primer diberi catu V1, akan mengalir arus primer pada belitan primer yang akan menimbulkan fluks ac yang besarnya :

= mak sin t .
Fluksi menimbulkan induksi emf yang besarnya adalah :

e1 = N 1

d d = N 1 ( mak sin t ) dt dt

= N 1 mak cos t = N 1 mak sin(t ) 2

e2 = N 2 mak sin(t ) 2
Karena diasumsikan sisi primer tidak terdapat resistansi, maka catu tegangan disisi primer akan mengakibatkan induksi emf yang berlawanan dengan tegangan sesaat disisi primer, yaitu :

v1 = e1 = N 1 mak sin(t

Kesimpulan : Emf induksi yang dihasilkan E1 dan E2 tertinggal terhadap fluksi sebesar 900 dan tegangan sekunder V2 = E2.

Gambar 3. Vektor Diagram Tanpa Beban


VEKTOR DIAGRAM TRAFO BERBEBAN

Bila sisi sekunder TRAFO dihubungkan lewat impedansi, atau beban, maka TRAFO disebut berbeban, dan I2 akan mengalir. Besar dan fase arus I2 terhadap V2 sangat tergantung pada karakteristik beban yang terhubung disisi sekunder.

Arus I2 akan sefase, tertinggal atau mendahului tergantung apakah beban tersebut noninduktif, induktif atau kapasitif. I2 mengakibatkan munculnya fluksi sekunder yang berlawan an dengan fluksi utama yang ditimbulkan oleh arus I0 yang akan memperlemah fluksi utama. Untuk menjaga agar fluks utama ini kembali pada harga semula dibutuhkan arus tambahan disisi primer, sehingga arus primer menjadi I1. Berdasarkan keseimbangan magnetik antara sisi primer dan sekunder, dapat dinyatkan bahwa : N1 I1 = N2 I2, sehingga

N2 N2 ' I = I = I2 I = I 2 , karena I0 <<<< maka 1 1 N N1 1


' 1

Vektor diagram TRAFO dalam berbagai kondisi diberikan dalam Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4. Vektor Diagram TRAFO Berbeban

RANGKAIAN EKIVALEN TRAFO

Pada kenyataan tidak mungkin menemukan TRAFO ideal. Dalam kenyataan belitan primer maupun sekunder memiliki tahanan yang mengakibatkan jatuh tegangan pada kedua sisi.

Pada keadaan sesungguhnya fluksi total yang dihasilkan tidak terdistribusi menjadi dua, namun terdistribusi menjadi tiga, yaitu fluksi utama yang menghubungkan belitan primer dan sekunder, fluksi bocor primer L1 dan fluksi bocor sekunder L2, seperti diperlihatkan dalam Gambar 5.

Gambar 5. Diagram ekivalen TRAFO aktual

L1 dihasilkan oleh ampere turn primer yang besarnya sebanding dengan besar arus primer. Pada keadaan tanpa beban L1 sangat kecil sehingga dapat diabaikan, namun demikian pada keadaan berbeban harga L1 tidak dapat diabaikan. Fluksi bocor primer L1 sefasa dengan I1 dan menghasilkan emf induksi sebesar EL1 yang besarnya adalah :
EL1 = 2 f L1 I1

Dimana L1/X1 adalah induktansi sendiri sisi primer yang disebabkan oleh L1, sehingga :

X1 =

EL1 2 fL1 I1 = = 2 f L1 , I1 I1

demikian pula halnya dengan L2 akan menimbulkan

X2 =

E2 2 fL2 I 2 = = 2 f L2 I2 I2

Sebuah TRAFO dengan resistansi belitan dan reaktansi bocor sama saja dengan sebuah TRAFO ideal (tanpa resistansi dan reaktansi bocor) yang memiliki coil resistif dan induktif seperti disajikan dalam Gambar 6.

Gambar 6. Rangkaian Ekivalen TRAFO Aktual TRAFO dalam Gambar 6, dengan R1 ,R2 dan X1 ,X2, maka impedansi primer dan sekunder adalah :

Z1 = R1 + jX 1

dan

Z 2 = R2 + jX 2

Diagram vektor dari TRAFO berbeban untuk ketiga kondisi beban diperlihatkan dalam Gambar 7. Dari diagram vektor atau dari diagram aktual TRAFO dapat dituliskan hubunganhubungan berikut ini (a) Beban resistif murni

E2 = (V2 + I 2 R2 ) 2 + ( I 2 X 2 ) 2 V2 + I 2 R2

E2 E1 = K
dan

V1 = ( E1 + I1 R1 ) 2 + ( I1 X 1 ) 2 V1 + I1 R1

Gambar 7. Vektor diagram TRAFO actual (b) Beban Induktif

E2 = (V2 + I 2 R2 cos + I 2 X 2 sin ) 2 + ( I 2 X 2 cos I 2 R2 sin ) 2 V2 + I 2 R2 cos + I 2 X 2 sin

E1 =

E2 K

dan

2 2 V 1 + I1R 1 cos + I1X 1 sin) +(I1X 1 cos I1R 1 sin) 1 = (E

E 1 + I1R 1 cos +I1X 1 sin


Beban Kapasitif

(c)

2 2 E2 = (V 2 +I2R 2 cosI2X2 sin) +(I2X2 cos+I2R 2 sin)

V 2 +I2R 2 cosI2X2 sin


E1 =
dan

E2 K

V1 = (E1 + I1R1 cos I1X1 sin)2 + (I1X1 cos + I1R1 sin)2 E1 + I1R1 cos I1X1 sin

RESISTANSI DAN REAKTANSI EKIVALEN

Kedua sirkit independen dari TRAFO dapat disederhanakan, sehingga kedua sirkit dapat ditinjau sebagai sebuah sirkit ekivalen, dengan parameter yang telah disesuaikan. Misalkan resistansi dan reaktansi primer dan sekunder dari masing-masing belitan adalah R1 , R2 ,X1 dan X2 . Sedangkan perbandingan belitan adalah K. Jika diinginkan sebuah sirkit yang mengacu pada sisi sekunder TRAFO, maka, semua besaran primer harus diperkalikan dengan kuadrat ratio TRAFO, sehingga : Tegangan jatuh resistif total = K2 I2 R1 + I2 R2 = I2 (K2 R1 + R2 ) = I2 R2 Tegangan jatuh reaktif total = K2 I2 X1 + I2 X2 = I2 (K2 X1 + X2 ) = I2 X2 Sirkit ekivalen dari TRAFO dapat digambarkan berikut ini.

Gambar 8 Rangkaian Ekivalen TRAFO actual dilihat dari sisi sekunder

PENGATURAN TEGANGAN

Bilamana TRAFO dibebani, tegangan terminalnya akan turun dari tegangan tanpa beban menjadi tegangan beban penuh, Pengaturan Tegangan dinyatakan sebagai berikut : Tegangan terminal tanpa beban - Tegangan terminal beban penuh x100 Tegangan terminal tanpa beban

%VR =

%VR =

Tegangan jatuh pada trafo berbeban x100 Tegangan tanpa beban

' ' I 2 R2 cos + I 2 X 2 sin %VR = x100 Tegangan tanpa beban

bila pf mendahului, maka persentase pengaturan adalah :


' ' I 2 R2 cos I 2 X 2 sin %VR = x100 Tegangan tanpa beban

Kondisi khusus :
a. KONDISI UNTUK REGULASI NOL
' ' I 2 R2 cos + I 2 X 2 sin Pengaturan = x100 E2

Pengaturan = nol bilamana pembagi sama dengan nol, atau

' ' I 2 R2 cos + I 2 X 2 sin = 0 ' R2 atau tan = ' X2

b.

KONDISIUNTUK REGULASI MAKSIMUM

Pengaturan akan maksimum bila


d d

d (%VR ) = 0 dt
' 2

I 2 R 2' c o s + I 2 X E2
' 2

s in

= 0

I2R E2

s in + ta n =

I2X E2 X R
' 2 ' 2

' 2

cos = 0

a ta u

Pengaturan maksimum diperoleh pada saat pf tertinggal

SUSUT PADA TRAFO

TRAFO merupakan mesin tidak berputar, tidak terjadi rugi gesekan dan rugi angin seperti pada mesin elektrik. Rugi yang terjadi adalah (i) rugi-rugi besi dan (ii) rugi tembaga. Rugi besi ditimbulkan oleh fluksi magnetik pada inti besi, yang terdiri dari : rugi histerisis dan rugi arus Eddy.

8. 1 RUGI BESI

Rugi histerisis yang disebabkan fluksi elektromagnetik dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :

Ph = ' ( Bmak )1,6 f v

joule / sec atau Watt

Dijelaskan bahwa meski fluks linked yang terjadi mengalami perubahan, emf yang diinduksikan pada sirkit dan arus yang mengalir tergantung pada emf disekitar belitan dan tahanan belitan. Jika sebuah balok metal dilalui fluks, akan terinduksi arus pada blok metal tersebut, sebagaimana terjadi pada inti TRAFO. Arus ini dikenal sebagai arus Eddy yang

menimbul kan kerugian daya, yang menimbulkan panas berlebihan, secara sederhana rugi arus Eddy dinyatakan persamaan :

2 2 2 2 Ph = Bmak f t Watt 6
8. 2 RUGI ARUS EDDY

Besarnya fluks linkages tergantung pada emf induksi yang mengitarinya dan tahanan sirkit tersebut. Jadi tidak tergantung apakah penghantarnya berbentuk kawat atau lainnya fluks akan tetap melewati seluruh bagian sirkit. Jika sebuah balok padat terbuat dari besi dikitari oleh fluks yang variatif (sinusoidal), maka balok tersebut akan mengalirkan arus. Arus ini dikenal sebagai arus Eddy. Arus Eddy dapat menimbulkan susut daya yang akan menimbulkan panas pada TRAFO, untuk mengurangi hal ini maka inti besi disusun dari lempengan-lempengan tipis logam besi. Besarnya susut akibat arus Eddy diberikan dalam formula berikut :

Peddy

2 2 = Bmak f 2 t 2 Watt 6

Dari ekspresi diatas dapat dilihat bahwa rugi arus Eddy bervariasi berbanding lurus dengan kuadrat kerapatan fluksi dan frekuensi, serta kuadrat ketebalan inti besi. Rugi histerisis dan arus Eddy tergantung pada kerapatan fluksi maksimum pada inti dan frekuensi. Karena dari keadaan tanpa beban sampai beban penuh besaran ini tidak berubah, maka rugi inti tidak tergantung dari pembebanan TRAFO.
8. 3 RUGI TEMBAGA

Susut tembaga terjadi karena sifat resistif dari belitan TRAFO. Jika I1 dan I2 adalah arus-arus primer dan sekunder, sedangkan R1 dan R2 adalah tahanan belitan primer dan sekunder, maka total rugi tembaga yang terjadia adalah :
2 ( I12 R1 + I 2 R2 ) .

Rugi terbaga bervariasi sebanding dengan kuadrat arus beban. Misal bila rugi tembaga beban penuh adalah Pcu_fl maka bila arus beban 1/3 arus beban penuh, rugi tembaga akan menjadi : 1/9 Pcu_fl

PENGUJIAN SIRKIT TERBUKA ATAU PENGUJIAN TANPA BEBAN

Tujuan adalah untuk menentukan besarnya rugi inti Pi dan arus beban nol I0

dari TRAFO yang akan diuji. Terminal sekunder (umumnya belitan tegangan tinggi) dibiar kan terbuka, sisi primer diberi catu tegangan sebesar tegangan nominal TRAFO, seperti disajikan dalam Gambar 9.

Gambar 9. Rangkaian pengujian beban nol Alat ukur, seperti alat ukur arus, tegangan, dan daya dibutuhkan dalam pengujian ini. Karena tidak ada arus yang mengalir disisi sekunder, maka arus disisi primer dibutuhkan hanya untuk keperluan magnetisasi dari inti TRAFO. Oleh karena arus ini sangat kecil dibandingkan dengan arus beban penuh (umumnya 3 sampai 10% dari arus beban penuh) dan dapat diabaikan, namun pengujian ini dapat memberikan hasil pengukuran rugi inti yang cukup akurat. Dari data pengujian diperoleh parameter yang diperlukan untuk menentukan konstanta TRAFO seperti : R0 , Xm , 0 , I0 , dan Susut daya inti Pi . Adapun data yang didapat dari hasil pengujian adalah : = Besar Daya beban nol Susut besi, Pi = W0 Watt Arus beban nol = I0 A Tegangan beban nol = V1 Volt Dari data tersebut dapat dihitung, parameter berikut : Sudut fasa, 0 =

cos 1

W0 V1 I 0
W0 V1

Komponen arus energi tanpa beban, I e = I 0 cos 0 = Komponen arus magnetisasi tanpa beban I m = I 02 I e2

V1 V12 = Tahanan tanpa beban R0 = I e W0 V1 V1 = Reaktansi tanpa beban X 0 = Im I 02 I e2


PEMISAHAN RUGI HISTERISIS DAN ARUS EDDY

Dari ekspresi perhitungan kedua jenis susut, terlihat bahwa rugi histerisis bervariasi terhadap frekuensi suplai sedangkan rugi arus Eddy bervariasi kuadratis terhadap frekuensi. Bila dilakukan pengujian dengan cara memberikan kerapatan fluks konstan dan rugi besi diukur pada frekuensi yang berbeda, maka dengan melakukan sedikit manipulasi matematis akan didapat pemisahan antara kedua rugi-rugi tersebut.
PENGUJIAN HUBUNG SINGKAT ATAU PENGUJIAN IMPEDANSI

Tujuan adalah untuk menentukan rugi tembaga beban penuh dan menentukan tahanan dan reaktansi ekivalen dilihat dari sisi dimana pengukuran dilakukan. Dalam pengujian, terminal belitan sekunder (umumnya sisi tegangan rendah) dihubung singkat, dengan demikian TRAFO dapat dipandang sebagai sebuah coil yang memiliki sebuah impedansi yang identik dengan impedansi kedua belitan TRAFO. Pada pengujian, tegangan masukan Vhs dinaikkan secara perlahan sampai Ammeter menunjukkan arus beban penuh dari sisi dimana dihubungkan. Karena tegangan yang diberikan cukup rendah sehingga fluks linked terhadap inti juga rendah, dengan demikian rugi inti pun sangat rendah sehingga dapat diabaikan. Pembacaan daya masukan Whs menunjukkan rugi tembaga total. Dari pengujian hubung singkat ini, seperti tersaji dalam Gambar 10, akan diperoleh data sebagai berikut : P cu = I hs R1 = Whs Rugi tembaga total beban penuh, Pcu = Ihs2 R1 = Whs Tegangan masukan, Vhs Arus beban penuh, Ihs
2 '

Gambar 10. Rangkaian pengujian hubung singkat Dari data, selanjutnya dapat ditentukan parameter berikut: Tahanan ekivalen dipandang dari sisi primer :

R1' =
Z1' =

Whs 2 I hs
Vhs I hs

Impendansi ekivalen dipandang dari sisi primer :

Reaktansi ekivalen dipandang dari sisi primer :

X 1' = ( Z1' ) 2 ( R1' ) 2

PENGUJIAN SUMPNERS ATAU PENGUJIAN BACK TO BACK

Meski efisiensi dan regulasi tegangan dapat ditentukan dari hasil pengujian beban nol dan hubung singkat secara akurat, namun untuk menentukan kenaikan tegangan TRAFO dibutuhkan pengujian yang memerlukan pembebanan TRAFO secara penuh untuk jangka waktu yang cukup panjang. Untuk TRAFO ukuran kecil, pembebanan dapat dilakukan dengan mudah, yaitu dengan menggunakan beban penerangan, atau beban dummy (water load), namun untuk TRAFO besar sangat sulit untuk memberikan beban sesuai dengan kemampuan TRAFO tersebut, selain itu pengujian ini mengakibatkan penggunaan energi yang tersia-sia. Pada pengujian Sumpners (atau dikenal juga sebagai pengujian back to back), dua buah TRAFO identik dibebani secara penuh, seperti yang biasa dilakukan pada pengujian mesinmesin dc. Hubungan pengujian Sumpners dibertikan dalam Gambar 11.

Gambar 11. Hubungan pengujian Sumpners Belitan primer (umumnya belitan tegangan rendah) dari kedua TRAFO dihubungkan secara paralel ke suplai satu fasa. Tegangan suplai harus sama dengan rating tegangan belitan primer. Belitan sekunder dari kedua TRAFO selanjutnya dihubungkan bersama sehingga potensial keduanya berlawanan. Melalui pengujian ini kenaikan temperatur dari TRAFO yang diuji dapat diketahui.
PENENTUAN EFISIENSI DAN REGULASI EFISIENSI

Efisiensi trafo dapat diekspresikan sebagai berikut

Output Output = Input Output + Rugi besi + Rugi tembaga

bila daya output adalah :

Po = V2 I 2 cos ,
dimana V2 adalah tegangan terminal sekunder pada saat berbeban, I2 arus berbeban, cos faktor kerja beban, sedangkan : Rugi besi Pi didapat dari pengujian beban nol Rugi tembaga beban penuh Pcu didapat dari pengujian hubung singkat Rugi tembaga pada beban x kali beban penuh adalah : x2 Pcu

Sehingga efisiensi TRAFO dapat dihitung sebagai berikut :

V2 I 2 cos V2 I 2 cos + Pi + Pcu

Dari ekspresi diatas dapat dilihat bahwa efisiensi TRAFO dapat ditentukan dengan menentu kan Pi dan Pcu dari hasil pengujian tanpa beban dan hubung singkat, sedangkan x adalah ratio arus beban I2 terhadap arus beban penuh sekunder.
REGULASI

Persen regulasi dapat dinyatakan sebagai berikut


' ' I 2 R2 cos + I 2 X 2 sin x100 Tegangantanpabeban

%Regulasi=

' ' Besaran tahanan ekivalen R2 dan reaktansi ekivalen X 2 dilihat dari sisi sekunder dapat

ditentukan dari pengujian hubung singkat, karena R2 = K R1 dan X 2 = K X 1 , dimana K adalah ratio transformasi, I2 dan cos adalah arus beban dan faktor kerja beban, dapat lagging ataupun leading. Tegangan terminal sekunder tanpa beban adalah sama dengan emf E2 yang diinduksikan di sekunder. Dengan demikian persen regulasi dapat diekspresikan menjadi :
' 2 '
' 2 '
' ' I 2 R2 cos + I 2 X 2 sin x100 E2

%Regulasi=

EFISIENSI KOMERSIL DAN HARIAN

Efisiensi komersil didefinisikan sebagai ratio antara daya output terhadap daya input dalam kW. Efisiensi harian didefinisikan sebagai ratio antara output terhadap input dalam kWH. TRAFO yang dipergunakan dalam sistem distribusi terhubung ke jaringan sepanjang hari, namun dibebani secara inter-mitenly. Jadi rugi inti terjadi sepanjang hari, tetapi rugi tembaga hanya terjadi bilamana TRAFO dibebani. Karena itu, jika TRAFO tidak digunakan untuk mensuplai arus beban sepanjang hari efisiensi harian akan lebih kecil dari efisiensi komersil Dari ekspresi efisiensi

V2 I 2 cos xP = V2 I 2 cos + Pi + Pcu xP + Pi + Pcu

dimana P adalah output beban penuh dan x adalah ratio arus beban terhadap arus beban penuh. Efisiensi akan maksimum jika

d = 0 atau dx

Pi x 2 Pcu = 0

atau

x 2 Pcu = Pi

Dari ekspresi diatas terlihat bahwa efisiensi akan maksimum bilamana rugi tembaga sama dengan rugi inti.
Contoh 1

Hitung besarnya R0 , X0 , Rekv , dan Xekv dari rangkaian ekivalen sebuah TRAFO satu fasa 4 kVA, 200/400 V, 50 Hz, berdasarkan hasil pengujian berikut : - Pengujian beban nol - Pengujian hubung singkat PENYELESAIAN Dari pengujian beban nol W0 = 80 Watt V1 = 200 Volt I0 = 0,80 A Dapat dihitung : : 200 V; 0,8 A; 80 Watt disisi tegangan rendah : 20 V; 10 A; 100 Watt disisi tegangan tinggi

cos 0 =

W0 80 = = 0,50 V1 I 0 200 x 0.8

sin 0 = 1 cos 2 = 1 (0,5) 2 = 0,866


Komponen arus energi beban nol Ic = I0 cos 0 = 0,8 x 0,5 = 0,4 A Komponen arus magnetisasi beban nol Im = I0 sin 0 = 0,8 x 0,866 = 0,693 A Resistansi tanpa beban R0 = V1 /Ic = 200/0,04 = 500 Reaktansi tanpa beban X0 = V1 /Im = 200/0,693 = 288,7

Dari pengujian hubung singkat Whs = 100 Watt V1 = 20 Volt Ihs = 10 A Dapat dihitung : Impedansi ekivalen dilihat dari sisi sekunder
' Z2 =

Vhs 20 = =2 I hs 10

Tahanan ekivalen dilihat dari sisi sekunder


' = R2

100 Whs = =1 ( I hs ) 2 (10) 2

Impedansi ekivalen dilihat dari sisi primer


' ' Z2 Z2 2 = = 0,5 Z = 2 = V2 2 (2) 2 K ( ) V1 ' 1

Tahanan ekivalen dilihat dari sisi primer


' ' R2 R2 1 = = 0,25 R = 2 = V2 2 (2) 2 K ( ) V1 ' 1

Reaktansi ekivalen dilihat dari sisi primer


' ' 2 X2 = ( Z1' ) 2 ( R2 ) = 0,433

Contoh 2

Gambarkan rangkaian ekivalen dari sebuah TRAFO satu fasa 1100/220 Volt yang mempunyai data pengujian sebagai berikut : - Pengujian beban nol dari sisi primer, sekunder terbuka : 1100 V; 0,5 A; 55 W - Pengujian hubung singkat dari sisi sekunder, sisi tegangan tinggi dihubung singkat : 10 V; 80 A; 400 W Hitung regulasi tegangan dan efisiensi bila TRAFO tersebut mensuplai arus sebesar 100 A pada factor kerja 0,80 lagging

PENYELESAIAN Dari pengujian beban nol Rugi besi Pi= Daya input pada rating tegangan terminal tanpa beban W0 = 55 Watt Tegangan suplai V1 = 1.100 Volt Arus beban nol I0 = 0,50 A Selanjutnya dapat dihitung :

cos 0 =

W0 55 = = 0,10 V1 I 0 1100 X 0,50

sin 0 = 1 cos 2 0 = 1 (0,1) 2 = 0,995


Komponen arus energi beban nol Ic = I0 cos 0 = 0,5 x 0,1 = 0,05 A Komponen arus magnetisasi beban nol Im = I0 sin 0 = 0,5 x 0,995 = 0,498 A Resistansi tanpa beban R0 = V1 /Ic = 1.100/0,05 = 22.000 Reaktansi tanpa beban X0 = V1 /Im = 1100/0,498 = 2.221 Dari pengujian hubung singkat Whs = 400 Watt V1 = 10 Volt Ihs = 80 A Dapat dihitung : Impedansi ekivalen dilihat dari sisi sekunder
' Z2 =

Vhs 10 = = 0,125 I hs 80

Tahanan ekivalen dilihat dari sisi sekunder


' = R2

Whs 400 = = 0,0625 ( I hs ) 2 (80) 2

Reaktansi ekivalen dilihat dari sisi sekunder

' ' 2 ' 2 X2 = (Z 2 ) ( R2 ) = 0,108

Impedansi ekivalen dilihat dari sisi primer


' ' Z2 Z2 0,125 = = 0,5 Z = 2 = V2 2 (1 / 5) 2 K ( ) V1 ' 1

Tahanan ekivalen dilihat dari sisi primer

R1' =

' ' R2 R2 0,0625 = = = 1,5625 2 2 V2 2 ( 0 , 2 ) K ( ) V1

Reaktansi ekivalen dilihat dari sisi primer


' ' 2 X2 = ( Z1' ) 2 ( R2 ) = 2,70

Dengan demikian Rangkaian Ekivalen dapat digambar. Selanjutnya : Arus beban I2 = 100 A Faktor kerja, cos = 0,80 ; sin = 0,60
' ' I 2 R2 cos + I 2 X 2 sin Regulasi tegangan adalah : V2

%Regulasi =

100 x 0,0625 x 0,8 + 100 x 0,108 x 0,6 x100 = 5,67% 220

Bilamana beban yang disuplai 100 A dengan factor kerja 0,8, maka output TRAFO adalah : P0 = V2 I2 cos = 220 x 100 x 0,8 = 17,6 kW Susut tembaga Pcu = Whs x (

I2 2 100 2 ) = 400 x ( ) = 0,625kW I hs 80

Susut besi Pi = W0 = 55 Watt = 0,055 kW

Efisiensi =

17,6 P0 = 96,7% x100 = 17,6 + 0,625 + 0,055 P0 + Pi + Pcu

KERJA PARALEL

Paralel dua TRAFO atau lebih dilakukan karena alasan berikut : Apabila jumlah energi yang akan ditransfer sangat besar sehingga tidak dapat ditangani hanya oleh sebuah TRAFO Untuk memenuhi kebutuhan beban, kadangkala perlu untuk mengganti TRAFO yang ada dengan TRAFO yang lebih besar atau menambahkan sebuah TRAFO baru untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Menurunkan biaya operasi

Dalam operasi paralel beberapa kondisi yang harus dipenuhi antara lain : Ratio belitan atau transformasi dan rating tegangan sama. Polaritas TRAFO sama Persen impedansi sama Ratio antara resistansi dan reaktasi sama Pergeseran fasa antara belitan primer dan sekunder dari kedua TRAFO sama Urutan fasa kedua TRAFO sama.

Pada TRAFO satu fasa hanya diperlukan 4 kondisi pertama, karena TRAFO satu fasa tidak terdapat urutan fasa dan pergeseran fasa akibat transformasi tegangan. Bilamana ratio belitan atau rating tegangan tidak sama maka akan terjadi sirkulasi arus meski TRAFO tanpa beban. Bila persen impedansi atau ratio antara resistansi terhadap reaktansi tidak sama tidak akan terjadi sirkulasi arus, tetapi pembagian kVA beban antara kedua TRAFO tidak akan proporsional terhadap rating kVA masing-masing TRAFO. Karena itu kapasitas TRAFO tidak dapat dipergunakan penuh. Kapasitas total yang mampu diterima dua TRAFO paralel yang tidak memiliki persen impedansi sama diberikan dalam relasi berikut :

Kapasitas total = Pa +

Zb Pb Za

dimana Pa dan Za adalah kapasitas dan persen impedansi TRAFO yang memiliki persen impedansi terbesar dan Pb dan Zb adalah kapasitas dan persen impedansi TRAFO yang memiliki persen impedansi lebih kecil. Jelas bahwa dibutuhkan persen resistansi dan reaktansi yang sama dari kedua TRAFO yang bekerja paralel, namun demikian persen resistansi tidak menjadi perhatian serius dalam transformasi daya karena harganya relatif kecil dibanding dengan persen reaktansi. Oleh karena itu operasi paralel sudah memuaskan bila persen impedansi sama. Apabila polaritas dari salah satu TRAFO adalah polaritas additive dan yang lainnya subtraktif, kedua TRAFO masih dapat dioperasikan paralel dengan cara membalik hubungan sisi primer atau sisi sekunder masing-masing TRAFO. Dalam kasus ini perlu diuji ketahanan isolasi dari belitan yang direverse apakah memenuhi syarat. Hal yang sama juga terjadi pada TRAFO tiga fasa, namun pergeseran fasa dan urutan fasa dari kedua TRAFO menjadi perhatian pula.
PEMBAGIAN BEBAN DALAM OPERASI PARALEL KASUS 1 Ratio Tegangan sama : Bila dua TRAFO memiliki ratio transformasi yang sama dihubungkan paralel, arus beban total akan terbagi secara terbalik sesuai dengan impedansi ekivalen kedua TRAFO. Rangkaian TRAFO paralel dan sirkit ekivalennya dalam Gambar 13.

Dari sirkit dalam Gambar 13, dapat diturunkan persama an tegangan berikut : E2 = V2 + IA ZA E2 = V2 + IB ZB

Atau

Atau

IA ZA = IB ZB

I A Z B RA + jX A = = I B Z A RB + jX B

RA ,XA dan ZA adalah total tahanan, reaktansi dan impe-dansi ekivalen dari TRAFO A, dan RB ,XB dan ZB adalah total tahanan, reaktansi dan impedansi ekivalen dari TRAFO B.

Gambar 13. TRAFO paralel dan Rangkaian Ekivalennya Ekspresi diatas menunjukan bahwa kedua TRAFO dengan rating kVA berbeda bekerja secara paralel, keduanya membagi beban secara proporsional sesuai dengan rating kVA dari masing-masing TRAFO hanya bilamana impedansi ekivalennya berbanding terbalik secara proporsional terhadap rating masing-masing.

I A ZB = IB ZA IA ZB = I A + IB Z A + ZB
Atau

IA =

ZB xI Z A + ZB

Pembagian beban, pada TRAFO A adalah

PA = V2 I A x 103 kVA V2
PB = V2

ZA x I x 103 kVA Z A + ZB
ZA x I x 103 kVA Z A + ZB

Pada TRAFO B adalah :

Total beban : P = PA + PB = V2 x I x 10-3 Oleh karena itu

PA = PB =

ZA xP Z A + ZB ZA xP Z A + ZB

Jika impedansi ekivalen ZA dan ZB diberikan per-unit sistem atau persen dan rating kedua TRAFO berbeda, maka kedua impendansi ekivalen harus ditransfer dalam base kVA yang sama.
KASUS 2 Ratio tegangan tidak sama : Bila ratio belitan tidak sama, lalu dengan primer terhubung pada suplai yang sama, emf induksi akan tidak sama dan arus sirkulasi akan mengalir seperti diperlihatkan dalam Gambar 14, meski TRAFO tanpa beban. Jika TRAFO membagi kedua beban, arus sirkulasi akan menjadi superinposed dari arus beban. Misalkan suplai tegangan : V1 Volt, ratio tegangan masing-masing TRAFO KA dan KB Impedansi ekivalen TRAFO A, dilihat dari sisi sekunder : ZA = RA + jXA dan Impedansi ekivalen TRAFO B, dilihat dari sisi sekunder : ZB = RB + jXB

Gambar 14. TRAFO paralel dengan ratio berbeda Arus keluaran dari masing-masing TRAFO IA dan IB Dari sirkit diatas, dapat diturunkan persamaan tegangan berikut : E2 = V2 + IA ZA E2 = V2 + IB ZB Atau IA ZA = IB ZB Atau

I A Z B RA + jX A = = I B Z A RB + jX B

dimana RA , XA dan ZA adalah total tahanan ekivalen, reaktansi ekivalen dan impedansi ekivalen dari TRAFO A, dan RB , XB dan ZB adalah total tahanan ekivalen, reaktansi ekivalen dan impedansi ekivalen dari TRAFO B. Ekspresi diatas menunjukan bahwa kedua transforamtor dengan rating kVA berbeda bekerja secara paralel, keduanya membagi beban secara proporsional sesuai dengan rating kVA dari masing-masing TRAFO hanya bilamana impedansi

ekivalennya berbanding terbalik secara proporsional terhadap rating masingmasing.

I A ZB = IB ZA IA ZB = I A + IB Z A + ZB
Atau

IA =

ZB xI Z A + ZB

Pembagian beban, pada TRAFO A adalah

PA = V2 I A x 103 kVA V2 ZA x I x 103 kVA Z A + ZB

Pada TRAFO B adalah :

PB = V2

Tatal beban : P = PA + PB = V2 x I x 10-3 Oleh karena itu

ZA x I x 103 kVA Z A + ZB
ZA xP Z A + ZB ZA xP Z A + ZB

PA = PB =

Jika impedansi ekivalen ZA dan ZB diberikan per-unit sistem atau persen dan rating kedua TRAFO berbeda, maka kedua impendansi ekivalen harus ditransfer dalam base kVA yang sama.

PB = V2

ZA x I x 103 kVA Z A + ZB

Contoh 1 Dua buah TRAFO 6600/250 V memiliki karakteristik hubung singkat sebagai berikut : TRAFO A : 200 V; 30 A; 1200 Watt TRAFO B : 120 V; 20 A; 1500 Watt, semua harga besaran ini diukur pada sisi Tegangan tinggi, sedangkan sisi tegangan rendah dihubung singkat. Hitung arus dan faktor kerja pada masing-masing TRAFO bila kedua TRAFO bekerja secara paralel, guna memikul beban sebesar 300 kW pada faktor kerja 0,8 lagging dari busbar tegangan tinggi

PENYELESAIAN Tahahan ekivalen TRAFO A : RA = Impedansi ekivalen TRAFO A :

Whs A 1200 = = 1,333 ( I hs A ) 2 (30) 2

ZA =

Vhs A 200 = = 6,667 I hs A 30

Reaktansi ekivalen TRAFO A :

X A = ( Z A ) 2 ( RA ) 2 = (6,667) 2 (1,333) 2 = 6,53


Impedansi ekivalen TRAFO A adalah : ZA = RA + jXA = 1,333 + j 6,53 = 6,66778,70 1500 = 3,75 Tahahan ekivalen TRAFO B : RB = (20) 2

Impedansi ekivalen TRAFO B : Reaktansi ekivalen TRAFO B :

ZB =

Vhs B 120 = = 6,000 I hs B 20

X B = ( Z B ) 2 ( RB ) 2 = (6,000) 2 (3,750) 2 = 4,684


Impedansi ekivalen TRAFO B adalah : ZB = RB + jXB = 3,75 + j 4,684 = 6,0051,30 Impedansi total TRAFO : ZA + ZB = (1,333 + j6,53)+(3,75+ j4,684) = 5,083+ j 11,214 = 12,3065,60 Total kVA beban kedua TRAFO : 300 kW, pf = 0,8 adalah

P=
Total Arus beban :

300 cos 0,8 = 375 36,90 0,8

I=

P 375 x1000 = = 56,82 36,90 V 6600

Beban yang harus dipikul oleh TRAFO A adalah :

ZB 6,0051,30 0 IA = = 27,751,20 A x I = 56,82 36,9 x 0 Z A + ZB 12,3065,6


yang harus dipikul oleh TRAFO B adalah :

Beban

ZA 6,66778,7 0 0 IB = x I = 56,82 36,9 x = 30,8 23,820 A 0 Z A + ZB 12,3065,6

Contoh 2

Sebuah TRAFO satu fasa 500 kVA, 500 V dengan reaktansi drop 3% dan resistansi drop 1% dihubungkan secara paralel disisi tegangan tinggi dengan sebuah TRAFO satu fasa 250 kVA, 500 V yang memiliki reaktansi dan resistansi drop masingmasing 6% dan 1,5%. Tegangan terminal sekunder hubung terbuka TRAFO pertama 510 V dan TRAFO lainnya 500 V. Dengan Belitan sekunder terhubung secara paralel hitung : (1) arus yang lewat disisi sekunder pada saat tanpa beban; (2). Arus sekunder pada masing-masing TRAFO bila kedua TRAFO dibebani dengan beban 700 kW pada factor kerja uniti. PENYELESAIAN Lebih mudah bila kita menyelesaikan persoalan diatas dengan menggunakan besaran ohmic daripada besaran lain, sebelum melakukan perhitungan lebih lanjut kita harus mentransfer besaran persentage kedalam ohmic. Misal kita ambil tegangan terminal sebesar 480 V, maka Arus beban penuh transforamtor A :

IA =

500 x 1000 = 1.042 A 480

Arus beban penuh transforamtor B :

IB =

250 x 1000 = 521 A 480

Tegangan sirkit terbuka Trafo A : EA = 510 V Tegangan sirkit terbuka Trafo B : EB = 500 V Tahahan TRAFO A : RA =

% RA x E A 1 x 510 = = 0,0049 100 x I A 100 x 1042 % X A x EA 3 x 510 = = 0,0147 Reaktansi TRAFO A : X A = 100 x I A 100 x 1042 % RB x EB 1.5 x 500 = = 0,0141 Tahahan TRAFO B : RB = 100 x I B 100 x 521
Reaktansi TRAFO B :

XB =

% X B x EB 6 x 500 = = 0,0576 100 x I B 100 x 521

Dengan demikian : ZA = RA + jXA = 0,0049 + j 0,0147 = 0,015571,560 ZB = RB + jXB = 0,0144 + j 0,0576 = 0,059175,960 Impedansi total TRAFO : ZA + ZB = 0,0191+ j0,0723 = 0,075750 Total kVA beban kedua TRAFO : 700 kW, pf = 1 adalah

P=
Impedansi beban :

700 cos 1 = 70000 1,0

V22 (480) 2 ZL = = = 0,32900 P x 1000 700 x 1000

(1) Arus yang lewat disisi sekunder pada saat tanpa beban :

IC =

E A EB 510 500 = = 133,3 A Z A + Z B 0,075750

(2). Arus sekunder pada masing-masing TRAFO :

IA =

E A Z B + ( E A EB ) Z L =1250 3,60 A Z AZ B + Z L (Z A + Z B )

IB =

EB Z A + ( E E A ) Z L Z AZ B + Z L (Z A + Z B )

= 29511,20 A

9 DASAR PEMBANGKITAN
9.1 DASAR ELEKTROMEKANIK

Konversi energi baik dari energi listrik menjadi energi mekanik maupun sebaliknya berlangsung melalui media yang sama, yaitu medan magnet. Energi yang akan dikonversi akan tersimpan dalam medan magnet dan kemudian dilepas dalam bentuk energi lainnya. Dengan demikian medan magnit selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan energi juga sekaligus sebagai media yang mengkopel proses perubahan energi Dengan mengingat hukum kekekalan energi, proses konversi energi elektromekanik dapat dinyatakan sebagai berikut:

EListrik = EMekanik + EYang Diubah menjadi Panas + Etersimpan dalam m.m

Atau dalam bentuk persamaan dapat ditulis sebagai berikut: dWE = dWM + dWF Kondisi ini hanya berlaku pada proses konversi sedang berlangsung, artinya berlaku untuk keadaan dinamis dan transien
9. 2 GAYA GERAK LISTRIK

Apabila sebuah konduktor digerakkan tegak lurus memotong sebuah medan magnet dengan kerapatan fluks B, maka perubahan fluks yang terjadi pada konduktor yang memiliki panjang efektif l adalah:

d = B l ds
Menurut hukum FARADAY besar gaya gerak listrik yang terjadi adalah:

e=
maka

d dt

d ds = Bl dt dt ds v= dt e=Blv e=
arah gaya gerak listrik ini mengikuti aturan tangan kanan, dengan jempol, telunjuk dan jari tengah yang saling tegak lurus menunjukkan berturut-turut arah v, B, dan e. Bilamana konduktor tersebut tertutup, maka pada konduktor akan mengalir arus yang menjauhi kita. Persamaan e = B l v mempunyai arti bahwa bila dalam mendan magnet diberikan energi mekanik guna menghasilkan kecepatan v, maka akan dibangkitkan energi listrik e, ini merupakan prinsip dasar sebuah GENERATOR.
9. 3 KOPEL

Arus listrik I yang dialirkan didalam suatu medan magnet dengan kerapatan fluks B akan menghasilkan Gaya F sebesar:

F=BIl Arah gaya ini ditentukan oleh aturan tangan kiri, dengan jempol-telunjuk-jari tengah yang saling tegak lurus menunjukkan masing-masing arah F, B dan I. Persamaan gaya ini merupakan prinsip kerja sebuah MOTOR, dimana proses perubahan energi listrik (I) menjadi energi mekanik (F). Bila jari-jari rotor adalah r, maka kopel yang dibangkitkan adalah: T=Fxr=BIlr Perlu diingat bahwa pada saat gaya F dibangkitkan, konduktor bergerak didalam medan magnet dan seperti diketahui akan menimbulkan gaya gerak listrik yang merupakan reaksi terhadap tegangan penyebabnya. Agar proses konversi dapat berlangsung, tegangan catuan yang diberikan harus lebih besar dari ggl yang ditimbulkan.
9. 4 MESIN DINAMIK

Pada umumnya mesin dinamik terdiri dari bagian yang berputar disebut ROTOR dan bagian yang diam disebut STATOR. Diantara rotor dan stator terdapat celah udara. Stator merpakan kumparan medan yang berbentuk kutub sepatu dan rotor merupakan kumparan jangkar dengan belitan konduktor yang saling dihubungkan. Kumparan dalam sebuah rotor terletak didalam alur-alur yang terhubung satu dengan lain guna mendapatkan ggl yang diinginkan. Dengan demikian tegangan yang dibangkitkan akan berubah-ubah arahnya pada setiap setengan putaran yang merupakan tegangan bolak-balik, dengan: E = Emak Sin t Untuk mendapatkan tegangan searah diperlukan penyearah yang disebut dengan komutator. Berbeda dengan mesin arus searah, kumparan medan mesin sinkron terdapat pada bagian yang berputar, sedangkan kumparan jangkarnya merupakan bagian yang diam. Arus medan dialirkan ke rotor melalui cincin. Kumparan medan mesin sinkron dapat berbentuk seperti kutub sepatu atau berbentuk silinder. Mesin Induksi mempunyai kumparan jangkar pada stator dan karena mesin ini menggunakan prinsip imbas elektromagnetik maka pada mesin jenis ini tidak diperlukan kumparan medan.

9. 5 DERAJAT LISTRIK

Pada mesin empat kutub, terlihat bahwa setiap satukali putaran mesin, tegangan induksi yang ditimbulkan sudah menyelesaikan dua siklus penuh, atau dengan kata lain 3600 putaran mekanik sama dengan 7200 putaran listrik, oleh karena itu secara umum dapat dituliskan:

e =

p m 2

9. 6 FREKUENSI

Dari persamaan e =

p m diketahui bahwa satu siklus tegangan yang 2 dihasilkan mesin telah menyelesaikan p/2 kali putaran, karena itu frekuensi gelombang tegangan adalah f = p n 2 60

Kecepatan sinkron untuk mesin arus bolak balik lazim dinyatakan dengan: ns = 120 f p

Jadi misalnya untuk generator sinkron yang bekerja dengan frekuensi 50 Hz dan mempunyai jumlah kutub (p = 2), kecepatan berputar mesin tersebut adalah:
ns =
120 f 120 x 50 = 2 p = 3000 rpm

10. GENERATOR

10. 1 PRINSIP KERJA MESIN SINKRON

Mesin sinkron mempunyai kumparan jangkar pada stator dan kumparan medan pada rotor. Kumparan jangkarnya berbentuk sama dengan mesin induksi, sedangkan kumparan medan mesin sinkron dapat berbentuk kutub sepatu (salient) atau kutub dengan celah udara sama rata (rotor silinder). Arus searah untuk menghasilkan fluks pada kumparan medan dialirkan ke rotor melalui cincin. Apabila kumparan jangkar dihubungkan dengan sumber tegangan tiga fasa akan ditimbulkan medan putar pada stator, kutub medan rotor yang diberi penguat arus searah mendapat tarikan dari kutub medan putar stator hingga turut berputar dengan kecepatan yang sama (sinkron). Dilihat dari segi adanya interaksi dua medan magnet, maka kopel yang dihasilkan motor sinkron merupakan fungsi sudut kopelnya, yaitu:

T = Br Bs Sin
Pada beban nol harga delta sama dengan nol. Setiap penambahan beban membuat medan rotor tertinggal sebentar dari medan stator. Beban maksimum tercapai ketika delta = 900. Penambahan beban secara berlebihan akan mengakibatkan mesin kehilangan kekuatan kopelnya dan motor disebut kehilangan sinkronisasi.
10. 2 REAKSI JANGKAR

Apabila generator sinkron (alternator) melayani beban, maka pada kumparan jangkar stator akan mengalir arus dan arus ini menimbulkan fluks jangkar. Fluks jangkar yang ditimbulkan arus akan berinteraksi dengan yang dihasilkan kumparan medan rotor, sehingga menghasilkan fluks resultan sebesar:

R = F + A
Adanya interaksi ini dikenal dengan istilah sebagai reaksi jangkar. Kondisi reaksi jangkar untuk berbagai kondisi jenis beban adalah sebagai beriku: Arus sephasa dengan ggl, beban bersifat resistif Arus terdahulu sebesar sudut teta terhadap ggl, beban kapasitif Arus tertinggal sebesar teta terhadap ggl, beban induktif Arus terdahulu/tertinggal sebesar 900 terhadap ggl, beban bersifat kapasitif murni/induktif murni. Terlihat bahwa reaksi jangkar sangat tergantung pada sifat beban yang dilayani, dengan perkataan lain tergantung dari sudut fasa antara arus jangkar dan tegangan induksi

10. 3 ALTERNATOR TANPA BEBAN.

Bilamana alternator diputar dengan kecepatan sinkron dan pada rotor diberi arus medan, maka tegangan akan terinduksi pada kumparan jangkar stator:

E0 = c n
Dalam keadaan tanpa beban arus jangkar tidak mengalir pada stator, karenanya tidak terdapat pengaruh reaksi jangkar. Fluks hanya dihasilkan oleh arus medan. Apabila arus medan diubah-ubah harganya, akan didapat harga E0 yang berubah-ubah pula. Pada celah udara kurva permagnetan hanya berupa garis lurus.
10. 4 ALTERNATOR BERBEBAN

Dalam keadaan berbeban arus jangkar akan mengalir dan mengakibatkan terjadinya reaksi jangkar. Reaksi jangkar bersifat reaktif karena itu dinyatakan sebagai reaktans pemagnet. Reaktansi ini bersama dengan reaktansi bocor dikenal sebagai reaktansi sinkron Xs. Model rangkaian dan diagram vektor dari Alternator tanpa beban dapat digambarkan, dimana:

E = V + IRa + jIX s
10. 5 REAKTANSI SINKRON

Harga Xs diperoleh dari dua macam percobaan, yaitu percobaan tanpa beban dan percobaan hubung singkat. Dari percobaan beban nol diperoleh harga E0 sebagai fungsi arus medan, hubungan ini menghasilkan kurva permagnetan dan dari kurva ini harga yang akan dipakai adalah harga linearnya

(unsaturated). Pemakaian harga linear yang merupakan garis lurus cukup beralasan mengingat kelebihan arus medan pada keadaan jenuh sebenarnya dikompensasi oleh adanya reaksi jangkar. Percobaan hubung singkat akan menghasilkan hubungan antara arus jangkar sebagai fungsi arus medan, dan ini merupakan garis lurus, dengan demikian reaktansi sinkron dari mesin tersebut dapat diperoleh sebagai berikut:

XS =

E0 oa = I hs bc

10. 6 PENGATURAN TEGANGAN

Diagram vektor pada Gambar berikut ini memperlihatkan bahwa terjadinya perbedaan antara tegangan terminal V dalam keadaan berbeban dengan tegangan E0 pada saat tanpa beban, dipengaruhi selain oleh faktor kerja juga oleh besarnya arus jangkar yang mengalir Dengan memperhatikan perobahan tegangan V untuk faktor kerja berbedabeda pada gambar diatas, karakteristik tegangan terminal V terhadap arus jangkar I dapat digambarkan sebagai berikut: Pengaturan tegangan adalah perubahan tegangan terminal Alternator pada keadaan tanpa beban dan dalam kondisi beban penuh, dan dinyatakan dengan:

Pengaturan Tegangan =

E0 V V

11. MOTOR INDUKSI

11.1 PRINSIP KERJA MOTOR INDUKSI

Prinsip kerja beberapa motor induksi adalah sebagai berikut: Apabila sumber tegangan 3 fase dipasang pada kumparan medan (stator), akan timbul medan putar dengan kecepatan: ns = (120 f) / p

Medan putar stator tersebut akan memotong batang konduktor pada rotor. Akibatnya pada kumparan jangkar (rotor) timbul tegangan induksi (ggl) sebesar: E2s = 4,44 f2N2m (untuk satu fasa). E2s adalah tegangan induksi pada saat berputar Dimana kumparan jangkar merupakan rangkaian yang tertutup, maka ggl akan menghasilkan arus (I) Adanya arus (I) didalam medan magnet menimbulkan gaya (F) pada rotor Bila kopel mula yang dihasilkan oleh gaya (F) pada rotor cukup besar untuk memilkul kopel beban. Rotor akan berputar searah dengan medan putar stator Seperti telah dijelaskan pada (c) tegangan induksi timbul karena terpotongnya batang konduktor (rotor) oleh medan putar stator. Artinya agar tegangan terinduksi diperlukan adanya perbedaan relatif antara kecepatan medan putar stator (ns) dengan kecepatan berputar rotor (nr). Perbedaan kecepatan antara nr dan ns disebut slip (S) dinyatakan dengan Bila nr = ns , tegangan tidak akan terinduksi dan arus tidak mengalir pada kumparan jangkar rotor, dengan demikian tidak dihasilkan kopel. Kopel motor akan ditimbulkan apabila nr lebih kecil dari ns ns nr disebut juga sebagai motor tak serempak atau Dilihat dari cara kerjanya, motor S =induksi x100% asinkron n

10. 2 RANGKAIAN EKIVALEN

Kerja motor induksi seperti juga kerja transformator adalah berdasarkan prinsip induksi electromagnet. Oleh karena itu motor induksi dapat dianggap sebagai transformator dengan rangkaian sekunder yang berputar. Hingga rangkaian motor induksi dapat dilukiskan seperti pada Gambar 10.1.

I1

I2

R1

X1

R2

X2 I2I2

Vektor diagram dapat dilihat pada Gambar 10.2

Sedangkan rangkaian ekivalen motor induksi dapat dilukiskan pula seperti dalam Gambar 10.3

10. 3 DAYA MOTOR INDUKSI

Dengan memperhatikan model rangkaian diketahui bahwa: Daya masuk stator : P1 = 3 V1 I1 cos

Daya masuk rotor (terdapat pada celah udara) P2 = 3 V1 I2 cos atau 1 S P2 = 3 (I2)2 a2 [R2 + R2 ] S Daya keluar rotor ( daya mekanik pada rotor termasuk rugi geser dan angin). 1 S Pm = 3 (I2)2 a2 R2 S Rugi tembaga rotor : Pcu = 3 (I2)2 a2 R2 Jadi : P2 : Pm : Pcu P2 = Pm + Pcu = 1 : (1 - S) : S = (1 - S) + S

Dengan demikian diperoleh cara menghitung yang lebih cepat. Daya keluar rotor dapat juga diperoleh dari daya masuk rotor dikurangi rugi tembaga rotor (Pm = P2 - Pcu).

Contoh 1 a. Suatu motor induksi,1000 hp,2200 volt,25 cps, 12 kutub, 3 fasa hubungan bintang, mempunyai data sebagai berikut : R1 = 0,102 ohm ; R2 = 0,0992 ohm. X1 = 0,313 ohm ; X2 = 0.313 ohm. Pengukuran beban nol memberikan P = 15,2 kW pada cos = 0.053 terkebelakang, arus beban nol = Io = 75,1 amp. Jika slip = 0,018, tentukanlah daya output, kecepatan, kopel, daya input,faktor kerja dan efisiensi. Pemecahan :

Rangkaian ekivalen (satu fasa) pada gb. A dapat dijadikan seperti gb b, dimana V1 adalah tegangan pada titik xy dan dengan teorema Thevenin didapat hubungan: V1 = Vt Io (R1 + j X1 ) Dan secara pendekatan, kebesaran V1 dapat dituliskan ; V1 = Vt Io
( R12 + X 12 )

Vt =

2200 ( 3)

= 1270 volt

Maka, V1 = 1270 75,1

(0,102) 2 + (0,313) 2 = 1245 volt


V1
' 2

I2

( R1 + R / S ) 2 + ( X 1 + X 2 ) 2
1245 (0,102 + 0,0992 / 0,018) 2 + (0,313 + 0,313) 2

= 220 amp Sehingga : Daya keluar 1 S = 3 (I2)2 R2 S 1 0,018 = 3 (220)2 x 0,0992 x 0,018 = 789 kW = 1.060 hp 120. f 120 x 25 = 250 rpm = p 12

Kecepatan sinkron ns =

Kecepatan rotor : nr = ns (1 - S) = 242 rpm Kopel :


P 789.000 = = 30.600 newton-meter = 22.600 lb - ft WR 2x 242 / 60

Daya masuk = 789.000 + 3 (220)2 (102 + 0,992) + 15.200 = 833 kW Daya reaktip pada beban nol: 15,2 tan (cos-1 0,053) = 248 kvar Maka daya reaktip pada keadaan terbeban : 284.000 + 3 (220)2 (0.313 + 0,313) = 375 kvar Faktor kerja = cos (tan-1 375/833) = 0,912 Dan akhirnya efisiensi = 789/833 = 0.945 b. Kemudian jika pada soal 1a. dikehendaki motor mempunyai kopel maksimum pada saat start, berapakah tahanan luar yang diperlukan untuk maksud tersebut dan berapa harga kopel maksimum tersebut. Dan bila setelah start tahanan luar ini dihilangkan, tentukan slip ketika kopel maksimum dan berapa kecepatannya. Pemecahan : Pada saat kopel maksimum slip mempunyai hubungan sevagai berikut :

Sn =

' R2

R + (X1 + X )
' 2

' 2 2

, bila R1 dan X1 tidak diabaikan.

Misalkan tahanan luar dipasangkan pada rangkaian rotor, dan pada saat start, Sm = 1,0 maka : R2 = (0,102) 2 + (0,313 + 0,313) 2 = 0,032 ohm per fasa

Jadi Rluar = 0,632 0,0992 = 0,533 ohm per fasa ( harga ini adalah harga tahanan luar dari rangkaian rotor yang ditransfer ke rangkaian stator ). Arus rotor pada keadaan start : I2 =
1245 (0,102 + 0,632) 2 + (0,313 + 0,313) 2

= 1290 amp 12 (3) (1290)2 (0,632) 4 (25)

Jadi T =

= 121.000 N-m = 89.000 lb-ft Kemudian tahananluar dihilangkan, maka kopel maksimum terjadi pada saat slip Sm dimana : Sm = 0,0992 (0,102) 2 + (0,313 + 0,313) 2

= 0,157 Dan kecepatan rotor : nr = 250 (1 - 0,157) = 211 rpm Contoh 2 Suatu motor induksi, 3-fasa hubungan bintang, 220 volt ( tegangan jalajala ),10 hp, 60 cps, 6 kutub, mempunyai konstanta sebagai berikut : R1 = 0,294 ohm/fase ; R2 = 0,144 ohm/fasa X1 = 0,503 ohm/fase ; X2 = 0,209 ohm/fasa Xm = 13,25 ohm/fase ; Rc = diabaikan ( Go = 0 ) Jumlah rugi geser + angin + besi = 403 watt Jika slip 0,02, tentukanlah kecepatan rotor, daya mekanik, kopel, arus stator, faktor kerja dan efisiensinya. Motor dijalankan pada kemampuan tegangan dan frekuensinya. Pemecahan :

Rangkaian ekivalen motor dapat digambarkan sebagai berikut (per fasa). Impedansi Zf merupakan impedansi R2 / S + jX2 yang paralel dengan j XM . (ingat dasar rangkaian listrik).
' ' ( R2 / S + jX 2 )( jX m ) ' ' R2 + j ( X 2 + X m )

Zf = Rf + j Xf = =

(0,144 / 0,02 + j 0,209)( j13,25) 0,144 / 0,02 + j (0,209 + 13,25)

= 5,41 + j 3,61 = 6,75/32,40 = 220/( 3 ) = 127 volt (tegangan jala-jala) Arus stator = Ii = 127/6,75 = 18,8 amp Rotor daya = cos 32,4o = 0,884 Kecepatan sinkron = ns = 120 f/p = 1200 rpm = 20 cps Kecepatan rotor = 1200 (1 0,02 ) = 1176 rpm Daya yang ditransfer pada air gap = 3 (I2)2 .R2/S = 3 I12.Rf Daya masuk rotor = 3 (18,8)2 (5,41) = 5740 watt Daya mekanik pada rangkaian rotor (termasuk juga rugi geser + angin + besi) = (1 0,02) (5740) = 5630 watt. Maka daya mekanik (keluar) = 5630 403 = 5230 watt Kopel T =

P 5230 = = 42,5 n m = 7,0 hp 2x 20(1 0,02) WR

Efisiensi dihitung sebagai berikut : Rugi 1 tembaga pada stator = 3 (18,8)2(0,294) = 312 watt Rugi 2 tembaga pada rotor = 3 (0,02)2(5740) = 115 watt Rugi angin + geser + besi rugi total Daya keluar Daya masuk Jadi efisiensi = 5230 / 6060 = 0,863
10. 4 PENGATURAN PUTARAN

= 403 watt = 830 watt = 5230 watt = 6060 watt

Motor induksi pada umumnya berputar dengan kecepatan konstan mendekati kecepatan sinkronnya, meskipun demikian pada penggunaan tertentu dikehendaki juga adanya pengaturan putaran. Pengaturan putaran motor induksi memerlukan biaya yang agak tinggi. Biasanya pengaturan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara :
1. Mengubah jumlah kutub motor 120. f Karena ns = maka perubahan jumlah kutub (p) atau frekuensi (f) akan p mempengaruhi putaran. Jumlah kutub dapat diubah dengan merencanakan kumparan stator sedemikian rupa sehingga dapat menerima tegangan masuk pada posisi kumparan yang berbeda-beda. Biasanya diperoleh dua perubahan kecepatan sinkron dengan mengubah jumlah kutub dari 2 menjadi 4, seperti terlihat pada gambar berikut :

2.

Mengubah frekuensi jala-jala Pengaturan putaran motor induksi dapat dilakukan dengan mengubah-ubah harga frekuensi jala. Hnya saja untuk menjaga keseimbangan kerapatan fluks, perubahan tegangan harus dilakukan bersamaan dengan perubahan frekuensi. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengatur frekuensi dengan cara yang efektip dan ekonomis. Mengatur tegangan jala-jala Sa 2 R2 3 T= (V1)2 W ( a 2 R2 ) 2 + S 2 ( a 2 X 2 ) 2

3.

Dari persamaan kopel motor induksi diatas diketahui bahwa kopel sebanding dengan pangkat dua tegangan yang diberikan. Untuk karakteristik beban seperti terlihat pada gb. 59, kecepatan akan berubah dari n1 ke n2 untuk tegangan masuk setengah tegangan semula. Cara ini hanya menghasilkan pengaturan putaran yang terbatas (daerah pengaturan sempit).

11. Motor Induksi Fasa Tunggal


Motor induksi fasa tunggal memiliki bentuk yang sederhana dan harga yang relatif murah sehingga motor induksi ini banyak dipakai untuk keperluan motor kecil di dalam rumah tangga seperti kipas angina, peniup, pompa, mesin pendingin, air conditioning dan lain-lain. a. Fluks Arah Maju dan Mundur Struktur motor induksi fasa tunggal sama dengan motor induksi tiga fasa jenis rotor sangkar, kecuali kumparan statornya yang hanya terdiri dari satu fasa. Kumparan stator tiga fasa bila dihubungkan dengan sumber tegangan bolak-balik akan menghasilkan suatu medan magnet yang berputar terhadap ruang. Medan putar inilah yang pada dasarnya menjadi prinsip motor induksi. Fasa tunggal tidak menghasilkan medan putar. Sumber tegangan bolak-balik yang sinusoid menghasilkan fluks yang sinusoid pula d = m cos t . e = dt Fluks yang sinusoid ini hanya menghasilkan fluks (medan) pulsasi saja dan bukan fluks yang berputar terhadap ruang. Berikut ini diperlihatkan masing-masing keadaan fluks terhadap ruang (pulsasi) (gambar a; terhadap waktu, gambar b; sinusoid, gambar c; kedudukan vektornya di ruang).

Gambar 1 Bila keadaan fluks sebagai fungsi waktu adalah : = m cos t Maka fluks sebagai fungsi waktu dan ruang adalah : = m cos t cos Dimana t = kecepatan = sudut ruang Atau : = m cos ( - t) + m cos ( + t) Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya fluks yang dihasilkan oleh kumparan fasa tunggal merupakan fluks dengan dua komponen yaitu komponen fluks arah maju = m cos ( - t) dan komponen fluks arah mundur m cos ( + t). Kedua komponen fluks tersebut bergerak berlawanan arah dengan kecepatan sudut (t) yang sama sehingga kedudukannya terhadap ruang seolah-olah tetap. Kedua komponen fluks yang berlawanan arah tersebut tentunya akan menghasilkan kopel yang sama besar dan berlawanan arah pula (arah maju dan mundur) seperti terlihat pada gambar berikut :

Gambar 2 Kopel resultan yang dihasilkan oleh kedua komponen kopel tersebut pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk menggerakkan motor dengan arah maju atau mundur. Tetapi pada keadaan start kemampuan motor untuk maju sama besar dengan kemampuan gerak mundurnya, oleh sebab itu motor tetap saja diam. Apabila dengan suatu alat batu kita dapat memberikan sedikit kopel maju, motor akan berputar mengikuti kopel resultan maju seperti pada gambar 2 dan demikian pula sebaliknya. b. Motor Fasa Tidak Seimbang Motor fasa tidak seimbang mempunyai 2 kumparan stator yaitu kumparan utama (u) dan kumparan bantu (b) yang diletakkan dengan perbedaan sudut 90 derajat listrik. Kumparan Bantu mempunyai tahanan yang lebih besar daripada kumparan utama, sedang reaktansnya dibuat lebih kecil. Dengan demikian terdapat perbedaan fasa antara arus kumparan Im dengan arus kumparan bantu Ia (Ia terdahulu dari Im ). Motor berfungsi sebagai motor 2 fasa tidak seimbang, akibatnya terjadi medan putar pada stator yang mengakibatkan motor berputar. Kumparan bantu diputuskan hubungannya (saklar terbuka) ketika motor mencapai sekitar 75% kecepatan sinkron. Biasanya digunakan saklar yang terbuka oleh adanya gaya sentrifugal pada motor. Agar diperoleh beda fasa 90o antara arus kumpara utama Im dan arus

kumparan bantu Ia ( Ia terdahulu 90o dari Im ) maka harus dipasang kapasitor pada rangkaian kumparan bantu. Berbagai alat seperti kompresor, pompa, mesin pendingin yang banyak dipakai dirumah memang memerlukan kopel mula yang relatif lebih besar sehingga kapasitor motor cocok untuk digunakan.

12 Motor Arus Searah


Dalam prinsip, motor-motor arus searah tidak mempunyai perbedaan konstruksi dengan generator. Sebuah generator dapat bekerja di daerah kerja motor atau sebaliknya. Meskipun demikian, pada umumnya pemakaian menghendaki agar bentuk motor disesuaikan dengan syarat-syarat pemasangannya pada mesin yang harus diputarnya. Dengan demikian dapat dibedakan motor-motor khusus untuk kereta api listrik, motor mesin bubut, dan sebagainya. Demikian pula macam-macam penguatannya sama dengan yang ada pada generator. Gambar berikut menunjukkan secara berurutan rangkaian motor berpenguatan bebas, motor shunt, motor seri, dan motor berpenguat kompon.

Gambar 6 Bila sebuah motor dihubungkan pada sumber daya, sehingga arus jangkar mempunyai arah maka timbul gaya lorentz yang arahnya berusaha memutar motor kearah berlawanan arah perputaran jarum jam. Jadi dengan arah arus jangkar yang seperti itu, arah perputaran motor berlawanan dengan arah perputaran kerja generator. Seperti halnya pada generator yang dibebani, arus jangkar itu pun menimbulkan reaksi jangkar yang sama. Karena dengan arah arus yang sama arah perputaran kerja motor berlawanan dengan perputaran kerja generator, reaksi jangkar pada motor menggeserkan garis netral kearah berlawanan dengan perputaran motor. Pada mesin-mesin dengan kutub-kutub bantu, pergeseran sikat-sikat tidak diperlukan.

Dalam keadaan kerja sebagai motor, maka daya listrik merupakan input sedang daya mekanis yang tersedia pada mesin merupakan outputnya. Karenanya adalah penting untuk mengetahui bagaimana besaran-besaran mekanis ouput ini bergantung satu sama lain, dan bagaimana pula besaranbesaran ini dipengaruhi oleh besaran-besaran input. Besaran-besaran output yang terpenting dalam hal ini adalah kecepatan motor (biasanya dinyatakan dalam jumlah perputaran per menit, disingkat ppm) dan besarnya kopel yang diberikan motor tersebut. Besaran-besaran input yang mempengaruhi besaran-besaran ouput terutama ialah tegangan jepit sangkar dan arus medan. Daya yang tersedia pada poros tidak dapat lain diperoleh dari sumber listrik setelah dikurangi dengan kerugian-kerugian di dalam mesin itu sendiri seperti kerugian ohm dalam jangkar, kerugian magnetis, kerugian geseran dan ventilasi, dan sebagainya. Dengan pengertian ini dapat diperoleh hubungan antara besaran-besaran tersebut diatas dalam bentuk karakteristikkarakteristik motor. Persamaan-persamaan dasar yang terpenting untuk memperoleh karakteristik-karakteristik tersebut adalah :
Pembentukan Kopel

Kopel timbul karena adanya gaya-gaya lorentz yang bekerja pada batang-batang pengantar disekeliling rotor yang dialiri arus listrik dan berada di suatu medan magnet.

Gambar 7 Medan magnet terbentuk dengan pertolongan arus magnetisasi (Im) yang membangkitkan fluks magnet (). Induksi magnet B disetiap titik dicelah udara antara stator dan rotor (dengan mengabaikan pengaruh-pengaruh reaksi jangkar) dalam batas tertentu adalah sebanding dengan fluks . Arus yang mengalir pada sisi-sisi kumparan adalah sebanding dengan arus jangkar (Ia). Dengan demikian, karena gaya lorentz sebanding dengan BIa, sedangkan B sebanding dengan maka kopel yang diberikan motor adalah
T = k.F.R = kt . . Ia

dimana: k kt T F R = = = = = Konstanta Konstanta Kopel motor Gaya Lorentz Jari-jari rotor

Dalam batas-batas sebelum kejenuhan rangkaian magnet dicapai,

sebanding dengan arus medan Im, sehingga dalam batas-batas ini T sebanding dengan ImIa. Tampak bahwa untuk memberikan kopel yang cukup besar dan menghindarkan adanya arus jangkar yang terlalu besar sangatlah dikehendaki bahwa Im cukup besar (medan magnet cukup kuat). Bagi sesuatu harga Im tertentu kopel yang lebih besar (beban yang lebih berat) memerlukan arus jangkar Ia yang lebih besar dari sumber listrik.
Kecepatan Perputaran

Di dalam jangkar motor yang berputar akan timbul gaya gerak listrik (ggl) dengan symbol E. E sebanding dengan dan kecepatan perputaran n, sehingga dapat dirumuskan E = ke . n . U I a Ra E n= = Atau ke ke Dari rumus diatas menunjukkan bagaimana kecepatan motor berubah dengan tagangan jepitan U dan fluks magnet atau juga arus medan Im), pada suatu harga Ia tertentu. Tegangan jepit yang berakibat besarnya kecepatan dan sebaliknya. Arus medan mempunyai pengaruh berlainan karena ada di penyebut. Kalau Im diperbesar, bertambah, maka n berkurang. Kalau Im diperkecil maka n akan bertambah. Diantara berbagai karakteristik motor, yang terpenting adalah hubungan antara jumlah perputaran n dan kopel T, di bawah syarat tegangan jepitan U konstan.

Gambar 8 Dari gambar diatas diperoleh (1)


T sehingga bila disubtitusikan kedalam rumus sebelumnya maka akan didapat : Ia = kt (2)

U Ra n = berpenguatan T Pada motor-motor 2 bebas dan shunt tidak tergantung dari k k k e e t keadaan beban (dengan mengabaikan pengaruh reaksi jangkar). Bila keadaan rangkaian penguatan tidak diubah-ubah, maka dapat dianggap konstan bagi mesin-mesin ini. Ra adalah konstanta mesin yang harganya kecil. Jail dalam rumus (2) terlukis sebagai garis yang agak menurun (lengkung 1, gambar 8) dengan bertambahnya beban. Karena pengaruh reaksi jangkar, nilai tidak konstan secara eksak, sehingga garis tersebut agak sedikit melengkung. Pada motor-motor seri, langsung ditentukan

oleh arus beban itu sendiri, yang bertambah bila beban naik dan berkurang bila beban turun. Untuk hanya mendapatkan sekedar gambaran mengenai bentuk Ra karakteristiknya, bagian T yang cukup kecil itu diabaikan, ke kt 2 sehingga yang dipandang hanya U n= ke (3) Terlihat bahwa n sangat dipengaruhi beban, yaitu secara hiperbolis n turun sangat cepat bila beban bertambah. Dalam keadaan tak berbeban kecil sekali, sehingga bila dibiarkan n menjadi besar sekali. Mengingat hal ini motor seri tidak boleh diputar tanpa beban. Grafiknya kira-kira dinyatakan oleh lengkung 2 pada gambar 8. Motor-motor berpenguatan kompon disamping kumparan medan shunt juga mempunyai kumparan seri. Karena itu karakteristiknya ada diantara karakteristik motor shunt dan seri. Dalam keadaan tak berbeban, n tidak naik tak terhingga (lengkung 3, gambar 8). Di sisi lain kecepatan perputarannya turun lebih banyak dengan bertambahnya beban dibandingkan dengan motor shunt. Bagaimana bentuk karakteristik secara tepat tergantung dari pengaruh kumparan medan yang mana yang dirancangkan lebih besar. Hal ini dapat kita pelajari dari rumus (3) diatas, dengan meningat bahwa medan magnet merupakan jumlah dari medan shunt p dan medan seri s : = p + s Sehingga rumus (3) menjadi :

n=

U ke ( p + s )

(4) p sedikit banyak konstan, sedangkan s naik bila beban bertambah. Kalau s membantu s maka n akan turun bila beban motor naik, karena penyebut naik dengan beban. Karakteristiknya menjadi lengkung 3 seperti pada gambar 8. Akan tetapi kumparan seri dapat dirangkaikan demikian sehingga s melawan sehingga rumus (3) menjadi

n=

Dalam hal ini bila beban motor naik maka (p s) dari penyebut rumus (5) berkurang sehingga n akan naik bila beban naik. Kumparan seri dapat pula dirancang sedemikian sehingga kenaikan suku

U ke ( p s )

(5)

U = ke

U ke ( p + s )

dari rumus (2) seimbang dengan kenaikan suku

Ra T ke kt 2

dari rumus (2). Dengan demikian maka selisih kedua suku tersebut dinyatakan oleh rumus (2) praktis konstan sehingga diperoleh karakteristik yang mendatar.

Anda mungkin juga menyukai