Anda di halaman 1dari 226

1

Be Not Afraid
Overcoming the Fear of Death

Jangan Takut

Takut? Nggak!
Kematian: Kenapa Menakutkan?

Be Not Afraid
Overcoming The Fear of Death

Johann Christoph Arnold


kata pengantar oleh Madeleine LEngle

Jangan Takut

Be Not Afraid
Overcoming The Fear of Death
DM 220047 Copyright terjemahan Indonesia ada pada Penerbit Dioma 2008

PENERBIT DIOMA (Anggota IKAPI) Jl. Bromo 24 Malang 65112 Telp. (0341) 326370, 366228; Fax. (0341) 361895 E-mail: info@diomamedia.com Website: www.diomamedia.com

Diterjemahkan dari buku BE NOT AFRAID, by The Plough Publishing House, 2002 oleh M. Th. Silamurti S. Nugroho

All rights reserved Published under agreement with The Plough Publishing House 2002 by The Plough Publishing House, Woodcrest Community, Rifton NY 12471, USA Darvell Community, Robertsbridge TN32 5DR, UK

Cetakan pertama, Juni 2008

Editor: Yuven Sugiarmo dan Marcel Lombe Tata letak: Yosef Benny Widyokarsono Desain sampul: Sova WKB Hermanto

ISBN 10 : 979 - 26 - 0019 - 1 ISBN 13 : 978 - 979 - 26 - 0019 - 3

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penerbit. Dicetak oleh Percetakan DIOMA Malang Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Dalam hal inilah kasih Allah sempurna di dalam kita, yaitu kalau kita mempunyai keberanian percaya pada hari penghakiman, karena sama seperti Dia, kita juga ada di dalam dunia ini. Di dalam kasih tidak ada ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih. 1 Yoh 4:16-18

Daftar Isi

Kata Pengantar 11 Pendahuluan 15 1 Dasar 19 2 Rasa Takut 31 3 Putus Asa 41 4 Kehilangan Seorang Bayi 53 5 Rasa Hormat 61 6 Jiwa Yang Polos 69 7 Antisipasi 81 8 Kesiapan 89

10

Jangan Takut 9 Kecelakaan 99 10 Melebihi Ilmu Kedokteran 109 11 Dalam Tangan Tuhan 117 12 Penderitaan 129 13 Iman 143 14 Keberanian 153 15 Penyembuhan 165 16 Perhatian Penuh 175 17 Kematian 185 18 Dukacita 197 19 Kebangkitan 213 Epilog 223

11

Kata Pengantar
oleh: Madeline LEngle

Suatu senja ketika anak-anak saya sedang mengerjakan pekerjaan rumah, dan saya sedang menulis di meja, salah seorang tetangga saya, seorang remaja sekolah menengah atas, datang dan bertanya, Madeline, apakah engkau takut mati? Dengan sedikit menoleh saya menjawab, Ya, Bob, tentu saja aku takut. Ia menjatuhkan dirinya di kursi. Syukurlah. Tidak ada lagi orang yang berani mengakuinya. Kematian adalah sebuah perubahan, dan perubahan selalu menakutkan disamping juga merupakan suatu tantangan, tetapi sampai kita dapat mengakui perasaan takut itu, kita tidak mungkin dapat menerimanya sebagai sebuah tantangan. Sampai kita dapat mengakui perasaan takut itu, kita tidak akan pernah mendapat kepastian, jauh di dalam lubuk hati kita, bahwa sebenarnya, kita tidak takut pada kematian. Jangan Takut (Be Not Afraid) merupakan buku yang menakjubkan mengenai menghadapi kematian tanpa rasa takut meskipun secara normal kita mempunyai rasa takut dalam menghadapi kematian, tidak peduli berapa besar iman kita. Sesungguhnya,

12

Jangan Takut

hanya iman yang dalam yang dapat mengakui perasaan takut itu, dan kemudian beranjak pada pengertian bahwa Tuhan dapat bekerja melalui tragedi dan kegembiraan yang kita alami; bahkan ketika hal-hal yang tidak terduga dan penyakit mengecilkan hati kita, Tuhan tidak pernah mengecilkan hati kita. Saya juga bersyukur bahwa Jangan Takut menjelaskan paradoks penyalahgunaan karunia yang luar biasa dari kebebasan memilih, dan cara Tuhan menyusun rencana kasih-Nya bagi alam semesta. Tidak, Tuhan tidak pernah menjadi atau tidak akan pernah menjadi penyebab dari kematian seorang anak, tetapi Tuhan dapat campur tangan dalam segala hal, tidak peduli betapa sulitnya masalah itu. Tuhan dapat menolong kita dalam masamasa sulit tersebut, dan bahkan menjadi bagian dari masa-masa itu. Dalam sebuah masyarakat yang takut akan kematian bukan ketakutan normal seperti yang diekspresikan oleh Bob, tetapi ketakutan yang luar biasa yang mengelilingi kita ketika kita tidak memusatkan diri kepada Tuhan kita cenderung untuk mengisolasi mereka yang menghadapi ajal, mengatakan secara tidak langsung bahwa kematian itu sesuatu yang menular. Ya, kita semua akan mati; tidak ada pengecualian; tetapi kita tidak dimaksudkan untuk mati dalam kesendirian. Saya dibawa ke sebuah rumah sakit kanker yang baru dan indah di mana di setiap ruang terdapat sebuah meja kecil dari kayu mahoni. Meja tersebut, jika ditarik, dapat diubah menjadi sebuah tempat tidur, di mana seorang anggota keluarga atau teman dapat menemani orang yang sakit. Saya sangat beruntung berada di sisi suami saya, memegangnya, di saat-saat akhir hidupnya. Saya diberi

Kata Pengantar

13

karunia untuk berada bersama orang lain ketika mereka memasuki transisi yang luar biasa. Mungkin ketika saya menjawab pertanyaan Bob dengan jawaban, Ya, tentu saja, saya lebih merasakan kekaguman daripada ketakutan atau perasaan panik, suatu kekaguman yang sebagian dari kita takut untuk merasakannya. Seandainya saja seorang teman memberikan buku yang bagus ini kepada saya ketika suami saya meninggal. Buku ini menghargai kehidupan, dan dalam menghargai kehidupan ia juga menghargai kematian. Buku ini juga menghargai Dia yang telah menciptakan kita dengan penuh kasih. Tuhan datang untuk hidup bersama dengan kita seperti Yesus, untuk memperlihatkan kepada kita bagaimana cara hidup, dan bagaimana cara mati, dan ini memberi kita jaminan akan Kebangkitan, dan hidup kekal yaitu hidup yang tiada akhir, dalam kasih Tuhan selamanya. Goshen, Connecticut

14

Jangan Takut

15

Pendahuluan

Apakah Anda takut pada kematian? Apakah Anda tahu orang yang takut pada kematian? Apakah Anda pernah merenungkan bagaimana mengatasi rasa kehilangan dari orang yang Anda kasihi? Sadar atau tidak, setiap kehidupan cepat atau lambat akan berakhir, dan oleh karena itu setiap orang pada satu saat harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Itulah sebabnya mengapa saya menulis buku ini. Kita tidak dapat menghindari kematian. Kematian selalu membayangi hidup kita. Batas hidup kita lebih panjang dari batas hidup nenek moyang kita; gizi kita lebih baik; kematian bayi lebih sedikit. Vaksinasi melindungi kita dari wabah penyakit yang mengancam kehidupan di masa lalu; rumah sakit yang memiliki peralatan canggih menyelamatkan bayi-bayi yang lahir prematur dan para pasien yang membutuhkan ginjal atau jantung baru. Tetapi kita adalah makhluk yang fana. Bahkan ketika kita berhasil menghadang wabah yang memusnahkan generasi-generasi terdahulu, zaman kita tidak kekurangan wabah yang mematikan dari bunuh diri, aborsi, perceraian, dan kecanduan sampai pada rasisme, kemiskinan, kekerasan, dan militerisme. Seperti

16

Jangan Takut

dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II, kita hidup dalam budaya kematian. Kita juga hidup dalam budaya ketakutan. Takut akan usia tua, kita bersembunyi dari masa tua kita di rumah jompo. Takut akan kejahatan, kita melindungi diri dengan senjata api dan mengunci pintu rumah. Takut kepada orang-orang yang tidak sama dengan kita atau sederajat dengan kita, kita pindah ke lingkungan yang ekslusif . Takut pada negara-negara lain, kita menjatuhkan sanksi dan bom. Kita bahkan takut pada anak-anak kita sendiri, mengubah sekolah menjadi penjara, dan penjara kita menjadi tempat yang menakutkan. Tambahkan lagi beberapa kegelisahan ini yang membuat jutaan orang mengalihkan perhatian dan pikirannya kepada, paling tidak pada waktu buku ini ditulis: terorisme, perang-bio, dan pesawat terbang jatuh. Dengan delapan orang anak, dan dua lusin cucu, saya tahu bagaimana rasanya menghadapi masa depan dan merasa takut. Berdiri dekat tempat tidur temanteman dan saudara-saudara yang menjelang ajal dan bersama dengan mereka berjuang melawan ketakutan ini saya juga mempunyai nasihat apa arti menghadapi kematian. Yang lebih penting, saya sudah melihat kedamaian yang memancar dari mereka yang tidak hanya memerangi ketakutan mereka tetapi menemukan kekuatan untuk mengatasinya. Kedamaian itu memberi keberanian dan harapan kepada saya, dan dalam menceritakan kepada Anda kisah-kisah mereka, saya berharap Anda akan merasakan hal yang sama. Seperti layaknya manusia biasa, orang-orang yang ada dalam buku ini juga mengalami hari-hari buruk, pergumulan, rintangan, dan masa-masa sulit. Mereka menangis; mereka merasa takut; mereka butuh dikuatkan.

Pendahuluan

17

Banyak dari mereka pergi tanpa mendapat dukungan. Tetapi bagi saya maknanya terletak tidak dalam cara mereka meninggal, tetapi dalam cara mereka mempersiapkan kematian, disadari atau tidak; dengan menjalani hidup secara penuh, bukan bagi diri mereka sendiri, tetapi bagi orang lain. Tidak ada satu pun di antara mereka yang sempurna, tetapi dengan melayani suatu tujuan yang lebih besar dari tujuan hidup mereka sendiri, mereka dapat melihat lebih jauh dari kebutuhan mereka sendiri, dan keberanian untuk menanggung penderitaan tanpa dikalahkan oleh penderitaan itu sendiri. Baru-baru ini ada satu orang meninggal mendadak dan saya masih mengingatnya. Seorang imam Fransiskan dan pastor yang berkarya untuk dinas kebakaran, Romo Mychal Judge sedang melakukan pekerjaan hariannya di New York Citys Church of St. Francis ketika seorang rekan biarawan dengan tergesagesa masuk ke ruangannya dan mengatakan kepadanya bahwa ia harus segera berangkat ke lokasi kebakaran. Hari itu tanggal 11 September 2001; tempat tersebut, World Trade Center, yang baru saja dihantam oleh dua pesawat yang dibajak dan terbakar. Dengan mengenakan seragam ia bergegas ke kota, Romo Mike tidak lama sudah berada di lantai bawah dari Menara Kembar, di mana ia bergabung dengan ratusan orang sebagian besar tim penyelamat bersatu di tempat itu. Rincian dari apa yang kemudian terjadi sangat jelas: beberapa orang mengatakan ia mempersembahkan Misa terakhir untuk para anggota pemadam kebakaran yang menjelang ajal; yang lain mengingat ia sedang berdiri sendirian dalam doa hening. Apa pun yang terjadi di tengah kekacauan tersebut, ini adalah saat-saat akhirnya. Tidak lama sebelum Menara

18

Jangan Takut

Pertama ambruk, tubuhnya yang sudah tidak bernyawa ditemukan di lobi dan dibawa ke sebuah Gereja terdekat. Disamping pekerjaannya sebagai pastor untuk Dinas Kebakaran New York, Romo Mike seorang pembela yang berani bagi mereka yang sekarat karena AIDS; ia juga dikenal di seluruh kota karena kasihnya yang tulus. Dengan kantong penuh lembaran uang dolar bantuan dari temantemannya yang mampu, ia selalu mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang jalanan yang membutuhkan. Pada tahun 1999 saya dan Romo Mike melakukan perjalanan ke Irlandia Utara dengan seorang teman dekat, NYPD Detective Steven McDonald, mempromosikan dialog dan rekonsiliasi. Kami melakukan perjalanan kedua di tahun 2000, dan pada waktu kematiannya, kami sedang merencanakan hal yang sama dalam tahap akhir ke Israel dan Tepi Barat. Romo Mike menghabiskan hari-hari terakhirnya di dunia dengan membangkitkan semangat orang-orang untuk berpaling kepada Tuhan; atas dasar itu juga saya menulis buku ini: untuk membangkitkan semangat Anda dengan menunjukkan kepada Anda jalan menuju Tuhan. Dalam Dia, seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah ini, ada ketenangan dan kekuatan bahkan untuk jiwa yang paling gelisah sekalipun. Rifton, New York

19

Dasar

Adik perempuan saya Marianne yang berusia satu hari meninggal ketika saya berusia enam tahun. Saya tidak pernah melihatnya dalam keadaan hidup, tetapi ia sangat memengaruhi kehidupan masa kecil saya seperti juga beberapa orang yang hadir dalam kehidupan saya. Kelahiran dan kematiannya mempunyai pengaruh yang besar pada saya dan saudara-saudara perempuan saya, dan di kemudian hari juga pada anak-anak saya. Pada tahun 1947 keluarga saya tinggal di sebuah kelompok kecil komunitas Kristiani di daerah yang masih terbelakang di Paraguay, dan bekerja di sebuah rumah sakit yang masih primitif. Sebelum Marianne lahir, jantung ibu saya tiba-tiba berhenti setelah dua hari mengalami proses kelahiran yang sulit, proses kelahiran yang mengancam hidupnya. Untungnya, pekerja rumah sakit berhasil memompa jantung ibu, tetapi ia tetap berada dalam keadaan tidak sadar. Ayah memohon kepada para dokter untuk melakukan operasi cesar pada ibu, tetapi ia diperingatkan, "Istrimu akan meninggal jika kami melakukan operasi. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan jiwanya hanyalah dengan

20

Jangan Takut

mengorbankan bayinya; jika ini tidak dilakukan, ibu dan bayi tidak dapat diselamatkan." Ini benar-benar merupakan saat yang paling sulit: kedua orangtua saya percaya pada kesucian dari setiap makhluk hidup. Papa pergi ke hutan untuk berdoa. Ketika ia kembali, Mama telah sadar meskipun kondisinya masih kritis. Kemudian, tanpa diduga, bayi tersebut lahir secara alamiah. Selain sedikit memar di kepalanya yang disebabkan oleh alat yang digunakan dalam membantu kelahirannya, ia terlihat seperti bayi yang sehat. Orangtua saya sangat yakin Tuhan turut campur tangan dalam kelahiran ini. Tetapi Mama merasa ada masalah dengan bayinya. Marianne tidak menangis, ia juga tidak membuka matanya. Ia meninggal keesokan harinya. Beberapa minggu kemudian, Mama menulis surat kepada saudara lelakinya di Jerman:
Sungguh berat bagi kami untuk menerima kenyataan bahwa anak yang sangat kami nanti-nantikan kehadirannya, dan yang dilahirkan dengan penuh perjuangan, meninggalkan kami sebelum kami dapat melihatnya tumbuh dan berkembang. Kadang-kadang kami merasa ini hanya mimpi, sesuatu yang tidak nyata. Tetapi semakin dalam saya merenungkannya semakin saya merasa bersyukur bahwa Marianne dilahirkan dalam keadaan hidup. Ia telah membawa kegembiraan yang luar biasa dalam hidup kami, meskipun hanya sebentar, dan ia telah membawa kami lebih dekat satu pada yang lain. Dengan cara ini, meskipun hidupnya sangat singkat, saya merasa ia telah menjalankan tugasnya di dunia ini.

Bagi Papa, ia bersyukur kepada Tuhan sepanjang hidupnya karena ia tidak harus mengorbankan bayi tersebut. Pengalaman ini menguatkan keyakinannya

Dasar

21

bahwa setiap jiwa yang datang ke dunia, entah untuk waktu yang lama atau singkat, membawa rencana ilahi. Ia menurunkan keyakinan ini kepada saya dalam bentuk rasa hormat yang mendalam bukan hanya untuk misteri kelahiran tetapi juga kematian, dan untuk kesucian dari setiap hidup manusia, berapa pun usia kehidupannya. Pada waktu itu, saya masih seorang anak muda seperti anak-anak muda lainnya, nakal dan sering membuat masalah. Seperti kebanyakan anak laki-laki di tempat saya dibesarkan, saya senang menunggang kuda tanpa pelana dan secara diam-diam pergi berburu, saya senang melihat gauchos (koboi Amerika Selatan) menggembalakan ternaknya dan memacu kuda-kuda mereka dengan kencang. Saya berangan-angan suatu hari nanti akan menjadi seorang gaucho. Pengaruh Marianne masih terus ada dalam hidup saya, seperti biji yang secara perlahan tumbuh dan mengakar dalam hati saya. Pengaruh itu terus tinggal di hati saya. Kehidupan di surga subtropis kami penuh kemewahan, tetapi penyakit dan kematian juga mengikuti kami. Setiap hari kami melihat secara sekilas penderitaan umat manusia di rumah sakit misi, di mana saya dan Papa sering mengantarkan makanan dan keperluan rumah sakit. Banyak pasien yang menderita malnutrisi. Penyakit kusta dan T.B.C. merupakan hal yang biasa. Terdapat kasus kelahiran yang sulit, anakanak sekarat karena menderita sesak napas, meningitis, atau dehidrasi, dan orang-orang yang terluka karena jatuh dari pohon atau terluka oleh senjata tajam (machetes) setelah bertengkar di antara para pemabuk. Papa selalu menceritakan kepada kami anak-anaknya mengenai Yesus dan bagaimana Ia datang untuk orangorang miskin. Ia menceritakan berabad-abad yang lalu

22

Jangan Takut

banyak orang, pria dan wanita, yang meninggalkan segala miliknya untuk mengikuti Yesus. Salah satu cerita favorit kami adalah mengenai Vassili Ossipovitch Rachoff, seorang bangsawan Rusia yang masih muda yang meninggalkan keluarga dan kekayaannya dan berjalan dari kampung ke kampung untuk membantu mereka yang menderita dan menjelang ajal. Saya sering membuat renungan panjang mengenai Rachoff. Sebagai seorang remaja saya menghabiskan waktu beberapa bulan jauh dari keluarga untuk bekerja di sebuah rumah misi di Asuncion, ibu kota Paraguay. Pekerjaan saya yang utama adalah pergi ke rumah-rumah penduduk yang membutuhkan sesuatu dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak lazim di seputar rumah. Saya sering tidak mengikuti kebaktian hari Minggu tetapi pergi ke daerah perkampungan kumuh, di sana saya mempunyai banyak teman. Kondisi hidup mereka sangat memprihatinkan - gubuk-gubuk bambu didirikan berhimpitan dengan tempat pembuangan sampah yang berada di tengah-tengah perumahan tersebut. Lalat dan nyamuk sangat banyak dan mengerikan. Ratusan anak bermain di lorong-lorong rumah tersebut, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yatim piatu, dan pencuri yang andal. Beberapa dari mereka bekerja sebagai penyemir sepatu - lima sen untuk sepasang sepatu - pekerjaan yang cukup memikat saya sehingga tidak lama kemudian saya juga memiliki kotak yang berisi peralatan untuk menyemir sepatu dan bergabung dengan mereka di waktu senggang. Sedikit demi sedikit anak-anak ini menceritakan kepada saya mengenai kehidupan mereka. Kebanyakan dari orangtua mereka mati terbunuh dalam perkelahian atau meninggal karena penyakit tropis. Mereka melihat saudara kandung mereka meninggal karena sakit atau kurang gizi,

Dasar

23

dan mereka yang selamat harus melanjutkan hidup yang keras, menakutkan, dan berbahaya ini. Ketika revolusi meletus di kota, banyak pertempuran terjadi di jalanan. Kami mendengar deru tank dan tembakan senapan sepanjang malam. Dari rumah, kami mendengar suara desing peluru. Dari jendela rumah, kami melihat para tentara terbunuh. Ini adalah sebuah peperangan, saya berusia tiga belas tahun, terpisah dari keluarga, dan ketakutan. Bagaimana jika saya tertembak? Monika, bibi dari orangtua saya, yang tinggal di rumah itu bersama kami, tahu bahwa saya ketakutan dan ia berusaha menenangkan saya. Ia bekerja sebagai seorang perawat di garis depan pada masa Perang Dunia I, dan bercerita bagaimana para tentara yang sekarat meletakkan kepala mereka di kakinya dan menangis seperti anak kecil dalam kesakitan dan ketakutan akan kematian; bagaimana mereka menangis dengan penuh penyesalan atas dosa-dosa mereka; bagaimana penderitaan yang mereka rasakan karena tidak lagi dapat bertemu dengan orang-orang yang mereka kasihi. Melalui imannya yang dalam, Monika menyentuh mereka, menghibur mereka, dan membawa mereka kepada Yesus sebelum mereka meninggal. Tetapi pertanyaan-pertanyaan ini terus mengikuti saya: Mengapa orang harus meninggal? Dan mengapa begitu banyak terdapat kejahatan dan kekejaman di dunia? Monika membacakan untuk saya kutipan dari Roma 8 mengenai bagaimana semua ciptaan haus akan keselamatan. Ia mengurangi rasa takut saya, terutama rasa takut akan kematian. Seperti Papa, ia mengatakan kepada saya bahwa di suatu tempat di alam semesta ini, Kristus mempersiapkan sebuah tempat bagi kita, dan saya merasa ini merupakan suatu tempat yang nyata ada, bukan sesuatu

24

Jangan Takut

yang abstrak. Berulang kali saya diyakinkan kembali akan kepercayaan ini. Saya juga menemukan ketenangan dalam janji Yesus yang menakjubkan dalam Injil Matius, "Aku menyertaimu senantiasa, sampai akhir zaman." Kira-kira sepuluh tahun kemudian, saya sekali lagi menyaksikan kematian yang secara langsung menyentuh hidup saya secara pribadi. (Pada waktu ini keluarga saya bermukim di Amerika Serikat, setelah meninggalkan Amerika Selatan untuk membantu membangun sebuah cabang baru dari komunitas kami di Rifton, New York). Gerakan Hak Asasi Manusia sedang hangat-hangatnya dibicarakan, dan kita tidak dapat mengabaikannya. Martin Luther King merupakan tokoh yang (sampai hari ini) mengilhami saya. Keyakinannya pada keadilan tidak goyah, dan ia sama sekali tidak merasa takut, meskipun ia dibenci oleh banyak orang dan ancaman sering menghampirinya, bayangan kematian terus mengikutinya. Hari-hari sebelum ia dibunuh ia mengakui - dan menjelaskan mengapa ia tidak mau dikalahkan oleh rasa takut:
Seperti saudara sekalian, saya juga ingin berumur panjang. Umur panjang mempunyai tempat tersendiri bagi saya. Tetapi saya sekarang tidak memikirkan hal itu. Saya hanya ingin melakukan kehendak Tuhan dalam hidup saya. Ia mengizinkan saya untuk berada di atas gunung. Saya sudah melihat semuanya. Saya sudah melihat Tanah Terjanji. Tetapi saya mungkin tidak akan berada di sana bersama dengan saudara. Tetapi malam ini saya ingin saudara sekalian mengetahui bahwa kita sebagai sebuah bangsa akan sampai pada Tanah Terjanji itu! Jadi malam ini saya sangat senang. Saya tidak khawatir mengenai apa pun. Saya tidak takut kepada siapa pun. Mata saya sudah melihat kemuliaan Tuhan yang datang kepada kita!

Dasar

25

Bagi saya, kehidupan King membawa pesan penting dalam hidup saya. Di musim semi tahun 1965 saya dan seorang teman mengunjungi Alabama, dan merasakan sendiri kasih dan kerendahan hati King. Kami mengunjungi Tuskegee Institute ketika kami mendengar mengenai kematian Jimmie Lee Jackson, seorang anak muda yang delapan hari yang lalu mengalami luka serius ketika demonstrasi damai yang terjadi dekat Marion dibubarkan oleh polisi. Saksi mata di kemudian hari menggambarkan keadaan pada saat itu sangat kacau: pengamat kulit putih menghancurkan kamera dan menembaki lampu-lampu jalan sementara para polisi dengan kejam menyerang orang-orang kulit hitam peserta demonstrasi tersebut, banyak dari mereka yang berdoa di tangga-tangga Gereja. Jimmie, yang melihat seorang polisi nasional dengan kejam memukuli ibunya, melawan orang tersebut, perutnya tertembak dan kepalanya dipukuli dengan pentungan sampai hampir mati. Karena ia ditolak di rumah sakit lokal Jimmie dibawa ke Selma, di mana ia dapat menceritakan apa yang dialaminya kepada para wartawan. Ia meninggal beberapa hari kemudian. Ketika mendengar mengenai kematian Jimmie, kami langsung menuju Selma. Di Brown Chapel, jenazahnya dibaringkan di peti mati yang terbuka, dan meskipun mortisian telah berusaha sebaik mungkin untuk menutupi luka-lukanya, tetapi luka yang sangat parah di kepala tidak dapat disembunyikan: tiga luka yang panjang dan dalam, masing-masing panjangnya tiga inci dan dalamnya satu inci. Kami sangat terguncang, kami mengikuti kebaktian untuk ketenangan jiwa Jimmie. Ruangan tersebut dipenuhi oleh para simpatisan tempat yang tersisa untuk

26

Jangan Takut

duduk hanya ambang jendela di bagian belakang; di luar, lapangan juga dipenuhi oleh para simpatisan. Sangat mengagumkan, dalam kebaktian tersebut tidak terdengar satu kata pun yang membangkitkan kemarahan atau balas dendam. Sebaliknya, terasa suasana heroisme dan kedamaian yang terpancar dari setiap kongregasi. Dan ketika semua orang berdiri untuk menyanyikan lagu lama mengenai budak, "Ain't gonna let nobody turn me 'round," semangat kemenangan terasa sangat kuat dan tidak ada seorang pengamat pun yang dapat menduga mengapa kami berkumpul. Pada kebaktian kedua yang kami hadiri di Marion, suasana terasa lebih terkontrol. Berdiri di serambi pengadilan negeri di seberang jalan barisan panjang polisi nasional, dengan pentungan di tangan, melihat tepat ke arah kami. Mereka adalah orang-orang yang sama yang telah menyerang orang-orang kulit hitam di Marion beberapa hari yang lalu. Ketika kami meninggalkan kebaktian menuju makam, kami pertama-tama melewati para polisi tersebut, dan kemudian kumpulan hecklers (orang-orang yang mengganggu dengan ucapan yang mengejek) yang telah berkumpul dekat City Hall. Polisi yang telah dipersenjatai dengan binoculars, kamera dan senjata, mengamati dan mengambil photo kami masingmasing; para heckler, meskipun tanpa senjata, mengikuti kami dengan kata penghinaan dan cemoohan. Di pemakaman, King berbicara mengenai pengampunan dan kasih. Ia memohon kepada semua yang hadir untuk mendoakan para polisi, untuk mengampuni pembunuh Jimmie dan untuk mengampuni mereka yang memperlakukan mereka dengan buruk. Kemudian kami saling bergandengan tangan dan menyanyikan lagu, "We shall overcome."

Dasar

27

Meskipun pertemuan dengan Martin Luther King merupakan pengalaman yang membentuk pribadi saya, tetapi tidak ada yang dapat memengaruhi pandangan saya mengenai kematian dan menghadapi ajal seperti orangtua saya. Papa pada masa hidupnya banyak menderita. Beberapa kali ia sakit keras, sampai hampir meninggal, tetapi berkat mukjizat ia selalu dapat melaluinya. Mama, yang empat tahun lebih tua dari Papa, adalah orang yang penuh semangat, aktif dan jarang sakit. Kami anak-anaknya mengira Papa akan jauh lebih dulu menghadap Sang Khalik dibandingkan Mama. Tetapi Tuhan mempunyai rencana lain. Pada bulan September 1979 Mama didiagnosis menderita kanker pangkal getah bening. Dengan cepat kesehatannya menurun secara drastis, ia yang biasanya memberikan hidupnya untuk melayani orang lain sekarang harus dilayani - suatu kenyataan yang sukar diterimanya. Meskipun demikian, di tengah-tengah penderitaannya, ia percaya pada Tuhan dan menyerahkan segalanya sesuai rencana-Nya. Ia menemukan kedamaian dan menghadapi hari-hari akhirnya tanpa rasa takut. Pada hari di mana para dokter memberitahu keluarga kami mengenai penyakit Mama, orangtua saya menangis, dan kami juga menangis bersama mereka. Kemudian mereka saling memandang - saya tidak akan pernah melupakan kasih yang terpancar di mata mereka - dan kemudian memandang kepada kami anak-anaknya dan berkata, "Mulai hari ini setiap hari, setiap saat, berharga. Kita tidak boleh lupa untuk memberikan kasih kita kepada saudara-saudara kita, kepada anak-anak, kepada teman-teman kita." Mama mengatakan kepada kami untuk memercayakan semuanya ke dalam kebijaksanan

28

Jangan Takut

dan bimbingan Tuhan. Ini merupakan saat yang sangat mengharukan sekaligus menyentuh. Beberapa bulan kemudian, di musim dingin di tahun 1980, dalam jangka waktu dua minggu tiga orang anggota Gereja kami yang sudah tua meninggal. Ketiganya sangat dekat dengan orangtua saya dan mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun, kematian mereka sangat menyedihkan Mama. Kepergian mereka satu per satu membuat Mama semakin lemah. Pertama ibu dari ayah saya - Oma saya - meninggal pada usia sembilan puluh lima tahun. Kematian ini menyedihkan Mama karena Mama tidak cukup sehat untuk mempersiapkan tubuh Oma untuk dikubur atau menyiapkan ruang untuk tempat Oma dibaringkan. Ia selalu merasa merupakan suatu kehormatan melakukan hal ini "bakti terakhir untuk orang yang dikasihi," begitulah ia menyebutnya bagi para anggota dari komunitas kami. Ketika Dora, seorang wanita yang telah Mama kenal selama hampir lima puluh tahun meninggal dunia beberapa hari kemudian, saya membawa orangtua saya melayat Dora. Mama memandangi Dora dengan pandangan penuh kasih yang tidak pernah dapat saya lupakan, dan meskipun ia tidak dapat menghadiri pemakamannya, ia beranjak dari tempat tidur dan dengan gemetar berdiri di depan pintu dengan penuh rasa hormat ketika prosesi yang membawa jenazah Dora melalui rumah kami. Minggu berikutnya Ruth, teman sekolah ayah saya meninggal dunia. Pada hari pemakamannya, Mama berdandan dan duduk di tempat tidurnya. Jelas ini bukan karena Mama masih kuat untuk melakukan itu semua, tetapi ia memaksakan diri untuk memperlihatkan kasihnya yang mendalam dan rasa hormatnya untuk Ruth.

Dasar

29

Anak-anak dari Gereja kami sering mengunjungi Mama, dan keyakinan mereka bahwa ia akan sembuh mempunyai dampak langsung bagi Mama: ketika mereka datang mengunjungi Mama, ia penuh kedamaian dan sinar kegembiraan terpancar dari wajahnya. Sering ia berkata dengan menghela napas, "Anak, anak!" Ia tidak tahu kalau mereka sering berkumpul secara diam-diam untuk berdoa bagi kesembuhannya. Mama meninggal di bulan Maret 1980, lima bulan setelah penyakitnya didiagnosis. Kematiannya merupakan pukulan berat bagi ayah saya dan ia tidak pernah pulih seperti sedia kala. Papa dan Mama sudah menikah selama lebih dari empat puluh tahun, dan mereka selalu bekerja bersama, bergantung pada satu sama lain dan saling menasihati. Sekarang Papa sendirian. Selama dua tahun ke depan, kekuatan fisiknya dengan cepat menurun. Ia membaca Kitab Suci setiap hari dan jika memungkinkan ia mempimpin kebaktian. Ia juga selalu berbicara mengenai rencana Tuhan untuk semua ciptaan-Nya, dengan berulang-ulang mengatakan, "Hanya kerajaan Allah yang penting. Kita semua hanyalah makhluk yang lemah. Tetapi kita masing-masing merupakan kepanjangan tangan kasih Allah bagi dunia. Untuk itulah saya hidup; saya berani menyerahkan hidup saya untuk itu." Sikap seperti ini yang dimiliki oleh ayah saya sampai akhir hidupnya. Di minggu-minggu terakhir hidup ayah saya, ia sudah sulit untuk berbicara, tetapi duduk bersama dengannya tetap memberi kekuatan di dalam hati - jelas terlihat ia dekat dengan Tuhan, ia merasakan kedamaian. Ia meninggal di pagi hari di musim panas, dan merupakan kehormatan bagi saya, anak laki satu-satunya, menutup mata Papa untuk selama-lamanya.

30

Jangan Takut

31

Rasa Takut

Saya lahir di Inggris pada tahun 1940, di masa-masa penuh ketakutan. Pesawat tempur Jerman terbang tepat di atas rumah kami di pedesaan Costwold pada malam hari, menuju sebuah lokasi yang dekat dengan Birmingham, dan pada waktu mereka kembali mereka akan menjatuhkan apa saja yang masih tersisa dari pesawat tempur mereka. Beberapa kali bom jatuh dekat rumah kami, dan di kemudian hari ibu mengatakan bahwa ia sering merasa khawatir mengenai keselamatan anak-anaknya. Pada tahun 1955, ketika keluarga kami pindah ke Amerika Serikat, Blitz menjadi sebuah kenangan, tetapi perang lain menanti kami Perang Dingin sedang berlangsung, dengan dua negara adidaya berlomba membangun senjata pemusnah yang paling muktahir. Ketakutan dengan apa yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki masih sangat melekat dalam benak setiap orang tetapi histeria dalam membangun senjata nuklir sangat luar biasa. Sekolah- sekolah mengadakan latihan serangan udara, dan keluargakeluarga membuat bungker bawah tanah dan memenuhinya dengan makanan-makanan kaleng.

32

Jangan Takut

Surat kabar memberitakan adanya kemungkinan kotakota di Amerika diserang oleh Rusia. Bagi saya, tinggal di Amerika Serikat merupakan sebuah petualangan yang mengasyikkan. Tetapi juga menakutkan jika mengingat bahwa rumah kami di Rifton hanya berada dalam radius sembilan puluh mil dari New York City yang menurut para ahli akan menjadi neraka jika bom dijatuhkan di kota tersebut. Saya tidak pernah membiasakan diri dengan latihanlatihan serangan udara tersebut. Berulang kali saya melawan rasa khawatir akan bom dan perang, dan saya juga merasakan hal yang sama juga dirasakan oleh banyak dari teman-teman sekelas saya, meskipun kami sering bercanda mengenai hal tersebut. Tidak diragukan lagi, orang-orang generasi saya juga mempunyai perasaan serupa. Tentu saja rasa takut tidak terbatas pada waktu dan tempat. Ini merupakan emosi yang dirasakan secara universal jika tidak dapat dikatakan yang utama. Kita masing-masing sudah pernah merasakannya misalnya berbalik arah ketika dengan tiba-tiba melihat api menyala atau anjing yang beringas, atau menggenggam kayu dan meloncat ke belakang ketika sesuatu jatuh secara tiba-tiba di hadapan kita. Tetapi ada jenis ketakutan lain: ketakutan yang disebabkan oleh penyakit dan kenyataan menghadapi kematian. Ketakutan ini tidak ada hubungannya dengan menjaga diri sendiri. Ini merupakan ketakutan akan masa depan yang belum diketahui, ketakutan akan perubahan, dan mungkin yang paling penting, ketakutan dalam menghadapi hidup secara jujur dan kesadaran bahwa kita sebenarnya tidak memiliki apa pun. Matt seorang anak muda yang saya kenal berusia 22 tahun, beberapa bulan yang lalu merasa terpukul dengan

Rasa Takut

33

kenyataan bahwa ia mengidap penyakit kanker getah bening yang ganas, kami berbicara mengenai rasa takut dalam menghadapi kenyataan ini dan pembicaraan-pembicaraan kami terus membekas dalam hati saya. Seperti kebanyakan pasien yang baru saja didiagnosis mengidap penyakit yang serius, Matt, paling tidak pada awalnya, sangat memikirkan kondisi fisiknya dan menghujani para dokter dengan berbagai macam pertanyaan. Apa penyebab penyakit getah bening? Seberapa efektifnya pengobatan yang diberikan? Bagaimana kemungkinannya untuk hidup? Apa arti dari terminologi kedokteran ini atau itu? Namun demikian, dalam beberapa hari rasa ingin tahunya yang begitu besar yang menyangkut kondisi fisiknya berubah menjadi rasa ingin tahu secara spiritual. Ia seperti merasakan bahwa hidupnya sudah berubah, apa pun hasil dari pengobatan yang ia jalani, ia harus menata kembali hidupnya. Seperti yang di kemudian hari diingat oleh dokter keluarganya:
Saya menjenguk Matt dua hari setelah ia pulang dari rumah sakit dan melihat ia sedang menangis. Saya bertanya apa yang terjadi dan secara singkat ia mengatakan bahwa ia baru saja berbicara panjang lebar dengan ayahnya dan ia merasa bahwa ia harus mulai lebih menghayati arti hidupnya. Ia mengatakan ada halhal di dalam lubuk hatinya yang ingin ia sampaikan kepada seseorang. Ia juga mengatakan bahwa ia merasa takut dan kesepian. Saya menyarankan sebaiknya ia keluar untuk berjalan-jalan setelah beberapa hari kembali dari rumah sakit meskipun ia merasa tidak nyaman. Mungkin ini dapat membantu. Tetapi ia hanya melihat saya sekilas dan berkata, Hubungan saya dengan Tuhan tidak terlalu baik. Saya meyakinkan dia bahwa kita semua perlu menghayati arti hidup kita bukan hanya dia sendiri,

34

Jangan Takut
dan penyakitnya ini membantu kita semua menyadari betapa kita memerlukan Tuhan. Matt hanya terbaring di sana dengan matanya yang besar dan basah, menatap lurus ke depan, mencoba merasakan betapa seriusnya keadaan dirinya. Melihat pada Matt, saya tiba-tiba menyadari bahwa kita masing-masing memerlukan saat-saat seperti itu.

Pada hari yang sama, Matt mengirim e-mail kepada saya, di situ ia menulis:
Ada bacaan dalam Surat Yakobus yang saat ini saya rasakan penting bagi diri saya. Bacaan ini mengatakan dengan saling mengakui dosa kita masing-masing maka doa-doa kita akan didengar dan dijawab. Baru sekarang ini saya menyadari betapa pentingnya mengakui dosadosa saya dan menerima pengampunan, dan meminta pengampunan kepada orang-orang yang pernah saya sakitiini lebih penting daripada penyembuhan secara fisik. Jika keinginanmu untuk dekat pada Tuhan melebihi keinginanmu untuk tampil sempurna di hadapan orangorang di sekelilingmu, maka pengampunan merupakan sesuatu yang kita rindukan bukan sesuatu yang menakutkan. Saya mengalami hal ini secara pribadi ketika saya pulang dari rumah sakit. Saya tahu bahwa secara harfiah ini adalah masalah hidup dan mati memperbaiki hubungan saya dengan Tuhan jika saya ingin dapat melalui masa-masa ini dengan baik.

Pada hari-hari berikutnya Matt mengirim e-mail serupa itu kepada saya dan saya juga mencoba untuk membalasnya. Satu hal yang saya katakan kepadanya bahwa menderita penyakit kanker berarti melepaskan semua kekuataan diri kita, dan mungkin melalui penyakit ini Tuhan ingin berbicara kepada kita. Saya juga mengingatkan bahwa sampai sekarang ia memiliki semua yang ia inginkan: ia muda dan kuat, rupawan dan

Rasa Takut

35

berbakat. Baginya semua baik-baik saja. Tetapi mungkin Tuhan tidak dapat menggunakan semua anugerah yang Ia berikan kepadanya. Saya mengatakan, Matt, mungkin Tuhan harus membuatmu tidak berdaya, sehingga Ia dapat bekerja melalui kelemahanmu. Sekarang engkau harus memohon kekuatan untuk dapat menerimanya. Jawabannya sangat mengagumkan, Saya menyadarinya. Ini sangat sulit, tetapi itulah yang harus saya lakukan. Dalam beberapa bulan berikutnya, Matt berubah secara luar biasa. Sebelum ia didiagnosis mengidap kanker getah bening, ia adalah seorang yang humoris yang tidak punya rasa hormat dan suka berbicara dengan keras; dari luar ia terlihat seperti orang yang berbahagia tetapi sebenarnya ia adalah orang yang hancur berantakan. Tetapi enam bulan kemudian, ia menjadi orang yang sangat berbeda. Benar, kalau ia tidak pernah kehilangan sifat-sifat konyolnya, dan kadang-kadang masih merasa ketakutan, bahkan ketika mendekati akhir hidupnya. Tetapi dengan mengalami rasa sakit yang luar biasa siang dan malam, ia telah menjadi manusia baru, manusia yang lebih menghayati hidupnya. Dan setelah dapat menerima kenyataan pahit bahwa ia sedang menjelang ajalnya ia menghadapinya dengan tegar. Dengan melakukan ini ia mendapat kekuatan untuk menghadapi kematian dengan tenang. Tidak semua orang meninggal dengan tenang, dan ini bukan masalah emosi atau kepribadian. Kedamaian tidak mungkin didapatkan hanya dengan mengatasi masalah emosi seseorang, seperti yang selama ini banyak diyakini. Tidak diragukan bahwa hal ini dapat membantu kita mengurangi rasa takut terutama dengan membiarkan diri kita terlihat lemah, seperti yang dilakukan Matt, dan meminta bantuan dan dukungan

36

Jangan Takut

dari orang-orang yang kita percaya dan kasihi. Tetapi rasa takut tidak dapat dikuasai dengan menghilangkan emosi atau kemauan yang kuat. Bahkan seorang tentara yang paling kuat sekali pun akan memanggil ibunya di saat-saat menjelang kematiannya. Menurut pengalaman saya, terdapat korelasi yang jelas antara jiwa yang merasa takut dan jiwa yang keras. Bagi orang yang menyadari kelemahannya, ia akan merasa lega mengakui keterbatasannya dan meminta pertolongan. Namun, bagi orang yang mandiri yang melihat kelemahan sebagai suatu kekalahan, ini sangat menyakitkan, terutama jika ia selama bertahuntahun telah mengeraskan hatinya melawan ide mengalah pada kematian. Tiba-tiba ia melihat bahwa kepercayaannya terhadap kemampuan diri sendiri seperti ilusi dan menyadari bahwa bahkan orang yang paling kuat sekali pun tidak berdaya ketika berhadapan dengan kefanaan dirinya. Dalam memoar terbarunya, Body Toxic, pengarang Susanne Antonetta menggambarkan hal ini dengan jelas. Seorang wanita yang sempurna dalam segala hal, nenek Antonetta menjalankan rumah tangganya dengan tangan besi dan semua pendapatnya dari makanan, pakaian, jadwal, dan karir sampai pada pilihan pasangan anakanaknya dan nama yang akan diberikan untuk bayi-bayi mereka tidak dapat dibantah. (Jika ia tidak menyetujuinya, ia akan memvetonya). Tetapi ketika kematian mendekat, ia dikuasai oleh perasaan takut yang tidak dapat dikendalikan:
Sangat mengerikan melihat orang yang takut akan kematian. Tidak ada kata-kata klise jika kita menjalani kehidupan dengan baik, saat kematian menjemput kita akan dikelilingi oleh keluarga yang mengasihi, diingat

Rasa Takut
yang dapat mengurangi rasa takut kita. Kehadiran kami tidak berarti apa-apa baginya. Baginya kehadiran kami hanya dilihat sebelah mata. Ia menjadi kurus kering karena ketakutan, rahang bawah dan tulang rusuknya menciut, matanya liar terlihat bingung. Ia telah kehilangan keanggunannya sebagai wanita yang mandiri. Nenek saya meninggal tidak dengan tenang. Bukan hanya dihantui oleh kematiannya. Ia melihat hantu dan bayangan-bayangan yang menakutkan setiap malam ketika ia pergi tidur, yang bersembunyi di kamarnya dan menyerbu masuk melalui jendela. Hantu- hantu dan bayangan-bayangan ini membuat ia berteriak. Ia hidup dalam dunia roh-roh jahat. Pada waktu itu saya sudah tinggal jauh sehingga saya tidak tahu dengan jelas cerita mengenai nenek saya, hanya gambaran singkat dari ibu saya: Oh, sangat buruk.

37

Gambaran Antonetta mengenai kematian tidak indah, tetapi ini dapat dimengerti dengan menghubungkan antara pemahaman pribadi dan alam semesta. Tetapi sesungguhnya, kita tidak pernah sendiri, setiap saat kita dikelilingi oleh dua kekuatan yang saling bertentangan, kekuatan jahat dan kekuatan baik. Dan meskipun peperangan di antara keduanya terjadi dalam setiap peristiwa kehidupan kita, saya percaya peperangan ini paling intens terjadi ketika jiwa orang yang menjelang ajal berada di persimpangan jalan. Dorie, seorang teman dekat ibu saya tersiksa oleh pertentangan dua kekuatan ini bukan hanya di akhir hidupnya tetapi selama berpuluh-puluh tahun. Selama bertahun-tahun Dorie menjadi tetangga kami, awalnya sebagai bagian dari rumah tangga orangtua saya, dan setelah kematian mereka, sebagai bagian dari rumah tangga saya.

38

Jangan Takut

Banyak orang mengenal Dorie sebagai orang yang periang yang menemukan kegembiraan dalam membantu sesama. Ketika ada bayi yang lahir di lingkungan kami, ia menjadi orang pertama yang datang mengunjungi dengan membawakan buah-buahan, bunga dan menawarkan diri untuk merapikan rumah. Begitu pula jika kami menunggu kedatangan tamu. Tidak ada yang lebih memuaskan hatinya daripada memastikan bahwa ruang yang akan digunakan oleh tamu tersebut telah dibersihkan dan tempat tidurnya telah dirapikan. Ia kelihatannya selalu gembira, dan dengan senang hati melakukan pekerjaan sehari-hari yang membosankan. Ia tidak pernah mengharapkan atau menginginkan ucapan terima kasih. Meskipun demikian, jauh di dasar hatinya Dorie adalah seorang yang selalu gelisah, khawatir. Ia sulit tidur di malam hari dan selalu ingin ada orang di dekatnya. Ia khawatir akan segala tanda-tanda penuaan dan takut pada segala kemungkinan terjangkit penyakit dan ketidakmampuan fisik. Ketika berusia lima puluh tahun ia telah mulai mengkhawatirkan kematian. Syukurlah, keinginannya yang kuat untuk tetap berguna bagi sesamanya dan menyinari hari-hari mereka membuatnya tetap bertahan dan menjauhkan ketakutan yang menghantuinya dari membawanya ke ambang kehancuran. Kemudian penyakit kanker menghampirinya. Selama enam tahun Dorie berjuang dengan penuh keberanian melawan penyakit tersebut. Awalnya ia menjalani beberapa kali kemoterapi, pada setiap kali kemoterapi ia menjadi semakin khawatir dan sedih sehingga ia membutuhkan dukungan emosi dan konseling pastoral secara berkesinambungan. Untunglah, ia sembuh dan menikmati tahun-tahun hidupnya yang bebas kanker.

Rasa Takut

39

Tetapi penyakit itu kambuh lagi. Kali ini kanker tersebut menyebar dengan sangat cepat dan kami tahu Dorie tidak akan hidup lama. Ia betul-betul sangat kesakitan, dan radiasi yang diberikan hanya sedikit menolong. Duduk dan berbicara bersamanya kelihatannya sedikit lebih membantu. Bersama dengannya, saya dan istri saya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya: Apa itu kematian? Mengapa kita harus mati? Apakah ada kehidupan setelah kematian? Kami bersama-sama membaca bacaan-bacaan dari Kitab Suci mengenai kematian dan kebangkitan, dan mencari ayat-ayat yang dapat menguatkannya. Saya mengingatkan Dorie, bahwa ia telah melayani Tuhan dan orang-orang di sekelilingnya selama berpuluh-puluh tahun, dan saya katakan juga bahwa saya yakin Tuhan akan membalas kebaikannya. Seperti yang lainnya, minggu-minggu terakhir dari kehidupan Dorie merupakan perjuangan yang luar biasa, baik secara fisik maupun spiritual. Kita dapat merasakan bahwa ini bukan ketakutan yang biasa dialami oleh manusia, tetapi sebuah perjuangan yang keras untuk jiwanya. Ia seperti dikepung oleh kuasa-kuasa kegelapan. Istri dan anak-anak perempuan saya merawatnya sampai akhir hayatnya dan menemaninya melalui saat-saat pergumulan dalam hatinya. Suatu kali ia berteriak bahwa ada bayangan jahat masuk ke kamarnya. Dengan sedikit kekuatan yang ada padanya, ia melempar bantal pada bayangan itu, dan berteriak, Pergi, kegelapan! Pergi! Pada saat-saat seperti itu kami yang berada bersamanya berkumpul di sekitar tempat tidurnya dan berpaling kepada Tuhan dalam lagu-lagu pujian atau dalam doa. Dorie sangat menyukai the Lords Prayer; lagu itu selalu merupakan dorongan baginya.

40

Jangan Takut

Suatu pagi, setelah malam yang melelahkan, rasa takut Dorie tiba-tiba hilang, dan ia berkata, Aku hanya ingin bergantung pada Tuhan saja. Ia penuh dengan kegembiraan dan menantikan saat-saat yang luar biasa itu di mana Tuhan akan memanggilnya, dan ia merasa waktunya tidak lama lagi. Ia berkata, Hari ini ada kejutan: Kerajaan Allah sudah datang! Ketika Allah datang, aku akan lari ke luar untuk menyambutnya! Pada siang hari di hari yang sama itu ia berkata, Semua rasa sakitku telah hilang. Aku merasa jauh lebih baik! Terima kasih, terima kasih Tuhan! Tidak lama kemudian ia berkata dengan senyum di bibir, Tuhan akan memanggilku pulang malam ini. Pada malam hari, ia memanggil semua keluarga saya keluarga angkatnya ia mememeluk kami satu per satu sebagai pelukan perpisahan. Kami menyanyikan lagu pujian dan berdoa di samping tempat tidurnya, dan ia merasa damai sepanjang malam. Ia pergi meninggalkan kami untuk selamanya ketika fajar mulai menyingsing. Setelah mengalami perjuangan yang panjang dan berat seperti yang dilakukan Dorie, kepergian Dorie tidak lain merupakan suatu kemenangan. Ia tahu bagaimana rasanya dikuasai oleh perasaan takut yang mencekam, tetapi ia berpegang pada keyakinannya akan Allah yang lebih besar dari semua rasa takutnya dan yang tidak akan pernah membiarkan ketakutan itu menguasai dirinya. Dan ketika ia menghembuskan napas terakhirnya, ia melakukannya dengan tenang seperti mereka yang sudah menyadari apa yang dikatakan oleh para umat Kristiani perdana, bahwa dunia hanyalah sebuah jembatan antara kehidupan duniawi dan kehidupan kekal: Seberangilah jembatan itu, tetapi jangan membangun rumahmu di atasnya.

41

Putus Asa

Sebagian orang kelihatannya dapat melalui kehidupannya dengan baik, tetapi sebagian lagi harus berjuang keras untuk melalui setiap tahap kehidupannya. Kita tidak tahu mengapa demikian, tetapi kita tidak dapat menutup mata bahwa hal itu benar-benar terjadi. Sering kita menghindar untuk berbicara secara terbuka dengan orang yang bermasalah, takut kalaukalau nasihat kita disalahartikan sebagai turut campur dalam kehidupannya, atau bahkan malah mendorong orang tersebut ke jurang yang lebih dalam. Tetapi dalam menghadapi orang yang ingin bunuh diri karena depresi, saya melihat hal sebaliknya yang terjadi: orang-orang yang menderita ini sebenarnya mempunyai kerinduan yang sangat besar untuk dapat berbicara dengan orang lain secara terbuka mengenai apa yang mereka pikirkan. Tetapi tragisnya yang sering kali terjadi mereka tidak melakukan hal ini, karena mereka takut akan mendapat jawaban-jawaban yang penuh kegaduhan seperti Bergembiralah; kamu akan dapat mengatasinya. Setiap situasi itu unik, dan tidak mungkin mengantisipasi cara terbaik untuk menolong orang yang

42

Jangan Takut

sedang mengalami depresi. Pada akhirnya, kata-kata saja tidak dapat menolong seseorang. Kata-kata harus diikuti dengan dukungan hubungan kasih sayang yang meneguhkan, sehingga kita dapat menerjemahkan dalam tindakan apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus, bertolong-tolonglah dalam menanggung bebanmu, untuk memenuhi hukum Kristus. Di tahun 1970-an ayah saya membawa pulang seorang yang kecanduan alkohol bernama Terry. Ia seorang veteran berusia tiga puluh dua tahun dan tidak memiliki rumah. Ia pernah mengalami pelecehan seksual pada masa kanakkanak dan pengalaman tersebut meninggalkan kenangan yang mengerikan dan sering membawanya pada perasaan depresi yang mendalam. Papa banyak menghabiskan waktu bersamanya, mendengarkan, memberi konseling dan menjadi temannya. Papa juga sudah membuat rencana untuk memberi bantuan psikiater dan pengobatan kepadanya. Semua orang mengasihi Terry dan ia tinggal bersama kami lebih dari satu tahun. Suatu hari Terry meninggalkan kami, karena merasa dihantui oleh bayangan masa lalunya yang kelam. Tidak lama kemudian kami mendengar bahwa ia sudah meninggal karena bunuh diri. Berita ini sangat memukul kami, terutama ayah saya yang sangat mengasihi Terry. Kami seperti kehilangan salah satu anggota keluarga kami. Ayah menangisi Terry dan juga menangisi dunia yang terluka. Orang dapat mengatakan bahwa sia-sia saja membantu orang seperti Terry; karena ia sudah tidak mempunyai harapan. Tetapi menurut pengalaman saya berulang kali saya mendapati banyak orang yang terluka dapat disembuhkan dan dapat dibantu untuk mengatasi keinginan mereka untuk bunuh diri.

Putus Asa

43

Saya sudah lama memberikan bantuan pastoral kepada banyak orang yang mengalami depresi. Mereka yang datang biasanya mengalami kekacauan dalam hidup mereka dan perasaan kecewa yang mendalam dalam hubungan dengan orang lain, pekerjaan atau mengalami masalah-masalah keuangan, yang menggoyahkan keseimbangan emosi mereka. Tetapi banyak juga kasus yang tidak dapat dijelaskan secara rasional. Selama bertahun-tahun, kasus bunuh diri hanya dibicarakan secara sembunyi-sembunyi. Meskipun kita dikenal sebagai masyarakat yang mempunyai budaya toleransi, tetapi bunuh diri masih merupakan stigma dalam masyarakat. Bahkan sebagai topik pembicaraan masih dianggap tabu. Banyak orang menghindari pembicaraan mengenai kematian, apa pun penyebabnya. Apalagi kematian karena bunuh diri, mereka enggan untuk membicarakannya. Seberapa sering kita melihat bunuh diri ditulis sebagai akibat dari kematian dalam berita kematian? Sementara itu, menurut penelitian yang diadakan baru-baru ini, di Amerika Serikat saja setiap lima belas menit satu orang melakukan bunuh diri; dan anak-anak yang berusia antara sepuluh sampai empat belas tahun mempunyai kecenderungan dua kali lebih besar untuk melakukan bunuh diri dibandingkan satu dekade yang lalu. Jelas, bunuh diri merupakan masalah yang menghancurkan bangsa dan sudah merebak luas. Bagi kebanyakan kita, kata bunuh diri pernah terlintas dalam benak kita. Tetapi mengapa sangat sulit bagi kita membicarakan masalah ini? Mungkin karena keengganan kita untuk mengakui betapa dekatnya kita dengan perasaan putus asa.

44

Jangan Takut

Saya mengenal Jim sejak ia masih anak-anak, maka ketika ia jatuh cinta pada seorang wanita bernama Sheila, dan hubungan itu mulai berkembang, saya merasa terhormat dapat memberikan bimbingan pastoral kepada mereka. Saya sangat gembira bahwa di kemudian hari saya dapat memberkati pernikahan mereka. Awalnya kehidupan perkawinan mereka menyenangkan, dan dalam waktu satu tahun mereka mendapat anak laki-laki yang sehat. Kemudian di suatu pagi beberapa bulan setelah kelahiran bayi tersebut, di kantor Jim merasa gelisah. Ini sungguh sangat aneh, ia akan menjelaskannya nanti, tetapi ia merasa ada suara dari dalam hatinya yang mengatakan, Sheila dalam bahaya! Ia menelepon Sheila di kantornya. Ia tidak ada di sana. Kemudian ia menelepon rumah. Tidak ada jawaban, maka dengan panik, ia meninggalkan tempat kerjanya dan bergegas ke apartemennya. Ia menemukan surat di tempat tidur dan segera membukanya. Kemudian ia melihat ke kamar mandi. Di sana ia melihat Sheila, duduk kedinginan di lantai dengan sebilah pisau dapur dan sebotol minuman pemberi tenaga, Mortin, yang sudah kosong di sebelahnya Di kemudian hari, Jim mulai mengingat-ingat kembali dan mengenali tanda-tanda peringatan yang diberikan oleh Sheila tanda-tanda yang selama ini lewat dari perhatiannya atau sengaja ia abaikan. Ia ingat saatsaat di mana Sheila mencoba untuk mengatakan kepadanya mengenai pikiran-pikiran yang menakutkan yang sering datang menghantuinya, dan bagaimana ia mencoba untuk menenangkannya dengan mengubah topik pembicaraan. Ia akan dapat memahami keadaan depresi yang mendorong Sheila untuk bertindak. Tetapi pagi itu, ketika ia berjongkok di lantai kamar mandi dan menggoyang-goyangkan bahu istrinya, memanggil-

Putus Asa

45

manggil namanya di telinganya, apa yang ada dalam pikirkannya hanyalah, Mengapa? Setan keputusasaan bersembunyi di setiap relung hati manusia, dan jika kita jujur pada diri sendiri, kita harus mengakui bahwa kita masing-masing pernah merasakan sentuhannya yang tidak ramah itu. Putus asa merupakan musuh terbesar kita. Putus asa membuat kita kehilangan semua kegembiraan, semua harapan dan semua rasa percaya diri kadang-kadang bahkan keinginan untuk hidup. Tentu saja, sama seperti menghadapi penyakit, kita merasa tidak ada harapan untuk disembuhkan. Sering menyalahkan diri sendiri menjadi penyebab utama perasaan depresi. Banyak orang menghabiskan hidupnya dalam perasaan bersalah. Cepat atau lambat mereka tergoda untuk menghancurkan diri mereka sendiri. Kadang-kadang rasa bersalah mereka itu benar; kadangkadang hanya pikiran mereka saja bahkan kelemahan dan sifat-sifat buruk terlalu dibesar-besarkan sehingga menjadi sesuatu yang tidak lagi dapat dikendalikan. Perasaan tidak berguna dan tidak puas juga merupakan salah satu penyebab bunuh diri. Perasaanperasaan seperti itu sebenarnya normal saja. Ada saatsaat di mana kita merasa kita tidak layak untuk dicintai atau menerima persahabatan, seperti kumbang Kafka, kita merasa seperti serangga yang pantas untuk digencet saja. Banyak orang yang sudah tua melihat euthanasia sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka yang kompleks: kesepian yang disebabkan oleh kematian suami atau istri atau teman-teman, kehilangan kemerdekaan, dan perasaan tidak dicintai. Mereka takut menjadi beban bagi keluarga mereka, merasa sakit secara emosi atau fisik, dan mungkin yang sering dialami, menderita sakit yang lama yang membawa pada kematian.

46

Jangan Takut

Akhirnya, setiap orang, percaya atau tidak, berhadapan dengan kekuatan jahat sebagai sebuah kekuatan yang nyata. Ini merupakan kerja dari setan, yang disebut dalam Kitab Suci sebagai penuduh dan pembunuh sejak awal. Iblis tahu kelemahan kita dan menyerang langsung ke jiwa kita, dengan menggunakan segala cara, termasuk penyakit mental, untuk menjatuhkan kita. Iblis mendorong kita masuk ke dalam rasa putus asa dan depresi yang mendalam, masuk ke dalam kegelapan yang mungkin ada bersama kita selama bertahun-tahun. Jika kita melihat bunuh diri dari sudut pandang ini sebagai sebuah pertempuran antara kekuatan-kekuatan spiritual ini mendorong kita untuk melepaskan rasa putus asa dan kembali kepada kasih dan pengertian Tuhan yang tanpa batas kepada kita. Banyak dari mereka yang mencoba bunuh diri sebenarnya tidak benar-benar ingin mati. Perasaan putus asa mereka sebenarnya adalah teriakan minta perhatian, teriakan minta pertolongan. Ini tidak boleh diabaikan, tetapi harus diperhatikan dengan serius. Percobaan pertama yang gagal biasanya akan diikuti oleh percobaan kedua dan seterusnya. Tanpa bantuan dan kepedulian kita, percobaan ini hanya menunggu waktu untuk berhasil. Bagaimana kita dapat membantu orang-orang yang seperti itu? Banyak terdapat program pencegahan, dan inisiatif untuk membantu orang-orang seperti itu juga ada pada ahlinya. Tetapi kadang-kadang saya berpikir apakah kita tidak benar-benar bergantung pada para ahli. Ketika seseorang berada dalam kondisi putus asa, mungkin seorang ahli merupakan orang terakhir yang ingin ditemuinya. Apa pun alasannya, siapa yang dapat menerima analisa atau nasihat ketika ia sendiri tidak sanggup menghadapi dirinya sendiri? Tentunya kita tidak

Putus Asa

47

dapat mengabaikan penggunaan obat-obatan, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa dukungan sederhana yaitu mendengarkan apakah itu dari seorang teman atau anggota keluarga, pastor atau pendeta merupakan bantuan yang sangat menentukan. Bunuh diri berawal dari jiwa yang sakit dari jiwa yang haus akan kasih. Cara pencegahan yang terbaik adalah dengan membantu anak-anak sejak dini untuk merasakan kegembiraan dan menemukan tujuan hidup mereka serta mengarahkan pandangan mereka kepada Tuhan. Mungkin salah satu penyebab dari tingginya angka kematian dalam budaya kita adalah kita lupa pada dua perintah Kristus yang terbesar: Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.... Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Saya yakin, jika kita dengan serius merenungkan perintah yang sudah berusia ribuan tahun ini, perintah ini dapat memberi jawaban dan membantu kita mengatasi perasaan putus asa yang sangat dalam di dunia ini. Cara penyembuhan lain yang tidak boleh kita remehkan adalah doa. Betapa pun jelek dan tidak sempurnanya doa kita, tetapi doa merupakan obat penyembuh yang paling mujarab untuk perasaan putus asa. Dan meskipun kita tidak tahu bagaimana harus berdoa, kita dapat berpaling kepada Tuhan. Berdoa dengan menggunakan Mazmur dapat membantu, karena para pemazmur sering mengutarakan isi hati mereka dalam doa: Berilah telinga kepada perkataanku, ya Tuhan, indahkanlah keluh kesahkuDalam kesesakanku aku berseru kepada Tuhan, dan Ia menjawab aku dengan membebaskanku. Meskipun kita merasa

48

Jangan Takut

diserang oleh kuasa kegelapan dan Tuhan seperti berada jauh dari kita, doa merupakan sandaran utama. Ketika kita berdoa kita merasa seolah-olah kita bergantung pada tali yang Tuhan lemparkan kepada kita. Jika kita memegang erat tali tersebut tidak peduli betapa tertutupnya hati kita Ia dapat menarik kita ke dalam keselamatan dan kemerdekaan. Seperti yang dikatakan oleh Yesus dalam Injil Matius, Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Dan bagi mereka yang merasa tidak ada gunanya berdoa, Roma 8 memberi ketenangan: Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kitatetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Ketika ungkapan-ungkapan seperti itu tidak lagi dapat memberi ketenangan kepada orang yang berusaha untuk bunuh diri, semua tinggal tergantung kepada mereka yang dekat dengannya untuk memohonkan baginya dalam iman dan kepercayaan dan sekali lagi, untuk mendoakannya. Tidak peduli betapa kuatnya keyakinan seseorang bahwa ia sudah tidak dapat ditolong, tetap masih ada harapan untuk membuatnya bertahan, keyakinan bahwa orang lain akan terus berdoa baginya. Dengan cara ini ada perlindungan yang luar biasa. Seperti dikatakan oleh Dostoevsky, Sebuah doa yang diperuntukkan bagi orang yang tersiksa akan sampai pada Tuhan, dan itu benar. Tetapi bagaimana jika usaha kita yang paling baik untuk mencegah seseorang bunuh diri gagal, ketika orang itu tetap mengancam untuk bunuh diri? Menurut nabi Ibrani

Putus Asa

49

Yeremia yang mengatakan bahwa hidup manusia bukanlah miliknya sendiri; bukan manusia yang mengarahkan langkahnya, kita harus melakukan segalanya untuk menyelamatkannya. Tetapi kita tidak boleh melakukan hal ini dengan kata-kata yang keras dan menghakimi. Sebuah jiwa yang terluka memerlukan belas kasihan, bukan kutukan; dan selain nasihat, Yeremia sendiri yang dicobai dengan pikiran-pikiran untuk bunuh diri, menulis, Terkutuklah hari ketika aku dilahirkan!...karena hari itu tidak membunuh aku selagi di kandungan sehingga ibuku menjadi kuburanku.... Mengapa gerangan aku keluar dari kandungan, melihat kesusahan dan kedukaan sehingga harihariku habis berlalu dalam malu? Ada juga kutipan-kutipan lain dalam Kitab Suci, yang mengakui beratnya kehidupan, dan kecenderungan manusia untuk kehilangan harapan di saat-saat yang menekan. Mengutip tafsiran dari ayat-ayat dari Injil Lukas dan Kitab Wahyu, Di saat-saat akhir tidak ada lagi keinginan untuk hidup. Manusia berharap gunung akan runtuh menimpa mereka, karena mereka berharap mereka tidak pernah ada; mereka akan menunggu kematian, dan kematian akan menghindari mereka. Tidak ada satu pun dari kata-kata tersebut yang menyatakan secara tidak langsung bahwa bunuh diri itu baik atau merupakan pilihan yang dapat dibenarkan bagi orang yang benar-benar merasa depresi. Seperti banyak orang percaya, saya merasa bahwa membunuh diri sendiri hampir sama dengan pemberontakkan melawan Tuhan, dan itu salah. Tetapi apa yang saya maksudkan adalah: kita tidak berhak untuk mengatakan bahwa bunuh diri merupakan dosa yang tidak dapat diampuni. Hampir setiap orang pernah bergumul dengan pikiran-pikiran untuk bunuh diri, dan ketika seseorang benar-benar

50

Jangan Takut

mencoba untuk mengikuti pikiran seperti itu, mereka membutuhkan pengertian, bukan penghakiman. Di awal bab ini saya menceritakan mengenai usaha Sheila untuk bunuh diri. Penanganan secara medis yang diberikan tepat pada waktunya menyelamatkan hidupnya, dan setelah dua minggu tinggal di ruang perawatan kejiwaan di rumah sakit lokal, ia berubah seratus delapan puluh derajat dari ingin membunuh dirinya sendiri, menjadi ingin hidup ia kembali ke rumah bersama Jim. Tetapi ini bukan merupakan akhir dari cerita. Tidak lama, pikiran-pikiran jahat muncul kembali, dan selama beberapa minggu ia bergumul dengan godaan-godaan untuk bunuh diri, hampir setiap hari. Selama beberapa tahun ke depan kehidupan Sheila secara emosi seperti sebuah roller coaster ketika berada di atas ia mempunyai optimisme dan kepercayaan diri bahwa ia dapat disembuhkan, ketika berada di bawah ia harus ditenangkan dengan obat-obatan, konseling pastoral dan psikiater, serta doa yang intensif. Kadang-kadang hidupnya seperti perjalanan melalui neraka, sebagian besar dari kondisi ini terjadi karena perasaan bersalah yang dibawanya dari masa remajanya yang kacau dan tidak bahagia. Pada akhirnya ia merasa bahwa satu-satunya jalan untuk dapat menghadapi masa depan hanyalah dengan mengatasi perasaan bersalah tersebut dan mencari penebusan untuk itu. Sheila dan Jim sering datang kepada saya untuk meminta nasihat. Kadang saya dapat membantunya; kadang tidak. Di saat-saat seperti itu tidak ada yang dapat kami lakukan selain duduk diam dan memohon campur tangan dan pertolongan Tuhan.

Putus Asa

51

Sekarang, tujuh tahun setelah percobaan bunuh dirinya, Sheila sudah menjadi ibu dari tiga orang anak lelaki yang sedang tumbuh dewasa dan seorang anak perempuan dan ia tidak lagi mempunyai keinginan untuk bunuh diri. Ia tidak terlalu naf untuk mengatakan bahwa ini merupakan akhir yang bahagia, karena masih ada saat-saat, meskipun sangat jarang, di mana ia harus bergumul dengan perasaan takut dan tidak percaya diri. Tetapi setelah berjalan sejauh ini, ia merasa yakin bahwa ketika ia merasa sedih atau sendirian, Tuhan tidak pernah meninggalkannya. Kadang-kadang saya hanya percaya bahwa saya berada dalam tanganNya, katanya, meskipun kadang-kadang saya tidak merasakannya.

52

Jangan Takut

53

Kehilangan Seorang Bayi

Kelahiran seorang bayi merupakan salah satu mukjizat terbesar dalam penciptaan. Setelah berbulan-bulan dalam penantian dan setelah berjam-jam merasakan sakit dalam proses melahirkan, makhluk baru hadir ke dunia. Sejak dunia ada, anugerah hidup baru selalu dirayakan dengan penuh kegembiraan. Seperti yang dikatakan dalam Injil Yohanes, Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia. Tetapi terdapat kata-kata bijak dalam pepatah lama bahwa seorang wanita yang melahirkan mempertaruhkan hidupnya. Bahkan di zaman kita, setiap kelahiran selalu disertai dengan harapan untuk kesehatan ibu dan anak, dan selalu ada kemungkinan sesuatu tidak berjalan seperti semestinya. Berbicara mengenai emosi yang berkecamuk yang ada di seputar kelahiran anak pertamanya, Dorli, istri dari salah satu keponakan saya menulis:
Stephen lahir prematur, tujuh minggu lebih awal dari jadwal di sebuah rumah sakit universitas. Keajaiban dari suara tangisannya selalu hidup dalam diri saya. Itulah

54

Jangan Takut
satu-satunya suara tangisannya yang saya dengar. Saya hanya dapat melihat sekilas anak lelaki saya ketika ia dibawa untuk dilakukan pemeriksaan. Dua jam setelah kelahirannya saya dibawa dengan kursi roda ke ruang ICU untuk bayi yang baru lahir untuk melihat dan menyentuh anak pertama saya. Ia sangat kecil dengan berat kurang dari tiga pound, dan rambut hitam yang kasar dan tebal. Ia terhubung dengan semua alat monitor dan bernapas dengan menggunakan ventilator. Saya dipenuhi kegembiraan dan ucapan syukur atas mukjizat yang terjadi pada anak lelaki saya, dan sangat yakin bahwa ia akan hidup. Kemudian, suami saya Eddie mengatakan kepada saya bahwa ia tidak seperti saya terlalu yakin dengan masa depan Stephen. Sebagai seorang relawan ketika terjadi gempa bumi di Armenia pada tahun 1988, ia dapat melihat secara langsung beribu-ribu orang yang hidupnya dalam kondisi kritis dan menderita. Stephen hanya hidup dua puluh enam jam dan dua menit. Kelahirannya yang prematur ditambah dengan beberapa kondisi kesehatannya yang serius membuat sulit untuk dapat diperbaiki. Saya ingat air mata saya tidak berhenti mengalir ketika satu tim dokter membawa kami ke ruang konsultasi enam jam sebelum Stephen meninggal dan mengatakan kepada kami bahwa mereka mencurigai adanya kondisi genetik yang membawa kepada kematian dini. Saya memegang Eddie erat-erat dan mencoba untuk mengerti apa yang baru saja dikatakan. Dokter keluarga kami berada bersama kami di saatsaat sulit tersebut. Jelas terlihat bahwa Stephen sedang menanti ajalnya. Sangat berat bagi kami merelakan Stephen pergi bukan merupakan kata-kata yang tepat untuk saat itu, tetapi saya tahu jika saya membiarkan dia pergi, Stephen dapat pergi ke suatu tempat yang dapat memberi masa depan yang lebih baik daripada yang dapat kami berikan di sini. Saya menggendong anak lelaki saya ketika jiwanya kembali kepada Tuhan.

Kehilangan Seorang Bayi

55

Trauma kehilangan bukan hanya dirasakan oleh orangtua yang mengalami kematian anaknya, tetapi juga oleh mereka yang mengalami keguguran. Dalam melakukan konseling untuk pasangan saya menyadari adanya rasa sakit yang mendalam dan rasa kehilangan yang dirasakan oleh pasangan terutama ibu ketika mengalami keguguran. Alice, seorang tetangga yang kehilangan anak lelakinya berkata:
Kami mempunyai lima orang anak. Dengan anak kami yang kelima, Gabriel, kami tidak pernah sampai merasakan saat-saat bahagia seperti yang dirasakan oleh setiap pasangan dalam setiap kelahiran. Di tengahtengah kehamilan saya, saya merasa bahwa janin saya tidak dapat dipertahankan. Betapa kami sangat menginginkan anak ini, tetapi pada saat yang bersamaan kami juga tahu bahwa kami harus rela membiarkan ia pergi. Saya tidak siap untuk ini semua. Hal seperti ini hanya terjadi pada orang lain. Mengapa ini terjadi pada kami? Beberapa kali kami melihatnya dari ultrasound, sehat dan semuanya lengkap, seperti itulah kelihatannya bayi kami, makhluk hidup yang nyata keberadaannya. Mengapa ia diambil dari kami? Dan kemudian suatu hari jantungnya tidak lagi berdenyut. Sekali lagi dicek, jantung tetap tidak berdenyut. Janin saya sudah mati. Ia tidak dapat bertahan.

Setelah janin tersebut dikeluarkan, Alice dan suaminya dapat mengucapkan selamat jalan kepada anak lelaki mereka. Suatu pemandangan yang tidak dapat dilupakan, melihat Alice menggendong janin Gabriel yang kecil, kemudian dengan penuh kelembutan menyelimutinya dan meletakkannya ke dalam peti jenazah, yang dibuat dengan penuh kasih oleh seorang teman. Kami kemudian menemani orangtua itu ke pemakaman dan dengan sedih mengubur

56

Jangan Takut

bayi tersebut. Merenungkan pengalaman tersebut, Alice di kemudian hari menulis:


Saya rasa penting untuk membiarkan dan bahkan mendorong para orangtua untuk menghadapi kesedihan mereka. Jika ini tidak terjadi, penyembuhan akan memakan waktu bertahun-tahun, atau mungkin penyembuhan tidak akan pernah terjadi. Jangan terkejut jika untuk merasakan kedamaian cukup memakan waktu; kita harus siap untuk benar-benar merasakan rasa sakit. Duka itu akan selalu menyertai kita, tetapi kita harus dapat merasakan kedamaian.

Kematian seorang bayi bukan hanya merupakan peristiwa yang menyakitkan, tetapi juga merupakan ujian berat bagi iman kita. Kita berpikir, Mengapa Tuhan menciptakan anak itu, jika hidupnya singkat sekali? Ibu saya yang kehilangan dua orang anaknya, mengatakan bahwa ia tidak pernah menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Tetapi ia menemukan ketenangan dalam imannya bahwa Tuhan tidak pernah membuat kesalahan, dan bahwa setiap kehidupan membawa cap Penciptanya, bahkan hidup yang paling singkat sekali pun membawa pesan dari Sang Pencipta. Jelas, kematian merupakan suatu misteri yang tidak mempunyai penjelasan yang memuaskan. Tetapi ini tidak berarti kita harus menghindarinya. Budaya kita menghindari kematian, terutama ketika tubuh sudah hancur karena kecelakaan atau telah diotopsi. Banyak dari mereka yang bekerja di bidang medis dan keagamaan menyarankan untuk menutup peti jenazah sehingga para anggota keluarga tetap mempunyai gambaran yang baik mengenai orang yang meninggal tersebut. Tetapi nasihat serupa itu dapat menjadi bumerang. Bagaimana pun kematian merupakan akhir, dan tidak ada yang dapat

Kehilangan Seorang Bayi

57

mengubah kenyataan ini. Jane, seorang wanita, yang tidak seperti Alice, tidak pernah melihat bayinya, menulis:
Satu-satunya bayi perempuan kami meninggal ketika lahir; kami memakamkannya pada hari berikutnya di hari ulang tahun ayahnya. Bagian yang paling menyedihkan adalah kami tidak pernah melihatnya atau mendapat kesempatan untuk memeluknya. Ia lahir dengan operasi cesar setelah proses kelahiran yang lama dan sulit. Saya sakit keras, dan suami saya sendirian. Dokter menanyakan kepadanya jika mereka boleh membawa bayi kami ke rumah sakit umum untuk diotopsi dan ia menyetujuinya. Kehamilan saya normal, sehingga kami ingin tahu mengapa bayi kami meninggal ketika dilahirkan. Tetapi, mereka tidak pernah dapat mengatakan dengan pasti penyebab kematiannya, dan setelah kembali dari otopsi kami tidak pernah melihatnya lagi. Dokter menyarankan kami untuk tidak melihatnya, karena tubuhnya yang kecil telah hancur lebur penuh dengan potongan. Saya sendiri dalam kondisi kritis di ruang ICU selama dua minggu. Akibatnya saya tidak pernah mempunyai kesempatan untuk melihat atau memeluk bayi kecil kami. Meskipun dua puluh dua tahun telah berlalu, saya dan suami tidak dapat membicarakan mengenai rasa kehilangan kami. Hati kami terasa sakit. Kami marah karena mengizinkan bayi kecil kami diotopsi. Kami menyadari bahwa ini merupakan keputusan terburuk yang pernah kami ambil dalam hidup kami.

Dari pengalaman-pengalaman serupa itu, saya belajar betapa pentingnya bagi orangtua yang bayinya lahir meninggal untuk diizinkan merasakan bahwa bayi mereka sebelumnya hidup dan memiliki jiwa yang kekal, tidak berbeda dengan bayi lain yang dilahirkan dengan selamat. Dalam kedua kasus ini, memiliki rasa percaya bahwa

58

Jangan Takut

Tuhan menciptakan jiwa-jiwa yang kecil ini untuk suatu tujuan dapat memberi peneguhan bahkan ketika orangtua mencari-cari jawaban atas hidup anak mereka yang sangat singkat. Memberi nama pada anak tersebut juga penting dan mempunyai dampak penyembuhan, seperti juga membicarakan mengenai bayi tersebut dengan anak-anak yang lain, mengambil foto atau mengukur tinggi dan beratnya, atau menyimpan jejak kakinya hal-hal yang dapat mengingatkan mengenai anak tersebut di tahun-tahun mendatang, dan untuk mengetahui bahwa hidupnya bukan hanya sebuah mimpi. Leo Tolstoy, novelis terbesar Rusia, menulis hal berikut ini setelah kematian salah satu anaknya:
Sering sekali saya bertanya pada diri saya sendiri, dan banyak orang yang bertanya pada diri mereka sendiri Mengapa anak-anak harus mati? Dan saya tidak pernah menemukan jawabannya. Tetapi baru-baru ini, ketika saya tidak lagi memikirkan mengenai anak-anak ... saya merasa yakin bahwa tugas satu-satunya dalam kehidupan setiap individu adalah menguatkan kasih dalam dirinya sendiri, dan dalam melakukan hal itu, menyalurkan kasih itu kepada orang lain dan juga menguatkan kasih dalam diri mereka. Anak kami hidup sehingga kami yang ada di sekelilingnya terinspirasi dengan kasih yang sama; sehingga dalam meninggalkan kita, kembali ke rumah Bapa, yang adalah kasih itu sendiri, kami ditarik untuk lebih saling mengasihi satu sama lain. Saya dan istri saya tidak pernah sedekat ini sebelumnya, dan sebelumnya kami tidak pernah merasakan kebutuhan untuk dikasihi, kami juga tidak menyukai pertengkaran atau segala sesuatu yang jahat.

Tetapi rasa sakit kehilangan seorang anak tetap tidak secara otomatis mendekatkan orangtua. Pada kenyataan-

Kehilangan Seorang Bayi

59

nya, rasa sakit ini menguji ketahanan hubungan mereka. Dorli ingat:
Saat yang paling berat adalah sesudah pemakaman. Saya akan pergi, sering sendirian, ke makam Stephen dan menangis. Begitu cepat orang datang menghibur dengan katakata klise. Salah satunya adalah kepercayaan bahwa penderitaan dan rasa duka akan lebih mendekatkan pasangan satu sama lain. Kita tidak boleh berasumsi seperti itu. Hal itu mungkin terjadi, tetapi kematian seorang anak dapat juga membawa tekanan yang luar biasa pada perkawinan. Hal ini terjadi pada kami. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana Eddie dapat kembali bekerja dengan tenang (saya pikir), tidak pernah mengucurkan air mata. Saya, manusia yang lemah ini, tidak berhenti menangis selama berbulan-bulan. Gereja dan komunitas di sekeliling kami yang berdoa dan memberikan dukungan begitu juga faktor waktu yang akhirnya membantu saya untuk menerima kenyataan bahwa Eddie berduka dengan caranya sendiri. Saya tidak tahu apakah perkawinan kami dapat bertahan jika tidak ada nasihat yang penuh kasih, yang kadang-kadang tidak diutarakan dalam kata-kata. Ini semua merupakan suatu perjuangan. Saya masih sering mengejutkan Eddie dengan tiba-tiba menangis. Rasa kehilangan atas kematian seorang anak tidak dapat diperbaiki. Saya sudah dapat menerima rasa duka ini sebagai bagian dari hidup saya. Saya berharap untuk mengakhiri rasa sakit ini dengan kelahiran dari setiap anak setelah Stephen, dan meskipun rasa sakit tersebut tidak terasa terlalu nyeri, tetapi ia akan tetap ada sampai kami bertemu kembali.

Setiap kali seorang bayi atau seorang anak kecil meninggal dunia, kita diingatkan bahwa dunia ini bukan rumah kita yang sesungguhnya dan bahwa hidup

60

Jangan Takut

kita itu singkat seperti bunga, seperti rumput, seperti seekor kupu-kupu. Tidak soal berapa mudanya anak tersebut, tidak soal berapa jam, hari atau bulan waktu yang diberikan kepada kita untuk mencintai dan mengenal anak tersebut, rasa sakit karena kehilangan seorang anak tidak tertahankan; luka itu tidak pernah benar-benar sembuh. Apa yang dapat kita lakukan selain percaya, dengan para orangtua yang berduka, bahwa dalam Yesus ada kesembuhan, meskipun sangat lambat, hampir-hampir tidak terasa. Dalam diri bayi yang baru lahir kita melihat keluguan dan kesempurnaan, dan kita menantikan saat di mana seluruh alam semesta ditebus dan semua ciptaan menjadi sempurna lagi, saat di mana tidak ada lagi kematian. Kita percaya dan Kitab Suci meyakinkan kita bahwa ini akan terjadi ketika Yesus datang kembali. Penulis George Macdonald yang kehilangan anaknya, pernah menulis:
Jika setiap rambut di kepala kita dapat dihitung, dan Ia berkata sehingga mereka tahu, anak-anak kita tidak datang ke dunia ini tanpa direncanakan, tidak juga mereka hidup dengan bantuan dan kekuatan obatobatan; semuanya berjalan dalam kehendak surgawi dan peraturan penuh kasih. Sebagian dari kita harus merasa malu karena protes keras kita untuk saudara-saudara kita yang sudah meninggal. Kekasihku, kami dapat menunggu untuk melihat wajahmu, engkau telah pergi ke rumah Bapa-Nya, Bapamu, Bapa kita. Waktunya akan tiba, kebahagiaanmu dan kebahagiaan kita, dan semuanya akan bahagia.

61

Rasa Hormat

Setelah Ruby melahirkan anak keduanya, Ann, ia menghabiskan malam-malamnya, seperti dikatakannya, dalam kegembiraan yang tak terkatakan. Banyak hal yang harus disyukuri: kehamilan yang normal, bayi yang sehat dan cantik, dan David, anak pertamanya, sekarang memiliki saudara kandung untuk tumbuh bersama. Dua hari kemudian, Ann meninggal dunia. Seperti yang diingat oleh Dough, ayahnya:
Ketika Ann berusia satu hari, dokter mengatakan kepada kami bahwa ia sangat mencemaskan bayi tersebut, pada waktu bayi tersebut lahir ia sudah melihat ada sesuatu yang tidak beres dengan bayi itu. Mengapa ia tidak langsung mengatakannya, kami tidak tahu. Apa pun alasannya kami harus membawa Ann ke rumah sakit yang letaknya jauh sekali dari rumah kami (pada waktu itu kami tinggal di pedesaan di North Carolina), dan karena Ruby tidak melahirkan di rumah sakit tersebut, ia tidak diizinkan menginap untuk menemani bayinya. Kami tidak mempunyai pilihan selain kembali ke rumah. Menunggu merupakan sesuatu yang melelahkan. Waktu sepertinya berjalan lambat sekali, tetapi tidak ada yang dapat kami lakukan. Tidak ada hubungan langsung dengan rumah sakit tersebut.

62

Jangan Takut
Pada hari kedua, bayi perempuan kami menghembus-kan napas terakhirnya. Ruby tidak dapat dihibur ia menangis dan menangis. Keadaan semakin buruk ketika dokter mengatakan masalahnya kepada kami Rh kami tidak cocok dan mengindikasikan bahwa secara medis hanya ada sedikit harapan bagi kami untuk memiliki anak lagi. Saya meninggalkan Ruby, dan berkendara sendiri ke rumah sakit untuk membawa Ann pulang ke rumah untuk dimakamkan. Tetapi ketika tiba di rumah sakit, saya diberitahu bahwa jenazah anak saya sudah dikirim ke undertaker (seseorang yang mengurus pemakaman) setempat sesuai hukum negara bagian. Saya berkendara ke rumah duka, dan awalnya diterima dengan penuh keramahan dan kekhawatiran. Tetapi ketika undertaker itu mengetahui bahwa saya datang ke tempat itu bukan untuk membeli peti mati atau merencanakan pemakaman, ia menjadi dingin dan meninggalkan ruangan tersebut. Saya menunggu di lobi dengan keranjang bayi. Ketika undertaker itu kembali, ia membawa bayi kami dengan satu tangan, dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Saya mengambil selimut yang telah dibuat oleh Ruby, tetapi sebelum saya dapat melakukan apa-apa, orang tersebut menjatuhkan bayi perempuan kami ke dalam keranjang bayi. Ia orang yang dingin dan menjijikkan. Dalam perjalanan ke rumah yang jauh dan sepi, saya berjuang keras untuk dapat mengampuni orang tersebut. Saya mempersiapkan kuburan bagi anak kami di pekarangan rumah kami, dan bersama-sama kami memakamkan putri kecil kami dengan hati pedih.

Kisah Doug dan Ruby terdengar sangat ekstrem, tetapi kisah ini menggambarkan sikap yang berkembang subur di masyarakat sekarang ini. Sebut saja sinis, acuh tak acuh atau tidak berperasaan ini

Rasa Hormat

63

semua berawal dari sumber yang sama yaitu kurangnya rasa hormat pada kehidupan (dan hilangnya kehidupan), dan ini banyak sekali terlihat dari berbagai macam cara. Hal ini terjadi di rumah sakit di mana profesionalisme menuntut pasien dipanggil dengan nomor kamar ruangan dan bukan dengan namanya. Hal ini terjadi juga di rumah duka, yang sering mempromosikan pengeluaran yang berlebihan dengan mengindikasikan bahwa terlalu berhemat sama dengan tidak menghormati orang yang meninggal. (Siapa yang ingin diketahui sebagai keluarga yang mengeluarkan uang untuk membeli peti mati bagi ibunya?) Hal ini juga terjadi ketika anak-anak bertengkar meskipun di belakang layar mengenai surat wasiat dan harta warisan, dan mengabaikan orangtua yang sedang menghadapi ajal untuk mendapatkan hari-hari terakhir penuh kedamaian. Ketidaksopanan juga terlihat karena kurangnya rasa simpati kita untuk dapat ikut merasakan rasa sakit atau duka seseorang, dan oleh karena itu mencoba untuk memolesnya dengan kegembiraan yang dipaksakan. Linda, ibu dari orang muda yang saya sebutkan di bab sebelumnya, mengatakan bahwa usaha-usaha serupa itu cenderung hanya memperburuk keadaan:
Tidak lama setelah secara medis kami mengetahui bahwa sudah tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk kesembuhan Matt, seorang tetangga yang mempunyai niat baik dengan gembira mengatakan kepada suami saya bahwa ia tahu bahwa anak lelaki kami akan sembuh: Matt tidak akan meninggal. Saya tahu ia tidak akan meninggal. Tentu saja kami ingin memercayai hal itu juga. Tetapi apa artinya berpegang pada harapan yang sia-sia sementara jelas terlihat kesehatan Matt menurun

64

Jangan Takut
dengan sangat cepat? Ini tidak adil. Beberapa hari kemudian seorang teman datang menjenguk dan mengatakan kepada Matt bahwa ia masih terus mendoakan agar mukjizat terjadi. Matt menjawab, Terima kasih, tetapi saya sudah melalui itu semua. Yang terpenting sekarang adalah saya merasakan kedamaian.

Di minggu-minggu terakhir kehidupan Matt, Linda juga mendapati dirinya bergumul dengan apa yang ia rasakan kurangnya rasa hormat dalam menantikan saatsaat akhir bukan hanya dalam diri teman-teman anaknya, tetapi juga dalam diri anaknya:
Tiga hari sebelum ia meninggal, seseorang membawakan beberapa film sewaan untuk dilihat oleh anak saya, dan ketika saya mengatakan kekhawatiran saya bahwa ia mungkin menyia-nyiakan saat-saat akhirnya di dunia dengan menyenangkan dirinya, saya mendapati diri saya terlibat dalam pertengkaran keluarga. Orang-orang membawakan film video selama ia menderita sakit, dan meskipun saya tahu mereka bermaksud baik, tetapi saya selalu merasa tidak begitu nyaman dengan ini semua. Ini bukan masalah filmnya meskipun beberapa film yang ditontonnya tidak begitu bagus. Saya hanya merasa bahwa ia terlalu sering menonton, sebagai sebuah jalan keluar, sebuah cara untuk lari dari kenyataan. Saya pikir ini tidak sehat. Sejujurnya, saya juga merasa tidak nyaman dengan barang-barang lain yang dibawakan untuknya: bir, minuman keras, berlusin-lusin CD, poster, headphones, radio, stereo system yang baru dengan enam speakers , Rio player untuk merekam musik dari Internet, dan lain sebagainya. Saya ingat membicarakan mengenai hal itu dengan suami saya dan berpikir: Apakah ini merupakan hal yang paling baik memperlihatkan kasih kepada seseorang yang menderita penyakit kanker memberikan semua yang

Rasa Hormat
tidak bermanfaat kepadanya? Kami tahu ini tentu menghiburnya secara materi. Tetapi semua pemberian ini hanya berupa benda-benda sesuatu yang mengalihkan perhatiannya dari kenyataan yang ada dan isu kematian yang harus dihadapinya. Matt merasakan hal yang sama mengenai sebagian besar dari pemberianpemberian itu dan pada satu titik ia mengeluarkan sebagian besar dari benda-benda itu dari kamarnya. Bagaimana pun, saya berpikir Matt ingin menghabiskan waktunya yang mungkin menjadi siang terakhir dalam hidupnya dengan menonton film, dan saya mengatakan hal itu. Tetapi ia tidak sependapat dengan saya. Ia mengatakan, Saya hanya ingin tertawa dan melupakan hal-hal itu untuk beberapa jam saja! Mengapa ibu sekarang menjadi orang yang mengatur moral saya? Ia sangat marah. Saya menangis, karena saya berpikir, Anak yang malang ini hanya ingin melarikan diri selama beberapa jam. Apakah ia tidak berhak untuk melakukan hal itu untuk sedikit bersenang-senang? Disamping itu, saya baru saja membaca buku mengenai kematian dan menjelang ajal di mana penulis berbicara mengenai pentingnya menciptakan suasana damai di sekeliling orang yang sedang menantikan ajalnya. Dalam buku itu ditulis, jangan ada pertengkaran keluarga, dan di sini kami bertengkar. Ini benar-benar menghancurkan hati saya. Saya sendiri senang menonton film. Tetapi saya juga merasa, dan masih merasakan, bahwa terlalu mudah melarikan diri (atau membiarkan anak-anak kita melarikan diri) sehingga kita tidak perlu berurusan dengan hal-hal yang terlalu berat. Saya tidak hanya membicarakan mengenai penyakit kanker. Setiap kali kita berada dalam pergumulan pergumulan apa pun kita perlu memusatkan pikiran kita pada hal-hal yang dapat menguatkan kita, bukan mengalihkan pikiran kita, jika kita ingin dapat melaluinya dengan baik.

65

66

Jangan Takut
Dilain pihak saya berpikir, Matt kecewa karena saya dianggap terlalu mengatur hidupnya. Saya harus mendengarkannya. Mungkin ia mengatakan sesuatu yang harus saya renungkan.... Bagaimana pun ia sedang menantikan ajalnya! Tetapi ia tetap anak saya, dan saya tahu melarikan diri tidak baik baginya. Apakah saya mau mengambil risiko dengan tidak mengatakan apa yang mungkin sangat penting baginya? Ini merupakan saatsaat paling berat yang harus saya hadapi. Tidak lama kemudian, Matt tenang kembali dan mengatakan ia tahu apa maksud saya. Ia mengatakan bahwa jauh di dalam lubuk hatinya ia juga merasa bahwa menonton film merupakan pemborosan waktu sementara ia hanya memiliki sedikit waktu dalam hidup, dan ia sebenarnya ingin menghabiskannya dengan orang-orang lain. Ia bahkan berterima kasih kepada saya karena tidak menyerah.

Ini tidak berarti bahwa rasa hormat menuntut kita untuk terus bersedih. Bukan itu. Setelah Carole, seorang rekan, dikejutkan dengan penyakit kanker payudara, rasa humornya yang luar biasa membuat ia tetap bertahan. Suatu saat ia bahkan meminta setiap orang untuk mengirimkan lelucon favorit mereka kepadanya, dan semua lelucon yang dikirim melalui e-mail tersebut disatukan dalam sebuah binder untuk digunakan jika saya sedang sedih dan perlu hiburan. Dalam kasus Carole, berbagi kebodohan dengannya merupakan cara untuk menunjukkan rasa hormat dalam menghadapi hari-hari akhir. Tidak lama sebelum meninggal, ia mengatakan kepada saya:
Saya berkata sejujurnya: ketika waktunya tiba (seperti yang mereka katakan) saya berharap tidak ada orang yang menyanyikan himne. Saya berpikir saya sudah menuruni tangga kuburan saya. Kamu tahu, kata-

Rasa Hormat
kata dalam lagu-lagu itu mungkin mempunyai arti yang dalam, tetapi untuk alasan tertentu, mendengarkan mereka menyanyikan lagu-lagu tersebut mengingatkan saya pada hal-hal yang paling menyedihkan dalam hidup. Saya tahu seharusnya tidak boleh begitu, tetapisaya memerlukan energi, kekuatan untuk berjuang. Menakutkan bagi saya melihat orang-orang dengan pandangan sedih atau apa pun berdiri di sekeliling saya. Saya tidak tahu; saya merasa setiap kematian itu berbeda. Saya berharap ketika saya pergi permainan bola basket sedang berlangsung di lapangan dekat jendela kamar tidur saya dan musik yang hingar bingar terdengar dari lantai bawah

67

Melihat ini semua, apa artinya rasa hormat? Untuk menjelaskannya sesuai kamus tindakan yang menunjukkan rasa hormat atau perasaan hormat merupakan awal yang baik, tetapi kata-kata ini masih abstrak. Sejauh yang saya tahu, rasa hormat harus dialami sendiri untuk dapat dimengerti. Saya memulai bab ini dengan Ann, seorang bayi yang meninggal karena ketidakcocokan Rh dari orangtuanya. Beberapa tahun kemudian, setelah penelitian baru memberi harapan baru kepada Doug dan Ruby, mereka mencoba untuk mempunyai anak lagi. Tetapi sekali lagi, semuanya tidak berjalan dengan semestinya, dan bayi yang dikandung meninggal ketika dilahirkan. Meskipun demikian, kali ini rasa sakit itu dinetralisir oleh (dalam kata-kata Doug) penyembuhan dari dampak rasa hormat. Melihat pada harapan yang tinggi dari Doug dan Ruby rasa kehilangan yang mereka rasakan tidak kalah menyakitkan dari rasa kehilangan yang pertama. Tetapi sekarang ini, mereka tidak lagi sendirian dan ditangani oleh undertaker yang acuh tak acuh dan dingin, tetapi oleh kasih dari teman-teman, rasa simpati dari

68

Jangan Takut

seluruh kongregasi dan pengertian dari pastor yang meyakinkan mereka bahwa tidak ada hidup, tidak ada harapan yang berada di jalan kehidupan itu sia-sia. Dukungan ini memberi kekuatan kepada mereka, Doug mengatakan, bahwa ketika mereka tiba di pemakaman untuk memakamkan Frances di bawah sinar bulan, dengan membawa obor ia tidak cemas dengan tugas yang ada di hadapannya, tetapi ia merasa seperti sedang berjalan masuk ke dalam tempat perlindungan dan keselamatan yang abadi.

69

Jiwa yang Polos

Sebagai orang dewasa kita sering mencari jawaban atas teka teki kehidupan dengan mencoba menganalisa peristiwa yang terjadi dan penyebabnya. Kadang-kadang kita mendapat jawabannya; tetapi lebih sering tidak. Terutama dalam hal penyakit dan kematian, sepertinya selalu ada elemen misteri di dalamnya sesuatu yang memerlukan lebih dari sekadar penjelasan kita. Tetapi tidak demikian dengan anak-anak yang cenderung memiliki toleransi yang lebih besar untuk misteri. Bahkan jika mereka merasa kecewa pada apa yang orang dewasa mungkin melihatnya sebagai hal-hal yang sepele, mereka pada dasarnya lebih dapat menerima kehidupan seperti apa adanya, dan tidak menjadi lemah oleh keragu-raguan, pertanyaan-pertanyaan dan kekhawatiran mengenai masa depan. Anak-anak melihat segala sesuatu lebih berdasarkan kenyataan tidak seperti orang dewasa yang merepotkan, membesar-besarkan atau menginterpretasikannya secara berlebihan. Cassie Bernall, seorang remaja Colorado yang kematiannya menjadi berita utama dalam pembunuhan besar-besaran yang sangat terkenal di Columbine High School pada April 1999, merupakan sebuah contoh kasus

70

Jangan Takut

yang sedang dibicarakan. Ia dihadapkan pada pertanyaan Apakah engkau percaya pada Tuhan, oleh dua orang teman sekelasnya yang memegang senjata di perpustakaan sekolahnya dan dengan berani menjawab, Ya, dan langsung ditembak. Dalam beberapa hari pers internasional sudah memproklamirkannya sebagai seorang martir modern, dan simbol keberanian dan kesetiaan. Sementara itu bagi mereka yang dekat dengannya, tanpa mengecilkan arti keberaniannya, tetap mengatakan ia sebenarnya sama seperti layaknya para remaja lainnya, dengan masalah-masalah yang biasa dialami para remaja, tidak sempurna dan memiliki kelemahan-kelemahan. Seperti yang kemudian dikatakan oleh seorang teman kelasnya kepada ibu dari Cassie:
Orang dapat menjadikan Cassie seorang martir, tetapi mereka salah jika mengira bahwa ia adalah orang yang berjalan dalam kebenaran, orang suci, dan yang dilakukannya hanyalah membaca Kitab Suci. Karena Cassie tidak seperti itu. Ia seperti layaknya remaja masa kini. Dengan publisitas yang ia dapatkan cerita-cerita, T-shirts, web sites, bros yang berisi tulisan, penjepit saya rasa ia akan berontak. Ia mungkin berada di surga melihat semua ini dan berkata ya ampun, dan ingin mengatakan kepada semua orang yang terlalu memujinya bahwa ia sebenarnya tidak berbeda dengan remaja lainnya.

Ada alasan lain mengapa Cassie merasa heran kepolosannya dalam mengimani Tuhannya, menjadikan dia seorang martir dan ini membingungkannya karena tidak sesuai dengan arti kemartiran itu sendiri. Seperti yang diingat oleh ibunya, Misty:
Suatu hari, kira-kira seminggu sebelum kematian Cassie, kami duduk di dapur, mengobrol, dan sampai kepada pembicaraan mengenai kematian. Saya tidak

Jiwa yang Polos


tahu bagaimana bisa sampai ke subyek tersebut. Ia berkata, Mom, saya tidak takut mati, karena saya akan berada di surga. Saya mengatakan kepadanya saya tidak dapat membayangkan ia meninggal dan saya tidak dapat membayangkan hidup tanpanya. Ia menjawab, Tetapi Mom, Mommy tahu kalau aku berada di tempat yang lebih baik. Apakah Mommy tidak senang aku berada di sana?

71

Melihat ke belakang, pernyataan Cassie yang jujur dan terus terang mengenai kehidupan setelah kematian kelihatannya luar biasa. Sementara pernyataan tersebut telah memulihkan keyakinannya, pada waktu yang bersamaan ia terus berjuang mengatasi perasaan kehilangan anak perempuan satu-satunya: Tetapi Mom, Mommy tahu kalau aku berada di tempat yang lebih baik. Mary, seorang ibu yang juga kehilangan anaknya, mendapatkan penghiburan yang serupa dalam keyakinan bahwa anak laki-lakinya Pete berada di tangan Tuhan. Pete, seorang anak berusia lima tahun meninggal dengan cara yang sangat berbeda di New York City, pada musim panas tahun 1960 tetapi kepergiannya juga secara tiba-tiba. Pete adalah seorang anak laki-laki yang periang, dengan rambut pirang dan mata biru, dan senang bermain di bak pasir di depan rumahnya dengan mobil-mobilan dan truk-truknya. Ketika sekolah taman kanak-kanaknya berwisata ke Bronx Zoo pada pagi hari di bulan Agustus, ia sangat gembira. Ia mengenakan sepatu sneaker yang baru dan kemeja terbaiknya. Tidak ada yang pernah membayangkan bahwa ini adalah hari terakhir hidupnya. Kira-kira pukul tiga siang, ibunya menerima telepon dari Mt. Sinai Hospital: Pete dirawat di rumah sakit tersebut karena diperkirakan mengalami Heatstroke

72

Jangan Takut

(pingsan karena panas). Mary panik: suaminya, Wendell, sedang dalam perjalanan bisnis di Eropa, ribuan mil jauhnya, dan ia sendiri berada di tempat yang jauhnya sekitar dua jam perjalanan ke rumah sakit tersebut. Dengan diantar oleh tetangganya, ia langsung menuju ke kota. Ketika tiba di lobi rumah sakit, ia diberitahu bahwa anak lelakinya berada dalam kondisi kritis. Mengapa? Bagaimana? Apa yang telah terjadi? Ia menelepon ayah saya, pastor parokinya. Ia sangat terkejut, dan langsung menyebarkan berita ini ke seluruh kongregasi kami, dan mengajak siapa saja yang dapat datang untuk berkumpul mendoakan anak tersebut. Meskipun demikian, Pete tetap koma, dan kondisinya memburuk. Membingungkan, para dokter sudah melakukan semua yang dapat mereka lakukan; bahkan seorang dokter spesialis yang sedang tidak bertugas datang untuk melihat apakah ada yang dapat ia lakukan. Tetapi semuanya sia-sia. Kira-kira pukul sepuluh malam, semuanya berakhir. Sulit untuk dipercaya. Baru saja pagi tadi Pete meninggalkan rumah dengan penuh kegembiraan. Sekarang ia telah pergi untuk selamanya, dan ayahnya yang sedang dalam perjalanan pulang, belum juga tiba. Baru pada hari berikutnya, apa yang sebenarnya terjadi terungkap: ketika anak-anak sedang melihat seekor ibu monyet dengan bayinya, para guru menyadari bahwa Pete yang sebelumnya berada bersama mereka menghilang. Dengan kebingungan, mereka memberitahu para pejabat kebun binatang yang langsung mencarinya ke tempattempat yang diperkirakan disenangi oleh anak-anak. Akhirnya ia ditemukan, meringkuk, pingsan, di kursi belakang bus sekolah di halaman parkir. Bagaimana ia dapat menemukan jalan menuju bus sekolah di tengah-tengah

Jiwa yang Polos

73

keramaian kebun binatang dan sulitnya jalan menuju tempat parkir? Dan siapa lagi yang dapat membimbingnya ke sana kalau bukan malaikat pelindungnya? Satu hari setelah kematian Pete, lingkungan kami tertegun dalam ketidakpercayaan. Bukan hanya Mary dan Wendell saja yang merasa sangat kehilangan dengan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba ini tetapi juga setiap orangtua dan guru di komunitas kami. Tetapi, tidak demikian dengan anak-anak. Mereka lebih melihat pada kenyataan. Sehari sebelunya, mereka melihat-lihat binatang di kebun binatang; sekarang mereka membicarakan mengenai segala sesuatu yang akan dilihat Pete di rumah barunya, di surga, dan membuat gambar malaikat yang besar membawa Pete ke sana di tengahtengah bintang-bintang, Bima Sakti (galaxies), awan dan pelangi. Mereka juga ingat lagu-lagu yang disenangi Pete, dan menyanyikannya berulang-ulang. Empat dekade kemudian, Mary mengatakan bahwa meskipun waktu telah menyembuhkan lukanya, tetapi bagaimana dan mengapa Pete meninggal masih merupakan misteri baginya. Tetapi hal ini tidak menghalanginya untuk menerima kenyataan yang ada. Seperti teman-teman sekelas Pete, ia telah menemukan kedamaian dalam percaya kepada Tuhan: Saya sudah belajar untuk menerima kehendak Tuhan, meskipun saya tidak dapat mengerti kehendakNya. Seluruh hidup kita terlalu singkat untuk memahami apa yang ingin Tuhan katakan ketika Ia memanggil seorang anak kembali kepada-Nya. Tetapi saya percaya bahwa Ia selalu mengatakan sesuatu melalui peristiwa itu. Beberapa tahun yang lalu, sebuah keluarga yang saya kenal, kehilangan anaknya kali ini karena penyakit kanker. Tidak seperti kematian Pete, kematian

74

Jangan Takut

Mark John tidak datang secara tiba-tiba; tetapi peristiwa ini juga memperlihatkan bagaimana sikap jiwa yang polos dapat mengatasi kesedihan yang sering kita hubungkan dengan orang yang sedang menanti ajalnya, dan bagaimana sikap jiwa yang polos ini dapat mengubahnya menjadi suatu pengalaman yang memulihkan. Kutipan dari buku harian orangtuanya:
Para dokter di Yale-New Haven mengusulkan Mark John, yang pada waktu itu berusia tiga tahun, dipindahkan ke sebuah rumah sakit di New York City untuk menjalani kemoterapi secara ketat dan beberapa pengobatan baru yang masih dalam tahap uji coba. Ketika kami menanyakan kepada mereka seberapa jauh pengobatan ini akan membantu Mark John, mereka mengatakan paling jauh hanya memperpanjang hidupnya selama dua sampai delapan bulan, dan ia kemungkinan menjadi semakin lemah. Ketika kami terus mendesak, dengan enggan mereka mengakui bahwa ia dapat sangat menderita; bahkan mungkin meninggal dalam proses pengobatan itu. Kami memutuskan lebih baik ia berada di rumah, dekat dengan kami, daripada berada di rumah sakit, meskipun ia dapat hidup sedikit lebih lama. Ini merupakan keputusan yang menyakitkan, tetapi kami tahu bahwa hidup kita berada di tangan Tuhan, begitu juga dengan hidup anak lelaki kami ini. Dari hari ke hari Mark John menjadi semakin lemah. Setelah beberapa minggu pastor menyarankan kami membawanya ke kebaktian di mana kami dapat menyerahkannya kepada Gereja dan memohonkan doa baginya. Kami tahu Yesus dapat menyembuhkan dia, tetapi kami juga tahu mungkin Dia meminta Mark John kembali kepadaNya....

Kebaktiannya sangat sederhana. Pastor kami berbicara mengenai bagaimana Yesus mengenal semua anak di dunia

Jiwa yang Polos

75

ini, dan kami berdoa supaya kehendak Tuhan yang akan terjadi, dan kami siap untuk menerimanya. Paskah mempunyai arti khusus bagi kami, merenungkan sengsara dan penderitaan yang luar biasa yang dialami oleh Yesus, sengsaraNya dan keinginanNya untuk mendapat pertolongan, dan kemudian kebangkitan dan janjiNya kepada setiap orang yang percaya. Mark John dapat dipastikan adalah orang yang percaya. Ia percaya seperti Yesus mengatakan kepada kita seperti seorang anak. Di pagi Paskah kami membawa Mark John berjalanjalan dengan keretanya, dan ibunya bercerita mengenai surga, para malaikat dan Yesus. Ia mengatakan kepada Mark John bahwa tidak lama lagi ia (Mark John) akan pergi ke surga, dan ia akan menunggu kami dan suatu hari nanti kita akan berkumpul lagi. Ia mendengarkan, kadang-kadang menganggukkan kepalanya dan kadangkadang berkata, Ya. Belakangan, ketika semua anggota keluarga bergabung bersama mereka, ia menarik kakak perempuannya ke dekatnya dan berbisik dengan gembira, Natalie, sebentar lagi aku akan punya sayap! Setelah itu satu mata Mark John menjadi buta. Ia menangis ketika ia menyadarinya. Kami sangat tegang: Apakah ia akan menjadi buta sebelum Yesus memanggilnya? Kami sangat berharap ia tidak perlu mengalami penderitaan itu. Suatu hari ketika ia sedang berbaring di tempat tidur kami di antara kami berdua, ia bertanya kepada kami mengenai lukisan yang tergantung di dinding di depan tempat tidur kami sebuah lukisan Gembala yang Baik yang bersandar pada sebuah tebing yang curam untuk menyelamatkan seekor domba, dengan seekor burung pemangsa terbang di sekitarnya. Kami tahu seekor burung

76

Jangan Takut

pemangsa juga sedang terbang mengitari anak kami, tetapi ia tidak menyadarinya, ia penuh rasa percaya. Ia semakin mengerti ketika ia melihat gambar tersebut dan meminta kami untuk menceritakan mengenai gambar tersebut. Kami mengatakan kepadanya bahwa Yesus adalah Gembala yang Baik, dan kita semua adalah dombadombanya begitu juga dengan dia. Sangat menakjubkan bagaimana dengan penuh perhatian ia mendengarkan penjelasan kami dan sepertinya ia mengerti Sekarang ia sudah sulit untuk makan apa pun. Ia menjadi semakin kurus, dan kami takut ia akan kelaparan. Kami berpikir berapa lama anak-anak kami yang lain tahan untuk melihat penderitaan Mark John, karena penyakitnya secara perlahan telah merusak dan mengubah bentuk wajah dan tubuhnya. Tetapi bagaimana pun juga, kasih menunjukkan jalan kepada kami. Semua anak-anak kami ingin selalu berada bersamanya. Mereka benar-benar dapat menerima penderitaannya.... Suatu hari kami membungkukkan tubuh kami di hadapannya sementara ia terlentang di kereta kecilnya, ia mengulurkan tangannya yang kurus dan menangis dengan pilu, saya tidak bisa melihat, saya tidak bisa melihat! Kami mengatakan, Ketika kamu berada di surga ketika malaikat pelindungmu datang dan membawamu kepada Yesus kamu akan dapat melihat lagi. Tetapi ia tidak dapat dihibur. Ia bertanya, Kapan? Kapan? dan kami mengatakan, Tidak lama lagi. Ia membantah dan berkata, Tidak, sehingga saya harus menekankan, Saya janji. Setelah itu ia mulai tenang. Satu atau dua hari kemudian, ketika kami mengucapkan selamat tidur kepada Mark John, ia mengangkat tangannya dan berkata, Saya ingin menciummu, Mommy, dan ia memberi ibu sebuah

Jiwa yang Polos

77

ciuman seperti seolah-olah ia anak yang sehat. Ia pertama-tama mencium ibunya dan kemudian saya. Kami berdua sangat tersentuh dan bahagia karena selama beberapa hari ia tidak meminta dicium seperti itu: kepalanya yang kecil berpaling kepada ibunya dengan matanya yang tidak lagi dapat melihat.... Sering di hari-hari terakhir hidupnya kami berbicara dengan Mark John dan mengatakan kepadanya bahwa ia adalah seorang anak laki-laki yang pemberani, kami sangat gembira ia menjadi anak kami, dan ia selalu menjadi anak laki-laki yang baik. Dalam dua peristiwa ia memberi jawaban dengan penuh empati, menggelengkan kepalanya yang kecil dan berkata, Tidak, tidak. Ini membuat kami sedih. Kami tidak tahu apa yang ia maksudkan, tetapi melihat ke masa lalu kami merasa mungkin ia hanya ingin mengingatkan kami bahwa ia kadang-kadang nakal, dan ia minta maaf untuk itu semua. Di hari terakhirnya, ia muntah darah; dokter kami melihat kepada kami dan berkata, Tidak lama lagi. Kemudian kami menyanyikan sebuah lagu yang kami nyanyikan berulang kali di hari-hari terakhir hidupnya: Kami akan berjalan melalui bayangan lembah kematian. Ketika kami sampai pada refrain, Yesus sendiri yang akan menjadi pemimpin kami, Mark John berkata tanpa raguragu, Ya, ya, ya. Mark John diberi kekuatan yang luar biasa di saatsaat terakhirnya. Beberapa kali ia berkata, Ke atas, ke atas! Kami bertanya kepadanya apakah ia ingin pergi ke surga, dan ia berkata, Ya. Di satu titik kami berkata, Daag, Mark John, dan ia berkata, belum. Ini terjadi kira-kira satu jam sebelum Tuhan memanggilnya. Tidak lama kemudian, kami membungkukkan tubuh kami di hadapannya, ia tiba-tiba berkata, Tertawa!

78

Jangan Takut

Apa, Mark John? Tertawa! Tetapi mengapa kami harus tertawa, sayang? Karena, jawaban yang singkat tetapi penuh dengan empati. Dan kemudian ketika kami masih berusaha untuk mengerti apa yang ia maksudkan, ia mengulangi, Ayo tertawa! Kemudian kami mengatakan, Daag, Mark John, dan ia berkata, Daag. Kami mengatakan kepadanya kita akan bertemu tidak lama lagi, karena baginya hidup kekal akan datang tidak lama lagi. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya dan mengulurkannya ke atas dan menunjuk ke surga dengan dua jarinya, dan matanya memerhatikan dan melihat matanya yang buta yang tidak dapat melihat di dunia ini, sudah melihat jauh melintasi dunia kita dan memanggil, Bukan dua! Satu! Ia mengulangi ucapan ini dua atau tiga kali. Bukan dua! Satu! Ia melihat dua malaikat menjemputnya, tetapi kami selalu mengatakan kepadanya satu malaikat. Kemudian ia memalingkan kepalanya kepada ibunya dan mengatakan dengan jelas dan penuh kasih, Mommy, Mommy. Kemudian ia berkata, Papa, Papa. Seperti seakan-akan ia ingin menyatukan kami. Dan kemudian dengan cara yang mengagumkan yang merupakan karakteristiknya, ia menganggukkan kepalanya, ia berkata, Mark John, Mark John. Seperti seolah-olah ia mendengar Yesus memanggil namanya, dan ia mengulanginya. Kami belum pernah mendengar ia memanggil namanya seperti itu. Kami membungkukkan tubuh kami di hadapannya, dan kemudian dua atau tiga kali ia mengangkat tangannya

Jiwa yang Polos

79

dan menunjuk ke surga dengan tangannya yang kurus yang selama beberapa hari ini sudah terlalu lemah untuk mengangkat cangkir ke mulutnya. Setelah itu, berjuang untuk dapat bernapas, ia memanggil, Mommy, Mommy, Mommy, Mommy. Ellen berbicara kepadanya dengan lembut dan menenangkan.... Ia masih bernapas dengan berat tetapi kami tidak lagi dapat merasakan denyut nadinya. Lalu hembusan napas terakhir yang menyakitkan. Kematian telah mengambil tubuhnya, tetapi jiwanya telah menang dan bebas. Kami memanggil-manggil anak lelaki kesayangan kami, Mark John, Mark John! Tetapi ia telah pergi untuk selamanya. Dokter kami mengatakan, Semuanya telah selesai. Jiwanya telah bebas dan berada bersama Tuhan. Ia tidak lagi merasakan sakit. Kami bertanya, Apakah Anda benar-benar yakin? Ia menjawab, Saya sangat yakin. Ini terjadi kira-kira pukul tiga atau empat pagi Ketika kami merenungkan kembali malam itu, kami sekarang dapat melihat bahwa Mark John secara perlahan bergerak menuju dunia lain. Ia pergi dengan penuh keyakinan dan bahkan dengan penuh kegembiraan. Ini seperti kami berdiri di hadapan pintu hidup kekal, dan kami telah membawanya sejauh itu, tetapi kemudian kami harus meninggalkan dia. Ia akan masuk ke dalam, dan kami harus menunggu.

80

Jangan Takut

81

Antisipasi

Meskipun dalam keadaan normal pikiran mengenai kematian merupakan hal yang paling akhir yang ada dalam benak sebagian besar dari kita, tetapi ada saatnya dalam situasi yang mendesak pikiran itu menguasai benak kita. Ketika kita melihat kecelakaan fatal yang terjadi di jalanan; serangan teroris, bencana alam, atau kejahatan dengan kekerasan yang ada dalam berita; diagnosa penyakit serius seperti kanker dari orang yang kita kenal atau kasihi semua ini mengingatkan kita bahwa kematian dapat datang kapan saja. Tiba-tiba kematian bukan merupakan sesuatu yang jauh dari kita sesuatu yang hanya dirasakan oleh orang lain tetapi merupakan sesuatu yang mau tidak mau harus kita hadapi. Bagaimana kita menghadapinya apakah dengan rasa takut atau dengan keyakinan itulah yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya. Saya bertemu dengan orang-orang yang mengatakan bahwa mereka lebih memilih untuk meninggal dengan cepat daripada harus mengalami penderitaan panjang sebelum meninggal. Tetapi dalam tiga dekade pelayanan saya memberi konseling saya belum pernah bertemu

82

Jangan Takut

dengan orang yang menghadapi ajal yang tidak mensyukuri kesempatan yang diberikan kepadanya untuk mempersiapkan saat-saat akhir hidupnya. Ketika Winifred, seorang editor yang sudah tua yang saya kenal, akan menjalani operasi jantung, ia sangat berharap untuk memiliki suatu kehidupan baru yang sehat. Selama bertahun-tahun ia menderita karena kondisi tubuhnya yang lemah, dan dokter menyarankan untuk menjalani operasi mengganti klep jantungnya. Di satu pihak ia tidak mengabaikan bahwa operasi yang dijalani adalah operasi besar dan ia secara pribadi sudah mempersiapkan diri untuk menerima yang terburuk. Ia mulai dari mejanya. Meskipun biasanya tumpukan buku dan map berserakan di atas mejanya, siang hari sebelum ia menjalani operasi meja itu terlihat kosong: semuanya diatur secara rapi, seperti seolah-olah menunggu untuk dipilah-pilah oleh orang lain. Pada hari yang sama ia meminta waktu kepada rekan kerjanya, Kathy, untuk berbicara secara pribadi. Kathy mengatakan pembicaraan yang tidak terlalu penting beberapa perasaan yang tidak enak yang membebani dirinya selama bertahun-tahun, termasuk sebuah kejadian ketika sebagai seorang guru, ia telah bertindak terlalu keras dan kurang sabar terhadap anak-anak didiknya. Winifred keluar dari kamar operasi setengah sadar, dan meninggal dunia beberapa hari kemudian tanpa dapat mengucapkan selamat tinggal kepada suami dan kelima anak perempuannya. Winifred berusia tujuh puluh sembilan tahun dan mengidap berbagai macam penyakit. Jika saja ia tidak menjalani operasi, dan meninggal karena gagal jantung, tidak ada orang yang akan terkejut. Tetapi ternyata, anak-anak perempuannya saling berdampingan dengan rasa duka dan perasaan bersalah. Semua orang

Antisipasi

83

tahu ada risiko dalam operasi tersebut. Tetapi mereka tidak mengharapkan yang terburuk. Bukankah para dokter dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa semuanya akan berjalan baik, dan bahwa ibu mereka akan keluar dari kamar operasi sebagai seorang wanita baru? Di samping itu belum lama ini ayah mereka juga menjalani operasi yang sama dengan sukses. Tetapi meskipun keluarga tersebut tidak mengantisipasi kematian Winifred, tetapi dari pembicaraan dengan Kathy jelas bahwa Winifred sendiri telah mempersiapkan dirinya. Dan meskipun bulan-bulan selanjutnya dipenuhi dengan rasa duka, tetapi mengetahui bahwa Winifred sendiri sudah mempersiapkan diri memberi kita ketenangan dan kedamaian. Setelah Rilla yang berusia 35 tahun didiagnosis mengidap penyakit kanker, ia menjalani operasi dan masuk ke dalam masa pemulihan. Dua tahun kemudian, penyakit tersebut kambuh lagi, dan pengobatan secara medis jelas tidak akan banyak membantu. Percaya bahwa penyakit tersebut kambuh bukan secara tiba-tiba, ia memutuskan sekarang ia tidak akan melawan penyakit tersebut, tetapi akan menerimanya sebagai kehendak Tuhan. Rilla wanita berambut pirang yang periang dengan senyum yang manis adalah seorang wanita yang tidak mudah untuk dilupakan. Ia seorang yang lemah lembut tetapi tidak tertutup, ia menyenangi segala sesuatu yang indah-indah dalam hidup ini: bunga, musik, puisi dan anak-anak. Pada waktu yang bersamaan karena ia dilahirkan di masa-masa sulit di akhir tahun 1960an, ia menyadari akan sisi-sisi gelap kehidupan, dan selalu berusaha untuk mengunjungi para narapidana, orang tua yang sudah sakit-sakitan dan tidak mampu untuk keluar

84

Jangan Takut

rumah, dan orang-orang cacat baik cacat mental maupun fisik. Ia terus melakukan pelayanan ini bahkan ketika ia sendiri dinyatakan sakit. Mendekati akhir hidupnya, ketika ia sudah tidak lagi mampu untuk keluar rumah, Rilla menangis untuk dunia, terutama untuk anak-anak yang menderita, ia berkata, Hati kita terlalu kecil, tetapi kita masih dapat berharap untuk dapat mengembangkan hati kita lebih luas lagi, untuk berdoa bagi mereka yang menderita. Rilla didiagnosis menderita penyakit kanker di hari akhir hidup ayah saya, sehingga ia merupakan orang pertama yang sedang menanti ajal yang menerima konseling dari saya tanpa saya meminta nasihat dari ayah saya. Sebelumnya saya selalu bergantung pada dukungannya. Seperti kebanyakan orang-orang yang sensitif, Rilla juga seorang wanita yang sulit. Ia mudah merasa sedih mengenai kekurangan-kekurangan dirinya, dan selama bertahun-tahun bergumul untuk menemukan iman dalam dirinya. Melalui berbagi pengalaman mengenai hari-hari akhir ayah saya, dan menyadari bahwa hariharinya juga sudah tidak lama lagi, tiba-tiba hidup menjadi begitu mudah baginya. Suatu hari Rilla minta untuk dibaptis, dan saya membaptisnya satu minggu setelah kematian ayah saya. Imannya yang baru memberi kekuatan luar biasa kepadanya. Ia berkata, Saya merasakan kasih karunia Tuhan dalam hidup saya; kekayaan dan kepenuhan Tuhan! Ketika sakitnya semakin parah, ia merasa harus menggunakan setiap hari yang tersisa untuk mempersiapkan dirinya menghadapi perpisahan dengan orang-orang di sekelilingnya. Banyak yang ingin ia capai.

Antisipasi

85

Salah satu proyeknya adalah memilah kumpulan puisinya yang terdiri dari beberapa puisi yang ditulisnya, dan memutuskan siapa saja yang akan menerima puisi-puisi tersebut. Saudara laki-lakinya, Justin, yang membantunya, bingung karena Rilla melakukannya dengan gembira dan tanpa beban. Ketika menyadari akan hal ini, pada pagi berikutnya, dengan mengatakan bahwa ia tidak ingin menambah rasa sakit saudara laki-lakinya, ia meminta maaf karena telah membicarakan mengenai kematiannya. Tetapi melihat ke belakang, seperti juga dengan Winifred, kerelaan Rilla untuk menghadapi apa yang ada di hadapannya membantu mereka yang berduka baginya. Ia meninggalkan sesuatu yang berharga bagi kita setelah kepergiannya, yaitu keberanian. Lynn didiagnosis mengidap penyakit leukemia pada tahun 1979 setelah kelahiran anak keenamnya. Awalnya, pengobatan dengan kemoterapi dan radiasi mengurangi rasa sakitnya; tetapi penyakit itu kambuh lagi. Pengobatan pada putaran kedua memperlambat penyebaran penyakitnya dan memberi harapan untuk kesembuhan. Tetapi itu tidak terjadi. Tidak lama kemudian untuk ketiga kalinya penyakit leukemia menyerang dengan ganas. Para spesialis mendesak Lynn untuk mempertimbangkan pengobatan uji coba, tetapi ketika mengetahui bahwa ia harus menjalaninya di sebuah rumah sakit yang sangat jauh, ia memutuskan untuk tidak menjalani pengobatan tersebut. Disamping itu, seperti yang di kemudian hari dikatakan oleh suaminya, James, mereka berdua merasa bahwa hidup keluarga mereka berada di tangan Tuhan, dan mereka memercayakan masa depan mereka hanya kepadaNya.

86

Jangan Takut

Meskipun demikian, ini tidak berarti mereka duduk diam menunggu datangnya saat-saat kematian. Merasa bahwa masa hidupnya tidak lama lagi, Lynn secara sistematis mempersiapkan anak-anaknya untuk hidup tanpa ibu mereka. Ia membeli tempat tidur yang lebih besar dan membuat selimut yang lebih lebar disesuaikan dengan tempat tidur; masing-masing anak dibuatkan album foto dan ia juga membuat perlengkapan bayi untuk keluarga mereka kelak. Dengan memperhitungkan siapa saja yang akan mendampingi mereka ketika ia sudah tiada, ia meletakkan pakaian dan barang-barang milik mereka dengan teratur dan rapi. Di atas itu semua ia banyak menghabiskan waktu dan perhatian untuk teman-teman dan para tetangganya, dan mempersiapkan hatinya untuk meninggalkan kehidupan ini dan masuk dalam kehidupan selanjutnya. Seperti komentar pastor, Lynn seperti lima gadis bijak yang diceritakan dalam Kitab Suci. Ia telah mengisi lampunya dengan minyak, dan telah mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Pengantin Laki-laki. Ketika kesehatannya semakin memburuk, Lynn semakin jarang menghabiskan waktu di ruang keluarga; tetapi, apabila ia berada di sana, ia betulbetul memberikan dirinya secara penuh, mendengarkan anak-anaknya bercerita mengenai aktivitas mereka pada hari itu, menyelesaikan perselisihan, atau membaca buku cerita. Bahkan ketika perasaan mual memaksanya untuk tetap berada di tempat tidur, ia tidak melepaskan perannya sebagai ibu, tetapi menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan anakanaknya. Menjelang akhir hidupnya ia hanya dapat menyapa anak-anaknya dengan pandangan mata. Lynn meninggal di rumah, di tempat tidurnya sendiri, dikelilingi oleh keluarganya.

Antisipasi

87

Tidak semua orang diberi waktu untuk mempersiapkan kematiannya. Saya tahu beberapa orang yang meskipun mereka tidak tahu dengan pasti saat kematiannya tetapi mempunyai perasaan bahwa waktunya di dunia sangat terbatas. Ini terjadi pada Rachel, seorang anak berusia sembilan tahun yang tinggal di desa Paraguayan tempat saya dibesarkan. Ketika sedang membuat toffee di atas kayu bakar, cara masak yang umum dilakukan di daerah itu, ibu Rachel hanya sebentar meninggalkan tempat itu. Pada saat itu Rachel membungkuk untuk mengaduk permen tersebut, dan bajunya terbakar. Ia berteriak dan berlari minta tolong, seluruh bajunya terbakar. Ayahnya yang mendengar teriakannya lari dan menggulungnya ke tanah, dan dengan cepat mematikan api yang membara. Tetapi kerusakan sudah terjadi: seperempat tubuhnya mengalami luka bakar yang serius. Ia langsung dibawa ke rumah sakit miski tidak jauh dari rumahnya, dan ditangani sebaik mungkin, tetapi beberapa hari kemudian kondisinya memburuk dan ia sangat menderita. Para dokter yang menanganinya menggunakan radio gelombang pendek untuk berkonsultasi dengan seorang spesialis di Asuncion, kota terdekat, tetapi semuanya sia-sia: cairan yang hilang melemahkan kondisinya, dan pada malam hari di hari keempat ia tidak lagi memberi respons. Sekarang semakin jelas tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa Rachel. Keluarganya berkumpul di sekeliling tempat tidurnya, menyanyikan lagu-lagu kesenangan Rachel. Suatu saat ibunya berbicara kepadanya, dan tanpa diduga ia duduk dan menyanyikan beberapa baris bersama dengan mereka. Selama beberapa jam ia sadar, dan bahkan berbicara

88

Jangan Takut

singkat dengan ibunya, dan bernyanyi untuk dirinya sendiri. Tetapi, keesokan paginya kondisinya memburuk, dan ia pergi untuk selamanya. Beberapa hari kemudian, keluarganya ingat bahwa beberapa waktu sebelum kejadian tersebut, Rachel membagi-bagikan sebagian besar barang miliknya. Kemudian, seminggu sebelumnya, ketika sedang dudukduduk di luar bersama ibunya, ia membicarakan mengenai kematian dan bertanya mengenai Tuhan. Meskipun tidak ada yang dapat mengatakan secara pasti, tetapi melihat ke belakang sepertinya Rachel secara instuisi telah mempersiapkan kepergiannya.

89

Kesiapan

Xaverie, wanita yang energetik dan periang adalah seorang istri dan ibu yang sangat setia. Penyakit menggerogoti dirinya di usia produktifnya tiga puluh tiga tahun muncul dengan tiba-tiba, tepat setelah kelahiran anak keduanya, Gareth. Pertama-tama matanya terasa sakit, kemudian perutnya, kemudian terdapat benjolan di kulit kepalanya. Ia mulai minum Tylenol; dalam jangka waktu satu minggu ia sudah menggunakan morfin. Beberapa hari kemudian ia pergi untuk selamanya. Ketika Xaverie mengetahui bahwa ia mengidap penyakit kanker, ia tertegun. Kepada suaminya, John, ia berkata, Well , Tuhan tidak memberi kepada kita pencobaan yang melebihi kekuatan kita, jadi Tuhan merasa bahwa saya dapat menanggung ini semua. Dan kepada ibunya: Ibu, yang paling saya takutkan dalam hidup adalah menderita penyakit kanker. Tetapi ketika saya mendengar bahwa saya menderita penyakit itu, rasa takut itu benar-benar hilang. Di kemudian hari ibunya, Sibyl, menulis, Ketika kami mengetahui ia menderita penyakit kanker, ia berkata, John, Mama, saya tidak mau ada kesedihan, tidak boleh ada air mata. Saya tidak mau

90

Jangan Takut

sakit saya ini dianggap sebagai suatu pengalaman yang sangat menyedihkan. Saya ingin ini menjadi suatu pengalaman yang menyenangkan, seperti layaknya anakanak merasa gembira dengan pengalaman baru dalam hidupnya. Saya menahan tangis di dalam hati, dan saya rasa John juga demikian. Bagaimana kami dapat menghadapi ini semua dengan gembira? Xaverie memandang penyakitnya sebagai suatu panggilan untuk meninggalkan kasihnya akan dunia dan keluarganya untuk kasih Tuhan yang lebih besar, dan penyerahannya setiap hari selama bertahun-tahun kepada Kristus memberinya kekuatan untuk menjadikan ini sebagai pengorbanan yang lebih besar. Tentu saja ia sangat mengasihi anak-anaknya, tetapi ia merasa sekarang ia mempunyai tugas lain mempersiapkan diri menghadapi kematian dan ia tidak menggenggam mereka erat-erat secara emosi. Ketika rencana mulai disusun untuk tetangga mengambil alih tugasnya sesuatu yang sulit untuk diterima oleh sebagian besar kaum ibu ia menerima bantuan tersebut dengan penuh rasa syukur, dan berterima kasih kepada wanita tersebut dari lubuk hatinya. Yang luar biasa, ia tidak pernah sekali pun mengutarakan kecemasannya akan masa depan, dan sejak ia menderita sakit sampai kematiannya, tidak ada seorang pun yang pernah mendengar ia mengeluh atau melihat ia mengusap air matanya. Suatu hari ketika saya dan istri menjenguknya, ia minta didoakan dengan penumpangan tangan, berkat yang digambarkan dalam Yakobus 5, yang berbunyi, Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan.

Kesiapan

91

Beberapa hari kemudian, sebagai jawaban atas permohonan ini, kami mengadakan kebaktian untuk Xaverie. Pertemuan itu berjalan dengan tenang tetapi juga sangat menyedihkan. Setiap orang yang hadir merasa terguncang, dan banyak yang menangis. Kami semua merasakan kehadiran yang abadi di tengah-tengah kami. Xaverie tiba dengan menggunakan gurney, dan IVline serta oksigen, dan ketika ia masuk ke dalam ruangan, ia melambaikan tangan dengan gembira dan mencoba untuk duduk. Dalam foto yang mengabadikan saat-saat ini, wajah John terlihat sangat sedih. Tetapi wajah Xaverie bersinar dengan pengharapan dan kegembiraan. Ketika saya memegangnya, ia memandang saya dengan penuh keyakinan dan berkata, Bersama Tuhan, segalanya mungkin! Tetapi sementara ia yakin bahwa ia dapat disembuhkan jika itu adalah rencana Allah, ia juga siap sepenuhnya untuk pergi menghadap-Nya. Pagi berikutnya saya dan istri menjenguknya lagi dan berkata, Xaverie, kami memercayakanmu pada kehendak Tuhan. Engkau siap untuk menyongsong hidup yang kekal? Ia meyakinkan saya tidak ada yang membebani hatinya, dan ia merasa damai: Saya akan menerima kehendak Tuhan, apa pun itu. Saya siap. Di malam hari, di hari yang sama, ia pergi untuk selamanya. Merupakan suatu anugerah jika seseorang yang menderita penyakit yang mematikan dapat membenahi dirinya dan menemukan kedamaian dalam Tuhan ketika masih ada waktu untuk meminta pengampunan dan untuk mengampuni, untuk menyelesaikan kerenggangan dalam relasi dan untuk menyembuhkan luka-luka lama. Tetapi tidak semua orang mendapat kesempatan ini.

92

Jangan Takut

Rick, seorang tukang kayu yang berhasil, sepanjang hidupnya menderita asma, dan ada kalanya penyakit tersebut menyerang dengan hebat sampai dokter yang merawatnya mencemaskan hidupnya. Meskipun demikian, ia adalah orang yang periang, ramah dan menyenangi lelucon-lelucon yang baik dan mencintai anak-anak. Suatu ketika ia meninggal karena pendarahan di otak, meninggalkan seorang istri, Liz, dan delapan orang anak yang berusia antara satu sampai empat belas tahun. Tidak ada yang aneh di pagi hari itu. Setelah bangun pagi untuk mengantar anak perempuan tertuanya pergi ke sekolah menengah atas, ia makan pagi bersama dengan anggota keluarga yang lain, dan kemudian pergi bekerja di pabrik tidak jauh dari rumahnya. Liz terkejut ketika ia muncul di depan pintu tidak lama setelah meninggalkan rumah, meminta maaf karena tidak membantunya membereskan anak-anak pagi itu. Tetapi tidak ada indikasi ada sesuatu yang salah. Tetapi menjelang siang hari, Jeff, rekan kerjanya, menemukan Rick bersandar pada tumpukan papan mengeluh kepalanya sangat sakit. Bukan kebiasaan Rick untuk beristirahat di tengah-tengah pekerjaannya, maka Jeff tahu ini sesuatu yang serius. Ia membaringkan Rick, dan meminta orang lain mengambil usungan. Beberapa menit kemudian, Rick tidak bereaksi. Ia segera dilarikan ke rumah sakit, tetapi tidak tertolong. Ia meninggal malam itu juga, ia pergi di usia produktif. Semua orang terkejut. Efesus 4 menasihati kita untuk berdamai setiap hari sebelum matahari terbenam. Rick mengikuti nasihat ini, dan pada hari yang sama baginya matahari terbenam untuk selamanya. Ini selalu merupakan sumber penghiburan bagi istrinya bahwa ada perdamaian di antara mereka ketika ia meninggal dunia.

Kesiapan

93

Fred, seorang insinyur, bahkan meninggal lebih mendadak lagi. Suatu pagi, ketika sedang menjalankan tugas mengawasi pekerjaan bangunan, ia mulai merasakan dadanya sakit. Dari electrocardiogram yang dilakukan oleh dokter dekat tempat ia bekerja menunjukkan ia mengalami serangan jantung, dan sebuah Ambulan didatangkan. Istri Fred, Margaret, dipanggil dan dengan cepat tiba di rumah sakit, tetapi tidak lama kemudian ia pergi untuk menyiapkan pakaian karena Fred harus tinggal di rumah sakit. Tidak lama kemudian, Fred yang masih terbaring di ruang observasi mengeluh merasa pusing dan kemudian pingsan. Pertolongan dilakukan untuk menyelamatkan nyawanya, tetapi tidak berhasil. Peralatan yang lebih canggih untuk membantu mereka yang mengalami gangguan dengan jantungnya belum ada, dan defibrillator tidak dimiliki oleh rumah sakit tersebut. Ketika Margaret kembali, kurang dari satu jam kemudian, ia mendapat berita yang sulit untuk dipercaya bahwa suaminya telah tiada. Di lokasi bangunan, berita mengenai kematian Fred tersebar dengan cepat. Semua pekerjaan dihentikan, dan tidak lama kemudian, banyak bunga diletakkan di tempat di mana ia bekerja beberapa jam sebelumnya. Tetapi tidak banyak yang dibicarakan. Fred adalah seorang yang tidak banyak bicara, dan sekarang ia telah pergi untuk selamanya, jadi bukankah cara yang paling baik untuk menunjukkan rasa hormat kepadanya adalah dengan diam? Ketika kematian datang dengan tiba-tiba seperti yang dialami oleh Rick dan Fred, reaksi pertama biasanya terkejut. Dapat dimengerti rasa takut tidak berada jauh dari kita. Seperti yang pernah dikatakan oleh penulis Jerman, Christoph Blumhardt, kebanyakan dari kita disibukkan dengan kewajiban-kewajiban duniawi

94

Jangan Takut

sehingga hampir semuanya menakutkan bagi kita, karena kita merasa tidak dilindungi. Dan menjalankan kehidupan dengan cara ini sangat berbahaya, karena, seperti yang ia katakan, mengerjakan sesuatu tanpa perlindungan, tanpa kesadaran, membingungkan, dan jauh dari realitas. Jadi, apa artinya siap menyongsong kematian kapan saja? Dapatkah kita berdiri di hadapan Pencipta kita dan memberi pertanggungjawaban atas hidup kita? Kita ini kecil dan lemah dan kita dapat meninggal kapan pun. Dalam Injil Markus, Yesus menasihati kita untuk berjagajaga siang dan malam, sebab kamu tidak tahu bilamanakah waktunya tiba, dan dalam Kisah Sepuluh Gadis, Ia memperingatkan kita apa yang akan terjadi jika Pengantin Laki-laki kembali dan menemukan kita acuh tak acuh dan tidak siap. Tetapi apakah itu semua membuat kita takut dan menghadapinya dengan muka sedih, menantikan yang terburuk? Martin Luther pernah berkata bahwa meskipun dunia akan kiamat esok hari, ia akan tetap menanam pohon hari ini. Martin Luther seorang yang sangat religius dan seorang proponen yang berbobot yang mengikuti peribahasa lama Makan, minum dan bergembiralah hari ini seperti seolaholah kamu akan mati esok hari. Jika kakinya dengan kuat berpijak ke bumi tetapi mata dan hatinya tertuju ke surga, ini memberinya kepercayaan dan keyakinan bahwa tidak ada malapetaka yang dapat menggoyahkannya. Dan sejauh kita hidup dalam kesadaran yang sama mengenai hidup kekal dan rasa aman mengetahui bahwa kita selalu berada di tangan Tuhan apa yang dikatakan Martin Luther juga dapat menjadi suatu kebenaran dalam hidup kita. Apa pun yang ada di hadapan kita, kita tetap dapat merasakan kedamaian,

Kesiapan

95

karena sikap yang mendasari hidup kita adalah kesiapan untuk menerima apa pun. Ketika Aaron dan Katie serta ketujuh anak remaja mereka akhirnya meninggalkan Ohio menuju Honduras, negara yang sedang dilanda perang, perasaan tidak sabar sama besarnya dengan perasaan gembira yang mereka rasakan. Seandainya tidak ada laporan mengenai kerusuhan di Amerika Tengah, tentunya mereka, para relawan yang dikirim pada tahun 1994 atas sponsor Gereja, Mennonite untuk membantu daerah yang dilanda perang, sudah lama meninggalkan Ohio dengan bus yang telah dipenuhi dengan perbekalan. Sekarang akhirnya mereka menuju ke selatan. Dengan menggunakan kendaraan bantuan dalam konvoi, mereka melintasi satu per satu negara bagian, dan kemudian Meksiko tanpa hambatan. Tetapi suatu pagi setelah beberapa minggu dalam perjalanan, ketika bus mereka menuruni jalan pegunungan yang berlikuliku dekat Tegucigalpa, terjadi bencana. Seperti yang diingat oleh anak perempuan mereka Shirley:
Saya sedikit tertidur ketika ayah menginjak rem dengan cepat dan keras, ibu dan Mandy bertanya dengan nada bingung, Apakah remnya blong? Saya langsung duduk, benar-benar tersadar. Ayah tidak langsung memberi jawaban. Kemudian dengan nada pedih, ia mengatakan rem tidak berfungsi, dan segera mengambil CB. Saudara-saudara lelaki saya yang berkendara di belakang mobil kami diberitahu oleh ayah apa yang terjadi. Berdoa! ia memohon kepada mereka. Terus berdoa! Kendaraan kami semakin melaju kencang dan menuju sebuah tikungan. Di satu sisi terdapat tembok batu yang sangat besar, dan di sisi lainnya, jurang. Kami

96

Jangan Takut
berteriak kepada ayah untuk membelokkan kemudi ke arah dinding, meskipun kami tahu ini fatal. Tetapi ayah tidak dapat menghentikan bus dengan cara itu. Bus kami melaju semakin kencang, dan tiba-tiba mengarah ke sekelompok orang yang sedang memasukkan batu ke dalam truk yang sedang diparkir di sisi jalan. Ayah menyadari bahwa ia akan menghantam truk tersebut dan ia mulai gugup, tidak terkontrol, kemudian ia mencoba untuk menghindari truk dengan tiba-tiba membanting stir dan bus kehilangan keseimbangan. Kita menuju ke kehidupan kekal! ia berteriak; pada waktu yang bersamaan, saya merasa bus seperti terbang. Batu-batu berterbangan ke arah kami, dan pecahan kaca menghujani kami. Setelah itu semuanya gelap....

Beberapa menit kemudian saudara-saudara lelaki Shirley menuruni jalan perbukitan yang tajam dari jalan besar dan mendapati dia dan saudara-saudara perempuannya terluka parah, tetapi masih hidup. Anehnya melihat pada kondisi bus yang hancur lebur mereka dapat membebaskan diri mereka dari bus tersebut. Melihat saudara-saudara lelakinya tidak jauh dari tempatnya, Shirley menyeret tubuhnya mendekati mereka. Mereka sedang mencoba menenangkan ibu mereka yang sekarat:
Napas ibu berat, dan wajahnya terlihat sedih dan tak berdaya. Saya mengatakan kepadanya, Mom, kami mengasihimu. Ia sepertinya memerhatikan dan melihat langsung kepada saya selama beberapa detik, tetapi kemudian tidak sadarkan diri lagi. Saat itu saya melihat ayah tergeletak tak bernyawa beberapa kaki dari kami. Hati saya hancur: Ayah adalah orang yang kuat dan selalu memberi ketenangan ia selalu ada untuk kami.

Melihat kembali kepada ibunya, Shirley berjuang untuk merelakan ibunya pergi, seperti yang dikatakannya kemudian.

Kesiapan
Hati saya benar-benar hancur. Saya ingin berteriak, Mom, jangan pergi! Mom, jangan pergi! Tetapi saya juga merasa saya harus segera membebaskannya dari penderitaan yang ia rasakan. Dan akhirnya saya mengatakan kepadanya, tidak apaapa kalau ibu harus pergi, dan saya berjanji untuk bertemu kembali satu hari nanti. Kemudian saya mendekati dan mencoba menenangkan saudara perempuan saya, Mary, yang terbaring tidak jauh dari tempat kami dan kelihatannya sekarat. Ketika saya melihat kepada ibu lagi, saya melihat ia baru saja meninggalkan kami untuk selamanya. Saya berlutut di sampingnya, lama sekali, dalam duka yang mendalam.

97

Selain Aaron dan Katie, semua orang yang ada di dalam bus tersebut selamat, tetapi hari-hari berikutnya masih seperti mimpi buruk. Shirley dan saudara-saudara perempuannya yang dirawat di rumah sakit pemerintah di Tegucigalpa menjalani one battery of tests dan beberapa kali dioperasi. Pengobatan membebaskan mereka dari rasa sakit, tetapi tidak ada yang dapat menghapus bayangan yang masih terus membuat mereka terbangun di malam hari: bayangan-bayangan itu seperti tidak berperasaan bermain-main dalam ingatan mereka. Tidak ada yang dapat menghapus kenangan ini kecuali kedamaian yang tak terduga yang menyelimuti dirinya ketika ia melihat kedua orangtuanya, sebelum tubuh mereka diterbangkan ke Amerika Serikat untuk dimakamkan. Bagi Shirley, sangat jelas: mereka berdua telah siap untuk pergi. Ketika saya melihat jenazah ayah, jiwa saya merasa damai. Saya melihat surga di wajahnya. Wajah penuh kepasrahan yang pernah saya lihat. Dan ketika saya melihat jenazah ibu, saya melihat ekspresi yang sama. Mereka terlihat bahagia. Saya tidak mempunyai keraguan sedikit pun bahwa mereka berdua sekarang berada di surga.

98

Jangan Takut

99

Kecelakaan

Sepuluh tahun telah berlalu tapi orang masih melihat pada anak lelaki Hillary dan bertanya, Bukankah dia yang dulu tersedak?
Kami sedang berada di dalam Gereja, di tengahtengah kebaktian, ketika seorang petugas tata tertib memanggil kami keluar. Anak lelaki kami, Jarius, yang dititipkan di tempat penitipan anak, tersedak. Tidak lama kemudian kami sampai di tempat itu, didampingi dengan tiga orang yang kami kenal dari kongregasi Gereja tersebut dua orang tenaga medis dan seorang perawat. Mereka segera berusaha untuk membuka jalan napasnya. Kadang-kadang mereka dapat sedikit membukanya, dan anak saya akan menangis, dengan lemah. Di antara proses itu tidak ada suara. Meskipun demikian seluruh tubuhnya bergerak, berjuang bersama tim medis ketika secara bergantian mereka memukul punggungnya dan menyedot tenggorokannya. Jarius berusia sembilan bulan seorang bayi yang ceria, sehat dan baru saja mempunyai keinginan untuk menjelajahi dunia di sekelilingnya. Gerakan yang paling disenanginya adalah berputar ke samping, dan dengan cara ini ia dapat pergi ke mana saja yang ia inginkan. Ia akan bergulung-gulung untuk mengambil sebuah mainan,

100 Jangan Takut


dan kemudian berbaring di atas punggungnya untuk memerhatikan mainan tersebut atau memerhatikan jarijari tangannya dan pergerakkan dari jari-jari tersebut. Pagi itu, ia sedang bermain di lantai ketika guru yang menjaganya menyadari bahwa ia mengalami kesulitan bernapas. Untungnya, guru itu segera meminta bantuan.... Meskipun ketiga orang penolong terus berjuang untuk mengeluarkan benda dari tenggorokannya, tetapi mereka sepertinya tidak berhasil. Sekarang Jarius benarbenar kesulitan untuk bernapas, dan jika ia dapat sedikit bernapas, jelas terlihat ia tidak mendapat cukup oksigen. Ambulan segera didatangkan, saya dan suami saya, Travis, beserta Jarius segera masuk ke dalam Ambulan itu. Dalam perjalanan ke rumah sakit tim medis tersebut terus memukul punggung dan menyedot tenggorokannya; mereka juga dengan seksama memonitor tanda-tanda vital dalam tubuhnya. Sayangnya, kami masih tidak tahu apa yang menyebabkan pernapasannya terhalang. Makanan? Reaksi alergi? Apakah jalan napasnya akan benar-benar tertutup sebelum ia di ER? Di dalam ambulan saya tidak dapat melihat anak lelaki saya karena saya duduk di depan, tetapi saya dapat mendengar tangisannya yang lemah, setengah tercekik, suasana diam yang mencekam ketika ia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya ada suara-suara para medis yang cemas ketika mereka mencoba untuk memutuskan apa yang harus dilakukan lagi. Saya merasa tidak berdaya untuk melakukan apa pun, tetapi dari dalam hati saya berteriak kepada Tuhan dan diamdiam berdoa memohon perlindunganNya. Kami tiba di rumah sakit, dan perjuangan untuk menyelamatkan jiwa Jarius berlanjut. Saya dan Travis dibawa ke ruangan untuk mendapatkan sejarah anak ini dan pertanyaan-pertanyaan lain, dan tim penolong terus melakukan tugas mereka, memukul punggungnya dan menyedot tenggorokannya. Mereka baru saja

Kecelakaan 101
bersiap-siap untuk melakukan X-ray pada Jarius ketika seseorang berteriak, Sudah keluar! Benda itu sudah melompat keluar! Kami berlari mendapatkannya. Di sana anak lelaki kami menangis dengan keras dan marah dan di tangan perawat tersebut, sebuah benda kecil dari logam yang berasal dari sebuah rak buku yang dapat disetel, sebuah klip logam yang ditemukan dan diamati oleh anak lelaki kami dengan cara yang paling baik yang ia ketahui: dengan memasukkannya ke dalam mulutnya. Kami memberitakan kabar baik ini ke Gereja kami, dan diberitahu bahwa kebaktian baru saja selesai. Tetapi bukan itu saja: kebaktian tersebut diakhiri dengan doa bagi anak lelaki kami. Dan sejak saat itu saya tahu bahwa di dalam doa ada kekuatan; karena saya benar-benar merasakannya dan masih merasakannya sampai hari ini kekuatan itu yang membebaskannya dari kematian.

Tidak semua orang seberuntung itu. Setelah Evelyn pindah bersama dengan paman dan bibinya ke tanah perkebunan mereka di Kanada, tidak lama kemudian Evelyn bukan hanya menjaga anak-anak mereka saja tetapi juga setengah dari anak-anak di lingkungan tersebut. Seorang anak remaja yang ramah dan menyenangkan yang tidak pernah merasa panik, ia disenangi oleh anak-anak, dan apabila ia tidak sedang bekerja atau membantu dengan pekerjaan rumah, ia bermain dengan sepupu-sepupunya dan teman-teman mereka. Mereka sering bermain dekat sungai yang berada di samping tanah perkebunan. Evelyn dan teman-teman bermainnya dilarang untuk bermain di sungai: arus sungai sangat deras dan terdapat air berputar. Tetapi udara sangat panas di musim panas tahun 1982, dan meskipun kita tidak dapat berenang, bermain-main di pasir yang dingin sudah memberi sedikit kelegaan. Begitu juga berjalan dalam air.

102 Jangan Takut Pada awalnya Evelyn tidak mau bergabung, tidak ada orang yang dapat membujuknya. Tetapi suatu hari hatinya panas juga selalu diperciki air dan digoda, dan dalam hitungan menit ia memimpin permainan kejar-kejaran di tempat yang dangkal. Tidak lama kemudian, salah satu dari teman mainnya melihat gunung pasir di dalam sungai agak sedikit jauh dari tempat mereka dan mengusulkan untuk bermain kejar-kejaran di tempat itu. Evelyn, anak yang paling tinggi dalam kelompok tersebut, membantu mereka yang lebih pendek darinya, dan mereka dapat sampai ke tempat itu dengan selamat. Ketika tiba waktunya untuk kembali ke rumah untuk makan siang, Evelyn kembali melalui jalan yang sama atau begitulah yang ia perkirakan dengan anak perempuan yang lebih kecil, mereka berjalan di sisinya menggandeng tangannya. Baru setengah jalan, mereka bertiga menginjak lumpur yang berputar. Anak-anak yang lain yang masih berada di gunung pasir tersebut, berteriak ketakutan ketika mereka melihat ketiga gadis itu berjuang untuk tetap mengambang. Untungnya, seorang anak lelaki yang lebih besar mendengar teriakan mereka dan segera lari menghampiri, ia berenang untuk menyelamatkan mereka. Tetapi karena ketiga anak tersebut maju dengan cepat dan langsung bergantung kepadanya, ia tenggelam dan napasnya tersengal-sengal, Salah satu harus melepaskan diri saya tidak kuat menahannya! Evelyn melepaskan genggamannya, dan anak laki-laki tesebut mulai menyelamatkan anak-anak yang lebih kecil. Setelah sampai di darat, ia kembali ke sungai untuk menolong Evelyn. Tetapi sudah terlambat. Ia sudah hilang. Pada saat itu, bantuan yang lebih banyak sudah tiba di lokasi kejadian, termasuk orangtua Evelyn, yang berdiri diam tidak bedaya dan tidak percaya.

Kecelakaan 103 Tidak lama kemudian tubuh Evelyn ditemukan beberapa ratus yard di hilir, tersangkut di sebuah pohon. Yang menakjubkan, ekspresi wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan perasaan takut. Di tengah-tengah kepanikan yang tentunya ia rasakan ketika ia berusaha untuk menyelamatkan hidupnya dengan napas terakhirnya, wajahnya memancarkan kedamaian. Kecelakaan dapat terjadi. Beberapa dapat dicegah, atau seperti itulah kelihatannya, paling tidak dapat diketahui penyebabnya. Beberapa tidak dapat dicegah sama sekali. Dalam kasus kematian yang sebenarnya tidak perlu terjadi, kita mungkin mendapati sulit untuk mengampuni orang yang kita anggap penyebab dari kematian tersebut. Ini sama dengan ketika kita menyalahkan diri sendiri, atau membuat diri kita menanggung beban kesalahan itu. Tetapi meskipun kita tidak dapat melihat jalan di hadapan kita, kita dapat selalu bergantung pada kerinduan hati untuk kedamaian. Dan kita dapat berdoa agar dapat mengeluarkan emosi lainnya terutama godaan untuk menjadikan kita orang yang dingin, atau membenamkan diri dalam perasaan menyalahkan diri sendiri. Singkatnya, kita harus percaya bahwa sekalipun tidak ada yang dapat dilakukan untuk menghilangkan rasa sakit dari suatu tragedi, tetapi rasa sakit itu dapat dengan cepat membawa kita ke dalam tangan Tuhan, secepat ia juga dapat membawa kita ke dalam keputusasaan. Itu dapat terjadi, sejauh kita membuka diri untuk kemungkinan itu seperti yang diperlihatkan dalam anekdot berikut ini mengenai Karen, seorang kenalan. Seorang misionaris di Haiti, Karen kehilangan anaknya yang berusia 3 bulan, Hannah, karena kecelakaan yang langka di rumah mereka:

104 Jangan Takut


Suatu sore, sementara menunggu suami pulang ke rumah, saya memasak air panas di dapur untuk anak perempuan saya yang mau mandi. Ketika saya sedang mempersiapkan tempat untuk mandi, popok, handuk dan peniti, anak perempuan saya tertidur di tempat tidur kami, jadi saya memutuskan untuk membiarkan dia beristirahat sebentar. Saya meletakkan ember untuk mandi di lantai, meletakkan handuk yang masih terlipat di sebelahnya sebagai penyangga supaya ia tidak menggelundung jatuh dari tempat tidur, dan saya kemudian pergi ke dapur. Keputusan yang sederhana itu mengubah hidup saya untuk selamanya. Ketika saya tidak berada di tempat itu, Hannah bangun, menggerak-gerakkan badannya sampai di ujung tempat tidur, dan jatuh ke dalam bak mandi. Saya menemukan dirinya beberapa menit kemudian, tetapi sudah terlambat: bayi saya sudah tenggelam. Tidak ada kata-kata yang dapat diucapkan untuk menggambarkan perasaan saya pada waktu itu. Jauh dari dalam lubuk hati saya berteriak kepada Tuhan....

Mengetahui bahwa para orangtua yang kehilangan anaknya karena kecelakaan serupa itu sering tidak dapat mengatasi rasa bersalahnya dan terus dihantui oleh peristiwa tersebut seumur hidup mereka saya bertanya kepada Karen apakah ia dapat mengatasi perasaannya atas kecelakaan yang terjadi pada anaknya. Tentu saja, ia juga menyalahkan dirinya sendiri, tetapi mengesampingkan semua pikiran-pikiran yang membebani dirinya memberinya pelepasan dari perasaan bersalah dan kedamaian yang luar biasa:
Sembilan tahun telah berlalu sejak Hannah tenggelam, dan saya masih sering mendapati diri saya berpikir, Sudah berapa usianya sekarang? Jika

Kecelakaan 105
kecelakaan itu tidak pernah terjadi, bagaimana kehidupan kami? Dan masih ada saat-saat di mana saya menangis dalam kesedihan yang mendalam. Tetapi saya akan menjadi keranjang sampah jika saya membiarkan diri saya dipenuhi dengan pikiranpikiran seperti itu. Saya menemukan kedamaian dengan memfokuskan keyakinan saya bahwa Pencipta saya adalah gembala saya, dan seperti seekor domba saya hanya mengikutiNya, bahkan ketika saya tidak mengerti gambaran yang sesungguhnya.

Saya tidak dapat mengatakan bagaimana ketenangan yang saya rasakan sekarang di dalam Tuhan. Ini merupakan suatu misteri. Tetapi mungkin kutipan ini dari Amy Carmichael sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada saya setelah kematian Hannah merupakan alasan mengapa saya mempunyai perasaan seperti yang saya rasakan sekarang ini: Kita sulit melihat bahkan satu inci saja jalan kehidupan kita yang singkat. Bagi Tuhan, hidup kekal terbentang luas bagai sebuah padang rumput. Mereka yang sudah berada di surga, yang sudah sampai ke Akhir yang indah ini, merasa heran melihat aku dan engkau mempertanyakan Kasih yang sebesar apa yang membiarkan ini semua terjadi.... Meskipun orang boleh berharap bahwa setiap orang yang mencari pemulihan dapat menemukannya, seperti Karen mendapatkan pemulihan, tetapi ini tetap tinggal sebagai sebuah anugerah yang jarang didapat. Dan meskipun anugerah pemulihan ini diberikan tetapi ia tidak datang dengan segera, tetapi dengan berjalannya waktu. Bagaimana pun, pertanyaan yang paling mendesak dalam sebuah kecelakaan (apakah fatal atau tidak) adalah bukan bagaimana mengatasi perasaan sakit yang muncul seiring dengan kecelakaan tersebut, tetapi mencari tahu

106 Jangan Takut bagaimana dan mengapa itu terjadi. Dan sampai kita dapat berdamai dengan kenyataan tersebut, kita akan tersendatsendat dalam meneruskan kehidupan ini.
Karena kecelakaan selalu terlihat seperti tidak masuk di akal, sebagian besar dari kita langsung menerima penjelasan klise yang diberikan kepada kita. Dan penjelasan klise itu ada. Selalu ada orang yang datang dengan solusi, sebuah cara pencegahan yang sempurna, atau sebuah pelajaran yang mudah dimengerti yang dengan begitu mudah diucapkan. Tetapi mencari arti yang lebih dalam dari sebuah kecelakaan jika memang ada jauh lebih sukar. Mungkin itu sebabnya mengapa Dan, seorang yang berusia empat puluh tahun yang selamat dari kecelakaan yang mematikan, merasa bahwa sesudah kejadian tersebut, tidak terlalu penting mencari jawaban mengapa kecelakaan itu terjadi dibandingkan dengan merenungkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari kecelakaan tersebut: Pada waktu itu saya pergi ke Cornwell, dan suatu malam sebagian dari kami pulang ke rumah dari konser musik rok di kampus. Kami mengambil jalan pintas yang sudah kami kenal, tetapi kami terpana dan hanya samarsamar menyadari betapa dekatnya kami dengan tepian sebuah jurang yang dalam. Teman-teman mengatakan bahwa suara saya terdengar seperti ada di dalam jurang tetapi beberapa saat kemudian suara itu menghilang. Mereka sangat yakin saya sudah mati. Beberapa dari mereka menuruni jurang di mana terdengar suara yang meraung dan mencari tubuh saya di antara batu-batu besar tersebut. Satu orang pergi untuk melapor ke polisi, dan yang satu lagi tetap tinggal di jalan setapak di mana saya menghilang. Saya sendiri tidak ingat apa-apa, kecuali ketika saya terbangun saya terlentang melihat ke langit

Kecelakaan 107
yang penuh dengan bintang-bintang. Saya dua kali berteriak minta tolong, dan pada teriakan yang kedua terdengar jawaban yang jaraknya dua puluh kaki di atas saya. Itu adalah suara dari salah satu teman saya, dan ia segera berlari mencari bantuan. Tidak lama kemudian ia kembali dengan sekelompok pendaki gunung. Bersama-sama mereka menurunkan sebuah tali dan menarik saya ke atas. Teman-teman saya sangat gembira. Seseorang menyalakan kayu, dan kami mulai membicarakan apa yang terjadi. Saya berguling-guling ke dalam jurang dan jatuh di tebing selebar kurang lebih tiga kaki satusatunya tempat yang seperti itu di sepanjang jurang tersebut. Jika saya jatuh di tempat lain, saya tidak akan selamat. Karena saya jatuh di tempat itu, saya jatuh terlentang di atas lumut, dan tidak ada sedikit pun goresan atau lebam-lebam di tubuh saya. Kembali di asrama, kami berpesta. Tetapi ketika kami sedang tertawa-tawa saya melihat seorang teman sekelas menatap saya seperti seolah-olah saya ini hantu, orang mati yang hidup kembali. Saya pikir mungkin saya memang seperti itu. Sedikit lagi kematian menghampiri saya. Tetapi kecelakaan tersebut, hanya sedikit memengaruhi saya. Orang lain mungkin akan terguncang dengan kejadian seperti itu, atau menyadari betapa berharganya hidup ini. Tetapi saya tidak membiarkan diri saya dikelilingi dengan pikiranpikiran serupa itu. Sebaliknya, saya berpesta, ingin melupakan kejadian itu. Merenungkan kembali kejadian tersebut, sekarang saya melihat dengan menjadikan kejadian itu seperti lelucon, saya menghilangkan kesempatan yang sangat jarang diberikan, untuk meneliti dan merenungkan hidup saya artinya, arahnya, tujuannya. Tetapi

108 Jangan Takut


kenyataannya pada waktu itu saya tidak mampu untuk menghayati pesan terdalam yang disampaikan oleh kejadian itu. Baru beberapa tahun kemudian setelah saya bertobat saya benar-benar dapat merenungkan kejadian tersebut dan menghargai maknanya. Perlindungan yang saya dapatkan pada malam itu sungguh sangat mengagumkan. Saya juga mengalami beberapa kecelakaan yang hampir merenggut nyawa, termasuk satu kecelakan mobil yang fatal, dan belum lama ini ibu saya mengatakan mengenai sesuatu yang membuat saya melihat hal ini dalam sudut pandang yang berbeda. Ia bertanya, Apa jadinya kamu, jika Yesus tidak menderita untuk kamu? Saya sering memikirkan hal itu. Merupakan suatu misteri bagaimana kematian (atau yang bersinggungan dengan kematian) dapat membawa kita kepada kehidupan; bagaimana Tuhan mengulurkan tanganNya dan menuntun kita dari kehidupan yang penuh dosa kepada kehidupan surgawi. Kita mungkin tidak pernah dapat memahaminya dan mungkin juga tidak ingin memahaminya, tetapi itu tetap terjadi....

109

10

Melebihi Ilmu Kedokteran

Akhir-akhir ini saya sering memikirkan mengenai masa depan saya. Saya baru saja bertemu dengan dokter pada Selasa pagi, dan pengobatan yang lebih berat yang sedang saya jalani tidak lagi efektif untuk menyembuhkan penyakit tumor saya. Saya sudah menjalani operasi besar dan kemudian satu putaran pengobatan untuk menyembuhkan penyakit saya. Tetapi semuanya tidak membawa hasil. Sekarang penyakit itu kambuh lagi. Pengobatan lebih lanjut dapat memperpanjang hidup saya tetapi tidak dapat menyembuhkan penyakit saya. Semakin saya memikirkan hal tersebut, semakin saya merasa tidak ingin melanjutkan pengobatan ini karena merupakan pengalaman yang paling tidak menyenangkan. Di samping itu, saya juga tidak mau lagi melihat rambut saya rontok untuk kedua kalinya. Saya tahu, ini hal kecil, tetapi rambut merupakan sesuatu yang dibutuhkan. Dengan kata lain, saya ingin menikmati hidup ini dengan tenang. Saya tahu jika saya berpegang pada Yesus, Ia akan berjalan bersama saya melalui bayangan

110 Jangan Takut


lembah kematian ini. Bukankah Ia sendiri sudah pernah menjalaninya! Saya benar-benar meyakini kata Ayub, Tetapi aku tahu: Penebusku hidup ... juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah. Saya tahu akan ada masa-masa yang sangat sulit, tetapi saya ingin menyerahkan hidup saya kepada Dokter Surgawi dan saya akan memercayakan apa yang ada di hadapan saya ke dalam tangan-Nya. Ia tahu penyembuhan yang terbaik bagi saya. Ia telah memberi saya hidup yang lengkap dan sempurna, dan sekarang dengan senang hati saya menyerahkan kembali kepada-Nya. Bronwen

Ketika Bronwen, empat puluh tahun, menulis surat ini kepada istri saya, benjolan muncul lagi di seluruh tubuhnya, dan ia tahu tidak ada yang dapat dilakukan. Setelah bertahun-tahun berjuang dengan penyakit kanker, ia (dalam kata-katanya sendiri) sudah selesai dengan pengobatan kemoterapi dan sudah lelah menunggu pemeriksaan selanjutnya, scan selanjutnya. Ini semua bukan karena ia telah bosan hidup tetapi karena ia telah siap untuk menjalani hidup ini dengan penyakit yang diderita tanpa pengobatan lebih lanjut. Bagi mereka yang mengetahui berapa lama Bronwen telah berjuang melawan penyakitnya dapat dengan mudah memahami sikapnya ini. Ia tidak menyerah hanya mengakui bahwa perjuangannya sekarang dialihkan ke hal yang lain. Dan ia melakukannya dengan menghadapi kenyataan sehingga tidak ada orang yang meragukan keputusannya. Seperti yang ia tulis dalam surat keduanya beberapa hari kemudian, Saya merasa damai menghadapi apa yang ada di hadapan saya. Kita

Melebihi Ilmu Kedokteran 111 harus berusaha semaksimal mungkin, tetapi pada akhirnya, yang tinggal hanyalah berdoa. Sangat menyedihkan, budaya kita belum dapat menerima keputusan seperti yang diambil oleh Bronwen. Jajak pendapat memperlihatkan bahwa (paling tidak di Amerika Serikat) sebagian besar orang yang menderita penyakit yang mematikan lebih memilih untuk meninggal di rumah, seperti Bronwen di tempat tidurnya sendiri, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang mengasihi. Tetapi pada kenyataannya sebagian besar dari mereka menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah sakit, tersambung dengan selang dan monitor, dan dirawat oleh orang-orang yang benar-benar asing. Dan hasilnya adalah mereka tidak dapat menggunakan hari-hari terakhir mereka untuk merenungkan kembali hidup mereka berbagi kenangan, mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman, mensyukuri masa lalu (atau berdamai dengan masa lalu) mereka menghabiskan harihari mereka dengan peralatan rumah sakit, melindungi diri dari kematian yang tidak dapat dihindari. Ada banyak alasan mengapa hal ini terjadi. Di satu pihak, kemajuan yang luar biasa dalam bidang ilmu kedokteran beberapa dekade belakangan ini telah meningkatkan pengharapan dalam berbagai hal, dan di pihak lain terdapat keinginan yang sangat kuat, khususnya di antara para onkologis dan para dokter spesialis untuk membuktikan keefektifan dari penemuanpemuan baru tersebut. Seperti yang ditulis oleh Ivy League, seorang profesor kedokteran, dalam artikel di TIME baru-baru ini, Mentalitas sukses seorang pilotpenyerang berhadapan dengan kematian yang ditekankan terus menerus kepada para dokter muda menyebabkan banyak dari mereka melupakan arti dari

112 Jangan Takut kemanusiaan. Mereka memuja objektivitas keilmuan dan membungkus diri mereka dalam jubah yang menghilangkan karakter pribadi ... semuanya atas nama kemenangan atas kematian. Tidak mengherankan jika banyak sekali dari mereka yang merasa sulit untuk menerima keputusan seorang pasien yang sekarat untuk tidak melanjutkan pengobatan mereka telah dididik jangan pernah menyerah. Tetapi itu hanya setengah dari keseluruhan cerita. Setengahnya lagi adalah sebagian dari kita yang memiliki harapan-harapan yang tidak realistis untuk menjalani satu kali lagi operasi, menjalani satu kali lagi pengobatan yang masih dalam tahap uji coba sehingga menjauhkan orang yang sekarat untuk mengatakan apa yang sebenarnya ada dalam pikiran mereka: Bawa saya keluar dari rumah sakit ini. Saya ingin meninggal di rumah. Rasa takut kadang-kadang juga sangat berperan dalam keputusan yang diambil oleh ke dua belah pihak. Rumah sakit yang takut pada tuduhan malpraktik akan lebih memilih kehilangan pasien di tengah-tengah usaha terakhir mereka daripada membiarkan pasien tersebut pulang ke rumah, dan di kemudian hari menghadapi tuntutan dari mereka yang berduka karena dokter tidak berusaha secara maksimal. Dan bagi keluarga meskipun mereka merasa telah melakukan yang terbaik mereka masih enggan membawa pulang orang yang mereka kasihi untuk meninggal di rumah, karena takut dikatakan mereka tidak mau memberikan pengobatan lebih lanjut. Mereka yang pernah merawat orang yang berada di akhir hidupnya dapat menjadi saksi, tidak ada satu pun pedoman yang dapat diterapkan bagi semua orang meskipun ia didiagnosis menderita penyakit yang sama seperti yang diderita orang lain menghadapi kematian

Melebihi Ilmu Kedokteran 113 dengan caranya sendiri, dan setiap penyakit yang mematikan memunculkan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Tetapi sangat penting untuk menangani pertanyaan-pertanyaan tersebut secara jujur dan terbuka. Kadang-kadang saya berpikir, misalnya, berapa lama tubuh itu akan dibiarkan hidup sementara jelas terlihat jiwanya sudah sangat rindu untuk dibebaskan. Ketika memperpanjang hidup berarti tinggal di rumah sakit selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan dengan hanya dapat melakukan kontak minimal dan kemajuan yang tidak berarti, kita harus siap untuk bertanya kepada diri sendiri: Apakah kita membiarkan seseorang untuk tetap hidup untuk kepentingan nya , atau untuk kepentingan orang lain yang tidak mau membiarkan ia pergi? Apakah kita mencoba untuk berpegang pada standar etika, atau membiarkan diri kita ditekan oleh seseorang yang kepentingan utamanya adalah penelitian? Bertindak menjauhi pengobatan secara medis tidak berarti meremehkan peran ilmu kedokteran, atau menjauhkan diri dari bantuan nyata yang diberikan pengobatan medis dalam mengatasi infeksi atau mengurangi rasa sakit. Tetapi ini memang mengalihkan fokus kita dari suntikan-suntikan, pil dan pengobatan yang dianggap sesuai, dan melatih untuk lebih melihat pada dimensi sosial dan spiritual dari kematian hal-hal yang pada akhirnya jauh lebih penting. Ketika pengobatan bagi Pat, seorang rekan yang sudah tua dengan sejarah penyakit jantung yang panjang tidak lagi dapat banyak membantu, ia dan keluarganya memutuskan untuk tidak menjalani pengobatan di rumah sakit. Ini berarti melawan nasihat dari beberapa spesialis rumah sakit sepertinya selalu mempunyai satu cara

114 Jangan Takut pengobatan lagi yang harus kita coba. Dan mereka jarang sekali, jika ada, mendorong kita untuk membuat keputusan sendiri. Tetapi keluarga Pat mengambil keputusan sendiri, dan mereka tidak pernah menyesalinya, meskipun ia meninggal beberapa minggu kemudian: Kami semua dapat berada bersamanya termasuk cucu yang paling kecil. Saatsaat terakhirnya yang begitu berharga akan terbuang siasia jika ia tinggal di rumah sakit, jauh dari rumah. Tina, seorang wanita yang meninggal di rumah, hanya menggunakan sedikit bantuan obat-obatan yang dapat diperolehnya, terutama di saat-saat akhir hidupnya. Ini bukan merupakan masalah prinsip: di stadium akhir dari penyakit kanker payudaranya, ia sangat bergantung pada obat penghilang rasa sakit dan menerima perawatan untuk mengurangi rasa sakit. Tetapi ia bersikeras bahwa kematian merupakan masalah keluarga, dan melakukan apa yang dapat ia lakukan agar ia tidak harus menjalani pengobatan di rumah sakit. Seperti yang diceritakan kembali oleh seorang perawat:
Ketika Tina sudah benar-benar menyadari bahwa ia tidak lama lagi akan meninggal, ia berusaha untuk menjauhkan dirinya dari segala bentuk pengobatan kecuali yang bersifat mendasar. Dalam hal ini ia tidak marah kepada atau menyinggung siapa pun, ia hanya bersikeras: Jika akhirnya saya akan meninggal, tidak ada gunanya datang ke ruang dokter, atau diambil darahnya, atau ditimbang berat badannya, atau melakukan sesuatu yang seperti itu. Yang terpenting adalah hidup saya cukup terasa nyaman. Ia menolak untuk tetap tinggal di tempat tidur, bahkan ketika ia merasa pening dan lemah, ia memaksa dirinya untuk bekerja semampunya. Saya tidak mati karena kanker, ia berkata. Saya hidup bersama dengan kanker.

Melebihi Ilmu Kedokteran 115 Mendekati saat akhir hidupnya ia memberhentikan perawat yang menjaganya di rumah dan mengatakan bahwa keluarganya atau siapa pun dapat merawatnya. Mereka memang merawatnya sampai akhir hayatnya. Saya tidak percaya ada seorang perawat atau dokter saat ia menghembuskan napas terakhirnya. Bertindak menjauhi pengobatan secara medis tidak selalu berarti menyambut kematian. Pada kenyataannya, saya melihat hal sebaliknya yang terjadi, seperti pada Hardy, seorang paman yang tahun-tahun akhir hidupnya mengingatkan saya pada kebenaran kuno: hanya ketika orang telah benar-benar menyerah dan berserah kepadaNya, Tuhan akan mengambil alih pergumulan itu baginya. Kakak laki-laki tertua ayah saya, Hardy, menderita penyakit jantung dan diabetes selama bertahun-tahun. Di bulan September 1984 ia menjalani operasi bypass jantung; pada bulan November di tahun yang sama ia menderita gagal jantung. Ia dirawat di rumah sakit, tetapi minta pulang untuk dirawat di rumah. Awal Desember tekanan darahnya sangat rendah dan membahayakan hidupnya. Ada saatnya ia merasa gelisah dan khawatir; ada saatnya juga ia merasakan kedamaian. Di saat-saat seperti ini, orang akan merasakan aura kematian di ruangannya. Suatu hari ia berkata, sangat sederhana, Saya sedang menanti ajal. Hardy memerlukan pengobatan yang harus dimasukkan langsung ke pembuluh darahnya untuk mempertahankan tekanan darahnya, dan oksigen untuk membantu kesulitannya dalam bernapas dan meringankan rasa sakit pada jantungnya. Meskipun demikian, pada suatu hari ia mengejutkan semua orang dengan mencoba untuk mencabut alat bantu

116 Jangan Takut medis dari tubuhnya. Ia sudah siap untuk meninggal, katanya, seperti siap untuk hidup. Ia sudah siap untuk menerima kehendak Tuhan atas dirinya. Kami memanggil dokter dan berkonsultasi panjang lebar, kemudian dengan enggan kami setuju untuk melepas alat bantu itu. Kami percaya tanpa pengobatan ini, Hardy tidak akan hidup lama, dan ia sendiri menyadari hal ini. Ini merupakan langkah iman, tetapi kami siap untuk menerima segala risiko dan yang paling penting, Hardy pun demikian. Ketika perawatnya mencabut alat bantu itu, ia memberi isyarat kepada perawat untuk menunduk, dan ia menciumnya. Sungguh suatu mukjizat, Hardy masih bertahan hidup hari berikutnya, dan setiap hari semakin kuat. Dalam beberapa minggu dan beberapa bulan ke depan kesehatannya semakin membaik, ia mulai aktif kembali dan bahkan beberapa kali melakukan perjalanan panjang, termasuk perjalanan ke Eropa. Tiga tahun kemudian, ia menderita gagal jantung dan meninggal dunia. Ini sama seperti yang pernah ditulis oleh ibunya, nenek saya, Emmy Arnold: Kadang-kadang sebelum kematian menjemput, hidup kembali bersinar, sedemikian rupa sehingga harapan untuk sembuh timbul kembali. Ini seperti musim gugur yang cerah sebelum datangnya musim dingin yang panjang. Dan sesudah itu datang musim semi: kebangkitan.

117

11

Dalam Tangan Tuhan

Dilihat dari penampilan keseluruhan ia seorang bayi yang sehat, tetapi dalam jangka waktu beberapa minggu setelah kelahirannya Ray menderita penyakit kuning, dan tidak lama kemudian didiagnosis mengalami kondisi yang jarang terjadi: ia tidak mempunyai pembuluh darah yang menghubungkan hati dengan ususnya. Meskipun masalah seperti ini dapat diatasi di zaman sekarang, tetapi tidak demikian halnya pada masa itu (1967), dan para dokter di Yale mengatakan kepada orangtua yang hancur hatinya ini bahwa usianya tidak akan lebih dari satu tahun. Oleh karena itu, mereka membawanya pulang ke rumah. Ray bertumbuh secara normal sampai berusia enam bulan, meskipun ia sering terlihat sedikit kuning. Setelah itu kondisinya mulai menurun. Pertama berat badannya tidak bertambah, dan kemudian ia mulai kehilangan berat badannya. Perutnya membesar, wajahnya terlihat kecil dan menderita. Seperti yang dikatakan oleh ayahnya di kemudian hari, ia terlihat seperti anak yang busung lapar tulang berbalut kulit, dengan mata yang besar dan lebar. Tetapi saudara-saudara kandungnya tidak pernah memerhatikan hal itu, atau bahkan menerima kenyataan bahwa ia menderita

118 Jangan Takut penyakit yang mematikan; mereka mencintainya dan merawatnya, dan percaya bahwa ia akan bertumbuh. Ray meninggal dunia pada usia empat belas bulan, seperti yang telah diprediksi oleh para dokter. Di akhir hayatnya, kulitnya berwarna oranye tua, dan berat badannya hanya delapan pounds. Bahkan sekarang ini, di negara yang paling maju sekali pun di planet bumi yang sudah dapat melakukan transplantasi kornea mata dan jantung, memiliki respirator untuk memperpanjang hidup, dan memiliki obatobatan yang sangat keras, tidak ada jaminan bahwa ilmu kedokteran itu dapat melawan kematian. Mungkin, itu satu-satunya kenyataan dalam hidup manusia yang tidak berubah sejak awal manusia diciptakan: hidup kita berada di tangan Tuhan. Kita semua mengetahui hal ini, bahkan secara bawah sadar seorang agnostik atau ateis akan berteriak Ya Tuhan! sesering orang-orang percaya berteriak ketika mereka dihadapkan pada suatu ketakutan yang datang secara tiba-tiba, atau meningkatkan teriakannya ketika merasakan sakit yang luar biasa. Meskipun demikian, dalam keadaan baik, Tuhan dengan cepat berada di belakang layar. Kita baik-baik saja; kita mempunyai rencana-rencana dalam hidup; hidup kita terkendali dengan baik. Sampai, kita mengalami hal yang sebaliknya, seperti orangtua Ray. Apa artinya hidup dalam kesadaran bahwa kita bergantung pada Tuhan? Bagi Adela, seorang wanita muda yang saya kenal yang menderita penyakit Hodgkin, ini berarti menerima campurtanganNya dalam hidupnya bahkan ketika itu berarti meninggalkan mimpi-mimpinya,

Dalam Tangan Tuhan 119 dan menolak untuk membiarkan kanker menghentikan masa depannya. Adela didiagnosis mengidap kanker di usia produktif, dua puluh lima tahun, dan pada waktu itu sedang jatuh cinta. Bagi orang lain, penyakit mungkin akan mengubah rencana mereka, tetapi tidak demikian dengan Adela dan Sergei. Kenyataannya, penyakit ini tidak membuat mereka bersedih, tetapi semakin menguatkan cinta mereka: bagaimana pun kondisi kesehatannya, hidupnya berada di tangan Tuhan, dan oleh karena itu tidak ada alasan untuk membubarkan rencana mereka untuk bertunangan dan menikah. Saya menikahkan Sergei dan Adela di bulan Agustus 1985, dan saya tidak pernah melupakan janji yang mereka ucapkan atas satu pertanyaan yang saya kemukakan kepada mereka: Apakah engkau akan tetap setia pada pasanganmu dalam suka dan duka, dalam keadaan sehat dan sakit, sampai kematian memisahkanmu? Belum pernah pertanyaan itu terlihat begitu penting dan begitu nyata. Secara pikiran manusia, perkawinan yang baru dikukuhkan tersebut seperti tidak masuk di akal: sebelum perkawinan terjadi mempelai wanita sudah menjalani serangkaian pengobatan kemoterapi yang melelahkan, pengobatan yang pertama menyebabkan kondisi Adela kritis. Selama tiga tahun ke depan, hampir tidak ada putusnya ia menjalani kemoterapi disertai dengan komplikasi ganda dan dirawat di rumah sakit. Sergei tetap setia berada di sisinya ketika Adela melalui semua penderitaan tersebut. Di kemudian hari para spesialis merekomendasikan pengobatan yang lebih intensif, sebagian dari pengobatan itu adalah transplantasi sumsum tulang belakang. Adela juga

120 Jangan Takut menjalani pengobatan ini, tetapi hanya meringankan penderitaannya untuk sementara. Akhirnya, ia memutuskan untuk menolak semua pengobatan lebih lanjut. Adela yang sejak kecil adalah orang yang ramah, tidak pernah kehilangan rasa humornya. Ketika pengobatan kemo menyebabkan rambutnya rontok, ia melukis dirinya, berdandan seperti badut dan mendatangai satu per satu kamar di rumah sakit mencoba untuk menghibur para pasien seperjuangan. Ketika tidak mungkin bagi mereka untuk memiliki anak, ia menolak mengasihani diri sendiri, dan mengusulkan kepada Sergei untuk mencoba mengadopsi anak. Tetapi, seperti yang sering terjadi, usaha mereka terhalang oleh birokrasi yang berbelit, namun ini tidak menghentikan upaya mereka. Sergei bahkan membawa pulang tempat tidur bayi, dan Adela menyiapkan sebuah baju bayi. Tetapi mereka tidak pernah memiliki seorang bayi. Pada bulan Januari 1989, setelah menikah selama tiga tahun, Adela meninggal dunia. Sebelum meninggal, ia menulis surat kepada suaminya:
Aku mohon ketika aku meninggal ingatlah aku bukan seorang pahlawan, dan aku tidak selalu dapat menerima kehendak Tuhan, aku adalah seorang pendosa, aku gagal dalam melayani dan mencintai orang lain, aku juga merasakan putus asa, depresi, ketakutan dan keraguraguan, dan godaan-godaan lainnya dari setan. Ingatlah juga, aku lebih memilih tertawa daripada air mata, kita dapat meninggal karena kanker tetapi kita juga dapat hidup dengan kanker dan menertawakannya. Aku mohon jangan menyimpan sesuatu karena aku yang membuatnya atau menulisnya. Itu semua hanya barangbarang duniawi dan tidak ada yang spesial untuk itu

Dalam Tangan Tuhan 121


semua. Ingatlah bahwa kehendak Tuhan tidak dapat dipertanyakan jalan-Nya selalu yang terbaik; Ia mengasihi kita meskipun kita tidak mengasihi-Nya, dan di Gereja engkau tidak pernah sendirian; harapan lebih besar dari putus asa dan iman lebih besar dari rasa takut, dan suatu hari kuasa dan kerajaan Allah akan menang di atas segalanya

Ia juga menulis puisi yang dengan seizin Sergei saya masukkan dalam buku ini: Kekasihku Sergei engkau mungkin merasa sulit untuk membacanya seperti aku merasa sulit untuk menulisnya tetapi aku harus menulisnya meskipun ini akan memakan waktu bertahun-tahun sebelum engkau membutuhkannya aku mungkin sudah hidup lebih lama daripada engkau meskipun aku tidak tahu bagaimana aku dapat hidup tanpamu hanya Tuhan yang mengetahui waktu kita tetapi jika waktuku tiba kehendak Tuhan terjadi datanglah di sisiku dan katakan kepadaku bahwa saatnya hampir tiba dan tanyakan kepadaku apakah aku siap untuk berjumpa dengan penciptaku dan peganglah tanganku berdoalah untuk pengampunan atas dosa-dosaku berdoalah juga untuk kedamaian jiwaku dan aku akan berdoa bagi ketenangan jiwamu dan berjuang bagimu dan mencintaimu selamanya Seperti ucapan klise, ketika hidup berada dalam bahaya keputusan dibuat dengan tergesa-gesa dan menghadapi risiko sesuai keputusan yang diambil. Tetapi seperti yang diperlihatkan dalam perkawinan antara Sergei

122 Jangan Takut dan Adela, keadaannya tidak harus selalu seperti itu. Ada sesuatu yang tidak menarik terlalu berhati-hati dalam menjalani hidup tidak berani mengambil risiko. Tetapi tidak ada yang lebih menggembirakan daripada menjalani hidup secara penuh. Ini mengharuskan kita bangkit melawan tantangan yang ada di hadapan kita, daripada menghindarinya; hadapi kenyataan daripada lari darinya. Ini berarti berani mengambil langkah yang salah dan membuat loncatan iman. Dan hadiahnya, seperti yang telah kita lihat, ketenangan dalam menghadapi kematian. Merupakan sebuah anugerah, percaya bahwa kita berada di tangan Tuhan, dan mendapatkan ketenangan dari rasa percaya itu bukan hanya bagi orang yang sedang menghadapi ajalnya saja, tetapi juga bagi mereka yang berduka setelah kepergian orang yang mereka kasihi. Tetapi bagaimana dengan mereka yang meninggal tanpa keyakinan seperti itu? Dan bagaimana dengan orangorang yang mereka tinggalkan, yang kesedihannya bertambah dengan kebingungan bahwa orang yang meninggal belum siap untuk pergi? Terutama dalam kasus perceraian atau perpisahan, kerenggangan hubungan antara orangtua dan anak, dan hubungan yang tidak mulus di antara teman, ini semua merupakan hal yang biasanya menimbulkan rasa takut dalam diri mereka yang hidup. Kemanakah mantan suami (atau ibu, ayah, anak laki-laki atau anak perempuan) saya pergi? Apakah ia berada bersama Tuhan? Sering, ketakutan ini tidak hanya terbatas pada kebingungan mengenai ke mana orang yang sudah meninggal tersebut pergi. Orang-orang percaya mungkin ingin tahu bagaimana mereka menghadapi hukuman dari penghakiman terakhir; orang-orang yang tidak percaya

Dalam Tangan Tuhan 123 mungkin ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui. Sebagai seorang konselor dan gembala umat, saya tahu banyak sekali orang yang bergumul dengan pertanyaanpertanyaan seperti ini daripada yang kita perkirakan. Tentu saja, tidak ada orang yang dapat berbicara untuk orang yang sudah meninggal, dan meskipun kita dapat melakukannya, ini tidak dapat mengubah apa pun. Tuhan bekerja, seperti kata pepatah, dalam cara yang misterius, dan tidak ada yang dapat memahaminya seperti rahasia kematian. Tetapi dengan meletakkan orang yang kita kasihi ke tangan Tuhan kedamaian yang luar biasa dapat ditemukan ini berarti percaya bahwa Ia tidak akan meninggalkan mereka. Ketika Lisa ditemukan di sebuah danau dekat rumahnya di suatu pagi di bulan Juni 1978, banyak tetangganya yang tidak mengerti. Meskipun kelihatannya tidak mungkin, penyebab kematiannya membuat semuanya menjadi jelas: ia bunuh diri. Di usia lima puluh lima tahun, Lisa telah mengalami pencobaan lebih banyak daripada orang-orang lain yang saya kenal: dari sembilan orang anaknya, satu orang meninggal ketika dilahirkan dan satu lagi meninggal ketika masih bayi. Anak ketiga mengidap penyakit tulang yang tidak umum. Lisa sendiri mempunyai banyak sekali masalah kesehatan fisik dan jiwa, termasuk eksim, schizophrenia, dan Parkinson. Ia mengalami kesulitan berjalan, dan kadang-kadang tangannya bergetar tak terkendali sehingga ia tidak dapat mengambil makanannya atau merapikan dirinya. Di atas ini semua, suaminya meninggalkannya. Lisa sebagai salah satu anggota kongregasi, mempunyai banyak teman. Di samping itu, ia mempunyai

124 Jangan Takut dokter yang bagus, perawat yang datang ke rumahnya setiap hari, dan para tetangga yang memerhatikannya. Anak-anaknya yang sudah dewasa juga melakukan yang dapat mereka lakukan untuk mendukungnya. Tetapi ini semua tidak cukup, dan sekarang ia telah pergi untuk selamanya, meninggalkan setiap orang yang mengenalnya dalam kekhawatiran, rasa bersalah dan duka. Beberapa tahun sebelumnya, saya dan Lisa tinggal di lingkungan yang sama, dan ia bekerja sebagai seorang perawat di rumah sakit di mana istri saya (juga seorang perawat) mengajar. Sekarang kami tinggal ratusan mil jauhnya. Selama ini kami masih berhubungan dengan Lisa, dan kami tahu bahwa ia mudah mengalami depresi. Tetapi kami tidak pernah menyangka hal ini terjadi.... Acara pemakaman Lisa, seperti juga pemakaman bagi orang yang bunuh diri, merupakan upacara pemakaman yang menyakitkan. Tetapi ayah saya, teman lama dari keluarganya, mendorong mereka untuk tidak berputus asa ketika mereka bergumul untuk mencoba mengerti dengan apa yang terjadi. Menafsirkan kata-kata pengarang Romano Guardini, ia mengingatkan mereka bahwa tidak soal betapa dalamnya luka kita, Tuhan yang selalu melihat dan mengerti tidak pernah berhenti memberi belas kasihan:
Kehilangan seorang ibu menimbulkan luka dalam hati. Tetapi kasih Tuhan lebih besar. Dan dalam mempertimbangkan kematian ini, terutama, penting bagi kita untuk percaya pada Tuhan, karena kalau kita percaya kepada-Nya, Ia akan menjawab setiap kebutuhan kita. Ia berjanji kepada kita dalam Yesaya bahwa seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan menghibur kamu.

Dalam Tangan Tuhan 125


Kita tidak selalu dapat mengerti segala sesuatu yang diperbuat oleh orang lain, karena kita hanya dapat melihat luarnya saja, tetapi Tuhan, yang dapat melihat kedalaman dalam setiap hati, dapat mengerti. Orang kadang-kadang berbuat sesuatu yang bodoh meskipun ia dapat membuat keputusan yang lebih baik: buktikan, ia tidak dapat melakukan apa yang ingin ia lakukan, atau menemukan kata-kata yang tepat untuk mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Bahkan orang mungkin dapat melakukan sesuatu dengan sengaja, tetapi tidak mampu untuk mengatakan maksud dari perbuatannya. Yang dapat dirasakan hanyalah kegelisahan, dan semakin orang mencoba untuk mengerti perbuatannya semakin orang merasa tertekan, dan akan menjadi semakin diam. Keadaan pikiran yang seperti itu dapat menimbulkan siksaan dan penderitaan. Tetapi Tuhan tetap melihat dan mendengar.... Tuhan melihat, merupakan tindakan kasih. Kasih ini memeluk ciptaanNya, dan memberi keyakinan dan keberanian kepada mereka. Ia tidak membenci apa yang sudah Ia ciptakan. Tuhan melihat dengan mata kasih, dan tidak ada yang lebih terang daripada mata-Nya, tidak juga ada yang lebih menenangkan.... Dilihat oleh Tuhan tidak berarti kita terekspos oleh sorotan mata yang kejam sebaliknya ini berarti direngkuh jauh ke dalam hati yang penuh kasih dan belas kasihan.

Saya selalu berpegang pada kata-kata itu bukan hanya dalam hubungannya dengan Lisa. Lima tahun sebelumnya, seorang paman yang menjauhkan diri dari kami meninggal dalam kecelakaan pesawat di Perancis. Joel dan ayah saya, pendeta di Gereja yang sama, telah bekerja bersama selama berpuluh-puluh tahun. Meskipun demikian, dengan berjalannya waktu, hubungan mereka menjadi semakin tegang dan akhirnya hancur ketika Joel yang menikah dengan saudara perempuan ayah saya,

126 Jangan Takut ketahuan berselingkuh. Joel yang marah karena perbuatannya diketahui, meninggalkan keluarganya dan Gereja. Lama setelah itu, ayah saya menulis kepadanya, meminta ia untuk melihat kehancuran yang disebabkan oleh perilakunya, dan memohon untuk melakukan rekonsiliasi. Tetapi Joel bertambah marah. Di awal 1973, ayah saya menerima surat yang rupanya merupakan surat terakhir dari Joel berisi pesan penuh kebencian dengan kata-kata yang sarkastik. Tidak lama setelah itu kami menerima berita kematiannya. Tentu saja, istri dan anak-anak Joel sangat terguncang. Di manakah ia sekarang? Dan melihat cara hidupnya dapatkah jiwanya beristirahat dalam kematian? Ayah saya juga merasa terganggu, tetapi ia memperingatkan keluarga untuk tidak tergesa-gesa menghakimi. Mengingatkan mereka pada cerita mengenai penyamun yang bertobat di Golgota, ia mendorong mereka untuk mengingat janji Yesus, hari ini juga engkau akan berada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus. Ayah saya berkata, kata-kata itu mengandung kebenaran bagi siapa pun yang melakukan pertobatan. Dan bagaimana mereka tahu bahwa Joel tidak mencari dan menemukan pengampunan, meskipun hanya beberapa detik sebelum kematiannya? Rasa takut yang menghantui keluarga Joel dapat dimengerti, terutama melihat pada pandangan tradisional umat Kristiani mengenai neraka. Tetapi ini tidak sehat dan tidak membangun. Benar, Tuhan menghakimi, tetapi bahkan dalam Perjanjian Lama Ia berkata, Apakah Aku menginginkan kematian dari orang berdosa? Apakah tidak lebih baik bagiku ia memperbaiki hidupnya dan tetap hidup? dan dalam Perjanjian Baru kita membaca, Tuhan tidak menghendaki kehancuran semua jiwa, tetapi pertobatan.

Dalam Tangan Tuhan 127 Tidak soal apa pun alasan kita merasa khawatir, saya sangat yakin selalu ada alasan untuk memiliki pengharapan yang lebih besar dan untuk memercayai (seperti Surat Yohanes yang Pertama) kasih yang mengusir rasa takut. Seperti yang kita baca dalam Roma 8, baik maut, maupun hidup, baik malaikatmalaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasakuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, atau pun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah....

128 Jangan Takut

129

12

Penderitaan

Kapan saja saya berpikir mengenai penderitaan, Miriam selalu terbayang dalam pikiran saya. Dilahirkan dengan menderita banyak sekali cacat fisik, termasuk ketidakmampuan untuk menelan, ia harus diberi makan melalui pipet selama beberapa minggu dalam hidupnya dan dengan selang makanan sampai ia berusia satu tahun. Tetapi penyakit kerapuhan tulang (brittle bone disease) merupakan penyakit yang sangat mengganggu dalam hidupnya. Sebagai seorang balita kadang-kadang tulangnya patah hanya karena ia mencoba untuk menarik kakinya dari antara jeruji tempat tidur bayinya. Di kemudian hari, menubruk pintu atau jatuh karena membuat gerakan yang cepat akan menyebabkan serangkaian patah tulang di tangan atau kakinya atau keduanya, dan sering diikuti dengan perawatan di rumah sakit dan operasi, dan selalu disertai dengan rasa sakit yang luar biasa, belum termasuk enam minggu atau kadang lebih tulangnya di gips. Ketika berusia delapan tahun, kakinya telah patah sebanyak enam belas kali. Pada usia sepuluh tahun, Miriam menderita gagal jantung. Sepertinya itu belum cukup, tulang belakangnya yang bengkok, secara signifikan mengurangi kemampuan

130 Jangan Takut kerja paru-parunya, sehingga ia sering sulit untuk bernapas. Pada waktu memasuki usia remaja, ia sudah menggunakan kursi roda. Kemudian ketika ia baru saja menginjak usia empat belas tahun, datang penderitaan yang paling besar: ibunya bunuh diri. Miriam sendiri meninggal pada usia dua puluh delapan tahun, pada waktu itu ia telah menjalani paling sedikit lima belas kali operasi, lebih dari empat puluh kali dirawat di rumah sakit, dan mengalami ratusan kali patah tulang. Sepanjang hidupnya yang singkat itu, Miriam memiliki kepribadian yang bebas dari beban kondisi fisiknya. Sesungguhnya, ia mengingatkan kita pada seekor burung Gereja kecil, penuh semangat, gembira. Kepribadian ini tetap dibawanya sampai akhir hidupnya: meskipun ia selalu berjuang untuk setiap tarikan napasnya, ia tidak tertaklukkan. Ketika tidak ada lagi yang dapat dilakukan baginya secara medis, ia berkata, melalui oxygen mask, Well, saya kira saya sudah siap. Hanya tinggal sedikit ucapan terima kasih yang harus saya tulis. Dapatkah dikatakan penderitaan seumur hidup seperti penderitaan Miriam atau penyakit yang melemahkan yang diderita tanpa batas waktu, dapat dikatakan sebagai kehendak Tuhan? Jika kita mengatakan tidak, kita akan merasakan ketegangan. Akhirnya, Perjanjian Baru mengatakan kepada kita mengenai orang yang buta supaya Tuhan dimuliakan, dan merupakan kehendak Tuhan, Yesus menderita dan mati. Di satu pihak Kitab Suci penuh dengan cerita yang berbicara mengenai kuasa Tuhan untuk menyembuhkan dan menyelamatkan dan memberi hidup, sungguh tidak dapat dimengerti bahwa penyakit dan kematian masih ada dalam hidup ini.

Penderitaan 131 Penulis Elisabeth Elliot mengatakan bahwa meskipun kita menerima ini semua, paling tidak pada tingkat tertentu, sebagai bagian dari hidup, kita mendapati sukar untuk menerimanya ketika penderitaan ini menimpa seorang anak, seorang dewasa yang tidak bersalah, atau orang lain yang penderitaannya membuat kita tidak mengerti arti dari keadilan. Dan kita mencoba untuk menjelaskan dengan menggunakan rasio dan hukum agama dan kemudian mencoba untuk mendapatkan jawaban. Dalam pandangan saya ini sering kali hanya membuang-buang waktu saja. Tentu saja jawaban yang kita temukan dapat digunakan untuk mendalami arti penderitaan, untuk berusaha mengatasi pertanyaanpertanyaan besar, dan agar kita dapat lebih menghayatinya. Pada waktu yang bersamaan, Elliot meneruskan, ada harga yang harus dibayar setiap kali kita memuaskan keinginan kita untuk memberi penjelasan yang masuk akal untuk hal-hal serupa itu, seperti penderitaan. Ketika kita merasa kita telah membuka sebuah misteri, kita cenderung untuk menutup kasus tersebut dan tidak mempelajarinya lebih lanjut. Masalah tidak terpecahkan, ini akan menjebak kita dengan tantangan untuk menemukan pemecahannya; disimpan, masalah tersebut kehilangan relevansi dan maknanya. Merujuk pada penghancuran Menara Kembar di New York pada 11 September 2001, pengarang Barbara Kingsolver berkata:
Terdapat banyak sekali jawaban, dan banyak juga yang tidak mempunyai jawaban: Sungguh sangat menyakitkan melihat kematian orang-orang yang tidak tahu duduk persoalannya, tetapi seperti itulah sering hidup berakhir. Kita menjadi tua atau tidak, kita menderita kanker, kita kelaparan, kita diserang, kita naik pesawat terbang berpikir untuk kembali ke

132 Jangan Takut


rumah tetapi itu tidak pernah terjadi. Terdapat anugerah dan mukjizat dan ketidakberuntungan, tidak ada garansi. Kita tidak mau menerima itulah kenyataan hidup, kita lebih senang berpura-pura menghayati hidup seperti sebuah permainan yang dapat kita menangkan dengan strategi yang tepat.

Berbicara mengenai anugerah, mungkin salah satu anugerah terbesar adalah kemampuan untuk menemukan arti dari penderitaan yang kelihatannya tidak berarti. Saya mengatakan tidak berarti karena selama rasa sakit tersebut mempunyai alasan yang jelas rasa sakit waktu melahirkan, rasa sakit karena melakukan olahraga, atau rasa sakit dari sayatan pisau bedah kita dapat menerimanya dengan perasaan puas. Tetapi ketika kita tidak dapat melihat ritme atau alasan di balik rasa sakit itu, sebagian besar dari kita akan bereaksi seperti seekor kucing di meja operasi, yang (seperti dikatakan C.S. Lewis) tidak dapat membedakan antara seorang dokter hewan dan seseorang yang melakukan praktik pembedahan, dan oleh karena itu akan mencakar dan menggigit orang yang pertama sama kuatnya seperti juga mencakar dan mengigit orang yang kedua. Sungguh luar biasa melihat orang seperti Alexander Solzhenitsyn, yang bukan hanya dengan rendah hati menyerah pada penderitaan yang tidak dapat ia mengerti, tetapi juga membiarkan penderitaanpenderitaan itu mengubah dirinya. Solzhenitsyn, orang terkenal yang selamat dari kekejaman kamp kerja paksa di Siberia ini bergumul selama bertahun-tahun untuk memahami mengapa ia dipenjara. Ia mencoba mencari jawabannya, seandainya ia dipenjarakan karena takdir, yang mengindikasikan bahwa ia adalah orang jahat, ini akan mudah untuk diterima. Tetapi bagaimana dengan

Penderitaan 133 mereka yang menerima hukuman yang lebih kejam daripada hukuman penjara, mereka yang ditembak atau dibakar hidup -hidup? Apakah mereka semacam penjahat kelas wahid? Tetapi ia mencatat, selalu ada orang yang tidak bersalah yang mendapat hukuman paling kejam. Apa yang ingin disampaikan oleh kejadian ini mengenai orang-orang yang menyiksa mereka? Mengapa mereka yang berbuat jahat hidupnya makmur dan bukan mereka yang berbuat baik? Meskipun demikian, dalam perjuangan keras untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, Solzhenitsyn berhenti merisaukan dirinya (seperti yang dikatakan) dengan teka teki penderitaan, dan mulai berdamai dengan kenyataan bahwa apakah ia mengerti atau tidak, penderitaan itu tetap ada. Dan dengan menerima kenyataan ini muncul pemahaman baru:
Sejak saat itu saya merasa bahwa solusi untuk penderitaan adalah: eksistensi kita di dunia bukanlah terletak pada kesejahteraan seperti yang selama ini ada dalam pikiran kita, tetapi pada perkembangan jiwa. Dilihat dari sudut pandang ini orang-orang yang menyiksa kami telah menerima hukuman yang paling menakutkan: mereka telah berubah menjadi orang yang paling menjijikkan; mereka meluncur ke bawah meninggalkan kemanusiaan. Dari sudut pandang itu hukuman dijatuhkan pada mereka yang perkembangannyamenolak pengharapan. Melihat ke belakang, saya merasa bahwa selama ini saya tidak mengerti diri saya sendiri atau usaha keras yang saya lakukan. Apa yang selama ini kelihatannya menguntungkan sekarang ternyata berubah menjadi merugikan, dan saya selama itu berjuang untuk berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah yang seharusnya saya tempuh. Tetapi sama seperti gelombang lautan

134 Jangan Takut


menghantam perenang yang tidak berpengalaman dan membawanya kembali ke daratan, begitu juga diri saya, dengan rasa sakit dibawa ke daratan kering oleh gelombang ketidakberuntungan. Dan pengalaman ini membawa saya berjalan di jalan yang selalu ingin saya lalui. Dari tahun-tahun saya dipenjara, saya dianugerahi dengan pengalaman hidup yang diperlukan oleh manusia: bagaimana seorang manusia menjadi jahat dan seberapa baiknya dia. Keberhasilan saya di masa muda, membuat saya merasa sebagai orang yang sempurna, dan ini menjadikan saya orang yang kejam. Dengan kekuasaan yang luar biasa besarnya yang saya miliki, saya menjadi seorang pembunuh dan penindas. Di masa-masa itu, masamasa kejahatan saya, saya merasa yakin telah melakukan hal-hal yang baik, dan saya selalu memiliki argumentasi yang sistematis. Hanya ketika saya berbaring di tempat tidur jerami di penjara, saya merasakan dalam diri saya rangsangan awal dari kebaikan.

Apa arti penderitaan bagi seseorang yang tidak dianugerahi pemahaman serupa itu atau yang tidak dapat menerimanya, meskipun ia ingin menerimanya? Chuck, seorang rekan pendeta, mengatakan bahwa untuk keluarga dan teman-temannya, pilihannya adalah menggeretakkan gigi dan berpura-pura dapat menerima penderitaan itu:
Saya bertumbuh dalam sebuah keluarga kelas menengah, di mana subyek mengenai kematian seperti penyakit, rasa duka, sakit kepala, atau sumber-sumber kecemasan lain benar-benar dijauhi. Ini bukan karena membicarakan masalah itu merupakan sesuatu yang tabu, tetapi pengalaman hidup yang negatif sangat jarang, jika ada, dibicarakan di luar lingkungan keluarga. Kami tidak membicarakan masalah itu. Sebagai seorang dewasa yang bekerja, saya mendapati dinding kesunyian yang sama didirikan di sekeliling kehidupan pribadi. Ketika istri dari seorang

Penderitaan 135
insinyur di perusahaan saya seorang yang baik hati yang saya anggap sebagai mentor menderita kanker, ia tidak menunjukkan ekspresi wajah minta dikasihani. Ia seakan-akan menuruti peraturan tak tertulis di mana perasaan terlalu sensitif dianggap sebagai ketidakstabilan emosi, dan perasaan sakit dianggap sebagai kelemahan. Jelas ia tidak ingin dihubungkan dengan salah satu kelemahan tersebut. Ia harus tetap tegar. Saya tahu Ed sangat mencintai istrinya, tetapi sampai hari ini saya masih sangat heran sedemikian lamanya ia dapat melepaskan dirinya dari terlibat secara emosi pada penderitaan istrinya, paling tidak di tempat kerjanya. Suatu hari ia mengatakan yang sebenarnya kepada saya bahwa tumor istrinya pecah; beberapa hari kemudian ia masuk ke kantor dan mengumumkan bahwa istrinya meninggal pagi itu. Saya tidak percaya ia masuk kerja walaupun mungkin ini ia lakukan karena tidak ada orang di rumahnya untuk diajak bicara. Di samping itu, caranya mengatasi kehilangan istrinya sama seperti ia mengatasi sesuatu dalam dunia kerja. Dari luar terlihat keakraban dan ketulusan. Ketika kita sedih, kita menutupinya tidak peduli betapa itu sangat menyakitkan kita.

Banyak orang yang meyakini bahwa rasa sakit bukan hanya dapat diatasi dengan menggigit bibir dan bertahan di dalamnya tetapi ditambah lagi dengan rasa takut bahwa ini merupakan satu-satunya cara yang dapat mereka lakukan , mereka tidak mau menunjukkan perasaan mereka yang sesungguhnya. Mereka menolak melakukan itu, karena mereka merasa topeng yang menutupi perasaan mereka ini paling tidak dapat memberi perlindungan. Tetapi yang sebenarnya terjadi, topeng ini bukannya melindungi mereka dari rasa sakit yang mereka rasakan tetapi malah lebih melukai perasaan mereka: dengan

136 Jangan Takut menyembunyikan rasa sakit kita dari orang lain, kita memaksa diri kita untuk menanggung perasaan itu dalam kesendirian. Yang lain mencoba untuk mengatasi penderitaan dengan berharap penderitaan itu akan pergi, atau berpura-pura penderitaan itu tidak ada. Tetapi seperti dikatakan Fran, yang kehilangan anak lelakinya karena kanker, jika cara ini digunakan, dalam jangka panjang penderitaan akan terasa berat untuk (atau tidak mungkin dapat) ditanggung:
Penderitaan tidak dapat terus menerus ditolak, dan ketika penderitaan itu datang, tidak ada yang lain selain rasa sakit. Mungkin hal itu baru dapat dimengerti dengan bertambahnya usia dan pengalaman. Tetapi seandainya saya harus melalui penderitaan itu lagi dalam hidup saya, saya berharap untuk menggegamnya. Hidup ini berat, dan ada sesuatu yang menyakitkan meskipun kita berusaha sekuat tenaga untuk meringankannya dan membuatnya menjadi lebih baik. Kita sebaiknya menerima penderitaan dan memeluknya ketika penderitaan itu datang menghampiri, karena penderitaan itu tidak akan menghilang begitu saja.

Bagi suami Fran, yang dalam bulan-bulan pertama setelah mengetahui penyakit anak lelakinya mencoba untuk menyembunyikan rasa sakitnya, menghadapi penderitaan dengan penuh kejujuran dan kerelaan untuk mengungkapkan rasa takutnya yang mendalam:
Saya menyimpan sendiri kecemasan saya mengenai kondisi anak lelaki kami karena saya khawatir istri saya tidak dapat mengatasi situasi ini. Hal ini menimbulkan ketegangan di antara kami. Ia sesungguhnya membutuhkan seseorang untuk mencurahkan isi hatinya, seseorang yang dapat merasakan rasa takutnya. Ia membutuhkan saya.

Penderitaan 137
Ketika akhirnya kesadaran datang, saya meruntuhkan dinding pemisah di antara kami. Saya membiarkan diri saya terlihat lemah. Saya menyadari bahwa menarik diri dapat menghancurkan perkawinan kami. Kami berdua juga tahu bahwa di dalam perkawinan di mana rasa sakit dan pergumulan yang seharusnya membawa suami istri lebih dekat satu kepada yang lain pada kenyataannya tidaklah demikian. Masing-masing pasangan saling menjauh dengan membawa perasaanperasaan mereka sendiri dan menafsirkan sendiri apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pasangannya. Tantangan yang terbesar adalah mengatasi emosi kita: sesuatu yang dulu membuat kita tertawa bersama sekarang dapat membuat kita saling menjauh. Tetapi mengakui bahwa kita hanyalah manusia biasa, orang yang lemah, yang tidak dapat mengatasi penderitaan ini, dan itu hal yang wajar memberi kelegaan yang luar biasa. Jika kita dapat melakukan itu, kita tidak perlu lagi menolak atau menekan emosi kita, atau merasa khawatir apa yang kita lakukan itu salah. Jika kita perlu menangis, menangislah. Ketika kita mampu untuk melakukan ini, dan melihat stres kita dalam diri pasangan kita, kita akan dapat saling berbagi dalam penderitaan secara terbuka. Kita saling memeluk dan menangis bersama selama itu dibutuhkan. Dan kemudian kita dapat berkata, Well, cukup untuk saat ini, mari kita melanjutkan hidup ini.

Dalam budaya kita yang mengagungkan pengobatan dengan menggunakan terapi tidak diperlukan lompatan iman yang luar biasa untuk percaya bahwa berbagi rasa sakit dengan cara ini merupakan cara terbaik untuk mengatasi penderitaan. Dengan melihat jumlah orang yang saya kenal yang bukan hanya dapat mengatasi penderitaan dalam hidup mereka, tetapi juga keluar dari penderitaan itu dan menjadi orang yang lebih kuat dari sebelumnya, saya merasa mungkin kita perlu berhenti

138 Jangan Takut melihat penderitaan sebagai sesuatu yang benar-benar negatif. Jika kita menerima penderitaan, kadang rasa sakit dapat menjadi suatu peristiwa penebusan pencobaan yang berat yang membentuk dan memperbarui hidup kita. Dalam novelnya Crime and Punishment, Dostoevsky, yang tidak asing dengan penderitaan, memiliki pemahaman yang lebih mendalam, dan membuat pernyataan yang berani: Sekarang engkau tidak percaya pada kata-kata saya, tetapi nanti engkau akan mengertiPenderitaan merupakan sesuatu yang menyenangkan. Karena hanya orang yang pernah menderita yang mempunyai hak untuk berkata begitu, maka pernyataan serupa itu paling baik dikatakan pada diri kita sendiri bukan kepada orang lain. Bagaimana pun juga, jarang sekali seseorang diberi kekuatan untuk menanggung bebannya tanpa berkeluh kesah. Kebanyakan merasa tertekan, jika tidak merasa berbeban berat. Tetapi, juga ada benarnya kata-kata Dostoevsky seperti ditunjukkan dalam kisah berikut ini. Deb dibesarkan di rumah yang nyaman, bersekolah di sekolah swasta, melakukan perjalanan ke Eropa, dan berlibur di kebun anggur Marthas. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas, ia bersekolah di Smith, sebuah perguruan tinggi yang ekslusif bagi wanita dekat Boston. Tetapi jika kehidupan masa kecilnya dapat disamakan dengan memiliki privilese tidak demikian dengan kehidupan masa dewasanya. Di usia empat puluh tiga tahun, Deb, yang sudah menikah dan dikaruniai enam orang anak, mulai merasa tangan dan kakinya mati rasa. Penyakitnya tidak dapat dijelaskan secara medis. Ia tidak mengeluh sama sekali, dan menanggungnya dalam diam ketika penyakit yang mengganggu ini secara perlahan menjadi semakin parah. Tidak lama ia menjadi semakin lemah. Mom bahkan

Penderitaan 139 tidak dapat menolong saya menutup resleting jaket saya, anak lelakinya Tommy mengatakan kepada teman sekelasnya. Ia juga tidak dapat mengangkat satu karton susu dari meja tanpa usaha keras, dengan menjepitnya dengan kedua belah tangan. Tetapi ia masih memaksa untuk memenuhi pekerjaan seorang ibu. Di awal tahun 1969 sebuah benjolan ditemukan di belakang leher Deb, dan ia dirawat di rumah sakit. Sebuah operasi darurat dilakukan untuk mengangkat tumor tersebut, tetapi operasi ini menyebabkan Deb lumpuh dari leher ke bawah. Betul-betul tak berdaya, ia hanya dapat berkomunikasi dengan menggunakan matanya. Tetapi sementara orang memandang tubuh Deb yang tidak berdaya sebagai cobaan yang berat baginya, Deb sendiri malah memusatkan pikirannya pada kenyataan bahwa ia masih diberi hidup. Bersikeras bahwa ia dapat hidup normal kembali, ia bertemu dengan terapis fisik beberapa kali dalam seminggu, dan di rumah ia melatih otot-otonya setiap hari agar dapat berfungsi lagi dengan baik. Dorongan yang kuat untuk mendapatkan kembali kekuatan dan mobilitas dirinya merupakan bagian dari kepribadiannya ia adalah orang yang menyenangi tantangan tetapi selain itu: ia sedang hamil. Enam bulan setelah menjalani operasi, Deb melahirkan seorang anak laki-laki. Yang menakjubkan, Mark seorang bayi yang kuat dan sehat, meskipun ibunya merasakan penderitaan yang luar biasa di bulan-bulan sebelum kelahirannya. Deb, terlalu lemah untuk merawat Mark, atau bahkan menggendongnya untuk waktu yang lama. Tetapi ia melakukan hal kecil yang dapat ia lakukan: memberi susu kepada Mark dengan menyandarkan lengan bagian atasnya ke bantal, dan memiringkan botolnya ke arah Mark dari samping.

140 Jangan Takut Ketika Mark berusia enam minggu, Deb masuk ke program rehabilitasi untuk kembali mempelajari aktivitas harian dan keahlian yang lazim dimiliki oleh orang-orang normal, tetapi yang tidak lagi dapat dilakukannya: berjalan, menulis, mengikat tali sepatu, mengancing blus, menyisir rambut, memecah telur. Meskipun ia berusaha sekuat tenaga, tetapi kesembuhannya tidak menyeluruh: ia sulit untuk berjalan, tangannya bergetar sehingga tulisannya bertaburan di seluruh kertas, dan ia tetap sangat lemah. Selama beberapa tahun ke depan dengan penuh keteguhan Deb berjuang untuk dapat kembali normal, satu per satu langkah yang menyakitkan dijalani. Sesudah itu, tanpa disadari, ia secara perlahan mulai menyerah. Operasi diusulkan, dan ia menjalani dua kali operasi, tetapi operasi tersebut tidak banyak membantu dalam jangka panjang. Lima tahun terakhir hidupnya ia terkurung dalam kursi rodanya, tubuhnya terlalu lemah sehingga ia tidak dapat menyokong kepala dan tangannya. Namun demikian, ia tidak menyerah. Secara fisik ia lemah, tetapi secara mental dan spiritual ia tetap sadar. Ia tidak mau menjadi orang cacat yang tidak berguna, oleh karena itu sebagai ucapan terima kasih atas perawatan yang telah ia terima selama ini, setiap hari - sampai satu minggu sebelum kematiannya di tahun 1982 ia meluangkan waktu selama beberapa jam untuk melakukan proofreading naskah-naskah untuk sebuah percetakan lokal. Datang dari sebuah keluarga besar dan komunitas yang akrab, Deb menikmati keamanan dan kenyamanan yang tidak didapatkan oleh banyak orang terutama di zaman sekarang ini, di mana kesepian, perasaan diabaikan, dan kemiskinan membuat banyak orang cacat

Penderitaan 141 dan orang yang sudah tua merasa sebagai beban, dan ide hak untuk mati yang sebelumnya tidak pernah ada dalam benak manusia menjadi sesuatu hal yang menarik, jika tidak mengerikan, impian dari ribuan orang cacat dan orang yang sudah tua.. Tetapi disamping segala sesuatu yang dilakukan untuk Deb, ia memiliki sikap hidupnya sendiri: daya juang dalam menghadapi penyakitnya, kesadarannya akan orang lain yang tidak mendapatkan perawatan seperti yang ia dapatkan, dan yang tidak kalah pentingnya kerendahan hatinya untuk menerima ketergantungannya pada orang lain yang didapatkan bukan tanpa pergumulan. Pandangan Deb mengenai penderitaannya diringkas dalam jawabannya pada seorang pengunjung yang mengatakan kepadanya di saat-saat akhir hidupnya, Jika engkau meminta kepada Yesus, Ia dapat membuatmu sembuh lagi. Saya tahu, kata Deb. Tetapi Ia telah memberi saya sesuatu yang lebih mengagumkan keluarga saya, dan kasih dari saudara-saudara lelaki dan saudara-saudara perempuan saya. Pada kebaktian untuk memperingati Deb, dokter bedah syarafnya mengatakan bahwa dari semua pasiennya, ia merasa sangat terhormat dapat merawat Deb. Ia merasa seakan-akan ia sedang melayani Kristus, karena Kristus hidup dalam dirinya.

142 Jangan Takut

143

13

Iman

Ed orang yang tidak ada duanya seorang bujangan dengan gaya bicara orang selatan, seorang yang berjiwa besar dan memiliki sebuah apartemen yang penuh dengan burung kenari. Seorang mantan eksekutif di sebuah perusahaan besar yang mengelola truk di Georgia, Ed mulai mengikuti kebaktian di Gereja kami ketika ia telah berusia lima puluhan. Ia seorang yang sederhana dan spontan, memiliki iman seperti seorang anak. Ia juga seorang yang penuh dengan sifat-sifat yang khas dan senang bergurau, sering menandatangani catatan atau surat dengan Edwin Glover Buxton, L.B. L.B. berarti Lowly brother (saudara yang rendah hati) Ed selalu mengatakan apa adanya, dan menghabiskan waktu bersamanya dengan menerima komentar-komentar mengenai kehidupan yang tak henti-hentinya kadangkadang humoris, kadang-kadang serius, kadang-kadang tepat, kadang-kadang tidak. Ia tidak menikah dan jarang membicarakan mengenai keluarganya, tetapi ia penuh kasih, dan apartemennya selalu dipenuhi oleh para remaja yang ingin bersantai dan mendengarkan lagu-lagu country-western seperti Achy-Breaky Heart, lagu favoritnya.

144 Jangan Takut Ed menderita penyakit jantung selama bertahuntahun, dan ketika ia bertambah tua, ia semakin menyadari bahwa ia dapat pergi (seperti ucapannya) kapan saja. Suatu kali ia mengatakan kepada perawat yang datang untuk menjenguknya bahwa ia menunggu saat untuk bertemu Tuhan: Pertemuan itu akan menakjubkan tetapi juga menakutkan, tetapi Tuhan dan saya sudah saling kenal. Ia tahu mengenai dosa-dosa masa lalu saya. Dan, Ia juga tahu kalau saya menyesali itu semua. Tetapi ia jauh dari sebutan orang suci. Greg, seorang remaja yang sering datang ke apartemennya, mengatakan bahwa Ed bahkan meminta agar pemakamannya menjadi sesuatu yang menyenangkan, dan mengatakan kepadanya bahwa mereka harus membenturkan peti jenazahnya ke beberapa pohon ketika mereka mengangkat peti tersebut ke pemakaman, untuk mendapatkan ukuran yang tepat. Suatu hari Ed meminta saya untuk datang ke apartemennya. Ketika saya tiba di situ ia bercerita mengenai beberapa hal yang membebani dirinya dan betapa ia ingin mengangkat beban tersebut. Tidak ada masalah yang terlalu berat yang diungkapkan, tetapi setelah saya mendengarkan pengakuannya dan meyakinkan dia akan pengampunan Tuhan, ia memeluk saya dan mengatakan bahwa ini merupakan saat terindah dalam hidupnya. Sekarang saya dapat menyongsong hidup kekal dengan gembira. Ed meninggal dunia beberapa hari kemudian. Catatan ini ditemukan di kantongnya: Kira-kira pukul 7:30 malam saya duduk di sini untuk makan malam, dan saya merasa sedih sekali telah melawan Tuhan dan berdosa terhadapNya, suatu perasaan sedih yang luar biasa yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Ini terjadi karena mungkin waktu saya hampir tiba, oleh karena itu saya ingin orang mengetahui mengenai hal ini. Ed.

Iman 145 Saya mengadakan kebaktian untuk memperingati kematian Ed, dan pada waktu kebaktian tersebut beberapa orang berdiri memberi kesaksian mengenai pengaruhnya dalam hidup mereka. Kesaksian terdengar dari segala penjuru, dari para remaja sampai orang tua. Tetapi semua kesaksiannya sama: karena ketulusan hatinya dan katakatanya yang tidak berbau religius, imannya telah menyentuh mereka dan merupakan alat dalam membantu mereka menemukan dasar iman mereka sendiri. Merrill berbeda dengan Ed dari segi latar belakang dan kepribadian. Tetapi ia sama dengan Ed dalam mendapatkan penghiburan dalam imannya. Seorang rekan pendeta yang bekerja bersama saya selama dua puluh tahun, Merrill memberi pemahaman yang luar biasa mengenai Perjanjian Lama dan Baru dalam tugas panggilannya; di samping itu, ia memimpin dua kelompok koor, memberi konseling kepada para pasangan dan murid-murid sekolah menengah atas, mengajar Sekolah Minggu, dan melayani Gereja dalam hal lainnya. Suatu hari di tahun 1986, Merrill (pada waktu itu berusia lima puluh tujuh tahun) merasa sangat pening dan muntah-muntah. Beberapa hari kemudian ia didiagnosis mengidap penyakit kanker pankreas. Dari kunjungan ke beberapa spesialis, ketakutannya yang mendalam dipertegas baik operasi, radiasi atau pun kemoterapi tidak dapat menyembuhkan penyakitnya. Yang menakjubkan, ini semua tidak membuatnya sedih, tetapi semakin memberi semangat kepadanya. Ia bahkan meyakinkan istri dan anak-anaknya bahwa penyakitnya dan kematian yang sudah menantinya akan membawa mereka semakin dekat satu dengan yang lain bukan memisahkan atau mengalahkan mereka.

146 Jangan Takut Secara medis, Merrill tidak berdaya menghadapi penyakitnya. Tetapi ia memiliki iman, dan iman ini tidak tergoyahkan. Ia menulis:
Masa depan saya tidak jelas. Tetapi saya gembira karena mengetahui bahwa masa depan itu berada di tangan Tuhan. Yang harus saya lakukan hanyalah bersyukur kepadaNya. Jika hidup saya tidak lama lagi, maka itu merupakan kehendak Tuhan dan tentu ada maksudnya. Tugas saya adalah mencari tahu apa maksudnya; saya tidak mempunyai keluhan apa pun, kecuali rasa syukur! Jika Tuhan memberi kesempatan kepada saya untuk memulainya lagi dari awal, itu menajkubkan. Tetapi jika tidak, dan Ia meminta saya untuk melakukan tugas lain, saya menerimanya. Iman saya tidak bergantung pada apa yang saya inginkan; iman bergantung pada apa yang Tuhan inginkan. Ini merupakan kegembiraan dan kesenangan terbesar dalam hidup saya. Jika tidak bagaimana mungkin saya berdoa, Terjadilah kehendakMu?

Kira-kira setahun sebelum Merrill meninggal dunia, teman-teman mengirimkan informasi mengenai kursus terapi homeophatik di Meksiko. Merrill berterima kasih kepada teman-temannya dan mengatakan kepada mereka bahwa ia tidak meragukan keefktifan dari metode tersebutTetapi saya sudah memutuskan untuk tidak mengambil terapi tersebut. Ia kemudian meneruskan dengan menjelaskan bahwa baginya, kegembiraan bergantung pada Tuhan melebihi keuntungan yang mungkin didapatkan dari memperpanjang hidup: Keputusan saya mungkin terlihat tidak masuk akal bagimu, tetapi saya meyakininya. Saya dengan gembira meletakkan hidup saya dalam belas kasih Tuhan, dan memujiNya karena menggunakan diri saya dalam mewujudkan kehendakNya....

Iman 147 Iman yang sungguh mengagumkan, tetapi iman yang seperti itu tidak dianugerahkan kepada setiap orang. Faktanya, banyak orang yang tidak dapat mengerti, bahkan menganggap tidak masuk di akal, menggunakan iman sebagai senjata melawan penyakit. Merrill menjadi orang pertama yang mengatakan, pandangan serupa itu tidak akan mengubah kuasa Tuhan atau merampas kuasa itu dariNya. Tetapi ini memberi suatu tantangan. Apa yang harus dilakukan jika orang yang sedang menanti ajal tidak percaya pada kebangkitan atau kehidupan sesudah kematian, dan tidak melihat pentingnya mempersiapkan diri untuk bertemu Tuhan? Bagaimana dengan orang agnostik, seperti ayah teman saya yang berusia delapan puluh tahun, yang mengatakan tidak ada hal yang lebih melelahkan daripada memikirkan hidup kekal, dan bergumam mengenai tidak ada gunanya kataF, seperti itulah ia menyebut faith (iman)? Saya melihat tidak ada gunanya membicarakan isu seperti itu. Pertanyaan-pertanyaan yang berbau keagamaan cenderung memecah belah manusia sama seperti kecenderunganya menyatukan mereka, bagaimanapun juga saya merasa jauh lebih penting untuk mengelilingi seseorang yang menderita penyakit yang mematikan dengan kasih sayang daripada membawanya kepada sudut pandang kita. Di atas itu semua, tidak ada yang dapat menghalangi kita untuk berdoa bagi orang lain apakah orang itu telah kehilangan iman, atau orang yang tidak mempunyai iman. Pengarang Bruce Epperly menulis:
Ketika pemahaman kita akan kemerdekaan dan kemahakuasaan hancur, kita harus membiarkan orang lain mengambil beban-beban kita dan memanggul tanggungjawab kita. Kadang-kadang kita bahkan harus bergantung kepada kebaikan dan komitmen orang lain

148 Jangan Takut


untuk iman kita pada Tuhan.... Dalam Injil, dalam kisah mengenai orang yang lumpuh, kita tidak diberitahu mengenai imannya. Kita bahkan tidak mendengar mengenai penyebab dari penyakitnya, selain fakta bahwa ia harus bergantung pada usaha orang lain untuk dapat melihat Yesus. Tetapi kita mendengar mengenai iman teman-temannya yang begitu besar yang menjadi katalis bagi kesembuhannya.

Ayah saya selalu mengatakan bahwa jika orang yang kita kasihi kurang dalam pengharapan dan iman, kita harus mempunyai pengharapan dan iman baginya. Setiap orang akan merasakan kekeringan iman di suatu saat, bahkan orang yang paling religius sekali pun. Mungkin sekarang mereka merasa kuat dalam kepercayaan mereka, tetapi ini tidak berarti mereka tidak akan dicobai dan diuji besok. Ibu Teresa dari Kalkuta, yang sedang diproses oleh Vatikan untuk dijadikan orang kudus, belum lama ini membuat berita utama ketika terungkap bahwa ia bukan hanya harus berjuang, tetapi kadang-kadang juga merasa begitu berduka untuk tetap berpegang pada imannya. Dalam sebuah surat yang belum lama ini dirilis, ia menulis, Saya diberitahu bahwa Tuhan hidup dalam diri saya tetapi kegelapan, kedinginan dan kehampaan begitu nyata sehingga tidak ada satu pun yang dapat menyentuh jiwa saya. Dalam surat yang lain ia mengakui, Saya tidak dapat mengatakan betapa gelapnya jiwa saya betapa menyakitkan, sangat menakutkan. Saya merasa seperti ingin menolak TuhanSaya mencoba untuk mengarahkan pikiran saya ke surga, tetapi kehampaan itu begitu menyakitkan sehingga pikiran-pikiran yang saya arahkan ke surga kembali seperti pisau yang tajam. Kasih kata itu tidak mempunyai arti apa-apa.

Iman 149 Jelas, iman bukan seperti uang perserikatan dagang yang dapat di ambil dari tahun ke tahun. Iman lebih seperti cawan perjamuan Kristus yang harus terus menerus dicari dan didapatkan, terutama pada saat menderita sakit atau pada saat kematian, ketika masa depan tidak menentu, perpisahan, kehilangan dan duka membawa pada pencobaan dan perubahan di luar kemauan kita. Keadaan ini tidak boleh mengecilkan hati atau menyedihkan kita. Menurut pengalaman saya, peperangan untuk iman merupakan peperangan yang memberi arti pada hidup, dan semakin intens peperangan tersebut, semakin besar hadiah yang akan didapatkan. Tanpa iman, keberadaan kita menjadi hampa dan dengan cepat akan diisi oleh kedangkalan hidup, kehidupan yang disesuaikan dengan tata cara adat, kebosanan dan bahkan keputusasaan. Iman akan mendatangkan kekuatan setiap hari. Bagi beberapa orang yang pandangan agamanya diwarnai oleh kehidupan konvensional Gereja, pandangan ini bahwa iman dapat menjadi kekuatan hidup yang paling utama, dan bukan hanya sebuah kewajiban atau tradisi untuk memberi ketenangan sepertinya tidak dapat diterima. Tetapi sulit untuk berbantahan dengan mereka yang mempunyai pengalaman seperti itu. Malcolm Muggeridge, seorang komentator TV Inggris yang ternama, yang juga seorang agnostik, mencari iman, dalam sebagian besar hidupnya. Sampai suatu saat, ketika sedang bertugas sebagai seorang wartawan di Afrika, ia merasa sangat putus asa karena gagal menemukan arti iman bagi dirinya sehinga pada suatu malam ia berenang di laut, dengan maksud agar dirinya tenggelam. Tetapi di saat-saat akhir ada sesuatu yang menghalanginya. Jauh dari dalam hatinya muncul suatu perasaan baru mengenai

150 Jangan Takut tujuan hidupnya dan keinginan baru untuk hidup. Di kemudian hari Muggeridge menjelaskan:
Tepat ketika setiap harapan duniawi sudah dijelajahi dan ditemukan, ketika setiap opsi yang ditawarkan dunia, baik moral maupun material, telah diambil dan dihabiskan tanpa memberi pengaruh apa punketika di dalam kegelapan setiap sinar cahaya akhirnya padam maka pada saat itulah Kristus mengulurkan tanganNya, jelas dan pasti.

Kathleen, seorang pensiunan guru, mendapatkan kekuatan dari imannya ketika kematian menghampirinya. Ia menderita karena dadanya sakit dan sesak napas, dan dalam beberapa minggu, kondisinya berangsur-angsur memburuk. Para anggota keluarga merasa khawatir dengan keadaannya, tetapi dia tetap tenang dan mengingatkan mereka bahwa Kristus tidak akan mencobai lebih dari kekuatannya. Ia telah menjanjikan itu kepada kita, ia berkata dengan tegar. Bagi kita, seperti juga bagi Kathleen, iman dapat memberi harapan akan dunia yang lebih baik setelah kematian. Iman tidak terbatas pada mimpi kebahagiaan di surga. Dengan mentransformasikan pandangan kita pada dunia sekarang ini, iman dapat membebaskan kita dari keputusasaan dan membawa kepada keberanian, dan dari kepasrahan kepada keteguhan hati. Tetapi ini hanya dapat terjadi dengan kerja sama kita. Untuk menafsirkan Mennonite pengarang Clarence Bauman, iman tidak mempunyai arti jika hanya merupakan nyanyian himne kuno yang dinyanyikan dengan setengah hati dan mengabadikan anugerah kemenangan Tuhan atas Iblis mengatasi lembah air mata yang penuh dosa ini. Tetapi jika iman mendorong kita untuk menanamkan lebih banyak lagi kepenuhan hidup, ia

Iman 151 berkata, iman akan memberi kegembiraan dan kemenangan di sini, di dunia ini dunia yang ada sekarang ini yang Tuhan ciptakan dan cintai, dan dunia tempat di mana Yesus hidup dan mati. Saya mulai mengerti arti kemenangan ini pada saat kematian paman saya, Herman. Adik lelaki ayah saya yang paling kecil ini adalah seorang yang berperawakan tinggi, kurus kering yang di suatu masa dulu pernah bermimpi untuk menjadi seorang dokter, tetapi ketika Perang Dunia II meletus, studinya terganggu, dan ia dikirim pertama ke Swiss, kemudian Inggris, Amerika Selatan dan akhirnya Amerika Serikat. Ia pernah bekerja sebagai seorang petani, guru dan pendeta. Ia adalah seorang perokok berat, dan ketika usianya menginjak lima puluh tahun ia menderita emphysema. Pada bulan Agustus 1972 di usia lima puluh tujuh tahun, Herman didiagnosis menderita kanker paru-paru stadium tinggi. Selama empat bulan ke depan ia membutuhkan oksigen secara terus menerus. Ada masanya di mana penderitaan ini dirasakan sangat menyakitkan sehingga ia berharap untuk meninggal dalam tidurnya. Seperti yang dikatakannya kepada saya di suatu pagi setelah menjalani malam yang berat, Sangat berat menjalani hidup seperti ini, hidup tidak mati pun tidak. Ia sering berbicara mengenai hidup kekal, dan bertanya kehidupan seperti apa di tempat itu. Yang mengejutkan, meskipun demikian, hampir sepanjang waktu, ia gembira dan penuh semangat Melihat kebelakang, karena kanker sepertinya memperpendek masa hidupnya, Herman diberi kemampuan untuk dapat melihat dengan sangat jelas bahaya dari perasaan puas dan untuk menarik kembali rasa antusiasme yang dimilikinya pada masa mudanya.

152 Jangan Takut Dan ia tidak menyimpan pemahaman ini untuk dirinya sendiri tetapi menantang setiap orang yang ia kenal untuk menemukan kembali cinta pertama mereka kepada Tuhan. Kira-kira seminggu sebelum Hari Natal, di suatu Minggu pagi, perawat yang merawat Herman membangunkan dan memandikan dia. Setelah itu, istrinya, Gertrude, menemaninya di ruang tamu. Tibatiba ia melepas oxygen mask-nya dan wajahnya terlihat bersinar dengan kegembiraan dan kedamaian. Merasa bahwa saat-saat akhir sudah mendekat, Gertrude memanggil seluruh anggota keluarga, termasuk ayah saya dan saya. Beberapa menit kemudian Herman mengulurkan kedua tangannya, menggenggam tangan istrinya, dan memandangnya pandangan terakhir, lama, dan penuh kasih. Setelah itu ia pergi untuk selamanya. Mengingat peristiwa di pagi itu, ayah saya di kemudian hari berkata, Terlihat ada kemenangan di wajah adik saya, dan saya percaya itu adalah kegembiraan dalam menerima kehendak Tuhan dan dalam mengetahui bahwa telah tiba saatnya ia berada bersama Tuhan. Saya sendiri belum pernah melihat wajah orang yang meninggal sedemikian pasrahnya.

153

14

Keberanian

Sebagai seorang anak saya terpikat dengan cerita dari martir Kristiani, Polikarpus, yang dibakar di tiang gantungan kira-kira delapan belas abad yang lalu. Sebagian dari cerita itu adalah drama arena Romawi yang penuh darah dari para gladiator dan orang-orang kudus, singa dan penonton yang bersorak sorai. Tetapi yang lebih menyentuh saya adalah kerelaan Polikarpus untuk mati dalam membela keyakinannya. Bukan karena ia dengan penuh ketaatan menghadapi kematian menurut saksi mata, ia bukan orang yang taat, dan bahkan mencaci-maki kerumunan orang banyak yang mengelilinginya pada waktu ia dieksekusi. Tetapi ia tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut:
Saya telah melayani raja dan penyelamat saya selama delapan puluh enam tahun, dan ia tidak pernah menyakiti saya. Bagaimana mungkin saya mengkhianatinya? Kamu mengancam saya dengan api yang akan membakar saya selama satu jam dan setelah beberapa saat api itu akan padam, karena kamu tidak tahu api yang akan membakar orang-orang yang jahat pada hari penghakiman dan hukuman kekal. Mengapa kamu menunggu? Lakukan apa yang ingin kamu lakukan.

154 Jangan Takut Setelah ia berkata demikian, kerumunan orang banyak itu menimbun belukar di sekelilingnya dan (meskipun ia telah diikat dengan tali) mengancam untuk memakunya di tiang gantungan untuk meyakinkan bahwa ia tidak akan melarikan diri. Polikarpus tetap tenang, dan berkata, Biarkan saya seperti ini. Ia yang memberi saya kekuatan untuk bertahan dalam api itu juga akan memberi saya kekuatan untuk tetap bertahan di tiang gantungan itu dengan tabah tanpa bantuan paku-pakumu. Seperti Polikarpus, banyak sekali pria dan wanita bukan hanya orang Kristiani, tetapi juga orang Yahudi, Muslim, dan orang-orang dari keyakinan lain telah membayar keyakinannya dengan hidupnya. Saya percaya kita harus banyak belajar dari mereka. Akankah kita menyongsong kematian dengan keberanian dan keyakinan yang serupa dengan keyakinan yang datang karena merasa berdamai dengan Tuhan dan diri sendiri? Atau akankah kita merasa berkecil hati dalam ketakutan, dikelilingi oleh penyesalan-penyesalan dan kesalahankesalahan kita dan berharap kita diberi lagi kesempatan untuk hidup untuk memperbaiki hidup kita? Karena kemartiran pada dasarnya merupakan fenomena sejarah, pertanyaan-pertanyaan serupa itu tidak terlalu mendesak di zaman sekarang. Tetapi keberanian bukan merupakan kebajikan kuno. Keberanian merupakan senjata yang sangat vital. Dan kita tidak dapat melewati arena kematian sebuah arena di mana setiap kita harus memasukinya suatu hari nanti tanpa keberanian. Oleh karena itu saya merasa dari semua kualitas yang dibagikan oleh orang-orang yang kisahnya ada dalam buku ini, keberanian merupakan kualitas yang paling penting. Keberanian dalam menghadapi penderitaan; keberanian berada di tengah-tengah

Keberanian 155 kehampaan dan kehilangan; keberanian untuk menatap masa depan, meskipun itu berarti kematian yang menanti. Tanpa itu, tidak ada orang yang dapat mengatasi rasa takut mereka dan menemukan kedamaian. Jelas keberanian sama pentingnya baik di titik awal kehidupan maupun di akhir kehidupan. Bahkan jika kita berharap untuk mengumpulkan semua keberanian itu di saat kita sangat membutuhkannya di saat-saat akhir menyongsong kematian, misalnya kita harus merawatnya setiap hari. Dan jika kita tidak dapat menemukannya dalam diri kita sendiri, kita hanya perlu melihat ke sekeliling. Di kampung halaman saya New York, misalnya, kisah-kisah mengenai kepahlawanan dan rasa solidaritas yang diperlihatkan oleh para polisi, pemadam kebakaran, dan para pekerja penyelamat masih terngiang di telinga, berbulan-bulan setelah tragedi 11 September 2001. Dan selalu ada orang-orang biasa yang seperti Ramona, seperti kisah di bawah ini. Meskipun kisah ini tidak ada kaitannya dengan peristiwa publik, dan sebelumnya tidak banyak diketahui kecuali oleh lingkungan kecil keluarga dan teman, saya mendapati kisah ini memberi inspirasi. Ramona sedang hamil lima bulan, dan memandang masa depan dengan penuh antusias. Atau paling tidak ia sebelumnya memandang masa depan dengan penuh antusias sampai pemeriksaan rutin dokter menghancurkan harapannya dan mengubah hidupnya untuk selamanya:
Hari itu hari Jumat, dan suami saya, Barry, masih bekerja, maka saya pergi sendiri untuk pemeriksaan rutin. Selesai dengan sonogram, dokter mempersilakan saya untuk duduk. Saya tidak siap untuk menerima apa yang akan ia katakan: bayi saya berada dalam kondisi anen-

156 Jangan Takut


cephaly, yang singkatnya berarti ia tidak mempunyai tengkorak kepala. Bagian atas kepalanya melekuk parah sekali, dan meskipun ia tidak mempunyai masalah untuk tetap hidup dalam rahim saya, tetapi setelah dilahirkan ia tidak dapat bertahan lebih dari empat puluh delapan jam. Saya shock. Saya sudah mengalami dua kali keguguran, tetapi ini terjadi di awal kehamilan sehingga tidak banyak yang dapat dilihat selain gumpalan darah. Tetapi ini berbeda. Saya dapat melihat bayi itu seperti bayi sesungguhnya di sonogram, janin itu sudah berkembang menjadi manusia. Sepanjang perjalanan pulang saya menangis. Saya merenungkan cerita dalam Perjanjian Lama bagaimana Tuhan telah memerintahkan Abraham untuk mengorbankan Iskak. Bukan karena saya akan membunuh anak saya, tetapi karena saya harus merelakan dia dan menyerahkannya kepada Tuhan. Ini merupakan hal yang paling sulit yang harus saya hadapi, dan saya tidak berhenti bertanya mengapa. Tuhan tahu bahwa saya mengasihi dan menyambut setiap anak yang Ia berikan kepada saya. Mengapa Dia melakukan ini kepada saya?

Meskipun demikian, Ramona tidak banyak membuang waktu untuk mencari jawab atas pertanyaan itu. Meskipun ia tidak pernah mengerti mengapa ia dihadapkan pada beban itu, ia memutuskan untuk menerimanya, dan meneruskan kehamilan sampai saat melahirkan. Ini hanyalah merupakan rasa hormat pada pemberian Tuhan atas kehidupan, katanya. Begitu ia membuat keputusan, Ramona harus mempertahankannya. Pertama dokter mengingatkan karena janinnya baru berusia kurang dari dua puluh empat minggu, hukum negara bagian membolehkan dilakukannya aborsi dan dengan sopan

Keberanian 157 merekomendasikan untuk aborsi. Teman-teman dan kenalan juga bahkan para anggota Gerejanya, yaitu Gereja Katolik bertanya kepadanya mengapa ia tidak melakukan sesuatu mengenai hal ini. Tetapi ia tidak terpengaruh: Saya tidak pernah sekalipun berpikir mengenai aborsi sebagai sebuah opsi. Ketika saya menjelaskan kepada dokter saya, dan kepada anggota keluarga serta teman-teman yang kelihatannya bingung, bayi saya masih terus hidup dengan kondisi yang seperti itu, dan sejauh Tuhan menghendaki ia tetap hidup, saya akan tetap merawatnya. Sikap Ramona adalah sikap dalam menerima suatu kenyataan. Tetapi dalam realita, ia membutuhkan keberanian untuk tetap berpegang pada keputusannya dan doa yang tidak putus-putusnya. Ketika ia menjadi lemah, bayinya yang menguatkan dia kembali: Saya dapat merasakan ia bergerak di dalam rahim saya, dan setiap kali saya merasakan tendangannya, saya merasa ia mengingatkan saya untuk berdoa. Ketika ditanya apa yang ia doakan, Ramona berkata doanya bukan hanya untuk kedamaian hatinya saja. Ia juga berharap keputusannya ini dapat mendorong para pasangan untuk merenungkan kembali keyakinan mereka bahwa aborsi merupakan solusi terbaik bagi pranatal yang tidak tumbuh normal atau paling tidak untuk menghargai keputusannya sebagai suatu keyakinan yang benar. Harapan ini terpenuhi, paling tidak untuk satu hal: pada bulan Desember, ketika ia meninggalkan ruang dokter setelah pemeriksaan rutin, dokter mengatakan kepadanya, Ramona, saya benar-benar kagum pada rasa hormatmu pada kehidupan. Pada tanggal 4 Februari 2001, Ramona melahirkan Yesaya, nama yang ia dan Barry berikan untuk bayi tersebut:

158 Jangan Takut


Proses kelahiran yang mendadak, sulit dan sakit. Mungkin di alam bawah sadar saya agak menahan kelahirannya, karena tahu Yesaya akan aman selama ia berada di dalam rahim saya. Saya mulai menangis. Tetapi saya mempunyai teman yang membawakan gambar Yesus di Salib, dan saya meletakkan gambar itu di tempat di mana saya dapat melihatnya. Selama beberapa jam ke depan saya memandangi gambar tersebut dan berdoa semoga Yesus berada bersama saya. Ketika akhirnya saya melahirkan, berbagai macam emosi memenuhi diri saya. Saya merasakan kegembiraan yang luar biasa tetapi juga kesedihan yang mendalam. Yesaya terlihat berbeda dengan bayi normal lainnya. Seperti yang telah diperingatkan oleh dokter, seluruh bagian atas kepalanya hilang, dan matanya bengkak karena tidak terlindungi ketika melalui saluran lahir. Tetapi ia hidup, bernapas, dan menendang. Ia terlihat kuat. Tidak semua saudara kandungnya tega melihat dia di hari pertama. Anak-anak saya yang masih kecil sangat menyenangkan mereka bahkan seperti tidak melihat ada kelainan dalam diri adiknya tetapi anak perempuan saya yang berusia lima belas tahun dengan sangat hati-hati menjauhi kamar saya di rumah sakit, dan pergi ke kafetaria bersama sepupunya. Meskipun dari luar ia terlihat tidak bersahabat, saya tahu jauh di dalam hatinya ia mengalami banyak pergumulan. Jadi saya tidak terkejut ketika semuanya berakhir. Setelah Yesaya meninggal, ia menggendongnya dan menangis, Mom, saya tidak pernah menggendongnya saat ia masih hidup.

Melihat kondisi Yesaya, tidak ada yang dapat dilakukan oleh rumah sakit untuk menolongnya. Oleh karena itu mereka membawanya keluar dari ICU dan pulang ke tengah-tengah keluarga. Ia meninggal di malam hari pada hari yang sama:

Keberanian 159
Saya sudah mempersiapkan keranjang bayi untuk Yesaya, tetapi ia tidak pernah menggunakannya kami tidak pernah berhenti menggendongnya sejak kami keluar dari mobil. Kira-kira pukul 7:30 malam, kakak laki-lakinya yang menggendongnya, berkata, Mom, saya kira Yesaya harus ganti popok. Saya mengambilnya dan meletakkan dia di sofa, dan ia tiba-tiba kejang dan berubah menjadi ungu. Saya sudah diberitahu hal seperti ini akan terjadi, tetapi ketika hal itu benar-benar terjadi saya panik. Saya betul-betul merasa tidak berdaya. Saya memberikan Yesaya kepada ayahnya dan dengan panik mencari nomor telepon rumah sakit darurat, tetapi ketika akhirnya saya menemukan nomor tersebut, mereka tidak mengetahui siapa saya dan apa yang saya katakan. Kemudian saya mencoba menelepon rumah sakit dan mencari Amy atau Sue, perawat yang menangani Yesaya. Mereka segera datang, tetapi sudah terlambat; Yesaya sudah meninggal ketika mereka datang. Ia meninggal dua puluh menit setelah krisis terjadi. Sebelum ia meninggal, ia menarik napas dalam-dalam sebanyak tujuh kali seperti helaan napas panjang, dengan istirahat di sela-selanya, dan kemudian semuanya berhenti. Saya menunduk di dekatnya dan memeriksa denyut nadinya. Tidak ada lagi denyutan nadi. Sebelum ini saya belum pernah melihat orang menghembuskan napas terakhirnya, dan ini adalah anak saya sendiri. Saya tidak akan pernah melupakannya.

Ketika ditanyakan kepadanya apakah ia marah kepada Tuhan ketika pertama kali mendengar mengenai diagnosa Yesaya, Ramona kelihatan terkejut:
Tidak maksud saya ya, meskipun hanya di awalnya saja. Seorang biarawati yang saya kenal, Suster Katherine, mengatakan kepada saya karena Yesus itu teman saya, dan teman juga merasa kesal pada satu sama lain, engkau harus mengatakan semuanya kepada-Nya

160 Jangan Takut


apakah itu kemarahanmu, keragu-raguanmu apa saja. Engkau tidak dapat bersikap seakan-akan apa saja yang Ia berikan kepadamu adalah hal-hal yang baik. Tetapi kemudian saya merenungkan hal itu, dan mengatakan kepada diri saya sendiri, beraninya engkau marah kepada Tuhan. Ia adalah pencipta seluruh alam semesta. Dan siapa saya?

Ramona berkata, jauh dari merasa menyesal dengan keputusannya untuk tetap melahirkan Yesaya ia malah merasa diberi privilese. Dan beberapa kejadian yang terjadi secara bersamaan membuat ia merasa mungkin ia memenuhi kewajiban ilahinya. Pertama, hari di mana ia mengetahui mengenai kondisi Yesaya adalah hari Jumat hari di mana umat Katolik mengingat Maria, Bunda yang Berduka. Ramona merasa ini merupakan suatu tanda. Kedua, hari ulang tahunnya sendiri, yaitu tanggal 22 Januari, didesain sebagai Pro-Life Day pada kalendar Gereja. Ini semua membuat saya sering merasa mungkin Tuhan ingin menggunakan saya sebagai saksi atas arti dari nilai kehidupan, kata Ramona. Kadang-kadang keberanian untuk bertindak dengan penuh keyakinan datang dari pendirian yang sangat kuat. Bagi Ramona, misalnya, aborsi tidak ada dalam kamus hidupnya. Bagi orang lain, bahkan seseorang yang telah merawat kepercayaannya ini selama bertahu-tahun, keberanian untuk bertindak berdasarkan kepercayaan itu mungkin hilang pada saat-saat kritis, tetapi dapat dimenangkan kembali dengan kesabaran dan perjuangan. Ini merupakan suatu kebenaran dalam menghadapi bahaya secara fisik maupun dalam menghadapi tantangan moral. Tidak peduli bagaimana keberanian itu muncul, setiap tindakan keberanian mempunyai kekuatan untuk memunculkan tindakan keberanian yang baru, apakah

Keberanian 161 itu melalui rangkaian reaksi yang mengilhami, atau secara langsung. Ini dapat dibuktikan dalam kasus Ramona. Hampir sepuluh tahun sebelumnya, di rumah sakit yang sama, seorang ibu mengetahui bahwa ia mengandung bayi yang menderita anencephalic , dan mendengar bahwa wanita ini telah memutuskan untuk tetap meneruskan kehamilannya apa pun risikonya, Ramona mendapatkan keyakinan yang luar biasa dan perasaan damai. Dan kisah ini belum berakhir: di tahun sejak kelahiran dan kematian Yesaya, rumah sakit di mana Ramona melahirkan telah memintanya untuk memberi konseling dan dukungan kepada kelompok wanita yang berduka. Anne, sepupu saya, juga memperlihatkan keberanian yang sama dalam mengikuti kata hatinya meskipun dalam situasi yang berbeda. Ia merasa terganggu dengan konflik yang tak henti-hentinya di Timur Tengah, dan ia berharap ia dapat melakukan sesuatu daripada hanya sekadar membaca mengenai hal itu di koran. Dan ketika sebuah organisasi di Tepi Barat mengirim permohonan bantuan, ia mendaftarkan diri dan pergi ke Bethlehem sebagai relawan. Anne tahu ia menuju sebuah lingkungan yang sangat berbahaya. Melihat serangan balasan dari kedua belah pihak yang bertikai di kota Tentara Israel dan PLO siapa pun atau apa pun yang bergerak merupakan target potensial, terutama di malam hari. Tetapi apa artinya pergi ke Bethlehem, jika kita melindungi diri sendiri dengan berdiam ketakutan di dalam rumah? Setelah menetap di quarters -nya yang baru dan melakukan tugas di pekerjaannya yang baru (ia merawat wanita dan anak-anak buta dan cacat di kelompok rumah pribadi) Anne mulai menjelajahi daerah sekitar Bethlehem

162 Jangan Takut dengan berjalan kaki, mencoba untuk mengenal sebanyak mungkin orang dari kedua belah pihak yang bertikai, dan mendengarkan pandangan mereka. Anne mengakui bahwa hidup di daerah perang dapat menimbulkan ketegangan: ia menyaksikan tembaktembakkan dan serangan helikopter, dan harus menenangkan mereka yang selamat tetapi mengalami trauma. Ia bertemu dengan orang-orang yang telah menggantung senapan karena meyakini perang ini tidak akan berahkir. Tetapi ia juga menemukan pilar pertahanan, kekuatan, dan harapan orang-orang yang tetap mengasihi dan memberi, yang menawarkan kopi kepada orang yang tidak mereka kenal, dan memberi isyarat dengan tangan untuk mengajak orang asing makan bersama. Di satu masa Anne dapat bertahan dari serbuan artileri yang ditembakkan di antara permukiman Yahudi tidak jauh dari tempat tinggalnya dan desa Palestina selama 46 jam. Di waktu lain, tank-tank Israel masuk ke lingkungannya:
Di sini semuanya di luar kontrol. Benar-benar gila.... Siapa yang tahu siapa menembak siapa? Banyak sekali terdengar tembakan di hutan zaitun kami, dua puluh kaki dari jendela rumah saya. Kadang-kadang di malam hari, terdengar suara seperti desing peluru, dan tidak lama setelah itu terjadi ledakan besar di Hebron Road. Jantungku berhenti berdetak sesaat. Tidak lama kemudian terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga. Sementara saya memerhatikan, satu per satu bolabola merah dengan diam dimuntahkan dari tank-tank Israel di Beit Jala, masing-masing bola api diikuti dengan suara runtuhan yang besar. Salah satunya ditembakkan dari jarak tiga rumah.... Sementara perang berlanjut saya tertidur, dan tidur sepanjang malam, terima kasih atas doa-doa kalian.

Keberanian 163
Salah satu wanita tua yang saya rawat sangat sedih dengan serangan ini, karena ia tidak dapat pergi ke dokter pada waktunya. Ia menjalani operasi besar tiga minggu yang lalu, dan obat antibiotik dan obat-obatan penghilang rasa sakit sudah habis sepuluh hari yang lalu.

Khawatir dengan keselamatannya, saya mengirim email kepada Anne untuk menanyakan keadaannya. Jawabannya mengejutkan saya, Saya tidak dapat mengatakannya, tetapi saya gembira dan benar-benar merasa damai. Saya begitu yakin bahwa Tuhan mendengar doa-doa kita, dan Ia akan melakukan apa pun seperti kehendakNya. Ini memberi kekuatan pada saya untuk melanjutkan hidup di sini. Ini mungkin berarti saya akan menderita, tetapi saya tahu bahwa saya berada dalam tangan Tuhan, dan ini sangat berarti bagi saya. Setelah beberapa bulan di Tepi Barat, Anne pulang ke rumah untuk beristirahat sebentar. Ia sudah berubah. Dulu ia seorang yang pemalu dan sangat tegang, sekarang ia orang yang santai; dahulu dipenuhi dengan hal-hal kecil dalam hidupnya tanaman di rumahnya, tandatanda lencana, dan musik klasik ia sekarang dipenuhi dengan pandangan yang jauh lebih luas. Saya tidak pernah bertanya atau memberi komentar kepada Anne mengenai hal ini, tetapi tanpa sengaja ia menceritakannya kepada saya. Di suatu saat yang paling menegangkan dalam hidupnya, ia mencari tempat pengungsian di Yerusalem, di Taman Getsemani, ketika berada di sana ia mengalami sesuatu yang mengubah seluruh pandangan hidupnya:
Saya kesepian dan kelelahan dan membutuhkan tempat sunyi untuk merenung. Tetapi ketika sampai di sana, saya tidak ingat diri saya lagi saya mengingat Yesus, dan penderitaan yang mendalam yang Ia rasakan

164 Jangan Takut


tepat di tempat di mana sekarang saya duduk. Ia merasa ditinggalkan, tetapi Ia berdoa, Bukan kehendakku, tetapi kehendakMu. Bagaimana pun, ini memberi saya keberanian dan kekuatan, dan saya merasa saya dapat mengatasi apa pun yang ada di hadapan saya.

Menggambarkan dalam buku hariannya mengenai kecemasannya pada kematian, Leo Tolstoy mengungkapkan pendekatan yang serupa untuk mengatasinya:
Saya senang berkebun, saya senang membaca buku dan saya senang merawat anak. Karena sekarat, saya kehilangan semua ini, dan oleh karena itu saya berharap saya tidak akan meninggal, saya takut pada kematian. Mungkin seluruh hidup saya dipenuhi dengan keinginan serupa itudan jika itu yang sebenarnya terjadi tidak mengherankan jika saya merasa takut jika saya tidak dapat memuaskan apa yang saya inginkan. Tetapi jika keinginan yang ada di dalam diri saya itu ditukar dengan keinginan yang lain keinginan untuk melakukan kehendak Tuhan, untuk memberikan diri saya sekarang dan selamanya maka semakin keinginan saya berubah semakin berkurang rasa takut saya pada kematian, dan semakin berkurang kematian hadir dalam diri saya.

Ketika saya menulis buku ini, Anne sudah kembali ke Israel, bekerja di Bethlehem di lingkungan yang, para sniper -nya berpatroli dan diterangi oleh selongsong peluru yang meledak di malam hari. Hanya terdapat sedikit orang asing yang tinggal di daerah itu. Tetapi ia tetap berani tinggal di daerah itu. Setiap hari saya berdoa mohon perlindunganNya, katanya singkat sebelum ia kembali. Dan saya tahu banyak orang yang mendoakan saya. Mengapa saya harus khawatir? Bukankah semua doa itu akan didengar?

165

15

Penyembuhan

Pada tahun 1933 paman saya Hardy, yang belajar di Tubingen, bertemu dan jatuh cinta pada teman kuliahnya, Edith. Satu setengah tahun kemudian mereka menikah dan tinggal di Silum, sebuah komunitas kecil di pegunungan Alps. Dengan perangai yang saling melengkapi dan memiliki kesenangan yang sama dalam sejarah dan sastra, pasangan ini sangat serasi, atau yang paling bahagia, terutama setelah Edith mengetahui bahwa ia sedang mengandung. Tetapi kegembiraan mereka tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah kelahiran bayinya, Edith menderita sakit panas (childbed fever) yang fatal. Suhu badannya meningkat, denyut nadi menjadi cepat, pembuluh darahnya seperti terbakar, dan tubuhnya mulai membengkak. Ia sekarat, dan sepertinya tidak ada harapan untuk sembuh. Hardy tidak siap untuk melepas kepergian istrinya, begitu juga dengan ayahnya kakek saya. Ketika kondisi Edith semakin memburuk, ia mengumpulkan para anggota Silum dan memimpin mereka untuk

166 Jangan Takut mendoakan Edith. Ia juga menumpangkan tangannya kepada Edith dan memohon kepada Tuhan untuk menyembuhkannya, jika itu adalah kehendakNya. Perlahan Edith mulai membaik, dan pada satu titik dokter bahkan mengatakan bahwa ia telah terbebas dari bahaya. Tetapi, tidak lama setelah itu, demamnya datang lagi dan kondisinya kembali kritis. Satu hari ia merasa lebih baik; tetapi hari berikutnya, ia dapat berada dalam kondisi kritis. Pada waktu itu kakek saya merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: bahwa jiwa Edith sepertinya naik turun seperti kesehatannya, dan keduanya naik turun sesuai dengan keadaan hati kelompok yang berada di sekelilingnya. Ketika mereka sedih atau pesimis atau merasa kecil, ia terlihat melemah; jika mereka berkumpul di sekitarnya dengan gembira dan dengan keteguhan hati, ia kembali mendapatkan kekuatan. Tubuhnya seperti menjadi barometer bagi keadaan kelompoknya. Terguncang dengan fenomena misterius ini, orangorang di Silum berdoa lebih tekun dari sebelumnya. Tetapi fokus mereka tidak lagi pada kesehatan Edith secara fisik, tetapi agar mata mereka dibukakan untuk dapat mengerti pergumulannya secara spiritual, dan mengidentifikasi dan menghilangkan segala rintangan yang menghadang, termasuk agenda dan pandangan pribadi mereka sendiri sehingga memberi jalan bagi Tuhan untuk menyembuhkan mereka semua, tubuh dan jiwa. Seperti yang dikatakan oleh kakek saya pada waktu itu, Tidak ada kemenangan Roh Kudus selama orang merasa bahwa merekalah yang menyembuhkan penyakit. Roh tidak sama dengan keajaiban. Roh dapat menyembuhkan, tetapi hanya ketika keinginan diri sendiri dan kekuatan manusia

Penyembuhan 167 dihilangkan. Hanya pada waktu itu Roh dapat memperlihatkan dirinya sebagai Roh yang menyembuhkan yang sakit, mengusir setan, dan mengatasi kematian. Dalam pengertian ini penyakit Edith diperangi, dan setelah beberapa minggu, penyakit ini akhirnya dapat dikalahkan. Mengingat peristiwa tersebut bertahun-tahun kemudian, orangtua saya, yang pada waktu itu tingal di Silum, mengatakan bahwa Edith melihat pergumulannya dari sudut pandang yang lebih besar lagi, sudut pandang spiritual pergumulan antara terang dan kegelapan, hidup dan mati. Karena itu, ia tidak hanya berperang untuk dirinya sendiri atau keluarganya saja. Jelas ia ingin tetap hidup, tetapi ia merasa jika kemenangan harus didapatkan, kemenangan ini harus mempunyai arti lebih dari sekadar kemampuannya untuk bertahan hidup. Kemenangan ini harus merupakan kesaksian hidup bahwa kekuatan akan didapat jika manusia melepaskan kekuatan dirinya dan bersatu dalam doa untuk satu tujuan yang sama. Enam puluh tahun kemudian, seorang saudara saya mendapat kesembuhan dari kekuatan doa. Suatu hari di bulan Februari 1996, seorang keponakan saya, yang menikah tiga tahun yang lalu, baru saja memberitahu saya dan istri mengenai kelahiran anak pertamanya. Simon seorang bayi yang rupawan, sehat, dengan berat enam pound, sempurna paling tidak itulah kesan pertamanya. Tetapi dalam waktu beberapa jam, ia menderita kesulitan bernapas. Oksigen dibawa, dan mobil ambulan dipanggil (ia lahir di rumah sakit di pedalaman). Dalam perjalanan menuju rumah sakit, bayi tersebut berubah menjadi biru. Tidak lama setelah tiba di rumah sakit, hasil X-ray meyakinkan apa yang ditakutkan oleh para dokter: kedua paru-paru Simon terkena infeksi yang parah. Mereka memprediksikan, jika ia dapat bertahan hidup,

168 Jangan Takut kemungkinan besar ia akan kehilangan pendengarannya dan kerusakan pada daya penglihatannya, dan kemungkinan juga kerusakan pada otak. Bergumul untuk tidak mendengarkan kata-kata dokter, dan ketakutan bahwa ini adalah awal dari suatu akhir, orangtua Simon yang putus asa dan sedih tidak dapat berkata apa-apa. Tetapi ini tidak berlangsung lama. Mereka berpikir, mengapa tidak berpaling kepada Tuhan dan memohon kepadaNya untuk menyembuhkan Simon? Mengapa menerima kekalahan? Pada akhirnya, Tuhan mengetahui apa yang tidak diketahui oleh para dokter yang menangani Simon. Dan Simon sendiri belum menyerah. Di antara kabel-kabel yang membingungkan, jarum, tabung dan cahaya terang, di tengah-tengah suara mesin ventilator yang membantunya untuk bernapas, ia masih menendang-nendang berjuang untuk hidupnya. Orangtua Simon berdoa, tetapi kondisinya memburuk. Pada malam itu ia mengeluarkan darah dari paru-parunya dan harus ditransfusi. Kemudian, di malam yang sama tekanan darahnya menurun. Dopamine, obat yang sangat kuat, mulai diberikan tetapi kondisinya belum stabil. Meskipun demikian, sepuluh mil dari rumah sakit tersebut, kekuatan lain sedang dihimpun: doa-doa dari para anggota Gereja kami. Ini terjadi secara spontan, tetapi cepat: ketika satu per satu dari mereka mengetahui mengenai keadaan Simon, mereka membuat rencana untuk berkumpul dan berdoa atas namanya. Sementara itu, orangtua Simon dan beberapa orang teman terus berdoa di sekeliling bayi tersebut di rumah sakit. Pada tengah malam, Simon tiba-tiba membaik; pada pukul lima pagi oksigen dilepas. Dokter yang menanganinya, yang terus menerus berada di sampingnya sepanjang malam, melihat dengan bingung dan berkata,

Penyembuhan 169 Oh Tuhan, orang-orang ini tahu bagaimana harus berdoa. Saya tidak dapat memberi penjelasan mengapa ia masih hidup. Seorang dokter lain berkata lebih lugas. Anakmu seharusnya sudah meninggal, ia berkata, menggelengkan kepala tidak percaya. Beberapa hari kemudian, meskipun seorang ahli memprediksi akan terjadi beberapa kemungkinan buruk, Simon terus membaik dan tidak lama kemudian ia diperbolehkan pulang. Sekarang ia adalah seorang anak sehat yang berusia lima tahun, dan tidak menderita kerusakan saraf apa pun. Kisah Simon, seperti juga kisah Edith, merupakan kesaksian dari kekuatan doa. Walaupun ada drama kehidupan dalam kisah mereka tetapi tidak ada satu pun dari cerita tersebut yang unik. Pada kenyataannya, kesembuhan karena campur tangan serupa itu merupakan hal yang biasa sekarang ini bahwa penyembuhan dan doa berjalan bersama. Mereka membicarakannya dengan acuh tak acuh, dan sering dengan penuh sensasi, sehingga banyak orang menganggapnya dengan perasaan campur aduk, skeptis dan malu. Tetapi tetap saja ada hubungan antara doa dan penyembuhan, ungkapan yang dikatakan dalam Injil Matius, tidak dapat dihilangkan: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah maka kamu akan mendapat; ketuklah maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetuk, baginya pintu dibukakan. Bagi orang yang sudah mengalami penyembuhan atau melihat sendiri penyembuhan itu terjadi dalam diri orang lain, kata-kata Yesus ini bukan hanya merupakan sebuah janji, tetapi suatu kenyataan yang tak terbantahkan. Tetapi

170 Jangan Takut di lain pihak, bagi mereka yang belum merasakan penyembuhan itu, kata-kata tersebut dapat menimbulkan rasa frustrasi. Tetapi bagaimana dengan suami atau istri, atau orangtua atau anak yang telah berdoa setiap hari, tetapi orang yang mereka kasihi tetap meninggal dunia? Bagaimana mengenai orang yang kelihatannya telah disembuhkan, tetapi hanya untuk diambil tidak lama kemudian? (Hal ini terjadi pada Edith: delapan tahun setelah ia terlepas dari maut, ia meninggal karena radang perut yang disebabkan oleh pecahnya usus buntu). Merenungkan pertanyaan-pertanyaan serupa itu, saya tidak mempunyai jawaban. Tetapi saya mempunyai sedikit renungan, yang pertama adalah dengan meletakkan harapan kita pada mukjizat dan keajaiban kita juga harus meletakkan hati kita untuk menerima kekecewaan. Optimisme merupakan obat yang sangat kuat, tetapi itu tidak dapat melawan hukum alam atau kehendak Tuhan. Benar bahwa ketika kita memiliki iman, mukjizat dapat terjadi. Tetapi seperti yang diamati oleh pemikir Swedia, Dag Hammarskjold, konsekuensinya adalah dengan bepergang pada kejadian-kejadian seperti itu, kita tergoda untuk membuat mukjizat sebagai dasar dari harapan kita ... dan oleh karena itu kehilangan kepercayaan pada iman. Lebih jauh lagi, apa pun hasil dari doa kita, efektif (atau tidak efektif), saya percaya kita harus tetap berpaling kepada Tuhan dan percaya bahwa Ia mendengarkan kita. Dan dalam melakukan hal itu kita tidak boleh lupa bahwa meskipun sebagian dari kita terbiasa memfokuskan diri pada doa-doa kita, menceritakan kepadaNya masalahmasalah dan keinginan-keinginan kita, kita akan lebih berhasil dalam merenungkan kehendakNya dengan berdiam diri dan membiarkan Dia berbicara.

Penyembuhan 171 Akhirnya, kita juga harus menyadari bahwa Tuhan mungkin tidak menjawab doa-doa kita untuk suatu kesembuhan seperti yang kita harapkan, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kita seperti yang kita inginkan. Dalam bukunya A Grief Observed, C.S. Lewis menulis, Ketika saya menanyakan beberapa pertanyaan kepada Tuhan saya tidak mendapat jawaban. Atau lebih tepat dikatakan Tidak ada jawaban. Ini bukan seperti pintu yang terkunci. Ini lebih pada suasana diam, tentunya bukan pandangan tanpa belas kasihan. Seakan-akan Ia menggelengkan kepalanya bukan menolak tetapi meniadakan pertanyaan tersebut. Seperti, Damai, anakku, engkau tidak mengerti. Lewis melanjutkan, Dapatkah manusia yang dapat mati menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Tuhan? Mudah saja, saya berpikirBerapa jam dalam satu mil? Apakah warna kuning itu berbentuk segi empat atau bulat? Mungkin setengah dari pertanyaan-pertanyaan yang kita tanyakan setengah dari masalah-masalah kita yang besar mengenai teologi dan metafisika seperti itu. Orang modern cenderung percaya setiap penyakit dapat disembuhkan, jika kita bertekun dalam mencarinya, ini merupakan poin penting untuk direnungkan. Dalam hal penyembuhan, misalnya, bagaimana kita dapat merasa yakin bahwa pengobatan itu lebih penting daripada penyakit itu? Di mana yang satu berakhir dan di mana yang satu lagi bermula? Mungkinkah mereka itu kadangkadang satu dan sama? Ketika orang yang sombong, yang memikirkan dirinya sendiri telah direndahkan oleh kemalangan atau tragedi dan berubah menjadi orang yang rendah hati, lebih mengasihi, apakah ia telah dijahati atau disembuhkan? Mungkin pikiran kita terlalu sempit,

172 Jangan Takut hanya memikirkan kesembuhan dari segi fisiknya saja. Kepenuhan dan kesembuhan dapat ditemukan dalam kematian seperti juga dalam kehidupan dan ini tidak sulit untuk diterima dalam kasus orang yang sudah tua yang telah menjalani hidup yang penuh dan telah siap untuk pergi. Tetapi ini juga merupakan pemikiran yang logis berapa pun usia kita. Ketika Zach, seorang anak muda, terserang penyakit kanker yang membahayakan, umat dalam kongregasinya berdoa kepada Tuhan semoga ia disembuhkan dan kesehatannya dipulihkan kembali. Zach mendapat pengobatan kelas satu di rumah sakit universitas setempat, dan selama beberapa bulan ia menolak penyakitnya dan bersandar pada kepercayaan para pendukungnya. Di satu titik ia bahkan diberitahu bahwa ia sudah sembuh. Setelah itu, kira-kira sebulan kemudian, kondisinya tiba-tiba menurun. Hanya dalam waktu beberapa minggu ia pergi untuk selamanya. Berbicara dengan Zach dan keluarganya tidak lama sebelum kematiannya, saya merasa bahwa Gereja mereka terus menerus berdoa untuk kesembuhannya, meskipun mereka tulus, tetapi ini tidak dengan sendirinya mengurangi pencobaan berat yang mereka rasakan dan ini kadang-kadang membuat keadaan semakin sulit. Misalnya, bagaimana mereka seharusnya bersikap ketika seorang teman yang berniat baik mendesak agar Zach jangan menyerah, ketika perasaan mereka mengatakan bahwa yang terjadi sebenarnya adalah yang sebaliknya? Haruskah mereka terus berpura-pura percaya dalam Tuhan dan berpura-pura untuk percaya pada apa yang mereka sebenarnya tidak percaya? Tidak tahu apa yang harus saya katakan, saya mengatakan sesuatu seperti, Well, Zach, apakah engkau siap untuk menerima apa pun yang

Penyembuhan 173 akan terjadi tidak hanya siap untuk disembuhkan secara fisik tetapi juga siap untuk meninggal? Tujuan saya adalah menyadarkan dia bahwa semua pertanyaan mengenai kesembuhan atau disembuhkan tidak berarti lagi baginya. Penyakit kankernya sudah menyebar sehingga waktu yang tersisa tidak lebih dari satu atau dua minggu. Tidak ada waktu untuk mengalihkan pikiran dan perhatian. Setelah sebuah pergumulan yang intens, Zach memutuskan bahwa apa yang benar-benar penting baginya adalah menghadapi kenyataan bahwa ia sedang menghadapi ajal, dan dengan jujur dan tanpa syarat menerima kehendak Tuhan bagi dirnya, apa pun itu. Beberapa hari kemudian, kondisinya terus memburuk, tetapi ia tidak mempermasalahkannya lagi. Ia sedang menanti ajalnya: tidak dapat dibantah lagi. Tetapi ia juga paradoks kedengarannya mengalami penyembuhan yang selama ini ia kesampingkan. Zach diubah dari dalam. Ia menjadi orang yang tidak terlalu egois, lebih banyak berhubungan dengan orang lain; menjadi orang yang bijaksana dan lembut. Yang lebih luar biasa lagi, ia mulai merenungkan jiwa yang polos seperti yang dikatakan Yesus yang harus dimiliki oleh setiap orang untuk masuk ke kerajaan Allah. Transformasi yang dialami oleh Zach tidak datang dengan mudah atau tanpa bayaran. Kesembuhan jiwa yang ia dapatkan tidak membuat perpisahan menjadi lebih mudah. Bagi ibunya khususnya, ini masih merupakan hal yang sangat berat yang tidak dapat diucapkan dengan kata-kata: Ketika engkau kehilangan seseorang yang dekat denganmu, terutama ketika engkau berada bersamanya ketika ia pergi untuk selamanya, rasa sakit dan terkejut tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Saya tidak tahu

174 Jangan Takut bagaimana kita dapat melalui semua ini. Meskipun demikian, ia sependapat dengan suaminya yang berkata, Kematian Zach bukanlah suatu kekalahan. Benar penyakit kankernya tidak berhasil disembuhkan. Tetapi ia menemukan kedamaian di dalam hati, dan dalam pemahaman itu ia sudah disembuhkan. Di balik kesedihan itu, orangtua Zach juga mendapat kesembuhan serupa. Seperti yang dikatakan oleh ayahnya setelah kematiannya, Hidup masih tetap sama ada naik turunnya. Satu hari kita jatuh; di hari lain kita baik-baik saja. Tetapi berada bersama dengan anak lelaki kami di saat-saat akhir hidupnya mengubah hidup kami. Kami akhirnya melihat bahwa kematian bukan merupakan sesuatu yang menakutkan. Kematian mungkin merupakan musuh terakhir, tetapi bukan merupakan akhir dari sebuah kisah.

175

16

Perhatian Penuh

Karl, delapan puluh sembilan tahun, adalah orang yang melawan usia tua, sehingga merawatnya bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Ia dapat marah ketika kita tidak mengizinkan dia berjalan sendiri (karena tidak aman), atau ketika dia tidak dapat mendengar apa yang kita katakan (ia hampir tuli). Tetapi, tetap saja semua orang sangat mengasihinya. Ketika perawatnya membawa dia berjalanjalan dengan kursi rodanya di lingkungannya, orangorang akan berhenti mengerjakan apa yang mereka kerjakan dan menghampiri serta menyapanya. Anak-anak meninggalkan permainan mereka dan berlari menghampirinya, memperlihatkan kepadanya bunga dandelion, bersalaman, memberitahukan rahasia mereka kepadanya. Ja, Ja, ia akan berkata dengan gembira, dalam aksen Jermannya yang kental, meskipun ia sama sekali tidak mengerti apa pun yang mereka katakan. Para remaja juga mengasihinya, karena meskipun ia sudah berusia tua, ia masih seperti remaja. Ia membaca koran dan tahu apa yang sedang terjadi, dan ia sangat tertarik dengan apa yang mereka baca dan dengan pendapat mereka mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dewasa ini.

176 Jangan Takut Karl tidak pernah menunjukkan sikap bahwa ia memang seharusnya dikasihi. Melihat pada masa kecilnya yang sangat berat, diawali dengan kematian ibunya dan diakhiri dengan melarikan diri dari ayahnya yang memperlakukannya semena-mena, ini tidak mengejutkan. Yang luar biasa adalah sifatnya yang terlihat dari luar kasar hilang ketika ia mendekati saat-saat akhir hidupnya. Kadang-kadang, ketika ia berbaring di tempat tidur, ia akan memohon maaf kepada mereka yang merawatnya (termasuk anak-anak dan cucu-cucu) karena telah berlaku kasar. Saya minta maaf karena marah-marah. Mohon maafkan saya. Ia meninggal dengan tenang di usia sembilan puluh tahun, dikelilingi oleh keluarganya dan Irma, istrinya yang telah mendampinginya selama hampir tujuh puluh tahun. Sekilas masa tua Karl merupakan hal yang biasa sebuah gambar yang sempurna bagaimana menjalani hidup di tahun-tahun keemasan. Seharusnya setiap orang yang sudah tua layak untuk menerima perhatian penuh seperti yang dirasakan oleh Karl, tetapi pada kenyataannya banyak dari mereka tidak merasakan kenikmatan tersebut. Yang menyedihkan, skenario yang paling umum termasuk keterbatasan dan rasa takut, televisi yang dipasang terus menerus untuk menghilangkan kesepian dan kesunyian, dan meskipun ada Jaminan Sosial kemiskinan lebih banyak terjadi di kelompok usia ini dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Baru dua atau tiga generasi yang lalu, banyak orang menghabiskan hidupnya di satu tempat. Mereka membesarkan anak-anak, menjadi tua, dan meninggal di rumah mereka, dikelilingi oleh keluarga, temanteman dan anggota Gereja. Sebagian besar masyarakat sekarang ini yang ditandai dengan mobilitas dan

Perhatian Penuh 177 tidak mengakar rasa memiliki dalam suatu komunitas tertentu telah hilang. Sekarang ini, apa pun alasannya, para orangtua sering kehilangan kedekatan dengan anak-anaknya di usia setengah baya dan memasuki usia tua dalam kesendirian. Seorang wanita muda yang saya kenal mengatakan di rumah jompo di mana ia dulu bekerja, merupakan suatu hal yang biasa jika seorang keluarga dari orang tua yang dirawat di tempat itu meminta kepada staf rumah jompo untuk tidak menelepon mereka di malam hari. Jangan telepon saya ketika saya sedang tidur, salah satu pria mengatakan kepadanya ketika ia menelepon untuk mengatakan bahwa ayahnya mungkin akan meninggal pada malam itu. Telepon saya lagi besok pagi, jika perlu. Sifat tidak berperasaan seperti itu mungkin terlalu ekstrem, tetapi dampaknya mudah menyebar: kerenggangan, keterasingan, dan keterpisahan secara fisik untuk jangka waktu yang lama. Setelah mengunjungi Amerika Serikat di pertengahan tahun 1990an, Ibu Teresa terkejut melihat bagaimana negara kita cenderung untuk tidak menghargai orang-orang yang sudah tua. Ia melihat di satu tempat yang ia kunjungi, mereka sepertinya tidak kekurangan secara materi makanan, obat-obatan, perawat, peralatan rumah tangga yang nyaman, hiburan, dan hal-hal lain seperti itu tetapi ia juga menggambarkan kebosanan mereka, tatapan yang hampa dan mulut mereka yang menganga lebar, menarik diri, dan beberapa di antara mereka terus menerus melihat ke pintu. Seorang suster mengatakan kepada saya, katanya, bahwa ini terjadi hampir setiap hari. Mereka menunggu, berharap anak lelakinya atau anak perempuannya akan datang mengunjungi mereka. Mereka terluka karena telah dilupakan.

178 Jangan Takut Memasukkan orang yang sudah tua ke rumah jompo merupakan suatu dilema, tetapi alasannya sudah begitu mengakar dan solusi yang sederhana pun ditolak. Berbicaralah dengan orang yang mempunyai orangtua yang sudah tua, terutama orang tua yang sudah tidak mampu untuk hidup secara independen, kompleksitas dari isu tersebut akan jelas terlihat. Tidak ada seorang pun ingin ibu atau ayahnya meninggal tanpa merasakan kasih, tidak terawat, di lingkungan yang asing, tetapi ketika kita menambahkan satu lagi komitmen yang membuat seorang dewasa yang bekerja tidak lagi dapat bernapas dari fajar mulai menyingsing sampai matahari terbenam, maka dapat dimengerti mengapa hanya sedikit orang yang mau merawat orangtuanya di rumah. Alasan terbanyak, kekurangan uang, waktu, tempat atau energi jika tidak kekurangan ke empatnya. Menjadi tua di rumah juga bukan merupakan sesuatu yang indah, terutama bagi mereka yang tinggal sendiri. Dan meskipun keadaan mengizinkan bagi sebuah keluarga merawat orang yang mereka kasihi di rumah mereka sendiri, ada banyak sekali tantangan, seperti pengakuan Joan seorang kenalan yang mempunyai ayah yang terbaring di tempat tidur:
Bagi mereka yang belum pernah mengalaminya sendiri, sulit untuk membayangkan apa yang sebenarnya terjadi dalam sebuah rumah tangga yang seorang anggotanya menderita penyakit yang mematikan. Saya tidak tinggal di rumah saya memiliki rumah dan keluarga sendiri tetapi saya menghabiskan waktu bersama ayah jika saya ada waktu, dan ini memberi saya gambaran apa arti memberi perhatian itu. Tidak ada momen yang tepat untuk mengatakan kapan ayah masuk ke dalam fase dari hanya menjadi tua kemudian menderita pneumonia sampai menderita

Perhatian Penuh 179


penyakit yang mematikan ini semua terjadi secara perlahan. Hari-hari di mana ia menderita sakit bertambah dari minggu ke bulan, dan meskipun kami selalu ingin tahu kapan ia akan membaik, itu tidak pernah terjadi. Ia mulai membaik, tetapi kemudian demamnya kambuh lagi dan ia kembali pada putaran antibiotik berikutnya. Akhirnya kami menyadari bahwa semuanya sudah berjalan terlalu lama, dan mempersiapkan untuk memberikan perawatan di rumah dua puluh empat jam. Kondisinya menurun dengan sangat cepat, melemah sampai pada suatu titik di mana dokter mengatakan kepadanya mungkin ini yang terakhir. Pikiran kami mencoba untuk mencerna apa yang terjadi. Di mana saat-saat kami boleh merasakan kedekatan untuk mengatakan selamat tinggal yang selama ini saya bayangkan sebagai bagian dari kematian? Privasi kelihatannya merupakan kekayaan masa lalu, dan saya kesal membayangkan harus selalu berada bersamanya. Bagaimana saya dapat mengatakan kepada ayah dalam kata-kata betapa berartinya ia bagi saya? Dan bukankah itu sama dengan mengakui kebenaran yang dikatakan oleh dokter? Saya menghapus air mata saya dalam kesendirian. Kami meraba-raba dalam mencari penyesuaian, ketika hubungan dalam keluarga kami berubah-ubah dan memusingkan. Terdapat perubahan dalam peran ibu: sebelumnya, ayah selalu menjaga ibu; sekarang ia bergantung pada ibu untuk menjaganya. Sebuah tempat tidur rumah sakit di kamar yang terpisah telah menjauhkan mereka dari tempat tidur yang mereka tiduri bersama selama bertahun-tahun, dan kemana pun kita memandang yang kita lihat wadah untuk membuang air liur, kabel oksigen, segelas air dengan sedotan, dan makanan yang jarang disentuh. Kunjungan dokter, pengambilan darah, mengganti sprei dan mandi, hanya meninggalkan sedikit waktu

180 Jangan Takut


yang benar-benar memberi kedamaian kepada ayah. Disamping faktor di luar dirinya, ia juga secara terus menerus mengalami sesak napas. Ia sulit menerima kenyamanan, dan selalu meributkan sprei, bantal dan posisi kakinya. Semua yang saya lakukan tidak menghentikan keluhannnya, dan ketika tidur, ayah juga tidak merasakan kelegaan, karena ayah jarang sekali dapat tidur dengan nyenyak. Ayah belum meninggal. Ia bertahan, tetapi kesembuhan dirasakan berjalan sangat lamban. Meskipun secara fisik ia sekarang terlihat lebih kuat, ia masih memerlukan perawatan 24 jam, dan hidupnya yang penuh antusiasme sudah sulit untuk dibangkitkan kembali. Janji-janji dokter bahwa kesembuhan akan segera datang dengan berjalannya waktu hanya merupakan kata-kata yang tidak mempunyai arti. Sebelum menderita sakit, ayah mengatur sendiri hidupnya. Sekarang ia hanya hidup dalam sebuah dunia yang kecil, tetapi ia tetap ingin mengatur: jika kita hendak membawanya berjalan-jalan, ia akan mengatakan hari ini terlalu dingin; jika perawatnya menghilang sebentar, ia akan melihat jam dan menunggu perawatnya kembali; jika sekarang pukul tiga pagi dan ia berpikir sekarang saatnya untuk mandi pagi, tidak mungkin untuk meminta ia tidur kembali. Suatu hari saya mencoba untuk mengolesi lotion di kulitnya yang kering, bersisik. Terlalu berminyak, katanya, jadi saya meletakkan botol lotion itu jauh-jauh. Dengan berjalannya waktu, saya harus menghadapi kenyataan tidak dapat melakukan apa-apa untuk mengurangi rasa sakitnya, dan hanya percaya bahwa kehadiran saya menjelaskan sesuatu yang tidak dapat saya jelaskan melalui tindakan-tindakan....

Joan merasa terhormat dapat membantu merawat ayahnya. Tetapi ia mengaku kadang-kadang ia merasa tidak berdaya, dan ia yakin tanpa ikatan kasih yang menyatukan sebuah keluarga, ketegangan-ketegangan

Perhatian Penuh 181 yang tidak dapat dihindari tidak lama akan menimbulkan kerenggangan, jika bukan keretakan yang dalam. Dengan mempertimbangkan tantangan yang ada dalam situasi serupa itu, mudah untuk mengerti mengapa keluarga-keluarga yang awalnya mencoba untuk merawat seseorang di rumah akhirnya menempatkan orang tersebut di rumah jompo atau rumah sakit darurat. Tidak ada yang harus merasa malu: siapa pun yang pernah merawat orang yang berada dalam kondisi kronis tahu bahwa akhirnya ini merupakan suatu tugas yang memerlukan kerja keras. Tetapi pekerjaan yang berat sekali pun dapat diatasi jika dilakukan dengan belas kasih dan sensitivitas. Tragisnya, belas kasih dan sensitivitas sering hanya merupakan kata-kata saja, sehingga banyak orang yang sudah tua merasa mereka tidak dikehendaki dan ditinggalkan. Apakah mengejutkan jika kemudian banyak dari mereka merasa sebagai beban bagi keluarganya; jika banyak dari mereka yang sudah pensiun tidak lama merasa bosan hidup, dan jika mereka tidak lagi menabukan berbicara mengenai hak orang yang sakit untuk mati? Berapa banyak yang akan melawan halhal serupa itu, jika mereka mendapat jaminan untuk mendapatkan kehidupan yang layak lahir dan batin sampai akhir hidupnya hak untuk dikasihi? Sebuah artikel yang baru-baru ini dikirimkan kepada saya dari Inggris mengutip seorang dokter yang membela diri dari tuntutan tidak memberi bantuan untuk kasus bunuh diri dengan mengklaim, wanita itu belum akan meninggal dalam waktu satu minggu, dan saya membutuhkan tempat tidur itu. Di negara ini, kejadiankejadian serupa itu juga terdengar. Ini sangat tragis terutama ketika kita memikirkan berapa banyak yang harus

182 Jangan Takut diberikan kepada setiap orang yang sudah tua, tidak peduli betapa lemahnya, betapa tidak berdayanya, atau betapa disorientasinya dia. Bahkan orang yang sinis sekalipun dapat menyumbang sesuatu dengan kehadirannya, jika mereka yang ada disekelilingnya mempunyai kesabaran dan kerendahan hati untuk menerimanya. Sebagai seorang anak sekolah di desa Paraguayan di mana saya bertumbuh, saya dulu biasa membantu Bernard di kandang kuda tempat ia bekerja. Bernard dapat menarik perhatian kuda-kuda dan sepertinya ia kuat seperti lembu jantan cukup alasan untuk menjadikannya sebagai pahlawan masa kanak-kanak saya. Berpuluh-puluh tahun kemudian, sebagai orang yang berusia tujuh puluh lima tahun, saya mengenalnya lagi dengan cara yang sangat berbeda. Dahulu ia seorang yang penuh dengan talenta dengan beragam minat (di samping kedekatannya dengan binatang, ia juga seorang tukang kebun yang memiliki pengetahuan yang meyakinkan dalam bidang kimia dan biologi), sekarang ia menderita kerusakan awal dari penyakit Alzheimer dan secara perlahan, kehilangan semua kemampuan dan bakatnya. Dengan berkembangnya penyakit Bernard, rasa frustrasinya pun meningkat; ia kehilangan kemampuan untuk melakukan hal-hal sederhana seperti membuat teh; ia tidak lagi mempunyai kesadaran akan waktu dan tempat; ia tidak dapat mengenali hari, atau waktu. Tidak lama kemudian ia tidak lagi dapat mengomunikasikan kebutuhan dasarnya kita hanya dapat membaca matanya untuk merasakan rasa sakitnya. Mendekati akhir hidupnya ia tidak lagi dapat mengenali keluarganya sendiri bahkan tidak juga Eileen, istrinya selama lima puluh tahun. Tetapi Bernard tidak pernah kehilangan senyumnya lebar,

Perhatian Penuh 183 senyum yang merekah secara perlahan yang menyinari wajahnya seakan-akan ia baru saja menerima sesuatu yang menggembirakan hatinya. Dan ia tidak pernah kehilangan cintanya kepada anak-anak . Pada kenyataannya, ia menyimpan senyum terakhirnya untuk seorang bayi yang dibawa oleh tetangganya. Seperti Bernard, ibu mertua saya, Margrit, sampai saat ia meninggal dunia, sudah tidak mampu berbuat apaapa: ia menderita penyakit Lou Gehrig selama tiga belas tahun sisa hidupnya; selama delapan tahun dari tiga belas tahun tersebut ia terbaring di tempat tidur. Dengan sebelas orang anak, dan lebih dari enam puluh cucu, Margrit adalah seorang pekerja yang tidak mengenal lelah, ia mempunyai kebiasaan untuk menyelesaikan segala sesuatu yang dikerjakan. Ia juga seorang wanita yang berbakat, ia melatih atau memimpin orkestra (ia belajar memainkan biola di sebuah konservatori ternama di Eropa). Namun demikian, ketika saya memikirkan dirinya, saya membayangkan ungkapan dalam bahasa Jerman, Orang yang diam itu memiliki banyak kemampuan. Berbeda jauh dari suaminya, seorang yang menghidupkan pembicaraan, Margrit orang yang sederhana ketika ditanya mengenai pendapatnya tentang sesuatu, ia hanya tersenyum dan mengatakan, saya mendengarkan. Tetapi ini bukan karena ia seorang yang pemalu. Pada kenyataannya, ia memiliki kepercayaan diri dan keyakinan yang berbicara lebih kuat daripada kata-kata. Bagi saya, tahun-tahun terakhir hidup Margrit menonjolkan makna memerhatikan dengan penuh kasih orang-orang yang sudah tua. Bukan hanya dalam arti membantu atau merawat mereka, tetapi belajar untuk memerhatikan anugerah-anugerah yang mereka kembalikan. Sementara musisi lain mungkin meratapi

184 Jangan Takut kemampuannya yang menurun, tidak demikian dengan Margrit; ia dengan sabar menerima keterbatasannya. Akhirnya ia menjadi sangat lemah, ia hanya dapat berbicara dengan susah payah. Ia tidak lagi mampu melakukan apa pun untuk dirinya sendiri. Tetapi ia masih menggenggam tangan mereka yang mengunjunginya dengan tangannya yang lemah; dan ia masih berbicara kepada mereka, meskipun dalam diam, dengan pandangan penuh kasih. Dan, seperti yang dibisikkannya kepada seorang perawat di suatu hari, Saya masih dapat berdoa. Melalui ini semua, ia mengingatkan kita bahwa meskipun kita jauh berbeda dalam penampilan dari masa muda kita yang dipenuhi dengan kesuksesan yang membanggakan, tetapi ada sesuatu mengenai kesederhanaan dalam mengasihi yang tidak dapat dirusak oleh waktu. Tidak peduli berapa pun usia atau kondisi dari orang yang sedang menanti ajalnya, saya percaya bahwa setiap orang memiliki percikan kasih. Percikan ini mungkin tersembunyi, atau sulit untuk ditemukan. Tetapi jika kita benar-benar peduli, kita tidak akan berhenti untuk mencarinya. Dan ketika kita telah menemukannya, kita akan mengipasinya menjadi api yang berkobar dan merawatnya sampai akhir.

185

17

Kematian

Meskipun usianya sudah menginjak delapan puluhan tahun, mertua lelaki saya, Hans, masih melakukan perjalanan dari Connecticut ke Eropa. Seorang sarjana otodidak dengan minat yang besar pada sejarah dan agama, ia tidak membiarkan usia menghalangi niatnya untuk menghadiri konferensikonferensi dan melakukan perjalanan. Jika untuk bertemu dengan orang- orang yang mengagumkan mengharuskan ia untuk terbang berpuluh-puluh mil jauhnya, itu tidak menjadi masalah. Betapa pun, melakukan perjalanan tidak membuat ia kelelahan. Perjalanan membuat ia semakin muda. Seorang anggota keluarga memprediksi, Ia akan meninggal saat dalam tugas. Di malam Natal 1992, pada usia sembilan puluh tahun, Hans sedang duduk di bal jerami, jubah gembala menutupi bahunya dan tongkat kayu di tangannya. Ia menawarkan diri untuk ikut dalam pawai memperingati hari kelahiran Yesus di luar rumah. Belum jauh ia meninggalkan rumah, ia merasa kedinginan, dan meminta untuk dibawa masuk ke dalam, tidak lama

186 Jangan Takut kemudian seseorang mengantarnya pulang. Tetapi Hans tidak dapat bertahan. Ketika pintu mobil dibuka, sopir mendapati ia sudah meninggal. Kehilangan seorang teman atau anggota keluarga secara mendadak selalu mengejutkan. Tetapi jika yang meninggal orang yang sudah tua, dan telah menjalani hidupnya secara penuh, kepergiannya merupakan suatu anugerah. Dapat dipastikan jika sebagian besar orang diizinkan untuk memilih, mereka akan memilih untuk meninggal seperti Hans dengan bahagia dan dengan cepat. Tetapi hanya sedikit yang pergi dengan cara seperti itu. Bagi sebagian besar dari kita, kematian datang secara perlahan. Menghadapi kematian hampir selalu disertai dengan pergumulan yang berat. Sebagian dari pergumulan itu adalah rasa takut, yang sering berakar dari ketidakpastian akan masa depan yang tidak diketahui dan yang tidak dapat diketahui. Sebagian lagi mungkin dorongan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang belum terpenuhi atau untuk dibebaskan dari penyesalan atau rasa bersalah di masa lalu. Tetapi sebagian lagi juga penolakan kita secara alamiah pada kenyataan bahwa segala sesuatu akan berakhir. Sebut saja naluri untuk bertahan hidup, keinginan untuk tetap hidup, atau apa pun ini merupakan dorongan yang luar biasa kuatnya. Kecuali dalam kasus yang jarang terjadi (mereka yang meninggal dalam keadaan koma, misalnya) dorongan ini dapat memberi daya sembuh yang menakjubkan kepada seseorang. Maureen, seorang teman lama di usia pertengahan sembilan puluh, dua tahun yang lalu jatuh dan pinggulnya patah; setelah itu adik perempuannya dan satu anak lelakinya meninggal. Ia sendiri menghabiskan sebagian besar waktunya terbaring di tempat tidur, dan

Kematian 187 sisanya di kursi roda. Masih juga, burung tua yang gigih ini (begitulah ia menyebut dirinya) yang senang membuat orang yang menjenguknya terkejut dengan secara sembunyi-sembunyi meletakkan tikus-tikusan dari karet ke dalam kopi mereka, lebih bercahaya daripada orang-orang yang umurnya setengah dari usianya. Setelah keinginannya untuk tetap hidup sampai tahun 2000 terpenuhi, ia sekarang bercanda bahwa ia berencana untuk tetap hidup sampai usia 100 tahun. Ia menolak usia tua dengan semua kekuatan yang ada dalam dirinya, dan ini secara harfiah membuat dirinya tetap mempunyai semangat hidup. Ada juga Esther, anak tiri dari salah satu saudara perempuan saya, yang didiagnosis mengidap penyakit kanker progresif ketika berusia sepuluh tahun. Dalam waktu beberapa hari anak perempuan yang periang dan senang bermain lompat tali, kejar-kejaran, dan menunggang kuda bersama ayahnya ini mendapati dirinya harus tinggal di tempat tidur. Tidak lama setelah itu satu kakinya diamputasi. Esther menangis, tetapi kemudian menguatkan dirinya dan meminta sebuah kaki palsu. Saya akan berjalan lagi pada Natal nanti tunggu dan lihat saja, ia berjanji. Di kemudian hari ia menjadi buta. Lagi-lagi ia menolak untuk ditakut-takuti, dan terus menerus berbicara untuk belajar piano. Periang dan pemberani, ia tidak meninggal karena kanker karena ia memerangi penyakit itu sampai akhir. Keinginan untuk hidup, membuat orang dapat mengatasi hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kematian tidak dapat selamanya dicegah, dan akhirnya kehidupan secara fisik harus diakhiri. Anehnya, budaya kita menolak kebenaran ini. Di Florida, ribuan orang yang sudah tua berkumpul dalam komunitas orang-

188 Jangan Takut orang yang sudah pensiun, mereka berdansa, berkencan, berolahraga, dan mandi matahari dan mengencangkan wajah untuk mempertahankan penampilannya agar tetap awet muda dengan membayar harga yang sangat tinggi. Tidak ada orang yang merasa iri pada orang yang sudah tua yang memiliki kesempatan untuk bersenang-senang atau menjalani hidup secara penuh. Tetapi pada saat yang bersamaan ada sesuatu yang mengganggu jika kita bertingkah laku seperti orang berusia dua puluh ketika kita sudah berusia tujuh puluh tahun seperti seakan-akan dengan kepurapuraan itu seseorang dapat menghindari kerutan, penyakit jantung, beser dan kehilangan daya ingat. Berabad-abad yang lalu penyakit dan kekeringan memusnahkan seluruh kota dan kota-kota besar, dan lambat laun setiap keluarga akan mengalami kematian seorang wanita pada saat melahirkan, atau kehilangan bayi. Seperti yang dikatakan oleh penulis Philip Yancey, Tidak ada orang yang dapat hidup seperti seakan-akan kematian itu tidak ada. Sekarang ini, kita berterima kasih pada pengobatan modern, nutrisi yang semakin baik, sanitasi umum, dan harapan hidup yang semakin panjang, kematian sepertinya menjadi suatu realita yang dapat dihindari. Dan ketika kita tidak dapat menghindarinya, kita mencoba untuk bersembunyi darinya. Mengutip apa yang dikatakan Yancey, Klub kesehatan merupakan industri yang berkembang dengan pesat, begitu juga dengan toko-toko yang menjual makanan sehat dan bernutrisi. Kita memperlakukan kesehatan fisik seperti sebuah agama. Sementara itu kita menutup dengan rapat peringatan-peringatan yang menunjuk pada kematian kamar mayat, ICU, kuburan.

Kematian 189 Dalam mempertahankan tabu serupa itu, kita banyak menghilangkan kematian dari pengalaman hidup kita sehari-hari. Tetapi ada sisi yang berlawanan: kita juga telah kehilangan kemampuan untuk menerima kematian ketika saat itu akhirnya tiba. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kita harus meremehkan rasa takut orang yang sedang menghadapi ajalnya dengan membujuknya untuk menerima kematian seorang teman seperti yang dilakukan oleh beberapa ahli. Ada beberapa alasan yang bagus melihat kematian sebagai musuh, seperti yang digambarkan dalam Kitab Suci. Seperti penulis Mazmur, yang memohon kepada Tuhan untuk menolongnya agar tetap tegar ketika ia berjalan dalam bayangan lembah kematian, sebagian besar dari kita tidak menantikan kematian, tetapi khawatir mengenai hal itu. Bahkan paman saya Herman, meskipun ia meninggal dengan keyakinan, tetapi ia berjuang untuk sampai kepada pemahaman itu dan mengakui ketakutannya bahwa kematian seperti masuk ke dalam sebuah terowongan yang panjang dan gelap. Banyak tulisan yang membahas mengenai bagaimana menenangkan orang yang menderita penyakit yang mematikan. Tetapi harus diingat bahwa setiap individu mempunyai kebutuhan dan keinginan yang unik. Ada orang yang banyak bicara dan gugup, ada yang pendiam dan pemurung, ada yang benar-benar bingung. Ada orang yang bersedih, yang lainnya mencoba untuk melakukan tawar-menawar dengan Tuhan, tetapi masih ada juga yang tenang. Ini semua merupakan respons normal dan tidak ada yang salah atau benar. Bagaimana pun, kematian adalah suatu proses yang kompleks dan melibatkan seluruh spektrum yang rumit dari emosi manusia sangat takut, perasaan gelisah dan kelelahan;

190 Jangan Takut harapan dan pengurangan rasa khawatir. Dan perasaanperasaan ini bukan hanya memengaruhi orang yang sedang menghadapi ajal saja tetapi juga mereka yang berada di sekelilingnya. Penting juga untuk mempertimbangkan lingkungan orang yang sedang menghadapi ajal. Rumah sakit mungkin merupakan tempat yang paling baik untuk mendapat kesembuhan setelah operasi, tetapi bukan merupakan tempat yang ideal untuk meninggal. Satu hal, rumah sakit tidak dapat menggantikan kehangatan dan kenyaman yang dirasakan di rumah; selain itu, jam kunjungan juga menjadi kendala bagi teman dekat dan anggota keluarga untuk datang menjenguk kapan saja. Kadang-kadang membuat pilihan antara rumah dan rumah sakit merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Ada orang yang merasa tinggal di ruang ICU dengan peralatan teknologi tinggi dapat menenangkan; yang lain merasa, kabel-kabel yang rumit dan IV lines serta suara monitor listrik yang memekakkan telinga sangat mengganggu dan menghalangi orang untuk tidur nyenyak. Apa pun keputusan yang diambil, penting untuk memikirkan keinginan dari orang yang sedang menghadapi ajal dan mengomunikasikannya dengan dokter yang menangani, meskipun keinginan itu tidak sejalan dengan perasaan kita, dan bahkan menanggung risiko disalahkan. Dalam beberapa tahun ini teknologi dalam ilmu kedokteran telah berkembang pesat, tetapi teknologi ini mungkin hanya memperpanjang masa-masa sekarat, daripada memperpanjang hidup. Perbedaan di antara keduanya sangat tipis. Tentu saja, tempat yang disiapkan secara pribadi tidak menjamin orang dapat meninggal dalam damai. Ketika

Kematian 191 anak-anak yang sudah dewasa sudah bertahun-tahun tidak tinggal bersama di rumah orangtua mereka yang sedang menanti ajal, lebih sering terjadi benturan daripada harmonisasi. Bahkan ketegangan yang disembunyikan dengan hati-hati dapat meledak ke permukaan ketika melibatkan surat wasiat dan warisan. Yang terpenting adalah ketika kita masuk ke ruangan seseorang yang menghadapi ajalnya, kita harus menyadari akan keinginannya untuk merasakan kedamaian, dan kita harus menghormatinya. Tidak ada kata-kata yang lebih keras dari kata-kata ini: ranjang kematian bukan tempat untuk membawa keluhan-keluhan masa lalu. Bukan juga tempat untuk memaksa diselesaikannya perselisihan. Berbeda jika orang yang sedang menanti ajalnya merasa perlu untuk menyelesaikan sesuatu, atau jika kita membuat sesuatu menjadi lebih baik dengan memberi pengampunan yang sederhana. Menurut perawat dari rumah sakit darurat Maggie Callanan, salah satu penulis buku Final Gifts, kebutuhan emosi dari orang yang sedang menanti ajalnya sering lebih menyakitkan daripada penyakit fisiknya, dan kegagalan untuk menangani kebutuhan emosi ini akan membuat mereka merasa masalah ini tidak terselesaikan dan membuat mereka sulit untuk meninggal. Maggie Callanan menulis mengenai seorang veteran Vietnam yang sedang menanti ajalnya yang pernah dibantunya:
Suatu hari saya menerima panggilan dari seorang perawat yang sedang bertugas. Tolong segera datang ke sini, katanya. Semua kelihatannya berjalan baik, tetapi sekarang Gus sangat gelisah dan khawatir, dan kami tidak tahu bagaimana menanganinya. Tidak, saya sangat yakin kita akhirnya dapat mengatasinya, saya berpikir sendiri. Saya selalu

192 Jangan Takut


penasaran berapa lama Gus dapat menampilkan dirinya sebagai orang yang kuat. Saya merasa tentu ada saatnya di mana ia merasa ketakutan meskipun ia tidak akan mengatakannya, atau membiarkan perasaan takutnya terlihat. Suasananya sangat kacau. Gus menangis dalam rasa sakit yang sangat; omongannya tidak nyambung sehingga sulit untuk dimengerti. Tetapi dalam bahasanya yang membingungkan terdapat kata-kata ini desa-desa, bayi-bayi, bensin pekat, terbakar dan kata-kata tragis Saya melakukannya, saya melakukannya!

Akhirnya, orang yang merawat Gus mengartikan bahwa ia ingin bertemu dengan seorang pendeta permohonan yang dengan senang hati dipenuhi. Tidak lama setelah itu, Gus meninggal, ia merasa dibebaskan dari beban hidupnya oleh seorang pendeta setempat. Kadang-kadang kesedihan dari orang yang menjelang ajal berasal dari kegelisahan bahwa tidak ada satu orang pun yang tahu apa yang sedang mereka rasakan atau bahwa mereka tidak lama lagi akan pergi. Ketakutan ini juga hadir bahkan dalam diri orang yang dikelilingi oleh banyak teman dan anggota keluarga. Mengutip sekali lagi Final Gifts:
Banyak orang yang menghadapi ajalnya merasa kesepian, bukan hanya karena orang-orang tidak datang, tetapi juga karena apa yang terjadi ketika orang-orang berkunjung. Para pengunjung mungkin menghabiskan waktu dengan berbicara mengenai udara, olah raga atau politik. Mungkin disadari atau tidak, percakapan memang dimaksudkan untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting, dan ini membuat orang yang sedang menanti ajalnya tidak dapat berbicara secara intim. Dunia orang yang sedang menanti ajal menyusut, menyempit ke beberapa

Kematian 193
hubungan yang penting dan kemajuan dari penyakitnya. Ketika orang yang sedang menanti ajal tidak diizinkan untuk membicarakan mengenai apa yang terjadi dengan dirinya, mereka menjadi kesepian, bahkan di tengah-tengah orang-orang yang mengasihi dan mencemaskannya. Mereka mungkin merasa sendirian dan ditinggalkan, dan akhirnya menjadi kesal dan marah.

Tentu saja percakapan ringan dan humor mempunyai tempatnya sendiri bersama dengan doa; tidak ada yang lebih menekan daripada kesucian yang dipaksakan. Tetapi yang jauh lebih bermakna dari kata-kata adalah perbuatan kasih yang sederhana: meletakkan kain basah di dahi yang panas, memegang bahu yang bergetar, meminyaki bibir yang kering. Meskipun sederhana, akhirnya, tindakan-tindakan kasih itu yang diinginkan atau dibutuhkan oleh sebagian besar orang. Helen Prejean, seorang biarawati yang menemani para tahanan pada saat kematian mereka, mengatakan bahwa meskipun tidak ada satu pun yang dapat kita lakukan untuk orang yang sedang menanti ajalnya, kita dapat meyakinkan dia bahwa wajah terakhir yang dia lihat menenangkan dirinya dengan mata yang penuh kasih. Malangnya, orang yang menanti ajalnya sering menghembuskan napas terakhirnya dalam kesendirian. Kadang-kadang orang itu seperti telah pergi, tetapi masih tetap bertahan selama beberapa minggu atau beberapa bulan. Dalam kasus yang lain, seseorang kelihatannya mulai sembuh, tetapi kemudian mengejutkan setiap orang dengan tiba-tiba meninggal. Yang menarik, para pekerja di rumah sakit darurat mendapati bahwa ketika seseorang merasa khawatir kematiannya akan menyedihkan orang-orang yang dikasihinya, ia akan menunggu sampai ia sendirian, dan kemudian menghembuskan napas terakhirnya.

194 Jangan Takut Di hari Rob, seorang teman lama, meninggal beberapa tahun yang lalu, ia memanggil istri dan anakanaknya ke ruangannya, mengatakan kepada mereka masing-masing bahwa ia mencintai mereka, dan berharap mereka selalu mendapat kebahagiaan di masa depan. Beberapa jam kemudian ia meninggal. Brad, juga seorang teman, tidak sempat mengucapkan selamat tinggal. Ketika ia jatuh sakit, anak-anaknya (semua sudah dewasa) datang dari tempat yang jauh untuk melihatnya mungkin untuk terakhir kalinya. Salah satu dari mereka selalu berada di sisi tempat tidurnya, siap untuk memanggil yang lain jika saatnya tiba. Namun demikian, ketika saat akhir tiba, yang datang begitu cepat, sebagian besar dari mereka tidak berada di rumah. Mereka sangat kecewa, dan beberapa bahkan merasa bersalah. Dalam mencoba membantu keluarga ini melalui masa duka mereka, saya meyakinkan mereka bahwa apakah kita berada bersama atau tidak berada bersama orang yang sedang menanti ajalnya di saat-saat akhir mereka, tidak ada orang yang benar-benar merasa sendiri di saat-saat akhir mereka. Sebaliknya, saya percaya bahwa orang yang sedang menghadapi ajal selalu berada di tangan Tuhan. Mengingat kembali malam terakhir yang dihabiskan dengan seorang pasien yang meninggal karena kanker, seorang dokter yang saya kenal menulis dalam catatan hariannya:
Meskipun Mark terlihat sebentar-sebentar gelisah, ia membuat komentar-komentar yang logis di tengah-tengah napasnya yang berat. Di satu saat ia mengatakan sesuatu mengenai pergi ke suatu tempat, dan saya menjawab, Ya, engkau boleh pergi, Yesus akan membawamu! Tetapi ini sangat berat! ia menjawab. Saya berkata, Jangan menggenggam tangan kami. Genggamlah tangan Tuhan!

Kematian 195
Saya mencoba, katanya, tetapi saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan lagi. Saya tidak mengenal tempat itu! Ya, tetapi engkau pergi sebelum kami, kata ibunya. Dan kemudian engkau dapat menceritakan kepada kami bagaimana caranya untuk sampai ke tempat itu. Kemudian Mark meminta ayahnya untuk membacakan sesuatu dari Kitab Suci, dan itu dilakukan oleh ayahnya. Baru saja ia menyelesaikan bacaan dari Roma 8, Mark berkata, Mungkin Yesus akan datang! Beberapa dari kami menjawab, Ia akan datang! Kemudian ia berkata cukup keras, Tidak dapat menunggu lebih lama lagi! Setelah itu, selama setengah jam napas Mark menjadi semakin berat, meskipun setiap beberapa menit ia akan mengatakan sesuatu. Kadang-kadang hanya satu kata; kadang-kadang satu kalimat penuh, tetapi diucapkan dengan cepat di antara tarikan napasnya yang berat, dan sulit untuk dimengerti. Matanya terbuka, tetapi ia sepertinya tidak lagi melihat kami: Ini merupakan pergumulan yang luar biasa....Engkau tidak tahu betapa lelahnya aku! Pilu....Jangan terfokus pada...tetapi pada yang spiritual. Dan kemudian: Akan pergi....Yesus....Menakjubkan! Sungguh nyata.... Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan Saya merasa sangat jahat, tetapi saya tidak dapat melakukan apa pun mengenai hal itu sekarang. Kami meyakinkannya bahwa apa pun yang ia sesali, ia telah diampuni; bahwa Tuhan akan mengambilnya; dan itu akan terjadi tidak lama lagi. Mark kemudian meminta air, dan berkata, Akan pergi sebentar lagi.... Salah satu hari terbaikku Kira-kira satu setengah jam kemudian, ia menghembuskan napas terakhirnya.

196 Jangan Takut Seperti yang diperlihatkan dari kisah Mark, kematian adalah sebuah misteri di mana kita tidak dapat melakukan apa-apa kecuali memandang dengan takjub. Jika seseorang berjuang untuk hidup, kita dapat mendukungnya dan berjuang bersamanya; jika ia kelihatannya siap untuk meninggal, kita dapat meyakinkannya bahwa kita mengerti, dan membebaskannya. Selain itu, jangan lakukan apa pun. Saya mengatakan ini karena pada akhirnya yang paling penting ketika berada bersama orang yang menanti ajalnya adalah suasana damai. Selama kita terfokus pada diri kita sendiri dan usaha-usaha kita untuk meringankan rasa sakitnya, kita mengambil risiko mengganggu dan mengalihkan perhatiannya, dan menghalangi dia untuk menemukan kedamaian. Ketika hidup mendekati saat akhirnya, segalanya hal yang sebelumnya dirasakan paling penting sekalipun menjauh. Dan ketika semuanya telah pergi, tidak ada yang lebih penting daripada roh. Kita tidak dapat melihat ke dalam hati orang; maka tidak pada tempatnya mengkhawatirkan bagaimana dia di hadapan Tuhan. Tetapi dengan membuka mata dan telinga kita pada apa yang sedang dia rasakan, kita dapat berbagi penderitaan dengannya dan membiarkan penderitaan itu menjadi penderitaan kita juga, dan kita dapat berdoa semoga ia mendapatkan belas kasihan dan anugerah. Akhirnya, kita harus membiarkan orang yang sekarat itu pergi, seperti yang dikatakan oleh Henri Nouwen, percaya bahwa kematian tidak mempunyai kata akhir. Kita dapat melihat merekadan memberi mereka harapan; kita dapat meletakkan tubuh mereka di tangan kita. Dan kita dapat percaya bahwa tangan yang lebih perkasa daripada tangan kita akan menerima mereka dan memberi mereka kedamaian dan kegembiraan yang mereka dambakan.

197

18

Dukacita

Tidak soal bagaimana pun keadaan seseorang ketika ia meninggal kita cenderung untuk mengatakan kata-kata klise. Mungkin kita takut untuk melukai seseorang dengan mengatakan sesuatu yang salah. Mungkin juga kita terlalu dipenuhi oleh emosi sehingga kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita pikirkan. Tetapi alasan yang paling utama adalah kita tidak merasa nyaman dengan keadaan dukacita. Bagi sebagian besar dari kita kenyataan pahit kehilangan seseorang (atau melihat seseorang menderita karena kehilangan seseorang) terlalu berat untuk benarbenar dibicarakan secara jujur. Ini mengharuskan kita mengakui kelemahan, ketergantungan dan ketakutan bahwa kita telah tiba di akhir kehidupan dan oleh karena itu kita berusaha untuk menghilangkannya, atau menutupinya dengan menggunakan ungkapan yang sempurna. Dan ketika ini juga tidak berhasil kita mencoba untuk sebentar merasakan rasa duka itu dan kemudian bangkit dengan cepat. Kadang-kadang kita melakukan ini untuk diri kita sendiri, dengan harapan jika kita dapat bangkit kembali dan terus berjalan, kita dapat membatasi rasa sakit kita.

198 Jangan Takut Kadang-kadang, kita merasa gelisah dengan apa yang dipikirkan oleh orang lain mengenai diri kita jika kita tidak segera bangkit, dan kita menutupi kesedihan kita dengan menyimpannya diam-diam. Mencoba mengatasi rasa dukacita dengan cara ini tidak akan berhasil. Sembunyikan rasa dukacita itu, bicarakan seputar rasa dukacita ini, tunda rasa dukacita itu, berpura-pura seakan-akan rasa dukacita itu tidak ada dalam jangka panjang, perasaan dukacita itu tidak akan pernah pergi sampai kita berani menghadapi dan membiarkan perasaan itu pergi dengan sendirinya. Oleh karena keadaan yang membentuk setiap kehilangan itu unik, maka waktu yang diperlukan untuk mengatasinya juga berbeda bagi setiap orang. Tragisnya, waktu tidak selalu menunggu kita, seperti yang disadari oleh Gina, seorang wanita muda yang saya kenal. Ketika Tom, saudara lelaki Gina yang berusia enam belas tahun meninggal karena overdosis beberapa tahun yang lalu, hatinya hancur. Rasanya, saya belum dapat mengatasinya, katanya. Awalnya teman-teman dan kenalan bersimpati kepadanya, tetapi setelah beberapa waktu mereka lelah melihat ketidakmampuannya untuk terus berjalan dan melanjutkan hidup dan hal ini membuat ia merasa bersalah karena ia masih berjuang mengatasi rasa dukacita itu:
Saya mencoba untuk menjelaskan, tetapi mereka tidak mau mengerti. Sepertinya mereka mengharapkan saya menjalani hidup yang normal kembali. Saya sering merasakan kesedihan, kegetiran, dan emosi-emosi yang menyakitkan lainnya, tetapi orang-orang tidak merasa nyaman dengan itu semua. Saya merasa sendirian. Enam bulan setelah kematian Tom, teman dekat Tom meninggal dunia. Saya merasa sedih sekali. Tetapi

Dukacita 199
ketika saya mengatakan kepada seorang teman apa yang saya rasakan, ia mengatakan ia mengkhawatirkan diri saya. Ia berpikir sekarang ini saya seharusnya sudah dapat mengatasi semua itu ini membuat saya tertekan karena saya juga berpikir begitu. Saya merasakan kesedihan atas kematian saudara lelaki saya dan temannya dalam keterasingan dan kebingungan. Saya mencoba mencari arti dari kematian mereka, tetapi ini sangat sulit. Setiap orang terus berbicara seharusnya mereka tidak perlu meninggal sia-sia.

Dalam buku wawancara mengenai kematian dan menghadapi ajal, penulis Studs Terkel mengingat kembali percakapannya dengan Myra, seorang wanita yang tidak mendapat cukup empati setelah kematian ibunya. Ia merasa bahwa ia mempunyai hak untuk merasakan kesedihan akan kehilangan itu, tetapi orang-orang berharap saya segera keluar dari perasaan dukacita saya. Dengan mengatakan ia merasa diambil hak istimewanya, Myra menjelaskan:
Ini berarti kita tidak boleh merasa sedih, dan tidak boleh memperlihatkannya. Saya berusia di akhir lima puluhan ketika ibu saya meninggal dunia. Ia berusia delapan puluh satu tahun. Orang-orang datang dengan ungkapan-ungkapan klise. Betapa pun, ia sudah menjalani hidup dengan baik. Engkau tidak boleh terlalu bersedih. Tetapi itu semua omong kosong. Itulah sebabnya mengapa kita tidak dapat menangani kematian dengan baik. Kita hanya ingin merasakan rasa duka yang singkat. Tidak ada orang yang mau merasakan rasa duka untuk waktu yang panjang. Mereka ingin kita menyimpan rasa duka itu seperti kita menyimpan uang di bank.

Tidak mengherankan banyak orang merasa mereka harus dapat keluar dari rasa dukacita secepatnya dan

200 Jangan Takut ditambah lagi dengan keagungan. Sebagian besar merasa tidak mungkin melakukan itu; dan dari pengalaman saya, bahkan orang yang berhasil mengeraskan hati mereka dan dapat tampil sebagai manusia utuh, cepat atau lambat akan menyadari bahwa mereka tidak dapat benar-benar pulih dari rasa duka tanpa memberi diri mereka waktu untuk merasakan kesedihan itu. Bagaimana pun juga, rasa dukacita merupakan insting yang ada dalam diri kita sejak lahir untuk terus mengasihi seseorang yang sudah tidak ada bersama kita, dan untuk terus dikasihi oleh orang tersebut. Dan sejauh kita menghalangi diri kita sendiri (atau membiarkan orang lain untuk menghalangi kita) untuk mengekspresikan insting ini, kita akan terus merasa frustrasi, dan kita tidak akan pernah dipulihkan. Dengan kata lain, kesedihan merupakan respons alamiah jiwa pada suatu kehilangan, dan tidak boleh ditekan. Penulis Anne Morrow Lindbergh, yang anak lelakinya diculik dan dibunuh ketika masih bayi, menasihati:
Kita harus merasakan kesedihan itu, dan kita harus melalui masa-masa di mana kita betul-betul seperti mati rasa, masa-masa yang lebih berat untuk dijalani dibandingkan dengan masa dukacita. Kita harus menolak pelarian yang ditawarkan oleh kebiasaan dan tradisi manusia. Tawaran yang lazim diberikan oleh keluarga atau teman-teman adalah mengalihkan perhatian (Bawa dia jalan-jalan Bawa dia berlibur Ubah suasana Bawa temanteman untuk menghibur dia Jangan biarkan dia sendirian dan bersedih) ketika yang kita butuhkan adalah merasakan kesedihan. Keberanian merupakan langkah pertama, tetapi tidak cukup hanya dengan menerima keadaan yang mengejutkan itu dengan berani. Ketabahan adalah keberanian, tetapi ini hanya setengah dari jalan panjang

Dukacita 201
yang harus dilalui. Ini hanyalah pelindung sementara. Pada akhirnya kita harus menghilangkan pelindung itu dan membiarkan kelemahan diri kita terlihat. Jika tidak, sel-sel otot dari bekas luka akan menghalangi luka tersebut dan pertumbuhan akan terhenti.

Kedengarannya nasihat yang diberikan oleh Lindbergh bagi orang yang sedang berduka, untuk tetap terbuka pada rasa sakit, kejam. Bagaimana pun, sebagian besar dari kita, ketika terluka secara insting akan melindungi diri, dengan menarik diri dari kegaduhan. Dan tidak mudah untuk menolak godaan itu. Tetapi saya sudah melihat bahwa ketika orang dengan rela menerima kesedihan, penerimaan itu akan bertindak sebagai pencobaan yang berat yang akan men-transformasi orang tersebut. Tentu diperlukan kerendahan hati. Jika kesedihan tidak diterima dengan rela, kesedihan pada akhirnya akan menimbulkan kekesalan, kegetiran, kesunyian dan pemberontakan. Tetapi, jika kesedihan diterima dengan kerendahan hati, penerimaan ini akan mengosongkan jiwa dari agendanya sendiri untuk pemulihan, membersihkan jiwa dari perasaan tidak membutuhkan orang lain, dan memberi ruang untuk sesuatu yang baru. Bagi orangtua Matt, anak muda yang kisahnya saya ceritakan di awal buku ini, kesedihan membuat mereka merenungkan diri mereka sendiri dan membawa mereka pada doa serta semakin mendekatkan mereka kepada satu sama lain dan juga kepada Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh ayah Matt, Randy, tidak lama setelah kematian anak lelakinya, Merupakan suatu godaan yang luar biasa untuk membiarkan diri saya kembali bekerja, kembali kepada ritme keseharian saya, atau apa pun. Tetapi saya tidak

202 Jangan Takut dapat melakukan itu jika saya ingin mendapat hikmah dari kesedihan yang saya alami. Tuhan berbicara melalui penyakit dan kematian Matt, dan saya tidak ingin bersikap masa bodoh. Saya ingin ditantang dan mengalami perubahan untuk sisa hidup saya ini. Secara tradisi, yang pertama kali dialami dalam dukacita adalah mempersiapkan tubuh orang yang sudah meninggal untuk dilihat, dan kemudian untuk dimakamkan atau dikremasi, dan bagi saudara lelaki Matt, Nick, ini merupakan langkah yang penting untuk dapat menerima rasa kehilangannya:
Menghadapi rasa dukacita sangat berat, tetapi ini dapat mendekatkan kita pada orang lain. Saya dan ayah membantu mendandani Matt setelah ia meninggal, dan dokter yang menangani Matt mengizinkan kami untuk membantu meskipun ia mengatakan hal itu tidak perlu dilakukan jika kami tidak menginginkannya. Ini merupakan sesuatu yang baik ikut terlibat di dalamnya daripada hanya menjadi penonton melihat apa yang dilakukan. Saya rasa kita akan menjadi mati rasa jika kita hanya menjadi penonton. Menakutkan memakaikan Matt pakaian dan merasakan tubuhnya yang layu, tetapi pada saat yang bersamaan saya tidak mau kehilangan saat-saat ini. Ini merupakan bakti terakhir saya tindakan kasih yang terakhir yang dapat saya lakukan untuknya. Jika kita hanya menjauh dari orang yang meninggal, tidak ada yang dapat kita katakan kecuali, Wow, apa yang baru saja terjadi? Tetapi jika kita dapat mengatakan, Saya melakukan sesuatu, dan saya tahu apa yang baru saja saya lakukan, ini sangat berarti.

Nick mencatat komunitas dapat membantu dalam dukacita kita, dan saya dapat membuktikan kebenaran

Dukacita 203 dari pernyataan ini. Ambil sebagai contoh kebaktian orang meninggal dan pemakaman ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga menyembuhkan, bagi orang yang berduka. Ada alasan sederhana untuk ini semua: dengan mengundang teman-teman dan para saudara untuk melihat tubuh orang yang kita kasihi dan kemudian membaringkannya untuk beristirahat di pemakaman atau tempat lain untuk dimakamkan, kita berbagi rasa sakit kita dengan mereka. Sayangnya, kebiasaan lama tersebut telah hilang, bukan hanya karena pertimbangan pragmatis saja, tetapi karena kurangnya penghargaan pada kekuatan simbolis dari tradisi lama tersebut. Berbicara mengenai praktik yang berubah di kampung halamannya di desa di Midwestern, pengarang W. Paul Jones menulis:
Semakin banyak orbituari mengindikasikan kremasi, tanpa kebaktian. Bahkan di tempat ini di Ozark Hills, banyak dari mereka yang sudah meninggal tidak mendapatkan tempat khususPengurus pemakaman memberitahu saya bahwa pembuangan abu biasanya di serahkan kepadanya, untuk disebar kapan pun dan di mana pun saya merasa nyaman. Ia menggunakan abuabu tersebut untuk memupuk tanaman bunga mawarnya.

Saya juga membaca kecenderungan yang sama terjadi di tempat lain: di beberapa kota di Eropa, terdapat peningkatan jumlah orang yang memilih untuk dimakamkan (atau dibuang) tanpa nama dan tanpa upacara untuk mengucapkan selamat jalan. Harus diakui, pemakaman dapat menjadi beban berat bagi keluarga yang kondisi keuangannya sudah sangat ketat. Tetapi orang penasaran berapa sering uang benar-benar menjadi faktor yang merintangi seseorang untuk mendapat pemakaman yang layak.

204 Jangan Takut Bagaimana dengan mereka yang meninggalkan banyak uang, tetapi meminta untuk tidak diadakan kebaktian dan dikubur tanpa nama? Apakah mereka menganggap diri mereka sebagai beban, atau merasa mereka yang hidup hanya menunjukkan toleransi tetapi tidak benarbenar mengasihi? Apakah mereka tidak memiliki kerinduan untuk paling tidak diingat oleh seseorang, setelah mereka pergi untuk selamanya atau mereka memang berharap untuk dilupakan? Setiap keluarga harus mencari yang terbaik bagi yang meninggal, dan saya tidak mengusulkan cara yang satu lebih baik dari cara yang lain. Bagaimana mungkin saya mengusulkan hal itu, ketika latar belakang budaya dan agama sangat jauh berbeda, sehingga apa yang dirasakan sangat berarti bagi satu orang, dirasakan tidak sopan dan tidak menyenangkan bagi yang lain. Begitu pun saya percaya bahwa setiap manusia sejak lahir ingin merasakan bahwa ia milik seseorang, bahwa ia disayang, dan oleh karena itu saya merasa yakin bahwa bagaimana pun keadaan orang yang meninggal itu, ia berhak mendapat penghormatan yang penuh kasih sebagai ucapan perpisahan. Ketika Menara Kembar di New York runtuh pada 11 September 2001, ribuan keluarga yang berduka tidak memiliki apa pun kecuali kesadaran bahwa orang-orang yang mereka kasihi sudah meninggal bagi sebagian besar mereka tidak ada tubuh yang dapat mereka lihat untuk mencurahkan rasa duka mereka, tidak juga bukti konkrit yang menunjukkan bahwa mereka telah tiada. Yang ada hanya lubang: surat yang belum dibuka, meja tempat mereka bekerja yang kosong, tempat tidur yang kosong. Yang lebih menyentuh adalah ketika diadakan kebaktian di Lower Manhattan untuk memperingati mereka yang

Dukacita 205 menjadi korban beberapa minggu kemudian, setiap keluarga yang menghadiri kebaktian tersebut diberi sebuah botol kecil berisi tanah dari tempat kejadian. Lebih dari sekadar gerakan simbolis, ini memberi kepada mereka yang berduka sesuatu untuk dipegang di tangan mereka, dan untuk menguburkannya atau menyimpannya. Setiap orang merespons rasa kehilangan dengan cara yang berbeda. Kadang-kadang harapan-harapan dalam satu keluarga saling berbenturan Tidak lama setelah ibu saya meninggal, misalnya, saya dan saudara-saudara perempuan saya minum kopi di rumah dengan ayah. Kami membicarakan keluarga kami dan bersenang-senang. Namun demikian, Papa merasa terluka dengan tawa kami dan heran bagaimana kami dapat membiarkan hidup kembali normal begitu cepat. Tidakkah kami dapat melihat ia masih berduka untuk Mama? Dan mengapa kami tidak serius dalam menanggapi kematian Mama? Tentu kembali pada kehidupan normal merupakan langkah vital untuk menuju kepada pemulihan. Tetapi apa yang saya pelajari hari itu adalah pentingnya menghormati rasa sakit yang dirasakan oleh mereka yang mengalami penyembuhan lebih lambat daripada orangorang di sekelilingnya. Randy, yang dibicarakan di atas, berbicara mengenai godaan untuk kembali bekerja sesegera mungkin, sebuah desakan yang dapat dimengerti. Banyak orang mengatakan rasa duka mereka akan membuat mereka gila jika mereka tidak mempunyai pekerjaan. Mereka membutuhkan sesuatu, apa pun, untuk memaksa mereka keluar rumah setiap hari dan membuat mereka terus berjalan menatap hidup. Tetapi banyak juga yang tidak setuju dengan pandangan ini. Sementara mereka masih merasakan duka

206 Jangan Takut yang mendalam, mereka tidak mampu menjalani kewajiban dan memenuhi komitmen sebelumnya, sehingga mereka tidak dapat berpikir untuk kembali ke bisnis seperti biasa: menjalani kewajiban dan memenuhi komitmen berarti mengakui bahwa masa dukacita mereka telah berakhir, yang pada kenyataannya baru dimulai. Dan ketika mereka akhirya dapat bangkit kembali dan mencari fokus baru dalam hidup mereka, mereka mungkin menemukan bahwa keluar dari dukacita tidak lebih mudah dari dukacita itu sendiri. Dalam memoirnya Go Toward the Light, Chris Oyler, yang anaknya yang berusia sebelas tahun meninggal setelah tertular penyakit AIDS melalui transfusi darah, menulis:
Saya ingin mengatakan bahwa saya menemukan penghiburan dari suami saya dan anak lelaki saya yang lain. Tetapi ini tidak sepenuhnya benarApa yang saya sadari tidak lama setelah kematian Ben adalah saya harus mulai mengenal kembali anak-anak saya sendiri dan suami saya. Kami telah belajar untuk berfungsi dalam krisis, belajar untuk saling mengasihi satu sama lain dalam kesedihan. Tetapi sekarang kami harus belajar bagaimana berfungsi kembali dalam keadaan normal, ketika suara alarm jam berbunyi pukul lima pagi dan ketika ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan di malam hari.

Keluarga yang berduka sering mendapat ketenangan dalam berhubungan dengan orang lain yang juga berduka. Hal ini dimungkinkan karena mereka merasa bahwa orang-orang ini dapat merasakan apa yang mereka rasakan sehingga lebih sensitif mengenai hal itu; disamping itu ini juga memberi kepuasan kepada mereka dapat memberi kembali ucapan bela sungkawa dan bentuk rasa simpati lainnya yang pernah mereka berikan kepada orang lain yang membutuhkan.

Dukacita 207 Beberapa bulan setelah kematian Merill, yang kisahnya saya ceritakan di bab terdahulu, istrinya, Kathy, pergi ke negara bagian lain untuk memberi dukungan kepada seorang wanita yang baru saja kehilangan suaminya. Kathy mengatakan kepada saya di kemudian hari bahwa pertemuan itu bukannya memulihkan rasa sakitnya, sebaliknya pengalaman ini membantu dia untuk meletakkan rasa sakitnya dalam perspektifnya. Sidney dan Marjorie, pasangan lain, kehilangan anak lelaki pertamanya ketika ia baru berusia lima minggu; sehari setelah ia dimakamkan, mereka mengambil anak angkat yang diperlakukan tidak semestinya ke rumah mereka. Orang-orang berpikir bagaimana mereka dapat mengatasinya, tetapi Marjorie mengatakan anak lelaki tersebut merupakan tempat untuk menyalurkan kasih mereka yang berlimpah yang akan diberikan kepada bayi mereka seandainya bayi itu hidup. Setelah Delf, mantan guru saya, yang secara tidak sengaja menabrak anak lelakinya yang berusia dua tahun hingga meninggal dunia, ia dan istrinya mengunjungi setiap rumah di lingkungan mereka, berbagi rasa sakit dan kesedihan mereka. Beberapa waktu kemudian mereka membawa baju dan mainan anak mereka itu ke pasangan miskin di lingkungan mereka yang mempunyai anak seusia anak mereka. Tidak setiap orang dapat mengubah rasa duka menjadi suatu peristiwa pemulihan. Setelah kehilangan anak lelakinya, pasangan yang saya kenal, melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk bertemu dengan pasangan lain (saya menyebut mereka pasangan Smith) yang baru saja kehilangan anak perempuan mereka dalam peristiwa yang serupa, dan mengajak mereka makan siang. Sedihnya, rasa sakit yang dirasakan oleh pasangan Smith

208 Jangan Takut membuat mereka tak berdaya sehingga mereka tidak mampu bahkan tidak mau untuk melihat lebih jauh dari rasa sakit itu. Takut rasa kehilangan pasangan lain, di samping rasa kehilangannya sendiri, akan menjadi beban yang terlalu berat untuk mereka pikul, mereka tidak dapat melihat kebaikan dari tuan rumah, mereka bahkan memberi sambutan yang dingin. Orang yang belum pernah menanggung derita karena kehilangan orang yang dikasihi mungkin cenderung mengatakan pasangan seperti Smith sebagai orang yang egois. Pernyataan ini kejam. Orang yang sangat terluka sering menolak simpati yang diberikan dengan ekspresi yang kurang menyenangkan, dan kadang-kadang mereka dengan tiba-tiba mengambil sikap hidup mereka sendiri. Kita tidak boleh menghakimi. Dalam suasana hati yang sama, terlalu berani dengan cepat memberi penjelasan. Dalam tulisannya mengenai 11 September 2001, Ellyn Spragins mencatat bahwa karena bencana yang menimpa New York dan Washington merupakan bencana yang menimpa masyarakat Amerika, ribuan orang dari seluruh negeri, termasuk orang yang tinggal jauh dari tempat kejadian, dalam minggu-minggu berikutnya berduka bagi mereka yang meninggal. Kami semua berdoa, ia menulis di New York Times; Kami menangis, mengetahui nama-nama mereka yang meninggal, mendonorkan darah, dan memberi bantuan keuanganpenderitaan dari orang-orang yang tidak kami kenal ini telah menjadi bagian dari hidup kami. Tetapi, ia mencatat, kita masih merasa kehilangan: Bagaimana menghilangkan rasa sakit? Bagaimana orang mendapat pemulihan? Memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini rasanya seperti tidak menghormati atau bahkan menyakitkan.

Dukacita 209 Memberi jawaban juga mengandung risiko. Satu hal, nasihat yang paling mengharukan dapat disalah artikan sebagai meremehkan; di sisi lain, jawaban yang diberi mungkin menyakitkan bagi orang yang sebenarnya ingin kita hibur. Bagaimana seorang ibu harus menjawab ketika, setelah kehilangan bayinya, seseorang yang ingin menghibur meyakinkannya bahwa Tuhan membutuhkan seorang malaikat? Hal yang paling dibutuhkan oleh orang yang berduka adalah pelukan dan izin untuk menangis. Seorang kenalan baru-baru ini mengatakan kepada saya setelah ibunya meninggal, ia pergi ke orangtua saya, menangis dan mengeluarkan semua isi hatinya. Mereka mendengarkan dan terus mendengarkan. Akhirnya ayah saya berkata perlahan, Saya mengerti. Hanya itu. Tetapi ini jauh lebih berarti baginya daripada kata-kata bijak yang telah diberikan oleh orang-orang lain. Ketika anak lelaki Linda, Matt, terbaring sekarat karena penyakit kanker, ia membaca sebuah buku di mana Henri Nouwen menulis bahwa Menunjukkan kasih dalam diam masuk jauh ke dalam ingatan kita daripada menunjukkan kasih dengan kata-kata. dan ini menyentuh inti permasalahan. Baru pada musim panas yang lalu, ia dan suaminya menghabiskan beberapa hari dengan Brad dan Misty Bernall, yang anak perempuannya Cassie terbunuh dalam pembunuhan yang sangat terkenal di Columbine High School pada bulan April 1999. Berbicara mengenai waktu yang ia habiskan bersama Misty, Linda ingat perasaan frustrasi yang ia rasakan ketika mencoba untuk menenangkan Misty sementara ia sendiri bertanya-tanya apa yang ia sendiri rasakan. Kami banyak berdiam diri, ia mengingat. Kadang saya dapat melihat ia memerlukan keheningan itu; di suatu saat saya merasa ia merasa kecewa pada saya. Sekarang

210 Jangan Takut Linda dapat mengerti ketidakmampuan Misty untuk berbicara: Karena tidak ada kata-kata yang dapat membuatmu merasa lebih baik, keheningan sering merupakan saat yang engkau inginkan dan butuhkan. Keheningan memulihkan. Ia melanjutkan:
Setahun kemudian, di bulan-bulan terakhir kehidupan Matt, saya tahu Misty memikirkan saya, dan saya tahu ia terluka sekali lagi bagi dirinya sendiri dan bagi saya. Tidak ada kata-kata yang terucap di antara kami, tetapi saya merasakan kedekatannya dalam kebisuan kami. Beberapa kali saya sudah mengangkat telepon ingin meneleponnya, tetapi tidak jadi. Tidak ada yang harus dikatakan. Jika saya bertemu dengannya, yang ada hanyalah air mata, saya pikir tidak akan ada kata-kata. Tiga minggu setelah kematian Matt, Brad dan Misty mengirimi kami sebuah karangan bunga yang sangat indah, dengan kartu ucapan, Kami berdoa bagimu. Saya berpikir betapa sulitnya bagi Misty untuk menelepon toko bunga, dan tanpa direncanakan, saya memutuskan untuk meneleponnya dan mengucapkan terima kasih. Saya berpikir kali ini saya akan kuat berbicara di telepon. Saya meneleponnya dan tersambung dengan voice mail, saya berkata, Hi, Misty, ini Linda. Terima kasih untuk kiriman bunganya. Aku mengasihimu. Kemudian saya menangis. Rasa sakitnya rasa sakit saya apa yang dapat dikatakan? Saya tersedak dan dengan cepat menutup telepon.

Sehari sebelum Matt meninggal, Linda duduk di ruang tamu lama sekali, duduk diam di sofa dengan seorang teman. Beberapa hari kemudian, teman yang sama datang lagi dengan seorang wanita, dan ketiganya saling bergandengan tangan sementara air mata jatuh membasahi pipi mereka. Tidak ada yang lebih istimewa daripada

Dukacita 211 berada bersama seseorang dalam diam dan mengetahui bahwa kita saling merasakan perasaan terluka kita, kata Linda. Ini merupakan ekspresi dari kasih yang mendalam. Generalisasi tidak banyak membantu, tetapi ada satu hal mengenai dukacita yang dapat dengan aman dikatakan kepada setiap orang: perasaan duka tidak dapat berlalu dengan cepat. Perasaan duka memerlukan waktu dan tempat waktu untuk mencerna perubahan yang dialami karena kehilangan orang yang dikasihi, dan tempat untuk memilah emosi yang bergejolak di dalam diri kita. Beberapa orang mendapat kekuatan yang mengejutkan di hari pertama setelah kematian; tetapi meskipun demikian tidak lama kemudian akan merasakan dampak yang sesungguhnya dari kehilangan itu. Bagaimana mungkin seseorang tidak membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri? Seorang kenalan saya yang berusia 45 tahun yang ayahnya meninggal karena bunuh diri berpuluh-puluh tahun yang lalu tidak mampu untuk membicarakan masalah ini secara terbuka sampai tahun ini. Dan seorang teman istri saya yang kehilangan anak perempuan satu-satunya karena penyakit multiple sclerosis kadang-kadang masih menangisi anak perempuannya, meskipun ini sudah terjadi dua puluh tahun lalu. Sering, kemampuan untuk pulih dengan cepat berbalik menjadi sesuatu yang lain, seperti kemampuan untuk menyembunyikan rasa sakit. Dan meskipun masuk akal bahwa waktu akan menyembuhkan, tetapi ini mungkin tidak berlaku bagi setiap orang. Bagi beberapa orang, perasaan dukacita semakin meningkat dengan berjalannya waktu. Seperti pendapat yang populer mengenai mengakhiri masa-masa dukacita, Bud, yang kehilangan anak perempuannya yang berusia 23 tahun Julie dalam

212 Jangan Takut peristiwa pengeboman gedung pemerintah di Oklahoma City tahun 1995, mengatakan hal ini: Saya tidak dapat menangani kata itu saya muak mendengarnya. Pertama kali seseorang bertanya kepada saya mengenai mengakhiri masa-masa dukacita, adalah sehari setelah pemakaman Julie. Sehari sesudah pemakaman! Pada waktu itu saya masih merasa sakit sekali. Pendeknya, saya masih merasa sakit. Bagaimana mungkin akan ada kata mengakhiri? Sebagian dari jiwa saya telah mati. Alexis, seorang wanita yang saudara lelakinya bunuh diri, merasakan hal yang sama tiga puluh tahun setelah kejadian tersebut: Rasa sakit itu masih ada, dan saya berpikir bagaimana saya dapat menghindarinya. Apakah harus ada sesuatu yang saya katakan atau lakukan? Kadang-kadang tidak ada sentuhan dari luar, tidak ada kata-kata yang menyejukkan atau menenangkan, tidak ada kenangan indah yang dapat menghapus perasaan bersalah dalam diri seseorang. Singkatnya, tidak ada jawaban untuk teka teki dari rasa duka. Tetapi komunitas, dan kesadaran dari mereka yang sudah mengalami anugerah dari rasa duka ini meyakinkan kita bahwa meskipun kita, secara sendirian, tidak dapat menyangga beban berat dari rasa kehilangan, dengan berbagi, beban yang paling berat sekali pun dapat diangkat, atau paling tidak diringankan. Dan bagi mereka yang merasakan duka itu, ada ketenangan dalam mengetahui bahwa meskipun Tuhan tidak melindungi kita dari kesukaran dan rasa sakit, Ia telah berjanji untuk selalu dekat dengan mereka yang berduka. Seperti yang ditulis dalam Mazmur 34, Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.

213

19

Kebangkitan

Ketika gubahan lagu Requiem oleh Johannes Brahms untuk pertama kali diperdengarkan pada tahun 1867, para hadirin sangat takjub. Komponis ini tidak menggubah musik yang biasa diperdengarkan, doa-doa untuk orang yang meninggal, tetapi meminjam ayat-ayat Kitab Suci yang berbicara mengenai penghiburan dan pengharapan.
Sekarang engkau bersedih; tetapi kita akan bertemu lagi, dan hatimu akan bersorak gembira, dan kegembiraanmu tidak ada seorang pun yang dapat mengambilnya. Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah aku ini akan menghibur kamu.. Aku sudah bekerja keras, tetapi juga menemukan saat untuk beristirahat Begitu juga engkau, akan beristirahat.

Secara artistik, lirik serupa itu menunjukkan Brahms memasukkan napas hidup baru ke dalam bentuk lama. Tetapi terdapat dimensi yang lebih penting dari itu. Dua tahun sebelumnya, ibunya meninggal dunia, dan dalam memilih kata-kata untuk menyalurkan rasa dukanya, ia menemukan tempat yang kreatif untuk itu, dan sebuah penyembuhan.

214 Jangan Takut Saya sudah kehilangan kedua orangtua saya dua puluh tahun yang lalu, tetapi kadang saya masih merasa sangat kehilangan, saya ragu apakah Brahms dapat menghilangkan rasa duka atas kematian ibunya dengan karya seni. Kemungkinan besar, ia berkabung selama bertahun-tahun. Tetapi lagu Requiem gubahannya memantulkan kebenaran yang tidak dapat dimungkiri, meskipun tidak ada yang namanya betul-betul menghakhiri masa dukacita. Meskipun realita mengatakan kesedihan itu menyakitkan, tetapi terdapat realita yang lebih besar yang ditemukan dalam kesedihan, dan itu adalah harapan. Dalam semua budaya, pria dan wanita menemukan penghiburan dan keberanian dalam kepercayaan bahwa kematian bukanlah suatu akhir, tetapi diikuti oleh kehidupan lain, kehidupan yang lebih baik yang datang menyongsong. Bagaimana terjadinya kehidupan yang akan datang ini dan dalam bentuk apa merupakan pertanyaanpertanyaan yang memenuhi pikiran manusia selama berabad-abad dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dengan mudah mengisi sebuah buku. Pada dasarnya, agama-agama besar dunia semua setuju bahwa meskipun tubuh kita rusak dan kembali menjadi tanah, jiwa kita dibebaskan dari tubuh untuk pergi ke tempat lain, apakah itu kembali kepada sumbernya, atau pergi untuk mencari wadah yang lain. Seperti dikatakan oleh penulis Clarence Bauman, karena tidak berada dalam tubuh fisik, jiwa kita tidak hancur, tetapi tetap hidup dalam tanggungjawab roh yang lebih besar dan tak terjangkau. Sama seperti tubuh kita rusak dan diambil kembali oleh planet inibegitu juga dengan komponen mental dan spiritual kita ditukar ke dalam wilayah yang akhirnya menentukan asal usul dan takdir manusia.

Kebangkitan 215 Menjelaskan proses yang sama dalam cara yang berbeda, kakek saya, penulis Eberhard Arnold, mengatakan bahwa daging, darah dan tulang kita, sebenarnya bukanlah diri kita yang sesungguhnya. Semua itu akan mati. Sementara itu diri kita yang sesungguhnya adalah jiwa, yang melalui mortalitas masuk ke dalam imortalitas, dan dari yang mati menjadi yang abadi. Jiwa itu kembali dari tubuh kepada penciptanya, Tuhan. Itulah sebabnya, kata kakek saya, jiwa manusia terus menerus merindukan Tuhan, dan itu juga alasannya mengapa kita tidak dikatakan mati, tetapi masuk ke dalam keabadian dan bersatu kembali dengan Dia. Bagi kita yang menyebut diri umat Kristiani, tidak mungkin merenungkan masa depan yang seperti itu tanpa mengingat kembali kebangkitan Yesus, Putra Manusia, dan harga yang harus dibayarNya eksekusi yang menyakitkan di muka umum di kayu salib bangsa Romawi. Bagaimana pun, kematian-Nya bukan hanya merupakan peristiwa sejarah yang terpisah, tetapi (seperti Ia sendiri mengindikasikan dengan mengatakan Ikuti Aku) pintu masuk yang tidak dapat dihindari di mana setiap kita harus melaluinya jika kita ingin menikmati hidup kekal bersama dengan-Nya. Barangsiapa menyayangi nyawanya akan kehilangan nyawanya tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku ia akan mendapatkannya kembali. Sejauh jalan kita harus mengikuti jalan Kristus, ketakutan akan kematian bukan hanya dapat dimengerti tetapi juga wajar. Ia sendiri berteriak dalam rasa sakit yang sangat, Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? dan Ia memohon, ...ambillah cawan ini daripadaKu.... Ketika saya untuk pertama kalinya mendengar mengenai kisah penyaliban dari ayah

216 Jangan Takut saya, saya tidak dapat memahami kekejamannya, dan seluruh diri saya memberontak. Mengapa tidak ada Paskah yang tidak didahului oleh horor Jumat Agung? Namun demikian, dengan berjalannya waktu, saya menemukan jawaban yang dapat saya terima: sama seperti musim semi harus didahului oleh musim dingin yang menggigit begitu juga kemegahan matahari tidak akan berarti tanpa menembus kegelapan malam oleh karena itu rasa sakit atas penderitaan harus mendahului kemenangan akan hidup yang baru. Dalam menemukan keyakinan ini, saya secara perlahan mengatasi rasa takut akan kematian. Bagi mereka yang tidak percaya pada kehidupan setelah kematian kadang-kadang tidak dapat menerima pandangan ini, dan karena ketidakmampuan kita untuk menggambarkan masa yang akan datang, kecuali dalam harapan-harapan yang samar, ketakutan akan kematian dapat dimengerti. Tetapi bagi orang yang menanti ajal yang percaya pada kebangkitan, itu bukan merupakan sesuatu yang abstrak. Itu merupakan sumber keberanian dan kekuatan yang sangat nyata yang bahkan dapat mengubahnya secara fisik. Kadang-kadang hanya dalam bentuk yang sederhana seperti senyuman; kadangkadang ledakan energi yang tidak disangka-sangka atau tiba-tiba mobilitas dan kemampuan berbicaranya kembali. Ini seperti seakan-akan orang yang sedang menanti ajalnya itu berdiri di ambang pintu keabadian. Saat-saat seperti ini memberi petunjuk pada imortalitas dari jiwa dan keindahan yang masih terpancar dalam tubuh yang lelah dan usang. Penyair William Blake, yang terpikat oleh tema-tema surga, neraka, waktu dan keabadian sepanjang hidupnya,

Kebangkitan 217 mengatakan bahwa baginya kematian tidak lebih dari berpindah dari suatu ruang ke ruang yang lain. Menurut istrinya keyakinan ini tetap tinggal dalam dirinya sampai akhir hayatnya. Ia menghabiskan hari-hari akhirnya berbaring di tempat tidur, lemah tetapi gembira, dan tak putus-putusnya menyanyikan lagu-lagu. Filsuf Soren Kierkegaard, yang meninggal di usia empat puluh tiga tahun, menghadapi kematian dengan kegembiraan yang serupa dan dengan keyakinan bahwa ini bukan merupakan suatu akhir, tetapi suatu awal. Keponakannya menulis:
Belum pernah saya melihat jiwa yang menembus sekam bumi dan mengutarakannya dengan kemuliaan serupa itu.... Ia mengambil tangan saya dan meletakkanya di kedua tangannya betapa kecil tangan itu, kurus dan pucat dan berkata, Terima kasih sudah datang, dan sekarang selamat tinggal. Kata-kata yang sederhana ini disertai dengan pandangan yang begitu serasi, keserasian yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Pandangan yang keluar dari keagungan dan anugerah keindahan yang bagi saya seperti terlihat menerangi seluruh ruangan itu. Semuanya terkonsentrasi pada mata itu sebagai sumber dari cahaya dan cinta yang sepenuh hati, kegembiraan yang menghancurkan kesedihan, ketajaman dari kejernihan pikiran dan sebuah senyum senda gurau.

Jabez, berusia 92 tahun, teman orangtua saya di Inggris ketika Perang Dunia Kedua, menghadapi kematian dengan kegembiraan yang serupa. Namun demikian, terdapat satu sudut pandang yang lain mengenai hal itu. Menurut ayah saya, sesepuh yang berjanggut putih ini tidak memikirkan dirinya sendiri; pandangannya tertuju pada sesuatu yang jauh lebih besar. Duduk di kursinya dan memandangi ladang yang siap

218 Jangan Takut panen, ia sering berbicara mengenai hari panen Tuhan yang akan datang, dan kemuliaan abadi yang akan datang ke bumi. Ia adalah seorang manusia yang setiap hari hidup dalam harapan akan datangnya Kerajaan. Pandangan yang luas merupakan suatu pemberian yang jarang didapatkan, terlepas dari kekhawatiran yang cenderung mengganggu orang yang menanti ajal. Meskipun pandangan kita terbatas, kita tidak harus menghabiskan hari-hari akhir kita dalam kekhawatiran dan ketakutan. Mengingat sepuluh hari terakhir kehidupan ibunya, yang ia habiskan di sisinya, penulis Dorothy Day mengingatkan kita bahwa sejauh kita berpegang pada pepatah mengenai biji sesawi dalam menghayati iman kita, kita akan dapat mengatasi perasaan ragu-ragu dan putus asa.
Duduk di samping orang yang sedang menanti ajal dan melihat apa yang terjadiIni adalah sebuah pergumulan, sebuah ketakutan, kejam, perjuangan secara fisik, untuk bernapas, untuk menelan, untuk hidup. Sulit untuk membicarakan mengenai kematian, tetapi kita kadang-kadang melakukannya. Saya mengatakan kepadanya kita tidak dapat membayangkan kehidupan setelah kematian sama seperti orang buta tidak dapat membayangkan berbagai macam warna. Tetapi kami juga berbicara mengenai iman, dan bagaimana, karena pengetahuan kami seperti sebuah jembatan yang mempunyai akhir, sehingga tidak dapat sampai pada daratan yang lain, kita harus berdoa, Saya percaya, oh Tuhan. Tambahkanlah iman saya. Sebuah doa yang indah. Dan kita harus ingat bahwa bagi orang yang percaya, kematian tidak berarti bahwa hidup itu berakhir, tetapi hanya diubah. Ketika rumah kehidupan kita di dunia ini diambil, sebuah rumah abadi telah menanti kita di surga.

Kebangkitan 219 Tidak membutuhkan loncatan iman yang besar untuk percaya pada Hari transformasi. Transformasi itu mungkin terlihat ajaib, tetapi masih dapat dilihat dalam kehidupan kita sehari-hari di sekeliling kita, dalam alam dalam terjadinya kupu-kupu dari ulat, atau tumbuh tunas dari biji yang membusuk. Untuk misteri alam baka, ini tidak benar-benar tertutup bagi kita. Menyaksikan saat-saat akhir dari banyak orang yang menanti ajal, saya merasakan kedekatan pada suatu tempat yang lain sebut saja keabadian, surga, kerajaan Allah, atau apa saja dan menurut kesaksian para pekerja rumah sakit darurat dan orang-orang lain yang dikutip dari buku Final Gift, ini merupakan pengalaman biasa bagi mereka yang mendampingi orang-orang yang menghadapi saatsaat akhir hidupnya.
Orang yang menjelang ajal mungkin melihat sinar terang atau tempat lain. Beberapa orang melihat kembali hidupnya dan sampai kepada pengertian penuh akan arti hidupMereka sering diperlihatkan sekilas dunia lain dan mereka yang menanti di dunia tersebut. Meskipun mereka hanya memberi sedikit gambaran, mereka berbicara dengan rasa kagum dan takjub akan kedamaian dan keindahan yang mereka lihat di tempat lain. Mereka mengatakan berbicara dengan orang yang tidak dapat kita lihat...orangorang yang mereka kenal atau kasihi. Mereka bahkan kadang-kadang mengatakan kepada kita kapan mereka akan pergi.

Nick, orang yang saya ceritakan di bab sebelumnya, mengatakan bahwa ketika saudara lelakinya Matt mendekati akhir hayatnya, ia diberi penglihatan serupa itu, setelah menyadari adanya kehadiran atau dimensi lain dalam ruangan tersebut:

220 Jangan Takut


Tepat setelah Matt pergi, istrinya mengatakan bahwa ia dapat mendengar suara musik atau sesuatu yang seperti itu. Ia mengatakan seperti suara nyanyian, tetapi lebih bergemuruh. Percaya atau tidak, tetapi saya bersumpah ketika ia mengatakan demikian, saya mendengar dan saya dapat mendengar sesuatu juga. Ini membawa saya pada tingkat pemikiran yang berbeda mengenai segala sesuatu. Saya berpikir kita sangat terhubung dengan dunia lain, mungkin begitu kita menyebutnya, dari yang pernah kita bayangkan. Kita mempunyai rencana kecil dalam hidup dan meneruskan hidup kita yang singkat ini, tetapi hubungan itu selalu ada.

Terikat oleh keterbatasan waktu dan tempat, kita hanya dapat mengira apa arti dari hal-hal yang serupa itu; seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus, kita hanya dapat melihat melalui bayangan gelas yang gelap. Semuanya sama, peringatan mengenai keabadian dapat seperti yang ditemukan oleh Nick mengubah pandangan kita secara signifikan, dan mengingatkan kita bahwa surga bukan hanya mimpi. Surga selalu merupakan realita, meskipun itu merupakan sesuatu yang misterius. Saya memulai buku ini dengan kisah saudara perempuan saya Marianne, yang meninggal dunia ketika saya berusia enam tahun. Tetapi itu bukan merupakan peristiwa kematian yang pertama kali kami alami dalam keluarga kami. Delapan tahun sebelumnya, orangtua saya telah kehilangan seorang anak perempuan, Emmy anak pertama mereka ketika ia berusia tiga bulan. Catatan berikut ini dari buku harian ibu saya mengungkapkan rasa sakit yang sangat dalam yang dirasakannya. Tetapi juga mencerminkan kepercayaan yang mendalam pada kebangkitan, dan saya ingin menutup buku ini dengan

Kebangkitan 221 keyakinan itu. Tetap berdiri tegak dengan keyakinan bahwa kasih lebih besar dari rasa takut, dan hidup lebih kuat daripada kematian, ini semua memberi saya harapan:
Beberapa hari terakhir sebelum kepergian bayi kami merupakan masa-masa yang sangat berat bagi kami, tetapi hari-hari itu masih merupakan hari-hari yang luar biasa dan menguatkan, dan dipenuhi oleh janji karena kedekatan dengan Kristus. Setiap kali kami menjadi perantara bagi bayi kami dan merenungkannya di dalam hati, aura kematian itu menjauh, dan ia pulih. Sebelumnya ia terbaring apatis dan tak berdaya, dengan mata setengah terbuka, napas pendek, dan denyut nadi yang sangat lemah, sekarang tiba-tiba ia membuka matanya, memandang kami, dan menangis, menggerakkan tangannya dan memalingkan kepalanya apabila ia disentuh.... Ada suasana kasih di dalam ruangannya yang keluar dari dalam dirinya dan memenuhi seluruh rumah, dan mempersatukan kami dalam saling mengasihi. Kami bergantian menjaganya. Ini merupakan perjuangan yang berat, dan ia berjuang dengan berani, sepertinya tidak dapat dipercaya ia hanya seorang bayi yang kecil.... Tepat sebelum semuanya berakhir, ia membuka matanya lebar-lebar, lebih lebar dari sebelumnya. Kemudian, dengan pandangan dari dunia lain yang sangat jelas, ia melihat kepada kami berdua lama sekali. Tidak ada kesedihan dan penderitaan terlihat di mata itu, tetapi ada sebuah pesan dari dunia lain sebuah pesan bahagia. Matanya tidak sayu dan layu tetapi terang dan bersinar. Ia tidak dapat mengatakan apa pun kepada kami dalam kata-kata, tentunya, tetapi matanya menjadi saksi kemuliaan surga dan kegembiraan yang tidak terkatakan di tempat itu bersama dengan Kristus. Dengan pandangan ini, bayi kami meninggalkan kami untuk selamanya. Saya tidak akan pernah melupakan sinar matanya.

222 Jangan Takut

223

Epilog

Sekarang menjadi jelas bahwa ketika seseorang meninggal dunia, keabadian mengetuk pintunya. Tetapi tidakkah keabadian juga mengetuk pintu kita masingmasing, setiap saat? Jika kita adalah orang yang sudah tua atau menderita sakit, tidak sulit membayangkan hal ini. Hal ini menjadi lebih sulit bagi kita yang sehat, atau dalam masa-masa produktif. Kita lebih cenderung untuk memandang kematian sebagai sesuatu yang negatif, dan menyingkirkan peringatannya bahwa tidak semua mimpi untuk memiliki hidup yang panjang dan bahagia menjadi kenyataan. Dan meskipun kita menyingkirkan peringatan itu, kita tidak pernah tahu, ketika kita bangun di pagi hari, apakah kita masih memiliki hidup puluhan tahun lagi, atau hanya dalam hitungan hari. Baru beberapa minggu yang lalu keponakan saya yang berusia 32 tahun, Carmen, seorang guru kelas dua dan ibu dari empat orang anak, sibuk mencari keseimbangan antara tugasnya sebagai orangtua dan tugasnya sebagai pekerja; sementara itu ia telah didiagnosis menderita penyakit multiple sclerosis, dan tidak dapat berdiri untuk menulis di papan tulis maupun memandikan bayinya. Baru beberapa minggu yang lalu ia memainkan biola di hari perkawinan

224 Jangan Takut anak perempuan saya yang paling kecil; sekarang ia sangat lemah dan bahkan sulit untuk mengangkat kepalanya. Melihat jenis penyakitnya, Carmen mungkin sembuh tidak lama lagi. Tetapi ada kemungkinan juga ia akan berada di kursi roda selama sisa hidupnya. Kemudian ada sepupu saya Ben, berusia enam puluh delapan tahun, yang baru-baru ini didiagnosis menderita kanker. Penyakit ini menyebar dengan sangat cepat sehingga ketika ia didiagnosis mengidap penyakit tersebut, baik operasi maupun pengobatan dengan kemoterapi sudah tidak lagi diusulkan karena sudah tidak efektif. Meskipun kondisinya stabil dan usianya diperpanjang dengan obat pengurang rasa sakit dan pencegah berkembangnya hormon, kondisinya dapat menurun kapan saja sesuatu yang dengan sangat sedih disadarinya, terutama di hari-hari di mana penyakitnya terasa sangat mengganggu. Di saat yang bersamaan ia terlihat gembira sehingga orang tidak dapat menerka apa yang sebenarnya ia rasakan: perasaan mual, panas, malam-malam yang penuh kegelisahan, dan saat-saat ketika ia memikirkan dipisahkan dari istri yang sudah mendampinginya selama empat puluh tahun terlalu berat untuk ditanggung tanpa air mata. Melihat dari kondisi kesehatannya dan penyakit yang menggerogotinya, Ben setiap hari dipaksa untuk berhadapan dengan bayangan kematian dan ketika bayangan itu menyerangnya, perasaan takut yang luar biasa. Meskipun orang seperti Ben lebih menyadari akan mortalitasnya dibandingkan dengan saya dan Anda, tetapi tidakkah kita semua sama, kecil dan lemah di hadapan Tuhan? Dengan mengetahui ketidakpastian dari usia kita dari satu minggu ke minggu berikutnya, tidakkah penyakit, setiap kematian berbicara kepada kita dan mengingatkan

Epilog 225 kita akan arti hidup yang sesungguhnya? Seperti Joseph Conrad mengingatkan kita dalam Lord Jim, suka atau tidak, hari-hari kita dihitung, dan tidak pernah ada waktu untuk mengatakan kata-kata terakhir kata-kata terakhir kita mengenai kasih, atau keinginan kita, iman, penyesalan Melihat seseorang menghembuskan napas terakhirnya selalu merupakan pengalaman yang menggetarkan. Tetapi kematian tidak mempunyai kata akhir. Jika kematian kelihatannya seperti mempunyai kata akhir, mungkin ini karena kita terlalu banyak menghabiskan waktu memfokuskan diri pada ketakutan akan kematian. Seperti binatang yang terpaku pada sinar lampu yang dipancarkan oleh kendaraan yang datang, kita sangat terhipnotis oleh kematian sehingga kita lupa pada janji kehidupan kekal yang mengikuti kematian. Bonhoeffer dengan cara yang tepat dan benar menasihati kita:
Kita lebih banyak memerhatikan saat-saat menjelang kematian daripada kematian itu sendiri. Kita lebih cemas untuk mengatasi tindakan dalam menangani ajal yang menjelang daripada mengalahkan kematian. Socrates menguasai cara menghadapi ajal; Kristus mengalahkan kematian sebagai musuh terakhir. Terdapat perbedaan yang nyata dari keduanya; yang satu berada dalam lingkup kemampuan manusia, yang satunya berarti kebangkitan. Ini bukan berdasarkan atas ars moriendi cara menghadapi ajal - bahwa angin yang baru dan suci dapat bertiup melalui dunia kita. Hanya kebangkitan Kristus yang dapat menjadikan itu suatu kenyataan. Di sini terdapat jawaban atas tantangan Archimedes: Berikan saya suatu tempat untuk saya berdiri, dan saya akan menggerakkan bumi. Jika hanya sedikit orang yang benar-benar percaya pada hal itu dan bertindak berdasarkan keyakinan itu dalam hidup keseharian mereka, perubahan besar akan terjadi.... Yaitu apa arti

226 Jangan Takut


hidup dalam terang kebangkitan.

Bonhoeffer, seorang martir modern yang menolak untuk melepaskan keyakinannya dan tunduk pada tuntutan Hitlers Third Reich, pergi ke tiang gantungan tanpa rasa takut, dan bagi saya kata-kata ini berisikan kunci dari keberaniannya. Kata-kata ini juga berisi inti yang sangat penting dari kebijaksanaan: cara yang terbaik cara satu-satunya untuk benar-benar mengalahkan rasa takut akan kematian adalah dengan menjalani hidup sedemikian rupa sehinga arti dari hidup itu sendiri tidak dapat diambil oleh kematian. Ini kelihatannya megah, tetapi sebenarnya sangat sederhana. Ini berarti memerangi keinginan untuk hidup bagi diri kita sendiri, dan hidup bagi orang lain. Ini berarti memilih kemurahan hati daripada kerakusan. Ini juga berarti untuk hidup dalam kerendahan hati daripada mencari pengaruh dan kuasa. Akhirnya, ini berarti siap untuk mati berkali-kali bagi diri sendiri, dan bagi sifat-sifat egois kita. Dalam Christmas Carol karangan Dickens, Scrooge, akuntan yang bengis memberi ilustrasi yang selalu mengingatkan hal ini. Kikir dan tamak, ia menjalani hidup dengan menyeret rantai yang ia tempa sendiri, satu per satu mata rantai, dalam setiap perilaku kikir dan tamak yang ia perlihatkan. Menutup dirinya dari kebaikan manusia, ia hidup dalam alam semesta yang penuh perhitungan dan dingin di mana tidak ada satu orang pun terbebas dari rasa curiganya. Tidak lama ia mulai membenci dirinya sendiri dan mencari jalan untuk keluar dari kesedihannya. Tetapi ia tidak dapat menemukan satu pun jalan keluar. Ia terperangkap terperangkap dalam penjara diri sendiri. Lebih buruk lagi, di malam hari ia dihantui oleh mimpi-mimpi mengenai kematian dan mencemaskan kedatangannya.

Epilog 227 Kemudian ia berubah. Dilepaskan oleh mimpimimpi yang sama, timbangan itu jatuh dari matanya, dan ia melihat jalan keluar: Inilah waktunya untuk berubah. Tidak lagi dipenuhi oleh keinginan diri sendiri, ia bebas untuk mengasihi. Dan ketika ia menghampiri satu per satu kenalannya, ia menemukan kembali dunia di sekelilingnya dipenuhi dengan kegembiraan spontan seorang anak. Kegembiraan serupa itu juga dapat menjadi milik kita, jika kita hidup untuk mengasihi. Dengan kasih saya tidak hanya berbicara mengenai emosi, tidak juga hanya mengenai tujuan akhir yang besar, abstrak, tetapi kekuatan yang mengubah hidup yang dikatakan oleh Yesus ketika Ia berkata:
Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. (Mat 25:35-36)

Kasih merupakan sebuah realita. Kadang-kadang kasih itu lahir dari belas kasih atau devosi; kadangkadang kasih merupakan buah yang sulit untuk didapatkan, memerlukan kerja dan pengorbanan. Sumbernya tidak penting. Kecuali kita hidup untuk cinta, kita tidak dapat menghadapi kematian dengan penuh keyakinan ketika saat itu tiba. Saya mengatakan ini karena saya yakin bahwa ketika kita menghembuskan napas terakhir dan jiwa kita bertemu Tuhan, kita tidak akan ditanya berapa banyak yang sudah kita capai. Kita akan ditanya apakah kita sudah cukup mengasihi. Mengutip kata-kata Yohanes dari Salib, Di akhir hidupmu engkau akan diadili berdasarkan kasih.

228 Jangan Takut Ketika bibi saya Else terbaring sekarat karena TBC, seorang teman bertanya kepadanya apakah ia mempunyai keinginan terakhir. Ia menjawab, Hanya untuk lebih mengasihi. Jika kita menjalani hidup kita dalam kasih, kita akan mendapatkan rasa damai di saat kematian. Dan kita tidak akan merasa takut.

Anda mungkin juga menyukai