Anda di halaman 1dari 23

1.

Sejarah K3 Sejarah kemunculan program keselamatan dan kesehatan kerja, pertama kali yaitu pada tahun 1760 sebelum Masehi. Raja pendiri dynasti Babylonia, menyusun kumpulan undang-undang dan peraturan yang kemudian disebut Kode Hammurabi. Kode ini, telah diterima oleh raja dari dewa matahari, Shamash yang memberikan prosedur mengenai hak-hak milik, hak perorangan, dan hutang-piutang. Ini diberikan antara lain untuk mengatur kerusakan yang disebabkan oleh pengabaian dalam berbagai perdagangan. Sebagai contoh, ini mengatur mengenai hal berikut : Jika seorang pembangun membangun rumah untuk seseorang dan tidak membangunnya secara tepat, kemudian rumah tersebut runtuh dan menewaskan pemiliknya, maka pembangun harus dihukum mati. Jika pembuat kapal membuat perahu untuk seseorang dan tidak membuatnya dengan kuat, jika selama tahun yang sama perahu tersebut rusak, maka pembuat kapal harus memperbaikinya dengan biayanya sendiri. Kapal yang telah diperbaiki tersebut harus diberikan kepada pemiliknya. Peraturan-peraturan ini tampaknya mirip dengan building codes dan OSHA standard mengenai Pekerjaan Galangan Kapal serta persyaratan Workers Compensation. Selama awal Abad Pertengahan berbagai bahaya diidentifikasi, termasuk efek-efek paparan las dan mercury, kebakaran dalam ruang terbatas, serta kebutuhan alat pelindung perorangan. Namun demikian, tidak ada standard atau persyaratan keselamatan yang terorganisasi dan ditetapkan pada saat itu. Para pekerja biasanya pengrajin independen atau bagian dari las atau pertanian keluarga bertanggung jawab sendiri untuk keselamatan, kesehatan dan kesejahteraannya. Pada awal abad 18 dan pada saat terjadinya Revolusi Industri, Beardini Ramazini menulis Discourse on Disease of Workers. Dikenal sebagai bapak pengobatan pekerja, dia menggambarkan penyebab dari penyakit akibat kerja yang terjadi pada kimiawan yang bekerja di laboratorium. Namun demikian, perhatiannya yang besar pada kimiawan, membuatnya percaya harus ada perlindungan terhadap profesi mereka jika dia menyarankan intervensi

keselamatan. Dia juga menggambarkan rasa sakit yang terjadi di tangan tukang ketik, yang mengawali pengetahuan kita mengenai cidera yang disebabkan gerakan berulang. Sebagai tambahan pada kuesioner standard sejarah pasien, dia juga menanyakan Apa pekerjaan anda?. Pada akhir tahun 1700, delapan belas pabrik memperkenalkan pekerja bahaya baru dan tidak diketahui. Perusahaan tekstil dijalankan dengan mesin pintal, gulungan kapas dan tumpukan benang, bersama dengan resiko yang berhubungan dengan mesin, kebisingan dan debu. Manajemen diperhadapkan dengan keuntungan dan kerugian. Kematian dan cidera diterima sebagai bagian dari bidang las. Pada saat itu, mungkin rasa sakit dan kesakitan belum diperhatikan sebagai norma dan diterima dalam beberapa pekerjaan. Kemudian manajemen keselamatan dan kesehatan, tidak dipertimbangkan atau diperlukan. Karena masih buruh sangat banyaknya pekerja yang senang dengan hanya memperoleh pekerjaan. Pada awal tahun 1800, revolusi melanda Amerika Serikat, menekankan pengeluaran biaya, dan tenaga kerja menjadi makin banyak dengan buruh imigran dan buruh anak-anak. Undang-undang yang umum pada saat itu menguntungkan para pengusaha dan manajer, dan nyatanya tidak ada kompensasi untuk penyakit atau cidera serta tidak ada standard yang disetujui untuk keselamatan tempat kerja. Namun demikian, ketika cidera semakin meningkat, usaha pertama terhadap kompensasi dimulai di Massachusetts dengan Employers Liability Law pada tahun 1887. Namun demikian pada banyak kasus, usaha kompensasi ditolak dengan berbagai 8las an legal jika pengusaha dapat menunjukkan bahwa pekerja lalai atau memberikan kontribusi terhadap penyebab kecelakaan. Abad dua puluh merupakan awal perhatian keselamatan kerja pada arena politik. Pada tahun 1908, Theodore Roosevelt mengatakan : Jumlah kecelakaan yang menyebabkan kematian pekerja .... semakin meningkat. Dalam beberapa tahun ini angka kecelakaan kerja meningkat dengan cepat dan menyebabkan kematian yang lebih besar daripada perang besar. Ini diikuti dengan penetapan persyaratan Workers Compensation secara federal serta di seluruh negara bagian. Pada saat yang sama, standard-standard keselamatan

mengenai pelindung mesin dan perusahaan baja serta rel kereta api memulai apa yang kita kenal sekarang sebagai program manajemen keselamatan kerja. Kebakaran pabrik Triangle Shirtwaist yang terkenal pada tahun 1911, yang menyebabkan kematian pekerja garmen sebanyak 146 orang, membantu untuk menggabungkan usaha-usaha ini. National Safety Council dibentuk pada saat itu. Sampai tahun 1931, sebagian besar dari usaha-usaha intervensi keselamatan dan kesehatan diarahkan langsung untuk meningkatkan kondisi pabrik. Kemudian H.W. Heinrich menerbitkan buku yang berjudul Industrial Accident Prevention. Dia mengusulkan konsep bahwa tindakan-tindakan orang lebih besar menyebabkan kecelakaan daripada kondisi tempat kerja. Dia disebut sebagai Bapak Safety Modern karena dia yang pertama mengusulkan prinsi-prinsip keselamatan kerja yang terorganisasi. Prinsip-prinsip ini revolusioner pada saat itu. Prinsip-prinsip ini mencakup konsep bahwa kecelakaan disebabkan terutama karena unsafe acts dari pekerja, dan bahwa unsafe act yang sama mungkin terjadi lebih dari 300 kali. Dia juga mengusulkan beberapa alasan mengapa orang-orang bertindak unsafe, metodologi dasar untuk mencegah kecelakaan, serta mengusulkan bahwa manajemen bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan kecelakaan kerja. Dalam tahun 1970, Occupational Safety and Health Act (OSHA) yang bersejarah disahkan dan menjadi undang-undang federal yang efektif pada tahun 1971. Ini diikuti dengan beberapa kejadian, termasuk pembaharuan pada keselamatan kendaraan dengan buku Ralph Nader yang berjudul Unsafe at Any Speed. Keselamatan dan kesehatan kerja menjadi elemen penting. Standard-standard telah dimulai dan manajemen telah mengetahui bahwa keuntungan operasi secara langsung terpengaruh ketika pekerja mengalami lost time karena cidera yang disebabkan kerja. Beberapa orang akan membantah bahwa OSHA Act mengubah perhatian manajemen dari pencegahan cidera menjadi mematuhi undang-undang. Namun demikian dengan maksud baik, regulasi pertama keselamatan kerja diadopsi dari dokumen-dokumen lain yang ditetapkan oleh standard yang

dihasilkan berbagai organisasi. Dalam banyak kasus, standard-standard tersebut dimaksud untuk digunakan sebagai panduan. Tanggung jawab penerapan dari panduan keselamatan kerja diganti dengan perilaku bagaimana kita sesuai sampai beberapa tingkatan. Selain itu, karena undang-undang difokuskan pada kondisi tempat kerja, mungkin akan menghambat perkembangan perangkat manajemen keselamatan kerja

berdasarkan intervensi perilaku. Pendekatan kondisi tempat kerja ini bertentangan dengan prinsip yang diusulkan oleh Heinrich yang mengatakan bahwa sebagian besar kecelakaan disebabkan oleh tindakan manusia. Pada beberapa kejadian, OSHA bersama dengan partner penelitiannya, National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) dan komite penasehatnya National Advisory Committee on Occupational Safety and Health (NACOSH), menciptakan perhatian baru dan era baru dalam bidang keselamatan dan kesehatan. Undang-undang yang memberikan sanksi terhadap ketidaksesuaian dengan persyaratan menyediakan tempat kerja yang bebas dari bahaya yang diketahui cenderung berorientasi pada spesifikasi dan diberikan secara terperinci apa yang perlu dilakukan. Banyak kesenangan yang dibuat sehubungan dengan persyaratan rancangan tempat duduk toilet serta ketinggian letak alat pemadam kebakaran. Peraturan yang baru telah berubah berdasarkan orientasi kinerja, yang dapat mendorong pengesahan alasan dan penerapan tanggung jawab terhadap persyaratan. Suatu contoh mengenai pendekatan ini ditemukan dalam Standard Manajemen Keselamatan Proses, yang mempersyaratkan penakaran resiko sekitar keselamatan pabrik kimia. Hingga saat ini OSHA adalah satu-satunya kiblat perundang-undangan keselamatan dan kesehatan kerja di seluruh dunia.

2. Undang Undang No 1 tahun 1970

KESELAMATAN KERJA Undang-undang Nomor I Tahun 1970

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas

keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas Nasional b. bahwa setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja terjamin pula keselamatannya c. bahwa setiap sumber produksi perlu dipakai dan dipergunakan secara aman dan efisien d. bahwa berhubung dengan itu perlu diadakan segala daya upaya untuk membina norma-norma perlindungan kerja e. bahwa pembinaan norma-norma itu perlu diwujudkan dalam Undangundang yang memuat ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan kerja yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Industrialisasi. teknik dan teknologi

Mengingat : 1. Pasal-pasal 5.20 dan 27 Undang-undang Dasar 1945; 2. Pasal-pasal 9 dan 10 Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1969 Nomor 35, Tambahan Lembaran negara Nomor 2912).

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong ; MEMUTUSKAN: 1. Mencabut: Veiligheidsreglement tahun 1910 (Stbl. No.406). 2. Menetapkan : Undang-undang Tentang Keselamatan Kerja

BAB I Tentang Istilah-istilah Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan : (1) Tempat kerja ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap di mana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2. (2) Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian yang dengan tempat kerja tersebut. (3) Pengurus ialah orang yang mempunyai tugas pemimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. (4) Pengusaha ialah : a. orang atau badan hukum yang menjalankan seseuatu usaha milik sendiri dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja; b. orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja; c. orang atau badan hukum yang di Indonesia mewakili orang atau badan hukum termaksud pada (a) dan (b), jikalau yang diwakili berkedudukan di luar Indonesia. (5) Direktur ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk melaksanakan Undang undang ini.

(6) Pegawai Pengawas ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. (7) Ahli Keselamatan Kerja ialah tenaga tehnis yang berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang - undang ini.

BAB II Ruang Lingkup Pasal 2 (1) Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. (2) Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) tersebut berlaku dalam tempat kerja di mana : a. dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan; b. dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang : dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi; c. dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan perairan, saluran, atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau di mana dilakukan pekerjaan persiapan; d. dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan; e. dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan emas, perak, logam atau bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik di permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan;

f. dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan, melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara; g. dikerjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun atau gudang; h. dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam air; i. dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan; j. dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah; k. dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting; l. dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lobang; m. terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran; n. dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau timah; o. dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan radio, radar, televisi, atau telepon; p. dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset (penelitian) yang menggunakan alat tehnis; q. dibangkitkan, dirobah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air; r. diputar pilem, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik. (3) Dengan peraturan perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat kerja ruanganruangan atau lapangan-lapangan lainnya yang dapat membahayakan keselamatan atau kesehatan yang bekerja dan atau yang berada di ruangan atau lapangan itu dan dapat dirubah perincian tersebut dalam ayat (2).

BAB III Syarat-syarat Keselamatan Kerja Pasal 3 (1) Dengan peraturan perundangan-undangan ditetapkan syarat-syarat

keselamatan kerja untuk: a. mencegah dan mengurangi kecelakaan; b. mencegah, mengurangi dan memadam kan kebakaran; c. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan; d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadiankejadian lain yang berbahaya; e. memberi pertolongan pada kecelakaan; f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja; g. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran; h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan; i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai; j. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik; k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup; l. memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban; m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya; n. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang; o. mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan; p. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat, perlakuan dan penyimpanan barang; q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya; r. menyeseuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

(2) Dengan peraturan perundangan dapat dirobah perincian seperti tersebut dalam ayat (1) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi serta pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari.

Pasal 4 (1) Dengan peraturan perundang-undangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perecanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang, produk teknis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan. (2) Syarat-syarat tersebut memuat prinsip-prinsip teknis ilmiah menjadi suatu kumpulan ketentuan yang disusun secara teratur, jelas dan praktis yang mencakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan dan pembuatan,

perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian, dan pengesahan, pengepakan atau pembungkusan, pemberian tanda-tanda pengenal atas bahan, barang, produksi teknis dan aparat produksi guna menjamin keselamatan barangbarang itu sendiri, keselamatan tenaga kerja yang melakukannya dan keselamatan umum. (3) Dengan peraturan perundangan dapat dirobah perincian seperti tersebut dalam ayat (1) dan (2); dengan peraturan perundangan ditetapkan siapa yang berkewajiban memenuhi dan mentaati syarat-syarat keselamatan tersebut.

BAB IV Pengawasan Pasal 5 (1) Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini, sedangkan para pegawai pengawas kerja ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undangundang ini dan membantu

pelaksanaannya. (2) Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur dengan peraturan perundangan.

Pasal 6 (1) Barangsiapa tidak dapat menerima keputusan direktur dapat mengajukan permohonan banding kepada Panitia Banding. (2) Tata-cara permohonan banding, susunan Panitia Banding, tugas Panitia Banding dan lainlainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. (3) Keputusan Panitia Banding tidak dapat dibanding lagi.

Pasal 7 Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini pengusaha harus membayar retribusi menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan perundangan.

Pasal 8 (1) Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya. (2) Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan dibenarkan oleh Direktur. (3) Norma-norma mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan peraturan perundangan.

BAB V Pembinaan Pasal 9 (1) Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang : a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta apa yang dapat timbul dalam tempat kerjanya; b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam semua tempat kerjanya;

c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan; d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya. (2) Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut di atas. (3) Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian pertolongan pertama dalam kecelakaan. (4) Pengurusa diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang dijalankannya.

BAB VI Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pasal 10 (1) Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Keselamatan dan Kesehatan Kerja guna memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, dalam rangka melancarkan usaha berproduksi. (2) Susunan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tugas dan lainlainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.

BAB VII Kecelakaan Pasal 11 (1) Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.

(2) Tata-cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai termaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundangan.

BAB VIII Kewajiban dan Hak Kerja Pasal 12 Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk: a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja; b. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan; c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan yang diwajibkan; d. Meminta pada Pengurus agas dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan yang diwajibkan; e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung-jawabkan.

BAB IX Kewajiban Bila Memasuki Tempat Kerja Pasal 13 Barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.

BAB X Kewajiban Pengurus Pasal 14 Pengurus diwajibkan : a. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai Undang-undang ini dan

semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli kesehatan kerja; b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempattempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja; c. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.

BAB XI Ketentuan-kententuan Penutup Pasal 15 (1) Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. (2) Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selamalamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah). (3) Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.

Pasal 16 Pengusaha yang mempergunakan tempat-tempat kerja yang sudah ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku wajib mengusahakan di dalam satu tahun sesudah Undang-undang ini mulai berlaku, untuk memenuhi ketentuan-ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 17 Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undangundang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan kerja yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

Pasal 18 Undang-undang ini disebut Undang-undang Keselamatan Kerja dan mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

3. Kasus kasus yang menyangkut K3 (1) BANJARMASIN, KOMPAS.com Menurut salah seorang pekerja Telkom yang ikut tersengkat aliran listrik, Husin (41), ia bersama empat temannya, Jumat (21/1/2011), sedang memasang tiang Telkom saat tiba-tiba tiang atas menyentuh kabel listrik dan secara tak diduga muncul sengatan dahsyat. Pekerja yang ikut bersamanya itu diketahui bernama Warid (38), Birin (28), Cahaya (19). Mereka hanya mengalami luka bakar berat dan ringan. Adapun pekerja yang bernama Carawa (27) tewas beberapa saat di tempat kejadian. "Carawa sudah naik ke tiang tersebut lebih dulu karena merasa salah satu kabel ada dan diikuti kami berempat. Tidak diketahui dan diduga tiang Telkom paling ujung itu mengenai salah satu kabel dan terjadi sengatan itu. Yang pertama kali terkena adalah Birin, lalu terjatuh, diikuti yang lain," ucap Husin. Menurut Husin, Birin yang tersengat aliran listrik lebih dulu mengalami luka bakar serius di bagian wajah, sedangkan yang lain hanya mengalami luka bakar ringan. Untuk sementara kasus tersengatnya kelima pekerja Telkom hingga

mengakibatkan salah satunya meninggal dunia itu sedang ditangani kepolisian setempat. Masih diselidiki apakah ada unsur kesengajaan atau tidak dalam kejadian tersebut.

Komentar: Kecelakaan kerja di atas kemungkinan memang dikarenakan oleh kelalaian karyawan tersebut, dan kurangnya penguasaan lingkungan tersebut. Sehingga tidak mengetahui adanya kabel listrik tersebut. Dengan adanya kejadian ini< diharapkan karyawan yang lain harus lebih teliti dan hati-hati dalam melaksanakan tugas dalam pekerjaan.

Peraturan yang terkait : 1. Pelangaran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1979, pasal 29

Pasal 29 (1) Alat pembantu yang menyalurkan tenaga listrik ke pesawat yang menggunakannya harus disusun, diatur dan dipasang dengan baik. (2) Dilarang menggunakan kawat atau kabel listrik yang tidak disalut di

2. UU No 13 tahun 2003 pasal 86 tentang hak keselamat tenaga kerja berupa perlindungan kesehatan, moral, kesusilaan

Adapun sangsi dari pelanggaran tersebut seperti yang tertera pada UU no 13 tahun 2003 BAB XVI tentang ketentuan pidana pasal 187 berupa sangsi pidana kurungan minimal 1 bulan dan maksimal 12 bulan dan/denda paling sedikit Rp.10.000.000 dan paling banyak

Rp.100.000.000

4. Kasus kasus yang menyangkut K3 (2) SAMARINDA, KOMPAS.com - PT Fajar Bumi Sakti dinilai mengabaikan keselamatan kerja terkait runtuhnya tambang batu bara dalam tanah yang mereka kelola di Desa Loa Ulung, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Senin (22/6) pukul 01.30 Wita lalu. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalimantan Timur (Kaltim) Yakub mengemukakan itu di Kota Samarinda, Senin (29/6). Ia berpedoman pada hasil penyelidikan oleh tim beranggotakan empat pelaksana inspeksi tambang dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten kurun 22-26 Juni 2009. Yakub mengatakan, pengabaian aspek keselamatan kerja salah satunya bisa dilihat dari pemakaian ukuran alas alat penyangga gua ( hydraulic props) yang kekecilan. Lebar alas dari kayu cuma 15 sentimeter. Padahal, diameter alat dari besi yang tegak lurus pada papan alas ialah 12 sentimeter. Karena kekecilan, lanjut Yakub, tiang penyangga rentan menjadi miring akibat tersenggol atau karena pergerakan material di atasnya yakni kayu-kayu (link bar dan siring) serta bebatuan mudstone yang rentan retak dan runtuh. Pelaksana Inspeksi Tambang dari Distamben Kaltim

Djulson S Kapuangan menyatakan ada satu penyangga yang miring sehingga mengakibatkan tambang runtuh. Tiang itulah yang hendak diperkuat oleh tiga pekerja yang menjadi korban kejadian itu tetapi terlambat. Djulson mengatakan, standar operasional prosedur (SOP) tidak menjelaskan secara rinci langkah yang harus dilakukan pekerja saat hendak membetulkan posisi penyangga yang miring atau ketika ingin memindahkannya. SOP cuma menyatakan penyangga harus diperkuat lebih dahulu tetapi tidak jelas maksudnya sehingga disimpulkan perusahaan tidak mampu mengambil tindakan antisipasi bencana, katanya. Faktor lainnya, kata Yakub, perusahaan membuang material galian (overburden ) di atas bukit Anggi yang di bawahnya adalah tambang dalam tanah. Material itu berasal dari aktivitas pertambangan terbuka (open pit) di dekat bukit Anggi. Jelas itu menambah beban pada tambang di bawahnya tetapi hal ini perlu diteliti lagi, katanya. Hasil penyelidikan menyebutkan bahwa lokasi kejadian berada pada 1.100 meter dari mulut gua Anggi tepatnya petak 22, 23, dan 24 di Jalur A.10 pada Seam A. Material yang runtuh berbobot 53 ton yang meninggalkan rongga pada langitlangit gua. Peristiwa itu terjadi pada pukul 01.30 Wita yang mengakibatkan Pantes Harjo (50) tewas di tempat karena tertimbun material. Korban lainnya adalah Toni Harijanto (35) yang kini masih dirawat di Rumah Sakit Haji Darjad di Samarinda. Pekerja lainnya yakni Hairuddin (35) selamat dan menjadi saksi kunci peristiwa tersebut. Yakub mengatakan, hasil penyelidikan siap diserahkan kepada polisi apabila diperlukan.

Komentar : Kasus diatas merupakan sebagian kecil yang terjadi dan terkadang sangat tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan terkait, baik dalam hal safety maupun healt, segala perlengkapan keamanan baik teknis maupun non teknis hendaknya dipersiapkan secara matang untuk menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaaan dalam bekerja. Hal terebut tentu saja harus ditunjang dengan system manajemen perusahaan yang baik. Berbagai penyuluhan dan pelatihan terhadap

karyawan utntuk menghadapi permasalahan-permaalahan keselamatan dan kesehatan kerja hendaknya serajin mungkin di optimalkan oleh management perusahaan agar dapat meminimalisassi potensi terjadinya kecelakaan dalam bekerja, Faktor human eror juga terkadang bisa menjadi boomerang untuk pekerja, sehingga keterampilan dan kewaspadaan sangat diperlukan sekalipun bagi mereka para pekerja ahli dan professional tanpa mengenyampingkan keselamatan dalam bekerja. Selain factor human error, factor lain yang sangat berpengaruh adalah factor non teknis dilapangan, salah satunya cuaca maupun hal-hal yang berdampak negative bagi kelangsungan pekerjaan. Hal tersebut juga perlu dipertimbangkan dengan pertimbangan safety first bagi semua pekerja. Peraturan terkait kasus diatas

Kecelakaan kerja di sektor pertambangan sangat potensial untuk dapat terjadi. Dalam rangka pencegahannya maka dunia pertambanganpun harus tunduk ke peraturan yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Peraturan prundang undangan yang terkait dengan keselamatan kerja di sektor pertambangan dari artikel diatas yaitu : UU no 13 tahun 2003 pasal 86 dan 87 tentang hak kesehatan dan keselamatan pekerja, pelanggaran terhadap pasal tersebut akan dikenakan sanksi administrative pada pasal 190 ayat 2 yaitu: Sanksi administrative yang dimaksud dalam ayat 1 berupa a. Teguran b. Peringatan tertulis c. Pembatasan kegiatan usaha d. Pembekuan kegiatan usaha e. Pembatalan persetujuan f. Pembatalan pendaftaran g. Penghentian sementara atau seluruh alat produksi h. Pencabutan izin usaha

Kepmen. No555.K/26/M.PE/1995 , BAB I, pasal 37-41 mengatur kecelakaan kerja tambang Pasal 4 tentang kewajiban pengusaha pertambangan 2). Pengusaha dalam waktu 2 minggu setelah salah satu dari setiap kegiatan dibawah ini harus mengirimkan laporan tertulis kepada kepala pelaksana inspeksi tambang yaitu: c. Menghentikan kegiatan atau meninggalkan setiap tambang permukaan atau setiap terowongan mendatar atau terowongan pada lapisan, sumur atau jalan keluaruntuk setiap tambang bawah tanah yang dihitung 12 bulan dari tangal kegiatan terakhir, kecuali telah ditinggalkan sebelumnya. 3. Pengusaha harus menyediakan secara Cuma-Cuma alat pelindung diri yang diperlukan sesuai dengan jenis, sifat dan bahaya pada pekerjaan yang dilakukannya dan bagi setiap orang yang memasuki tempat usaha pertambangan. 6. Pengusaha harus memberikan bantuan sepenuhnya kepada pelaksana inspeksi tambang dalam melaksanakan tugasnya,

Pasal 12 kewajiban pengawas operasional Bertanggung jawab atas keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan dari semua orang yang ditugaskan dan membuat dan menandatangani laporanlaporan pemeriksaan

Pasal 14 Pemeriksaan tambang Untuk memastikan kondisi kerja yang aman kepala teknik tambang atau petugas yang ditunjuk harus melakukan pemeriksaan

Pasal 24 Tugas bagian dan keselamatan dan kesehatan kerja Memberikan penerangan dan petunjuk-petunjuk mengenai keselamatan dan kesehatan kerja kepada semua pekerja tambang dengan jalan mengadakan pertemuan-pertemuan, publikasi dan sebagainya.

Sangsi terhadap pelanggaran Kepmen. No555.K/26/M.PE/1995 berupa : Teguran Denda Pencabutan izin usaha Hukuman pidana

Adapun bagi para korban, sesuai UU no 14 tahun 1969 BAB IV tentang pembinaan dan perlindungan kerja pasal 10 yaitu:

Pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup 1. Norma keselamatan kerja 2. Norma kesehatan kerja 3. Norma kerja 4. Pemberian ganti kerugian, perawtan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja

Komentar : Lima Karyawan Telkom Tersengat Listrik dan Ledakan Tambang Tewaskan 35 Orang di China
Alangkah bijaknya jika semua perusahaan atau instansi lembaga teknik memiliki standar kelayakan utuk kesehatan dan keselamatan kerja. Salah satunya PT. Telkom dan perusahaan tambang. Kasus diatas merupakan sebagian kecil yang terjadi dan terkadang sangat tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan terkait, baik dalam hal safety maupun healt, segala perlengkapan keamanan baik teknis maupun non teknis hendaknya dipersiapkan secara matang untuk menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaaan dalam bekerja. Hal terebut tentu saja harus ditunjang dengan system manajemen perusahaan yang baik. Berbagai penyuluhan dan pelatihan terhadap karyawan utntuk menghadapi permasalahan-permaalahan keselamatan dan kesehatan kerja hendaknya serajin mungkin di optimalkan oleh management perusahaan agar dapat meminimalisassi potensi terjadinya kecelakaan dalam bekerja, Faktor human eror juga terkadang bisa menjadi boomerang untuk pekerja, sehingga keterampilan dan kewaspadaan sangat diperlukan sekalipun bagi mereka para pekerja ahli dan professional tanpa mengenyampingkan keselamatan dalam bekerja. Selain factor human error, factor lain yang sangat berpengaruh adalah factor non teknis dilapangan, salah satunya cuaca maupun hal-hal

yang berdampak negative bagi kelangsungan pekerjaan. Hal tersebut juga perlu dipertimbangkan dengan pertimbangan safety first bagi semua pekerja,

Anda mungkin juga menyukai