Anda di halaman 1dari 4

52 Buletin Teknik Pertanian Vol. 15, No.

2, 2010: 52-55

Dwi Wahyuni Ardiana dan Ida Fitrianingsih: Teknik kultur jaringan tunas pepaya

TEKNIK KULTUR JARINGAN TUNAS PEPAYA DENGAN MENGGUNAKAN BEBERAPA KONSENTRASI IBA Dwi Wahyuni Ardiana dan Ida Fitrianingsih
Masing-masing adalah Teknisi Litkayasa Nonkelas pada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jalan Raya Solok-Aripan km 8, Kotak Pos 5, Solok 27301, Telp. (0755) 20137, Faks. (0755) 20592 E-mail: balitbu@litbang.deptan.go.id

epaya merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang memiliki rasa manis, bergizi tinggi, dan mengandung serat tinggi sehingga baik untuk kesehatan dan pencernaan. Pepaya termasuk jenis tanaman poligamus yang terdiri atas tanaman jantan, hermaprodit, dan tanaman betina (Agnew 1968). Hasil perkawinan antartanaman akan menghasilkan keturunan yang bersegregasi dengan proporsi yang berbeda-beda. Umumnya pepaya diperbanyak melalui biji. Namun, perbanyakan pepaya melalui biji menghasilkan tanaman yang belum diketahui jenis kelaminnya. Jika biji berasal dari varietas yang belum stabil secara genetis maka akan terjadi segregasi yang cukup besar pada keturunannya karena pepaya termasuk tanaman yang menyerbuk bebas. Perbanyakan dengan menggunakan teknik kultur jaringan dapat menghasilkan tanaman yang seragam. Drew (1986) menyatakan bahwa perbanyakan beberapa genotipe pepaya secara in vitro pernah dilakukan di Queensland. Faktorfaktor yang memengaruhi inisiasi akar dan pertumbuhan kultur jaringan pepaya adalah garam mineral, auksin, gula, suhu, dan cahaya. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara kultur jaringan dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam eksplan. Auksin merupakan salah satu ZPT yang sering digunakan dalam kultur jaringan tanaman dengan dimasukkan ke dalam media tumbuh. Peran fisiologis auksin adalah mendorong pemanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi jaringan xylem dan floem, serta pembentukan akar. Dalam kultur jaringan, auksin diperlukan untuk pembentukan klorofil, pertumbuhan kalus, suspensi sel morfogenesis akar dan tunas. Auksin sintetis terdiri atas indole 3 acetic acid (IAA), indole 3 butyric acid (IBA), 1-naphthaleneacetic acid (NAA), dan herbisida yang bersifat auksin (Wattimena 1992). Pembentukan akar dan tunas pada perbanyakan tanaman dipengaruhi oleh rasio konsentrasi auksin dan sitokinin. Rasio konsentrasi auksin dan sitokinin yang tinggi akan mendorong pembentukan akar, sedangkan rasio

konsentrasi sitokinin dan auksin yang tinggi akan memacu pembentukan tunas (Drew 1986, 1988; Mondal et al. 1990; Reuveni et al. 1990). Beberapa jenis auksin yaitu IBA, NAA, dan pcPA dapat digunakan untuk menginisiasi akar pada kultur pepaya secara in vitro. Untuk mendapatkan teknologi perbanyakan pepaya secara in vitro diperlukan teknik yang lebih baik dan konsisten dalam lingkungan yang beragam. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui teknik kultur jaringan tunas pepaya dengan menggunakan beberapa konsentrasi IBA.

BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu Tropika) pada bulan Oktober 2006 sampai Juli 2007. Bahan yang digunakan adalah buah pepaya hibrida hasil persilangan antara Scarlet dan XX. Buah yang digunakan berumur 3-4 bulan setelah bunga di- selfing (dibungkus dengan kertas minyak). Media yang digunakan adalah media Murashige Skoog (MS) dengan penambahan IBA. Alat yang digunakan adalah laminar air flow cabinet (LAFC), autoklaf, oven, timbangan analitik, kertas lakmus, botol kultur, Erlenmeyer, gelas ukur, sendok kimia, gelas piala, cawan petri, pinset, pisau bedah, lampu spiritus, hand sprayer , pipet, panci dan sendoknya, kompor, rak dorong, serta rak kultur yang dilengkapi dengan lampu fluoresen sebagai sumber cahaya. Percobaan menggunakan tiga perlakuan, yaitu: (1) MS + IBA 2 ppm, (2) MS + IBA 4 ppm, dan (3) MS + IBA 8 ppm. Masing-masing perlakuan menggunakan 15 botol kultur dan setiap botol ditanami dua tunas pepaya. Percobaan dilaksanakan dengan tahapan seperti diuraikan berikut ini. Pembuatan Larutan Stok Media yang digunakan adalah media dasar MS yang mengandung hara makro dan mikro. Media dikelompokkan

Dwi Wahyuni Ardiana dan Ida Fitrianingsih: Teknik kultur jaringan tunas pepaya

53

menjadi beberapa stok dengan kode sebagai berikut: (A) nitratos (NH 4NO 3 41,25 g dan KNO 3 47,5 g); (B) sulfatos (MgSO47H 2O 9,25 g, ZnSO 47H 2O 0,2150 g, MnSO 44H 2O 0,5575 g, CuSO45H2O 0,0006 g); (C) holidos (CaCl26H2O 11 g, KI 0,0208 g, CoCl26H2O 0,0006 g); (D) P-B-Mo (KH2PO4 4,25 g, H3BO3 0,155 g, NaMoO4H2O 0,0063 g); (E) Fe-EDTA (FeSO47H2O 0,6950 g, Na- EDTA 0,9325 g); (F) garam organik (tiamin-HCl 0,0025 g, asam nikotinat 0,0125 g, piridoksin-HCl 0,0125 g, glisin 0,05 g); dan (G) mioinositol 2,5 g. Masingmasing bahan kimia ditimbang lalu dilarutkan dalam 100 ml akuades steril. Setelah semua bahan larut, volume dicukupkan hingga 250 ml dengan menambahkan akuades steril lalu masing-masing diberi label nitratos, sulfatos, holidos, P-BMO, Fe-EDTA, garam organik, dan mioinositol sesuai dengan kelompoknya. Untuk BAP ditimbang 100 mg dan dilarutkan dengan NaOH 1 N. Setelah larut, volume dicukupkan hingga mencapai 100 ml dengan menambahkan akuades steril. Semua larutan stok disimpan dalam refrigerator. Pembuatan Media Untuk membuat media, masing-masing larutan stok diambil 10 ml/l lalu dimasukkan ke dalam gelas piala. Zat pemadat berupa agar bubuk 8 g/l media dan gula pasir 50 g/l media ditambah 800 ml akuades dimasak sampai mendidih, lalu ke dalam larutan tersebut dimasukkan stok MS yang telah disediakan dan ditambah IBA sesuai dengan perlakuan, yaitu 2 ppm, 4 ppm, dan 8 ppm kemudian volumenya dicukupkan 1 liter dengan akuades. Selanjutnya, pH larutan diukur sampai 5,8. Penurunan dan peningkatan pH dilakukan dengan menambahkan beberapa tetes HCl 0,1N dan NaOH 0,1N. Media yang sudah siap dimasukkan ke dalam botol kultur masing-masing 33 ml atau satu liter media untuk 30 botol kultur, lalu ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet gelang. Sterilisasi media dilakukan dalam autoklaf pada tekanan 17,5 psi dengan suhu 121C selama 15 menit. Media yang telah disterilisasi diletakkan dalam ruang inkubasi selama satu minggu untuk melihat ada tidaknya media yang terkontaminasi. Penanaman Buah pepaya dicuci dengan air mengalir kemudian dikeringanginkan. Setelah kering, buah dibawa ke ruang LAFC dan direndam dalam alkohol 70% selama 15 menit. Selanjutnya, buah dibelah dan diambil bijinya. Biji diletakkan dalam cawan petri. Embrio yang terdapat dalam biji diambil dengan menggunakan pinset dan pisau bedah lalu ditanam pada media MS selama 1 bulan.

Setelah berumur satu bulan, biji mulai berkecambah. Kecambah segera dipindahkan ke media multiplikasi tahap pertama. Kecambah dipotong pucuknya dan ditanam pada media MS + BAP 0,5 ppm. Setelah berumur satu bulan dilakukan subkultur pada media yang sama untuk memperoleh jumlah eksplan yang banyak. Pada subkultur tahap ke 4-5, kecambah baru ditanam pada media perlakuan. Tunas yang ditanam mempunyai daun 3-6 helai dan panjang tunas lebih dari 2 cm. Parameter yang diamati dan diukur meliputi: 1. Persentase tumbuh akar, dihitung dengan rumus sebagai berikut: jumlah eksplan berakar per satuan percobaan Persentase = x 100% tumbuh akar jumlah eksplan yang ditanam per satuan percobaan 2. Panjang akar, diukur dari leher akar sampai ujung akar dengan menggunakan kertas milimeter yang diletakkan di bawah cawan petri. Planlet dikeluarkan dari botol dan diletakkan pada cawan petri, kemudian planlet diluruskan dengan bantuan pinset untuk diukur akarnya. Pengamatan dilakukan di dalam LAFC. 3. Letak tumbuh akar dan kondisi kalus. Pertumbuhan akar diamati secara visual dengan cara melihat tempat tumbuhnya akar, yaitu pada pangkal planlet atau leher akar atau di permukaan kalus. Kondisi kalus diamati secara kualitatif berdasarkan banyak atau sedikitnya kalus yang tumbuh, warna kalus, jenis kalus, dan tempat tumbuhnya kalus pada pangkal batang atau akar. 4. Kondisi tanaman, dengan mengamati warna daun dan besar kecilnya batang dari planlet (kevigorannya) secara visual dan kualitatif. 5. Jumlah tunas besar, dihitung planlet yang panjangnya lebih dari 0,5 cm, diukur dari ujung titik tumbuh sampai pangkal planlet. 6. Jumlah tunas kecil, dihitung planlet yang panjangnya kurang dari 0,5 cm, diukur dari ujung titik tumbuh sampai pangkal planlet. HASIL DAN PEMBAHASAN Penambahan beberapa konsentrasi IBA pada media kultur memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kultur tunas pepaya. Pengaruh beberapa konsentrasi IBA yang ditambahkan pada media kultur terhadap inisiasi akar dan pertumbuhan akar tunas pepaya disajikan pada Tabel 1.

54

Dwi Wahyuni Ardiana dan Ida Fitrianingsih: Teknik kultur jaringan tunas pepaya Tabel 2. Jumlah tunas dan keragaan planlet pada kultur tunas pepaya secara kultur jaringan dengan penambahan beberapa konsentrasi IBA, Balitbu Tropika, Solok, 2007 Perlakuan MS + 2 ppm IBA MS + 4 ppm IBA MS + 8 ppm IBA Jumlah tunas besar 2-6 1 1 Jumlah tunas kecil 5-7 2 6-11 Kondisi tanaman Vigor, warna daun hijau tua Agak vigor, warna daun agak pucat Agak vigor, warna daun agak pucat

Tabel 1. Persentase tumbuh akar dan panjang akar pada kultur tunas pepaya secara kultur jaringan dengan penambahan beberapa konsentrasi IBA, Balitbu Tropika, Solok, 2007 Perlakuan MS + 2 ppm IBA Persentase Panjang akar Keterangan tumbuh akar (cm) 35 2-7 Akar keluar dari pangkal planlet dan pada akar tumbuh sedikit kalus Akar keluar dari kalus yang tumbuh di pangkal planlet, jumlah kalus banyak, berwarna putih/ krem dan remah Akar keluar dari kalus yang tumbuh di pangkal planlet, jumlah kalus banyak, berwarna putih/ krem dan remah

MS + 4 ppm IBA

25

1-4

MS + 8 ppm IBA

20

0,5-5

Menurut Drew et al. (1993), penambahan IBA 2 ppm menghasilkan persentase terbentuknya akar yang tinggi dan jumlah akar terbanyak bila dikombinasikan dengan riboflavin. Persentase terbentuknya akar tertinggi dan akar terpanjang diperoleh pada media MS yang ditambah IBA 2 ppm. Akar yang kecil dan pendek muncul dari pangkal planlet, dan kalus yang tumbuh jumlahnya relatif sedikit atau hampir tidak ada. Perlakuan penambahan IBA 4 dan 8 ppm menghasilkan kalus yang remah berwarna putih kemudian akar muncul dari atas kalus. Kondisi akar yang muncul dari atas kalus dan kalus yang berukuran besar menyebabkan kualitas planlet yang dihasilkan kurang baik. Apabila diaklimatisasi, biasanya kalus akan membusuk dan menyebabkan tanaman mati. Jumlah akar yang dihasilkan pada perlakuan penambahan IBA 4 dan 8 ppm lebih sedikit dan ukurannya lebih pendek. Menurut Badriah et al. (1998), pada kultur gladiol, pemberian IBA konsentrasi tinggi akan menghambat pemanjangan akar, sedangkan konsentrasi yang lebih rendah menghasilkan akar yang lebih panjang. Penambahan beberapa konsentrasi IBA pada media kultur berpengaruh terhadap jumlah tunas pepaya. Tabel 2 menunjukkan bahwa penambahan IBA 2 ppm menghasilkan tunas besar yang lebih banyak (2-6 tunas), sedangkan tunas kecil jumlahnya sedang. Tunas yang besar dan perakaran yang banyak menandakan planlet berkualitas baik dan dapat diaklimatisasi. Penambahan IBA 4 ppm tidak meningkatkan jumlah tunas. Hal ini kemungkinan disebabkan unsur hara dan ZPT yang ada dalam media digunakan untuk menghasilkan kalus. Penambahan IBA 8 ppm menghasilkan tunas

Gambar 1. Penampilan planlet hasil kultur jaringan tunas pepaya dengan beberapa perlakuan penambahan IBA; (a) dan (b) IBA 2 ppm, (c) IBA 8 ppm, dan (d) IBA 4 ppm, Balitbu Tropika, Solok, 2007

kecil dalam jumlah banyak, yaitu 6-11 tunas. Tunas yang berukuran kecil menyebabkan planlet tidak vigor dan belum layak diaklimatisasi. Penampilan planlet yang dihasilkan dari tunas yang ditanam pada media MS dengan penambahan IBA 2 ppm, 4 ppm, dan 8 ppm disajikan pada Gambar 1.

KESIMPULAN DAN SARAN Penambahan IBA 2 ppm pada media MS menghasilkan persentase tunas berakar tertinggi (35%), jumlah tunas besar terbanyak (2-6 tunas), dan planlet memiliki akar yang vigor. Penambahan IBA 4 dan 8 ppm pada media MS menghasilkan kalus yang besar dan remah seperti kapas.

Dwi Wahyuni Ardiana dan Ida Fitrianingsih: Teknik kultur jaringan tunas pepaya

55

Untuk keberhasilan perbanyakan tunas pepaya secara kultur jaringan, hal utama yang harus diperhatikan adalah konsistensi dalam menghasilkan persentase tunas berakar yang tinggi dan akar harus berkualitas baik. Dengan kondisi seperti ini, bibit memiliki vigor yang baik bila ditanam di lapangan.

Badriah, D.S., T.M. Nurita, dan T. Sutater. 1998. Tanggap dua kultivar gladiol terhadap zat pengatur tumbuh pada perbanyakan in vitro. Jurnal Hortikultura 8(2): 1048-1059. Drew, R.A. 1986. Growth of apical and lateral buds of papaw (Carica papaya L.) as affected by nutritional and hormonal factors. J. Hort. Sci. 61(4): 535-543. Drew, R.A. 1988. Rapid clonal propagation of papaya in vitro from mature field grown trees. Hort. Sci. 23(3): 609-611.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Agus Sutanto, M.Sc. dan Tri Budiyanti, SP yang telah memberi bimbingan dan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan data hasil penelitian untuk penulisan artikel.

Drew, R.A., J.A. McComb, and J.A. Considine. 1993. Rhizogenesis and root growth of Carica papaya L. in vitro in relation to auxin sensitive phases and use of riboflavin. Plant Cell. Tissue Organ Cult. 33: 1-7. Mondal, M., S. Gupta, and B.B. Mukherjee. 1990. In vitro propagation of shoot buds of Carica papaya L. var. Honey Dew. Plant Cell Rep. 8: 609-612. Reuveni, O., D.R. Shlesinger, and U. Lavi. 1990. In vitro clonal propagation of dioecious Carica papaya . Plant Cell. Tissue Organ Cult. 20: 41-46. Wattimena, G.A. 1992. Bioteknologi Tanaman I. Pusat AntarUniversitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

DAFTAR PUSTAKA
Agnew, G.W. 1968. Growing quality papaws in Queensland. Queensland Agric. J. 94: 24-36.

Anda mungkin juga menyukai