Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN AKHIR

Induksi Planlet Tangkai Daun Amorphophallus muelleri dengan Penambahan


Konsentrasi ZPT BAP dan NAA
Praktikum Kultur Jaringan Tanaman
KP A

Kelompok 8
Giveny Grace Wibisono (170118029)
Yudith Christina Agustin (170118043)

Dosen
Ida Bagus Made Artadana, S.Si., M.Sc.
Johan Sukweenadhi, P.hD.
Dr. Ir. Popy Hartatie Hardjo, M.Si.
Wina Dian Savitri, S.Si., M.Agr.

Asisten
Natasha Florenika 174120006
Andy Effraim 170117034

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS TEKNOBIOLOGI
UNIVERSITAS SURABAYA
2020
Abstrak
Amorphophallus muelleri merupakan tanaman asli Indonesia yang telah
dimanfaatkan secara turun temurun serta merupakan tanaman yang memiliki
kandungan glukomanan tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pertumbuhan dan konsentrasi zat pengatur tumbuh optimal yang digunakan untuk
induksi tunas serta perakaran Amorphophallus muelleri. Rancangan yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 9 kombinasi perlakuan dan 6
pengulangan sehingga total menjadi 54 unit percobaan. Digunakan media MS
dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh BAP 1 mg/l (B1), 2 mg/l (B2) dan 3 mg/l
(B3) serta ZPT NAA 0,1 mg/l (N1), 0,2 mg/l (N2), dan 0,3 mg/l (N3).

Kata Kunci: Amorphophallus muelleri, leaf petioles, BAP, NAA, induksi.


BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Porang atau Amorphophallus muelleri merupakan tanaman umbi-
umbian yang mengandung glukomanan yang tinggi serta berasal dari suku
Araceaea. Umbi iles-iles dapat diolak menjadi tepung, konyaku, shirataki,
dan lain sebagainya. Iles-iles di Indonesia sebagian besar diekspor ke
Jepang, tetapi belum mampu untuk memenuhi permintaan oleh karena itu
peluang ekspornya masih tinggi, sehingga dibutuhkan suatu teknik untuk
memperbanyak bibit secara efektif dan efisien melalui kultur jaringan yang
mampu menghasilkan bibit dalam jumlah banyak, secara cepat, seragam
dan berkelanjutan (Prayana, et al., 2017). Perbanyakan tanaman porang
atau iles-iles dapat dilakukan secara vegetatif menggunakan umbi, bubil,
stek daun, dan biji. Tanaman iles-iles memiliki biji triploid apomiksis yang
bukan hasil dari tetuanya sehingga keragamannya terbatas (Prayana et al.,
2017). Porang atau Amorphophallus muelleri adalah tanaman tahunan
yang memiliki masa dormansi. Pada saat dormansi, batang dan daun
porang layu dan mati, hanya umbi atau biji yang dapat digunakan sebagai
sumber eksplan dari porang atau Amorphophallus muelleri. Menurut
Santosa et al. (2016), benih iles-iles berkembang dengan mengandalkan
cadangan makanan dari umbi. Banyak tanaman iles-iles yang berkembang
tanpa menghasilkan akar selama pembesaran dan pematangan biji
(Hidayah et al., 2018).
Perbanyakan tanaman iles-iles bisa dilakukan dengan teknik kultur
jaringan. Kultur jaringan tanaman adalah metode perbanyakan tanaman
dengan menggunakan bagian sel atau organ dari tanaman yang akan
ditumbuhkan dalam kondisi aseptik hingga menjadi tanaman utuh.
Tangkai daun atau petiole merupakan eksplan alternatif yang dapat
dikembangkan menjadi tanaman utuh dengan tenik mikropropagasi.
Penggunaan tangkai daun sebagai eksplan dapat mencegah perusakan
umbi dan dapat diperoleh dalam jumlah banyak. Mikropropagasi adalah
teknik dari kultur jaringan untuk menghasilkan klon atau perbanyakan
tanaman induk. Pemberian zat pengatur tumbuh yang paling umum
digunakan adalah sitokinin dan auksin. Sitokinin seperti benzyl amino
purine (BAP) sangat berperan dalam pembentukan dan penggandaan tunas
in vitro, sedangkan auksin seperti naphthalene acetic acid (NAA) berperan
dalam pembentukan akar dan perpanjangan sel.
1.2 Rumusan Masalah
Berapa konsentrasi zat pengatur tumbuh BAP dan NAA yang optimal
untuk menginduksi tunas dan akar pada eksplan Amorphophallus muelleri?
1.3 Tujuan
1. Untuk memperoleh komposisi atau konsentrasi ZPT BAP dan NAA
yang optimal untuk inisiasi tunas dan akar kultur porang.
2. Untuk memperoleh planlet dari hasil induksi tangkai daun
Amorphophallus muelleri.
BAB II
Metode Kerja

2.1 Bahan tanaman  dan proses pensterilan eksplan serta penanaman


pada media MS dengan konsentrasi ZPT BAP dan NAA (Imelda et al., 2008)

Porang

Ditumbuhkan dalam polibag sampai 4 bulan (hingga tumbuh tunas dari umbi)

Tangkai daun dipotong 8 cm


Alkohol 70%

Tween 20

Disterilkan dalam larutan HgCl2 0,05% selama 20 menit

Dibilas dengan akuades steril 3 x

Tangkai daun dipotong ± 1 cm

Ditumbuhkan pada media MS dengan konsentrasi ZPT berbeda-beda

*Pengerjaan dilakukan dalam LAF (laminar air flow cabinet ).

2.2 Media tumbuh dan perlakuan zat pengatur tumbuh  BAP 1,2,4 mg/l
(Imelda et al., 2008)

3 petri media MS

ZPT BAP 1 mg/l ZPT BAP 2 mg/l ZPT BAP 4 mg/l

diinkubasi dalam ruang ber-AC yang suhunya  ±26°C dan mendapat pencahayaan dari
lampu TL 40 watt  sebesar 30 µmol/ m2/det selama 16 jam/hari

Subkultur 4 minggu sekali


2.3 Media tumbuh dan perlakuan gabungan zat pengatur tumbuh  BAP
dan NAA (MS1 : BAP 1 mg/l dan NAA 0,1 mg/l; MS2: BAP 2 mg/l dan NAA
0,2 mg/l ; MS3: BAP 4 mg/l dan NAA 0,5 mg/l) (Imelda et al., 2008)

3 petri media MS

ZPT BAP 1 mg/l dan ZPT BAP 2 mg/l dan ZPT BAP 4 mg/l dan
NAA 0,1 mg/l NAA 0,2 mg/l NAA 0,5 mg/l

Diinkubasi dalam ruang ber-AC yang suhunya  ±26°C dan mendapat pencahayaan dari
lampu TL 40 watt  sebesar 30 µmol/ m2/det selama 16 jam/hari
Subkultur 4 minggu sekali
BAB III
Hasil dan Pembahasan
3.1 Pembahasan
Digunakan media MS (Murashige Skoog), ZPT BAP dan NAA, agar
Swallow, gula, aquades serta NaOH dan HCl. Dilakukan 9 kombinasi perlakuan
dan 6 pengulangan sehingga total menjadi 54 unit percobaan. Konsentrasi ZPT
BAP 1 mg/l (B1), 2 mg/l (B2) dan 3 mg/l (B3) serta ZPT NAA 0,1 mg/l (N1), 0,2
mg/l (N2), dan 0,3 mg/l (N3). ZPT akan ditambahkan dalam media MS yang
kemudian akan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121⁰C dan tekanan 17,5 psi
selama 30 menit. Eksplan tangkai daun diperoleh dari eksplan yang sudah steril.
Eksplan tangkai daun dipotong dengan ukuran 1 cm. Proses penanaman eksplan
dilakukan dalam laminar air flow (LAF) yang sudah dilakukan penyinaran UV.
Alat-alat yang akan digunakan disemprot dengan alkohol 96% lalu dipanaskan
dengan bunsen selama 1-2 menit, kemudian tangkai daun diletakkan pada petri
steril yang sudah dialasi kertas saring untuk menyerap kelebihan akuades (petri
untuk wadah memotong eksplan). Setelah penanaman pada media MS dan tidak
terjadi kontaminasi selama 2 minggu, maka eksplan dipindahan ke media
perlakuan (media dengan konsentrasi ZPT BAP dan NAA yang berbeda-beda).
Botol kultur disimpan dalam suhu ruang 23,5⁰C dan kelembaban 52 RH dengan
intensitas cahaya 1541 Lux, dengan lama penyinaran 16 jam. Pengamatan eksplan
dilakukan untuk mendapatkan data kualitas akar setelah 84 hari (Prayana et
al.,2017).
Pengaruh ZPT terhadap kemampuan regenerasi eksplan sangat kompleks
dan berkaitan dengan kondisi fisiologi dari tanaman in vivo. Keseimbangan antara
auksin dan sitokinin sangat diperlukan untuk memperoleh hasil yang optimal bagi
pembentukan tunas dan akar (Imelda et al., 2008). Hasil optimal dari kultur
tangkai daun iles-iles ini perlu dicari kondisi terbaik bagi pertumbuhannya, antara
lain penggunaan jenis, konsentrasi serta keseimbangan ZPT yang tepat.
Menurut Agarwal dan Ranu (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan morforgenesis in vitro adalah fisiologi dari tanaman induk,
konsentrasi, serta keseimbangan dari zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan.
Pada tahap terbentuknya tunas, adanya ZPT BAP akan berperan dalam
penumbuhan tunas secara in vitro dapat memicu tumbuhnya tunas secara cepat
bergantung pada konsentrasi BAP yang digunakan. Selain itu, BAP sudah diuji
pada berbagai jenis tanaman buah-buahan seperti pepaya (Carica papaya), jeruk
(Citrus spp.), manggis (Garcinia mangostana) (Litz dan Jaiswal, 1991), dan pada
pisang (Musa acuminata x balbisiana) (Imelda, 1991) dimana BAP terbukti
efektif untuk merangsang proliferasi tunas in vitro sehingga hasil yang di peroleh
maksimal. Tetapi jika konsentrasi BAP yang digunakan sedikit maka akan
dibutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan tunas yang banyak. (Prayana et
al.,2017).
Tabel 1. Pengaruh zat pengatur tumbuh BAP dan NAA terhadap jumlah tunas in
vitro iles-iles (Imelda et al., 2008)

Gambar 1. Jumlah tunas in vitro iles-iles (A. muelleri) rata-rata pada media MS
yang diberi zat pengatur tumbuh BAP dan NAA (Imelda et al., 2008)
Dapat dilihat, berdasarkan tabel 1 dan gambar 1, untuk pertumbuhan
jumlah tunas (rata-rata) setelah 3 bulan ditanam yang paling baik adalah
pemberian perlakuan B2 dengan konsentrasi 2 mg/l yaitu 19. Hal ini menunjukkan
kondisi optimum dari pertumbuhan tunas ketika pemberian konsentrasi BAP 2
mg/l dan semakin tinggi konsentrasinya tidak menambah rerata jumlah tunas
karena ketika pertumbuhannya sudah mencapai titik optimum maka tidak akan
naik lagi (akan turun). Kemudian penambahan konsentrasi yang melebihi titik
optimum dapat menimbulkan efek penghambatan pertumbuhan tunas (Imelda et
al., 2008)
Berdasarkan pengamatan yang diperoleh, jumlah tunas rata-rata terbanyak
berada pada media B2 yang mengandung BAP 2 mg/L. Ketika konsentrasi
ditambahkan atau di tingkatkan menjadi 4 mg/L, tidak ditunjukan adanya
peningkatan jumlah tunas. Sehingga dari ini dapat diketahui jika meningkatnya
kadar BAP dapat membuat pertumbuhan atau perpanjangan tunas menjadi
terhambat. Pengaruh dari ZPT sangatlah kompleks dan berkaitan dengan kondisi
fisiologi dari tanaman in vivo yang digunakan terhadap kemampuan
regenerasinya. Untuk diperoleh hasil yang optimal dibutuhkan keseimbangan
antar ke-dua ZPT yang digunakan yaitu BAP dan NAA sehingga untuk
memperoleh hasil yang optimal diperlukan mencari kondisi terbaik untuk
pertumbuhannya (Imelda et al., 2008).
Dari hasil yang diperoleh, kombinasi dari BAP dan NAA memberikan
hasil yang nyata yaitu menghasilkan tunas lebih cepat meskipun jumlah tunas
lebih sedikit jika dibandingkan dengan tanaman yang diberikan BAP saja (tanpa
NAA). Kadar NAA yang lebih tinggi ataupun lebih rendah memberikan hasil
jumlah tunas yang menurun dimana hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan
oleh Imelda et al. (2008), jika keseimbangan antara sitokinin (BAP) dan auksin
(NAA) dibutuhkan. Selanjutnya, tunas terbanyak pada media yang hanya berisi
BAP 2 mg/L diperlukan subkultur ke media dengan kadar BAP yang lebih rendah.
Hal ini bertujuan agar perpanjangan tunas menjadi lebih efisien dan cepat
Tabel 2. Rata-rata Jumlah Akar Umur 84 HST
BAP NAA Rata-Rata Jumlah Akar
1 mg/l 0,1 mg/l 7,94 a
2 mg/l 0,2 mg/l 5,39 ab
3 mg/l 0,3 mg/l 1,50 b

Tabel 3. Rata-rata Panjang Akar (cm) pada Umur 84 HST


BAP NAA Rata-rata Panjang Akar
1 mg/l 0,1 mg/l 2,72 a
2 mg/l 0,2 mg/l 1,61 ab
3 mg/l 0,3 mg/l 0,53 b

Berdasarkan uji akar, diketahui bahwa jumlah akar terbaik diperoleh


dengan menggunakan NAA 0,1 mg/l dan BAP 1 mg/l dimana hal ini menunjukan
jika interaksi antara BAP dan NAA tidak berbeda nyata. Dengan adanya sitokinin
berupa BAP dan NAA akan mempengaruhi terbentuknya akar sesuai dengan
perannya yaitu auksin atau NAA memiliki peran dalam pertumbuhan dan untuk
pemanjangan sel serta membentuk akar adventif (Karjadi & Buchory, 2008).
Konsentrasi NAA yang digunakan adalah 0,1 mg/l, 0,2 mg/l, dan 0,3 mg/l.
Konsentrasi NAA yang terlalu rendah tidak akan memberikan efek pada
pertumbuhan akar sebaliknya jika konsentrasi NAA tinggi (lebih tinggi dari pada
sitokinin atau BAP) akan memberikan efek atau mempengaruhi inisiasi pada
planlet. Berdasarkan hasil yang diperoleh, perbedaan konsentrasi ZPT yang terlalu
jauh akan membuat pertumbuhan terhambat sehingga menjadi kurang signifikan.
ZPT auksin dan sitokinin yang diberikan dari luar (eksogen) seharusnya dapat
membuat biosintesis hormon alami meningkat. Selain itu, ZPT dengan konsentrasi
yang relatif rendah secara umum akan memberikan hasil yang baik karena auksin
yang berasal dari tumbuhan iles-iles itu sendiri dapat merangsang pertumbuhan
akar sehingga hanya perlu ditambahkan sedikit ZPT tambahan dan pada panjang
akar umur 84 HST diperoleh data semakin tinggi konsentrasi BAP maka dapat
menghambat pertumbuhan akar. Jika konsentrasi BAP digunakan tinggi akan
lebih baik jika diaplikasikan untuk pertumbuhan tunas. Sedangkan pada
konsentrasi NAA akan membuat munculnya primordial akar akibat dari
permeabilitas sel-sel pada eksplan. Tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan
konsentrasi BAP lebih tinggi (1 mg/l, 2 mg/l, dan 3 mg/l) dari pada NAA (0,1
mg/l, 0,2 mg/l, dan 0,3 mg/l) sehingga lebih efektif jika digunakan untuk
pertumbuhan tunas (Prayana et al.,2017).

Gambar 2. Regenerasi tunas dari kultur tangkai daun iles-iles (Amorphophalus


muelleri): (a). Tanaman iles-ilesyang sedang berbunga, (b). Tanaman induk,
(c).Tangkai daun untuk bahan eksplan, (d). Bakal tunas muncul dari potongan
tangkai daun, (e). Bakal tunas (close up), (f) (g). Tunas in vitro yang lebih
dewasa, (h). Planlet yang sudah siap untuk diaklimatisasikan (Imelda et al., 2008)

Untuk perlakuan pemberian ZPT dengan kombinasi BAP dan NAA,


dihasilkan perpanjangan tunas lebih cepat namun jumlah tunas lebih sedikit
dibandingkan pemberian BAP saja. Perlakuan terbaik ada pada perlakuan B2N2
(BAP 2 mg/l dan NAA 0,2 mg/l) dimana jumlah tunas rerata sebanyak 15. Dapat
dilihat pada tabel 1, pemberian NAA lebih tinggi akan membuat pertumbuhan
jumlah tunas menurun. Untuk mendapatkan jumlah tunas dan panjang tunas yang
optimal maka diperlukan kombinasi ZPT BAP dan NAA yang seimbang dimana
dari penelitian ini didapatkan paling seimbang konsentrasi BAP 2 mg/l dan NAA
0,2 mg/l untuk kombinasi perlakuan. Dapat disimpulkan pembentukan tunas dari
tangkai daun porang atau Amorphophallus muelleri sangat mudah dan efisien
dalam menghasilkan tunas adventif (ditunjukkan pada gambar 1c-g).
BAB IV
Kesimpulan

Reviewer menyimpulkan bahwa konsentrasi zat pengatur tumbuh yang


optimal untuk menginduksi tunas Amorphophallus muelleri adalah penggunaan
zpt gabungan sitokinin dan auksin yaitu BAP dan NAA yang digunakan dalam
penelitian oleh Imelda et al., (2008) dengan konsentrasi BAP 2 mg/l dan NAA 0,2
mg/l. Untuk induksi akar Amorphophallus muelleri, konsentrasi zat pengatur
tumbuh yang optimal adalah BAP 1 mg/l dan NA 0,1 mg/l.
Selain itu, pemberian kedua ZPT tersebut yaitu NAA dan BAP haruslah
seimbang untuk menghasilkan hasil yang optimal bagi pertumbuhan dan
perpanjangan tanaman. Dimana zat NAA tidak terlalu rendah ataupun terlalu
tinggi. Tangkai daun tanaman Amorphophallus muelleri salah satu bagian yang
efisien untuk menghasilkan tunas adventif seperti yang telah diteliti oleh Imelda et
al. (2008).
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, M.M., Ratnasari, E. and Rahayu, Y.S., 2014. Induksi Kalus Umbi Iles-Iles
(Amorphophallus muelleri) dengan kombinasi Konsentrasi 2, 4-D dan
BAP secara in vitro. LenteraBio, 3(2), pp.109-114.
(https://jurnalmahasiswa3.unesa.ac.id/index.php/lenterabio/article/view/
8037)
Hidayah, N., Suhartanto, M.R. and Santosa, E., 2018. Pertumbuhan dan Produksi
Benih Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) Asal Teknik Budi Daya
yang Berbeda. Buletin Agrohorti, 6(3), pp.405-411.
(https://jurnal.ipb.ac.id/index.php/bulagron/article/view/21109)
Imelda, M., Wulansari, A.I.D.A. and Poerba, Y.S., 2008. Regenerasi tunas dari
kultur tangkai daun iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume).
Biodiversitas, 9(3), pp.173-176.
(https://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D0903/D090304.pdf)
Prayana, F.A., Djenal, F.N.U. and Wardana, R., 2017. Mikropropagasi Tangkai
Daun Iles-Iles (Amorphophallus muelleri Blume) Secara In Vitro dengan
Penambahan ZPT BAP dan NAA. Agriprima, Journal of Applied
Agricultural Sciences, 1(2), pp.95-104.

(https://pdfs.semanticscholar.org/ac8b/60953c6a0148dc6edaac64690ec1a2
5309c4.pdf)
Santosa, E., A.P. Lontoh, A. Kurniawati, M. Sari, N. Sugiyama. 2016. Flower
development and its implication for seed production on Amorphophallus
muelleri Blume (Araceae). J. Hort. Indonesia 7(2):63-72.
(http://journal.ipb.ac.id/index.php/jhi/article/view/15346)

Anda mungkin juga menyukai