Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH BAP

TERHADAP TANAMAN LIDAH BUAYA [ Aloe vera (L.) Burm. f ]


SECARA IN VITRO BERDASARKAN VARIAN KONSENTRASI

Gabriela Maria Immaculata, Livia Nur Cholifah, Muhammad Kresna Pangabdi


Universitas Negeri Malang
Email : immagabriela15@gmail.com,

Abstrak

Lidah buaya [ Aloe vera (L.) Burm. f ] merupakan tanaman dalam famili
Liliaceae yang sering dimanfaatkan masyarakat baik sebagai kosmetik, obat
tradisional, maupun dalam bidang farmasi moderen (Campestrini et al., 2006
dalam Molsaghi et al., 2014). Perkembangbiakan lidah buaya sangat lambat,
hanya mampu memunculkan tunas lateral sebanyak 3-4 per tahunnya.
Perkembangbiakan yang lambat dengan kebutuhan lidah buaya yang banyak
mendorong untuk dilakukan perbanyakan tanaman lidah buaya secara in
vitro.

Penelitian ini dilakukan dengan mengkultur lidah buaya secara in vitro


pada medium MS yang telah ditambahkan BAP dengan berbagai konsentrasi.
Eksplan yang digunakan adalah daun muda dan daun dewasa lidah buaya.
Hasil menunjukkan eksplan daun muda dan eksplan daun dewasa pada semua
perlakuan konsentrasi BAP (2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, dan 8 ppm) tidak
mengalami pertumbuhan namun masih menunjukkan gejala hidup.

Kata kunci : lidah buaya, kultur jaringan, kalus, BAP

PENDAHULUAN

Lidah buaya [ Aloe vera (L.) Burm. f ] merupakan tanaman dalam famili
Liliaceae yang sering dimanfaatkan masyarakat baik sebagai kosmetik, obat
tradisional, maupun dalam bidang farmasi moderen (Campestrini et al., 2006
dalam Molsaghi et al., 2014). Aggarwal and Bana (2004) menyatakan bahwa
tanaman lidah buaya berkembangbiak secara vegetatif, yaitu melalui tunas.
Perkembangbiakan lidah buaya sangat lambat, hanya mampu memunculkan tunas
lateral sebanyak 3-4 per tahunnya. Perkembangbiakan yang lambat dengan
kebutuhan lidah buaya yang banyak mendorong untuk dilakukan perbanyakan
tanaman lidah buaya secara in vitro agar dapat menghasilkan tunas lidah buaya
dalam waktu singkat dan memiliki sifat atau mutu genetik yang baik serta bebas
dari patogen.
Saggoo and Kaur (2010) menyatakan bahwa perkembangbiakan lidah buaya
yang cenderung lambat ini tidak seimbang dengan kebutuhan pemanfaatan lidah
buaya. Lidah buaya juga rentan terserang penyakit, hal ini tentu saja berdampak
pada produktivitas tanaman serta kualitas produk yang dihasilkan. Aguilar and
Brink (1999) menyatakan bahwa lidah buaya kerap terserang penyakit karena
serangan Alternaria alternata dan Fusarium solani. Penyakit utama lidah buaya
yang lebih perlu diwaspadai adalah busuk daun yang disebabkan oleh Erwinia
chrysanthemi (Deelat et al., 1994). Busuk daun yang menyerang lidah buaya
tentu sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan lidah buaya secara komersil
karena bagian tanaman lidah buaya yang dipergunakan untuk bahan kosmetik
maupun obat adalah gel yang ada pada daunnya.
Upaya perbanyakan lidah buaya telah banyak dilakukan, umumnya
diberikan penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT). ZPT yang diberikan
bervariasi, baik BAP maupun NAA atau kombinasi keduanya. Anggela et al
(2017) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ZPT yang sering digunakan
dalam propagasi secara in vitro adalah auksin dan (golongan NAA atau
Naphtalene Acetic Acid dan sitokinin (BAP atau Benzyl Amino Purine.)
Dalam penelitian ini dilakukan kultur in vitro lidah buaya dengan perlakuan
ZPT berupa BAP dengan konsentrasi yang berbeda untuk menghasilkan tunas
yang bebas patogen serta diharapkan dapat menunjukkan konsentrasi BAP yang
ltepat untuk menumbuhkan tunas dalam waktu paling singkat.

METODE

Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dimana konsentrasi BAP yang
digunakan dibuat bervariasi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
konstrasi BAP terhadap pertumbuhan kalus lidah buaya. Data yang diambil
berupa pertumbuhan kalus lidah buaya kemudian dianalisis secara deskriptif
perubahan-perubahan yang terjadi pada kalus.
Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pipet, mikropipet, tip,
cawan petri, beaker glass, botol kaca, botol balsem, scapel, mata scapel, pinset,
gunting, LAF (Laminar Air Flow), autoklaf, panci, batang pengaduk, kompor,
magnetic stirer dan heater.

llBahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : lidah buaya, medium
MS0, BAP, aquades, alkohol 70%, Sunlight, Byclin, kertas sampul, plastik, karet
gelang, kertas label, dan tissue.lllllllllllllllllllll

Prosedur Kerja

Prosedur kultur jaringan lidah buaya inj dikutip dari Anggela et al., (2017) dan
Gupta et al., (2014) dengan beberapa perubahan.
Sterilisasi alat tanam dan botol kultur
Alat tanam seperti botol kultur, cawan petri, pinset, gunting, scalpel yang
akan digunakan dicuci kemudian disterilkan terlebih dahulu dengan menggunakan
autoclaf selama satu jam pada tekanan 17.5 psi dan suhu 121oC. untuk cawan
petri, pinset, gunting, dan pisau scalpel sebelum di autoclaf dibungkus dahulu
dengan kertas tebal.
Sterilisasi aquadest
Sterilisasi aquadest dilakukan dengan memasukkan aquadest ke dalam
erlenmeyer 250 ml , diisi sampai 100 mlkemudian sterilisasi yang digunakan sama
dengan sterilisasi alat.
lllllllllllllllllllllllllllllLaminar air flow
llllSebelum digunakan disterilkan dulu dengan mengusapkan atau
menyemprotkan alkohol 70% pada dinding dan lantainya, kemudian didiamkan
slama kurang lebih 30 menit.
Slllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllterilisasi eksplan
Daun lidah buaya diambil bagian muda dan bagian dewasa kemudian dicuci
dengan air mengalir. Daun tersebut dipotong dengan ukiran sekitar 3 cm,
kemudian direndam dengan larutan Sunlight dengan konsentrasi 5% selama 5
menit setelah itu dibilas dengan air untuk menghilangkan sisa Sunlight. Kegiatan
sterilisasi selanjutnya dilakukan di dalam LAF, yaitu merendam daun lidah buaya
dengan larutan Byclin 5% selama 5 menit kemudian dibilas. Selanjutnya daun
lllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll
llllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllidah buaya dicelup secara singkat di dalam alkohol
70%. Daun lidah buaya diletakkan di atas cawan petri steril kemudian dipotong
bagian tepi-tepinya untuk membuang sel yang mati akibat proses sterilisasi.
Pembuatan larutan stok
lllllllBahan-bahan kimia makro nutrien ditimbang dengan neraca analitik sebagai
berikut : KNO3 38 gram, NH4NO3 33 gram, CaCl2.2H2O 8,8 gram, MgSO4.7H2O
7,4 gram, KH2PO4 3,4 gram, dan larutan makro 50mL. Bahan-bahan yang sudah
ditimbang, dimasukkan ke dalam erlenmeyer volume 1000 ml yang telah berisi
700 ml aquades. Bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan menggoyang-goyangkan
erlenmeyer. Setelah semua hara makro larut, ditera dengan aquades hingga 1000
ml. Masukkan ke dalam botol tempat penyimpanan larutan stok lalu ditutup
dengan aluminium foil dan diikat dengan karet, kemudian diberi label dan tanggal
pembuatan.
llPembuatan Media tumbuh
Media dasar Murashige dan Skoog (MS) (1962), yang dilengkapi dengan gula 30
g/L, agar 2,5 g/L serta zat pengatur tumbuh BAP. Media tersebut diatur
lllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllkeasamannya pada pH 5,7,
diberi agar, dan ZPT dengan berbagai macam konsentrasi yaitu 0 ppm, 2 ppm, 4
ppm, 6 ppm, dan 8 ppm. Medium dimasak kemudian dimasukkan ke dalam botol
balsem dengan volume 5 mL setiap botol. Medium lalu diautoklaf pada suhu
121°C dan tekanan 1 atm selama 15 menit, kemudian disimpan selama 3 hari
untuk mengeliminasi media yang terkontaminasi jamur atau bakteri. Setelah 3 hari
dan medium tetap bersih, maka medium siap ditanami eksplan lidah buaya.
Penanaman eksplan
Daun lidah buaya yang telah disterilkan ditanam pada masing-
masing medium secara aseptis di dalam LAF

HASIL DAN PEMBAHASAN

Media Tanam yang Tepat untuk Kultur Lidah Buaya

Media tanam kultur jaringan adalah suatu media tempat penanaman bahannagar
lllllllllllllllllllllllllllllllltumbuh menjadi tanaman baru melalui proses pembentukan
kalus, diferensiasi, dan organogenesis (Darini, 2011). Komposisi ideal media
tanam pada tiap jenis tanaman berbeda (Anggela, dkk., 2017). Menurut Darini
(2011) pertumbuhan lidah buaya paling baik pada medium MS dengan
penambahan 0,5 ppm NAA dan 1 ppm BAP

NAA merupakan golongan dari auksin sedangkan BAP merupakan golongan


sitokinin. Auksin dan sitokinin berfungsi untuk menginisiasi kalis dan
organogenesis serta meningkatkan produksi metabolit sekunder (Smith & Drew,
lllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll1990). BAP dapat memacu dan
menginduksi kalus dengan pemberuan dalam konsentrasi yang tepat tergantung
jenis tanaman yang dikultur (George & Sherrington, 1993). NAA dapat
merangsang pertumbuhan akar (Wetheral, 1982). Auksin akan melonggarkan
serat-werat dinding sel segingga dinding sel sehingga dinding sel lebih fleksibel
dan nutrisi pada medium akan masuk secara difusi. Hal ini terus berlangsung
hingga potential air dan potensial osmotik seimbang dan sel menjadi turgid.
Penambahan sitokinin pada selnyang turgid mempengaruhi pembelahan dan
pemanjangan sel sehingga pembentukan dinding sel semakin cepat dan kalus
menjadi kompak (Dhaliwal, dkk., 2003). Hal ini menunjukkan hubungan yang
sinergis antara BAP dan NAA dalam pertumbuhan kalus lidah buaya, sehingga
pada penelitian ini tidak ditemukan adanya pertumbuhan kalus lidah buaya
kemungkinan disebabkan oleh ketiadaan NAA dan konsentrasi BAP yang terlalu
timggi.

Konsentrasi BAP yang Tepat untuk Propagasi Lidah Buaya

Menurut George & Sherrington (1984) menyatakan bahwa, efektifitas


sitokinin maupun auksin eksogen bergantung pada konsentrasi zpt endogen yang
llllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllada pada jaringan
tanaman. Menurut George & Sherrington (1984), pertumbuhan dan perkembangan
eksplan dipengaruhi oleh interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh
endogen dan eksogen. Jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan
adalah salah satu penentu keberhasilan kultur jaringan atau kultur in vitro secara
umum. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi pertumbuhan tunas adalah
umur eksplan (Imelda, 1991).
Menurut Litz, R.E and V.S. Jaiswal (1991), BAP merupakan salah satu
kelompok sitokinin yang aktif dalam proses pembelahan sel dan memacu
pertumbuhan tunas lateral. Sumarno (2002) menyatakan bahwa sitokinin
berperanlllllllllllllllllllllllllllllll dalam memacu pertumbuhan dan perkembangan
tanaman khususnya dalam menginduksi tunas adventif
BAP yang diberikan secara seimbang mampu memacu pertumbuhan daun
dan akar. Adanya interaksi antara zat pengatur tumbuh BAP dengan beberapa
konsentrasi berpengaruh terhadap pertumbuhan tunas yang terbentuk
(Wahjonolllllllllllllllll, E. dan Koesnandar, 2002). Sedangkan Yusnita (2003)
menyatakan bahwa, pembentukan akar dalam kultur jaringan memerlukan auksin
tanpa sitokinin atau sitokinin dalam konsentrasi rendah.
Tidak Adanya Pertumbuhan yang Terjadi pada Eksplan Lidah Buaya
Kultur eksplan daun lidah buaya [ Aloe vera (L.) Burm. f ] pada medium
MS dengan penambahan BAP yang telah diinkubasi selama 4 minggu
menunjukkan adanya pertumbuhan kalus. Kultur eksplan pada semua konsentrasi
tidak menunjukkan perubahan berarti namun juga tidak menunjukkan gejala
lllllllllllllllllllllkematian. Secara umum, semua eksplan daun baik eksplan daun
muda dan eksplan daun menengah pada semua perlakuan konsentrasi BAP
menunjukkan gejala hidup. Gejala hidup ditandai dengan kondisi eksplan yang
berwarna hijau, kondisi segar, tidak mengalami pengerutan dan kontaminasi.
Kultur eksplan menunjukkan perbedaan setelah dilakukan pengubahan pada
prosedur sterilisasi. Kegiatan sterilisasi eksplan pada ulangan pertama
menggunakan metode perendaman eksplan dalam klorox selama 10 menit,
kemudian pada sterilisasi eksplan selanjutnya dilakukan perendaman selama 5
menit. Perubahan metode sterilisasi tersebut memberikan perbedaan bahwa
llllllllllleksplan yang direndam lebih singkat, yaitu 5 menit menunjukkan kondisi
eksplan yang lebih segar dibanding dengan eksplan yang direndam selama 10
menit.
Kultur eksplan yang tidak mengalami perubahan sejak ditanamn diduga
karena medium yang diberikan kurang sesuai, perlu adanya kerjasama antar ZPT,
tidak hanya menggunakan ZPT secara tunggal. Tidak adanya pertumbuhan diduga
karena adanya kandungan tertentu dalam gel pada daun lidah buaya sehingga
lllllllllllllllllllllllllmemengaruhi medium.
Roy and Sarkar (1991) mengemukakan bahwa tanaman lidah buaya
mensekresikan senyawa fenolik ke dalam media kultur, sehingga dapat
menyebabkan penurunan kemampuan eksplan untuk hidup. Pemaparan tersebut
sesuai dengan hasil kultur yang tidak menunjukkan adanya
pertumbuhan.llllllllllllllllllllllllllllllllllll
Nayanakantha et al (2010) dalam penelitiannya memaparkan hasil
penelitiannya berkaitan dengan mikropropagasi lidah buaya dengan ZPT
berupllllllllllllllllllllllllllllla BAP dan NAA. Hasil penelitian menunjukkan
sebagian besar eksplan yang ditumbuhkan pada medium yang diperkaya BAP
secara tunggal tidak mampu mengembangkan bakal akar yang telah muncul serta
pertumbuhan menjadi terhambat meskipun telah dikultur hingga minggu
selanjutnya. Darini (2011) mengungkapkan bahwa konsentrasi NAA sebesar 0.50
dan 1.00 ppm menunjukkan hasil signifikan pada pertumbuhan tunas dan akar.
Hasil penelitian Darini menunjukkan bahwa ZPT yang lebih tepat untuk
menginduksi pertumbuhan tunas adalah NAA bukan BAP sehingga kultur eksplan
meskipun dengan konsentrasi BAP yang tinggi (2, 4, 6, dan 8 ppm) tidak
memberikan pengaruh pada eksplan untuk menumbuhkan tunas.
Eksplan yang tidak tumbuh dikarenakan konsentrasi ZPT yang tidak tepat.
Pertumbuhan tunas pada eksplan bergantung pada keseimbangan antara ZPT
lllllllllllllllllllllllllllllllleksogen (pada medium) dengan endogen (pada jadinya
tanaman). Adanya ZPT eksogen dapat menghambat pertumbuhan tanaman
karena mengubah keseimbangan ZPT dalam sel. Pemilihan eksplan yang tepat
juga turut memengaruhi pertumbuhan eksplan (Andaryani, 2010 ; Oktaviana et
al., 2015 ; Sari, 2005). Interaksi ZPT eksogen dan endogen serta usia eksplan
yang digunakan memberikan dampak pada pertumbuhan eksplan, sehingga
meskipun dalam praktik kultur digunakan usia eksplan yang berbeda, yaitu daun
muda dan daun menengah tetap tidak menunjukkan hasil yang signifikan karena
ada faktor interaksi ZPT endogen dan eksogen.
Eksplan yang tidak bertumbuh menunjukkan adanya indikasi browning pada
tepian eksplan bekas dipotong, browing yang muncul ini meskipun sedikit diduga
memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan eksplan. Penelitian
mikropropagasi lidah buaya memaparkan pada kegiatan kultur, media MS
lllllllllllllllllllllllllllllldiperkaya dengan karbon aktif dan asam sitrat sebagai upaya
untuk menghambat terjadinya proses browning (Nayakantha et al., 2010).
Browning sebenarnya merupakan hal yang umum terjadi pada tanaman yang
mengandung fenol, karena browning mengindikasikan adanya pelepasan eksudat
fenol ke lingkungan yang berasal dari bagian eksplan yang terpotong. Senyawa
fenol yang dihasilkan baik berupa polifenol maupun tanin dapat menghambat
perkembangan eksplan dan bahkan menyebabkan kematian eksplan (Bhat &
Chandle, 1991).

KESIMPULAN

Eksplan daun muda dan eksplan daun dewasa pada semua perlakuan konsentrasi
BAP (2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, dan 8 ppm) tidak mengalami pertumbuhan namun
llllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllmasih menunjukkan gejala hidup. Gejala hidup
ditandai dengan kondisi eksplan yang berwarna hijau, kondisi segar, tidak
mengalami pengerutan dan kontaminasi.
DAFTAR RUJUKAN

Aggarwal, D. and Barna, K.S. 2004. Tissue Culture Propagation of Elite Plant of
Aloe vera Linn. J. Plant Biochemistry & Biotechnology. 13: 77-79.
Aguilar, N.O and Brink, M. 1999. Aloe L. Prosea Bogor Indonesia pp 100-105.
Andaryani, S. 2010. Kajian Penggunaan Berbagai Konsentrasi BAP dan 2,4-D
Terhadap Induksi Kalus Jarak Pagar (Jatrop hacuras L.) Secara InVitro.
Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Negeri Surakarta. Surakarta.
Anggela, N., Mukarlina, dan Linda, R. 2017. Pertumbuhan Tunas Lidah Buaya
(Aloe barbadensis Mill.) dengan Penambahan Naftalene Acetic Acid (NAA)
dan Benzyl Amino Purine (BAP) Secara In Vitro. Protobiont (2017) Vol. 6
(3) : 136 – 141.
Bhat, S.R. and Chandel, K.P.S. 1991. A Novel Technique to Overcome Browning
in Tissue Culture. Plant Cell Reports. 10: 358-361.
Darini, M.T. 2011. Optimalisasi Zat Pengatur Tumbuh NAA dan BAP terhadap
Pertumbuhan Eksplan Tanaman Lidah Buaya. Journal of Agricultural
Science. Vol. 13, no. 2, hal: 230-237.
Dee Laat, P.C.A., J.T.W, Verhoeven, and J.D., Janse. 1994. Bacterial Leaf Root
of Aloe vera L. Caused by Erwinia chrysanthemi biovar 3. European
Journal of Plant Pathology. 100 : 80-84. Netherlands : Kluwer Academy
Publicers.
Dhaliwal, H. S., Yeung, E. C., Thorpe, T. A. 2003. Tiba Inhibition of In Vitro
Organogenesis in Exorsed Tobacco Leaf Explan. Journal In Vitro 2 (40):
235-238
George, E.F., P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation by Tissue Culture,
Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Reading. United
Kingdom: Eastern Press

George, F. P., Sherrington, P. D. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture.


London: Cambridge University Press
Gupta, S., Sahu, P.K., Sen, D.L., Pandey, P. 2014. In-vitro Propagation of Aloe
vera (L.) Burm. f. British Biotechnology Journal 4(7): 806-816.
Imelda, M. 1991. Penerapan teknologi in vitro dalam penyediaan bibit pisang.
Prosiding Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer
Untuk Industri. PAU Bioteknologi, IPB, Bogor 15-16 Februari 1991.

Litz, R.E and V.S. Jaiswal. 1991. Micropropagation of tropical and subtropical
fruit. In: Deberg, P.C. and R.H. Zimmerman (eds.), Micropopagation,
Technology and Application. London: Kluwer Academic Publishers

Molsaghi, M., Moieni, A., Kahrizi, D. 2014. Efficient Protocol for Rapid Aloe
vera Micropropagation. Pharmaceutical Biology - Online
http://informahealthcare.com/phb.
Muliati., Nurhidayah, T., Nurbaiti. 2017. Pengaruh NAA, BAP, dan
Kombinasinya pada Media MS terhadap Perkembangan Eksplan
Sansevierra macrophylla secara In Vitro. JOM Faperta 4 (1): 1-13
Nayakantha, N.MC., Singh, B.R., and Kumar A. 2010. Improved Culture Medium
for Micropropagation of Aloe vera L. Tropical Agricultural Research &
Extension 13(4): 2010.
Oktaviana, M.A., Riza, L. dan Mukarlina. 2015. Pertumbuhan Tunas Mahkota
Nanas (Ananas comosus (L.) Merr) Secara In Vitro Dengan Penambahan
Ekstrak Tomat (Solanum lycopersicum L.) dan Benzyl Amino Purin (BAP).
jurnal protoboint. vol. 4 , no. 3, hal. 109-112.
Roy, S.C. and Sarkar, A. 1991. In Vitro Regeneration and Micropropagation of
Aloe vera L. Scientia Horticulturae. 47: 107-113.
Saggoo MIS, Kaur R. 2010. Studies in North Indian Aloe vera: Callus Induction
Regeneration of Plantlets. Arch Appl Sci Res 2:241–5.
Sari, L. 2005. Optimalisasi Media untuk Jumlah Daun dan Multiplikasi Tunas
Lidah Buaya (Aloe vera) dengan Pemberian BAP dan Adenin. Jurnal
Biodiversitas. vol. 6, no. 3, hal: 178-180.
Smith, M. K., Drew, R. A. 1990. Current Application of Tissue Culture in Plant
Propagation and Improvement. Australian Journal of Plant Physiology 17:
267-289
Sumarno. 2002. Program Pengembangan lidah buaya di Indonesia. Pertemuan
Nasional Pengembangan Lidah Buaya, Pontianak 21-22 Juni 2002.
Pontianak: Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak Kalimantan Barat
Wahjono, E. dan Koesnandar. 2002. Mengebunkan Lidah Buaya secara Intensif.
Jakarta: AgroMedia Pustaka
Wetherel, D. F. 1982. Plant Tissue Culture Series. New Jersey: Avery Publishing
Group Inc.
Yusnita, 2003. Kultur Jaringan. Cara memperbanyak tanaman secara efisien.
Jakarta: AgroMedia Pustaka.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai