Anda di halaman 1dari 109

SINDROMA HORNER

Dr.Ratih Vierda Octaviani ,SpS,Msi.Med

Definition
Sindrom Horner (juga sindrom Horner, sindrom Bernard-Horner, Claude Bernard-Horner sindrom atau sebagai cerebral oculosympathetic) adalah kombinasi dari melorot dari kelopak mata (ptosis) dan penyempitan pupil (miosis), kadang-kadang disertai dengan penurunan berkeringat (anhidrosis) dari wajah pada sisi yang sama, kemerahan pada konjungtiva mata sering juga hadir. Enophthalmos jelas juga merupakan gejala yang sering. Ini mengindikasikan adanya masalah pada sistem saraf simpatik, bagian dari sistem saraf otonom.

Signs and symptoms


Tanda-tanda yang ditemukan pada pasien pada sisi yang terkena wajah termasuk ptosis parsial (melorot dari kelopak mata atas dari hilangnya persarafan simpatis ke otot tarsal superior, juga dikenal sebagai Mller otot [1]) ptosis terbalik (sedikit elevasi tutup lebih rendah) anhidrosis (menurun berkeringat pada sisi yang terkena wajah) miosis (pupil kecil) enophthalmos (kesan bahwa mata tenggelam dalam) hilangnya refleks ciliospinal konjungtiva merah, tergantung pada lokasi lesi. Kadang-kadang ada pembilasan pada sisi yang terkena dari wajah karena pelebaran pembuluh darah di bawah kulit. Refleks cahaya pupil itu dipertahankan karena ini dikendalikan melalui sistem saraf parasimpatis.

Causes
Skema menunjukkan persarafan simpatis dan parasimpatis dari murid dan situs lesi pada sindrom Horner. Sindrom Horner diperoleh sebagai akibat dari penyakit, tetapi juga mungkin kongenital (bawaan) atau iatrogenik (yang disebabkan oleh perawatan medis). Meskipun sebagian besar penyebab relatif jinak, sindrom Horner mungkin mencerminkan penyakit serius pada leher atau dada (seperti tumor Pancoast (tumor apeks paru-paru) atau thyrocervical dilatasi vena). Karena lesi atau kompresi satu sisi rantai simpatis servikal atau dada, yang menghasilkan gejala pada ipsilateral (sisi yang sama sebagai lesi) sisi tubuh. Sindrom meduler lateral Sakit kepala cluster - kombinasi disebut sakit kepala Horton

causes
Trauma - base of neck, usually blunt trauma, sometimes surgery. Middle ear infection Tumors - often bronchogenic carcinoma of the superior fissure (Pancoast tumor) on apex of lung Aortic aneurysm, thoracic Neurofibromatosis type 1 Goiter

Causes
Dissecting aortic aneurysm Thyroid carcinoma Multiple sclerosis Cervical rib traction on stellate ganglion Carotid artery dissection Klumpke paralysis Cavernous sinus thrombosis Sympathectomy Syringomyelia Nerve blocks, such as cervical plexus block, stellate ganglion or interscalene block As a complication of tube thoracostomy A Horner's syndrome may occur during a migraine attack and be relieved afterwards

Pathophysiology
Sindrom Horner adalah karena kekurangan aktivitas simpatis . Situs lesi ke aliran simpatis adalah di sisi ipsilateral gejala . Berikut ini adalah contoh dari kondisi yang menyebabkan munculnya klinis sindrom Horner : Gangguan neuron orde pertama : lesi Tengah yang melibatkan saluran hypothalamospinal ( misalnya lintang dari sumsum tulang belakang leher rahim) . Orde kedua gangguan neuron : lesi preganglionik ( misalnya kompresi rantai simpatis oleh tumor paru-paru ) . Ketiga -order gangguan neuron : lesi postganglionik di tingkat arteri karotis interna ( misalnya tumor di sinus kavernosa atau diseksi arteri karotis ) . Sindrom Horner parsial Dalam kasus gangguan ketiga neuron , anhidrosis terbatas pada bagian tengah dahi atau bisa absen , mengakibatkan sindrom Horner parsial . [3] Jika seseorang telah merugikan berkeringat di atas pinggang hanya mempengaruhi satu sisi tubuh , namun mereka tidak memiliki sindrom Horner klinis jelas , maka lesi tepat di bawah ganglion stellata dalam rantai simpatis .

CARPAL TUNNEL SYNDROME

Definition Carpal tunnel syndrome, yang paling umum neuropati perifer fokal, disebabkan oleh kompresi saraf median di pergelangan tangan.

epidemiology
Mempengaruhi sekitar 3 persen dari orang dewasa Amerika Tiga kali lebih umum pada wanita dibandingkan pada pria Prevalensi tinggi telah dilaporkan pada orang yang melakukan gerakan tertentu pergelangan tangan berulang (pengguna komputer sering) 30% parestesia tangan 10% kriteria klinis untuk sindrom carpal tunnel 3,5% studi konduksi saraf yang abnormal

Clinical Features
sakit kematian rasa kesemutan Gejala biasanya memburuk pada malam hari dan bisa membangkitkan pasien dari tidur. Untuk meringankan gejala, pasien sering "film" pergelangan tangan mereka seolah-olah memeras termometer (tanda film).

Clinical Features
Pain and paresthesias may radiate to the forearm, elbow, and shoulder. Decreased grip strength may result in loss of dexterity, and thenar muscle atrophy may develop if the syndrome is severe.

Atrophy

Physical examination
Phalens maneuver Tinels sign weak thumb abduction. two-point discrimination

Phalens maneuver

Tinels sign

Diagnostic
History Physical examination Nerve Conduction Study

Differential Diagnostics
Tendonitis Tenosynovitis Diabetic neuropathy Kienbock's disease Compression of the Median nerve at the elbow

Treatment
CONSERVATIVE TREATMENTS
GENERAL MEASURES WRIST SPLINTS ORAL MEDICATIONS LOCAL INJECTION ULTRASOUND THERAPY Predicting the Outcome of Conservative Treatment

SURGERY

GENERAL MEASURES
Avoid repetitive wrist and hand motions that may exacerbate symptoms or make symptom relief difficult to achieve. Not use vibratory tools Ergonomic measures to relieve symptoms depending on the motion that needs to be minimized

WRIST SPLINTS
Probably most effective when it is applied within three months of the onset of symptoms Optimal splinting regimen ?

WRIST SPLINTS

ORAL MEDICATIONS
Diuretics Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) pyridoxine (vitamin B6) Orally administered corticosteroids
Prednisolone 20 mg per day for two weeks followed by 10 mg per day for two weeks

LOCAL INJECTION

LOCAL INJECTION

LOCAL INJECTION
Splinting is generally recommended after local corticosteroid injection. If the first injection is successful, a repeat injection can be considered after a few months Surgery should be considered if a patient needs more than two injections

ULTRASOUND THERAPY
May be beneficial in the long term management More studies are needed to confirm its usefulness

SURGERY
Should be considered in patients with symptoms that do not respond to conservative measures and in patients with severe nerve entrapment as evidenced by nerve conduction studies,thenar atrophy, or motor weakness. It is important to note that surgery may be effective even if a patient has normal nerve conduction studies

SURGERY

Complications of surgery Injury to the palmar cutaneous or recurrent motor branch of the median nerve Hypertrophic scarring laceration of the superficial palmar arch tendon adhesion Postoperative infection Hematoma arterial injury stiffness

SURGERY

Conclusion
Most common focal peripheral neuropathy Pain and paresthesias in the distribution of the median nerve are the classic symptoms. While Tinels sign and a positive Phalens maneuver are classic clinical signs of the syndrome, hypalgesia and weak thumb abduction are more predictive of abnormal nerve conduction studies.

Conclusion
Conservative treatment options include splinting the wrist in a neutral position and ultrasound therapy Orally administered corticosteroids can be effective for short-term management (two to four weeks), but local corticosteroid injections may improve symptoms for a longer period. If symptoms are refractory to conservative measures or if nerve conduction studies show severe entrapment, open or endoscopic carpal tunnel release may be necessary.

MYASTHENIA GRAVIS

DEFINISI MIASTENIA GRAVIS


Miastenia gravis : suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction

PATOFISIOLOGI
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.

PATOFISIOLOGI
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis

GEJALA KLINIS
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain : 1. Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis 2. Ptosis 3. Pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis 4. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.

Gambar 1. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular (ptosis).

GEJALA KLINIK
5. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk menyebar mulai dari otot okular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas. 6. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. 7. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. 8. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. 9. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

DIAGNOSIS
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut : 1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. 2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain : 1. Uji Tensilon (edrophonium chloride) Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.

2. Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. 3. Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.

Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti


Pemeriksaan Laboratorium Anti-asetilkolin reseptor antibodi Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. Antistriated muscle (anti-SM) antibody Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab. Antistriational antibodies Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.

Pemeriksaan Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.

CT Scan Dada MRI


MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

EMG
1.Repetitive Nerve Stimulation (RNS) 2. Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain: Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain :
Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika) Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii Paralisis pasca difteri Pseudoptosis pada trachoma

Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis multipleks. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome) Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar.

TERAPI
Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut 1. Plasma Exchange (PE)7 2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)7 Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama

3. Intravenous Methylprednisolone (IVMp)7 IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.

Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang


Obat-obatan Anticholinesterase Kedua obat yang telah memberikan hasil terbaik dalam memperbaiki kelemahan myasthenik adalah neostigmine (Prostigmin) dan pyridostigmine (Mestinon), yang terakhir ini lebih disukai oleh kebanyakan dokter dan pasien. Dosis biasa pyridostigmine adalah 30-90 mg diberikan setiap 6 jam (biasanya pil 60 mg pertama dicoba); dosis oral neostigmine berkisar 7,5-45 mg diberikan setiap 2-6 jam. Bentuk delayed-action kedua obat telah tersedia tetapi diberikan pada waktu tidur terutama untuk pasien yang mengeluh kelemahan pada malam hari atau pagi hari.

Dosis obat-obatan dan frekuensi pemberian bervariasi dari satu pasien ke pasien lain, tapi menurut Drachman bahwa maximal dosis berguna pyridostigmine jarang melebihi 120 mg yang diberikan setiap 3 jam. Dosis-setara dari berbagai obat ditampilkan dalam tabel di bawah ini.

Dose Equivalent

Onset

Time to Maximum Response

1.Pyridostigmine (Mestinon) 2.Neostigmine oral (Prostigmin) 3.Neostigmine IM 4.Neostigmine IV

60 mg (oral) 15 mg 1.5 mg 0.5 mg

40 min 1h 30 min immediate

1h 1.5 h 1h 20 min

Kortikosteroid Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya.

Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.

TujuaThymectomy (Surgical Care) n utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien13.

NEUROPATI

Pengertian
Proses patologi yang mengenai susunan saraf perifer, berupa proses demielinisasi atau degenerasi aksonal atau kedua-duanya. Susunan saraf perifer mencakup saraf otak, saraf spinal dengan akar saraf serta cabangcabangnya, saraf tepid an bagian-bagian tepi dari susunan saraf otonom.

Etiologi
Metabolik Neuropati diabetik: - Polineuropati : komplikasi diabetes mellitus yang paling sering terjadi gejala & tanda: - gangguan motorik tungkai lebih sering terkena daripada tangan - gangguan sensorik kaos kaki dan sarung tangan berupa gangguan rasa nyeri & suhu, vibrasi serta posisi - Otonom neuropati : Gejala & tanda : keringat berkurang, hipotensi ortostatik, nocturnal diare, inkontinensi alvi, konstipasi, inkontinensi & retensio urin, gastroparesis dan impotensi - Mononeuropati: Gejala & tanda: terutama mengenai nervi kranialis (terutama nervi untuk pergerakan bola mata) dan saraf tepi besar dengan gejala nyeri.

* Polineuropati uremikum: Terjadi pada pasien uremia kronis (gagal ginjal kronis) Gejala & tanda: - gangguan sensorimotor simetris pada tungkai & tangan Rasa gatal, geli & rasa merayap pada tungkai dan paha memberat pada malam hari, membaik bila kaki digerakkan (restless leg syndrome) Nutrisional * Polineuropati defisiensi: 1. Piridoksin : pada penggunaan Izoniazid (INH) Gejala & tanda : neuropati sensorimotor dan neuropati optika 2. Asam folat : sering pada penggunaan fenintoin & intake asam folat yang kurang 3. Niasin : pada pasien defisiensi multiple * Polineuropati alkoholik : Neuropati karena defisiensi multivitamin dan thiamin Gejala & tanda: gangguan sensorimotor simetris terutama tungkai, tahap lanjut mengenai tangan

Toksik: * Arsenik: keracunan arsen secara kronik (akumulasi kronik) Gejala & tanda : - gangguan sensoris berupa nyeri & gangguan motorik yang berkembang lambat - gangguan GIT mendahului gangguan neuropati oleh karena intake arsen * Merkuri: Gejala & tanda: menyerupai keracunan arsen Drug induced * Obat antineoplasma: (Cisplastin, Carboplastin, Vincristin) Gejala & tanda: Banyak sebagai gangguan sensorik polineuropati setelah beberapa minggu terapi seperti parestesia Gangguan proprioseptif, vibrasi sering terganggu sampai mengenai kolum posterior Gangguan motorik terutama tungkai bawah * Antimikrobal: - INH: simetrikal polineuropati - Kloramfenikol & Metronidazole: Gangguan sensoris ringan/akral parestesia, kadang optic neuropati

Keganasan / paraneoplastic polyneuropathy Gejala & tanda: Banyak dalam bentuk distal simetrikal sensorimotor polineuropati akibat remote effect keganasan seperti : myeloma multiple, limfoma Gejala motorik seperti ataksia, atrofi tingkat lanjut kelumpuhan Trauma: neuropati jebakan

Diagnosis Banding
Miopati Motor Neuron Disease Multiple Sklerosis

Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang


Klinis : - gangguan sensorik: parestesia, nyeri, terbakar, penurunan rasa raba, vibrasi dan posisi. - gangguan motorik: kelemahan otot-otot - reflek tendon menurun - fasikulasi Laboratorium: - Gula darah puasa, fungsi ginjal, kadar vitamin B1, B6, B12 darah, kadar logam berat, fungsi hormon tiroid - Lumbal pungsi: sesuai indikasi Gold standard: - ENMG: degenerasi aksonal & demielinisasi - Biopsi saraf

Penatalaksanaan
Terapi kausa Simptomatis: analgetik, antileptik Neurotropik vitamin: B1, B6, B12, asam folat Fisioterapi Penyulit Penyakit dasar: progresifitas & komplikasinya Perawatan & fisioterapi yang kurang cermat menimbulkan: atrofi, dekubitus, infeksi saluran kencing dan kontraktur

SINDROMA GUILLAIN BARRE

Pengertian
Suatu kelainan sistem saraf tepi subakut dan difus yang awalnya mengenai nervi radiks spinalis, dan kadang kadang juga mengenai saraf kranialis umumnya timbul setelah suatu infeksi

Kriteria diagnosis
Gambaran yang harus ada untuk menegakkan diagnosis Kelemahan progresif asenden, baik lengan maupun tungkai Arefleks / hiporefleksi Gambaran yang sangat mendukung diagnosis Perkembangan gejala lebih dari 4 hari Gejala relatif simetris Gejala atau tanda sensorik yang ringan

Kriteria Diagnosis
Keterlibatan saraf kranial, terutama diplegia wajah Kesembuhan dimulai 2 sampai 4 minggu setelah akhir perkembangan gejala Disfungsi otonom Tidak ada demam saat onset Gambaran yang meragukan diagnosis Gangguan sensorikyang jelas levelnya Gejala atau tanda asimetris yang menetap Disfungsi miksi dan defekasi yang parah dan persisten

Diagnosis Banding Botulisme,neuropati akibat keracunan logam berat, paralysis periodic, polimiosistis akut, tick paralisis, miastenia gravis, infeksi HIV, porfira intermitten akut

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan LCS : Peningkatan protein serebrospinal dengan jumlah sel kurang dari 10 sel per mm3 CT atau MRI bila diindikasikan untuk mengeksklusi diagnosa lain seperti myelopati

Penatalaksanaan
Tidak ada drug of choice Waspadai memburuknya perjalanan klinis dan gangguan pernafasan (gagal napas ) Bila ada ancaman gagal napas rawat di ICU Kortikosteroid masih kontroversial, bila terjadi paralisis otot berat maka perlu kortikosteroid dosis tinggi Roboransia saraf parenteral Perlu NGT bila kesulitan menelan Imunoglobulin intravena (expert consensus) Dosis : 0,4 gr/kgBB/ tiap hari untuk 5 hari berturut-turut

NEUROFIBROMATOSIS TYPE 1

What is Neurofibromatosis?
Neurofibromatosis type I (NF1) is caused by mutation in the neurofibromin gene

AKA von Recklinghausen disease , Watson disease


An autosomal dominant neurogenetic disorder Characterized by the presence of multiple benign neurofibromas Affects the bone, the nervous system, soft tissue, and the skin Clinical symptoms increase over time Neurologic problems and malignancy may develop

Neurofibromatosis-1
NF-1 occurs in approximately 1 of 2500-3300 live births This disease can involve various body systems over time Signs can range from benign cutaneous manifestations to extreme disfigurement The mortality rate is higher than that of the healthy population because of the increased potential for malignant transformation of diseased tissues and the development of neurofibrosarcoma Patients with NF-1 have about a 3-15% additional risk of malignant disease in their lifetime All racial groups are affected equally Women and men are affected equally

Genotype/Phenotypeect
Increased concentrations of nerve growth stimulating activity have been linked with the development of neurofibromatosis NF-1 is a disorder with variable phenotypic expression Some patients may mainly have cutaneous expression, and others may have lifethreatening or sever disfigurement The variation of this disease is even shown within families The spontaneous mutation rate is 100 times greater than for many genes, and it is thought to contribute to approximately 30-50% of neurofibromatosis cases.

A genotype- phenotype analysis suggests that there is no clear relationship between specific NF1 mutations and clinical features of Neurofibromatosis type 1.

Diagnostic criteria for NF-1


(The diagnostic criteria are met if 2 or more of the features listed are present.)
Six or more caf au lait macules larger than 5 mm in greatest diameter in prepubertal individuals and those larger than 15 mm in greatest diameter in postpubertal individuals Two or more neurofibromas of any type or 1 plexiform neurofibroma Freckling in the axillary or inguinal regions Optic glioma Two or more Lisch nodules (iris hamartomas) A distinctive osseous lesion, such as sphenoid dysplasia or thinning of the long bone cortex, with or without pseudoarthrosis A first-degree relative with NF-1 according to the above criteria

More Clinical Features of NF-1


Scoliosis Pseudarthrosis of the tibia Pheochromocytoma Meningioma Glioma Acoustic neuroma Optic neuroma Mental retardation Hypertension Hypoglycemia Fibromas in Iris Glaucoma - rare

Neurofibromas
Most common benign tumor of NF-1 These tumors are made yp ofof Schwann cells, fibroblasts, mast cells, and vascular components They can form at any place along a nerve Three subtypes of neurofibroma exist: cutaneous, subcutaneous, and plexiform

Cutaneous lesions and subcutaneous lesions are circumscribed. These nodules may be brown, pink, or skin colored. They may be soft or firm to the touch
Plexiform neurofibromas are noncircumscribed, thick, and irregular, and they can cause disfigurement by entwining important supportive structures Cellular loss of wild type NF1 allele is associated with neurofibromas

Protein Function/Biochemistry
Neurofibromin is a cytoplasmic protein that is expressed in neurons, Schwann cells, oligodendrocytes, astrocytes and leukocytes It is encoded by the gene NF1 It is located on chromosome 17, at the band q11.2 It has several biochemical functions, including association to microtubules and participation in several signaling pathways Alterations in the protein are responsible for a phacomatosis named neurofibromatosis type 1 Neurofibromin has a guanosine triphosphatase (GTPase) region that binds to Ras and positively modulates conversion of guanosine triphosphate (GTP) to guanosine diphosphate (GDP) The protein is necessary for the negative regulation of Ras protein signal; telling us that neurofibromin acts as a tumor suppressor Needed for the negative regulation through the cell cycle

3-D Visualization

Ball and Stick

Analysis of mutations
Many different mutations in the neurofibromatosis gene have been described.

In 95% of NF1 individuals, a mutation is found in the NF1 gene


5% of the patients, the germline mutation consists of a microdeletion that includes the NF1 gene and several other genes 45 mutations within the NF1 gene are associated with neurofibromatosis type 1 Mutations are found in exon 2 Mutations in this exon involves an insertion of cytosine into codon 5662 and resulted in an early stop codon.

Another mutation in exon 2 is from the insertion of the amino acid thymidine at nucleotide 5678, which also creates an early stop codon.
Mutations in NF1 can also lead to juvenile myelomonocytic leukemia

Ratih Vierda Octaviani FAKULTAS KEDOKTERAN UNIMUS SEMARANG

DEFINISI
Duchenne muscular distrofi (DMD) pertama kali dideskripsikan oleh ahli saraf Perancis Guillaume Benjamin Amand Duchenne pada 1860-an. Duchenne muscular distrofi (DMD) adalah bentuk progresif cepat distrofi otot yang terjadi terutama pada anak laki-laki. Duchenne muscular dystrophy (DMD) bersifat herediter, dan mengenai anak laki-laki. Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-laki.

ETIOLOGI
Duchenne muscular dystrophy (DMD), diwariskan dengan pola terkait X resesif, yang berarti bahwa gen yang bermutasi yang menyebabkan penyakit ini terletak pada kromosom X, dan oleh karenanya terkait seks. Pada pria oleh karenanya terkena penyakit terkait X resesif jauh lebih sering dibandingkan wanita

PATOFISIOLOGI
Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier. Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X, lokus Xp21.22-4 yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin.

Perubahan patologi pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan bukan disebabkan oleh penyakit sekunder akibat kelainan sistem saraf pusat atau saraf perifer.

Patofisiologi
Distrofin merupakan protein yang sangat panjang dengan berat molekul 427 kDa dan terdiri dari 3685 asam amino. Penyebab utama proses degeneratif pada DMD kebanyakan akibat delesi pada segmen gen yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin pada membran sel otot, sehingga menyebabkan ketiadaan protein tersebut dalam jaringan otot. Hoffman et al menjelaskan bahwa kelainan protein distrofin merupakan penyebab utama DMD.

GEJALA
Gejala yang paling sering adalah kelemahan otot : - sering jatuh - gangguan berjalan - kelopak mata yang jartuh - kelainan rangka dan otot. Pemeriksaan neurologis : hilangnya jaringan otot (wasting), kontraktur otot, pseudohipertrofi dan kelemahan.

Gejala
kelemahan otot yang progresif, bahkan dapat terjadi kehilangan masa otot, gangguan keseimbangan, mudah merasa lelah. Gangguan neuromuskuler yang progresif yaitu: Kelemahan otot yang mempengaruhi postur, berjalan dan berlari, biasanya terlihatdi umur 2-3 tahun Daerah yang pertama terkena, biasanya terutama daerah otot-otot pinggul, paha, bahu, dan otot betis.

PEMERIKSAAN
Tes yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis DMD adalah sebagai berikut : Positif Gower Sign, menunjukkan banyaknya kerusakan yang lebih pada otot- otot di ekstremitas bawah. Creatin Kinase ( CPK MM ) , dimana kadar keratin kinase padaaliran darah tinggi. EMG (electromyography) menunjukkan kelemahan yang disebabkan oleh kerusakan pada jaringan otot dibandingkan pada sel sarafnya. Genetic Testing, dapat menampilkan bahwa kerusakan genetik pada gen Xp21. Biopsy otot (imunohistokimia atau imunobloting), atau bisa juga pemeriksaan genetik dengan tes darah untuk mengkonfirmasi keberadaan distrofin.

PENATALAKSANAAN
Pemberian kortikosteroid, seperti prednisolon pada pasien DMD dapat mempertahankan fungsi dan kekuatan otot, serta memperlambat proses degenerasi penyakit. Mekanisme kortikosteroid dalam memperlambat proses degenerasi otot masih belum jelas. Efek samping pemberian kortikosteroid adalah peningkatan berat badan, retardasi pertumbuhan, hirsutisme dan osteoporosis.

Pada pasien tersebut tidak diberikan kortikosteroid karena sudah terjadi proses degenerasi otot-otot skeletal yang berat serta mempertimbangkan adanya efek samping pemakaian kortikosteroid.

Penatalaksanaan
Latihan fisik berupa fisioterapi dan pemakaian alat bantu dapat diberikan. Untuk mencegah kontraktur plantar fleksi yang berpengaruh pada keseimbangan dan cara berjalan, dapat diberikan latihan stretching heel-cord dan pemakaian ankle foot orthosis (AFO) pada waktu malam. Tetapi pemakaian alat ortosis atau stretching tidak dapat mencegah terjadinya kontraktur. Ketika kontraktur tendo achilles bertambah berat dan mempengaruhi ambulasi, maka dapat dilakukan lengthening tendon achilles.

Komplikasi
Pada pasien DMD biasanya terdapat hipotonia saluran cerna, yang menyebabkan pengosongan lambung menjadi sulit sehingga memerlukan pemasangan nasogastric tube untuk aspirasi cairan lambung.

Dengan berjalannya waktu, maka proses degenerasi otot skeletal terus berlangsung, sehingga pasien akan mengalami masalah multisistem. Fungsi paru akan terus memburuk setelah fusi spinal karena proses distrofi progresif otot pernafasan, termasuk otot diafragma.

Prognosis
Selain itu dapat terjadi gangguan fungsi jantung. Dalam hal ini latihan respirasi tidak memberikan keuntungan yang berarti. Bantuan ventilasi dengan menggunakan nasal mask pada malam hari dengan end-expiratory pressure akan membantu mencegah pneumonia dan dekompensasi pulmonal. Tanpa dukungan ventilator, pasien biasanya meninggal dalam usia 20 tahun

Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai