Anda di halaman 1dari 29

Diversitas Pengelolaan Konservasi Berbasis Komunitas pada KPPH Sumber Agung, Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman,

Kota Bandar Lampung Oleh Dwiditya Pamungkas dan Muki Trenggono Wicaksono

Abstraksi Proses konservasi berbasis komunitas bukanlah ulasan yang baru dalam kajian antropologi ekologi. Kekurangan analisis proses konservasi selama ini hanya berfokus bagaimana komunitas menerapkan nilai homogenitas yang terdapat di kelompoknya sebagai pedoman pengelolaan sumber daya dan kawasan konservasi. Mengacu pada Shoreman (2006) yang mengatakan bahwa tidak ada satu pun model konservasi yang berlaku secara universal, dan Gibson dan Koontz (1998) yang berpendapat pentingnya memahami institusi di dalam komunitas dalam mengkonstruksi nilai pedoman konservasi, kami melihat kasus KPPH Sumber Agung menjadi contoh menarik untuk memahami proses konservasi berbasis komunitas di wilayah Indonesia. Meskipun terdapat keragaman cara pengelolaan konservasi dalam mengartikan aturan yang dibuat oleh pemerintah, KPPH Sumber Agung mampu mempertahankan posisinya sebagai pengelola kawasan Tahura Wan Abdul Rahman secara mandiri. Kami melihat dua substansi penting yakni relasi kekerabatan di dalam KPPH Sumber Agung dan sistem Ganti Rugi Tanam Tumbuh yang dijalankan menjadi mekanisme yang mempertahankan kelompok untuk tetap berperan di dalam proses konservasi. Pada sisi lain keberadaan kelompok juga terus mengalami ancaman dari pandangan konservatif yang mendikotomis peran masyarakat lokal di dalam proses konservasi. Kata Kunci: Kekerabatan, Konservasi berbasis komunitas, Trust

Pendahuluan Diversitas Konservasi Berbasis Komunitas pada KPPH Sumber Agung, Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman, Kota Bandar Lampung merupakan sebuah tulisan yang mengangkat pentingnya arus informasi dalam kegiatan manajemen konservasi berbasis komunitas di Kelompok Gabungan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (KPPH) Sumber Agung. Fokus kami terhadap bentuk arus informasi pada Gabungan KPPH Sumber Agung, Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung karena meskipun secara legitimasi peraturan KPPH Sumber Agung diterapkan aturan pengelolaan sumber daya hutan oleh pemerintah, tetapi pada kenyataannya anggota KPPH Sumber Agung mengintepretasi kegiatan konservasi dengan cara yang berbeda-beda. Keberadaan arus informasi tersebut bukan hanya diperuntukkan mempertahankan nilai aturan-aturan KPPH Sumber Agung, tapi juga didukung oleh bentuk kepercayaan (trust) yang berdasarkan ikatan kekerabatan dan identitas ke-Sumber Agung-an. Keragaman dalam menafsirkan informasi aturan HKm dari pemerintah, setidaknya memberikan pemahaman baru bahwa sebenarnya tidak ada satu formula model konservasi yang berlaku secara universal (Shoreman, 2009: 105). Relasi masyarakat dengan kawasan hutan bukan menjadi sebuah kajian baru dalam studi antropologi. Eleanor E. Shoreman (2009) yang melihat bagaimana proses dan aturan konservasi dari pemerintah lokal di Delta Mississippi menjadi bentuk permainan keberlanjutan politic of unsustainability dan Virginia D. Nazarea (2006) yang mengangkat ulasan peran pengetahuan lokal dan ingatan (memory) masyarakat setempat terhadap proses biodiversitas konservasi memperlihatkan bahwa kajian antropologi ekologi menjadi ulasan menarik dalam memahami proses perubahan pada relasi manusia dengan lingkungan. Kehadiran hutan pada masyarakat Kelurahan Sumber Agung menjadi sisi tersendiri yang memperlihatkan manusia masih sangat tergantung dengan lingkungannya dengan memanfaatkan sumber daya alam. Proses pengelolaan sumber daya alam tersebut juga diiringi dengan ragamnya cara pengelolaan lahan hutan dilihat dari berbagai variasi produksi hutan di Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman. Keragaman cara pengelolaan tanaman di Tahura Wan Abdul Rachman pada KPPH Sumber Agung mampu menjadi fokus penjelasan menarik khususnya dalam memahami bagaimana manajemen konservasi berbasis masyarakat diterapkan pada KPPH Sumber Agung.

Perubahan status pada landscape hutan di Kelurahan Sumber Agung dari statusnya Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi Tahura Wan Abdul Rachman memberikan implikasi secara legitimasi hukum bahwa keberadaan pengelolaan sumber daya oleh masyarakat di dalam kawasan konservasi sebenarnya tidak diperbolehkan. 1 Meskipun secara legitimasi perubahan status menjadi Tahura memberikan pengaturan konservasi yang non-partisipatoris bagi masyarakat, ternyata masyarakat Sumber Agung tetap mampu bertahan untuk mengelola kebun garapannya dengan di bawah pengelolaan tujuh kelompok di KPPH Sumber Agung. Hal tersebut dapat terjadi karena terdapat praktik negosiasi antara pemerintah dan masyarakat, pada sisi lain masyarakat berusaha meyakinkan Dinas Kehutanan dengan mempertahankan nilai-nilai aturan 2 yang diterapkan ketika HKm masih berlaku. Namun keragaman pada pengelolaan kawasan dengan model konservasi berbasis komunitas terkadang juga masih dipandang secara otoritatif oleh pemerintah dengan menghomogenisasikan kondisi KPPH melalui aturan-aturan seperti (1) pemberian pola tanam tajuk tinggi, tajuk sedang, dan tajuk rendah;3 (2) penerapan aturan secara infleksibel terhadap semua pelanggar penebangan kayu tanpa melihat motif tindakannya; dan (3) pandangan kontra terhadap sistem Ganti Rugi yang sering diterapkan oleh masyarakat. Padahal keberadaan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai landscape ekologis memiliki keragaman cara pengelolaan yang dilakukan tujuh kelompok KPPH di Kelompok Gabungan KPPH Sumber Agung. Pada sisi lain proses konservasi juga tidak tertutup dari keberadaan pemerintah, yang menempatkan KPPH Sumber Agung sebagai partner dalam menjalankan proses konservasi di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman. Melihat kondisi tumpang tindih antara aturan pemerintah dan aturan informal dalam masyarakat, kami tertarik untuk memetakan pemahaman masyarakat Sumber Agung dalam mengelola dan menjaga kawasan konservasi. Kegiatan konservasi yang dilakukan di Kelurahan Sumber Agung dengan menerapkan peran masyarakat sebagai penggelola sumber daya hutan sekaligus pelestari kawasan konservasi menjadi satu contoh bagaimana manajemen konservasi berbasis masyarakat diterapkan. Menariknya pengelolaan tersebut dilakukan dengan cara yang
1

Lihat http://www.dephut.go.id/files/pp28_11_0.pdf.

Setidaknya terdapat aturan tiga aturan yang disepakati oleh KPPH Sumber Agung dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Kota Bandar Lampung: (1) masyarakat diharuskan menanam tanaman keras dengan cara penanaman pola tajuk; (2) masyarakat tidak diperkenankan mengalihkan hak pengelolaannya kepada orang lain; (3) masyarakat dilarang menebang pohon apapun pada kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
3

berbeda-beda dalam mengintepretasi aturan yang disepakati oleh KPPH Sumber Agung dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kotamadya Bandar Lampung. Pada sisi lain perubahan status dari HKm menjadi Tahura Wan Abdul Rachman memberikan pengaruh besar dengan masuknya beberapa pihak untuk membuat pusat penangkaran vegetasi di areal KPPH Sumber Agung. Pada kondisi demikian, pertanyaan terpenting adalah bagaimana keberadaan KPPH Sumber Agung mampu bertahan hingga kondisi saat ini, meskipun status areal telah berubah menjadi Tahura Wan Abdul Rachman? Kami mengangkat pengelolaan kelompok gabungan KPPH Sumber Agung dengan berfokus pada variasi model pengelolaan di setiap KPPH, yang kemudian akan memberikan cara tersendiri untuk memahami bagaimana masyarakat Sumber Agung memaknai kegiatan konservasi. Keberadaan kelompok gabungan KPPH Sumber Agung yang bergerak secara struktural dari dukungan tujuh kelompok di bawahnya juga menjadi bagian dari ulasan kami khususnya untuk memahami bagaimana kelompok menguatkan perannya dalam kegiatan konservasi di Tahura Wan Abdul Rachman. Maka pada tulisan ini kami memfokuskan pada dua pertanyaan besar yakni: (1) Bagaimana variasi pengambilan keputusan pada masing-masing kelompok dalam KPPH Sumber Agung mampu diterapkan dalam menjalankan aturan pengelolaan konservasi?; (2) bagaimana dengan perbedaan mengintepretasi aturan tersebut kelompok gabungan KPPH Sumber Agung masih tetap bertahan meskipun dalam status Tahura Wan Abdul Rachman? Secara garis besar tulisan ini dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama adalah Memahami Konservasi Berbasis Komunitas memberikan pemahaman bahwa dalam memahami proses konservasi tersebut hal terpenting bukanlah pada nilai homogenitas yang dimiliki oleh komunitas, melainkan bagaimana komunitas menjaga dan membentuk aturan-aturan untuk tetap bertahan di dalam areal konservasi sebagai pengelola konservasi secara mandiri. Kedua adalah Proses Pembentukan KPPH Sumber Agung. Pada bagian ini kami akan menjelaskan analisis secara diakronis diperlukan dalam memahami perubahan pada KPPH Sumber Agung, bagaimana keberadaan kondisi kelompok saat ini tidak terlepas juga dari proses pembentukan di masa lampau. Ketiga adalah Keragaman dalam memaknai aturan: refleksi model konservasi KPPH Sumber Agung. Pada bagian terakhir ini, kami akan menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada model konservasi yang berlaku secara universal dan dapat diterapkan di dalam semua

konteks komunitas. Keragaman dalam mengintepretasi aturan di KPPH Sumber Agung akan memperlihatkan bagaimana kelompok membentuk dan menjaga nilai yang dikonstruksikan di antara anggota dan tujuh kelompok di KPPH Sumber Agung.

Memahami Konservasi Berbasis Komunitas Kegiatan konservasi berbasis komunitas (community based conservation) bukanlah menjadi ulasan baru dalam kajian lingkungan. Secara prinsipnya Schmink (1999 dalam Mugisha, 2002: 7) mengindikatorkan konservasi berbasis komunitas seharusnya melihat pada pencapaian keadilan sosial sebagai strategi, melalui partisipasi komunitas. Ia membedakan konservasi berbasis komunitas dari bentuk proyek pembangunan yang ditekankan pada penggunaan sumber daya dan menganggap baik komunitas maupun pada lingkungannya. Sedangkan tokoh lain, Murphree (1996) menekankan pada definisi konservasi berbasis komunitas dari perspektif penduduknya. Ia mendefinisikan penduduk/ para pemegang kepentingan di Afrika, baik itu petani skala kecil dengan hak pemanfaatan sumber daya pada pengelolaan alam. Sependapat dengan Murphree, Tsing et al (1999 dalam Twyman, 2000: 323) berpendapat program pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas didasari pada premis populasi lokal mempunyai keinginan besar dalam penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan disekitar mereka daripada lebih disentralisasi dari pemerintah atau institusi pengelolaan swasta. Manajemen konservasi berbasis komunitas tidak dipungkiri masih mengalami beberapa persoalan khususnya ketika dihadapkan pada model konservasi yang konservatif menempatkan areal proteksi konservasi secara terpisah dengan penduduk lokal yang bermukim. Pada dasarnya model konservasi tersebut lebih memfokuskan terhadap pelestarian biodiversitas yang ada di areal konservasi. Namun, Virginia D. Nazarea (2006: 319) pada tulisannya Local Knowledge and Memory in Biodiversity Conservation memperlihatkan pada Konvensi Keanekaragaman Biologis (Convention on Biological Diversity/ CBD) di Rio Earth Summit, 1992 masih memiliki beberapa kekurangan di mana CBD sendiri cenderung sulit untuk menolak tantangan konservasi biodiversitas dan peran penting pengetahuan lokal dan pengawas lokal dalam menjaga keanekaragaman hayati. Bentuk pengelolaan secara partisipatoris dalam manajemen konservasi

berbasis lingkungan setidaknya mampu menjadi cara dalam menyediakan akses masyarakat lokal terhadap kawasan konservasi. Menempatkan komunitas sebagai pengelola kegiatan konservasi tidak serta merta menyelesaikan masalah secara langsung. Clark C. Gibson and Tomas Koontz (1998: 625-626) dalam tulisannya When "Community" Is Not Enough: Institutions and Values in CommunityBased ForestManagement in Southern Indiana memperlihatkan setidaknya ada tiga kekurangan di dalam pendekatan analisis konservasi yang menempatkan nilai homogenitas pada komunitas sebagai pusat perhatiannya. Pertama adalah ketika peneliti rela untuk menempatkan beban penjelasan pada nilai homogenitas, beberapa berupaya untuk mengeluti dalam kesulitan mengkonseptualisasikan. Implikasi yang paling terlihat adalah bagaimana anggota komunitas membagi nilai tersebut. Namun, banyak studi jarang mengidentifikasi apa nilai yang disebarkan tersebut. Masalah kedua pada pandangan ini adalah jika nilai dan homogenitas menjadi pusat penjelasan, relasi komunitas pada hasil kolektif harus dieksplorasi lebih detail. Terakhir adalah sentral pada studi, adalah pada memproses nilai dan nilai homogenitas sebagai faktor luar yang mengesampingkan bagaimana komunitas dapat 'mengelola' nilainya. Nilai merupakan pemberian yang tidak statis, tapi dapat berfluktuasi antar individu, waktu, dan ruang - meskipun kecilnya ruang pada satu daerah komunitas. Menurut Clark C. Gibson and Tomas Koontz (1998: 627) pada kondisi ini antropolog dapat memainkan peran dalam memahami bagaimana praktik lokal menolong untuk mempertahankan nilai-nilai di dalam komunitas. Mengamini pendapat Gibson dan Koontz (1998: 629) dengan melihat bagaimana dan dengan cara apa komunitas pada satu areal konservasi mengkonstruksikan kelembagaan (baca: institusi) untuk mempertahankan nilai dan bagaimana aktivitasnya berdampak pada sumber daya alam, kami berusaha memahami bagaimana KPPH Sumber Agung sebagai sebuah komunitas dengan tujuh kelompok di bawahnya mampu mempertahankan perannya dalam pengelolaan sumber daya alam di areal kawasan konservasi Tahura Wan Abdul Rahman. Dalam memahami pengelolaan KPPH Sumber Agung analisis diakronis dengan menempatkan pemikiran Franz Boas menjadi pilihan kami dalam memahami sejarah pembentukan KPPH Sumber Agung. Pada pendekatan Boas yang disebut partikularisme historis memperlihatkan bahwa historis karena kondisi saat ini dapat dijelaskan dalam kondisi di masa lampau dan partikular karena ia melihat bahwa sejarah setiap kebudayaan menjadi keunikan tersendiri His approach to anthropology has been called historical particularism historical

because he described the present in terms of the past and particular because he considered the history of each culture to be unique. (Eriksen dan Murphy, 2000: 75). Keunikan ketika berfokus pada analisis diakronis adalah kami dapat memahami perubahan yang terjadi di dalam KPPH Sumber Agung. Melalui wawancara dengan informan kunci yang memahami historis kehadiran penggarap di kawasan Tahura Wan Abdul Rahman dan proses pembentukan KPPH Sumber Agung, mengacu pada Maurice Halbwachs (1950, dalam Nazarea , 2006: 326) dalam La Memiore Collective memori merupakan sosial, kolektif, dan menghuni. Orang yang memperoleh atau mengkonstruksikan memori bukan sebagai individu yang terisolasi melainkan sebagai anggota masyarakat (Nazarea, 2006: 326).

Proses Pengumpulan Data Tulisan ini disusun berdasarkan penelitian lapangan selama tujuh hari di Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Kotamadya Bandar Lampung. Proses penelitian lapangan yang dilakukan pada tanggal 1 hingga 7 September 2012 memberikan kesempatan kami untuk menghimpun data-data primer seperti wawancara dan hasil pengamatan dari teknik observasi partisipatoris dengan mengikuti kegiatan para petani penggarap di KPPH Sumber Agung dan data sekunder seperti peta. Data dari hasil wawancara kami dapatkan dengan melakukan wawancara mendalam (in depth interview) bersama informan kunci yang terdiri dari Ketua KPPH Umbul Kadu, KPPH Pemancar, KPPH Sukawera, KPPH Mata Air, KPPH Tanjung Manis, KPPH Cirate, dan KPPH Pangpangan, Ketua Gabungan KPPH Sumber Agung, mantan Ketua Gabungan KPPH Sumber Agung, serta tokoh masyarakat yang cukup dipandang dan memiliki pemahaman sejarah penggarap di Kelurahan Sumber Agung. Teknik observasi partisipatoris kami lakukan dengan terus terlibat pada kegiatan berkebun para petani penggarap yang biasanya dilakukan setiap pagi hari, selain itu juga dengan bergabung di tengah perbincangan antar petani penggarap tidak menutup kemungkinan mampu menjadi cara memperoleh data yang cukup efektif. Pengumpulan data dokumentasi seperti peta dan kondisi fisik di lapangan seperti penanaman pola tajuk dan pemberian batas teritori antara wilayah garapan dan hutan lindung menjadi teknik yang sangat berguna khususnya dalam memahami landskap areal eks-HKm yang masih dikelola oleh KPPH Sumber Agung.

Pembentukan Kelompok KPPH Sumber Agung


Sumber Agung merupakan salah satu Kelurahan yang berletak di Kecamatan Kemiling, Kotamadya Bandar Lampung. Akibat pertambahan penduduk di Kelurahan Sumber Rejo, pada tahun 2000 akhirnya dibentuk Kelurahan Sumber Agung yang memiliki 3 lingkungan 4. Keberadaan penduduk Kelurahan Sumber Agung yang sebagian besar penduduknya bertani baik itu sebagai penggarap maupun mengelola di areal sendiri, memberikan refleksi bahwa masyarakat Sumber Agung masih sangat bergantung terhadap keberadaan hutan di wilayahnya.

Gambar 1. Peta Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Kotamadya Bandar Lampung. Secara administratif Kelurahan Sumber Agung di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Beringin Raya, di sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kedaung dan B. Putu, di sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Gunung Betung, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Kedaung. Semua kelurahan yang berbatasan dengan Kelurahan Sumber Agung tersebut, masih berada dalam satu Kecamatan Kemiling.5 KPPH Sumber Agung yang menjadi studi kasus kami berletak di Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Kotamadya Bandar Lampung. Keberadaan Kelompok Gabungan KPPH Sumber Agung sebenarnya berdiri di dalam areal Taman Huran Raya Wan Abdul
4

Lingkungan merupakan penggolongan administrative yang diterapkan di Kotamadya Bandar Lampung. Sebenarnya daerah administrative lingkungan sama layaknya Rukun Warga yang lebih banyak di kenal.
5

Dirumuskan dari Data Profil Desa dan Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Bulan Januari s.d Juli 2011.

Rahman. KPPH Sumber Agung memiliki luas 492,75 ha dari total keseluruhan luas Tahura Wan Abdul Rahman 22.249,31 ha. Areal Tahura Wan Abdul Rahman meliputi 3 kecamatan di Kotamadya Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Barat, Teluk Betung Utara, dan Kemiling) dan Kabupaten Pesawaran yang meliputi 4 kecamatan (Kecamatan Padang Cermin, Gedong Tataan, Way Lima, dan Kedondong).

Gambar 2. Peta Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman Dari Jawa ke Sumatera: Sejarah Penggarap Lahan di Sumber Agung pada era Kolonialisme hingga Paska Kemerdekaan. Awal mula kami sedikit bingung dengan tipikal warga Sumber Agung. Seakan berada di Pulau Jawa, kami sering kali terlibat dan mendengar perbincangan antar warga Sumber Agung dengan menggunakan bahasa Jawa. Menariknya ketika kami tanyakan asal usul warga Sumber Agung, mereka menjawab mereka orang Lampung. Namun setelah ditelusuri secara detail, keberadaan orang berlogat Jawa tersebut merupakan keturunan dari orang tuanya yang kebanyakan bermigrasi dari daerah Pandeglang, Karawang, Ponorogo, Purworejo, Trenggalek, Yogyakarta ke daerah Lampung. Kehadiran Orang Jawa di Lampung sebenarnya telah terjadi sejak periode kolonialisme Belanda. Kehadiran Belanda di Lampung memberikan dampak munculnya perkebunan karet Langkapura yang berletak di kawasan Way Nangka dan Tanjung Alor, Lampung Selatan (?) Orang Jawa saat itu dibawa sebagai buruh perkebunan yang bekerja secara kontrak untuk Belanda. Setelah Belanda lengser, memasuki periode penjajahan Jepang wilayah Sumber Agung

dan sekitarnya diubah vegetasi perkebunannya dari karet menjadi areal perkebunan kopi, persawahan, dan ladang jagung yang sebagian dikelola oleh masyarakat. Hal tersebut yang kemudian menjadi awal mula penggarapan hutan oleh masyarakat. Keberadaan kawasan Tahura Wan Abdul Rachman yang sempat menjadi HKm KPPH Sumber Agung tadinya merupakan milik dan dikelola oleh masyarakat. Kalau itu tanaman masyarakat sendiri udah keluar dari perkebunan. Nah itu tanaman pribadi, seperti pak Ismono pak sugiat. Sekarang kan itu diambil sama kehutanan, jadi kita tumpang sari sama kehutanan itu. (Suparmono) Penanaman tersebut dilakukan ketika di periode jajahan Jepang (1942-1945) dengan menanam padi dan kopi untuk keperluan pangan masyarakat setempat. Hal ini karena ketika periode Jepang masih berkuasa, pengelola perkebunan yang dipimpin oleh warga negara Jepang Yamamato dan Yawada. Para buruh tidak mendapatkan upah kerja berupa uang, melainkan diberikan berupa kebutuhan bahan-bahan pangan bagi para buruhnya. Paska kemerdekaan Republik Indonesia, Belanda meninggalkan perkebunan dan akhirnya masyarakat yang dulunya menjadi buruh perkebunan dan membuka lahan di areal hutan Gunung Betung, mulai menguasai sebagian lahan yang saat ini menjadi tanah marga.6 jaman Belanda, mereka udah pergi kita merdeka terbengkalai, nah dari situ karyawan mengkavling-kavling, akhirnya karet ditebang..... menurut sejarah sebelum mbah saya, masuk jaman belanda, itu memang sudah ada pemukiman, kalau di daerah sini, tapi ada peraturan peraturan maka kita keluar tahun 1982, itu semacam bedol desa, ini reboisasi kembali masyarakat 1982 dimohon turun. (Sukmadi) Penggarapan secara besar-besaran terjadi ketika masa paska kemerdekaan. Izin-izin pembukaan kawasan hutan untuk usahatani penduduk diberikan mulai tahun 1960-an. Izin tersebut dikeluarkan karena semangat pejabat-pejabat pemerintah saat itu untuk memperluas lahan usahatani penduduk dan memperoleh pendapatan dari eksploitasi hutan.7 Hal tersebut juga disebabkan bertambahnya penduduk Lampung akibat program Transmigrasi yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Banyaknya izin pembukaan lahan yang dikeluarkan, pertambahan penduduk, ditambah kekakacauan dalam pengelolaan hutan semakin memperparah kondisi vegetasi di kawasan konservasi hutan. Hal tersebut dapat dilihat dari

Tanah Marga merupakan tanah milik perseorangan yang biasanya telah disertifikasi dari BPN (Badan Pertanahan Nasional. Biasanya tanah marga diperbolehkan untuk menanam sayur, dan pemilik tanah memiliki otoritas hak atas pengelolaan tanah tersebut tanpa terikat peraturan HKm namun tetap memperhatikan etika aturan-aturan di KPPH.
7

Ahmad Kusworo. Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung. Halm 10.

kemunculan umbulan-umbulan8 di dalam kawasan hutan lindung yang kemudian memicu pemerintah untuk melakukan operasi secara represif dengan men-translokalkan penduduk dari umbulan ke beberapa desa di Lampung. Umbulan: Cikal Bakal Areal KPPH Sumber Agung. Setiap nama pasti memiliki cerita dan sejarah dibaliknya, hal tersebut dapat menjadi awalan untuk menjelaskan penamaan Kelompok Pengelola dan Pelestarian Hutan di Sumber Agung. Setidaknya, sebelum pembentukan tujuh KPPH Tanjung Manis, Pangpangan, Cirate, Umbul Kadu, Pemancar, Mata Air, dan Sukawera di Sumber Agung, areal kelompok masih berupa wilayah umbulan di mana terdapat beberapa titik pemukiman kecil yang hanya terdiri tiga hingga beberapa rumah di dalam kawasan Tahura Wan Abdul Rahman. Saat itu warga yang bermukim di umbulan memang merupakan warga pendatang yang sebagian berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang membuka lahan garapan berupa areal sayur-sayuran. kalau kata mbah saya itu, tahun 40-an katanya gunung ini udah jadi bukaan-bukaan orang pribumi, orang lampung. Kita ini istilahnya bukaan ganti rugi, leles namanya kalau orang jawa bilang. Kita ini ganti rugi garapan mereka. Sekarang mah istilahnya pada pindah, ke Sukadanaham itu. (Suparmono, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 5 September 2012)

Paska transmigrasi lokal yang dilakukan pemerintah dengan memindahkan penduduk dari umbulan ke areal lain di Lampung, beberapa penduduk lokal ada yang tetap bertahan dan masih menggarap mengelola lahan garapan. Lambat laun penduduk yang masih bertahan tersebutlah yang kemudian bergabung ke dalam KPPH Sumber Agung. Menariknya pada proses pembentukan KPPH Sumber Agung penamaan masing-masing Kelompok diasosiasikan dengan karakteristik kondisi areal di masa lampau. Seperti pada nama KPPH Umbul Kadu, kata Umbul dipakai untuk merujuk kata umbulan sedangkan kata kadu diartikan sebagai buah durian, hal ini karena wilayah KPPH Umbul Kadu dulunya terkenal sebagai wilayah penghasil durian di Kelurahan Sumber Agung. Menurut Pak Sukmadi, pemberian nama pada KPPH dilakukan

Umbulan merupakan areal pemukiman di dalam hutan yang hanya terdiri dari beberapa rumah dan tidak tercatat secara administrative.

bersama-sama dengan warga dan juga pendamping-pendamping P3AE UI pada tahun 1998-an. Dari musywarah dan berdasarkan nama kampung terdahulu akhirnya nama kelompok tercipta
........dulu itu kan hanya membentuk kelompok-kelompok gitu. Itu pun lama, selama 6 bulan atau apa. Udah gitu kan nanya-nanya, sampai jam 1 jam 2, sama pendamping. Pas udah itu kami berencana, nama kelompoknya apa nih. Ya udah dulu kan nama kampung kita tanjung manis, udah nama-nama kampung dulu aja. Itu adanya di sebelah yang ada rumahnya pak abas itu, sekarang mah udah jadi kebun-kebun masyarakat......... (Sukmadi, dalam catatan fieldnotes Muki T. Wicaksono, 6 September 2012).

Pemukiman umbulan itu sendiri sekarang sudah tidak ada lagi, karena pada tahun 1982 pemerintah Orde Baru melaksanakan program reboisasi di areal umbulan tersebut, sedangkan penduduk yang tadinya menempati areal umbulan terpaksa harus mengikuti program transmigrasi lokal yang dibuat oleh pemerintah.9 Variasi Asal Usul Kepemilikan Lahan Garapan Kelompok kelompok yang ada di Sumber Agung tentu saja memiliki jumlah anggota yang cukup banyak, dan setiap anggota ini biasanya ketika sudah tua atau sudah tidak dapat lagi mengurus lahannya maka dia akan mewariskan lahnnya kepada anaknya atau justru menjualnya kepada sesama warga sumber agung utnuk menghindari kerusakan. Pada tahap pewarisan lahan, pihak yang diwarisi atau ahli waris lahan garapan otomatis akan masuk kedalam kelompok di mana lahan tersebut terdapat, dan mau tidak mau sang ahli waris lahan tadi harus mengikuti aturan-aturan dan kesepakatan terkait penggarapan lahan hutan lindung. Pola ini dipercaya lebih menguntungkan dan cukup dapat mempertahankan kekuatan kelompok karena pada dasarnya ahli waris lahan sudah cukup lama mengetahui keberadaan kesepakatan dibandingkan pihak luar Sumber Agung. Kasus yang kami temukan di lapangan adalah kebanyakan para anggota penggarap lahan hutan mendapatkan lahan dengan cara turun menurun atau warisan. Seperti Pak Sugiat salah satu informan dan ketua KPPH Cirate yang mendapatkan lahan karena warisan dari orang tuanya.

Lihat Ahmad Kusworo. Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung. Halm 27.

Cara perwarisan tanah garapan sebenarnya beragam sifatnya, pertama ada yang diwariskan pada satu petak areal garapan yang dikelola secara bergantian dari setiap keturunan (lihat kasus A), atau kedua ada juga pada satu areal garapan dibagi untuk bapak dan anakanaknya, atau ke saudaranya (lihat Kasus B). Biasanya untuk tipikal perwarisan yang kami sebutkan kedua terjadi pada keluarga yang mempunyai lahan garapan yang cukup luas lebih dari 1 hektar. Variasi Perwarisan Tanah Kasus A

(Lampau) Sawon Kasus B

(Kini) Sugiat

(Lampau) Sofyan

(Kini) Sofyan, Bambang, dan Rusdi

Daud

Daud dan Pardi

Variasi Ganti Rugi Tanam Tumbuh Kasus C

(Lampau) Sipon dan Sujerman

(Kini) Samidi

Ada juga beberapa informan kami seperti Pak Samidi yang memperoleh lahan dengan sistem Ganti Rugi Tanam Tumbuh10. Seperti Pak Samidi mengakui kalau dia mengganti rugi lahan garapan dari Pak Sipon dan Pak Sujerman dengan harga Rp 500.000,- pada tahun 1997 (lihat Kasus C). Uniknya dalam pemilikan lahan ini, lahan di jual antara anggota atau warga Sumber Agung karena menurut Pak Maijo (ex- Ketua Gabungan KPPH Sumber Agung), kalau lahan dijual ke orang luar Sumber Agung biasanya akan disalah gunakan ....ya masyarakat tidak boleh merusak, tidak boleh di jual beli, kalau di jual nanti habis sama orang luar itu, banyak yang mau orang luar, kalau antara kelompok boleh, luar gak boleh, kalau dari kita aja kan, kalau orang itu gak bisa merawat udah tua, diganti rugikan, tapi kan anggota yang beli sudah tahu aturannya.... (Maijo, dalam transkrip Dwidtya, Senin 3 September 2012) Meskipun proses pengalihan garapan tetap diharuskan untuk sesama warga Sumber Agung. Pada beberapa KPPH terdapat variasi asal usul pemilik yang berasal dari luar Kelurahan Sumber Agung, biasanya penggarap tersebut telah mengelola lahan jauh sebelum Dinas Kehutanan mengambil alih pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul Rahman. Maka secara garis besar terdapat dua variasi cara kepemilikan terhadap lahan garapan di hutan Gunung Betung terutama wilayah HKm. Pertama, masyarakat memperoleh lahan berdasarkan warisan turun menurun dari orang tua atau pemberian hak garapan antar kerabat. Kedua adalah memperoleh lahan dengan ganti rugi tanam tumbuh dengan warga Sumber Agung yang memiliki lahan di kawasan hutan HKm. KPPH Sumber Agung: 1998 kini Tahun 1998 adalah masa-masa di mana masyarakat Sumber Agung mulai bersatu dan membentuk kelompok-kelompok untuk dapat pengakuan dari pemerintah dalam mengelola hutan lindung Register 19 Gunung Betung. Sebelum tahun 1998, masyarakat Sumber Agung secara
10

Sistem Ganti Rugi Tanam Tumbuh adalah salah satu model pengalihan garap yang diterapkan oleh petani penggarap di KPPH Sumber Agung. Pengalihan garap tersebut bukan menjual tanah, melainkan menjual pohon dan tumbuhan yang masih produktif ke penggarap lainnya. Hal tersebut dilakukan karena untuk menanam pohon tersebut penggarap sebelumnya mengeluarkan sejumlah uang, untuk menutupi modalnya tersebut ia biasanya menjual pohon yang telah ditanaminya ke penggarap lain, apabila ia ingin pindah tinggal ke lokasi lain.

individual mengelola lahan hutan, dan hal tersebut sangat sulit dijalani karena masyarakat harus kucing-kucingan dengan Jagawana atau Polisi Hutan (PolHut). Akhirnya tahun 1998, masuklah program dari P3AE UI yang memberikan pendampingan pada masyarakat Sumber Agung dan beberapa masyarakat di desa lainnya yang mengalami persoalan sama yakni konflik pengelolaan kawasan konservasi. Pada tahun 1998 dengan dibantu pendamping dari tim P3AE UI para penggarap di areal Kawasan Hutan Lindung Region 19 Gunung Betung secara perlahan membentuk kelompok pelestari dan pelindung hutan untuk memperkuat posisi mereka di dalam pengelolaan kawasan hutan secara mandiri dan bertanggungjawab. Terbentuknya gabungan itu ceritanya setelah kita membentuk 7 kelompok ini. Itu tidak menutup kemungkinan kita menghadapi persoalan pengrusakan. Seperti ada kelompok kita ini misalnya udah agak bagus ini, udah nggak ada yang nebangnebang pohon. Nah kan ada kelompok lain juga, nah permasalahan lintas kelompok ini dibikin persoalan waktu itu kita kan mendapat SK izin awal selama 5 tahun. Kan di situ nggak mungkin nggak, kelompok saya kan dikasih, kelompok lain juga dikasih. Jadinya kenapa terbentuknya gabungan itu, ya untuk lintas kelompok itu, ada garis koordinasinya antar kelompok. (Ismono, dalam Catatan Lapangan Muki T. Wicaksono, 4 September 2012, halm 11) Kelompok KPPH yang terbentuk pada awalnya berjumlah 7 kelompok, kelompokkelompok tersebut adalah, kelompok Tanjung Manis, Mata Air, Cirate, Umbul Kaduk, Sukawera, Pemancar dan Pangpangan. Setiap kelompok-kelompok ini dalam pembentukannya membutuhkan waktu yang cukup lama kurang lebih 6 bulan dan tidak hampir semua kelompok terbentuk bersamaan. Pendapat tersebut didasari oleh pengakuan informan kami Pak Maijo dan Pak Sukmadi ....itu kan hanya membentuk kelompok-kelompok gitu. Itu pun lama, selama 6 bulan....hampir barengan, tanjung manis, sukawera terus umbul kadu. terus cirate... (Maijo, catatan transkrip Dwiditya, 3 September 2012) Setiap kelompok-kelompok KPPH dalam pembentukannya memiliki proses-proses yang sangat panjang dan sampai saat ini pun kelompok-kelompok KPPH masih mengalami proses dinamika

dalam kelompoknya, misalnya proses penggabungan antara dua kelompok yaitu Pangpangan dan Tanjung manis. Pembentukan kelompok gabungan ini bertujuan agar ketujuh kelompok memiliki satu wadah jika ada permasalahan yang akan diselesaikan. Setiap Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (KPPH) terbentuk dengan proses yang cukup panjang dan juga dengan perjuangan cukup besar. Perjuangan dan waktu yang harus dikorbankan akhirnya dibalas dengan terbitnya surat HKm yang isinya memperbolehkan masyarakat mengelola hutan lindung Region 19 Gunung Betung.

Gambar 4. Peta Kelompok Gabungan KPPH Sumber Agung. Namun pertanyaan kemudian muncul ketika melihat kondisi Kelompok Gabungan KPPH Sumber Agung saat ini. Ketika penelitian di lapangan, kami menemukan dualisme pendapat dalam melihat keberadaan KPPH Pangpangan. Pertemuan kami dengan Pak Juliono (Ketua KPPH Pangpangan) pada Rabu, 5 September memperlihatkan bahwa ia telah mengakui keberadaan kelompok KPPH Pangpangan Muki: itu mulai gabung ke tanjung manisnya kapan pak? Juliono: Belum lama ini belum ada 2 tahun. Secara lisan saya nyatakan bahwa menitipkan jika ada sesuatu. Karena juga dengan kondisi dan situasi yang bisa dibilang pengakuan yang masih stagnan. Saya juga tidak punya pengakuan yang failing untuk melihat bahwa kelompok ini masih intense atau tidak. Tapi saya juga berharap dengan

pengakuan, itu masih kuat keberadaan kelompok, sehingga ada satu komitmen ini harus dipertahankan. Sehingga ada saya punya satu sikap, mohon kelompok ini digabung ke tanjung manis, jadi secara administrative tidak menyulitkan (dikutip dari Catatan Lapangan, Muki T. Wicaksono, 5 September 2012). Menariknya ketika kami mencoba mengkomparasi dengan pendapat Ketua KPPH Tanjung Manis, Pak Sukmadi, terdapat perbedaan pendapat di mana ia mengakui terdapat proses pergantian tanam tumbuh yang berjalan tanpa melalui mekanisme kelompok. Muki: oh, nah ini kan juga ada kelompok pangpangan ya pak? Itu katanya dijadiin satu ke kelompok tanjung manis ya pak? Apa itu yang buat penambahan jumlah anggota juga? Sukmadi: ada kelompok pangpangan. Sebetulnya saya itu memang kelompok pangpangan pada waktu itu diketuai oleh Pak Juli, 2010 ke sinilah. Saya nggak tau kenapa diserahin ke saya, kata saya jangan ke saya. Saya juga masih merangkap jadi sekretaris gabungan, Udah gitu kita ke atas ketemu pak saban, silakan pak saban tapi saya nggak sanggup. Karena saya melihatnya begini, di pangpangan itu juga sudah anggotanya juga yang sudah kebanyakan orang sini, sementara ini penggantian tanam tumbuh itu tidak melalui kelompok, tapi langsung saja. Saya juga kemarin itu, itu kan mau jadi penangkaran rusa. Saya juga disuruh ngundang anggota dari orang dinas. Itu juga luasnya kan 12 hektar. Nah pas itu baru ketahuan, Cuma satu orang yang orang sininya. Jadi saya bingung ya, ada yang di tanjung karang, ada yang di perumnas sini. Udah orang-orang kaya semua. Jadi saya ngomong ke pak saban, jadi saya nggak sanggup. (dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 6 September 2012) Ambiguitas status KPPH Pangpangan karena kekosongan pemimpin kelompok ditambah kehadiran rencana pembangunan penangkaran rusa di areal kelompok Pangpangan mampu memberikan pertanyaan menarik dalam ulasan kami. Bagaimana sebenarnya KPPH Sumber Agung dengan 7 kelompok di dalamnya membentuk dan mengkonstruksikan nilai yang telah disepakati oleh para penggarap? Serta, bagaimana seharusnya peran kelompok berjalan dalam mempertahankan nilai-nilai aturan di KPPH Sumber Agung? Hal ini melihat pada dua kasus antara KPPH Pangpangan dan KPPH Tanjung Manis saja memperlihatkan keragaman di dalam KPPH Sumber Agung. Terakhir adalah apa yang sebenarnya perlu dipahami untuk menjadi konsensus bersama di dalam KPPH Sumber Agung?

Keragaman dalam Memaknai Aturan: Refleksi Model Konservasi KPPH Sumber Agung
Model Penguatan Kelompok Awal mula kelompok ini terbentuk tidak serta merta mendapat perhatian secara besar oleh seluruh masyarakat Sumber Agung, cukup lama waktu yang dibutuhkan untuk dapat mengajak masyarakat tergabung dalam Kelompok Pengelola dan Pelestarian Hutan (KPPH). Bahkan penolakan terhadap program yang dikerjakan secara kolaboratif oleh P3AE UI dan warga Sumber Agung juga mendapat penolakan seperti yang dilakukan Sumewo (Ketua KPPH Mata Air) ketika masa pembentukan KPPH Sumber Agung. ....ya sebelum HKM yang berbulan bulan itu kok, ya memang waktu itu saya juga gak bicara, masih banyak marahnya sama rombongan pak Iwan, dengan anak buah pak Iwan pertama kali saya adu argumentasi... (Sumewo, dikutip dari transkrip wawancara Dwiditya P, 3 September 2012) Walaupun mendapat penolakan di saat awal, akhirnya kelompok-kelompok mulai terbentuk dan pada awal pembentukan tidak serta merta seluruh penggarap masuk ke dalam kelompok. Menariknya pola penguatan yang terjadi secara bertahap tersebut menempatkan isu relasi kekerabatan dan bentuk sistem Ganti Rugi Tanam Tumbuh sebagai penguat posisi KPPH Sumber Agung dalam proses konservasi. Membentuk kelompok konservasi melalui ikatan kekerabatan Persoalan terbesar ketika proses awal pembentukan kelompok adalah bagaimana membangun kepercayaan kepada warga Sumber Agung untuk terlibat aktif dalam pembentukan dan pengembangan KPPH Sumber Agung. Hal tersebut juga dirasakan ketika kami mencoba mempertanyakan proses awal pembentukan kelompok KPPH Sumber Agung pada masingmasing ketua. Pak Sukmadi sebagai Ketua KPPH Tanjung Manis mengakui kalau pada awal pembentukan kelompok proses pendekatan dimulai dari keluarga terdekat lebih dulu yang diajak untuk masuk ke dalam kelompok. Dapat dikatakan awal mula kelompok terbentuk dimulai dari

kerabat-kerabat para perintis, bahkan sampai saat ini ketua KPPH Tanjung Manis dan Pak Saban masih memiliki ikatan kekerabatan yang menjadi dasar kuatnya KPPH Sumber Agung. ......karena kami orang boleh dikatakan memang keluarga pak saban itu sama keluarga istri termasuk keluarga besar paling banyak. Jadi kuat. Pas proses terbentuknya kelompok itu juga kami masih diem-diem, pada nggak mau ngomong. Udah gitu berjalan kita udah bisa sepakatin aturan-aturan. (Sukmadi, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 6 September 2012) Tidak jauh berbeda dengan Pak Sukmadi, seorang bekas ketua KPPH Pemancar Pak Krismono mengakui pada proses pembentukan kelompok ia sangat mengandalkan relasi kekerabatan untuk meyakinkan pentingnya pembentukan kelompok dalam pengelolaan sumber daya dan pelestarian kawasan hutan. Menariknya pada kasus Pak Krismono ia memiliki jaringan keluarga yang cukup berpengaruh dalam kelompok karena memiliki posisi yang signifikan dalam pengelolaan KPPH Sumber Agung.

Alm. Sadali

Sawo n

Sarm in

Suparmo no

Suhar

Sarmo

Sutin

Sugia

: ego

: anggota KPPH Sumber Agung

: perwarisan tanah secara garis keturunan.

Alm. Sutjipt oo

Krismon

Gambar 5. Pohon kekerabatan keluarga Pak Krismono.

Pada pohon kekerabatan di atas ego yang digambarkan berada pada posisi Pak Krismono yaitu seorang bekas KPPH Pemancar. Ia juga adik kandung dari Pak Sugiat (Ketua KPPH Cirate) dan adik sepupu dari Pak Suparmono yang merupakan anggota KPPH Sumber Agung. Relasi Pak Krismono dengan beberapa pejabat di KPPH Sumber Agung seperti Pak Ismono sebenarnya masih memiliki ikatan kekerabatan, hal ini karena Ismono menikah dengan saudara perempuan dari Pak Krismono. Hal ini memperlihatkan bahwa institusi pernikahan memainkan peran penting dalam membentuk relasi kekerabatan antar anggota KPPH Sumber Agung. Pada proses wawancara yang kami lakukan dengan Krismono, ketika masa awal pembentukan menumpu pada relasi kekerabatan yang telah terjalin biasanya akan lebih mudah dalam menjalin kepercayaan pada proses perekrutan anggota kelompok. Muki: nah pak kris itu dulunya kan ketua. Untuk proses pembentukan kelompok dulu awalnya gimana ya pak? Susah nggak? Krismono: itu lewat keluarga dulu awal mulanya. Karena pas awal itu kan masih didampingin pak iwan, nah pak iwan itu juga nggak lepas gitu aja selama 6 bulan itu masih dibimbing, Cuma setelah itu ada wakilnya di sini pak ipi, mbak dewi, jadi nggak dilepas gitu aja mulai dari terbentuknya kelompok itu. (Dikutip dari catatan lapangan, Muki T. Wicaksono, 5 September 2012)

Hal ini sekaligus memberikan penjelasan secara konseptual bahwa dengan memahami kekerabatan sebagai sebuah jaringan hubungan yang dibuat dari relasi genealogis, dan ikatan sosial (contoh: di dasari oleh adopsi) bermodel pada relasi natural dari keturunan orang tua (Keesing, 1975: 13) dan pada konteks kasus ini, kekerabatan membantu memahami bagaimana posisi masing-masing individu dalam satu relasi secara kelompok di dalam KPPH Sumber Agung. Ganti Rugi Tanam Tumbuh: Ancaman atau Berkah? Masyarakat tidak diperkenankan mengalihkan hak pengelolaannya kepada pihak lain itulah yang menjadi isi pasal kedua di dalam perjanjian Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang disepakati oleh KPPH Sumber Agung dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Propinsi Lampung pada 13 November 1999. Sesuai dengan kesepakatan KPPH, lahan garapan tidak boleh dijual belikan, terutama kepada pihak luar Sumber Agung. Jadi ketika lahan sudah

tidak lagi dapat diurus, masyarkat pengelola lahan biasanya mewariskan kepada keturunannya atau menjual lahan kepada warga Sumber Agung dengan cara ganti rugi tanam tumbuh. Meskipun demikian Ganti Rugi Tanam Tumbuh tetap dilakukan antara warga Sumber Agung. Mereka beralasan dalam mengelola baik itu menanam dan merawat tanaman keras seperti karet, kopi, coklat, durian, dan pete, seorang petani penggarap diharuskan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Maka ketika petani penggarap tersebut terpaksa pindah tempat tinggal atau pindah lapangan pekerjaan, ia akan menjual pohon hasil pengelolaannya. Nantinya petani penggarap yang akan mengelola di lokasi tersebut hanya menggantirugikan tanaman yang telah dirawat, bukan lahannya. Berdasarkan hasil wawancara yang kami lakukan dengan Ismono (Ketua KPPH Pemancara) proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh pada umumnya terjadi dalam transaksi antar sesama warga Sumber Agung. Hal ini karena, ketika sesama warga Sumber Agung yang mengganti rugi lahan garapan, pemantauan dapat dilakukan dengan mudah mengingat apabila terjadi kasus pelanggaran seperti penebangan hutan atau kebakaran yang bersangkutan mudah ditegur karena masih berasal dari satu Kelurahan Sumber Agung. Pada sisi lain dengan mensyaratkan penggarap berasal dari Kelurahan Sumber Agung maka koordinasi pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul Rahman dapat dilakukan dengan mudah oleh ketua-ketua di KPPH Sumber Agung. Gini ya mas, kalau setahu saya ya. Kita itu kan kasarnya ngomong ajakan itu kan hanya beberapa orang disekitar sini. Cuma kalau orang-orang luar seperti itu, itu mereka mau nggak mau harus ikut aturan kita. Kalau misalnya nggak mau ikut, ya gimana caranya kan? Kan mereka nggak merasakan efeknya langsung? Jadi bukan tujuan untuk mengancam, mereka itu kita paksa untuk mengikuti aturan kita, kan memang ada apapun, ada kebakaran hutan, ada banjir, kita duluan yang kena bukan mereka, , mereka masih bisa lari, orang jauh. Ada marahnya jagawarna kita juga yang kena, orang dari sini ke batasnya aja 100 meter. (Ismono, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 4 September 2012) Maka pada proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh setidaknya setiap KPPH di arealnya masing-masing harus memainkan peran untuk memantau proses tersebut. Kedua pihak yang ingin melakukan proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh setidaknya harus melaporkan siapa penggarap baru di lahannya ke Ketua KPPH di mana areal garapan tersebut berada. Bahkan

Ketua Gabungan KPPH Sumber Agung juga harus memastikan proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh berjalan dengan tepat. Muki: hmmm, Cuma itu (proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh) harus diketahui sama ketua kelompok dan ketua gabungan juga kan ya pak? Ismono: iya, Ketua gabungan paling tidak harus mengetahui. Artinya di situ bunyinya, itupun bisa digantirugikan Cuma dengan tetangga sini-sini aja. Ada kesepakatan tertulisnya, namanya Ganti Rugi Tanam Tumbuh, bukan Ganti Rugi Lahan ya, punya kawasan masa kita ganti rugi kan. (dikutip dari Catatan Wawancara Muki T. Wicaksono, 4 September 2012) Bahkan ketika proses awal pembentukan kelompok, KPPH Sumber Agung dengan Dinas Kehutanan Provinsi Bandar Lampung melakukan pencatatan secara formal untuk mengetahui siapa saja penggarap di setiap KPPH di Sumber Agung. Pencatatan tersebut mencakup foto penggarap, identitas penggarap, luas areal garapan, dan apa saja tanaman yang dikelola oleh penggarap tersebut.

Gambar 6. Pendataan Anggota KPPH Umbul Kaduk

Akan tetapi tidak semua proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh terjadi dengan diperantarai oleh Kelompok. Ketika mewawancarai Pak Sukmadi untuk mengkomparasi pendapatnya dengan pendapat Pak Juliono, kami menemukan hal menarik di mana terdapat kekosongan peran kelompok dalam proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh. Kekosongan peran KPPH Pangpangan dalam proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh di arealnya menimbulkan lemahnya posisi pengawasan KPPH Sumber Agung di areal tersebut. Bahkan dari 20 orang di awal pembentukan KPPH Pangpangan, kini hanya bersisa 14 orang penggarap. Muki: dulu anggota kelompoknya pangpangan itu berapa ya pak? Juliono: dulu 20 orang, sangat sedikit. Kemudian proses perleburan perpindahan kemudian, terakhir itu Cuma 14 orang. Muki: yang 6 orangnya kemana itu pak? Juliono: bukan kemana, jadi ada satu wilayah di situ namanya taman wisata kupu-kupu. Jadi dia menjadi satu areal penangkaran, di mana sesuai informasi dan penjelasan yang ada mereka punya izin sendiri untuk menangkar satwa endemik. Jadi wilayah tersebut menjadi satu areal konservasi taman kupu-kupu. Muki: hmm, terus keenam orang tersebut jadi petugasnya,pak? Juliono: nggak, secara tidak langsung mereka tidak punya hak lagi. Sebenarnya saya sendiri kurang begitu paham, karena dilakukan tanpa sepengetahuan saya. Itu dari pihak penangkar kupu-kupunya. (Dikutip dari catatan wawancara Muki T. Wicaksono, 5 September 2012) Malangnya dari 14 orang penggarap tersebut hanya tersisa 5 orang penggarap yang merupakan warga Sumber Agung. Melihat kasus tersebut, proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh nampaknya menjadi cara yang memiliki dua mata pisau, pada satu sisi proses tersebut menjadi mekanisme untuk mempertahankan penggarap berasal dari Kelurahan Sumber Agung, sehingga mempermudah pemantauan dan pengelolaan kawasan hutan. Sedangkan pada sisi lain, ketika KPPH tidak mampu menjalankan perannya sebagai pemantau proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh, hal itu akan menjadi serangan balik pada proses pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul Rahman oleh KPPH Sumber Agung.

Variasi pengambilan keputusan: keragaman dalam memaknai aturan Peraturan yang diterapkan pada KPPH Sumber Agung sebenarnya bersifat homogen karena diterapkan secara sama pada tujuh KPPH di dalamnya. Peraturan tersebut di antaranya: (1)

mengharuskan para petani menanam tanaman dengan pola tanam tajuk; (2) melarang petani penggarap untuk menebang pohon di kawasan hutan kemasyarakatan; (3) petani hanya diperbolehkan menanam dan menggarap pada areal hutan pendidikan saja, sedangkan hutan lindung di bawah pengawasan negara (lihat gambar 7); (4) melarang praktik penanaman sayuran di areal kawasan hutan kemasyarakatan; dan (5) mewajibkan setiap ketua dan anggota pada masing-masing KPPH untuk melaporkan segala bentuk pelanggaran aturan di KPPH Sumber Agung.

Gambar 7. Sebelah kiri dengan vegetasi bambu merupakan tanda batas hutan lindung Sebelah kanan dengan vegetasi pohon pinang merupakan batas areal lahan garapan di KPPH Sumber Agung.

Menariknya, masing-masing ketua, anggota, dan KPPH di Sumber Agung memiliki cara yang beragam dalam mengintepretasikan aturan-aturan tersebut. Setidaknya ada dua perilaku dominan yang masih dianggap benar oleh para penggarap di Sumber Agung. Pertama adalah model penanaman secara tumpang sari dan kedua adalah cara petani penggarap dalam memaknai pelanggaran dalam proses konservasi di Tahura Wan Abdul Rahman. Proses penanaman secara

tumpang sari sebenarnya menjadi siasat para petani ketika harus beralih dari tanaman sayuran ke tanaman-tanaman berbatang keras. Hal tersebut karena untuk proses pertumbuhan tanaman keras tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebagai contoh untuk jenis tanaman karet alami yang diperbolehkan untuk dikembangkan di kawasan Hutan Kemasyarakatan, membutuhkan waktu selama tujuh hingga sembilan tahun sebelum dapat menghasilkan produksi karet. Tentunya selama proses pertumbuhan karet tersebut, petani tidak memiliki pemasukan yang berarti dari pohon karet. Maka, mengatasi masalah tersebut, petani kerap kali mensiasati dengan cara penanaman tumpang sari. Cara penanaman tersebut dilakukan dengan tetap menanam sayur mayur di antara tanaman karet. Sambil menunggu karet dan jenis tanaman keras lainnya menghasilkan produksi di masa awal penanaman, petani penggarap masih dapat memenuhi keperluan hidupnya dengan bercocok tanam sayuran secara tumpang sari. Malangnya persoalan perut (baca: mata pencaharian) tersebut dilihat sebagai bentuk pelanggaran, kerap kali para petani menjadi korban para polisi hutan dan jagawana di masa lampau. 3 kali nanam buncis, batang coklat udah segini. Tumpang sari sistemnya. Tapi kalau dengan sistem seperti ini kita sering seling pendapat dengan kelompok lainnya. (Ismono, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 4 September 2012) Cara pengelolaan tumpang sari tersebut biasanya masih dilakukan pada kondisi saat ini. Para petani melakukan tersebut karena tanaman keras yang mereka kelola sudah tidak produktif, untuk bisa menghasilkan produksi kembali para petani penggarap mempermuda tanaman lama mereka dengan jenis tanaman lainnya. Seiring pertumbuhan tanaman keras yang baru di tanam tersebut, tidak jarang petani menanam sayuran dalam beberapa meter persegi areal garapan. Misalkan juga gini, pohon kopi ini sudah tua, kalau toh kita garap terus kita bersihkan bawahnya, kita pupuk. Kalau yang namanya kopi tua itu kan udah nggak begitu produktif lagi, bagaimana masyarakat mau sejahtera? Itu dibongkar digantilah tanaman kakao. Sambil nunggu tanaman kakao ini besar, kita tanamlah sayur. Nah itu kalau di kelompok bisa dikatakan di kelompok Jawa. (Ismono, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 4 September 2012) ketatnya itu jagawarnanya itu terlalu kejem. pernah waktu itu lagi nyangkol lagi enak-enaknya, datang dia rombong. Saya nggak tau pak, ditanya ini tanah siapa? Saya jawab, ini tanah negara, tapi saya numpang garapan sama tetangga saya. Pokoknya nanyanya udah mendetail sekali. Sekarang saya tanya, bapak tugas demi apa pak? Mungkin statusnya sama bapak dinas kerja untuk sesuap nasi, saya juga

kaya gini pak, nyangkul untuk ngasih nafkah anak istri, maaf ini pak. Jadi jangan mentang-mentang bapak dikasih tugas sama negara, jangan mentang-mentang sama orang kecil. (Suparmono, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 5 September 2012)

Pada sisi lain terdapat perspektif menarik yang muncul ketika kami menanyakan pandangan para petani penggarap terhadap proses konservasi dengan menanyakan bagaimana pendapat petani dengan model konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagian petani melihat ruang hutan merupakan arena mata pencaharian mereka. Sebagian lainnya ada yang mematuhi dengan tegas peraturan yang telah disepakati di dalam KPPH Sumber Agung, sedangkan salah seorang ketua ada yang menoleransi pelanggaran di kelompoknya, selama masih masuk akal alasan anggota yang melanggar aturan kelompok KPPH Sumber Agung. Ya kalau yang namanya pelestarian kan juga bukan gitu kalau menurut saya yang bener itu ditanam pohon Randu (baca: pohon karet). (Rusdi, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 7 September 2012). kalau kita berbicara mengenai kebutuhan ya gak ada ujungnya. ........ masyarakat tuh seenaknya.. makanya pendampingan belum sampai sana...................... itu tadi, udah kita rem, udah kita .............................. hutan rusak tetap rusak, kita gak berani apa belom terlaksana. Kalau kami sendiri.... apa berdasarkan bambu, kenapa bambu, kan besar dan tebang pilih. Kalau nebang jadi masalah kalau nebang bambu boleh tapi buat sendiri.............................................itu aja, alam kita selamatkan, yang itu juga kita selamatkan. (Saban, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 2 September 2012). sebenarnya ada sih. Kalau menurut aturan polhut memang nggak boleh. Saya terus terang aja misalnya, hoy boleh gini nggak? Udahlah pinter-pinter kamulah. Itu kan kalau diangkat jadi kasus. Cuma saya kan kasihan sama anggota. Kalau sistem saya itu paling hanya kasih informasi, misalkan ada pembukaan lahan. Itu memang pelanggaran, tapi juga sebenarnya itu adalah proses. Jadi gini, kita ini kan berfikirnya HKm (Hutan Kemasyarakatan), percuma saja kita gembar-gemborkan HKm, sedangkan motto HKm itu kan hutan lestari, masyarakat sejahtera. Kenapa ide saya ini agak konyol, kalau dengan Pak Saban saya selalu kena marah. Misalkan ada tetangga ini, buka lahan dia, saya Cuma ngomong gini yang pinggir jalan jangan dibuka, yang di dalam baru boleh dibuka. Itu kalau Pak Saban memang dinyatakan kasus, bahkan saya pernah ada datang polhut dengan KLBH nya dengan komandan polhutnya. Tiba-tiba dia bilang ayo saya pengen lihat lokasi kelompok kamu yang di atas pemancar,bisa

ditunjukkan? Bisa pak, memang ada masalah apa pak? kata saya, nggak saya pengen liat aja. Mereka bilang ini... ini... ini... kurang, ini tanamannya kurang! Kata saya, Pak membangun kawasan hutan itu tidak sama dengan membangun rumah pak, kalau membangun rumah ada uang 100 jut, satu minggu jadi. Membangun kawasan hutan itu perlu waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. (Ismono, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 4 September 2012)

Kesimpulan
....no single formula for conservation is universally applicable to the world's amalgam of communities (Shoreman, 2009: 105) Pendapat Shoreman mengenai model konservasi sebenarnya menjadi landasan berpikir kami ketika memahami kasus konservasi berbasis komunitas yang diterapkan melalui KPPH Sumber Agung di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman. Meskipun pemerintah sudah memberikan aturan-aturan mengenai pengelolaan kawasan hutan, masyarakat tetap saja memiliki intepretasi yang ragam dalam melihat proses konservasi di Tahura Wan Abdul Rahman. Penjelasan kami sekaligus memperlihatkan bahwa proses penguatan kelompok melalui ikatan kekerabatan dan jaringan komunikasi kelompok yang dimediasi oleh ketua di masing-masing KPPH Sumber Agung merupakan substansi penting dalam memperkuat peran komunitas pada pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul Rahman. Bentuk kepercayaan yang sudah terjalin pada relasi berdasarkan ikatan kekerabatan memainkan peran yang cukup signifikan dalam penyebaran informasi yang terdapat di KPPH Sumber Agung. Namun, kami juga tidak memungkiri keberadaan KPPH Sumber Agung masih mengalami beberapa hambatan. Bentuk kepemimpinan yang dipegang oleh masing-masing ketua yang tidak dijalankan dengan sempurna menjadi ancaman tersendiri bagi keutuhan KPPH Sumber Agung. Pada sisi lain perspektif konservatif dalam melihat relasi penduduk lokal dengan areal konservasi harus terpisah menjadi kendala dalam pengembangan peran masyarakat bagi kawasan Tahura Wan Abdul Rahman. Meskipun telah mendapatkan legitimasi secara informal

melalui pemberian akses terhadap pengelolaan sumber daya hutan, kami melihat pemerintah perlu melakukan pengembangan peran komunitas secara kolaboratif. Pendataan dan intensitas pertemuan menjadi salah satu pengelolaan yang memainkan peran penting dalam melihat eskalasi jumlah penggarap di kawasan Tahura Wan Abdul Rahman. Pada akhirnya ulasan kami ini ingin memberikan sebuah pemahaman bahwa masyarakat lokal pada dasarnya memiliki caranya sendiri dalam memaknai proses konservasi, pada sisi lain mereka terus berdialog menyelesaikan persoalan yang dihadapinya dalam pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul Rahman terbukti dari upaya menjalankan peran kelompok sebagai pemantau kegiatan pengelolaan hutan di Tahura Wan Abdul Rahman.

Daftar Pustaka

Ernst, Thomas M. 1999. Land, Stories and Resources: Discourse and Entification in Onabasulu Modernity. American Anthropologist, New Series, Vol. 101, No. 1 (Mar., 1999), pp. 88-97. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/683343. Gibson, C. Clark dan Koontz, Tomas. 1998. When "Community" Is Not Enough: Institutions and Values in Community-Based Forest Management in Southern Indiana. Human Ecology, Vol. 26, No. 4 (Dec., 1998), pp. 621-647. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/4603301. Keesing, Roger M. 1975. Kin Groups and Social Structure. Florida: Harcourt Brace Jovanovich Publishers. Kusworo, Ahmad. 2000. Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung. Bogor: Pustaka Latin. Mugisha, Arthur R. 2002. EVALUATION OF COMMUNITY-BASED CONSERVATION APPROACHES: MANAGEMENT OF PROTECTED AREAS IN UGANDA. Disertasi Doctor of Philosophy. University of Florida. Nazarea, Virginia D. 2006. Local Knowledge and Memory in Biodiversity Conservation. Annu. Rev. Anthropology. 2006. 35:31735. Diakses dari arjournals.annualreviews.org. Shoreman, Eleanor E., Haenn, Nora. 2009. Regulation, Conservation, and Collaboration: Ecological Anthropology in Mississippi Delta. Human Ecology, Vol 37, (31 Januari 2009). pp 95 -107. Springer Science.

Twyman, Chasca. 2000. Participatory Conservation? Community-Based Natural Resource Management in Botswana.The Geographical Journal, Vol. 166, No. 4 (Dec., 2000), pp. 323-335. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/823034.

Anda mungkin juga menyukai