Anda di halaman 1dari 140

UNIVERSITAS INDONESIA

LOKALISME DESA: KELEMBAGAAN MULTI-LEVEL TATA


KELOLA AIR BERSIH PERSPEKTIF NEW INSTITUTIONALISM IN
ECONOMIC SOCIOLOGY

TESIS

RAHMALIA RIFANDINI
1906436223

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


MAGISTER SOSIOLOGI
DEPOK
2022
Lokalisme Desa : Kelembagaan Multi-level Tata Kelola Air Bersih Perspektif New
Institutionalism in Economic Sociology

Rahmalia Rifandini
Abstrak
Tesis ini mengeksplorasi pendekatan New Institutionalism in Economic Sociology (NIES) terkait
penerapan Undang-Undang Desa yang baru. Studi ini menyoroti arena organisasional interaksi desa
dalam pengelolaan air bersih di tiga desa di kawasan DAS Cikapundung Hulu, Jawa Barat. Studi
sebelumnya mengkritik irelevansi Undang-Undang Desa untuk menyelesaikan krisis pedesaan.
Namun, perhatian studi tersebut belum menguraikan persoalan berbasis peta wilayah untuk
mendudukan kompleksitas kewenangan dan keruangan tata kelola. Metode penelitian berpikir sistem
lunak (soft-systems methodology) yang digunakan bertujuan memahami sistem hubungan
kelembagaan secara multi-level. Temuan penelitian menunjukkan aktualisasi subsidiaritas di tiga desa
bertumpu pada keberfungsian institusi internal desa dan keberlanjutan hubungan pengelolaan air
bersih antar desa. Sementara rekognisi belum didukung karena tumpang tindih persinggungan
kelembagaan dengan kewenangan spasial pada level makro. Model konseptual yang dihasilkan dari
metode SSM ini dapat digunakan oleh pemangku otoritas sebagai pertimbangan untuk mengelola
sumber daya air bersama secara berkelanjutan.
Kata kunci : Lokalisme desa, Tata kelola air bersih, New Institutionalism in Economic Sociology,
Soft-system Methodology.
Abstract

This thesis explores the New Institutionalism in Economic Sociology (NIES) approach to
implementing the new Village Law. This study highlights the organizational arena of village
interaction in the management of clean water in three villages in the upstream area of the
Cikapundung watershed, West Java. Previous studies criticized the irrelevance of the Village Law for
resolving rural crises. However, the concern of this study has not been to describe the problem based
on regional maps to accommodate the complexity of authority and spatial governance. The soft-
systems methodology research method used aims to understand the multi-level system of institutional
relations. The research findings show that the actualization of subsidiarity in the three villages rests
on the functioning of internal village institutions and the sustainability of clean water management
relationships between villages. Meanwhile, recognition has not been supported due to overlapping
institutional interactions with spatial authority at the macro level. The conceptual model resulting
from the SSM method can be used by stakeholders as a consideration for managing shared water
resources in a sustainable manner..
Keywords: rural localism, clean water governance, New Institutionalism in Economic Sociology,
Soft-system Methodology.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis legitimasi tata kelola air sering ditemui dalam birokrasi di level mikro. Desa
merupakan unit pemerintahan di tingkat bawah dengan mayoritas mata pencaharian yang
sangat bergantung pada sumber daya air bersih. Sektor pertanian menjadi salah satu sumber
penghidupan masyarakat yang paling tinggi tingkat ketergantungan terhadap air, di mana
hampir 70% kebutuhan air tawar untuk bidang pertanian. Bahkan, jumlah penggunaannya
dapat mencapai 95% di beberapa negara berkembang (FAO 2017). Prihtanti et al., (2013)
berpendapat bahwa pembangunan desa hendaknya mempertimbangkan delineasi pasokan air
karena dapat berdampak langsung terhadap keamanan dan keberlangsungan hidup
masyarakat desa. Oleh karena itu, ketersediaan air sangat bergantung dengan hutan beserta
lingkup kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai). Kehidupan desa-desa di hulu DAS berperan
secara timbal balik terhadap tata guna air, sehingga terdapat urgensi agar mengaitkan
pembangunan desa dengan ketahanan air.
Kawasan hutan yang juga bagian dari kawasan DAS berfungsi sebagai kawasan rain
harvesting untuk menyimpan air. Konsep dasar pengelolaan DAS menekankan mekanisme
konservasi untuk mencapai tujuan sosio-ekonomi namun tetap menjaga keselarasan relasi
masyarakat dengan ekologi (Dixon, 2000; Abell, Allan, dan Lehner, 2007). Konsep ini dibuat
untuk menjangkau keberlanjutan fungsi ekologis hutan sekaligus menunjang kehidupan
masyarakat sekitar hutan. Perhatian terhadap masyarakat desa merupakan hal yang penting
karena desa mewakili sistem sosial yang sangat bergantung pada aset dan sumber daya hutan
serta memiliki pengaruh dinamis terhadap lingkungan hutan (Pambudi, 2019). Oleh karena
itu, perlu mengedepankan cara pandang penataan masyarakat berbasis wilayah terutama
kawasan DAS. Terkait hal ini, DAS merepresentasikan kesatuan sistem fisik dan sistem
sosial yang menjadi tempat tinggal dari berbagai kegiatan ekonomi (penghidupan).
Relasi dengan hutan sebagai kantung air tampaknya telah bergeser. Tercermin pada
kondisi hutan saat ini yang banyak menemui persoalan alih fungsi lahan. Secara empiris
sebagian besar kawasan hutan telah menjadi bagian sistem pertanian masyarakat. Dampaknya
dapat mengancam daerah tangkapan mata air (catchment area), hingga menurunkan debit
suplai air (Astuti, 2017). Keberadaan hutan selalu dilematis karena definisinya yang
dikonstruksi multi-perspektif secara sosial, hukum, dan administratif (Kartodihardjo, 2013).
Definisi hutan secara ekologis merujuk pada kesatuan ekosistem yang berisi sumber daya
alam hayati. Sementara hutan berdasarkan konstruksi sosial didefinisikan harus memenuhi

1
fungsi ikatan hutan dengan masyarakat. Ikatan ini yang menempatkan hutan dapat
menghasilkan kebudayaan dan fungsi sosial-ekonomi untuk menyokong kehidupan
masyarakat.
Sama halnya dengan kawasan DAS yang juga dapat dikonstruksi secara sosial.
Kawasan DAS mewakili kesatuan sistem fisik dan sistem sosial yang menyediakan lokus
untuk semua bentuk kehidupan sosial dan hubungan kelembagaan (Searle, 2000). Kebijakan
pengelolaan DAS menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 harus melibatkan
berbagai pemangku kepentingan untuk berkoordinasi (Sudaryono, 2002). Dalam peraturan
pengelolaan DAS menyebutkan bahwa kawasan DAS diserahkan kepada pemerintah daerah,
sementara sub-DAS diserahkan kepada pemerintah kabupaten atau kota yang dilintasi.
Dengan kata lain, kebijakan ini mengarahkan pengelolaan DAS secara lintas batas
administrasi. Namun pelaksanaan kebijakan lingkungan di daerah justru mengakibatkan
segmentasi pengelolaan sumber daya air di daerah hulu dan hilir sungai. Triana (2014)
mengatakan bahwa adanya inkonsistensi aturan otonomi daerah dengan aturan perundang-
undangan menyangkut bidang lingkungan hidup. Sistem hukum yang tumpang tindih dan
egoisme kedaerahan menghasilkan banyak peraturan di tingkat daerah yang diterbitkan bukan
untuk menyelesaikan persoalan sumber daya air sungai (Mardimin, 2014).
Keberadaan (existing) wilayah sub-DAS banyak yang berhadapan langsung dengan unit
kehidupan di desa. Batas-batas hutan dan sungai menjadi penanda bentang alam yang
memisahkan wilayah administratif dan area ekologis. Selain itu, hubungan masyarakat
dengan hutan secara tidak langsung menunjukkan realitas yang timbal balik. Akan tetapi,
desa di kawasan sub-DAS justru tidak memiliki kewenangan tata kelola. Padahal, banyak
desa yang berdasarkan kondisi geografis memegang kunci keberlanjutan DAS , terutama
desa-desa yang bertempat di area hulu. Kepentingan masyarakat desa sekitar hulu DAS
bertumpu pada keterhubungan dengan pasokan sumber air. Air sendiri telah menyatu dalam
kehidupan dan menjadi pengikat sektor penghidupan pedesaan. Mata pencaharian seperti
peternakan sapi perah salah satunya bersinggungan langsung dengan pemanfaatan sumber
daya air (Sudarmadji et. al 2015). Kusumah & Mustofa (2020) menambahkan bahwa tata
kelola air menjadi salah satu isu utama pengelolaan DAS di Indonesia yang mengalami
keterpisahan antara pengaturan dan penerapan kebijakan.
Penyediaan air secara berkelanjutan menjadi krusial karena termasuk salah satu
indikator penentu kesejahteraan masyarakat (ADB, 2016). Akan tetapi, tata kelola air bersih
ini belum banyak dibahas dalam era Undang-Undang Desa. Mandatori negara baru sebatas
menjangkau kewenangan desa dari aspek infrastruktur. Salah satunya kewenangan desa

2
melaksanakan pembangunan embung sebagai prioritas penggunaan Dana Desa.
Pembangunan embung desa sendiri bertujuan untuk menjamin ketersediaan pasokan air
secara kontinuitas dan menunjang kebutuhan masyarakat desa dalam berbagai sektor
penghidupan. Secara internal wewenang pemerintah desa mengelola sumber daya air bersih
sebagai aset desa diserahkan kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Legitimasi
BUMDes sebagai kelembagaan desa diprioritaskan untuk pemberdayaan ekonomi (Samsir,
2016). Terkait hal ini, studi Rodiyah (2015), Agunggunanto et al. (2016), Wicaksono, Surya,
dan Iskandar (2017) menjelaskan kebijakan pengelolaan air bersih masih dalam bentuk aset
desa seperti pengembangan usaha air minum desa dan potensi wisata mata air.
Di sisi lain, kelembagaan internal di tingkat desa belum mengutamakan keberlanjutan
hutan yang berdampak terhadap tata guna air (Wulandari, 2007; Triana, 2014; Maria &
Lestiana, 2014). Studi-studi yang berpihak pada konservasi jasa lingkungan hutan
menekankan urgensi suplai air yang berkelanjutan (Primmer et al., 2015; Sarkki, 2017;
Delgado et al., 2021). Minimnya pemanfaatan sumber daya air bersih yang diiringi dengan
konservasi hutan berimplikasi pada siklus hidrologis air menjadi tidak berkelanjutan
(Sosiawan & Subayono 2009). Oleh karena itu, diperlukan otoritas desa untuk menyusun tata
kelola pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air bersih dalam wilayah DAS maupun
sub-DAS. Sebagai bentuk kebijakan desa dalam merespon kemungkinan keterbatasan akses
atas air atau bahkan konflik yang dapat terjadi (Tarigan et. al 2013, Hakim et.al 2017,
Batubara 2017).
Era Undang-Undang Desa yang baru ini gencar mendoktrinasi gagasan desa
membangun di mana desa sebagai subjek pembangunan. Akan tetapi, gagasan pembangunan
desa yang tertuang belum memprioritaskan batasan wilayah DAS sebagai narasi
pengembangan kawasan perdesaan berbasis jati diri wilayah. Umumnya pelaksanaan
pembangunan desa hasil dari antusiasme negara untuk menghasilkan solusi-solusi seragam
dalam menyelesaikan masalah pedesaan. Selain itu, wujud pembangunan desa bertumpu pada
kesejahteraan sebagai hasil akhir yang ingin dicapai. Misalnya, kebijakan Revolusi Hijau
yang mengejar target swasembada beras. Kemudian baru-baru ini desa wisata menjadi tren
untuk meningkatkan pendapatan desa. Bentuk pembangunan desa seperti itu cenderung
berorientasi pada tujuan tunggal dan masih alpa untuk menemu kenali hubungan karakter
wilayah dengan sistem penghidupan masyarakat desa. Akibatnya, pembangunan tidak
menghasilkan transformasi desa, melainkan memunculkan krisis multi aspek dan
ketidakmerataan pengaturan sumber-sumber vital mata pencaharian masyarakat (Lang 2013).

3
Dinamika pembangunan desa sebenarnya sangat khas dengan lintas geografis. Tidak
jarang desa mengalami tumpang tindih dengan ruang penguasaan negara seperti penetapan
dan penggunaan kawasan hutan (Bachriadi, 2020). Meskipun Undang-Undang Desa
melegitimasi desa administratif maupun desa adat bagian dari sub-sistem negara. Namun
selama kebijakan ini berjalan peminggiran terhadap desa masih terjadi. Inkonsistensi negara
dalam memberikan kewenangan kepada komunitas adat justru menimbulkan marjinalisasi
adat (Suartina, 2020). Tantangan yang dihadapi desa administratif pun juga menyoal
ketimpangan distribusi lahan. Persoalan ini tidak terlepas dari skema privatisasi yang
terencana ataupun berjalan secara otomatis dalam rencana-rencana pembangunan (Li, 2012).
Kepentingan terhadap keberadaan sumber daya alam maupun lingkungan tempat
tinggal mengarah pada kontestasi ruang. Padahal keruangan spasial itu mewadahi segala
bentuk kehidupan sosial dan hubungan institusional. Harmes (2021) menyatakan bahwa
perebutan ruang yang terjadi tidak selalu berkaitan dengan pengambilalihan wilayah ataupun
tempat. Tetapi, berkaitan juga dengan pemaksaan perubahan sistem sosial. Implikasi
perubahan ini yang dimaksudkan agar mengubah tatanan lama menjadi tatanan baru. Menurut
Nee (1994) perubahan institusional cenderung mengikuti perubahan pasar. Namun perlu
analisis yang mendalam mengenai perubahan dapat terjadi karena sebagian besar melibatkan
mekanisme kausal yang berada dalam rangkaian level makro, meso, dan mikro. Sementara itu
Piattoni (2009) memahami terjadinya dinamika terhadao ekspansi ruang penguasaan oleh
negara karena meningkatnya kekuatan wilayah konstituten yaitu pemerintah lokal, sehingga
memungkinkan penyelenggaraan tata kelola secara multi level. Terkait hal ini, konsep
lokalisme ‘merangkul’ hubungan antara wilayah, institusi, dan teritori.
Pembangunan merupakan hal yang krusial bagi subjek desa karena bentuk lain dari
upaya membentuk wajah lingkungan, tata penghidupan, dan identitas masyarakat (Li, 2012).
Setelah era Orde Baru, pembangunan yang dilaksanakan mulai mengarah pada distribusi
kuasa kepada pemerintah daerah. Termasuk juga memberikan untuk memutuskan kebijakan
pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai. Sementara pembagian kewenangan kepada
pemerintah di tingkat desa baru berjalan hampir dua dekade setelah Reformasi. Harapannya,
Undang-Undang Desa dapat mengakomodir transformasi desa secara perlahan dalam sektor-
sektor utama.

4
1.2 Permasalahan
Kepentingan DAS Cikapundung Hulu terhadap DAS Citarum salah satunya berkenaan
dengan penanganan lahan kritis untuk keberlanjutan pengelolaan sumber daya air (Imansyah,
2012). DAS Cikapundung Hulu merupakan bagian dari Sungai Cikapundung yang memasok
aliran air (anak sungai) ke DAS Citarum. DAS Citarum menjadi salah satu DAS prioritas
nasional yang mengalir hampir di 12 kabupaten/kota di Jawa Barat sepanjang 270 km.
Terbentang dari Situ Cisanti di Kabupaten Bandung dan bermuara di Pantai Muara Bendera
di Kabupaten Bekasi yang mengarah ke Laut Jawa.
Sungai Citarum menjadi hilirisasi dari persoalan lahan kritis, limbah industri, dan
masalah lainnya yang berasal dari 12 anak sungai lainnya di Jawa Barat. Perhatian
pemerintah pusat terhadap DAS Citarum terkait penanganan pencemaran dan kerusakan
ekosistem DAS melalui Perpres Nomor 15 Tahun 2018 (citarumharum.org). Program ini
dilaksanakan Provinsi Jawa Barat lewat Gerakan Citarum Bestari yang melibatkan multi-
sektor. Citarum Harum menjadi salah satu dampak pengelolaan sumber daya air sungai yang
‘terlambat’ karena pelibatan multisektor dimulai setelah muncul berbagai permasalahan.
Mata air DAS Cikapundung berasal dari kawasan yaitu Gunung Bukit Tunggul yang
memiliki ketinggian 2206 mdpl dan Gunung Palasari yang bersisian dengan Sesar Lembang.
Terbentuknya kawasan mata air DAS Cikapundung Hulu diketahui melalui proses tektono-
vulkanik. Gunung Bukit Tunggul merupakan gunung tertinggi di zona pegunungan Kawasan
Bandung Utara. Menurut wilayah administratif, Gunung Bukit Tunggul berada di perbatasan
antara Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Bandung. Gunung
Bukit Tunggul terdiri dari kawasan hutan lindung yang menjadi ekosistem bagi mata air DAS
Cikapundung Hulu.
Temuan pra-penelitian menunjukkan (Rifandini, 2022) terdapat beberapa isu
kelembagaan yang melingkupi DAS Cikapundung Hulu. Pertama, interaksi masyarakat desa
yang bertempat tinggal di hulu berimplikasi terhadap kondisi Sungai Cikapundung di hilir
yang menjadi sumber air baku kota Bandung (Rizka, 2014). Kedua, kawasan DAS
Cikapundung bagian hulu yang merupakan wilayah hutan berada di dua persinggungan
wilayah dan institusional. Area ekosistem mata air Sungai Cikapundung berada di kawasan
hutan Bukit Tunggul yang secara administratif terletak di daerah perbatasan tiga kabupaten,
yaitu Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Subang.
Persinggungan administratif ini juga bertindihan dengan wilayah institusional Perhutani dan
PTPN VIII Perkebunan Kina.

5
Perdebatan studi pedesaan di Indonesia relatif berkembang pasca kebijakan
pengembalian otonomi (subsidiaritas) dan pengakuan negara (rekognisi). Luthfi (2017) dan
White (2017) menganggap demokratisasi desa yang diupayakan Undang-Undang Desa yang
baru belum mampu menyelesaikan krisis pedesaan seperti ketimpangan penguasaan sumber
daya alam, konflik agraria, dan krisis tenaga kerja di pedesaan. Beberapa studi kerap
mengaitkan konteks pedesaan dengan kontestasi negara terhadap pengelolaan sumber daya
alam (Afrizal, 2012). Misalnya, terkait penetapan wilayah-wilayah hutan yang mulanya milik
masyarakat desa (adat) sebagai bentuk teritorialisasi (Siscawati, 2014). Negara
mengoperasionalisasi kekuasaannya dalam menentukan batas-batas ruang geografis. Semata-
mata tujuannya untuk mengontrol aktivitas penggunaan sumber daya hutan (Vandergeest &
Peluso, 1995). Kemudian, kasus deforestasi dan perebutan lahan dengan masyarakat desa
adat menjadi implikasi yang sering ditemui dalam konflik pembangunan (Zakaria, 2014;
Siscawati, 2014; Anindita, 2015).
Sebagian dari studi-studi itu berangkat dari perspektif politik agraria ataupun agraria
kritis cenderung berseberangan dengan kebijakan negara yang menginisiasi pembaruan desa
(Peluso, Afif, dan Rachman, 2008; White, 2017; Shohibbudin, 2017, Rachman, 2018).
Asumsi dasar kelompok ini, khususnya agraria kritis, menganggap negara melalui
serangkaian kebijakan secara terus-menerus melanggengkan ketidakadilan sumber-sumber
agraria yang seharusnya mendukung kehidupan desa (Shohibbudin, 2018). Sebab, kebijakan
yang dirancang bertujuan untuk memanipulasi perubahan.
Tesis ini bertolak dari pandangan agraria kritis karena untuk memberikan pandangan
yang berbeda dalam membahas pengaturan ruang di wilayah pedesaan. Tesis ini
menggunakan pendekatan institusional Victor Nee (1998) yang berfokus membangun
keterjalinan institusi dari kerangka New Institutionalism in Economic Sociology (NIES).
Genealogi pemikiran Nee dalam menyusun pendekatan NIES diperoleh dari kritiknya
terhadap metodological holism yang harus dapat menjelaskan fenomena sosial secara holistik,
kolektivis, dan makro. Nee (1998) mendebatnya dengan menggunakan paradigma ekonomi
institusionalis baru. Oleh karena itu, kerangka berpikir yang ditawarkan Nee bertujuan
menjelaskan mekanisme perubahan interelasi antar aktor dan institusi yang membentuk
jaringan sosial dan norma dalam tindakan ekonomi.
Lokalisme berangkat dari pendekatan politik yang menandai keberfungsian demokrasi
di tingkat lokal Pratchett (2004), Stoker (2007), dan Fawcett & Marsh (2013).
Penyelenggaraan lokalisme itu merujuk pada praktik mikro-deliberatif atau distribusi
kekuasaan. Bentuk-bentuk lokalisme yang cukup sering ditemui dalam kebijakan seperti

6
desentralisasi, devolusi, atau subsidiaritas (Parkinson, 2007; Painter et.al, 2011; Ercan &
Hendriks, 2013). Berbeda dari Piattoni (2009) yang menjelaskan lokalisme dibentuk dari
interaksi multi-level pusat-pinggiran, negara-masyarakat, dan internasional-domestik. Posisi
pendekatan NIES terhadap lokalisme bertujuan untuk mendudukkan keterhubungan aktor dan
institusi berbagai level makro, meso, dan mikro (Nee, 2003; Nee and Opper, 2012). Terkait
bagaimana kekuasaan itu terdistribusi dari lingkungan institusional hingga level mikro
melalui dinamika interaksi arena organisasional di tingkat meso (Nee, 1998).
Penelitian ini mengeksplorasi lokalisme dalam bentuk subsidiaritas yang menjadi asas
hukum yang mendasari Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Konteks kebijakan ini
menandai bahwa subsidiaritas membuka peluang bagi desa untuk menetapkan kebijakan
sesuai dengan kebutuhan dan kapasitasnya. Pendekatan institusional yang menekankan
keterjalinan institusi bertujuan untuk mendorong penataan ulang cara pandang kehidupan
desa dan relasinya terhadap negara. Ditambah dengan pertimbangan peta wilayah sebagai
tinjauan keruangan. Deskripsi peta wilayah menjadi dokumentasi (evidence) keterkaitan
wilayah dengan sistem aktivitas masyarakat desa. Selain mendudukkan posisi kewenangan
institusi negara-desa, peta wilayah menjadi klaim yang penting dikemukakan untuk merespon
balik intervensi negara terkait penentuan batas-batas ruang.
Terkait dengan itu, tesis ini menganalisis penyelenggaraan pengelolaan air bersih desa
di kawasan DAS Cikapundung Hulu di Jawa Barat. Pengelolaan air bersih di kawasan DAS
menjadi isu yang dinamis untuk mewakili penyelenggaraan kewenangan desa dengan bingkai
keruangan wilayah. Konteks masalah diangkat bertujuan melihat aktualisasi desa di rezim
Undang-Undang Desa. Dalam hal kapasitas desa mengadakan hubungan institusional dalam
rangka memenuhi kepentingannya. Air bersih menjadi kebutuhan vital bagi penyelenggaraan
kehidupan desa. Tidak hanya untuk konsumsi domestik rumah tangga, tetapi juga
menyangkut sumber-sumber penghidupan di desa.
Metode penelitian yang digunakan yaitu Soft-systems methodology (SSM) based multi
method kelanjutan dari Muhammaditya et al. (2021) yang menambahkan analisis SNA
(Social Network Analysis) untuk menganalisis lingkungan institusional di level makro. Dalam
metode SSM, SNA ini berkepentingan untuk menggambarkan jaringan aktor-aktor dalam
narasi peraturan tata kelola air bersih di kawasan DAS. Studi SSM Hardjosoekarto et al.
(2013) dan Fazriah (2017) menguraikan SSM dari pendekatan NIES, sementara Bunch
(2003), Habron, Kaplowitz, & Levine (2004), dan Suriya & Mudgal (2013) menggunakan
SSM untuk kepentingan praktis pengaturan wilayah. Berbeda dari studi-studi terdahulu, tesis

7
ini menambahkan ragam data geografis pada tahapan situasi problematis untuk menyingkap
keterhubungan sistem aktivitas manusia dengan sistem fisik wilayah.

1.3 Pertanyaan Penelitian


Pertanyaan penelitian berikut dirumuskan untuk mengeksplorasi lokalisme desa dari
pendekatan NIES dengan pertanyaan utama ;
“Bagaimana keterjalinan institusional menempatkan desa-desa di kawasan DAS
Cikapundung Hulu dalam urusan tata kelola air bersih?”
Pertanyaan pokok diatas dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan pendukung sebagai
berikut:
1. Bagaimana regulasi di level makro mengatur tata kelola air bersih di tingkat desa?
2. Bagaimana arena organisasional desa menjalankan pengambilan keputusan lokal
dalam tata kelola air bersih?
3. Bagaimana relasional individu dan kelompok membentuk norma pengelolaan air
bersih?

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian dirumuskan dengan mengacu permasalahan studi dan pertanyaan
penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterjalinan kelembagaan tata kelola
air bersih tiga desa di kawasan DAS Cikapundung Hulu pada konteks makro, meso, dan
mikro. Tujuan utama ini dapat dijabarkan melalui poin-poin sebagai berikut ;
1. Menggambarkan narasi peraturan di tingkat makro terkait peran desa.
2. Menjelaskan situasi arena meso perihal interaksi antar desa dalam menjamin suplai dan
permintaan air bersih.
3. Mendeskripsikan interaksi dan norma yang membentuk mekanisme pengelolaan air
bersih di tingkat desa.

1.5 Signifikansi Penelitian


Penelitian ini mengangkat isu penerapan Undang-Undang Desa dalam konteks tata
kelola air bersih di kawasan hulu DAS Cikapundung. Topik ini merupakan isu yang penting
untuk diteliti karena menyasar tiga signifikasi. Signifikansi pertama menyasar aspek teoritis
yang merangkai konsep lokalisme dengan perspektif NIES untuk menganalisis keterjalinan
institusi multi-level di pedesaan. Kedua konseptual ini memiliki kepentingan terhadap

8
penyerahan wewenang untuk menyelenggarakan otonomi desa sesuai konteks pengambilan
keputusan lokal dan karakteristik geografis.
Signifikansi kedua dari sisi metodologis. Penggunaan metode soft-systems methodology
based multi-method belum banyak dilakukan untuk menjelaskan realita empiris dalam
masyarakat. Berbeda dari riset terdahulu dengan menambahkan kebaruan teknik
pengumpulan data. Pertama, kelanjutan dari riset Muhammaditya (2021) yang menambahkan
sNA dalam tahapan SSM untuk menganalisis situasi masalah pada tahap pertama. Pada tahap
kedua, tesis ini menambahkan peta geografis dari sistem penginderaan jarak jauh. Ragam
data geografis yang dihasilkan dari Google Earth memberikan kebaruan pada rich picture
untuk menggambarkan situasi problematis sistem aktivitas manusia yang bergantung pada
lingkungan.
Kemudian, signifikansi praktis dalam penelitian ini diharapkan menjadi rekomendasi
kebijakan yang dapat membantu otoritas antar desa dalam menjamin suplai dan permintaan
air bersih secara berkelanjutan di kawasan DAS. Rekomendasi kebijakan ini ditujukan pada
aparatur desa untuk menegakkan prinsip subsidiaritas dan rekognisi berdasarkan konteks
kehidupan (wilayah dan masyarakat) desa masing-masing.

1.6 Sistematika Penelitian


Penelitian tesis ini dibagi ke dalam tujuh bab yang terdiri atas :
1. Bab 1 Pendahuluan.
Bagian pendahuluan ini berisi tentang penjelasan mengenai permasalahan penelitian yang
berangkat dari gejala pembangunan desa, konteks kebijakan Undang-Undang Desa yang
mendasari isu penelitian diteliti, ringkasan pemetaan penelitian-penelitian sejenis terdahulu,
pertanyaan penelitian, tujuan dan signifikansi penelitian, serta sistematika penelitian.
2. Bab 2 Kerangka Pemikiran.
Bagian bab 2 terdiri dari atas uraian riset terdahulu, posisi peneliti terhadap penelitian
terdahulu, dan penjelasan kerangka konseptual yang menggunakan keterjalinan institusi dari
perspektif new institutionalism in economic sociology. Di bab ini peneliti menjelaskan proses
membangun landasan konseptual menjadi kerangka berpikir.
3. Bab 3 Metode Penelitian.
Bab ini membahas sistematika proses riset yang menggunakan metode Soft-System
Methodology yang memiliki tujuh tahapan dari Checkland (2000). Metode SSM
dikombinasikan dengan metode TNA untuk membantu menganalisis lingkup makro dengan
berpijak studi Muhammaditya (2021). Peneliti menjelaskan pendekatan penelitian yang

9
digunakan, unit analisa, teknik pengumpulan data dan jenis data, teknik pengolahan data,
durasi penelitian, dan limitasi penelitian.
4. Bab 4 Deskripsi Lokasi Penelitian.
Bagian ini menerangkan delineasi DAS Cikapundung Hulu dan karakteristik wilayah tiga
desa yang menjadi lokus penelitian. Bab ini juga menguraikan data geografis, struktur sosial,
dan pola penggunaan air bersih sebagai penjabaran dari konteks mikro.
5. Bab 5 Analisis Keterjalinan Institusi.
Bab ini menganalisis dinamika hubungan kelembagaan berdasarkan 7 tahapan SSM. Analisis
ini bertujuan menjawab pertanyaan penelitian utama.
6. Bab 6 Kesimpulan dan Rekomendasi
Bagian ini merupakan rangkaian penutup dari keseluruhan bab penelitian yang berisi
kesimpulan dan rekomendasi. Rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian ini merupakan
upaya untuk menyusun usulan kebijakan praktis.

10
BAB II
Tinjauan Literatur
2.1 Tinjauan Pustaka
Sosiologi harus dipahami secara subjektif oleh setiap yang mempelajari ataupun yang
menggunakan sosiologi sebagai kerangka penelitian. Gunanya agar pengetahuan tentang
sosiologi dapat menjadi suatu proses yang bermakna bagi subyek diri yang meneliti. Bagian
ini merupakan bangunan pemikiran penelitian yang disusun berdasarkan pemahaman peneliti
sebagai upaya membaca sosiologi dan menjahitnya dengan situasi empiris. Pertama-tama
peneliti mengulas lokalisme dari berbagai perspektif. Tujuannya untuk merangkum banyak
pemikiran dan membatasi definisi lokalisme menjadi fondasi kerangka konseptual. Dalam
menyusun tinjauan pustaka, peneliti berusaha mengedepankan konteks kebijakan, ruang, dan
sejarah dari ragam literatur yang diulas. Salah satunya tercermin pada upaya peneliti
meninjau konstruksi lokalisme yang muncul dari konteks kebijakan di Inggris dan
perbedaannya dengan situasi di Indonesia.
Di bab 2 ini, peneliti juga menekankan atribut fisik lingkungan yang memberikan
pengaruh kehidupan masyarakat terutama pedesaan. Peneliti mengangkat sisi krusial dari
masyarakat pedesaan yaitu pengelolaan air bersih dan kaitannya dengan tata wilayah,
khususnya kawasan DAS. Kemudian, dielaborasi dengan berbagai perspektif sosiologi
pedesaan yang jamak digunakan dalam dunia akademis sosial di Indonesia. Terkait dengan
bangunan teoritis, peneliti meminjam dari gagasan pendekatan New Institutionalism in
Economic Sociology yang menggambarkan keterjalinan institusi sosial di berbagai level.
2.1.1 Studi-studi Terdahulu Mengenai Tata Kelola Multi-Level
Sebagian besar literatur melekatkan lokalisme dalam konteks kebijakan sosial yang
berlangsung di Inggris. Kebijakan Localism Act pada tahun 2011 menjadi momentum bagi
kemunculan perbincangan lokalisme. (Hildreth, 2011; Shucksmith, 2012). Dalam kebijakan
ini, pemerintah Inggris memberikan kekuasaan kepada masyarakat lokal dan menyerahkan
tanggung jawab strategis kepada otoritas lokal untuk menyusun perencanaan administratif.
Shucksmith (2012) merinci cakupan pelimpahan wewenang dalam Localism Act 2011,
diantaranya hak pilih kepala daerah (walikota), hak veto kenaikan pajak yang berlebihan, dan
berbagai pengaturan yang berkaitan dengan perencanaan dan alokasi pembangunan
perumahan. Lokalisme merupakan pemfokusan ulang mengenai demokrasi. Dalam hal ini,
lokalisme diartikulasikan sebagai anti-tesis dari sentralisasi atau otoritarianisme (Parkinson,
2007).
Untuk menelusuri dasar dari pemikiran lokalisme, Mohan & Stokke (2000) berpendapat

11
tentang lokalisme berasal dari dua aliran pemikiran pembangunan yang dikotomis, yaitu Neo-
liberalisme revisionis dan Post-Marxis. Lokalisme dalam neoliberalisme dipandang sebagai
pergeseran strategi pembangunan yang menekankan deregulasi pasar secara tunggal.
Kemudian, beralih dengan menekankan reformasi kelembagaan dan pembangunan sosial.
Upaya reformasi kelembagaan dilakukan lewat cara-cara top down. Berlawanan dengan
pemikiran neoliberal, gagasan lokalisme dalam pemikiran Post-Marxis didasarkan pada
pembentukan identitas kolektif dan pengalaman bersama yang dicapai dengan dorongan
untuk menghargai ke-lokal-an seperti pengetahuan lokal sebagai basis aksi kolektif. Mohan
dan Stokke (2000) beranggapan bahwa lokalisme merupakan wacana yang dinamis untuk
menata ulang cara pandang terhadap penyelenggaraan kehidupan yang khas lokal. Oleh
karena itu, definisi lokalisme akan selalu berkaitan dengan otonomi lokal atau pemerintah
lokal, desentralisasi atau devolusi, dan demokrasi lokal.
Beberapa sarjanawan menanggapi lokalisme dengan antusias karena hadirnya lokalisme
dianggap sebagai penanda keberfungsian demokrasi (Pratchett, 2004 dan Fawcett & Marsh,
2013). Hal ini karena lokalisme menjadi salah satu cara bagi pemerintah desa untuk hadir
lebih dekat dengan warganya untuk menghasilkan legitimasi keputusan berbasis kolektif.
Stoker (2007) menilai lokalisme mencakup respon realistis terhadap kompleksitas
pemerintahan modern dan bentuk demokrasi. Pendapat ini diperjelas Painter et.al (2011)
bahwa lokalisme dapat menjangkau koordinasi pengambilan keputusan publik melalui
pemberdayaan masyarakat. Prinsip utama lokalisme karena mengalihkan kekuasaan dari
pusat dan memberdayakan otoritas dan masyarakat tingkat bawah untuk mengambil lebih
banyak tanggung jawab dan pengambilan keputusan. Lokalisme mengimbangi ketidakpekaan
lembaga negara dalam rangka mengidentifikasi kebutuhan masyarakat lokal. Oleh karena itu,
lokalisme mewadahi individu atau kelompok agar sebisa mungkin terlibat dalam keputusan
yang memengaruhi kehidupan mereka (Hogan & Lockie, 2013). Sementara itu, Ercan &
Hendriks (2013) memiliki pandangan yang berbeda mengenai proses deliberasi yang
berlangsung di tingkat lokal (minipublic). Menurutnya, lokalisme memang memiliki potensi
untuk mewujudkan demokrasi deliberatif, akan tetapi, juga memiliki kecenderungan terhadap
praktik administratif dari penyerahan kekuasaan kepada pemerintahan lokal (Evans et al.,
2013).
Kaitan lokalisme dengan desentralisasi lebih menekankan distribusi kekuasaan secara
spasial (Madanipour & Davoudi, 2015). Terkait hal ini, lokalisme dikonseptualisasikan dari
dua arah yang berbeda yaitu pembagian kekuasaan oleh kekuasaan yang lebih tinggi atau
tawaran otonomi oleh otoritas yang lebih rendah. Kriteria pembagian ini didasarkan pada

12
serangkaian perhitungan tentang distribusi dan penggunaan sumber daya yang efisien serta
memastikan jangkauan yang efektif dari kekuatan pusat kepada seluruh wilayah yang
dikuasai. Bentuk alternatif dari lokalisme yaitu subsidiaritas yang berkenaan dengan desain
institusional yang bertujuan mempromosikan pembangunan lokal. Popularitas istilah
lokalisme yang berada di spektrum politik juga memiliki makna dalam ranah ekonomi lokal.
Hogan dan Lockie (2013) membahas lokalisme dalam diskursus ekonomi pedesaan yang
khas dengan pertanian. Dalam naungan lokalisme, masyarakat pedesaan memiliki
kesempatan untuk mengamankan keberlanjutan sosial ekonomi dengan mengambil
pendekatan kewirausahaan untuk mengembangkan aset dan sumber daya lokal. Roy et.al
(2021) yang menyelidiki kekuatan social enterprise dalam mengimbangi peran negara
dengan pengambilan keputusan kolektif dalam deliberasi publik (Mair et.al, 2012; Roy dan
Hackkett, 2017; Mair dan Sucht, 2019).
Madanipour & Davoudi (2015) mengkaji gagasan lokalisme dan berbagai maknanya
dalam domain ekonomi, sosial, politik dan lingkungan untuk memberikan pemahaman yang
luas tentang lokalisme. Selain itu, bertujuan juga untuk mengembangkan artikulasi lokalisme
dan relevansinya dengan diskusi terkait seperti tata kelola (governance), demokrasi,
partisipasi warga, ataupun transisi keberlanjutan. Ragam definisi lokalisme sebagai berikut :
Tabel xx
Definisi Lokalisme dalam Berbagai Perspektif
Arena Pendefinisian Relevansi Istilah

Politik Penyerahan kekuasaan dan tanggung jawab Subsidiaritas,


dari pusat kepada daerah atau dari negara desentralisasi,
kepada rakyat. devolusi

Sosial Kedekatan yang erat antara ikatan budaya dan Komunitas;


ikatan tempat yang keduanya merupakan kehidupan kolektif
kondisi yang diperlukan untuk kehidupan
kolektif

Ekonomi Proses membangun usaha lokal dengan Civic enterprise


mempergunakan sumber daya lokal yang
tujuannya untuk memperkuat pertumbuhan
endogen.

Lingkungan Aktivitas membalikkan krisis ekologis di lingkup Transisi


yang kecil untuk membawa perubahan keberlanjutan
sistemik.

Spasial (Geografi) Unit spasial yang mengacu skala geografis Skala geografis kecil

13
dengan tingkatan yang lebih rendah dari hirarki
global, nasional, dan regional.
Sumber : Madanipour & Davoudi (2015).
Lokalisme dari perspektif lingkungan pada dasarnya mewakili konteks tata kelola
(governance) lokal yang mengedepankan hubungan lingkungan dengan manusia. Hal ini
menjadi pertimbangan utama dalam membingkai ulang kebijakan pembangunan lokal (Rees,
2015). Argumen ini konsisten dengan prinsip subsidiaritas yang beranggapan bahwa
kekuasaan praktis pada tata kelola level rendah harus dipengaruhi oleh kelompok masyarakat
setempat terutama dalam pengambilan keputusannya. Penekanan lokalisme pada lingkungan
berupaya mengerahkan kekuasaan dari pusat ke tingkat lokal untuk mempromosikan
keberlanjutan lingkungan (Cowell, 2015). Sebagian pendapat menempatkan lokalisme
lingkungan pada transisi keberlanjutan. Hal ini ditujukan pada konteks penyediaan perubahan
dan adaptasi hubungan manusia yang tergantung pada transisi teknologi baru untuk
mengatasi masalah yang harus diselesaikan (Geels, 2002; Bulkeley & Broto, 2013).
Kritik terhadap lokalisme lingkungan ini yaitu cara pandang lokalis-globalis terlalu
menitikberatkan pengaturan komunitas politik skala kecil untuk menangani kekacauan
ekologis, salah satunya dengan memobilisasi kesadaran massa terhadap keberlanjutan
lingkungan. Padahal penciptaan masalah lingkungan di setiap wilayah berbeda satu sama
lainnya, sehingga pengenalan atribut lingkungan dan perannya terhadap pengaturan
penghidupan sosial-ekonomi jauh lebih dibutuhkan untuk menyelidiki formulasi kebijakan
lokal yang efektif. Pemahaman tentang keberfungsian atribut lingkungan cenderung
diakomodir oleh perspektif spasial. Tvedt (2009) dan Henderson (2015) menyasar langsung
pada kawasan DAS sebagai atribut fisik wilayah yang berperan penting dalam
mengkonstruksi kehidupan sosial. Tidak hanya di Amerika yang menetapkan pembagian
wilayah berbasis DAS (Box, 1977; Tvedt & Jacobson, 2006), melainkan juga di Australia.
Henderson (2015) menjelaskan pembagian wilayah DAS di Australia mereplikasi laporan
ilmiah negara bagian Amerika sebagai dasar kebijakan pedesaan, bahkan sejak zaman
kolonial Inggris.
Kebijakan pengaturan air yang dirancang dalam Irrigation Act mengusung hak riparian
milik negara. Hak riparian yaitu pemberian hak kepada pemilik tanah hak untuk
menggunakan air yang ada dan atau mengalir melewati tanah mereka selama penggunaan
tersebut tidak secara substansial mempengaruhi kualitas air atau penggunaan ekonomi orang
lain (Foster 2000). Pengaturan air diperuntukkan mengatasi kelangkaan sumber daya air yang
berbanding terbalik dengan luasan tanah di Australia. Pasalnya, penyediaan air di Australia

14
selama beberapa dekade bagian dari kontrak sosial yang memberikan penghargaan kepada
petani dan cara hidup pedesaannya karena telah menyediakan ‘imbalan makanan’ kepada
negara. Oleh karena itu, water and the making of regional menjadi isu utama pembentukan
teritori pedesaan di Australia.
Perspektif-perspektif lokalisme ini menjadi tawaran bagi kebaruan studi pedesaan,
khususnya mengenai cara pandang terhadap desa. Perspektif sosiologi pedesaan secara umum
masih terbatas pada perkembangan sekelompok masyarakat yang hidup dan bergantung pada
pertanian, seperti Taylor (1923) yang mengemukakan pertanian sebagai fondasi awal dari
sosiologi pedesaan. Riset-riset yang berkembang dalam Journal of Rural Studies pun
cenderung memusatkan multifungsi pertanian sebagai paradigma mainstream pembangunan
desa (Ploeg & Roep, 2003; Shucksmith, 2012; Bock, 2016; Huttunen, 2019). Selain itu, pisau
analisis yang berkembang dalam sosiologi pedesaan juga belum spesifik (Lichter, 2015) dan
sangat bergantung pada tema-tema riset yang diturunkan dari konteks kebijakan, khususnya
yang berlaku di Amerika dan Eropa (Krannich, 2008; Conner, Jensen, dan Ransom, 2014).
Scoones (2015) menggagas perspektif penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood)
yang lebih komprehensif untuk menganalisis kehidupan masyarakat desa. Ia membangun
kerangka kerja yang multi-dimensional dari riset Chambers (1992, 2008) mengenai studi
lapangan desa, pendekatan geografi dari Sakdapolorak (2014), kolaborasi ekologis (Fardon
1990), analisis ekonomi pedesaan (Lipton dan Moore 1972), dan orientasi jaringan aktor
(Long 1984 dan Zoomers 2005).
Sosiologi pedesaan di Indonesia yang berkembang juga tidak lepas dari analisis
pertanian dan dinamika kelas pedesaan (Breman and Wiradi 2004), struktur sosio-ekonomi
pertanian (Iwamoto and Hartono 2009), dan kaitan analisis kelas dengan kapital sosial
(Lawang 2019, 2021). Di sisi lain, sosiologi pedesaan Mazhab Bogor (Dharmawan, 2007)
yang dipelopori dari pemikiran Sajogyo (1965), Tjondronegoro (2008,) Wiradi (2009)
menghasilkan perspektif agraria yang digunakan untuk membedah persoalan desa.
Pendekatan agraria yang berkembang menjadi politik agraria maupun agraria kritis ini
memandang pokok masalah pedesaan seputar ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekologis
disebabkan karena ketidakpahaman negara mengenai natur sosial dan lingkungan desa
(Rachman 2017; Afrizal 2012). Pendekatan agraria ini juga mendasari riset aksi mengenai
perjuangan atas kepemilikan dan pengurusan lahan hingga melahirkan gerakan sosial yang
mengkritisi kebijakan terkait desa
Berbeda dari arus utama sosiologi pedesaan yang bertumpu pada analisis ekonomi
pertanian dan agrari, konsepsi lokalisme yang digunakan berupaya membingkai ulang

15
perspektif sosiologi memandang desa. Dalam hal ini, desa sebagai kapasitas unit lokal untuk
menyelenggarakan tata kelola wilayah (lingkungan dan spasial). Terutama dalam
mengadakan hubungan lingkungan dengan manusia untuk memenuhi kebutuhan sosial dan
ekonomi. Untuk menandai keberfungsian lokalisme pedesaan, tesis ini berpendapat bahwa
penyelenggaraan kehidupan lokal perlu dikalibrasi – diujicobakan penerapannya – dalam
situasi konteks tertentu. Secara khusus tesis ini mengangkat konteks hubungan kelembagaan
(institusi) desa mengenai pengelolaan air bersih secara multi-level.
2.1.2 Lokalisme dalam Konteks Pedesaan Indonesia
Pandangan lokalisme yang telah diuraikan dari berbagai pustaka menjadi pijakan bagi
peneliti untuk membuat batasan lokalisme dalam konteks Indonesia yang ditinjau dari tiga
sudut pandang. Pertama, dari momentum kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah,
termasuk pula kebijakan desentralisasi desa yang senada dengan kebijakan Localism Act di
Inggris. Bertrand (2004) menandai kebijakan desentralisasi sebagai suatu arah baru bagi
demokratisasi dan otonomi daerah. Keputusan ini bahkan menjadi upaya mengkonfigurasi
lembaga politik untuk memperantarai konflik di masing-masing daerah.
Berbeda dari Localism Act yang menyasar langsung pemberian peluang kepada
komunitas publik untuk mencapai keberdayaan (Bentley & Pugalis, 2013), kebijakan
desentralisasi di Indonesia baru mengatur sebatas pemindahan kekuasaan politik dan
desentralisasi keuangan dari negara kepada pemerintah daerah. Keluaran peraturan
desentralisasi saat bersamaan dengan runtuhnya masa Orde Baru. Maka dari itu, tujuan
dibuatnya peraturan tersebut semata-mata untuk mereformasi hubungan pusat dan daerah.
Melalui kebijakan desentralisasi, negara menetapkan kerangka baru mengenai pengaturan
lembaga politik. Unit administratif negara di tingkat provinsi dan kabupaten menjadi diwakili
oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota (Antlov, 2001). Lembaga-
lembaga di tingkat daerah ini berkewajiban terhadap negara untuk menjalankan beberapa
fungsi yang sudah ditetapkan, antara lain mencakup kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan
pelayanan prasarana.
Bertrand (2004) juga menambahkan secara umum kebijakan otonomi memiliki efek
meredakan sebagian tuntutan lokal dan mencegah mobilisasi kemarahan kepada pemerintah
pusat. Alasannya, otonomi daerah berperan besar terhadap distribusi kekuasaan politik dan
representasi kendali atas sumber daya yang dikuasai negara kepada pemerintah tingkat
provinsi atau kabupaten. Pengembangan ekonomi pada waktu ini mengarahkan otoritas untuk
memanfaatkan sumber daya di lingkup daerah menurut kebutuhan khas wilayah tersebut.
Salah satunya, lewat konsentrasi ekonomi pertanian era Reformasi sekitar tahun 2000-an

16
awal. Misalnya, perhatian khusus terhadap kawasan agribisnis sayuran atau hortikultura
(KASS/KAHS) terpusat di Sumatera dan kawasan agropolitan (Saptana et al., 2005) menjadi
pendekatan strategis untuk penciptaan wilayah agropolis. Tujuannya mengimbangi
kesenjangan desa-kota dengan meningkatkan nilai produksi pertanian (Budianta, 2010). Akan
tetapi, pelaksanaan kawasan sentra sayuran dan kawasan agropolitan menemui kegagalan
lagi-lagi karena situasi kelembagaan pertanian yang tidak mapan mengembangkan
kelembagaan agribisnis (Saptana et al. 2004).
Namun pengembangan ekonomi di tingkat daerah justru masih bergantung pada
ekspansi negara. Salah satunya, melalui Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mengimbuhi wacana pembangunan era Reformasi
berbasis penguatan koridor ekonomi (Yanuardy, 2014). Tampak serupa tapi tak sama, model
pembangunan kawasan terus dilanggengkan hingga pemerintahan saat dalam bentuk
Nawacita. Namun, rencana pembangunan kawasan ini lebih memprioritaskan konsep
kawasan pinggiran yakni desa dan perdesaan1 (Budiman dan Hastangka, 2020). Selain itu
titik balik reformasi desa ketika Undang-Undang Desa disahkan yang menandai babak baru
demokrasi desa. Sama halnya dengan pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten atau
kota, pemerintah desa pun menerima mandatori pelaksanaan pembangunan yang
dilaksanakan secara hibrid (Irawan, 2017). Di satu sisi desa memperoleh transfer Dana Desa
dari pusat bersama petunjuk juknis penggunaannya. Sementara di sisi lain, desa menerima
wewenang subsidiaritas atas penyelenggaraan perencanaan pembangunan desa. Undang-
undang ini memberi peluang dan harapan baru bagi pembaruan desa. Pembaruan itu
menghasilkan perubahan birokratisasi kelembagaan politik administratif di tingkat desa yang
memperoleh inklusivitas kewenangan yang mencakup arena penataan, penyelenggaraan,
pembangunan, dan pembuatan peraturan desa (Zakaria dan Simarmata, 2014).
Meskipun demikian, pelaksanaan Undang-Undang Desa tetap mempunyai catatan kritis
berupa pertarungan antara visi kebijakan dan penelitian (White, 2017; Luthfi, 2017), serta
persoalan irelevansi antara demokratisasi dan ancaman akses pengelolaan sumber daya alam
(Shohibbudin, 2016). Masalah yang terakhir ini berkaitan dengan krisis pedesaan yaitu
kombinasi antara persoalan struktural yang berbenturan dengan masalah agraria dan ekologi
sehingga menciptakan ketidakmampuan unit desa menyediakan kebutuhan hidup. Catatan

1 Tesis ini membedakan istilah perdesaan dan pedesaan. Penggunaan perdesaan merujuk pada istilah yang
banyak ditemui dalam narasi kebijakan dan sering dipadankan dengan frasa kawasan. Salah satunya dalam
Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 menerangkan pengertian kawasan perdesaan dalam Ketentuan
Umum Pasal 1 Poin 9. Sementara itu istilah pedesaan berasal dari penggunaan akademis, khususnya sosiologi
pedesaan, yang menggambarkan realitas sosial kehidupan masyarakat non-industri di unit wilayah terkecil.

17
evaluatif lainnya berkenaan dengan deliberasi pembangunan desa dinilai berpeluang besar
terhadap inkonsistensi praktik lapangan. Proses pembangunan desa menunjukkan realita
irelevansi. Studi Sambodho (2019) di Desa Sariendah di Jawa Bara yang merupakan lokus
riset populer dari Hans Antlov (2003) menunjukkan hegemoni negara tetap berlangsung
dalam pemerintahan desa yang dilanjutkan. Aktor musrenbangdes di Desa Sariendah belum
mengakomodasi rutinitas perempuan yang rata-rata memiliki tanggung jawab pekerjaan
domestik dan publik. Demokratisasi belum menyasar perubahan fundamental praktik
citizenship sehari-hari karena diwarnai kelas sosial dan hubungan informal klientilistik (Vel,
Zakaria, dan Bedner, 2017).
Sudut pandang kedua mengenai karakteristik kehidupan sosial yang dapat ditemui
dalam pembagian wilayah kota dan desa. Pembagian kota-desa mencerminkan ideologi
dikotomis karena terperangkap dalam perbedaan satu sama lainnya seperti dikotomi ikatan
gemeinschaft dan gessellschaft (Sullivan, 1992). Pendapat ini menilai adanya keterkaitan
konstruksi atas kehidupan sosial berhubungan dengan tempat. Perjumpaan dengan bangunan
kerap ditemui di perkotaan sehingga karakter masyarakatnya dengan urban culture.
Hubungan sosial yang dicirikan dengan segmentasi peran dan keragaman loyalitas terhadap
hubungan sosial sekunder daripada hubungan sosial primer. Bayangan kehidupan pedesaan
yang diidentifikasi Sullivan (1992) terdiri dari kelompok komunal karena memiliki hubungan
erat dengan tanah sebagai tempat kehidupan berasal. Peneliti memahami bahwa tanah yang
diartikan sebagai lingkungan serta ikatan yang berlangsung merupakan kekuatan kehidupan
komunal di pedesaan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, tempat (wilayah) dan
kehidupan sosial merupakan unsur penting dalam memandang lokalisme di Indonesia.
Pandangan ini berkaitan dengan sudut pandang yang ketiga yang menilik rekonstruksi
geohistoris dalam menjembatani lokalisme di Indonesia. Pada dasarnya suatu wilayah
geografis menyimpan proses historis yang kompleks, sehingga untuk memperoleh gambaran
tentang penataan wilayah desa perlu kerangka sejarah perkembangan masyarakat di
Indonesia. Periodisasi ataupun sejarah perkembangan masyarakat Indonesia tidak terlepas
dari pengaruh Hindunisasi (masa kerajaan Hindu), Islamisasi ketika masuknya persebaran
agama Islam, dan kolonialisme yang merombak struktur sosial masyarakat (Geertz, 1981).
Ketiga pembabakan masa ini memiliki fungsi dan tujuan masing-masing. Misalnya, proses
Islamisasi yang menghapus struktur kasta kerajaan dengan semangat egaliter. Kemudian,
Westernisasi yang juga membantu menyusun kerangka holistik mengenai ke-Indonesia-an.
Terutama para antropolog Belanda yang mempelajari sejarah masyarakat, seluk-beluk cara
pandang dan bagaimana masyarakat Indonesia hidup yang kemudian hari berguna menjadi

18
kacamata membaca Indonesia.
Sejarah Indonesia menurut Vlekke (2016) berawal dari desa yang merupakan cikal
bakal peradaban masyarakat. Sedari awal kemunculan orang-orang Indonesia (Nusantara)
berasal dari desa, meskipun beberapa tempat di luar Jawa menyebutnya dengan kampung,
nagari, atau kuta. Kaitan desa dengan tempat digambarkan secara gamblang melalui
sekelompok rumah dengan lahan pertanian atau lumbung dan halaman yang mencakup juga
kepemilikan terhadap budidaya lahan tani atau sawah. Di sisi lain, desa merupakan kesatuan
teritorial terkecil (wanua karaman) dari wilayah kerajaan yang konsentris. Artinya, desa
merupakan bagian dari struktur geografi yang juga mencerminkan struktur sosial. Lombard
(2005) menggarisbawahi struktur sosial pedesaan sangat kuat susunan hirarkinya. Individu
tidak tampil secara bebas, melainkan bagian dari jaringan sosial yang disusun berdasarkan
hubungan raja-kawula atau patron-klien. Hak milik tempat (tanah) merupakan kepemilikan
tunggal seorang raja.
Raja dianggap sebagai poros kerajaan karena bertempat tinggal di tengah-tengah kota –
atau pusat kerajaan – bersama dengan pemerintahan dalamnya (parentah jero). Di sekitar
istana ibukota yang disebut dengan nagara mirip seperti negara itu sendiri merupakan tempat
pemerintahan luar (parentah jaba) dan kediaman kaum bangsawan dan priyayi. Sekitaran
ibukota terdapat lingkaran nagaragung yang berarti ibukota besar. Kemudian, terdapat
daerah-daerah kantong atau narawita yang berada dibawah kekuasaan raja berfungsi sebagai
daerah penghasil bahan pokok yang dibutuhkan lingkungan istana. Lingkaran luar terakhir,
lingkaran mancanagara, merupakan setara dengan provinsi yang letaknya jauh dan
berkedudukan sebagai tanah lungguh. Di wilayah ini raja mengangkat bupati yaitu kepala
daerah yang langsung tunduk pada patih (penasihat raja). Besarnya peran raja diketahui
karena pengaruh struktur agama Hindu yang menerapkan sistem kasta ala India. Termasuk
sistem pembagian ruang pemerintahan yang berdasar pada konsep denah Candi Plaosan Lor
(Lombard, 2005).
Kewilayahan desa dikatakan Geertz (1981) sebagai miniatur state karena menunjukkan
hubungan sosial beragam dan struktur pemerintahan hirarkis yang memiliki fungsi penataan
masyarakat dan wilayah. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaturan kehidupan zaman
kolonialisme telah mengubah organ-organ administrasi desa menjadi birokratis. Akan tetapi,
sistem kepemimpinan dan persepsi mengenai pengaturan kehidupan dihadapkan pada warisan
semi feodal dalam bentuk halus maupun otoriter. Terkait hal ini, Antlov (2001) menjelaskan
‘pamong desa’ yang lahir dari Undang-Undang Desa lama seperti ‘parasit sosial’ karena
menjalankan dualitas peran. Kehadiran pamong sebagai perwakilan organisasi negara yang

19
menjalankan administrasi di tingkat desa sekaligus birokrat desa yang menginginkan politik
dan penguasaan ekonomi lokal seperti tanah dan sumber pertanian. Namun di sisi lain,
keberadaan pamong desa atau aparatur desa memanifestasikan perkembangan fungsi
administratif desa.
Munculnya aparatur desa menandai bahwa karakter negara telah memperbarui organ-
organ desa dengan sifat birokratis namun tetap elitis. Hal ini mengingatkan pada praktik
kekuasaan ‘negara teater’ yang mendominasi hubungan kekuasaan negara-desa di Asia
Tenggara. Geertz (1981) mendefinisikan desa sebagai unit organik yang berdiri sendiri
berdasarkan kosmologis dan tumbuh dari perkembangan sosial-budaya, sedangkan negara
dilekatkan pada sifat sewenang-wenang terhadap kehidupan desa serta memamerkan
kekuasaan simbolik lewat praktik budaya upacara. Geertz (1981) menyoroti relasi kekuasaan
negara dengan praktik budaya lokal dan representasi negara yang dibangun melalui ritual dan
tradisi politik. Namun kondisi hari ini berubah, setidaknya semenjak Undang-Undang Desa
yang baru mereformasi relasi administratif dan struktural desa yang mengedepankan
subsidiaritas dan rekognisi penyelenggaraan kehidupan desa.
Bertolak dari itu, diperlukan penyelidikan yang melampaui Geertz untuk mencermati
situasi empiris dinamika pengorganisasian desa, karena banyak praktik kehidupan desa yang
telah meminggirkan pola perkembangan budaya. Dalam arti, penguasaan negara bukan lagi
secara simbolik dalam praktik budaya, tetapi melalui serangkaian narasi kebijakan yang
mengarah pada pengaturan administratif dan tindakan ekonomi. Di sisi lain, dengan
meluasnya kegiatan sosial ekonomi di bawah aturan-aturan keputusan rasional di kehidupan
pedesaan, seperti yang tampak dalam sistem birokrasi dan administrasi pemerintahan,
berpeluang membatasi otonomi desa dalam merumuskan nilai-nilai tertinggi yang
mengarahkan tindakan dan orientasi terencana dari pencapaian nilai tersebut (Hardiman,
2009). Dalam tata kelola modern mementingkan komitmen rasional terhadap nilai-nilai yang
dihayati secara pribadi atau kolektif yang didorong menjadi bentuk dari isi kesadaran.
2.1.3 Subsidiaritas dan Rekognisi : Peluang bagi Desa
Riset-riset awal pedesaan Indonesia (Breman 1982; Husken 1998) mengemukakan dua
cara pandang mengenai desa. Pandangan komunitas romantik menganggap desa karakteristik
guyub dan kohesif desa yang berbeda dari kota (Redfield, 1989; Darmajanti & Starlita, 2012;
Muryanti, 2018), sedangkan cara pandang kedua melekat pada pendekatan konflik.
Pendekatan ini memfokuskan analisisnya pada diferensiasi sosial yang berlangsung akibat
suprastruktur mendorong perubahan relasi dan tindakan produksi pada konteks pedesaan
(Bernstein, 2015). Pemikiran kedua berkaitan erat dengan kerangka ekonomi politik yang

20
mengadaptasi aliran Marxis. Sederet leksikon ‘partisipasi, demokrasi, swasembada’ termuat
dalam Undang-Undang Desa dimaknai secara utopis oleh kalangan progresif ini (White,
2017). Mereka beranggapan bahwa itu hanya retorika demokratis yang diusung untuk
kalkulasi kepentingan wali perencana (Li, 2020).
Konsepsi tentang desa juga banyak dipengaruhi oleh Indonesianis yang secara tidak
langsung berkontribusi merumuskan identitas desa. Pemikiran Anderson (2006) mengilhami
cara pandang mengenai desa sebagai miniatur komunitas politik. Hoadley & Gunnarsson
(1996) berangkat dari pendekatan post-kolonialisme untuk menyatakan desa dibentuk akibat
kebijakan kolonial. Antlöv (2003) memusatkan perhatian pada reformasi politik yang
mengubah kerangka sentralistik dan seragam dengan menciptakan peluang demokratisasi di
tingkat lokal. Beberapa studi dari politik-kewarganegaran yang relevan dengan rezim
otonomi desa hari ini yaitu Antlöv, Wetterberg, dan Dharmawan (2016) dan Sambodho
(2019). Namun, studi tersebut bersikap pesimis terhadap keberlangsungan Undang-Undang
Desa karena menemukan keterbatasan pada tataran praktis dari relasi negara terhadap desa
(Vel, Zakaria, dan Bedner, 2017).
Skeptisme pemikiran kritis mengenai hubungan negara dan desa disebabkan oleh
ketidakmampuan negara mengintrusi transformasi struktur dan dinamika sosial desa yang
dominan akan relasi klientilistik dan patrimonial (Brand, 2013; Sambodho, 2019). Terkait hal
ini, Shohibuddin (2016) menyebutkan ada empat kegagalan Undang-Undang Desa. Pertama,
masalah irelevansi Undang-Undang Desa dengan krisis pedesaan yang menjadi konteks
pelaksanaannya. Selanjutnya, masalah tata kelola menjadi persoalan berikutnya yang
dihadapi dalam memberikan kewenangan secara penuh untuk mengurusi sumber daya alam
di wilayahnya. Kemudian, masalah tawanan elit menjadi tantangan internal karena wewenang
pemerintahan rentan disalahgunakan oleh sebagian elit desa. Termasuk pula masalah relasi
kuasa disebabkan posisi daya tawar desa di tengah konstelasi kekuasaan yang melingkupinya
terutama di bidang sumber daya alam.
Bertolak dari pendekatan kritis yang menilai pesimis keberfungsian institusional untuk
menjamin desa mereformasi penyelenggaraan pemerintahan internal. Pendekatan institusional
memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat peluang desa. Adanya perubahan di
tataran institusional berupa Undang-Undang Desa yang baru dapat mendorong proses
pelembagaan di tingkat pusat, regional, dan lokal. Perubahan yang dimaksud Clark, Southern,
dan Beer (2007) ini mengarah pada variasi kelembagaan yang kontekstual. Situasi sangat
mungkin dibatasi dan dibentuk oleh kerangka kelembagaan yang ada di level makro, nilai-
nilai yang mendasari interaksi, logika kesesuaian serta distribusi sumber daya politik. Selama

21
institusi desa beradaptasi terhadap dinamika praktik dan benturan institusional
memungkinkan terjadinya perubahan dan keselarasan. Terkait hal ini, pengetahuan,
komunikasi, dan inisiatif memfasilitasi logika institusional menghasilkan perubahan yang
bertahap (Knook dan Turner, 2020). Sementara itu Firdaus, Hardjosoekarto, dan Lawang
(2021) mengangkat sektor desa wisata (tourism) berperan menghasilkan perubahan desa.
Studi ini berfokus pada pemerintah desa sebagai aktor utama yang menjalankan
pengembangan kelembagaan. Keterbatasan dari studi ini hanya terpusat pada proses lembaga
formal, sementara keterlibatan lembaga informal tidak dibahas secara mendalam. Banyak
aturan main informal yang diciptakan, dikomunikasikan, dan ditegakkan di luar saluran resmi
berperan membentuk norma birokrasi dan bahkan menyusun kehidupan politik. Menurut
Helmke dan Levitsky (2004) analisis kelembagaan membutuhkan perhatian secara berimbang
dari aturan formal dan informal. Wang (2020) mengadaptasi pemikiran Helmke dan Levitsky
(2004) untuk menyelidiki interaksi institusi lokal dan pusat dalam pengambilan keputusan
pembangunan desa wisata. Pemikiran institusionalis ini berpandangan bahwa institusi
dianggap mewujudkan nilai-nilai dan hubungan kekuasaan. Institusi tidak berdiri sendiri,
akan tetapi saling terkait dalam sistem kelembagaan (Aoki, 2007).
Subsidiaritas menandai praktik lokalisme sebagai strategi politik yang mengacu pada
pelimpahan kekuasaan dan sumber daya dari pusat. Subsidiaritas juga dikatakan sebagai
bentuk lain (old wine in new bottles) dari lokalisme karena pelimpahan kekuasaan melibatkan
lembaga lokal, seperti pemerintah daerah (Evans, 2013; Ercan & Hendriks, 2013). Variasi
lokalisme ini memberi ruang ‘manuver’ bagi tingkat otoritas yang lebih rendah. Subsidiaritas
juga membuka jalan bagi sistem pemerintahan di mana tingkat kekuasaan yang beragam
dapat bekerja sama secara fungsional. Masing-masing pemerintahan memainkan peran dalam
organisasi hierarkis. Oleh karena itu, tingkat otonomi yang ditawarkan dalam subsidiaritas
kepada tingkat otoritas yang lebih rendah mempertahankan kontrol yang diberikan oleh pusat.
Subsidiaritas merupakan konsep yang dikembangkan sebagai alternatif dari tipikal organisasi
otoriter dan birokratis.
Selama ini, ruang gerak pemerintahan lokal, terutama desa, terbatas karena
keberagamannya diperlakukan dengan cara pandang yang seragam. Akibatnya, pemerintah
lokal tidak memiliki kemampuan membuat keputusan berdasarkan penilaian dan kapasitasnya
sendiri. Dalam hal ini, subsidiaritas menawarkan bentuk desentralisasi berdasarkan keyakinan
bahwa penyerahan kekuasaan dan pengambilan keputusan di tingkat lokal dapat berkontribusi
pada produktivitas yang lebih tinggi, praktik kerja yang lebih baik, dan hubungan politik
yang demokratis (Madanipour dan Davoudi, 2015). Sekilas subsidiaritas cenderung top-

22
down, akan tetapi, prinsip subsidiaritas mengedepankan pentingnya pembuatan kebijakan
publik yang sesuai dengan kebutuhan tempat individu dan pertimbangan holistik (Arribas &
Bourdin, 2012; Painter et al., 2011)
Kebijakan desentralisasi yang mengandung pernyataan subsidiaritas yaitu dalam
material peraturan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Pasal 3 Undang-Undang
Desa menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa harus berasaskan subsidiaritas
dan rekognisi (White, 2017). Zakaria (2014) menyampaikan bahwa hak-hak konstitusional
yang diperoleh desa melalui Undang-Undang Desa yang baru melampaui kewenangan
administratif. Pasalnya, kedudukan desa tidak lagi termasuk bagian sistem pemerintah
kabupaten, melainkan berada dalam pemerintah kabupaten secara langsung. Artinya, desa
dapat menjalani kewenangan yang luas untuk menyelenggarakan pemerintahan tanpa melalui
mekanisme penyerahan wewenang dari kabupaten atau kota (Timotius, 2018). Zakaria (2014)
dan Shohibbudin (2016) menyatakan pembaruan kewenangan desa yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Desa turut menghasilkan otonomi desa yang baru. Lima pokok pembaruan
tersebut diantaranya pengaturan internal desa yang beragam, kewenangan desa berdasarkan
asas rekoginisi dan subsidiaritas, konsolidasi keuangan dan aset desa, perencanaan
pembangunan yang terintegrasi, dan demokratisasi melalui partisipasi, pemberdayaan, dan
pendampingan.
Asas subsidiaritas dan rekognisi menjadi terobosan politis yang membawa pembaruan
dan memberikan peluang bagi kewenangan pemerintah desa yang melampaui sistem
desentralisasi. Asas subsidiaritas merujuk pada legitimasi berskala lokal perihal pengambilan
keputusan untuk kepentingan masyarakat (Zakaria, 2014; Hariri, 2019). Sementara itu, asas
rekognisi menekankan bahwa desa mendapat pengakuan atas hak asal-usul meliputi tata
organisasi, tata aturan yang digunakan, dan pengakuan atas hak yang menjadi basis material
kehidupan masyarakat. Cakupan asas ini juga termasuk redistribusi ekonomi dari negara
kepada desa yang terejawantah dalam alokasi Dana Desa yang pelaksanaannya berupa
transfer dana. Hadirnya Undang-Undang Desa memperkuat fungsi dan kedudukan lembaga-
lembaga pemerintahan desa seperti kepala desa yang menjalankan fungsi eksekutif dan BPD
(Badan Permusyawaratan Desa) sebagai lembaga legislatif, tidak terkecuali kelembagaan
ekonomi desa atau BUMDes (Hariri, 2018).
Penegakan Undang-Undang Desa perlu dikroscek pada tataran praktik penerapan dan
implementasi. Perihal ini, Sukasmanto et.al (2020) menyoroti 12 isu pelaksanaan Undang-
Undang Desa yang terdiri dari aset desa, penataan desa, kewenangan desa, pengisian
perangkat desa, pemberdayaan ekonomi, demokratisasi desa, perencanaan dan penganggaran

23
desa, keuangan desa, akuntabilitas dan inklusi sosial di desa, pendampingan desa, sistem
informasi desa, dan penataan kawasan perdesaan. Pengejawantahan 12 isu berasal dari
sinkronisasi regulasi turunan Undang-Undang Desa yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2014 jo Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN jo Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016. Secara garis besar penelitian ini melihat aktualisasi
subsidiaritas dan rekognisi dalam persoalan keruangan dan kewenangan desa karena
menekankan ketata-wilayahan desa. Dengan merujuk Sukasmanto et.al (2020), peneliti
membatasi subsidiaritas dan rekognisi pada 4 isu, yaitu penataan desa, aset desa, kewenangan
desa, dan penataan kawasan perdesaan.
Penataan desa merujuk pada konteks batas wilayah desa yang lebih jelasnya
diterangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Desa tentang pengertian desa. Isu penataan desa
ini mewakili asas rekognisi yang menegaskan prakarsa masyarakat terlibat dalam penentuan
batas dan status desa. Sementara itu, aset desa mencakup kepemilikan desa sebagaimana
dijelaskan juga dalam Pasal 1 berasal dari kekayaan asli desa dengan cara dibeli atau
diperoleh melalui APBDes. Pengelolaan aset desa ini juga menegaskan inventarisasi tata
ruang yang dimiliki desa seperti hutan milik desa, mata air desa, dan aset lainnya.
Kewenangan desa meliputi seluruh penyelenggaraan pemerintahan desa untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dalam Undang-Undang Desa, kewenangan desa
diatur dalam Pasal 18 tentang rincian kewenangan desa dan Pasal 19 yang menjelaskan jenis-
jenis kewenangan. Berkenaan dengan tata wilayah, isu penataan kawasan perdesaan menjadi
krusial karena memadukan ketiga isu sebelumnya. Undang-Undang Desa memandatkan
pengaturan dan pembangunan kawasan perdesaan diatur lebih lanjut bersama dengan
pemerintah kabupaten/kota. Ini menunjukkan bahwa kawasan perdesaan menjadi bagian dari
tata ruang kabupaten/kota.
2.1.4 Kawasan Daerah Aliran Sungai sebagai Sumber Penataan Masyarakat Desa
Pendefinisian DAS dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 merujuk pada
wilayah kesatuan sungai dan anak sungai yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke laut secara alami. Kawasan DAS terbagi
menjadi sub-sub atau bagian DAS yang terletak di hulu, tengah, dan hilir. Sub-DAS hulu
merupakan kawasan drainase utama berupa anak sungai dan berfungsi penyedia air yang
berasal dari mata air atau catchment area yang biasanya terletak di kawasan hutan. Delineasi
kawasan DAS dalam tesis ini merupakan kawasan Sub-DAS hulu yang mencakup kawasan
hutan (forested watershed). Secara topografi, keberadaan hulu sungai sangat bergantung pada

24
kondisi hutan.
Fungsi hutan di dataran tinggi membentuk cekungan yang menjadi ekosistem mata air,
sementara hutan sebagai tempat menyimpan air (forest-water nexus). Aliran dari mata air
yang berkumpul di titik rendah kemudian membentuk aliran sungai. Dengan kata lain, tesis
ini menggambarkan keterkaitan kawasan DAS dengan tata kelola air bersih sebagai sistem
ketersediaan air. Apabila terjadi kerusakan hutan akibat alih fungsi lahan maka akan
mempengaruhi fungsi dan daya dukung sumber mata air (Maria dan Lestiana, 2014). Air
hujan seharusnya dapat disimpan dalam tanah menjadi tidak dapat diserap karena hilangnya
pepohonan sehingga menyebabkan permukaan run-off (Fatahillah, 2013). Sementara untuk
mengatasi munculnya permasalahan pengelolaan DAS harus diselenggarakan dengan
mengedepankan prinsip kelestarian.
Peraturan pengelolaan DAS menyebutkan institusi yang berperan dalam pengelolaan
DAS bersifat multi pihak. Dalam hal ini, pemerintah daerah melibatkan koordinasi tingkat
provinsi dan kabupaten/kota. Secara keruangan, hulu DAS terdiri dari kawasan hutan dan
non-hutan sehingga dinamika kelembagaan juga harus melibatkan institusi pengelola hutan
seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Perhutani. Akan tetapi,
keterlibatan pemerintah desa yang menempati ruang DAS belum diatur dalam Peraturan
Pengelolaan DAS hanya dinyatakan sebagai instansi terkait. Artinya, peraturan ini belum
mengikuti perubahan kewenangan pemerintah desa. Meskipun dasar peraturan telah
menetapkan pengelolaan DAS secara terpadu, justru pada era otonomi daerah menemui
ketidakpaduan pengelolaan antara sektor di wilayah hulu hingga hilir. Mardimin (2014)
menyebutnya sebagai egoisme sektoral di tingkat daerah telah menjadi tantangan bagi
pengelolaan kawasan DAS.
Pengelolaan DAS terpadu mencerminkan penataan masyarakat berbasis wilayah.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 mengedepankan agar pihak-pihak terkait
mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem sumber daya air beserta pemanfaatannya
secara berkelanjutan. Selama ini pengelolaan DAS diselenggarakan berbasis otonomi daerah,
di mana pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pengaturan batas-batas DAS. Akan
tetapi, pelaksanaan masih sektoral karena belum melibatkan institusi di tingkat desa.
(Mardimin, 2014). Urgensi kawasan DAS dengan penataan masyarakat desa bertujuan untuk
mengurai pembangunan desa berbasis jati diri wilayah. Usaha yang krusial dirintis untuk
menemukenali khazanah desa berbasis karakteristik kawasan.
Jati diri wilayah merupakan nilai esoteris yang selama ini melekat dalam tata cara
masyarakat Indonesia melakoni kehidupannya dari menata lingkungan. Nilai esoteris yang

25
bermakna prinsipil ini dekat dengan konsep menempatkan sesuatu sesuai ukuran dan
kadarnya. Penelusuran sejarah kenusantaraan membuktikan bahwa sebagian besar kelompok
masyarakat memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan mengelola tempat tinggal. Bentang
alam gunung api di Indonesia merupakan pasak dari banyak peradaban masyarakat karena
mengalir dibawahnya sungai-sungai yang menjadi sumber penghidupan. Pandangan ini
menjadi titik krusial bagi studi pedesaan yang menekankan relasi masyarakat dengan
lingkungan (Buttel, 2001). Terutama penelitian yang mengarahkan subjek masyarakat untuk
membaca dan menemu kenali wilayah tempat tinggalnya.
Untuk mencapai tujuannya, pembangunan membutuhkan orientasi ruang atau
pengenalan lingkup spasial. Kepentingan perspektif tata wilayah dalam pembangunan untuk
memposisikan lingkungan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas, mental, kebudayaan, dan
struktur sosial masyarakat. Cara pandang industri akan membuat pembangunan berbasis
industri, atau cara pandang agraris akan membuat tata ruang berbasis pertanian. Dengan
begitu, perspektif tata wilayah mengorientasikan pembangunan berdasarkan dengan
paradigma (cara pandang), mental, corak budaya, dan karakteristik spasial di suatu wilayah.
Konsepsi jati diri wilayah bukan gagasan utopis, melainkan usaha yang harus diikhtiarkan
untuk menemukenali kesadaran pembangunan yang tercerabut. Pemikiran ini relatif
sependapat dengan post-development studies yang berkembang di Amerika Latin, khususnya
dalam posisi, memahami masyarakat adalah seni dalam pembangunan (Escobar 1992;
Pieterse 2000, 2010). Upaya ini dimulai dari mendorong kesadaran masyarakat dalam
memandang kehidupannya sendiri (Rifandini, 2018).
Tinjauan historis perlu dikedepankan dalam menggali penataan masyarakat berbasis
wilayah. Dengan pemahaman bahwa sejarah bukan sekadar artefak peristiwa. Penataan
wilayah dalam naskah filologis seperti babad atau hikayat mencatat wicaksana (bijaksana)
raja merupakan perangkat transendental yang digunakan untuk menciptakan aturan hidup
bersama berdasarkan ruang geografis dan keadaan alam. Penafsiran terhadap konsep magis-
religius ini harus cermat, agar tidak berujung pada pereduksian makna dan cara terkait
bagaimana kekuasaan dapat diterapkan secara praktis (Kuntowijoyo, 2004; Moertono, 2017).
Maka dari itu, merangkai konsep jati diri wilayah konteks hari ini dengan melakukan riset-
riset saintifik antar disiplin yang objektif. Salah satu usaha yang ditempuh berkenaan dengan
penataan masyarakat ialah mengkalibrasi paradigma-paradigma dalam disiplin sosiologi
untuk mengarahkan paradigma pembangunan desa yang sesuai dengan jati diri masyarakat
berbasis karakter wilayahnya. Secara harfiah, arti pembangunan itu merekayasa ruang yang
semula tidak ada bangunan menjadi ada.

26
Dalam kosmologi Sunda mengenal konsep tritangtu yang mengedepankan tata wilayah
sebagai landasan etis dalam menata masyarakat. Konsep ini mendarat pada pembagian
kawasan wilayah yang terdiri dari kawasan pemukiman, hutan lindung, dan hutan produksi.
Sederhananya, masyarakat Sunda selalu berkaitan dengan unsur hutan dan air. (Suyatman,
2021; DW, 2020). Dimensi teologis yang kuat mengenai tata wilayah juga ditemui dalam
masyarakat Hindu di Bali. Konsep Tri Hita Karana yang berasal dari ajaran Hindu mendasari
perangkat aturan yang berlaku dalam masyarakat desa-desa adat di Bali. Kelembagaan subak
termasuk entitas sosio-teologis yang merepresentasikan nilai transenden Tri Hita Karana ke
dalam organisasi sosial ekonomi, khususnya mengurusi pengelolaan air irigasi berdasarkan
lahan sawah dan pertanian di setiap desa (Norken, Suputra, dan Arsana, 2017). Unsur
ketigaan menjadi benang merah dari konsep filosofis Tri Hita Karana maupun tritangtu yaitu
hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan tempat tinggal (alam), dan hubungan sesama
manusia (Tarigan, Dharmawan, dan Tjondronegoro, 2014; Gunawan, 2013). Terkait hal ini,
penataan masyarakat menurut tata ruang juga berlaku dalam konteks global yang mengerucut
pada hubungan manusia terhadap pengendalian atas air. Pertimbangan terhadap perspektif
sejarah akan dapat menunjukkan sisi relevansi sejarah masyarakat akan selalu berkaitan
dengan keberadaan air.
Kota-kota besar pusat peradaban manusia, seperti Mesir yang terkenal agraris, telah
membangun jalur perpipaan dan sistem hidrolik untuk mendukung aktivitas penghidupan
ekonomi (Gioda, 1999). Kemenangan ideologi dan budaya manusia atas pengendalian air
pada zaman Yunani Kuno bahkan direpresentasikan dengan membangun air mancur hias di
seluruh pusat kota. Oleh karena itu, “Water History is World History” adalah ungkapan yang
tepat untuk menggambarkan bahwa manusia di berbagai belahan dunia akan selalu
bergantung pada sumber air bersih (Tvedt dan Jakobsson, 2006). Report on the Arid Lands
of the United States (Box, 1977) menjadi laporan ilmiah pertama yang merekomendasikan
pemerintah negara bagian di Amerika untuk menjadikan batasan daerah aliran sungai (DAS)
sebagai dasar pembagian wilayah. Laporan ini mendelegasikan kepada penyelenggara
pemerintahan semestinya memiliki pengetahuan tentang kawasan DAS untuk menghindari
ketidakmerataan dan privatisasi air dan ketimpangan kepemilikan lahan pertanian.
Tesis ini secara spesifik mengaitkan kawasan Sub-DAS hulu dengan keberlangsungan
siklus air bersih didasari hubungan hutan dan air (forest-water nexus). Keberadaan air bersih
dipengaruhi dengan pola penggunaan kawasan hutan dan sistem masyarakat dalam
mendayagunakan air. Ekosistem hutan di kawasan hulu berfungsi untuk lebih dari 75%
pasokan air. Namun hanya 12% dari hutan dunia yang dikelola untuk ketahanan air sebagai

27
tujuan utama (FAO, IUFO & USDA, 2021). Definisi air bersih menurut Permenkes Nomor
416 Tahun 1990 yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya
memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Peraturan Menteri
Kesehatan saat ini tidak berlaku karena digantikan dengan Permenkes Nomor 32 Tahun 2017
yang menjelaskan standar baku mutu air. Akan tetapi, definisi air bersih dalam peraturan
yang baru hanya terbatas untuk higiene sanitasi, solus aqua, kolam renang, dan pemandian
umum.
Definisi air bersih dalam lingkup tesis ini berdasarkan sumber asal air dan bentuk
penggunaan air. Pendefinisian merujuk perluasan dari penjelasan Undang-Undang Sumber
Daya Air Nomor 17 Tahun 2019 mengenai definisi air permukaan dan pendayagunaan
sumber daya air. Potensi sumber air yang ditemui di setiap desa sebagian besar berasal dari
mata air yang berada di ketinggian di atas 1000 mdpl. Secara umum, mata air terdapat pada
patahan bebatuan karena kondisi topografi dan akibat proses alami membuat aliran air tanah
yang muncul ke permukaan. Sementara itu, pendefinisian bentuk penggunaan air didasari
pada realitas kebutuhan masyarakat desa. Dalam hal ini, prioritas pemenuhan kebutuhan air
diperuntukkan bagi irigasi pemukiman dan aktivitas pertanian dan peternakan.
2.1.5 Keterkaitan Tata Kelola Air Bersih dengan Perspektif Sosiologi Ekonomi
Dulunya ketersediaan air hampir tidak ada hubungannya dengan perdagangan karena
air bersumber dari mata air, sungai dan cabang sungai, sumur dan waduk yang tersedia tanpa
adanya transaksi biaya (Gioda, 1999). Kemudian masyarakat berkembang, manusia
mengalami perubahan, begitu pula pola kebutuhan dengan air. Persebaran air kemudian
terbagi menjadi barang komersil dan non-komersil. Muncul hukum dan kontrak sosial yang
menyepakati tentang penggunaan air. Perspektif sejarah dan politik penting untuk
membangun kerangka pengelolaan sumber daya air yang terpadu. Terutama terkait peran
negara dalam merumuskan kebijakan penggunaan sumber daya air (Pasandaran, 2007).
Tata kelola air bersih dalam tesis ini mengarah pada water governance daripada water
management yang cenderung menekankan pendekatan teknik terhadap pengelolaan sumber
daya air. Water management cenderung memperhatikan perhitungan, konservasi, dan
pengendalian kualitas air untuk memenuhi permintaan sumber daya air (Gleick, 2002;
Demin, 2009). Sementara water governance mengacu pada sistem politik, ekonomi, dan
administrasi yang mempengaruhi penggunaan dan pengelolaan sumber daya air (UNDP,
2000). Kusumah dan Mustofa (2020) menggarisbawahi bahwa pelaksanaan water
governance di Indonesia berada dalam kompleksitas relasi antar aktor yang terdiri dari
pemerintah, swasta, dan masyarakat yang melibatkan aspek multidimensional. Harmes (2021)

28
mengatakan bahwa tata kelola dalam arti governance menunjukkan koordinasi publik yang
luas baik formal maupun informal dalam suatu wilayah. Tata kelola pada umumnya memiliki
dimensi sosial dan kelembagaan yang kuat serta memerlukan peran penting dari berbagai
pihak untuk sektor ekonomi dan terlebih lagi pengambilan keputusan.
Menurut Dupuits dan Garcia (2016) air merupakan barang bersama (common good)
karena sumber dan pengelolaannya diatur secara kolektif. Keberadaan air sebagai objek alam
dikonstruksikan secara sosial menjadi rawan terhadap konflik penguasaan. Travieso (2016)
mengatakan bahwa sumber daya air sebagai wilayah hidro sosial berpeluang terjadinya
perebutan penguasaan air yang berujung pada perebutan konfigurasi wilayah yang dibingkai
atas klaim-klaim persaingan. Perdebatan mengenai tata kelola air mengarah pada privatisasi
air (Bakker, 2010), konflik antar warga dengan perusahaan (Hakim et al., 2010; Sukayadi et
al., 2014; Harnanto et al., 2018), atau pengabaian aspek ekologi yang dapat menyebabkan
ketidakberlanjutan hidrologi air (Fahrunnisa, Soetarto, dan Pandjaitan, 2016; Sudarmadji et
al., 2016). Untuk mengatasi hal ini, Delgado et al. (2021) berpendapat bahwa perlunya
pendekatan multi-level dalam tata kelola air terutama konteks pedesaan.
Di tingkat mikro pedesaan Indonesia, air merupakan komoditas pertukaran sekaligus
kebutuhan pokok yang menyuplai sektor utama pertanian. Dalam arti lain air merupakan
barang ekonomi yang ditransaksikan. Keabsahan pemerintah desa memperlakukan air sebagai
barang ekonomi dari Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Dalam undang-undang ini,
air dan termasuk mata air merupakan aset desa, sehingga desa dapat mengartikulasikan
kewenangannya untuk mengelola air bersih dalam berbagai mekanisme kegiatan ekonomi.
Pengelolaan yang jamak ditemui antara lain pengelolaan air bersih atau PAB (Samsir, 2016),
pembangunan embung desa yang ditujukan irigasi pertanian (Dangnga, 2019; Johaniah &
Agustina, 2017), dan pengelolaan usaha HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air
Minum) (Isnaini et al., 2019). Badan usaha milik desa (BUMDes) menjadi satu-satunya
organisasi ekonomi formal tingkat desa yang menggawangi pengelolaan air bersih.
Organisasi ekonomi lokal ini menjadikan air sebagai sumber pendapatan asli desa melalui
berbagai skema pengelolaan.
Melalui kewenangan dari negara, desa sebenarnya dapat melakukan monopoli usaha
penggunaan air untuk memasok seluruh kebutuhan, namun ternyata desa masih menemui
kendala. Perbenturan antara norma dan aturan yang telah terbentuk dengan hasil intervensi
negara membatasi dinamika interaksi masyarakat dengan air (Both, Boelens, dan Zwarteveen,
2015). Belum lagi masalah kekuasaan dan pola pembangunan berubah menjadi ancaman
eksogen bagi pedesaan. Pengembangan sumber daya alam produktif di wilayah pedesaan

29
dialihkan pada hak sumber daya alam yang diprivatisasi menyebabkan kondisi ketidakpastian
dan gangguan keseimbangan pemenuhan kehidupan desa. Alhasil, perpaduan kelembagaan
dan hibriditas institusional menjadi tren tata kelola sumber daya alam di tingkat lokal
(Morrison, 2014).
Keterkaitan tata kelola air bersih perspektif sosiologi ekonomi berdasar pada pemikiran
Weber. Menurut Weber, analisis ekonomi tidak hanya mencakup fenomena ekonomi, tetapi
juga fenomena yang relevan secara ekonomi dan fenomena yang dikondisikan secara
ekonomi. Ketiganya merupakan hal yang berbeda karena sosiologi ekonomi tidak
menyelidiki tindakan ekonomi berbasis kepentingan ekonomi, melainkan juga berorientasi
pada tradisi, aktor, dan motivasi non-ekonomi. Sebagaimana keragaman tindakan sosial yang
berdasarkan rasional, instrumental, afektif, dan tradisional. Swedberg (2005) menjelaskan
bahwa asumsi analisis perspektif sosiologi ekonomi pada tiga penyelidikan utama, yaitu
analisis sosiologis proses ekonomi, analisis hubungan dan interaksi ekonomi dengan
masyarakat, dan studi tentang perubahan kelembagaan dan budaya yang membentuk konteks
sosial ekonomi.
Oleh karena itu, tesis ini berangkat dari asumsi pertama dan ketiga yang bertujuan
menyelidiki proses ekonomi yang berlangsung dalam pengelolaan air bersih desa serta
keterkaitan interaksi antar institusi di dalamnya. Tata kelola air bersih memanifestasikan
jalinan norma, kepercayaan, dan kekuasaan dalam mendistribusikan air bersih di tingkat
masyarakat maupun antar wilayah desa. Di sisi lain, terdapat kepentingan non ekonomi juga
berhadapan dengan otoritas negara. Menurut Granovetter (2017) logika institusional negara
cenderung melakukan rasionalisasi dan pengaturan aktivitas manusia menurut hirarki hukum
dan birokrasi yang mencampuri urusan keputusan ekonomi di tingkat mikro.

2.2 Kerangka Konseptual


Secara garis besar, penulis menyusun bangunan teoritis dari perspektif New
Institutionalism in Economic Sociology untuk mengungkapkan kerangka institusional dan
menyoroti fungsi penting dari keterlibatan institusi dan jaringan norma dalam hubungan
kelembagaan multi-level. Dalam menjelaskan kerangka NIES, penulis memfokuskan
penjelasan keterjalinan institusi dan mekanisme coupling dan decoupling. Pendekatan
institusionalisme menjadi sumber dari perspektif NIES yang gunanya mendefinisikan situasi
dari mekanisme sosial secara lebih luas yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi dan politik.
Tambahan konsep lokalisme dalam bagian ini menekankan konteks tata kelola di tingkat
lokal erat kaitannya kapasitas pengambilan keputusan dan karakteristik geografis, sehingga

30
memerlukan pandangan yang mencakup koordinasi dari berbagai aktor dan instrumen
institusional sebagai rangkaian hubungan yang terintegrasi di kawasan tertentu (Morrison,
2014).
2.2.1 Keterjalinan Institusi
Keterjalinan institusi secara umum menjelaskan mekanisme sosial yang terdiri dari
keterhubungan organisasi sosial informal dan aturan formal yang membentuk kinerja
organisasi dan ekonomi. Dalam menjelaskannya, peneliti melihat keterjalinan institusi
sebagai inti dari perspektif New Institutionalism in Economic Sociology. Perspektif ini
menawarkan cara pandang untuk melihat mekanisme tata kelola (governance) itu
berlangsung. Tata kelola merupakan arena dari konstruksi struktur dan proses relasi yang
mempertukarkan kepentingan dari berbagai aktor dan lembaga di berbagai level. Institusi
sendiri merupakan domain analisis utama sosiologi yang berangkat dari pemikiran sosiolog
klasik Emile Durkheim tentang fakta sosial. Menurutnya, fakta sosial merupakan kekuatan di
luar individu yang memaksa dan mengintegrasikan individu ke dalam kehidupan kolektif
(Law, 2011). Manifestasinya berupa realitas objektif, norma, dan belief yang terus mengalami
perkembangan seiring dengan perubahan diri manusia. Institusi pun tidak terlepas dari
mekanisme sosial yang melibatkan hubungan atau relasi sosial. Individu antar individu,
individu antar kelompok, hubungan antar kelompok, dan bahkan hubungan individu dan
kelompok dengan struktur organisasi yang lebih besar di mana masing-masing membangun
definisi dan situasi sosial untuk mencapai kepentingan dan keteraturan.
Gambar 1
Kerangka Multi-Level New Institutionalism in Economic Sociology

31
Sumber : Nee dan Opper (2012).

Peneliti berpendapat bahwa Nee dan Opper (2012, 2015) melengkapi penjelasan
kerangka institusional dari yang sebelumnya (Nee, 2003, 2005). Perbedaannya ditekankan
pada ilustrasi kerangka NIES yang menunjukkan penyederhanaan kausalitas multi-level serta
perubahan arah panah dan penamaan seperti lingkungan institusional menjadi institusi
negara. Keterjalinan institusi memunculkan proses top-down dan bottom-up yang saling
beroperasi di kedua arah, baik dari makro ke level di bawahnya ataupun sebaliknya. Kedua
proses itu sama-sama berupaya untuk mempengaruhi fenomena institusional. Tercermin pada
garis luar bagan yang mengartikan bahwa institusi negara di level makro tidak hanya
memaksakan aturan formal dapat berlaku pada tingkat organisasi meso dan individu, tetapi
juga merespon tanggapan dari level mikro dengan mengakomodasi kepentingannya. Hal ini
menunjukkan bahwa penerimaan terhadap legitimasi negara memungkinkan intervensi
struktur tata kelola di tingkat bawah. Situasi lingkungan makro dibentuk oleh tindakan sosial
yang melibatkan mobilisasi dan negosiasi pada saluran formal ataupun melalui
ketidakpatuhan kolektif. Maka dari itu, Nee (2012) mengatakan bahwa proses top-down dan
bottom-up merupakan mekanisme perubahan institusional.
Dalam menjelaskan hubungan multi-level ini pertama-pertama berangkat dari
penjelasan kinerja organisasi yang berada di level makro. Institusi negara berperan
membentuk institusi dan merancang perubahan institusional yang berpotensi meningkatkan
efisiensi kebijakan dan aturan formal. Para aktor politik di institusi negara menjadi penegak
aturan main (rules of game) utama dalam menjalankan hubungan kausalitas kelembagaan.
Negara memonopoli sumber daya organisasi berupa legitimasi instrumen. Secara ideal,
kekuatan regulasi menjadi sumber utama kinerja tata kelola. Akan tetapi, ketidakhadiran
negara sering terjadi sehingga mendorong peran pemerintah lokal menjadi institusi yang
adaptif. Situasi ini mendorong peran pemerintah lokal agar memberikan panduan tata kelola
kepada jaringan norma informal. Tujuannya mengurangi ketidakpastian dalam hubungan
institusi dan norma informal serta membantu menyelesaikan masalah koordinasi dengan
menyediakan basis komitmen. Setiap relasi pada dasarnya menyandarkan interaksi pada
norma yang terbentuk melalui trial dan error.
Di tingkat mikro, norma merupakan hasil dari aktivitas pemecahan masalah untuk
meningkatkan peluang pencapaian tujuan. Aturan main informal ini mengikat mutual
expectations dari masing-masing individu atau anggota kelompok untuk memperoleh
welfare-maximizing. Bentuk dari welfare-maximizing tidak hanya berupa komoditas material

32
tetapi juga pencapaian nilai yang dituju. Munculnya norma bertujuan untuk meningkatkan
tujuan kolektif khususnya menanggapi masalah tindakan kolektif dan koordinasi. Dengan
kata lain, sistem norma dalam kerangka institusional berkedudukan krusial dalam penciptaan
kepentingan yang saling terkait baik positif maupun negatif.
2.2.2 Mekanisme Coupling dan Decoupling
Achwan (2014) menandai keselarasan dan ketidakselarasan hal yang penting hubungan
mikro-meso-makro dalam kerangka institusional NIES. Kedua mekanisme ini menguraikan
situasi dinamika adaptasi kelembagaan multi-level. Keselarasan merujuk pada situasi norma
dan mutual expectation di tingkat mikro selaras dan diakomodasi oleh kebijakan publik.
Sementara itu, ketidakselarasan menjelaskan situasi sebaliknya di mana aturan informal
bertentangan dengan operasional aturan formal. Nee (2012) menjelaskan bahwa kepentingan
dan preferensi individu atau kelompok yang selaras menandakan insentif yang terstruktur
dalam kerangka institusional. Dinamika kelembagaan yang selaras akan memperkuat
kepatuhan terhadap aturan formal melalui pemantauan (monitoring) dan penegakan bersama
(enforcement). Namun, jika dinamika yang berjalan tidak selaras maka kepentingan di tingkat
bawah justru menimbulkan pemisahan (decoupling) dari rutinitas kelembagaan. Implikasinya,
para aktor itu justru membentuk norma oposisi. Respon ketidakpatuhan yang membentuk
norma oposisi dapat memacu perubahan dalam aturan formal sehingga mendorong perubahan
institusional.

2.3 Kerangka Berpikir


Kerangka berpikir ini disusun berdasarkan model kausal multi-level yang
menggambarkan operasional dinamika kelembagaan secara dua arah. Kerangka ini
menjabarkan mekanisme kelembagaan yang tertanam dalam struktur makro hingga perilaku
tingkat mikro. Selain itu, termasuk motif dan perilaku mikro hingga perubahan kelembagaan
tingkat makro. Kerangka berpikir dalam penelitian sebagai berikut:
Gambar 1
Kerangka Pemikiran Riset
Mekanism
Institusi Negara :
e kausal
Trajectory instrumen
regulasi
Tindakan
kolektif

33
Kepatuhan,
Penegakan, Pemisahan
Akomodasi Arena Organisasional :
Internal Pemerintah Desa

Aturan Inovasi,
formal kerjasama

Rumah tangga dan


kelompok sosial

Sumber : Dimodifikasi dari Kerangka NIES (Nee, 2012)

Peneliti menawarkan skema hubungan kelembagaan tata kelola air bersih berdasarkan
kerangka institusional perspektif NIES. Lingkup makro tercermin pada narasi peraturan di
tingkat nasional yang berhubungan dengan keterlibatan desa dalam tata kelola air bersih di
kawasan Sub-DAS hulu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mewakili
institusi negara yang telah diamanatkan konstitusi negara untuk mengelola sumber-sumber
mata air di hutan. Secara batas wilayah, sebagian kawasan hutan juga termasuk kawasan
DAS. Selain regulasi setingkat undang-undang dan peraturan pemerintah, terdapat juga narasi
peraturan yang dikeluarkan oleh KLHK dalam bentuk Peraturan Menteri.
Kemudian, level meso menempatkan otoritas institusi formal yaitu BUMDes dan
pemerintah desa di tiga desa terkait pengelolaan air bersih. Situasi mikro menggambarkan
proses relasional individu dan kelompok sosial yang melanggengkan hubungan informal pola
penggunaan air bersih. Penelitian ini sejalan dengan studi NIES terdahulu yang bertujuan
untuk membedah lingkungan institusional (Hardjosoekarto, Yovani, dan Santiar 2014;
Fazriah 2017; Nanga & Yovani, 2022). Tindakan ekonomi dalam penelitian ini termanifestasi
melalui transaksi suplai dan permintaan pengelolaan air bersih (PAB) yang diselenggarakan
oleh pemerintah desa berdasarkan norma dan nilai masing-masing.

34
BAB III
METODE PENELITIAN
Bagian ini menjelaskan mengenai cara-cara penelitian ini dilakukan yang mencakup
penjelasan metodologis dan teknis penelitian. Uraian pada bab ini diawali dengan pemilihan
pendekatan penelitian. Kemudian mengenai penjelasan mengenai lokasi dan subjek
penelitian, teknik pengumpulan data, strategi pengolahan data dan validasi penelitian, limitasi
dan delimitasi, serta penjabaran tentang proses penelitian.

3.1 Pendekatan Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan soft-systems methodology (SSM) yang
bertujuan mendokumentasikan keberjalanan kompleksitas sistem-sistem aktivitas manusia,
untuk diterapkan dalam konteks pedesaan. Ide mengenai sistem dalam pendekatan ini
dirancang untuk membantu mengatasi masalah manajemen yang berantakan agar dapat
didefinisikan (Checkland, 2000). Hal ini berangkat dari asumsi dasar SSM bahwa setiap
rangkaian tindakan yang kompleks memiliki sifat unik yang dapat dipelajari dan dilihat
sebagai karakteristik sistem dengan fokus secara keseluruhan bukan bagian. Sistem aktivitas
manusia penting dikemukakan dalam penelitian karena memungkinkan peneliti melakukan
eksplorasi tentang bagaimana masyarakat dalam situasi tertentu menciptakan sendiri makna
dan dapat bertindak dengan sengaja terhadap dunia mereka. Oleh karena itu, peneliti maupun
subjek penelitian berpeluang memahami situasi dunia nyata dari perspektif yang berbeda,
termasuk upaya masalah yang diselesaikan melalui pembelajaran bersama (Mehregan,
Hosseinzadeh, dan Kazemi, 2012).
Studi-studi sebelumnya menempatkan pendekatan SSM pada studi organisasi yang
bertujuan memotret organ-organ dalam perusahaan atau organisasi pemerintahan
memecahkan persoalan manajemen (Checkland, 2000; Hardjosoekarto, 2012;
Muhammaditya, 2021). Sementara itu, penelitian ini menempatkan SSM pada konteks
pedesaan karena pedesaan merupakan lokus utama dari kajian yang menekankan relasi dari
sistem masyarakat terutama sistem penghidupan dengan lingkungan (Buttel, 2001), sehingga
pendekatan SSM dapat menjadi alternatif untuk menyelidiki interaksi sistem sosial dengan
lingkungan. Terdapat studi yang menggunakan metode SSM untuk memahami situasi
kompleks penataan lingkungan seperti pengelolaan DAS (Habron, Kaplowitz, dan Levine,
2004) dan strategi menemukan pengelolaan banjir (Suriya & Mudgal, 2012).
Studi ini menaruh perhatian yang sama yaitu bagaimana penyelenggaraan tata kelola air
bersih secara di desa-desa kawasan hulu DAS dapat mencapai keberlanjutan yang secara

35
spesifik menyasar keterjaminan pengelolaan. SSM sebagai pendekatan penelitian
menekankan penelitian yang partisipatif dan terpadu khususnya mencakup pemangku
kepentingan dalam proses pengambilan keputusan dan pembentukan hubungan kelembagaan
dari individu, institusi, dan organisasi. Senge & Sterman (1992) menjadikan pendekatan SSM
sebagai proses pembelajaran organisasi salah satunya meningkatkan tanggung jawab
pengambilan keputusan lokal. Selaras dengan penelitian ini yang memfokuskan pengambilan
keputusan lokal pada konteks subsidiaritas desa untuk menyelenggarakan pengelolaan air
bersih (PAB).
Selain berfokus pada internal desa, pengambilan keputusan juga meliputi interaksi
sistem PAB di tiga desa. Dalam pendistribusiannya ketiga desa memiliki keterkaitan satu
sama lain dan saling bergantung pada sumber mata air di kawasan hulu Sub-DAS
Cikapundung. Aspek wilayah mengarahkan penelitian ini pada pandangan dunia (worldview)
sistematis yang menekankan kaitan keberadaan ruang lingkup spasial dan sistem aktivitas
manusia. Sebagaimana Chorley dan Kennedy (1971) dalam Checkland (2000) yang juga
menekankan geografi fisik dalam penggunaan berpikir sistem untuk menerangkan area subjek
penelitian. Untuk mendukung itu, penggambaran dunia nyata memerlukan tinjauan data
geografis untuk menjabarkan keterkaitan antara kondisi wilayah dengan sistem tata kelola air
bersih yang berlangsung di desa.
3.1.1 Tahapan-Tahapan dalam Soft-systems Methodology
Metode SSM berangkat dari pendekatan berpikir serba sistem (system thinking)
sehingga proses pembelajaran (learning process) menjadi yang utama. Dalam proses
pembelajaran ini metode SSM menyediakan pengembangan gagasan untuk membangun ide
pemodelan aktivitas yang bertujuan (purposeful activity). Model yang dibangun relevan
dengan konsep yang dapat digunakan untuk mengatasi situasi masalah. Upaya untuk
mengkonkretkan asumsi dasar dari metode SSM yang mengkaji serba masalah yang tidak
beraturan dilakukan melalui tujuh tahapan. Tahapan-tahapan ini merupakan alat intelektual
yang digunakan untuk membangun sudut pandang antara dunia nyata (real world) dan dunia
sistematis atau kondisi model yang dibuat untuk menghasilkan pemahaman atas masalah.
Gambar 2
Alur Metode SSM

36
Diolah dari : Rodriguez-Ulloa dan Paucar-Caceres (2005), Suriya dan Mudgal (2012),
Mehregan et., al (2012), Muhammaditya (2021)

Gambar tahapan di atas dijelaskan secara ringkas melalui tabel sebagai berikut:
Tabel 2
Penerapan Tahapan Soft-systems Methodology dalam Penelitian
Tahap-Tahap Soft-Systems Methodology

1. Situasi dunia nyata yang dianggap problematis (Problem situation


considered problematic)
Tahap pertama ini merupakan proses pendefinisian situasi dunia nyata
terkait dengan keputusan-keputusan para pemangku kepentingan yang
berasal dari organisasi maupun non organisasi (pemerintah, masyarakat,
dan non pemerintah). Pada tahapan ini, peneliti melakukan identifikasi
masalah dan mengeksplorasi urgensi masalah terkait dengan pengelolaan
air bersih.

Proses pada tahapan pertama ini penting karena peneliti harus mengetahui
asumsi dasar situasi masalah yang tidak beraturan dari dunia nyata perihal
tata kelola air bersih. Peneliti melakukan pencarian sejumlah informasi
diantaranya informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana pihak-pihak yang
terlibat dalam situasi masalah memunculkan kondisi yang tidak beraturan.

37
Terkait hubungan multi-level kelembagaan, informasi dunia nyata pada
level makro diperoleh dari analisis regulasi yang memunculkan aturan
mengenai pengelolaan air bersih dalam konteks pedesaan di kawasan DAS.
Pengumpulan data pada level makro dilakukan dengan TNA. Peneliti
mengumpulkan informasi pada level meso yaitu arena organisasional
melalui wawancara mendalam bersama informan kunci. Selain wawancara,
di level mikro peneliti melakukan survei lapangan titik GPS reservoir air
untuk mengetahui situasi masalah berdasarkan pembacaan wilayah.

2. Penggambaran situasi dunia nyata yang dianggap problematis (Problem


Situation Expressed)
Tahapan ini lanjutan dari tahap sebelumnya karena situasi dunia nyata yang
dianggap problematis harus dituangkan dalam gambaran nyata yaitu
melalui rich picture.Informasi yang disajikan dalam rich picture meliputi
struktur, proses, hubungan struktur dan proses, dan isu masalah
(Hardjosoekarto, 2012). Keseluruhan informasi yang tertuang bertujuan
untuk memvisualisasikan kompleksitas dunia nyata.

Proses pembuatan rich picture dibangun dari hasil pengumpulan data yang
dianalisis dalam beberapa tahapan. Pertama, analisis pihak-pihak yang
berperan (intervensi). Pada analisis ini peneliti mengelompokkan
stakeholder ke dalam peran sebagai Clients, Practitioners, dan Owner of the
issue(s). Selanjutnya peneliti melakukan analisis sosial yang terdiri dari
peran, norma, dan nilai, serta analisis politik yang menangkap struktur
kekuasaan dalam dunia nyata. Rich Picture dalam penelitian ini hanya ada
satu namun sudah mencakup keseluruhan level lingkungan institusional,
arena organisasi, dan individual.

3. Pembuatan root definition (RD) yang relevan dalam situasi


Root definition merupakan penamaan dari sistem aktivitas manusia di dunia
nyata yang diartikulasikan dalam bentuk kalimat. Tujuan pembuatan RD
sebagai transformasi yang mengubah input menjadi output untuk
membantu sebuah sistem akan dimodelkan dari proses diskusi dengan para
stakeholder. Oleh karena itu, penamaan root definition ini dibuat
berdasarkan formula PQR yang menjadi sumber pernyataan.

Dalam tahap ini, pemilihan sistem yang relevan dalam RD dilakukan melalui
analisis CATWOE (Customer, Actor, Transformation, Worldview, Owner, dan
Environmental Constraints). Analisis CATWOE ini krusial karena
menguraikan deskripsi apa, siapa, dan bagaimana konteks transformasi

38
dalam RD.

4. Pembuatan model konseptual

Model konseptual merupakan alat intelektual bagi peneliti untuk


mengabstraksikan situasi problematis yang dipilih secara relevan dengan
situasi masalah. Model ini dikonstruksi dari hasil analisis CATWOE.

Dalam menyusun model, peneliti berpedoman pertanyaan penelitian yang


hendak dijawab, kerangka konseptual New Institutionalism Economic
Sociology dan lokalisme, serta studi literatur yang berkaitan dengan isu tata
kelola air bersih.

5. Perbandingan model konseptual dan dunia nyata

Komparasi antara model konseptual dan gambaran dunia nyata ditujukan


untuk mengelola diskusi yang memunculkan berbagai sudut pandang,
sehingga menghasilkan potensi perbaikan bagi situasi dunia nyata. Proses
perbandingan mempertimbangkan pendapat informan ahli di bidang tata
kelola air bersih pembimbing tesis. Diskusi dilakukan untuk melihat sistem
yang relevan dengan teknis pengelolaan air bersih dan sistem pengelolaan
antar organisasi.

6. Perumusan saran tindak

Peran peneliti dalam tahap ini signifikan karena berupaya merumuskan


saran tindakan perbaikan yang ditujukan para pemangku kepentingan. Dua
pertimbangan dalam mengarahkan perbaikan situasi dunia nyata menyasar
agar argumen sudut pandang yang dipersiapkan dapat diterima dan secara
kultural dapat dilaksanakan.

7. Langkah tindakan perbaikan

Tahap ketujuh ini mengarahkan perbaikan penyelenggaraan tata kelola air


bersih. Peneliti tidak melakukan intervensi langsung terhadap perbaikan
pengelolaan, melainkan hanya memberikan rekomendasi kebijakan.
Rekomendasi yang dibuat ini merupakan pijakan bagi penyusunan regulasi
kerjasama antar desa terkait pengelolaan air bersih.
Sumber : Diolah dari Checkland (2000) dan Hardjosoekarto (2012)

3.2 Lokasi dan Subjek Penelitian


Pemilihan lokasi penelitian ini merujuk pada delineasi DAS untuk menekankan
orientasi ruang atau spasial dalam pembangunan kawasan pedesaan. Kawasan hulu DAS

39
menjadi pertimbangan tata wilayah karena memiliki keterkaitan dengan sumber mata air yang
mewakili daya dukung lingkungan terhadap sistem penghidupan desa. Hampir seluruh
penghidupan masyarakat pedesaan masih bersifat subsisten seperti sektor pertanian ataupun
peternakan. Secara spesifik studi ini dilakukan di tiga desa yang berbatasan langsung dengan
DAS Cikapundung Hulu yaitu Desa Suntenjaya, Desa Cibodas, dan Desa Mekarwangi.
Ketiga desa ini terletak di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa
Barat. DAS Cikapundung Hulu merupakan sub-DAS atau anak sungai dari sungai utama,
Sungai Citarum, yang berperan vital terhadap keterkaitan wilayah desa-kota di Jawa Barat.
Sungai Cikapundung menjadi pasokan air bersih PDAM di Kota Bandung yang sumber mata
airnya berasal dari Gunung Bukit Tunggul di kawasan pedesaan. Perluasan lokus penelitian
bagian dari kebaruan daripada riset sebelumnya (Rifandini, 2018). Pemilihan tiga desa
sebagai lokasi penelitian ditujukan untuk melihat keterkaitan hubungan antar lembaga desa
sebagai keseluruhan sistem aktivitas pengelolaan air bersih yang memiliki delineasi DAS
yang sama.
Penentuan subjek penelitian berangkat dari pra-penelitian yang dilaksanakan di Desa
Suntenjaya. Tujuan pra-penelitian ini untuk mengidentifikasi stakeholder yang terlibat dalam
pengelolaan air bersih yang bersumber di hutan Bukittunggul. Adapun unit analisis penelitian
ini adalah pemangku kepentingan dalam tata kelola air bersih di setiap desa yang berasal dari
organisasi maupun non organisasi yang berada pada level meso dan mikro, sebagaimana
merujuk pada kerangka konseptual yang digunakan. Subjek penelitian yang dipilih sebagai
informan dilakukan berdasarkan teknik non probabilitas yaitu purposive sampling yang
ditetapkan menurut kriteria yang telah dibuat peneliti. Kriteria yang dimaksud yaitu
pertimbangan informan menguasai informasi mengenai situasi problematis tata kelola air
bersih di desa. Berikut identifikasi informan penelitian dalam penelitian ini :
Tabel 3
Daftar Informan Penelitian
Desa Suntenjaya 1. Sekretaris Desa Suntenjaya

2. Kepala Urusan Lingkungan Desa

3. Kepala Dusun

4. Anggota BUMDes

5. Ulu-ulu (institusi lokal)

40
6. Ketua RW

Desa Cibodas 1. Ketua BPAB

2. Ketua BUMDes

Desa Mekarwangi 1. Sekretaris Desa Mekarwangi

2. Sekretaris BUMDes

3. Karyawan BPAB

4. Tokoh masyarakat

Institusi di luar 1. Petugas lapangan PTPN VIII (Perkebunan)


desa
2. Pengawas KRPH Cibodas (Perhutani)

3. Ketua LMDH (Lembaga Masyarakat Desa


Hutan)

4. Divisi Lingkungan Yayasan Walungan


Bhakti Nagari

Sumber : Hasil olahan peneliti


Berangkat dari kekhasan metode SSM yang menekankan adanya problem owner
sebagai pihak yang memperoleh dampak dari permasalahan ataupun proses transformasi
sebagai solusi permasalahan. Maka dari itu, problem owner dalam penelitian ini yaitu subjek-
subjek yang memiliki kewenangan pengelolaan air bersih di tingkat desa, yaitu pemerintah
desa.

3.3 Teknik Pengumpulan Data


3.3.1 Social Network Analysis (SNA)
Penelitian ini menambahkan SNA sebagai tools pengumpulan data dalam metode SSM
yang berangkat dari studi Muhammaditya (2021). Namun berbeda dari studi sebelumnya,
penelitian ini hanya menambahkan analisis SNA pada tahapan pertama SSM yaitu
mendefinisikan situasi problematis. Penelitian ini menjadikan SNA sebagai alat bantu untuk
menjangkau situasi lingkungan institusional di level makro dari regulasi sebagai sumber data

41
sekunder, sebagaimana Nee (2005) yang mengkategorikan narasi regulasi dalam lingkup
makro.
SNA diposisikan untuk mempelajari relasi aktor dalam peraturan. Mulai dari regulasi
tingkat undang-undang hingga peraturan menteri yang mengatur tentang tata kelola air bersih.
SNA memvisualisasikan jaringan aktor yang terlibat tata kelola air bersih. Dalam tahapan
pertama SSM, SNA membantu menyediakan pengayaan data dan mengelaborasi Analisis
Tiga terkait analisis politik.
3.3.2 Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam merupakan pengumpulan data yang umum ditemui dalam
penelitian kualitatif (Bryman, 2012). Menurut Marvasti (2004), melalui wawancara
mendalam peneliti dapat memahami konteks dan situasi masalah lebih dalam dari sudut
pandang informan yang terlibat langsung dalam dunia nyata. Sama halnya dengan penelitian
SSM yang menggunakan wawancara mendalam untuk memberikan pandangan holistik dan
pemahaman tentang situasi masalah, khususnya pada tahapan Analisis Satu, Dua, dan Tiga.
Wawancara mendalam pada penelitian ini bertujuan untuk menggali sudut pandang
para pemangku kepentingan yang mewakili institusi level meso dan mikro di tiga desa.
Wawancara mendalam diarahkan untuk menggali mekanisme pengelolaan air bersih di
masing-masing desa serta hubungan kelembagaan antar desa terkait pemanfaatan sumber
daya air bersih. Peneliti melakukan wawancara semi-terstruktur di mana terdapat topik yang
cukup spesifik untuk dibahas. Semi-terstruktur ditandai dengan bantuan daftar pertanyaan
atau pedoman wawancara yang diturunkan dari pertanyaan penelitian. Namun, jawaban dari
informan tidak mengikuti persis pertanyaan. Peneliti menjalankan etika penelitian berupa
pemberitahuan informed consent yang menjelaskan bahwa informasi tidak akan
disebarluaskan dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian serta meminta izin untuk
merekam selama wawancara berlangsung. Selain mengandalkan rekaman, peneliti juga
membawa field notes untuk mencatat beragam informasi yang tidak sempat direkam.
3.3.3 Ragam Data Geografis
Dalam menganalisis suatu masyarakat, ragam data geografis merupakan data yang
penting karena sebagai bahan bacaan mengenai tempat tinggal masyarakat. Ragam data
geografis dihasilkan dalam studi ini berupa peta tematik topografi mengenai batas wilayah
desa, areal pemukiman, delineasi DAS, dan titik GPS pengumpulan air (reservoir) di setiap
desa. Peta tematik memberikan informasi mengenai topografi, kawasan hutan,, dan kawasan
DAS sebagai atribut fisik alam yang mencakup kawasan sumber mata air. Urgensi ragam data
geografis untuk menunjukkan bahwa dalam analisis sistem aktivitas sosial perlu ditunjang

42
dengan peta. Terutama perihal penataan masyarakat desa yang terejawantah dalam
pembangunan. Peneliti memanfaatkan dokumen peta yang menyediakan perekaman objek
permukaan wilayah.

3.4 Strategi Validasi dan Pengolahan Data Penelitian


Tahapan SSM memberikan kesempatan untuk melakukan validasi penelitian
(Muhammaditya, 2021). Setelah peneliti mendefinisikan situasi masalah dari analisis TNA
dan wawancara mendalam di masing-masing desa, hasil temuan kemudian diekspresikan
dalam rich picture dan dianalisis melalui Analisis Satu, Dua, dan Tiga serta CATWOE.
Ragam data geografis berupa peta reservoir yang dimiliki desa, peta sumber mata air, dan
peta wilayah desa divalidasi melalui pencitraan foto dari Google Earth. Khusus untuk peta
reservoir air dan peta sumber mata air, validasi penelitian dilakukan dengan survei GPS di
wilayah RW dan sumber mata air. Tujuan survei lapangan untuk mengetahui titik koordinat
dan mengkonversi koordinat agar dapat dibaca melalui Google Earth Pro. Namun, peneliti
melakukan validasi lapangan di dua desa karena peta reservoir dan peta sumber mata air
hanya dimiliki oleh pemerintah Desa Cibodas dan Mekarwangi. Pada tahap 5, 6, dan 7 yang
didesain untuk menghasilkan saran tindak perbaikan, peneliti belum sempat melakukan
validasi data yang dituang dalam rich picture dan peta geografis bersama subjek penelitian
yang terlibat.

3.5 Limitasi dan Delimitasi


Penelitian ini memiliki keterbatasan praktis (limitasi) dan cakupan penelitian
(delimitasi). Limitasi dalam penelitian ini terkait persoalan teknis yaitu keterbatasan peneliti
menjangkau informan di setiap desa dan melakukan validasi data berupa FGD karena durasi
pengambilan data yang singkat. Selain itu, mengenai pembuatan dan keterbacaan hasil data
geografis peneliti dibantu dengan individu yang ahli dalam bidang tersebut. Sementara itu,
delimitasi penelitian mencakup batasan kerangka konseptual yang digunakan. Konsep
lokalisme ditujukan untuk menggambarkan konteks desa administratif, bukan penggambaran
desa adat. Selain itu, konsep lokalisme yang dielaborasi dengan pendekatan NIES bertujuan
sebagai alat pisau membedah keterjalinan institusi pada konteks tata kelola air bersih di
kawasan DAS.

3.6 Proses Penelitian

43
Penelitian ini bermula dari skripsi peneliti, Rifandini (2018) mengenai pelaksanaan
pembangunan desa pasca otoritarian atau semenjak berlakunya Undang-Undang Desa Nomor
6 Tahun 2014. Berangkat dari itu, peneliti meneruskan ketertarikan isu pedesaan dalam
penelitian tugas akhir tesis. Pemilihan topik dalam penelitian ini merupakan pendalaman isu
pedesaan mengenai pelaksanaan Undang-Undang Desa. Terutama berkaitan dengan otonomi
desa dalam penyelenggaraan tata kelola air bersih. Disamping itu, topik ini mendapat arahan
dari Bapak Zamzam Akhmad Jamaluddin Tanuwijaya yang meneliti tentang karakteristik
kebumian dan aliran Sungai Cikapundung Utara (2015). Peneliti menambahkan perspektif
sosiologi mengenai kelembagaan sosial harapannya guna membantu menghasilkan riset yang
bermanfaat terkait penataan masyarakat desa di kawasan Sub-DAS Cikapundung Hulu.
Proses pengumpulan data bermula dari pre-eliminary research yang dilakukan di Desa
Suntenjaya selama beberapa waktu dalam bulan September dan Oktober 2021. Pada tahapan
ini, tujuan kunjungan field research yaitu untuk mengidentifikasi aktor-aktor yang
berkepentingan terhadap tata kelola air bersih di desa sekitar sumber mata air. Pada kawasan
DAS Cikapundung Hulu, Desa Suntenjaya merupakan desa yang krusial karena berbatasan
langsung dengan kawasan hutan. Selain itu, aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang
bergantung pada wilayah hutan memengaruhi kuantitas debit mata air. Peneliti memperoleh
bantuan teknis berupa akomdasi tempat tinggal, dokumentasi ragam data geografis, dan
korespondensi stakeholder di desa-desa studi dari tim Yayasan Walungan Bhakti Nagari,
sebuah organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam riset integratif dan pemberdayaan
masyarakat berbasis daerah aliran sungai Sub-DAS Cikapundung Hulu di Kawasan Bandung
Utara (walungan.org). Relasi peneliti dengan Yayasan Walungan Bhakti Nagari terbangun
melalui penelitian skripsi terdahulu.
Pelaksanaan penelitian dilanjutkan pada bulan pertengahan Oktober hingga awal
November 2022. Beberapa pengumpulan data yang harus dilakukan diantaranya crawling
data regulasi terkait sistem tata kelola air bersih, wawancara aktor di Desa Cibodas dan
Mekarwangi, survei mata air dan reservoir di desa-desa, dan rencana pelaksanaan FGD
sebagai bagian dari tahapan SSM. Berikut visualisasi alur waktu proses penelitian:

Diagram 1
Alur Waktu (Timeline) Proses Penelitian

Pre-eliminary Research
Research Design +
Field Writing
Article
Des 2021 - Jan Research Report
Writing
2022 Okt 2022 Nov 44
2022
Jan - Sept
2022
BAB IV
Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1 Delineasi DAS Cikapundung Hulu


Bab ini mendeskripsikan data geografis dan kondisi struktur sosial yang berkaitan
dengan eksisting hulu Sungai Cikapundung. Bab ini terdiri dari peta wilayah yang
menggambarkan delineasi DAS Cikapundung Hulu dan desa-desa di kawasan DAS
Cikapundung Hulu sebagai lokus penelitian. Gambaran desa-desa penelitian ini merupakan
peta sosial yang merepresentasikan sistem aktivitas manusia yang bergantung dengan
eksisting geografis. Pengambilan data geografis diolah dari survei pemetaan GPS dan
penginderaan jarak jauh melalui Google Earth untuk menghasilkan peta tematik yang akan
dipaparkan dalam bab ini. Peneliti dibantu oleh tim Yayasan Walungan Bhakti Nagari dalam
mengolah data geografis dan menghasilkan peta.
Gambar xx
Peta Kecamatan Lembang

Sumber : Yayasan Walungan, 2018

45
4.1.1 Pembagian Sistem DAS Cikapundung Hulu
Dalam sistem sungai (sistem fluvial), DAS Cikapundung Hulu termasuk dalam
kesatuan DAS Cikapundung mulai dari kawasan zona pegunungan utara Bandung hingga
bermuara di Sungai Citarum di selatan Kota Bandung. Mengutip studi Tanuwijaya (2015)
DAS Cikapundung terbagi dalam tiga sub-sistem atau zona sungai, yaitu zona produksi (zona
atas), zona transfer (zona pertengahan), dan zona deposisi (zona bawah). Zona produksi
dicirikan dengan adanya pengaruh struktur geologi terutama dari Sesar Lembang yang
mempengaruhi terbentuknya Cekungan Lembang sebagai drainase DAS Cikapundung Hulu.
Pada peta tampak patahan Sesar Lembang yang memanjang dengan arah lintang di arah
timur-barat.
DAS Cikapundung Hulu yang berada di zona produksi memiliki luas 74,881 km 2. Di
zona ini Cekungan Lembang terbentuk dari aliran reruntuhan geologis yang pergerakan air
dan tanahnya dikendalikan oleh Sesar Lembang. Secara geologis terdapat air dan sedimen
yang berasal dari lereng perbukitan melalui proses erosi dan pelapukan batuan. Pada zona ini
pola aliran DAS Cikapundung Hulu tampak seperti jaringan anak sungai yang terkumpul dari
mata air di kawasan Gunung Bukit Tunggul dan bermuara di kawasan Celah Maribaya. Pada
peta zona produksi DAS Cikapundung Hulu ditunjukkan pada bagian segmen I.
Zona transfer menjadi penghubung antara zona produksi dan zona deposisi yang
mengalir mulai dari kawasan Maribaya hingga Curug Dago. Pada peta ditunjukkan pada
bagian Segmen II. Zona ini menyatu dengan jalur Sesar Lembang yang mengalir ke selatan
arah Kota Bandung (Tanuwijaya, 2015). Zona transfer terletak persis di tengah patahan
Cekungan Lembang sebelah utara dan Cekungan Bandung di sisi selatan. Dalam hal ini,
aliran DAS Cikapundung Hulu menjadi penghubung zona produksi dengan zona deposisi.
Sementara zona deposisi berada diantara kawasan Curug Dago hingga bermuara di Sungai
Citarum di Kota Bandung. Berbeda dari zona sebelumnya, zona deposisi masuk dalam
Cekungan Bandung. Aliran sungai pada zona ini tidak lagi termasuk dalam wilayah DAS
Cikapundung Hulu.
DAS Cikapundung Hulu terbagi menjadi tiga anak sungai yaitu Sub-DAS Cikawari,
Sub-DAS Cigulung, dan Sub-DAS Cikapundung. Sungai Cigulung menjadi sub-DAS dengan
area terluas di zona produksi sehingga memberikan kontribusi debit terbesar bagi aliran DAS
Cikapundung Hulu. Berkaitan dengan itu, Kementerian PUPR pernah menargetkan adanya
inventarisasi dan kajian pemanfaatan jasa lingkungan dari Waduk Cikapundung dan waduk-
waduk sekitarnya seperti Waduk Ciawiruka dan Cipanengah untuk memasok ketersediaan air

46
minum di Kota Bandung selama tahun 2011-2015 (Kementerian PUPR, 2014). Berdasarkan
peta tampak bahwa DAS Cikapundung Hulu mengalir di sebagian besar wilayah Kecamatan
Lembang. Jaringan DAS Cikapundung Hulu terkonsentrasi di sebelah timur, sementara desa-
desa di bagian barat Kecamatan Lembang tidak termasuk kawasan DAS Cikapundung Hulu.
Desa-desa diluar kawasan DAS Cikapundung Hulu diantaranya Desa Surajaya, Desa
Cikahuripan, Desa Gudangkahuripan, dan Desa Wangunsari.
Gambar xx
Peta Delineasi DAS Cikapundung Hulu

Sumber : Yayasan Walungan, 2018

47
Unsur kebumian seperti Gunung Bukit Tunggul, Gunung Palasari, dan Sesar Lembang
memiliki signifikansi secara geologis terhadap DAS Cikapundung Hulu. Salah satunya
tampak pada proses keluarnya mata air yang mengalir dari celah atau retakan bebatuan
menuju permukaan. Dengan kata lain, aliran sungai di suatu kawasan tidak terlepas dari
struktur geologi. Di sisi lain, penamaan mata air di kawasan Gunung Bukit Tunggul senada
dengan proses geologis terbentuknya mata air. Nama-nama mata air yang diketahui erat
dengan nama ‘legok’ karena memiliki arti sebagai lekuk atau cekung. Secara fisik lekuk atau
cekung menggambarkan adanya dua pertemuan tebing dengan struktur batuan tertentu. Salah
satunya, mata air Legok Onah yang berada di ketinggian sekitar 1.500 mdpl.
Gambar xx
Pertemuan Dua Tebing Sekitar Mata Air Legok Onah

Sumber : Dokumentasi peneliti


Disebut dengan DAS karena pengertiannya merujuk pada hamparan wilayah yang dibatasi
dengan pemisah alam berupa punggung bukit yang berfungsi menampung air hujan dan
terdapat titik outlet yang mengeluarkan air serta aliran sungai utama. Dengan kata lain, DAS
merupakan sistem wilayah yang kompleks karena mencakup kesatuan ekosistem fisik,
biologis, dan manusia di daerah hulu maupun hilir (Wulandari, 2007).
4.1.2 Hubungan Desa-Kota di DAS Cikapundung Hulu
DAS Cikapundung Hulu mencerminkan kepentingan sosiologis dalam hal
menghubungkan ranah desa-kota. Keterhubungan ini tidak hanya bersifat fisik wilayah, tetapi

48
mencakup juga realitas kehidupan masyarakat desa (hulu) dan kota (hilir) yang bergantung
pada air. Pada sisi hilir, pemanfaatan DAS Cikapundung Hulu untuk Kota Bandung telah
dilakukan sejak zaman kolonial Belanda, salah satunya sebagai tenaga pembangkit listrik.
Dari tahun 1923 hingga sekarang, pembangkit listrik yang sekarang menjadi PLTA Dago
Bengkok memiliki kapasitas mengkonversi debit air menjadi listrik hingga sebesar 3
Megawatt. Sementara itu terdapat sisa debit aliran DAS Cikapundung Hulu digunakan oleh
PDAM Kota Bandung untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kualitas air akibat limbah
dari aktivitas peternakan dan rumah tangga di daerah hulu menjadi permasalahan DAS
Cikapundung Hulu yang berfungsi penghubung desa-kota. Terlebih lagi DAS Cikapundung
Hulu menjadi sumber daya air Kota Bandung yang juga menjadi pasokan air minum.
Persoalan ini membuat PDAM Kota Bandung harus menambah biaya produksi dalam
rencana pengamanan air minum (RPAM) (Widarti dan Sudrajat, 2014).
Menurut Darmajanti & Starlita (2012) intensitas hubungan desa-kota di Indonesia tidak
lepas dari kerangka kerja perkembangan ekonomi Belanda yang ditandai dengan dualisme
ekonomi. Dalam hal ini, desa diposisikan sebagai kantong komoditas pertanian dan bahan-
bahan rempah ekonomi yang diekspor ke Eropa. Sementara itu, kota menjadi basis
pemerintahan kolonial Belanda untuk melakukan kerjasama dengan elit lokal. Salah satunya
Priangan, yang mencakup juga Kota Bandung, mengalami reorganisasi wilayah oleh VOC
untuk mengkoordinir pemerintahan di desa-desa.
Namun, konteks hubungan desa-kota pada hari ini telah bergeser. Bukan hanya
mengenai keterhubungan sumber produksi pangan, tetapi juga mengarah pada hubungan yang
berpotensi menghasilkan kerentanan ekologis. Terkait hal ini, Rizka (2014) mengemukakan
hal yang sama bahwa penggunaan lahan hutan untuk pertanian di sekitar kawasan hutan
Bukit Tunggul berakibat pada munculnya zona-zona kritis. Berkurangnya luas resapan air
tanah yang disimpan memicu persoalan penurunan debit mata air. Padahal DAS Cikapundung
Hulu merupakan wilayah potensial yang menyediakan air baku baik untuk seluruh wilayah
desa-kota. Selain menurunnya daya dukung ekologi terhadap praktik pertanian, tren wisata
berupa pembangunan rumah singgah yang menjamur di wilayah desa kian menggempur alih
fungsi lahan pertanian (Diyana & Sunarta, 2015). Peta bentang alam kawasan DAS
menegaskan problematika yang dihadapi desa-desa sekitar seputar masalah kewenangan
organisasional dan wilayah geografis.

49
Gambar xx
Peta Tematik Delineasi Lokasi Penelitian

Sumber: Diolah dari survei GPS dan penginderaan Google Earth

50
4.2 Kawasan Hutan : Area Administrasi Perhutani dan PTPN VIII
Areal kehutanan yang menjadi lokasi sumber mata air sebenarnya berada dalam
persinggungan wilayah kerja Perhutani dan PTPN VIII. Batas delineasi hak guna lahan hutan
Perhutani maupun PTPN VIII tidak tergambar pada peta. Namun, melalui proses pengamatan
empiris dan informasi dari beberapa informan mengatakan bahwa wilayah hutan Perhutani
terletak di sebelah timur hingga utara Desa Suntenjaya, sedangkan wilayah hutan PTPN VIII
berbatasan dengan Desa Suntenjaya di sebelah barat. PTPN VIII sendiri beroperasi di
wilayah administratif Desa Cipanjalu, Cilengkrang, Kabupaten Bandung di atas lahan seluas
708 ha.
Dulunya PTPN VIII aktif beroperasi sebagai perkebunan kina (tanaman obat). Namun
kini, produksi kulit tanaman kina semakin menurun dan tidak lagi menjadi komoditas utama
PTPN VIII. Bahkan, PTPN VIII yang berkantor pusat di Ciater Subang termasuk dalam non-
core bisnis agrowisata (ptpn8.co.id). Pada saat pra-penelitian berlangsung di Januari 2022,
kegiatan lapangan PTPN VIII masih berlangsung seperti mengangkut hasil kayu kina. Namun
sekarang aktivitas ini sudah berhenti dan digantikan dengan penyewaan lahan perkebunan
konyal (markisa) dan lahan pertanian oleh instansi luar. Sehubungan itu, beberapa informan
di lapangan mengatakan bahwa seluruh lahan operasional PTPN VIII diperuntukkan bagi
lahan sewa masyarakat sekitar.
Pada peta tergambar dengan jelas sejumlah titik mata air Sungai Cikapundung - yang
dapat dijangkau dengan survei GPS - sekaligus menjadi sumber penggunaan air bersih bagi
desa-desa sekitar. Titik mata air ini berada dekat dengan garis perbatasan kabupaten. Namun
garis batas wilayah kabupaten ini kurang menjadi perhatian bagi desa-desa sekitar untuk
menentukan wilayah otonomi sumber mata air. Pasalnya, Perhutani dan PT. Perkebunan
Nusantara (PTPN) VIII merupakan institusi yang berwenang untuk mengelola kawasan hutan
di Gunung Bukit Tunggul, sehingga melalui kedua institusi tersebut izin akses dan
pemanfaatan sumber mata air dapat diperoleh.
Tabel xx
Pembagian Mata Air Berdasarkan Wilayah Kabupaten

Wilayah Kabupaten Wilayah Kabupaten


Bandung Barat Bandung

Sumber Seke Legok Bakekok Seke Cikudakeling


Mata Air
Seke Legok Onah Seke Sangga Dulang

51
Seke Tereptep Seke Saladah

Seke Cidurian Cinape

Sumber : Hasil Olah Data dari Survei GPS


Berbeda dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengatur
dan mengelola lingkungan institusional kehutanan. Perhutani menerima mandat dari negara
mengurusi wilayah kehutanan untuk kepentingan pemanfaatan sumber daya hutan dan
pengelolaan jasa lingkungan. Mandat ini dijelaskan secara lebih terang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang tugas dan fungsi Perhutani. Perhutani memiliki
struktur kerja berdasarkan skema pembagian wilayah hutan. Berkaitan dengan lokasi studi,
hutan Bukit Tunggul termasuk dalam cakupan wilayah Resort Pengelolaan Hutan (RPH)
Cibodas yang menginduk dalam Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kawasan Bandung
Utara. Sebagaimana hasil wawancara dengan Pendamping KRPH Cibodas 06 April 2022 :
“Ini globalnya dulu, globalnya itu kan diperuntukkannya, satu, ada direksi
yang khusus di dalamnya direktur se-Jawa di Jakarta. Terus grade kedua
ada, dulu unit disebutnya, sekarang lebih kepada divre divisi regional.
Regional 3 ini Jawa Barat, yang kesatu dan kedua adalah Jawa Timur -
Jawa Tengah. Eh Jawa Tengah dulu satu Jawa Timur dua, Jawa Barat tiga.
Itu divisi regional. Dari situ ada yang membawahi setiap kabupaten yang
setara dengan kabupaten itu adalah KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan).
Nah di 14 kabupaten ini ada 14 KPH. Di Jawa Barat-Banten ini ya ada 14
kabupaten. Nah ada 14 KPH disitu, kesatuan pemangkuan hutan. Di
Bandung Utara, kesatuan pemangkuan hutannya itu adalah Bandung Utara
dan Bandung Selatan. Yang Bandung Utara ini membawahi 4 BKPH. Yang
mana dibagi dengan 4 BKPH. Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan yaitu ada
4 BKPH. BKPH Padalarang, BKPH Lembang, BKPH Cisalak, BKPH
Manglayang Barat. Pakai Manglayang Barat, karena di sana ada
Manglayang Timur yang ke bawah itu Kabupaten Sumedang.”

RPH Cibodas menaungi kawasan hutan di Kecamatan Lembang seluas 1823 ha. RPH
Cibodas mencakup tiga desa yang berada dalam Hutan Pangkuan Desa (HPD) yaitu Desa
Suntenjaya (1.030,70 ha), Desa Cibodas (455, 60 ha), dan Desa Wangunharja (164,90 ha).
Hasil wawancara dengan Pendamping KRPH Cibodas 06 April 2022 :
“...RPH Cibodas ini yang menurut saya istimewa nih karena sementara yang
dua itu kabupaten Bandung, ini kabupatennya Bandung Barat yang
kesatunya. Terus yang keduanya kecamatannya Lembang membawahi tiga
desa. Desa Suntenjaya, Desa Cibodas, dengan Desa Wangunharja
kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.”

52
Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dicetuskan pada tahun
2001 melegitimasi aktivitas Perhutani bersama dengan masyarakat. Program pengelolaan
hutan bersama merupakan perpanjangan dari program-program sebelumnya. Sekitar tahun
1972-1973 dikenal Program Mantri Lurah (Manlu) yaitu program yang mengintegrasikan
program dari mantri (Kepala Resor Pengelola Hutan) dengan lurah (kepala desa).
Pengembangan program selanjutnya dikenal dengan PMDH (Pemberdayaan Masyarakat
Desa Hutan) yang membentuk LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Dalam program
ini, manifestasi pengelolaan hutan bersama dari unsur masyarakat diwadahi oleh LMDH.
Melalui LMDH aktivitas masyarakat dinaungi dalam garis koordinasi Perhutani. Terutama
terkait pemanfaatan sumber daya hutan dan jasa lingkungan seperti wisata hutan, sharing
lahan untuk pertanian, dan sebagainya. Hasil wawancara dengan Pendamping KRPH Cibodas
06 April 2022 :
“...wajib hukumnya karena ada PP 72 disitu. Perhutani wajib melibatkan
masyarakat atau kerjasama dengan masyarakat desa sekitar hutan dan para
stakeholder pendukung lainnya gitu. Nah di dalam hal ini Perum Perhutani,
dari mulai yang saya kenal dari buku atau sejak dari tahun ‘73…’72.
Pertama, ada program ‘Manlu’ Mantri Lurah kerjasamanya itu, tapi yang
sejahteranya itu Pak Lurahnya terus yang kedua ada program Inpres terus
ada program PMDH, pembangunan masyarakat desa hutan”

Seiring dengan pemanfaatan, Perhutani juga bertugas mengawasi perlindungan hutan


dan konservasi alam. Kawasan hutan di RPH Cibodas tidak hanya terdiri dari hutan produksi
pinus, tetapi sebagian kawasan juga merupakan kawasan hutan lindung yang keberadaannya
signifikan terhadap Sungai Citarum. Hingga sekarang, pemanfaatan sumber daya hutan
dikembangkan dalam skema Perhutanan Sosial yang memberikan akses legal masyarakat
untuk mengelola hutan. Namun, praktik Perhutanan Sosial sendiri bukan menjadi fokus dari
penelitian ini.
Bagian selanjutnya menggambarkan peta wilayah dan peta sosial desa-desa penelitian.
Penjabaran deskripsi peta wilayah dan peta sosial bertujuan untuk keterkaitan eksisting
wilayah geografis dengan dinamika interaksi antar desa untuk memenuhi kebutuhan air
bersih. Deskripsi ini juga berkaitan dengan pertanyaan pendukung yang ketiga yaitu
mengenai bagaimana relasional individu dan kelompok di level mikro terkait pengelolaan air
bersih.

53
Gambar xx
Peta Tematik Desa Suntenjaya

Sumber : Diolah dari survei GPS dan penginderaan Google Earth

54
4.3 Potret Desa Suntenjaya di Kawasan Hulu DAS Cikapundung Hulu
4.3.1 Tata Wilayah Desa Suntenjaya
Desa Suntenjaya merupakan wilayah kunci bagi kawasan hulu DAS Cikapundung
karena memiliki peran aspek geologis, geografis, dan ekologis. Desa Suntenjaya merupakan
desa di sisi paling timur di Kecamatan Lembang. Terletak di ketinggian 1300 – 1400 mdpl
yang berbatasan langsung dengan Gunung Bukit Tunggul. Pembagian wilayah administratif
Desa Suntenjaya terdiri 17 RW dan 4 dusun dengan pembagian pemukiman (kampung)
terdapat 16 kampung. Pada tahun 1979 Desa Cibodas mengalami pemekaran wilayah. Selain
Desa Cibodas, Desa Suntenjaya juga merupakan pemekaran dari desa-desa sekitar seperti
Desa Cikadut dan Desa Cimenyan.
Sebelah selatan berbatasan dengan aliran DAS Cikapundung Hulu yang bersebelahan
dengan Sesar Lembang. Sementara di sebelah utara berbatasan dengan Sungai Ciawiruka. Di
bagian selatan Desa Suntenjaya terdapat garis kontur rapat dengan arah lengkung yang
menunjukkan permukaan bumi yang terjal atau elevasi berupa tebing atau gawir yang
merupakan Sesar Lembang. Peta tematik Desa Suntenjaya memperlihatkan bahwa sebagian
wilayah Desa Suntenjaya seperti di Kampung Batu Lonceng relatif berada di patahan atas
atau atap sesar pada sisi sebelah timur Sesar Lembang. Kemudian Kampung Pasir Angling
yang merupakan termasuk patahan bawah atau alas sesar yang mengarah bagian utara Sesar
Lembang.
Beberapa kampung Desa Suntenjaya dikelilingi oleh hutan dengan vegetasi hutan
pinus, seperti Kampung Pasir Angling, Kampung Gandok, Kampung Sukaluyu. Sementara
itu, hubungan ekologis dengan DAS Cikapundung Hulu tercermin dalam pengaturan tata
guna lahan dan pengelolaan air bersih. Dalam hal ini DAS menjadi kawasan suplai kebutuhan
utama yang harus ada untuk memenuhi keberjalanan sistem kehidupan desa. Penggunaan
lahan terkonsentrasi untuk pemukiman penduduk dan sektor pertanian. Pemanfaatan hutan
Bukit Tunggul bagi sebagian wilayah diperbolehkan untuk lahan pertanian yang merujuk
pada legitimasi kebijakan kehutanan yang berlaku. Lahan pemanfaatan hutan yang
berdampingan dengan area tangkapan hujan dapat mempengaruhi kuantitas air yang dapat
disimpan dalam tanah.
4.3.2 Pemanfaatan Sumber Air Bersih di Desa Suntenjaya
Dari sisi penggunaan air mata pencaharian masyarakat seperti aktivitas pertanian
memiliki kebutuhan terhadap air sangat tinggi. Pada musim kemarau, area lahan tani
memerlukan penyiraman setiap harinya. Komoditas pertanian seperti brokoli, kentang, cabai
keriting merah, kol merah, dan sebagainya memiliki kebutuhan air yang berbeda-beda.

55
Berbeda saat musim hujan di mana lahan pertanian bergantung pada ritme hujan yang turun.
Intensitas penggunaan air dalam aktivitas peternakan juga tinggi. Pelaksanaan prosedur
pemerahan sapi mewajibkan pembersihan kandang sapi dan sapi sebanyak dua kali dalam
sehari. Dalam satu rumah tangga peternak bisa memiliki lebih dari satu ekor sapi. Tingginya
kebutuhan air seiring dengan tuntutan peternak agar dapat menghasilkan 15-20 liter susu
(Rifandini, 2018). Selain besarnya kebutuhan penggunaan air, pola keterhubungan
masyarakat dengan sanitasi air masih menimbulkan permasalahan. Limbah dari peternakan
sapi belum memiliki saluran buangan yang terpisah, melainkan menyatu pada saluran pipa air
bersih.
Pemenuhan air bersih untuk Desa Suntenjaya berasal dari sejumlah sumber mata air
yang berada di kawasan hutan Bukit Tunggul yang dijabarkan sebagai berikut :
Tabel xx
Penggunaan Mata Air di Desa Suntenjaya
Wilayah RW Penggunaan Sumber
Mata Air

RW 01, RW 02, RW Ciawiruka dan Curug


03, RW 04, RW 05 Cibodas

RW 14 Ciawitali dan Curug


Cibodas

RW 08 Curug Lalay dan Cagak


Gunting

RW 12 Legok Terong dan


Curug Lalay

RW 06 Ciawitali

RW 09 dan RW 10 Pasaeran orog

RW 13 Kubang/Kebon 12

Sumber : Diolah dari hasil wawancara

Sumber mata air yang tertera di atas dapat berbeda dengan praktik pemanfaatannya di
setiap RW maupun kampung, karena masing-masing wilayah tersebut terdapat ulu-ulu yang
mengatur persis jalur air dan lokasi mata air. Informasi mengenai sumber mata air ini
diperoleh dari informan Banyuresmi, institusi pengurusan air di bawah desa. Namun
sebenarnya Banyuresmi belum termasuk administrasi Bumdes Suntenjaya. Keberadaan

56
Banyuresmi dapat dikatakan cikal bakal pengurusan ulu-ulu dan mengawali proses
pembangunan air bersih di Suntenjaya. Hasil wawancara dengan informan Banyuresmi 07
Desember 2021 :
“Ya perangkat yang udah mah gitu aja yang sekarang baru dibangun belum
masuk gitu kan. Kalau dulu masih perencanaan bapak dulu tahun 1993 itu
masih dikelola. Tapi sekarang seharusnya dimasukin Bumdes. Tapi sekarang
belum masuk lah. Baru dibangun, baru rancangan.”

Selain mata air di kawasan hutan, terdapat juga sumber air Legok Barong di dekat
kantor Desa Suntenjaya. Keluarnya mata air di wilayah Desa Suntenjaya karena berdasarkan
topografi Legok Barong dengan ketinggian 1350 mdpl dan persis bersebelahan dengan Sesar
Lembang sebagaimana ditunjukkan pada peta melalui garis kontur rapat di sisi selatan,
sehingga secara fisik banyak pertemuan patahan di area ini. Kepemilikan mata air Legok
Barong bukan aset pemerintah desa, melainkan dimiliki secara individu. Lokasi mata air ini
pun terletak di tengah-tengah lahan pertanian warga. Pemanfaatan Legok Barong menjadi
salah satu sumber air bersih Desa Cibodas.
Gambar xx
Sumber Air Legok Barong

Sumber : Dokumentasi peneliti


4.3.3 Peran Ulu-ulu
Pengelolaan air bersih di seluruh Desa Suntenjaya bertumpu peran ulu-ulu. Ulu-ulu
menjadi perangkat sosial yang dipercayakan oleh masyarakat kepada individu yang bertugas
mengurusi air. Biasanya status sosial ini dijalankan secara intergenerasi (Rifandini, 2022).

57
ada Secara umum, ulu-ulu berada di wilayah kampung baik tingkat RT ataupun RW. Hasil
wawancara dengan ulu-ulu Kampung Pasir Angling 22 September 2021 :
“Kalau ulu-ulu itu kala bahasa disini mah nggak tau ya. Kalau bahasa daerah
Subang itu pengaturan air.”

“…Buat ngatur ke sawah itu ulu-ulu. Di sini sama juga cuman ada untuk ke
rumah atau ke kebun. Kalau di sawah sih gitu pengatur air ke tanggulan.”

Keberadaan ulu-ulu merupakan manifestasi dari institusi lokal Desa Suntenjaya yang
mengurusi air bersih di tingkat masyarakat (mikro). Secara umum, ulu-ulu bertugas
melakukan pembagian distribusi air, perawatan saluran pipa secara teknis, hingga pencatatan
penggunaan air di rumah tangga. Hasil wawancara dengan Ibu Rumah Tangga 22 September
2021 :
“Iya, ulu-ulu itu teh yang suka...Suka benerin air kitu (gitu), kalau nggak ada
air ulah atos ke ulu-ulu (nggak setelahnya ke ulu-ulu).”

Hasil wawancara dengan informan Banyuresmi 07 Desember 2021 :


“Perawatannya ya kalau disini disebutnya ulu-ulu. Yang perawatannya itu
air bersih. Tiap RW ada dua orang.”

“Tugasnya yang seperti itu tadi bapak. Yang masuk air, kesana. Dikarenakan
musim hujan, ada masuk air kotor ke tabung. Ke tabung induk yang disana.
Terus di jalan ada longsor, patah pipa, bagiannya ulu-ulu yang di hutan.
Terus ada kendala, biasalah satu bulan satu kali, dipecahin itu yang
diperiksa. Yang ngelola itu aja lah di perjalanan.”

Namun bentuk koordinasi ulu-ulu setiap RW atau kampung bisa berbeda-beda. Namun
biasanya koordinasi ulu-ulu bekerjasama dalam kepengurusan RT atau RW. Di Kampung
Pasir Angling, misalnya, yang terdiri dari dua yaitu RW 07 dan RW 16, masing-masing RW
memiliki ulu-ulu. Hasil wawancara dengan ulu-ulu RW 07 Kampung Pasir Angling 22
September 2021 :
“Kalau sebelum bapak itu pak almarhum. Ya dulu pertama bapak juga.
Cuman 2006-2010 bapak dulu 2 orang dengan almarhum [nama]. Udah
rapat-rapat, satu aja ulu-ulunya. Sebelum dikilometer itu…”

“...Kalau tahun ini, semua RT yang kerja yang kerusakan di rumah


masyarakat maupun di hulu itu tanggung jawab RT.”

Sama halnya di Kampung Cibodas, peran ulu-ulu juga menjadi bagian dari RW.
Kepengurusan ulu-ulu dikoordinir oleh RW. Hasil wawancara dengan Penagih Air Kampung
Cibodas 01 Oktober 2021 :

58
“Yang pertama itu pak RW sebagai ketua air, ketua masyarakat. Ada
bendaharanya [nama], sekretarisnya [nama]. [Nama informan] sebagai
penagih. Yang terakhir itu ketua ulu-ulu, [nama]. ”

“(Tugasnya) Lebih ke kerusakannya. Kerusakan mungkin di wilayah, di


kehutanan, di perjalanan, ada yang bocor, ada yang kilometernya rusak kan
gitu.”

Di Kampung Sukaluyu (Kampung Asrama) peran ulu-ulu tidak terlalu aktif karena
kepengurusan RW baru mengalami pergantian saat pengambilan data dilakukan. Adanya
pergantian para pengurus RW ini merencanakan perubahan mekanisme pengelolaan air bersih
di Kampung Sukaluyu dengan mengaktifkan kembali ulu-ulu di kepengurusan RW. Hasil
wawancara dengan istri Ketua RT Kampung Sukaluyu 01 Oktober 2021:
“Baru pembentukan kemarin juga terusan tadinya mau ngebentuk tim, tapi
belum. Baru ada ketuanya dulu. Nanti ketuanya mau ngebentuk tim katanya,
tapi belum, sekarang mah juga mau pembenahan penampungannya. Disini
kan penampungannya masih minim ya, masih terbuka mau rencananya mau
ada pembenahan pembetulan dari sananya juga baru ada rencana
pembenahan baru, sekarang baru semalam baru rapat soal biaya-biaya bikin
proposal juga terusan mau ada swadaya masyarakat juga.”

Pengelolaan air bersih yang berjalan selama ini di Kampung Sukaluyu mengandalkan
kemampuan rumah tangga masing-masing, sebagaimana dituturkan dalam wawancara istri
Ketua RT Kampung Sukaluyu 01 Oktober 2021:
“Ada juga yang masyarakat mandiri langsung ngambil mata air, langsung
pasang paralon yang mandiri.”

4.3.4 Daya Dukung Infrastruktur


Distribusi air bersih secara teknis memerlukan ketersediaan infrastruktur seperti buleng
sebagai bak penampungan air, saluran pipa, dan kilometer atau water meter. Aliran mata air
ditampung menggunakan bak kemudian dialirkan ke bak induk penampung sehingga dapat
didistribusikan ke rumah-rumah warga. Berikut ilustrasi teknis distribusi air bersih :
Gambar xx

59
1
1 = Aliran input dari mata air
2 = Aliran output
3 = Buleng (Bak penampungan utama)
4 = Bak penampungan
5 = Pipa ke rumah warga
3 2
4

Ilustrasi Distribusi Air

Sumber : Diolah dari dokumen Yayasan Walungan


Pembangunan awal sarana air bersih di Desa Suntenjaya dibangun secara swadaya pada
tahun 1993. Kemudian sekitar tahun 2010 memperoleh bantuan dari LDSC (Latter-Day
Saints Charities) dari Rotary Club. Hasil wawancara dengan informan Banyuresmi 07
Desember 2021 :
“Pertama bangun air bersih itu, pertama rancangan sama warga
masyarakat tahun 1992. Pelaksanaan bangun air bersih itu bulan februari
tahun ‘93. Tahun 1993 itu hasil swadaya masyarakat, swadaya murni
neng..”

“Kan itu tiga sumber. Yang pertama swadaya murni. Yang kedua LDSC.
Yang ketiga pamsimas.”

“…Tahun 2011an atau 2010, ada bantuan dari LDSC, dari orang Amerika.
Dulu neng ngasih. Sama kayak pamsimas, 2 km lebih.

Informan di atas menjelaskan proses pembangunan buleng yang berlangsung di Dusun


1. Setiap kampung melaksanakan proses pembangunan infrastruktur beragam, bahkan baru
ada yang berjalan hingga saat ini. Pemasangan water meter di Pasir Angling, misalnya, baru
tahun 2016 mulai mendapat bantuan dari pemerintah desa. Selain itu ada juga buleng yang
dibangun oleh Yayasan Walungan, yaitu elemen masyarakat sipil menaruh perhatian pada
pemberdayaan masyarakat desa di wilayah DAS (Rifandini, 2018). Berikut ini buleng yang
dibangun Yayasan Walungan :

60
Gambar xx
Buleng di Kampung Pasir Angling

Sumber : Dokumentasi peneliti


Hasil wawancara dengan RT 02 Kampung Pasir Angling 22 September 2021 :
“Sebetulnya, ya dek ya, bapak baru ya di sini, bukan asli orang sini, jadi
bapak 2015 teh baru kesini. Setahun bapak di sini rumah baru di-kilometer.

“...Iya, itu hasil pengajuan ke desa...alhamdulillah keluar, desa juga


membantu banyak banget gitu kan…”

“…mulai juga ada dari bantuan dari pemerintah desa juga ada, melalui RW
ada.”

4.3.5 Sistem Iuran Air Bersih


Masing-masing kampung memiliki sistem pencatatan penggunaan air bersih oleh
konsumen rumah tangga. Di Kampung Pasir Angling pencatatan mulai dilakukan oleh
pengurus RT. Tanggal 5 setiap bulannya rumah tangga dikenakan Rp 5.000,- untuk
pemakaian setiap 20 kubik air. Intensitas penggunaan air bersih lebih dari 20 kubik biasanya
rumah tangga peternak yang memiliki kandang sapi. Hasil wawancara dengan Ketua RT 02
Kampung Pasir Angling 30 September 2021 :
“Kalau di sini cara pembayarannya 1 bulan 1 kali, cuman ada batasan,
kalau yang punya rumah, yang punya rumah 20 kubik per bulan. Kita
cuman ngasih beban 20 kubik 5 ribu. Kalau yang kandang sapi yang punya
ternak itu 40 kubik.”

“Sementara yang ambil pungutan itu ya bapak RT. Dicatat. Pak RT


biasanya per tanggal 5.”

61
Sistem pencatatan di Kampung Pasir Angling dilakukan oleh ketua RT yang
disesuaikan kembali dengan kondisi pelanggan. Penyesuaian dilakukan dengan melihat
penggunaan kilometer yang menunjukkan jumlah pemakaian. Ketua RT mengatakan
penggunaan air bersih lebih dari 20 kubik mendapat kebijakan pemotongan yang besarannya
setengah dari total pemakaian dan berlaku secara kelipatan. Pengurangan ini dilakukan agar
tidak membebani warga setempat. Dengan kata lain, mekanisme pembayaran atau sistem
pembayaran air dalam bentuk iuran air bersih. Hasil wawancara dengan Ketua RT 02
Kampung Pasir Angling 30 September 2021 :
“Tapi di sini semua juga, dilihat dulu kilometernya bulan kemarin habis
berapa. Misalnya habis 40 kubik ya, itu ada kebijakan dipotong 20 kubik,
yang dibayar cuman 20 kubik. Misalkan adek di rumah habis 40 kubik, itu
kan hasil musyawarah, kalau habis 40 kubik, dipotong 20 kubik jadi cuma
bayar 20 kubik.”

“…Supaya tidak memberatkan…”

Pelaporan iuran air bersih biasanya dibahas dalam pertemuan musyawarah warga yang
dilakukan setiap satu tahun sekali. Tujuannya untuk menginformasikan hasil pendapatan yang
diperoleh dari iuran bersih. Dalam pertemuan ini disepakati juga penggunaan hasil
pendapatan yang terkumpul, misalnya untuk pembelian perlengkapan kematian yang
digunakan bersama. Pelaporan juga diserahkan kepada pihak desa oleh ketua ulu-ulu. Hasil
wawancara dengan Ketua RT 02 Kampung Pasir Angling 30 September 2021 :
“…Dan setiap 1 tahun sekali per Agustus itu dibuka di semua masyarakat
penghasilannya.”

“Semuanya hasil dikembalikan lagi dek buat sosialnya juga kalau


membutuhkan kita pakai. Kemarin aja saya tidak menutup kemungkinan
alhamdulillah RW 07 bisa membeli kursi. Kursi ya kalau ada yang mati kan
harus punya kursi, sama terpal…”

“Iya, kita rapat dulu, mau dibeliin apa, makanya semua menikmati gitu dari
hasil gitu dah kita kembalikan lagi jadi kita dari hasil itu kita rapatin lagi
nih kan beda-beda nih antara RW 16, kebutuhannya beda ya kita rapatin di
masyarakat pinginnya apa kita belikan setelah ada hasilnya kita rapat lagi.
Jadi tidak ada yang namanya kecemburuan. Disini mah gitu dek, jadi
kembali lagi ke masyarakat karena hasil dari masyarakat harus
dikembalikan lagi ke masyarakat.”

Kampung Cibodas juga menerapkan iuran air bersih dengan besaran yang berbeda yaitu
Rp 15.000 untuk setiap pelanggan air bersih baik yang memiliki kilometer ataupun tidak.

62
Pemberlakuan sistem iuran air bersih sebesar Rp 15.000 dimulai sekitar tahun 2018. Hasil
wawancara dengan Penagih Air Kampung Cibodas 01 Oktober 2021:
“Ya bayar juga ke RW. Jadi yang punya kilometer 15 ribu , yang gak punya
kilometer 15 ribu”

Penerapan dilakukan setelah adanya perbaikan sistem pengelolaan air bersih. Dorongan
perbaikan karena pergantian pengurus RW yang memunculkan pembaruan penggunaan air.
Salah satunya setiap pelanggan diwajibkan pemasangan kilometer. Hasil wawancara dengan
Penagih Air Kampung Cibodas 01 Oktober 2021:
“Kan ada ganti ke-RW-an ada yang ngubah lagi. Kadang ada pembaruan
lagi pengurus, itu kan. Jadi beda-beda sih lh. Kalau ganti ke-RW-an ada
perubahan lagi. Perubahan misalnya pengurus, perubahan pengelola
mungkin tata cara.”
.
Iuran air bersih pada masa pengurus sebelumnya sekitar Rp 4.000 – Rp 5.000. Hal ini
dikarenakan sistem pengelolaan air bersih di Kampung Cibodas belum mewajibkan
pemasangan kilometer. Hasil wawancara dengan Penagih Air Kampung Cibodas 01 Oktober
2021:
“Iya mungkin belum ada kilometer. Mungkin tatacaranya ga ada sistem
denda. 15.000 kan kalo di awal-awal 4.000, 5.000, 10.000.”

Sama halnya, di Kampung Cibodas musyawarah dimanfaatkan untuk menentukan


kesepakatan tarif iuran air bersih. Biasanya musyawarah dihadiri oleh tokoh masyarakat.
Dalam musyawarah, salah satu yang disepakati mengenai kenaikan tarif iuran air bersih yang
sudah termasuk kas RW seperti untuk kematian, dan kebersihan. Hasil wawancara dengan
Penagih Air Kampung Cibodas 01 Oktober 2021:
“Naiknya 15.000 teh masuknya uang ke-RW-an, masuknya uang
kebersihan, itu masuk lagi. Itu kan masyarakat gotong royong lah kalau
sekarang ni karena sudah ada kebersihan yang jalan. Jadi ngambil
uangnya teh uang PAB, bayar.”

63
Gambar xx
Peta Tematik Desa Cibodas

64
4.4 Potret Desa Cibodas di Alas Sesar Lembang
4.4.1 Tata Wilayah Desa Cibodas
Kondisi geografis menunjukkan Desa Cibodas relatif termasuk dataran tinggi karena
terletak di ketinggian 1250 mdpl. Namun formasi geomorfologi Desa Cibodas berbeda dari
Desa Suntenjaya yang mengindikasikan tidak ditemui sumber air di Desa Cibodas. Sementara
itu dari peta dapat terlihat bahwa Desa Cibodas termasuk desa hilir di segmen I DAS
Cikapundung Hulu. Posisi ketinggian (elevasi) Desa Cibodas dengan gawir (tebing) Sesar
Lembang terletak relatif dekat. Secara topografi Desa Cibodas termasuk dari Sesar Lembang
yang berada di bagian lembah atau alas sesar. Wilayah alas sesar dapat terbentuk karena
adanya dua blok tektonik yang saling kontak. Tumbukan ini mengakibatkan munculnya
bongkahan patahan dari bidang tektonik yang berada di atas dapat berupa susunan tebing
yang curam dan bongkahan patahan di bagian bawah. Menurut Muljo & Helmi (2007) dan
Rasmid (2014) terbentuk melalui proses terangkatnya blok melalui gerak sesar geser (strike
slip) yang memperlihatkan arah jurusnya sejajar.
Sesar Lembang sendiri banyak diteliti geolog sebagai sesar yang aktif yang
menjadikannya rawan gempa. Sesar Lembang memanjang dari ujung timur Gunung Palasari
hingga ujung barat sepanjang sekitar 22 km. Keberadaan Sesar Lembang memberikan
dampak tektonik bagi kawasan DAS Cikapundung Hulu yaitu membentuk morfologi yang
dataran Lembang berupa jalur perbukitan dan drainase cekungan (drainage basin). Drainase
Cekungan Lembang ini merupakan area permukaan yang menjadi daerah pertemuan sungai-
sungai kecil yang membentuk pola aliran DAS Cikapundung Hulu. Daerah ini dapat dilihat
pada area segment I-b Peta Delineasi DAS Cikapundung Hulu. Bentang alam jalur perbukitan
Sesar Lembang dapat diamati secara langsung dari Desa Cibodas. Di sepanjang tebing
terdapat kawasan hutan yang dicirikan dengan vegetasi pinus.

65
Gambar xx
Penampakan Bentang Alam Sesar Lembang di Desa Cibodas

Kawasan hutan pada sisi tebing Sesar Lembang Jalur perbukitan Sesar Lembang dari RW 05 Desa Cibodas
Sumber : Dokumentasi peneliti
Peta tematik menunjukkan bahwa Desa Cibodas dikelilingi oleh anak-anak sungai
Cikapundung. Di sebelah utara dekat dengan garis perbatasan Desa Cibodas terdapat
pertemuan antara Sungai Ciawiruka, Sungai Cikawari, dan Cipanengah. Ketiga anak sungai
ini menyatu dalam aliran Sub-DAS Cikawari. Sementara di sisi selatan Desa Cibodas
mengalir Sub-DAS Cikapundung Hulu. Desa Cibodas termasuk desa muara atau hilir diantara
desa-desa di zona produksi DAS Cikapundung Hulu. Deskripsi topografi ini dapat
menjelaskan sumber pengelolaan air bersih di Desa Cibodas berasal dari mata air di sekitar
kawasan Gunung Bukit Tunggul. Berdasarkan peta, terdapat 4 sumber mata air yang
digunakan Desa Cibodas di kawasan hutan Bukit Tunggul yaitu Sangga Dulang dan Seke
Saladah yang berada di kawasan hutan PTPN VIII dan Legok Onah berada di kawasan
Perhutani. Sumber air Legok Barong yang berada di Desa Suntenjaya juga dimanfaatkan
sebagai pasokan ketersediaan air bersih. Selain itu, Desa Cibodas menambah sumber air dari
Sungai Cipanengah namun belum dimasukkan dalam peta karena penambahan mata air tahun
2018. Hasil wawancara ketua PAB Desa Cibodas 17 Januari 2022:
“…Sebenarnya ada 5, Cuma satu belum masuk peta. Satunya Cipabeasan di
Cipanengah.”

4.4.2 Peran BPAB Desa Cibodas


Pembangunan PAB di Desa Cibodas dimulai sekitar tahun 1988 yang diinisiasi oleh
sejumlah tokoh masyarakat bersama masyarakat secara swadaya. Hasil wawancara dengan
ketua PAB Desa Cibodas 17 Januari 2022:

66
“Dulu kan tokohnya ada yang di Cibodas ini Pak Otoy, Pak Triana itu yang
pelopor air bersih di Cibodas. Hmm dulu itu sih pas pembangunan, kalau
nggak salah semacam swadaya gitu lah. Jadi pas pembangunan itu ada kerja
bakti segala macam sampe sekarang sini…”

Pengurusan air bersih dikelola oleh BPAB Desa Cibodas secara terpisah dari
pemerintah desa. Namun mulai dari tahun 2015-2016 pengelolaan air bersih diserahkan
kepada BUMDes yang menjadi bagian dari institusi di tingkat desa. Hasil wawancara dengan
ketua PAB Desa Cibodas 17 Januari 2022 :
“Baru tahun 2015-2016 lah kalau nggak salah itu dimasukkan ke BUMDes.”
Peran BPAB terkait dengan keterjaminan distribusi air, pemelihaaran teknis jalur
distribusi, dan pelayanan retribusi air bersih. Secara struktural, BPAB berada di bawah unit
BUMDes. Selain PAB, BUMDes Karya Mandiri memiliki unit usaha penyewaaan kios desa
dan pengelolaan sampah. Saat ini BPAB dapat menyumbang PAD sebesar Rp 2.500.000.

4.4.3 Pemanfaatan Sumber Air


Deskripsi topografi Desa Cibodas menjelaskan bahwa tidak ditemui sumber air ataupun
sumber mata air di Desa Cibodas. Desa Cibodas memiliki 20 reservoir penampungan air yang
mayoritas bersumber dari kawasan Gunung Bukit Tunggul. Berikut ilustrasi peta yang dibuat
oleh Desa Cibodas :

Gambar xx
Peta Reservoir Desa Cibodas

67
Tabel xx
Bak Penampungan Air
Lokasi Bak Kapasitas Bak Sumber Mata Air Distribusi Air per
Reservoir Wilayah RW
(Perkiraan Informan)

Bak reservoir 1 30.000 liter Sangga Dulang RW 09


di RW 09

Bak reservoir 2 30.000 liter Sumber air RW 01, RW 16, dan


di RW 11 Cipanengah RW 02

Bak reservoir 3 30.000 liter Sangga Dulang RW 08 dan RW


di RW 11

Bak reservoir 4 32.000 liter Legok Onah RW 11 atau RW 12


di RW 04 Desa
Suntenjaya

Bak reservoir 5 10.000 liter Sangga Dulang RW 15


di RW 15

Bak reservoir 6 15.000 liter Seke Saladah dan RW 07


di RW 07 Sangga Dulang

Bak reservoir 7 5.000 liter Seke Saladah dan RW 07


di RW 07 Sangga Dulang

Bak reservoir 8 5.000 liter Sangga Dulang, RW 10


di RW 10 perpanjangan dari
Bak 2

Bak reservoir 9 20.000 Sangga Dulang RW 10


di RW 10 (sumber utama)
dan Legok Barong

Bak reservoir 2.000 Sumber air RW 13


10 di RW 13 Cipanengah

Bak reservoir 20.000 liter Seke Saladah RW 17 dan RW 05


11 di RW 17

Bak reservoir 10.000 – 15.000 liter Seke Saladah RW 05


12 di RW 05

Bak reservoir 10.000 liter Seke Saladah RW 06


13 di RW 06

Bak reservoir 10.000 liter Seke Saladah RW 05

68
14 di RW 05

Bak reservoir 20.000 liter Legok Barong dan RW 04


15 di RW 04 Seke Saladah

Bak reservoir 25.000 liter Legok Barong RW 03, RW 14, dan


16 di RW 03 (Utama) dan RW 02
sumber air
Cipabeasan
(Cipanengah)

Bak reservoir 10.000 liter Legok Barong RW 02


17 di RW 02

Bak reservoir 15.000 – 20.000 liter Sumber air RW 16


18 di RW 16 Cipabeasan
(Cipanengah) dan
Legok Barong

Bak reservoir 8.000 liter Legok Barong RW 02


di RW 02

69
Gambar xx
Peta Tematik Desa Mekarwangi

70
4.5 Potret Desa Mekarwangi Dibalik Punggung Bukit
Secara umum Desa Mekarwangi seperti perbatasan administrasi desa dan batas alam.
Desa Mekarwangi berbatasan dengan kawasan Tahura Juanda yang merupakan hutan
lindung. Masyarakat Desa Mekarwangi dibatasi aktivitasnya di hutan, sebagian besar hanya
menanam rumput ternak di wilayah hutan yang dekat dengan perbatasan Cimenyan. Di Desa
Mekarwangi tidak ada LMDH yang mengatur pemanfaatan hutan oleh masyarakat sekitar.
BPAB berasal dari panitia PAB yang bertugas mencari air bersih. Tahun 2004 panitia
ini dibentuk karena di Desa Mekarwangi kesulitan air. Panitia ini melakukan pengukuran dari
sumber mata air di Gunung Kasur (di kawasan 700 ha perkebunan kina) di Cilengkrang
sampai ke reservoir atau penampungan air bersih berjarak 15-20 km. Setelah itu, panitia
membuat proposal untuk pengadaan air bersih yang ternyata memakan biaya sebesar 6 miliar.
Oleh karena biayanya besar, maka panitia tidak melanjutkan pembangunan penyaluran air
bersih.
Kemudian, ada bantuan datang dari LDSC (Latter-Day Saint Charities). Semula LDSC
menawarkan bantuan sosial di Desa Langensari, namun ditolak karena identitas agama
Kristen yang berbeda dari warna masyarakat setempat. Bantuan dari LDSC pun ditanggapi
oleh kepala Desa Mekarwangi. Awalnya LDSC menawarkan bantuan sosial kepada penyintas
bibir sumbing. Tawaran itu tidak diterima oleh kepala desa karena masalah itu bukan
prioritas. Kepala desa menegaskan bahwa yang dibutuhkan adalah penyaluran air bersih.
LDSC baru bisa menjawab permintaan kepala desa setelah 2 minggu dengan memberikan
bantuan material. Pada tahun 2006 dilaksanakan kerja bakti pembangunan saluran air bersih
di Desa Mekarwangi. Tahun 2008 tepatnya tanggal 18 Agustus, pembangunan diresmikan
oleh bupati.
Hingga saat ini, panitia yang dibentuk oleh kepala desa berkembang menjadi BPAB
Desa Mekarwangi yang jumlah karyawannya mencapai 20 orang. Keberadaan BPAB saat ini
merupakan kemitraan dibawah BUMDes, karena BUMDes memiliki payung hukum untuk
menentukan persentase honor karyawan BPAB dan AD/ART. Oleh karena bersifat
kemitraan, maka sistem keuntungan yang berlaku antara BPAB dan BUMDes adalah bagi
hasil. Disamping itu, retribusi air yang dikumpulkan BPAB menjadi PADes yang merupakan
bentuk kontribusi BPAB ke desa. Meskipun demikian tarif biaya yang dikenakan kepada
setiap warga merupakan hasil musyawarah. Biaya yang dikenakan sebesar Rp 2.200 untuk 1-
10 kubik air, sementara untuk kelipatan 10 kubik bertambah seribu rupiah, misalnya diatas 11
kubik menjadi Rp 3.200.

71
Di Mekarwangi, meskipun sudah ada PAB, namun sebagian kecil masih ada warga
yang menjalankan air bersih mandiri di tingkat RW. Hal ini karena di beberapa tempat
terdapat mata air seperti di RW 06, 10, 03, dan 04. Pengurusan air diserahkan kepada ketua
RW. Setidaknya ada tiga jenis pemakaian air di Desa Mekarwangi. Pertama, konsumen yang
seutuhnya menggunakan layanan BPAB. Kedua, konsumen yang mengandalkan mata air
setempat dan tidak menggunakan layanan BPAB. Lalu, ada juga konsumen yang
menggunakan keduanya. Alasannya, penanganan masalah dari mata air setempat lama karena
“main tunggu-tungguan” untuk membenarkan saluran, sehingga untuk sementara waktu
konsumen memaknai air dari BPAB.
Setiap konsumen baru yang mau memasang meteran dikenakan biaya sebesar Rp
2.000.000. Sementara untuk konsumen pendatang seperti penghuni villa baru dikenakan Rp
10.000.000. BPAB mengakui menerapkan subsidi silang untuk pemakaian air karena
kemampuan membayar air harus dibagi-bagi di masyarakat. Konsumen harus membayar
retribusi setiap bulan, namun jika tidak dikenakan denda Rp 5.000, dan itu tidak berlaku
kelipatan. Meskipun diberlakukan denda, namun sifatnya tidak mengikat karena mengikuti
kesanggupan konsumen. Ada konsumen yang nunggak selama dua tahun, sehingga terpaksa
harus dihentikan. Setelah yang bersangkutan melaporkan diri dan membayar, maka aliran air
dijalankan kembali. Masalah penunggakan PAB dan kewajiban denda bagi yang terlambat
dijalankan secara tidak saklek.
BPAB sering menerima keluhan berupa air yang mati dan pipa yang bermasalahan.
Biasanya respon masalah dilakukan selama 3 hari karena ternyata membutuhkan waktu untuk
mencari sumber masalah. Masalah teknis yang muncul bisa dari pipa besar dari sumber mata
air atau saluran di bawah, sehingga biasanya melakukan koordinasi dengan petugas lapangan.
Jika yang rusak ada di hulu, maka yang dikerahkan adalah petugas lapangan yaitu ketua RW
Kp. Batu Loceng, Desa Suntenjaya.

72
BAB V
Analisis Keterjalinan Institusi
5.1 Situasi Masalah Dunia Nyata
Sub-bab ini ditujukan untuk menjawab tiga pertanyaan penelitian turunan yang
dikemukakan di BAB 1. Pertanyaan penelitian turunan menjadi panduan untuk memetakan
situasi empiris mengenai tata kelola air bersih di kawasan DAS pada konteks tiga desa di
DAS Cikapundung Hulu.
Secara tidak langsung tesis ini menandai keberjalanan satu windu Undang-Undang
Desa dengan mengangkat situasi masalah bagaimana desa mengatur kebutuhan air bersih di
tengah persinggungan wilayah DAS dan kewenangan lembaga yang tampaknya hirarkis.
Undang-undang Desa di tingkat makro menjadi instrumen utama bagi institusi negara
memberikan keabsahan bagi pemerintah desa untuk menyelenggarakan pemerintahannya.
Zakaria (2017) menuliskan secara panjang bagaimana alur kronik disahkannya Undang-
undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Menurutnya, Undang-undang Desa yang baru merupakan
hasil perjuangan panjang dari berbagai pihak hingga akhirnya keberagaman karakter
masyarakat dan wilayah pedesaan Indonesia diakui. Gagasan mengenai Undang-Undang
tentang Desa diperkirakan sudah dibuat sejak 1965 melalui naskah akademik “Pokok-pokok
Pembangunan Masyarakat Desa”. Naskah akademik ini dibuat untuk menyusun Undang-
undang tentang Desapraja. Namun, oleh rezim Orde Baru rancangan undang-undang itu
dibekukan.
Perhatian negara terhadap desa tidak lantas berhenti, melainkan narasi desa tetap
menjadi subjek hukum yang dimasukkan dalam dokumen rancangan PELITA (Pembangunan
Lima Tahunan). Dalam hal ini, desa dimaksudkan sebagai lembaga kemasyarakatan yang
menyerap program dan proyek pembangunan nasional. Kebijakan mengenai desa terus
mengalami perbaikan seperti keberadaan dan fungsi desa. Tujuannya untuk mengupayakan
desa termasuk entitas sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Pemerintah Orde Baru
kemudian menyusun definisi desa dalam Undang-Undang Desa Nomor 5 Tahun 1979. Dalam
undang-undang ini desa didefinisikan sebagai wilayah yang ditempati oleh kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki organisasi pemerintahan di bawah Camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Kebijakan ini menandai desa sebagai unit
administratif pemerintahan di level bawah.
Undang-undang yang ini menandai desa subjek hukum sekaligus unit administrasi yang
dapat dikontrol oleh unit pemerintahan di atasnya yaitu pemerintahan kecamatan. Dengan
kata lain, kepala desa merupakan pemangku jabatan di bawah kepala camat. Begitu pula

73
dengan penyelenggaraan rumah tangga yang dimaksud bukan bersifat otonom. Urusan rumah
tangga desa tidak dijabarkan dalam undang-undang ini. Zakaria (2017) mengatakan bahwa
ketiadaan otonom desa dalam undang-undang ini tercemin pada pembentukan desa yang
wajib memperhatikan faktor empiris seperti luas wilayah desa, jumlah penduduk yang
mendiami suatu desa, organisasi formal, dan lainnya. Faktor-faktor itu membuat desa dalam
kondisi rentan dapat dihapus atau dipisahkan. Arah definisi desa dalam konteks kebijakan ini
tidak terlepas dari kecondongan rezim pemerintahan Orde Baru untuk mencapai
pertumbuhan, stabilitas keamanan, dan pemerataan wilayah. Kecenderungan ini melekat pada
karakter rezim yang mengedepankan sentralisasi dan militerisasi.
Perjalanan desa hingga mencapai fase Undang-Undang Desa yang baru melewati
proses lebih dari satu dekade setelah Reformasi tahun 1998. Langkah awal gerakan
pembaruan kebijakan desa lahir dari ketidakpuasan pengaturan negara yang sektoral terhadap
masyarakat adat, terutama menyangkut penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Peluang bagi desa mencuat ketika penetapan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014
berasaskan subsidiaritas dan rekognisi. Artinya, negara menyediakan kewenangan bagi untuk
menyelenggarakan kehidupan berdasarkan asal-usulnya, sehingga menghasilkan identitas
desa berdasarkan penyelenggaraan pemerintahan yaitu desa administratif dan desa adat ini
berperan penting bagi keabsahan desa adat dapat eksis mengatur masyarakat.
Untuk menjelaskan situasi lingkungan institusional mengenai pengembalian otonomi
dan pengakuan terhadap desa dapat merujuk mekanisme transisi ekonomi di China yang
dijelaskan oleh Nee (1994). Nee (1994) menjelaskan bahwa perubahan institusional yang
terjadi di China menandai permulaan reformasi ekonomi dan penurunan komitmen politik
yang dikendalikan oleh rezim sosialis. Menjadi pertanyaan bagi kajian institusional,
khususnya Nee, bagaimana bisa perubahan dapat dihasilkan oleh rezim sosialis. Ternyata
dinamika kelembagaan sangat bergantung mengikuti pergeseran pasar. Kondisi ini terkait
dengan sistem ekonomi dunia yang muncul setelah Perang Dunia II. Lingkungan
kelembagaan menghasilkan reformasi ekonomi komunis karena dibentuk dari negara-negara
pesaing yang diorganisir pasar negara maju dan ekonomi negara sosialis. Dengan kata lain,
elaborasi dengan konteks politik global yaitu perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet menjadi penting untuk mengungkapkan adanya kompetisi ekonomi dan dinamika
politik internasional pasca Perang Dunia II.
Sementara itu kontekstualisasi perubahan institutional berangkat dari masa Reformasi
tahun 1998. Terjadi instabilitas politik dan krisis ekonomi moneter. Nee (1994) mengatakan
bahwa economic performance mempengaruhi ingkungan institusional secara fundamental

74
mengganggu kemanan negara dan melumpuhkan kapasitas untuk menyelenggarakan
pemerintahan. Kesamaan lingkungan institusional Indonesia dengan China ketika sebelum
transisi ekonomi dikuasi oleh rezim otoriter. China dikomandoi oleh sayap komunis
sementara Indonesia dipimpin oleh kepala negara yang kental dengan militeristik. Namun
yang membedakan ialah aktor yang menginisiasi perubahan.
Transisi ekonomi di China berasal dari ‘agen negara’ dan organisasi politik dalam
sistem sosialis yang perlahan mengembangkan sikap oportunistik untuk merespon perluasan
pasar. Implikasinya terbuka sumber-sumber alternatif kekuasaan dan hak istimewa yang
dikendalikan secara distributif. Alih-alih peluang untuk mencapai kemajuan sekaligus
memperoleh keuntungan yang dirancang dalam batas-batas ekonomi redistributif, pasar justru
memperluas jangkauan peluang di luar kendali negara, sehingga mengakibatkan perubahan
dalam struktur insentif dan munculnya kewirausahaan. Kewirausahaan ini menurut Nee
(1994) menjadi pertanda oportunisme ekonomi yang dikembangkan oleh organisasi politik.
Meningkatnya oportunisme dalam kelompok birokrat pada gilirannya menghasilkan
penurunan komitmen terhadap partai dan kemerosotannya sebagai organisasi politik yang
efektif. Meskipun hal ini kemudian menimbulkan kebingungan dan kontradiktif pada diri
aktor rezim sosialis.
Sementara di Indonesia reformasi dipicu dari gerakan sosial di level mikro yang
memiliki sensitifitas terhadap dinamika ekonomi dan politik. Sama halnya dengan inisiasi
pembaruan kebijakan desa yang didorong oleh ketidakpuasan terhadap pengaturan dalam
memosisikan desa dan mengakui keberagaman desa adat. Val & Bedner (2017) menganalisis
bagaimana “komunitas kebijakan” dapat mempelopori gagasan perubahan hingga
menghasilkan instrumen negara. Meskipun kepentingan isu terkait desa beragam, namun
aktor non-negara ini terus bergerak hingga menyusun Undang-Undang Desa 2014 yang
sebenarnya bertentangan dengan kepentingan birokrasi pemerintah. Val & Bedner (2017)
menguraikan proses terjadinya perubahan institusional yang diinisasi oleh aktor non-negara
melalui negosiasi dengan badan eksekutif pemerintah.
Ada tiga hal yang menggarisbawahi proses deliberasi aktor non-negara dan agen negara
yaitu menetapkan cita-cita universal atau hak sebagai tujuan kampanye, melakukan
mobilisasi hukum dalam komunitas kebijakan, dan berpartisipasi dalam proses penyusunan
hukum. Pertama, negosiasi mencakup kejelasan tentang kewenangan dan pelaksanaan
penyusunan serta penggalian atas realitas “norma-norma praktis” dalam birokrasi serta cara
melaksanakannya. Norma-norma tersebut mengacu pada aturan main informal yang
mencerminkan dinamika kekuasaan, di tingkat pemerintahan nasional, kabupaten, dan desa.

75
Kedua, ambisi “komunitas kebijakan” juga termasuk menerjemahkan isi undang-
undang ke situasi lokal sehingga kebijakan ini dapat terlaksana. Bahkan, melalui
pendampingan kepada warga desa tentang bagaimana mereka dapat memanfaatkan peluang
yang diberikan negara ini kepada desa. Bahasan dalam negosiasi memuat aktor-aktor yang
nantinya terlibat dalam implementasi kebijakan. Utamanya terkait tugas besar dilimpahkan
kepada fasilitator desa yang mendampingi pemahaman tentang maksud Undang-Undang dan
penyelenggaraan pemerintah desa. Fasilitator desa direkrut Kementerian Desa terutama dari
orang yang sebelumnya bekerja dalam program PNPM Desa. Artinya, fasilitator telah lebih
dahulu memiliki pengalaman untuk menjelaskan prosedur program dan mengawasi proyek
desa. Kemudian, memberikan inisiatif terkait mekanisme pengaduan atau sanksi dalam kasus-
kasus di mana elit desa yang berkuasa memanfaatkan peluang hukum dengan mengorbankan
kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Saat ini, tampaknya satu-satunya sanksi yang
tersedia melalui pengawasan terhadap laporan keuangan. Ketika pemerintah desa gagal
menghasilkan laporan yang disetujui, maka pencairan Dana Desa berikutnya akan dibatalkan,
Nee (1994) mengatakan bahwa sentralitas peran negara memiliki kekuatan untuk
mendefinisikan fondasi lingkungan institusional dalam suatu lingkup tata kelola. Terutama
dalam merancang struktur kewenangan yang mencakup hak milik, hak guna, dan lainnya.
Pendefinisian ini bertujuan untuk memaksimalkan pertukaran material layanan maupun
properti agar dapat memperoleh pendapatan yang maksimal. Dalam hal ini, instrumen
peraturan menjadi aturan permainan (rules of game) yang berkuasa untuk mendistribusikan
kekuasaan (kewenangan). Dalam hal ini Nee (1994) menekankan peran institusi sangat
krusial dalam membentuk struktur insentif dan menyediakan kerangka kerja dan kepentingan
bagi para aktor. Oleh karena itu, perubahan institusional menghasilkan kepentingan dan
pilihan yang baru.
Kontekstualisasi kebijakan desa terkait tata kelola air bersih di kawasan DAS dalam
penelitian ini diperoleh dari visualisasi SNA yang menggunakan data peraturan. Analisis
peraturan yang dilakukan tidak menggunakan perspektif hukum seperti lex spesialis,
melainkan dengan analisis eigenvector centrality yang bertujuan untuk mengetahui aktor-
aktor penting yang terdapat pada sejumlah peraturan. Peraturan yang dijadikan sumber data
berdasarkan pemilihan topik mengenai “Tata kelola air bersih di kawasan DAS”. Berikut
daftar peraturan ;

76
Tabel xx
Daftar Peraturan terkait Tata Kelola Air Bersih di Kawasan DAS
No Aturan Jenis Aturan Tahun
1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri 2022
Kehutanan No. 10 Tahun 2022 tentang
Penyusunan Rencana Umum Rehabilitasi Hutan
dan Lahan (RURHL) DAS dan Rencana
Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri
Kehutanan No. 14 Tahun 2022 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai dan Rehabilitasi Hutan
3 Peraturan Menteri Kehutanan No. 61 Tahun Peraturan Menteri 2013
2013 tentang Forum Koordinasi Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai
4 Peraturan Menteri Kehutanan No. 67 Tahun Peraturan Menteri 2014
2014 tentang Sistem Informasi Pengelolaan DAS
5 Undang-Undang No. 17 Tahun 2019 tentang Undang-Undang 2019
Sumber Daya Air
6 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 Peraturan Pemerintah 2012
tentang Pengelolaan DAS
7 Peraturan Pemerintah Nomor 121 Tahun 2015 Peraturan Pemerintah 2015
tentang Pengusahaan Sumber Daya Air
8 Peraturan Menteri Kehutanan No. 61 Tahun Peraturan Menteri 2014
2014 tentang Monitoring dan Evaluasi
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Sumber : Olahan peneliti

77
Dari sejumlah peraturan di atas diperoleh hasil visualisasi SNA sebagai berikut ;
Gambar xx
Visualisasi SNA

Sumber : Hasil olah data peneliti

Aktor negara yang dominan terbagi dalam dua kelompok aktor yaitu kelompok
pemerintah yang terdiri dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta kelompok menteri
yang terdiri dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktur Jenderal Badan
Pengelolaan DAS (BPDAS), gubernur, dan bupati/walikota. Sementara aktor non negara
yaitu masyarakat tidak tampak garis keterhubungannya. Node pemerintah pusat dan daerah
berdekatan dengan node DAS yang menandakan adanya keterkaitan sebagai badan
administratur dan unit pelaksana di masing-masing daerah. Diantara dua kelompok jaringan
aktor terdapat node forum yang mengartikan bahwa mandatori menteri terkait pengelolaan
DAS dilaksanakan dalam bentuk Forum DAS. Keanggotaan dan pengelolanya dominan
berasal dari aktor negara.
Sub-bab ini mendeskripsikan komparasi antara temuan makro dengan data empiris di
lapangan. Nee (2012) menggambarkan arena organisasional dalam kerangka skematik

78
berkenaan dengan interaksi institusi ekonomi, yaitu pasar dan organisasi yang
mempertukarkan hubungan impersonal dan mengkreasi aturan formal. Dalam penelitian ini,
arena organisasional difokuskan pada lembaga formal dan informal yang berinteraksi dalam
memenuhi air bersih di masing-masing desa. Analisis institusional memperhatikan entitas
informal karena banyak “aturan main” yang bersifat dinamis dalam menjalankan tata kelola.
Aturan main informal itu diciptakan, dikomunikasikan, dan ditegakkan di luar saluran yang
disetujui secara resmi. Bahkan, sudah ada sebelum adanya aturan main formal.
Visualisasi SNA memperlihatkan sejumlah aktor yang terlibat dalam pengelolaan DAS.
Di sisi lain, gambar SNA ini menunjukkan tidak adanya aglomerasi aktor terkait pemberian
kewenangan institusi oleh negara. Meskipun pengaturan DAS diserahkan pada forum, namun
implementasinya bergantung pada wilayah administrasi masing-masing sesuai dengan DAS
yang melintas. Hal ini karena keberadaan sumber daya air bersifat lintas batas wilayah
(transboundary) karena karakter alamiah air yang mengalir dari tempat tinggi (hulu) ke
tempat rendah seperti muara sungai. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya air
melampaui beragam institusi.
Tabel xx
Rangkuman Situasi Permasalahan di Level Makro, Meso Dan Mikro
Makro Meso Mikro
 Narasi desa dapat  Perjanjian antar desa baru  Pengorganisasian ulu-ulu
ditemui dalam aturan sebatas MoU sehingga di Desa Suntenjaya yang
Undang-Undang Sumber perlu diperbarui setiap berbeda-beda di setiap
Daya Air dan Peraturan tahunnya RW menjadi tantangan
Pemerintah Pengusahaan  Belum ada ruang untuk menyusun sistem
Sumber Daya Air namun koordinasi antar desa yang pengelolaan air bersih
perlu diperkuat melalui mewadahi komunikasi dan yang terintegrasi dalam
aturan turunan pemantauan pengelolaan BUMDes.
 Desa sebagai aktor dalam air bersih  Pembangunan sarana
topik aturan tata kelola  Formalitas akuisisi sumber buleng dan pipanisasi di
air bersih di kawasan mata air di kawasan hutan Desa Suntenjaya belum
DAS setingkat Peraturan hanya dilakukan secara merata di setiap RW dan
Menteri belum banyak timbal balik dengan lahan pertanian.
diakomodir. pengelola kawasan hutan  Banyak warga yang
melalui biaya kompensasi menggunakan sumur bor
 Masing-masing desa di Desa Cibodas dapat
belum mengeluarkan mengurangi penggunaan
Perdes tentang sarana air bersih dari
pengelolaan air bersih. BUMDes.
Baru Desa Cibodas yang  Kepatuhan masyarakat
menerbitkan Perdes Desa Mekarwangi
BUMDes. terhadap retribusi air
 Terjadi konflik distribusi bersih perlu ditingkatkan

79
air antar desa; perebutan karena hasil diskusi
air jalur pipa di hutan informal banyak
antara kebutuhan lahan tunggakan yang belum
pertanian atau desa dibayar.
 Kehadiran BUMDes  Kekurangan air menjadi
masih bersifat tokenistik isu musiman saat musim
dalam restrukturisasi kemarau terutama.
kelembagaan desa.  Terjadi rebutan air antara
 Desa di area hilir masih untuk domestik dengan
melakukan pemantauan kebutuhan pertanian
teknis distribusi air bersih ataupun antar kebutuhan
secara manual. pertanian.
Sumber: Hasil olahan peneliti
5.1.1 Analisis Satu : Analisis Intervensi
Tabel xx
Identifikasi Analisis Satu
Client ( C ) Departemen Sosiologi FISIP UI

Practitioners ( P )  Rahmalia Rifandini (Peneliti)


 Prof. Dr. Sudarsono Hardjosoekarto (Dosen
pembimbing

Owner of the issues ( O ) Pemerintah Desa Suntenjaya


Pemerintah Desa Cibodas
Pemerintah Desa Mekarwangi
Sumber : Hasil olahan peneliti
Metode SSM menyediakan tahapan analisis situasi problematis untuk mengidentifikasi
posisi, peran, dan elemen relasi dari seluruh subjek yang terlibat dalam penelitian. Penentuan
ini bertujuan untuk mendefinisikan orientasi dari penelitian ini dilakukan. Penelitian ini
awalnya berupaya untuk memberikan arah kebijakan di tingkat desa sebagai sumbangsih
pengabdian akademisi untuk memberikan solusi permasalahan (problem solving interest).
Namun, setelah dicermati ulang dengan durasi yang terbatas maka orientasi dari penelitian ini
berubah menjadi bentuk pertanggungjawaban terhadap institusi pendidikan, yaitu
Departemen Sosiologi FISIP UI. Kepentingan penelitian ini pun berubah menjadi dibatasi
untuk keperluan riset (research interest).
Hardjosoekarto (2012) dalam bukunya mendefinisikan client sebagai pihak yang
mengadakan penelitian untuk menggali situasi problematis, ataupun melakukan intervensi
kepada subyek yang diteliti. Namun, diantara tujuan pendefinisian, penelitian ini berlangsung
karena dilatarbelakangi dengan konteks kebijakan internal yang menjadikan setiap

80
mahasiswa di tingkat akhir pascasarjana harus membuat penelitian. Peneliti berupaya patuh
menerima kewajiban akademis untuk menyelesaikan tugas akhir tesis sebagai syarat lulus.
Pada tabel diatas sudah diterangkan jelas masing-masing peranan subyek penelitian
Sementara itu, owner of issues adalah pihak terdampak dari situasi masalah. Ketika di
akhir tahapan merumuskan saran tindak maka para pemilik masalah ini berhak untuk
memperoleh penjelasan yang elaboratif atas permasalahan yang terjadi. Dalam penelitian ini,
terdapat tiga pihak yang berada di situasi masalah yaitu pemerintah Desa Suntenjaya,
pemerintah Desa Cibodas dan pemerintah Desa Mekarwangi. Ketiga institusi formal ini
mewakili kewenangan di tingkat desa untuk mendistribusikan, air bersih. Sementara itu,
peneliti berdasarkan arahan pembimbing untuk memerankan posisi praktisioner.
5.1.2 Analisis Dua : Analisis Sosial
Pada sub-bab ini, analisis dilakukan untuk mendalami proses sosial yang memusatkan
peran, norma, dan nilai yang dimiliki problem owner. Analisis diperoleh melalui pengolahan
data dari hasil wawancara dan diskusi informal bersama informan di desa-desa penelitian.
Tabel xx
Peran Problem Owner di Desa Suntenjaya
Problem Owner Peran
Pemerintah desa “Ada program dari pemerintah bahwa aset itu dikelola oleh
orang yang ada di lingkungannya sendiri.”

“Semua aset di Suntenjaya itu mengenai masalah mata air


harusnya dikelola Suntenjaya dulu. baru cibodas itu mengacunya
ke suntenjaya, jadi supaya ga langsung ke perhutani, atau ke
perkebunan lah.”
BUMDes BUMDes Suntenjaya sudah terbentuk berdasarkan pengesahan
dari kepala desa (SK) dan memiliki unit usaha. Namun belum
berjalan khususnya terkait pengelolaan air bersih.

Tabel xx
Peran Problem Owner di Desa Cibodas
Problem Owner Peran
BUMDes Ada tiga unit usaha BUMDes Karya Mandiri. Pertama
penyewaan 10 kios untuk warga setempat untuk UMKM.

81
Kedua unit BPAB, dan ketiga pengelolaan bank sampah. Di
Kabupaten Bandung Barat belum ada TPS.

PAD Desa Cibodas dari BPAB sekitar Rp 2,5 juta


Sebelum Pilbumdes tahun 2021, BPAB hampir bangkrut karena
berbagai masalah seperti (1) pencurian air di lintasan pipa di
hutan atau kebun, (2) air yang tidak mengalir sehingga
masyarakat sedikit yang menjadi pelanggan BPAB, (3) punya
utang.

Memperbarui izin MoU ke Perhutani setiap tahun.


Unit PAB “Kalau ke desa itu kita berbentuk pendapatan asli desa”

“Kurang tahu sih itu dulunya bagaimana tapi pas kita ini tuh
emang ada kewajiban kita setiap bulan ngasih retribusi juga
sama ke Sangga Dulang, ke Seke Saladah, Legok Barong juga
ada.”

“Baru tahun 2015-2016 lah kalau nggak salah itu dimasukkan ke


BUMDes”.

Tabel xx
Peran Problem Owner di Desa Mekarwangi
Problem Owner Peran
BUMDes Melakukan kompensasi berupa biaya retribusi ke pihak luar
desa.
Unit PAB “PAB sebagai unit usaha BUMDes”

“Kendala distribusi air di jalur utama sering mengalami


kebocoran, dicolong, kena longsor, maka (unit) PAB yang
menanggapi keran air yang bocor dari pipa secara bertahap.

Tabel xx
Norma Problem Owner di Desa Suntenjaya

82
Problem Owner Norma
Pemerintah desa “Titik tengahnya itu untuk smentara ini ke arah partisipasi dari
rw masing-masing. Ke desa sanggupnya berapa, ke perhutani
berapa. Cuma itu. Paling desa untuk sekarang ini yang tadi,
membantu dari apbdes.
Sekretaris Desa -

Tabel xx
Norma Problem Owner di Desa Cibodas
Problem Owner Peran
BUMDes Mengadakan musyawarah bersama pemerintah desa, tokoh
masyarakat untuk membahas kenaikan tarif PAB dari Rp
1.000/kubik menjadi Rp 2.000. Tujuannya untuk
Unit PAB -

5.2 Situasi Masalah Diekspresikan


Setelah situasi empiris didefinisikan secara problematis, maka situasi permasalahan
diekspresikan kedalam rich picture. Fungsinya sebagai alat bantu untuk menggambarkan
informasi dan memahami permasalahan yang ada. Rich picture berikut ini menggambarkan
situasi kelembagaan multi-level tata kelola air bersih.

83
Gambar xx
Rich Picture

84
bbbbb

5.4 Pembuatan Model Konseptual

85
mmmm

Penjelasan tahap 5??

86
5.6 Perumusan Saran Tindak
Tabel xx
Saran Tindak
No Aktivitas Model Aktor Dunia Nyata
Konseptual Deskripsi Aktivitas Output Aktivitas
1 Menyusun konsep 1. Pemerintah Desa Suntenjaya (Kepala 1. Membentuk pokja (satu pokja 1. Data debit pasokan air
pengelolaan asset desa Desa/Sekretaris/Kaur Pembangunan) bersama atau 3 pokja) dari sumber air dan mata
Bersama 2. Pemerintah Desa Cibodas 2. Memetakan aset desa (mata air, air
(Berdasarkan Peraturan (Kepala Desa/Sekretaris/Kaur sarana infrastruktur, lahan, 2. Data kebutuhan air di
Bupati Bandung Barat No Pembangunan) jaringan distribusi) setiap desa
30 Tahun 2016) 3. Pemerintah Desa Mekarwangi 3. Inventarisasi kebutuhan pasokan 3. Peta permasalahan
(Kepala Desa/Sekretaris/Kaur air di masing-masing desa pengelolaan air bersih di
Pembangunan) 4. Mencatat berkala debit suplai air setiap desa
4. BUMDes Desa Suntenjaya di reservoir
5. Ulu-ulu Suntenjaya 5. Inventarisasi debit, kebutuhan
6. BUMDes Desa Cibodas peremajaan sumber air dan mata
7. BUMDes Desa Mekarwangi air
8. Pemerintah KBB 6. Melakukan identifikasi
(BAPPEDA dan DPMD) permasalahan yang ditemui dalam
9. Tokoh masyarakat desa (RW) pengelolaan air bersih
10. Perhutani 7. Membuat skala prioritas
11. NGO pemecahan masalah
2 Membangun ruang 1. Pemerintah Desa Suntenjaya (Kepala 1. Identifikasi permasalahan 1. Kesepakatan bersama
koordinasi pengelolaan air Desa/Sekretaris/Kaur Pembangunan) koordinasi yang ditemui 2. Hasil monitoring dan
bersih di kawasan DAS 2. Pemerintah Desa Cibodas 2. Perumusan dan penyepakatan evaluasi mengenai
Cikapundung Hulu (Kepala Desa/Sekretaris/Kaur solusi atas masalah yang implementasi
Pembangunan) teridentifikasi
3. Pemerintah Desa Mekarwangi 3. Penyepakatan mengenai
(Kepala Desa/Sekretaris/Kaur pembagian peran dan tanggung

87
Pembangunan) jawab para pihak
4. BUMDes Desa Suntenjaya
5. Ulu-ulu Suntenjaya
6. BUMDes Desa Cibodas
7. BUMDes Desa Mekarwangi
8. Pemerintah KBB
(BAPPEDA dan DPMD)
9. Tokoh masyarakat desa (RW)
10. Perhutani
11. NGO
3 Menyusun Peraturan Antar 1. Pemerintah Desa Suntenjaya (Kepala 1. Paparan pokja di pertemuan para Peraturan Antar BUMDes
BUMDes atau Peraturan Desa/Sekretaris/Kaur Pembangunan) pihak : antar desa dan dengan atau Peraturan Antar
Antar Kepala Desa 2. Pemerintah Desa Cibodas pemkab Kepala Desa atau
(Permendagri No 111 (Kepala Desa/Sekretaris/Kaur 2. Menyelenggarakan rangkaian Peraturan Bupati
Tahun 2014) untuk Pembangunan) pertemuan antar desa : Diskusi
menggantikan MoU 3. Pemerintah Desa Mekarwangi pembiayaan antar desa, sistem
pengelolaan air bersih antar (Kepala Desa/Sekretaris/Kaur insentif dan disentif, sistem
desa Pembangunan) kelembagaan
4. BUMDes Desa Suntenjaya 3. Proses penyusunan kebijakan dan
5. Ulu-ulu Suntenjaya peraturan pengelolaan air bersih
6. BUMDes Desa Cibodas antar desa
7. BUMDes Desa Mekarwangi
8. Pemerintah KBB
(BAPPEDA dan DPMD)
9. Tokoh masyarakat desa (RW)
10. Perhutani
11. NGO

4 Membangun sistem 1. Pemerintah Desa Suntenjaya (Kepala 1. Memastikan produksi data 1. Peta informasi
informasi pengelolaan air Desa/Sekretaris/Kaur Pembangunan) 2. Pengolahan data 2. Peta wilayah sumber
bersih antar desa  untuk 2. Pemerintah Desa Cibodas 3. Penyajian dan distribusi informasi mata air
mendorong penyusunan (Kepala Desa/Sekretaris/Kaur 4. Evaluasi efektifitas penyampaian

88
informasi berkala tentang Pembangunan) informasi
pasokan dan kebutuhan air 3. Pemerintah Desa Mekarwangi
yang berbeda antar musim (Kepala Desa/Sekretaris/Kaur
atau kondisi lainnya Pembangunan)
4. BUMDes Desa Suntenjaya
5. Ulu-ulu Suntenjaya
6. BUMDes Desa Cibodas
7. BUMDes Desa Mekarwangi
8. Pemerintah KBB
(BAPPEDA dan DPMD)
9. Tokoh masyarakat desa (RW)
10. Perhutani
11. NGO
5 Membangun sistem 1. Pemerintah Desa Suntenjaya 1. Pemantauan dan evaluasi dari Rumusan permasalahan
pemantauan dan evaluasi (Kepala Desa/Sekretaris/Kaur pemkab dan UPTD untuk bahan
terkait efektifitas kebijakan Pembangunan) 2. Pemantauan dan evaluasi bersama penyempurnaan kebijakan
 muncul trust antar desa 2. Pemerintah Desa Cibodas antar desa dan dari masyarakat
khususnya mengenai jalur (Kepala Desa/Sekretaris/Kaur
distribusi dan public Pembangunan)
3. Pemerintah Desa Mekarwangi
(Kepala Desa/Sekretaris/Kaur
Pembangunan)
4. BUMDes Desa Suntenjaya
5. Ulu-ulu Suntenjaya
6. BUMDes Desa Cibodas
7. BUMDes Desa Mekarwangi
8. Pemerintah KBB
(BAPPEDA dan DPMD)
9. Tokoh masyarakat desa (RW)
10. Perhutani
11. NGO

89
BAB VI
Kesimpulan

Hasil dari tahapan SSM menunjukkan bahwa hubungan kelembagaan multi-level tidak
terlepas dari situasi makro yaitu konteks kebijakan. Undang-Undang Desa yang menandai
keabsahan desa untuk menyelenggarakan pemerintahan, meskipun masih terbatas pada
penyusunan anggaran dan rencana pembangunan. Transfer kewenangan ini memiliki corak
sectoral khususnya pengelolaan air bersih di tingkat desa. Keterhubungan narasi desa dalam
topik regulasi “tata kelola air bersih di kawasan DAS” belum menunjukkan adanya peran
desa. Forum DAS menjadi mandat pemerintah pusat dan daerah belum melibatkan desa.
Rekonfigurasi lembaga-lembaga desa belum dilakukan.
Sementara di level meso yaitu arena organisasional menjadi gambaran nyata
ketergantungan sistem sosial dan sistem wilayah sebagaimana yang ditampakkan melalui peta
wilayah. Peta wilayah memberikan sudut pandang keruangan wilayah dan kewenangan.
Kapasitas desa membentuk ruang koordinasi menjadi penting untuk melampaui keberlanjutan
kelembagaan yang menunjang keberlanjutan tata kelola air termasuk siklus hidrologi di
kawasan hutan. Pentingnya koordinasi ini mencakup pembangunan sistem informasi dan
pemantauan dari subyek-subyek di desa.
Terkait situasi di mikro belum adanya keterjaminan relasi dalam transaksi pemenuhan
air. Hal ini menjadi bagian dari sistem informasi itu sendiri yang menjembatani sistem fisik
dan sistem sosial. Salah satunya menjamin informasi ketersediaan air pada musim kemarau
dan musim hujan. Sistem informasi ini penting untuk membentuk perilaku penggunaan air.

90
Daftar Pustaka
Abell, R., Allan, J. D., & Lehner, B. (2007). Unlocking the potential of protected areas for
freshwaters. Biological Conservation, 134(1), 48–63.
https://doi.org/10.1016/j.biocon.2006.08.017
Afrizal. (2012). Kontestasi Ruang : Tinjauan Sosiologis Terhadap Keadilan Sosiologis.
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, 1(1), 1–9.
Agunggunanto, E. Y., Darwanto, Arianti, F., & Kushartono, E. W. (2016). Pengembangan
Desa Mandiri Melalui Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Jurnal
Dinamika Ekonomi Dan Bisnis, 13(1), 67–81.
Anindita, F. (2015). Masyarakat Adat, Penguasaan Hutan Adat dan Konsesi Pertambangan
(No. 2).
Antlöv, H. (2003). Village government and rural development in Indonesia: The new
democratic framework. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(2), 193–214.
https://doi.org/10.1080/00074910302013
Antlöv, H., Wetterberg, A., & Dharmawan, L. (2016). Village Governance, Community Life,
and the 2014 Village Law in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 52(2),
161–183. https://doi.org/10.1080/00074918.2015.1129047
Arribas, G., & Bourdin, D. (2012). What Does the Lisbon Treaty Change Regarding
Subsidiarity within the EU Institutional Framework? EIPAScope, 2, 13–17.
http://aei.pitt.edu/43477/
Astuti, H. P. (2017). Kajian Implementasi Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (PSDAT)
pada Daerah Aliran Sungai Brantas Hulu. Jurnal Kajian Teknik Sipil, 2(2), 96–106.
Bock, B. B. (2016). Rural Marginalisation and the Role of Social Innovation; A Turn
Towards Nexogenous Development and Rural Reconnection. Sociologia Ruralis, 56(4),
552–573. https://doi.org/10.1111/soru.12119
Box, T. W. (1977). The Arid Lands Revisited, 100 Years after John Wesley Powell. USU
Faculty Honor Lectures, Paper 10. http://digitialcommons.usu/honor_lectures/10
Breman, J. (1982). The Village on Java and the Early-Colonial State. In The Journal of
Peasant Studies (Vol. 9, Issue 4, pp. 189–240).
https://doi.org/10.1080/03066158208438179
Bunch, M. J. (2003). Soft systems methodology and the ecosystem approach: A system study
of the Cooum River and environs in Chennai, India. Environmental Management, 31(2),
182–197. https://doi.org/10.1007/s00267-002-2721-8
Buttel, F. H. (2001). Rural Sociology. In International Encyclopedia of the Social &
Behavioral Sciences (pp. 13429–1343). https://doi.org/10.2307/348062
Conner, B., Jensen, L., & Ransom, E. (2014). Rural America in a Globalizing World.
http://scholarship.richmond.edu/bookshelf
Delgado, L. E., De Ríos, R., Perevochtchikova, M., Marín, I. A., Fuster, R., & Marín, V. H.
(2021). Water governance in rural communities of Chiloé Island, southern Chile: A
multi-level analysis. Journal of Rural Studies, 83(November 2020), 236–245.
https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2020.11.008

91
Dharmawan, A. H. (2007). Dinamika Sosio-Ekologi Pedesaan : Perspektif dan Pertautan
Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan, dan Ekologi Politik. Sodality:
Jurnal Sosiologi Pedesaan, 1(2), 1–40. https://doi.org/10.22500/sodality.v1i2.5932
DW, P. (2020). Sadar Kawasan.
https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/link/
548173090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~reynal/Civil
wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-asia.org/handle/11540/8282%0Ahttps://
www.jstor.org/stable/41857625
Ercan, S. A., & Hendriks, C. M. (2013). The Democratic Challenges and Potential of
Localism: Insights From Deliberative Democracy. Policy Studies, 34(4), 422–440.
https://doi.org/10.1080/01442872.2013.822701
Escobar, A. (1992). Imagining a Post-Development Era? Critical Thought, Development and
Social Movements Author ( s ): Arturo Escobar Source : Social Text , No. 31 / 32 , Third
World and Post-Colonial Issues ( 1992 ), pp. 20-56 Published by : Duke University
Press Stable. Hird World and Post-Colonial Issues, 31/32, 20–56.
Evans, M., Marsh, D., & Stoker, G. (2013). Understanding Localism. Policy Studies, 34(4),
401–407. https://doi.org/10.1080/01442872.2013.822699
Fahrunnisa, Soetarto, E., & Pandjaitan, N. K. (2016). Kontestasi Akses Sumber Agraria Di
Kawasan Hutan Dodo Jaran Pusang, Kabupaten Sumbawa, NTB. Sodality: Jurnal
Sosiologi Pedesaan, 145–151.
Fazriah. (2017). Kelembagaan Baru Ekonomi dan Sosiologi Industri Kreatif Kerajinan Kota
Bogor.
Firdaus, Hardjosoekarto, S., & Lawang, R. M. Z. (2021). The Role of Local Government on
Rural Tourism Development: Case Study of Desa Wisata Pujonkidul, Indonesia.
International Journal of Sustainable Development and Planning, 16(7), 1299–1307.
https://doi.org/10.18280/ijsdp.160710
Gioda, A. (1999). A short history of water. Nature and Resources, 35(1), 42–48.
Gunawan, D. H. (2013). Perubahan Sosial di Pedesaan Bali.
Habron, G. B., Kaplowitz, M. D., & Levine, R. L. (2004). A soft systems approach to
watershed management: A road salt case study. Environmental Management, 33(6),
776–787. https://doi.org/10.1007/s00267-004-3043-9
Hardjosoekarto, S., Yovani, N., & Santiar, L. (2013). Institutional Strengthening for the Role
of Mass Media in Disaster Risk Reduction in Japan and Indonesia: An Application of
SSM-Based Action Research. Systemic Practice and Action Research, 27(3), 227–246.
https://doi.org/10.1007/s11213-013-9282-z
Harmes, R. (2021). Localism and the Design of Political Systems. In Localism and the
Design of Political Systems. https://doi.org/10.4324/9780367810054
Harnanto, R. A., Ummah, A. I., Rekavianti, E., & Ratnasari, A. (2018). Gerakan Masyarakat
Kendeng, Rembang untuk Keadilan dan Penegakan Hak Asasi Manusia. JSW (Jurnal
Sosiologi Walisongo), 2(1), 1–16. https://doi.org/10.21580/jsw.2018.2.1.2270
Hildreth, P. (2011). What is Localism and What Implications Do Different Models Have for
Managing The Local Economy? Local Economy, 26(8), 702–714.

92
https://doi.org/10.1177/0269094211422215
Hoadley, M. C., & Gunnarsson, C. (1996). The Village Concept in the Transformation of
Rural Southeast Asia : Studies from Indonesia, Malaysia, and Thailand (Vol. 15, Issue
2).
Hogan, A., & Lockie, S. (2013). The Coupling of Rural Communities With Their Economic
Base: Agriculture, Localism and The Discourse of Self-Sufficiency. Policy Studies,
34(4), 441–454. https://doi.org/10.1080/01442872.2013.822702
Huttunen, S. (2019). Revisiting Agricultural Modernisation: Interconnected Farming
Practices Driving Rural Development at the Farm Level. Journal of Rural Studies,
71(May), 36–45. https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2019.09.004
Krannich, R. S. (2008). Rural sociology at the crossroads. Rural Sociology, 73(1), 1–21.
https://doi.org/10.1526/003601108783575907
Kusumah, R. I., & Mustofa, M. U. (2020). Kajian Teoritis Water Governance Untuk
Pengelolaan Air di Indonesia. Jurnal JISIPOL Ilmu Pemerintahan Universitas Bale
Bandung, 4(April). https://ejournal.unibba.ac.id/index.php/jisipol/article/view/259
Lang, M., & Mokrani, D. (2013). Beyond Development : Alternative Visions from Latin
America.
Lawang, R. M. Z. (2019). Small Farmers and Conversion: the Role of Social Capital
(Evidence From Manggarai, Flores, East Nusa Tenggara, Indonesia). Journal of Asian
Rural Studies, 3(1), 48. https://doi.org/10.20956/jars.v3i1.1717
Lawang, R. M. Z. (2021). Social Poverty In Two Extreme Cases In Manggarai-East Nusa
Tenggara Province. INSANI, 8(1), 1–12.
Lichter, D. T. (2015). Rural Sociology. In International Encyclopedia of the Social &
Behavioral Sciences: Second Edition (Second Edi, Vol. 20). Elsevier.
https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.32128-6
Luthfi, A. N. (2017). Idealisasi Desa di Tengah Krisis Sosial Ekologis. Wacana: Jurnal
Transformasi Sosial, 36(January 2017), 3–14.
https://insistpress.com/wp-content/uploads/2017/12/Wacana-36-Pengantar-Luthfi.pdf
Madanipour, A., & Davoudi, S. (2015). Localism : Institutions, Territories, and
Representations. In Reconsidering Localism (Issue 2, pp. 11–30).
Mardimin, J. (2014). Egoisme Sektoral dan Kedaerahan sebagai Tantangan Program
Pembangunan Berkelanjutan (Kasus Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Air Senjaya
di Perbatasan Wilayah Kabupaten Semarang dengan Kota Salatiga). Kritis, XXIII(2),
131–148.
Maria, R., & Lestiana, H. (2014). Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Fungsi Konservasi
Air Tanah Di Sub Das Cikapundung. Jurnal RISET Geologi Dan Pertambangan, 24(2),
77. https://doi.org/10.14203/risetgeotam2014.v24.85
Marks, G., Hooghe, L., & Schakel, A. (2008). Patterns of Regional Authority. Regional and
Federal Studies, 18(2–3), 167–181. https://doi.org/10.1080/13597560801979506
Mohan, G., & Stokke, K. (2000). Participatory development and empowerment: The dangers
of localism. Third World Quarterly, 21(2), 247–268.

93
https://doi.org/10.1080/01436590050004346
Muhammaditya, N., Hardjosoekarto, S., Herwantoko, O., Fany, Y. G., & Subangun, M. I.
(2021). Institutional Divergence of Digital Item Bank Management in Bureaucratic
Hybridization: An Application of SSM Based Multi-Method. Systemic Practice and
Action Research, 0123456789. https://doi.org/10.1007/s11213-021-09579-4
Nanga, B. P., & Yovani, N. (2022). Tindakan Kolektif Animal Welfare Organizations
(AWOS) Untuk Mengakhiri Perdagangan Daging Anjing di Pasar Tomohon dari
Perspektif NIES. Jurnal Syntax Transformation, 3(2).
Nee, V. (2003). New institutionalism, Economic and Sociological. Handbook for Economic
Sociology, October, 1–71.
Nee, V., & Opper, S. (2015). Sociology and the New Institutionalism. In International
Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences: Second Edition (Second Edi, Vol.
22). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.32180-8
Norken, I. N., Suputra, I. K., & Arsana, I. G. N. K. (2017). Institutional and Regulatory Roles
in Maintaining Sustainability of Subak as a World Cultural Heritage in Bali. Asian Agri-
History, 21(4), 245–254.
Pambudi, A. S. (2019). Watershed Management in Indonesia: A Regulation, Institution, and
Policy Review. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of
Development Planning, 3(2), 185–202. https://doi.org/10.36574/jpp.v3i2.74
Parkinson, J. (2007). Localism and Deliberative Democracy. The Good Society, 16(1), 23–29.
https://doi.org/10.2307/20711247
Pieterse, J. N. (2000). After Post-Development. Taylor & Francis, 21(2), 175–191.
Pieterse, J. N. (2010). Development Theory. Desconstruction/Reconstruction. In SAGE
Publications.
Ploeg, J. D. Van Der, & Roep, D. (2003). Multifunctionality and Rural Development : The
Actual Situation in Europe. Multifunctional Agriculture; A New Paradigm for European
Agriculture and Rural Development, November, 1–15.
Pratchett, L. (2004). Local autonomy, local democracy and the “new localism.” Political
Studies, 52(2), 358–375. https://doi.org/10.1111/j.1467-9248.2004.00484.x
Primmer, E., Jokinen, P., Blicharska, M., Barton, D. N., Bugter, R., & Potschin, M. (2015).
Governance of Ecosystem Services: A framework for empirical analysis. Ecosystem
Services, 16, 158–166. https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2015.05.002
Rifandini, R. (2018). Transformation of Post-Authoritarian Rural Development in Indonesia:
A Study of Farmer-Breeder Community Development in West Bandung Regency.
MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 23(2), 235–255.
https://doi.org/10.7454/mjs.v23i2.9637
Rodiyah, D. L. (2015). Pengelolaan Air Oleh BUMDes Pada Unit Usaha Pengelola Air
Bersih Desa dalam Rangka Meningkatkan Asli Desa.
Sambodho, J. P. (2019). From Clients to Citizens? Democratization and Everyday
Citizenship in a West Javanese Village (Vol. 15, Issue 2).
Saptana, Dermoredjo, S. K., Wahyuni, S., Ariningsih, E., & Darwis, V. (2004). Integrasi

94
kelembagaan Forum KASS dan program Agropolitan dalam rangka pengembangan
agribisnis sayuran Sumatera. Analisis Kebijakan Pertanian, 2(3), 257–276.
Saptana, Siregar, M., Wahyuni, S., Dermoredjo, S. K., Ariningsih, E., & Darwis, V. (2005).
Pemantapan Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS).
Sarkki, S. (2017). Governance services: Co-producing human well-being with ecosystem
services. Ecosystem Services, 27, 82–91. https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2017.08.003
Scoones, I. (1998). Sustainable rural livelihoods: a framework for analysis. IDS Working
Paper, 72, 22.
http://forum.ctv.gu.se/learnloop/resources/files/3902/scoones_1998_wp721.pdf
Scoones, I. (2009). Livelihoods perspectives and rural development. Journal of Peasant
Studies, 36(1), 171–196. https://doi.org/10.1080/03066150902820503
Shohibuddin, M. (2016). Peluang dan Tantangan Undang-undang Desa dalam Upaya
Demokratisasi Tata Kelola Sumber Daya Alam Desa: Perspektif Agraria Kritis.
MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 21(1), 1–33. https://doi.org/10.7454/mjs.v21i1.5021
Shucksmith, M. (2012). Future Directions in Rural Development? September 2012, 32.
https://www.carnegieuktrust.org.uk/carnegieuktrust/wp-content/uploads/sites/
64/2016/02/pub1455011629.pdf
Simarmata, R., & Zakaria, R. Y. (2017). Perspektif Inklusi Sosial dalam Undang-undang No.
6 Tahun 2014 Tentang Desa: Kebijakan dan Tantangan Implementasi. WACANA:
Jurnal Transformasi Sosial, 37, 9.
Siscawati, M. (2014). Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan. Wacana Jurnal
Transformasi Sosial, 30, 3–24.
Sudarmadji, S., Darmanto, D., Widyastuti, M., & Lestari, S. (2016). Pengelolaan Mata Air
untuk Penyediaan Rumah Tangga Berkelanjutan di Lereng Selatan Gunungapi Merapi.
Jurnal Manusia Dan Lingkungan, 23(1), 102. https://doi.org/10.22146/jml.18779
Sukayadi, Yahman, Wiyono, S., & Sriyono, A. (2014). Konflik Pengelolaan Sumber Daya
Agraria Atas Rencana Pendirian Pabrik Semen.
https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/link/
548173090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~reynal/Civil
wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-asia.org/handle/11540/8282%0Ahttps://
www.jstor.org/stable/41857625
Suriya, S., & Mudgal, B. V. (2013). Soft systems methodology and integrated flood
management: A study of the Adayar watershed, Chennai, India. Water and Environment
Journal, 27(4), 462–473. https://doi.org/10.1111/j.1747-6593.2012.00365.x
Suyatman, U. (2021). Citarum yang Merana dalam Pengabaian Nilai Kabuyutan Orang
Sunda. 18(1), 51–61. https://doi.org/10.15575/al-tsaqafa.v18i1.12721
Tarigan, H., Dharmawan, A. H., & Tjondronegoro, S. M. P. (2014). Pertarungan Akses
Sumberdaya Air Keterancaman Subak Pada Lahan Persawahan di Kabupaten Tabanan,
Bali. Pusat Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian, 501–518.
Taylor, C. (1923). The Field of Rural Sociology. County and Country Life Programs, 1(5),
592–595.

95
Triana, N. (2014). Pendekatan Ekoregion Dalam Sistem Hukum Pengelolaan Sumber Daya
Air Sungai di Era Otonomi Daerah. Pandecta: Research Law Journal, 9(2), 158.
https://doi.org/10.15294/pandecta.v9i2.3435
Tvedt, T., & Jakobsson, E. (2006). Introduction: Water History is World History. A History
of Water Volume 1: Water Control and River Biographies, January 2006, viii–xxii.
UNPDF. (2020). Government - United Nations Partnership for Development Framework
2016 - 2020. https://www.un.or.id/what-we-do/partnership-for-development-unpdf.
Vandergeest, P., & Peluso, N. L. (1995). Territorialization and State Power in Thailand.
Theory and Society, 24(3), 385–426.
Vel, J., Zakaria, Y., & Bedner, A. (2017). Law-Making as a Strategy for Change: Indonesia’s
New Village Law. Asian Journal of Law and Society, 4(2), 447–471.
https://doi.org/10.1017/als.2017.21
White, B. (2017). UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa: Pertarungan Visi dan Wacana dalam
Penelitian dan Kebijakan. Wacana: Jurnal Transformasi Sosial, 36, 15–28.
Wicaksono, Y. P., Surya, I., & Iskandar, E. (2017). Peran Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) Amanah dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa Padang Jaya
Kecamatan Kuaro kabupaten Paser. EJournal Ilmu Pemerintahan, 5(4), 1637–1650.
Wulandari, C. (2007). Penguatan Forum DAS sebagai Sarana Pengelolaan DAS Secara
Terpadu dan Multipihak. Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan
Infrastruktur Data, 171–183.
Zakaria, Y. (2014). Kronik Undang-Undang Desa : Dari UU 5/1979 tentang Pemerintahan
Desa ke UU 6/2014 tentang Desa. 1–176.

96
Lampiran 1
Subsidiaritas Spasial Keterjalinan Institusi
Proses pengambilan keputusan di Sejarah pemanfaatan mata air Keberadaan BPAB
tingkat desa
Sekretaris desa Tokoh masyarakat terkait PAB Ketua/Pengurus BPAB
Ketua RW
1. Bagaimana proses atau mekanisme 1. Apa latar belakang pemanfaatan mata 1. Bagaimana peran BPAB di desa?
pengambilan keputusan di desa? air dilakukan? 2. Bagaimana proses pertanggung
2. Apakah ada forum rapat di tingkat desa, 2. Siapa saja pihak yang terlibat? jawaban BPAB?
dusun, dan RW? 3. Kapan pertama kali proses 3. Bagaimana hubungan BPAB dengan
3. Apa saja aspirasi yang dibahas? pemanfaatan mata air berlangsung? BUMDes?
4. Siapa saja yang terlibat? 4. Bagaimana proses menemukan lokasi 4. Apa saja aturan yang diberlakukan
5. Bagaimana menentukan aspirasi yang mata air yang dimanfaatkan sekarang? BPAB kepada konsumen?
dipilih? 5. Bagaimana proses pembangunan 5. Bagaimana BPAB menerapkan
reservoir dan buleng? aturan kepada konsumen?
6. Apakah BPAB punya data
penggunaan air setiap konsumen?
7. Siapa saja konsumen air bersih di
desa?
8. Untuk apa saja penggunaan air?
9. Apakah PAB di tingkat RW masih
berjalan?
10. Bagaimana mekanisme PAB tingkat
RW berlangsung?
11. Siapa yang mengelolanya?
12. Apa saja aturan yang diberlakukan di
tingkat RW?
13. Bagaimana RW menerapkan aturan
lokal?
Pandangan terhadap UU Desa Lokasi mata air dan buleng Keberadaan BUMDes
Sekretaris desa Teknisi/Ketua BPAB Ketua BUMDes

97
1. Apa pandangannya terhadap UU Desa? 1. Di mana lokasi mata air yang 1. Apa saja unit usaha yang dimiliki
2. Setelah adanya UU Desa, bagaimana dimanfaatkan ? BUMDes?
perubahan proses administrasi desa? 2. Berapa banyak mata air yang 2. Apakah setiap unit usaha memiliki
3. Bagaimana desa merancang program dimanfaatkan? landasan hukum?
kerja? 3. Berapa debit air masing-masing mata 3. Bagaimana BUMDes menetapkan
4. Apakah ada program kerja yang air yang dimanfaatkan? tarif PAB?
membutuhkan landasan hukum? 4. Berapa banyak reservoir dan buleng 4. Apa tujuan BUMDes menetapkan
5. Bagaimana proses merumuskan yang ada di desa? tarif subsidi silang?
landasan hukum? 5. Apa bedanya reservoir dan buleng? 5. Dengan pertambahan penduduk yang
6. Berapa debit air yang dialirkan dari semakin meningkat dan kebutuhan
masing-masing buleng? air yang bertambah, Apakah PAB
7. Apakah ada lahan pribadi yang punya membantu meningkatkan pendapatan
mata air? desa?
8. Bagaimana pemanfaatan air yang 6. Sejauh mana peningkatan PADes?
berasal dari lahan pribadi? 7. Bagaimana pembagian retribusi
PAB?
8. Apakah ada dasar hukumnya?
Pengambilan keputusan terkait PAB Topografi desa Hubungan dengan institusi antar
desa
Sekretaris desa Tim walungan Ketua BUMDes/Ketua BPAB
1. Apakah ada bahasan tentang air bersih? 1. Bagaimana citra Google Earth 1. Siapa saja pihak di luar desa yang
2. Apa saja yang dibahas terkait air bersih? menggambarkan lokasi topografi di ikut membantu pemanfaatan air
3. Siapa yang mewakili bahasan air setiap desa? bersih?
bersih? 2. Apa perbedaan kunci dari kondisi 2. Bagaimana koordinasi yang
4. Bagaimana pihak yang terlibat topografi setiap desa? dilakukan desa di kawasan hulu DAS
mengambil keputusan terkait 3. Apakah ada pengaruh dari kondisi terkait izin pemanfaatan air?
pengelolaan air bersih? topografi dengan keberadaan sumber 3. Bagaimana koordinasi yang
5. Untuk mendukung PAB, apakah Dana mata air? dilakukan desa ketika pipa melintasi
Desa dialokasikan kepada PAB? 4. Apakah ada pengaruh dari kondisi wilayah desa lain?
6. Apakah desa dapat melakukan topografi dengan pemanfaatan mata 4. Apa saja masalah yang dihadapi
intervensi terhadap alih lahan terutama air? terkait pipa yang melintas?
yang punya mata air? 5. Apakah ada pengaruh dari kondisi 5. Bagaimana proses penyelesaian

98
topografi dari satu desa terhadap desa masalah?
yang lain?
6. Apakah terdapat patahan yang menjadi
sumber mata air di masing-masing
desa?
7. Apakah pemanfaatan air di desa bisa
menggunakan sumur?
8. Dari citra Google Earth, apakah dapat
diketahui luasan hutan yang dapat
mempengaruhi keberlanjutan sumber
mata air?
Aspek subsidiaritas Pemetaan mata air dan buleng Penggunaan air di tingkat
konsumen
Kepala desa/Sekretaris desa Tim walungan Konsumen rumah tangga
1. Dalam hal apa kewenangan desa? 1. Apakah desa punya peta wilayah? 1. Biasanya air digunakan untuk
2. Apakah batas desa itu penting? 2. Apakah desa punya peta mata air dan keperluan apa saja?
3. Apakah desa secara berkala buleng? 2. Bagaimana mekanisme retribusi yang
memperbarui batas desa? 3. Apakah desa punya peta jalur distribusi berjalan?
4. Bagaimana memaknai kewenangan air bersih? 3. Apakah ada konsekuensi terkait
desa atas aset desa? 4. Mengapa desa penting memiliki peta retribusi air bersih?
5. Apa saja yang termasuk aset desa? distribusi air bersih? 4. Apakah ada aturan yang
6. Bagaimana pengelolaan aset desa? 5. Bagaimana menempatkan lembaga diberlakukan terkait penggunaan air?
7. Apakah ada melibatkan pihak di yang ada di desa dalam pemanfaatan 5. Apa kendala yang biasa ditemui
luar desa? desa dan distribusi air? terkait penggunaan air?
8. Apakah desa sudah termasuk dalam 6. Peran apa yang diharapkan dari 6. Bagaimana respon yang diberikan
kawasan perdesaan tertentu? penempatan setiap lembaga? dari pengelola ketika ada kendala?
9. Apakah kawasan perdesaan berbasis 7. Bagaimana peran peta yang dimiliki 7. Apakah pernah terjadi rebutan air
DAS itu perlu dilakukan? desa terhadap pengelolaan air bersih antar konsumen?
10. Apakah ada regulasi di tingkat secara berkelanjutan? 8. Apa masukan yang ingin diberikan
kabupaten atau provinsi yang kepada pengelola?
mengatur kewenangan desa
mengenai batas wilayah?

99
11. Apakah ada regulasi di tingkat
kabupaten atau provinsi yang
mengatur kewenangan desa
mengenai aset desa?
12. Apakah ada regulasi di tingkat
kabupaten atau provinsi yang
mengatur kewenangan desa
mengenai kawasan DAS?
13. Apakah ada regulasi di tingkat
kabupaten atau provinsi yang
mengatur kewenangan desa
mengenai pemanfaatan air bersih?
14. Apakah ada regulasi di tingkat
kabupaten atau provinsi yang
mengatur kewenangan desa
mengenai pemanfaatan mata air?

100
Lampiran 3
Informan : Kaur Lingkungan Desa Suntenjaya
Tanggal Wawancara : 21 Desember 2021

Tanya  Jawab
Kalau desa Cibodas yang kawasan mata Cibodas ngambilnya itu mata airnya itu
airnya dari Suntenjaya? pertamanya itu tahun 2007 kalau gak salah.
Iya tahun 2007an. Namun memang
mengambilnya itu dari Kawasan desa
suntenjaya. Mata airnya namanya itu dari
kebun 30. Memang itu termasuknya ke
wilayah perkebunan yang tadi dibilangin, ada
yang wilayah perkebunan, ada juga yang
ngambilnya dari wilayah Perhutani, cuma
kawasannya itu dilingkupi oleh desa
suntenjaya. Emang dulunyaitu ada yang
namanya perjanjian lah, untuk diminta ke
desa lainnya itu kerjasama lah itu seperti
PADnya itu pengennya berapa. Dulunya itu
dari mulai 1 juta naik, naik ya sekarang
2.500.000 kalah sekarang itu dari cibodas,
ada juga dari pagerwangi, ada juga dari
Ciburial. Kalau sekarang tarifnya itu paling
250 per bulan.
Pagerwangi sama Ciburial? Iya. Itu ditetapkan kan dari apa yang di
Perdes kan dari tahun 2010, kalau gak salah
Perdesnya kan itu. Yang mulai pengangkatan
oleh pak kades sekarang, memang dari
dulunya itu sudah ada, kemudian ditetapkan
lagi. Nah sekarang perubahannya belum ada.
Tapi kalau untuk sekarang memang untuk
beban dari masyarakat memang tergantung
informasi dari perhutani. Kalau desa masih
tetap, tapi kalau untuk perhutani itu mulanya
itu per konsumen itu 500. Itu apa itu per  RW
tapi kalau sekarang itu dimintanya itu per rw
udah 100 rb, sekarang udah wacananya itu
per RW
Itu system dari perhutaninya peraturannnn Iya itu dari perhutani
itu?
Jadi sebenarnya kalau desa itu kan Ya ada. Kalau cibodas itu kan urusan rumah
dibebankan ke konsumen. Berarti kalau tangga cibodas. Tapi memang secara
desa cibodas itu mesti bayar lagi ke keseluruhan memang ada jumlahnya yang ke
perhutani? Atau…? perhutani. Soalnya kalo ke perhutani kan
(lewat??). Apalagi kalo cibodas kalau beban
itu mungkin paling ada tiga. Yang pertama itu
perkebunan, kan PAD-nya minta. Dia kan
yang punya sumber mata airnya. Terus kan

101
perhutani kan lewatnya perizinan desa. Izin
lewatnya kesana kawasan perhutani dengan
desa.
Jadi bisa dibilang ini desa ini tuh secara Iya 
administratif masuknya Suntenjaya jadi
(Perhutani) punya wewenang untuk itu?
Abah ada acara lagi? Engga disana baru kan disitu biasa ada yang
di lapangan
Berarti bisa dibilang yang punya Iya 
wewenang tentang  air di Kawasan
suntenjaya ini atau bukit tunggul ini yang
pertama dari desa sendiri yang secara
administratif. kemudian dari perhutani
sama ptpn ini tergantung masing-masing
lokasi mata airnya ya?
Dan ini pun punya sistem aturan sendiri, Beda-beda. Kalau Pak Mumun inginnya
maksudnya penarikan PAD nya sendiri perkebunan pengennya ini sekian itu sekian
beda-beda ya? yaitu tergantung dari musyawarah yang
punya Kawasan itu sendiri
Saya baru tahu. Tapi sejauh ini ada gak Paling kalau kerjasama pengelolaan air sih
forum Bersama ketiga pihak ini untuk tata belum ada. Cuman ngarahnya tuh sebatas 
kelola air? Dari pihak pemerintah sendiri keadaannya. Yang jadi masalahnya gini.
tuh ada ruang koordinasi  ketika apa saja Memang suntenjaya itu boleh dikatakan
sih pak? terlambat lah dulu itu. Seharusnya gini, kalau
ga terlambat, semua aset di suntenjaya itu
mengenai masalah mata air harusnya dikelola
suntenjaya dulu, baru cibodas itu mengacunya
ke suntenjaya, jadi supaya ga langsung ke
perhutani, atau ke perkebunan lah.
Bapaknya lagi telponan………..
Tadi sampai sini pak. Belum ada ruang Dikatakan terlambat itu gini dek dulunya
koordinasi. Saya lupa ingatnya sampai sini maklum namanya mungkin orang tua dulu.
aja pak. Jadi sebenarnya pengelolaan Seharusnya itu kalau sekarang kan mungkin
forum bersama tiga pihak ini seperti apa ada program dari pemerintah bahwa asset itu
pak? Tadi kan bapak bilang suntenjaya dikelola oleh orang yang ada di
termasuk yang lambat untuk menjadikan lingkungannya sendiri. Kalau dulu itu
air sebagai aset desa memang secara politik suntenjaya itu kalah.
Dikatakan kalah, Cibodas kan kekurangan air,
namun sumber airnya dari mata air ini dari
suntenjaya. Nah dulu itu entah kenapa sumber
airnya  tidak dipakai untuk kebutuhan
suntenjaya supaya nantinya kedepannya itu
siapa yang membutuhkan air itu langsung
kebutuhan airnya itu dari suntenjaya.
Umpamanya gini. Mata airnya ini dari
suntenjaya. Nanti ditampung oleh bentuk
PAD eh PABnya dari suntenjaya. PAB dari
sana itu menginduk ke sini. Jadi ga langsung
seperti sekarang kan Pagerwangi,
Mekarwangi atau dari cibodas tu lebih ke

102
pihak-pihak tertentu. Ada yang ke perhutani
ada yang ke perkebunan. Tapi kalau
seandainya yang ada di kawasan suntenjaya
Ini dikelola PAB suntenjaya, kalau mata air
disini yang dibutuhkan oleh desa lain
misalnya. Maka koordinasi itu dengan
pengelola bpab suntenjaya, ga langsung ke
perhutani. Jadi kan perhutani enak. Ke
perkebunan yang datang cuma PAB
suntenjaya kerjasamanya, yang ke perhutani
sama. Yang cibodas atau desa itu langsung ke
suntenjaya. Ga langsung ke instansi terkait.
Secara tidak langsung kalau gini mah kalau
sekarang ada yang ke perkebunan ada yang
ke perhutani. Kan secara tidak langsung
income atau potensi di suntenjaya yaitu air
dibatasi oleh instansi- instansi terkait.
Soalnya kan harus kerjasama sekarang
umpamanya kan cibodas tu kesini cuman izin
lewat saja, mau perhutani sama. Tapi kalau
seumpamanya yang dikelola semua mata air
di suntenjaya dikelola oleh PAD. Memang
dulunya mungkin yg psdm-an yang
dikarenakan yang abah bilang lambat itu, ya
begitu.
Saya masih meraba pak berarti bisa Iya soal nya suntenjaya kan pecahan dari
dibilang ada faktor pembentukan desa cibodas
suntenjaya yang baru. Apa demikian juga
pak?
Saya coba konfirmasi lagi pak apa yang Kalau kedudukan jelas sih jelas sih. Cuman
membuat instansi instansi terkait tuh tidak kejelasannya itu bukan, kejelasannya
melegalisasi peraturan supaya mungkin cuma dari PAD cibodas jelasnya itu
kedudukannya jelas. Menurut bapak kalau mengambil dari perhutani ya perhutani.
kenapa? Kejelasannya cuma itu. Kalau umpamanya
yang mengambilnya itu dari perkebunan
mungkin secara administrasi atau peraturan
jelasnya dengan mereka. Jadi masing-masing.
Kalau desa, suntenjaya cuma kejelasannya
dikasih PAD sekian. Cuma itu aja. Jadi kalau
kejelasan aturan yang detail terutama dari
masalah potensi memang ga ada. Tapi kalau
gini kan semua mata air ini mengikutnya
dikelola oleh BPAB suntenjaya. Mungkin tadi
instansi yang terkait mau tidak mau harus ke
PAB suntenjaya dulu kan karena itu kan
semua mata air asset suntenjaya itu.
Umpamanya gini, yang melibatkan mata air
artian pengelolaan BPAB jadi harus ke BPAB
itu. Mungkin kalau kelompok nanti ke
BUMDES, jadi pengelolaannya ya ke

103
BUMDES. 
Berarti alurnya sekarang itu cibodas Iya cuma paling pernyataan. Ada juga
langsung ke sini ya pak. Perizinannya. pemasukan tapi cuman izin lewat saja.
Sementara ini masuk suntenjaya. Jadi
intinya tuh secara informal?
Kalau saya boleh tahu, izin lewat ini hanya Iya memang nanti izin lewat tapi nanti ada
sekedar permisi, atau izin lewat itu masuknya PADnya ke Desa suntenjaya.
cibodasnya membayar 2 juta 500 ini pak? Kalau yang tadinya apa yang BPAB
suntenjaya itu memang betul-betul memiliki
aturan dan pedoman yang kuat ya mungkin.
Tapi itu izin lewat, nanti dikelolanya oleh
suntenjaya. Dan kemungkinan nantinya itu
yang punya air kan suntenjaya, PAD
suntenjaya itu dikelola oleh suntenjaya. Dan
ga menutup kemungkinan kalau disana juga
pertanian it uke suntenjaya. Jadi yang banyak
konsumen di cibodas. Tapi walaupun cibodas
yang punya banyak konsumen tapi tetap ke
suntenjaya. Jadi kan suntenjaya yang punya
potensinya. Kalau sekarang mah dikelola
potensi itu sama desa lain.
Jadi bisa dibilang desa suntenjaya itu Iya. Cuman sekarang kalau ada masalah mata
sendiri belum punya posisi ya pak air juga koordinasi dengan suntenjaya. Tapi
maksudnya posisi yang kuat untuk ini masih asumsi pribadi. Ini dikarenakan
melakukan relasi dengan cibodas terkait BPAB Suntenjaya itu kurang. Bpab itu badan
pemanfaat mata air ini? pengelola air bersih. Kalau PAD kan
pendapatan asli desa. Kalau BPAB pengelola
air bersih. Kalau pengelola air bersih yang
ada di suntenjaya itu punya potensi beberapa
mata air, ke sana aja. Jadi nantinya itu begini,
bisa nantinya itu bPAD itu ke fungsi desa
dikelola ke BUMDES. Bisa ke arah sana kan.
Jadi yang lain umpamanya minta lah untuk
air bersih untuk perekonomiannya untuk
berkebun yang bersangkutan itu PAB itu
dengan PAD. BPAB suntenjaya dengan PAD
suntenjaya. Pemerintah desa cukup
mengetahui lah. Soalnya yang dibutuhkan
oleh desa kan butuh bikin peraturan abcd ap
bagaimana caranya desa bisa mendapatkan
PAD. Gitu kan intinya pemerintahan.
Walaupun kalau dari BUMDES ininya udah
aja nanti pihak pemerintah desa tinggal gini.
Cuman dari PAD nya dari kegiatan ini mau 
berapa persen atau berapa ribu untuk desanya.
Cuman itu kan 
Istilahnya pelaporannya desa cuman Iya 
mengetahui, sementara relasi komunikasi
diantara pab pab desa nya?
Ada bapak2 nanya

104
Kalau begitu, sekarang kondisinya di Ya sekarang kan bpabnya yang ditugaskan
suntenjaya tu BPABnya sendiri itu, apa cuman menampung iuran dari tiap rw. Sama
yang membuat tidak bisa berkoordinasi? pak kadung itu ditampungnya. Sementara,
entah kenapa yang mirip pertanyaan.
Penampangnya ada. Tapi pengurusnya itu,
anggap ketua sekretarisnya itu gak ada.
Dikarenakan kalo menurut cibodas cuman
numpang lewat. Kalau dari yang di
wilayahnya. Anggap yang di desanya sendiri
kan sudah dikelola oleh rw nya masing.
Jadi yang saya tangkap secara Iya belum ada itu. Ya mungkin ke depannya
keorganisasian, kan saya baru tau banyu bisa ditata lagi ya dek. Ya pengennya
resmi itu bentuk bpab desa. Berarti secara mungkin kepala selanjutnya itu kebijakannya
orang-orangnya belum ada yang untuk berbeda-beda. Tapi feeling abah pribadi gini.
mengelola komunikasinya ini lah? Maunya.  Pemerintah itu coba lah kalau
memperhatikan itu mengambil kebijakan.
Nanti kan diputuskan di musdes. Tapi yang
sekaran gitu pab mana-mana itu langsung ke
pemerintahan. Bukan ke pihak terkait. Coba
tolongin aja. Kalau umpamanya adek-adek
ada yang pkl. Ini masalah kelompok.
Bagaimana tata cara pengelolaan air di
suntenjaya seperti adek. Kan gaperlu repot-
repot desa yang menerangin. Suruh aja yang
bersangkutan. Gini  gini gini. Dari desanya
begini. Jadi antara pemerintah desa dengan
lembaga lembaga terkait itu saling berkaitan.
Kalau sekarang ya mah. Maaf aja yah.
Walaupun abah kerja di desa, tapi sekarang
masih amburadul. Tidak berkaitan. Oh
lembaga ini fungsinya apa. Masih semrawut.
Jadi abah ini sudah punya gambaran ideal Iya saling berkoordinasi. Yang nantinya kan.
seharusnya di tiap-tiap kampung tuh punya Apalagi sekarang. Kalau rencana pemerintah
kelembagaan itu tuh yang saling kan dana desa itu gak selamanya. Tetap
berkoordinasi dengan BPAB? nantinya pembangunan desa itu ke PAD. Pad
asli desanya. Kalau sekarang masih. Sekarang
aja suntenjaya. Suntenjaya kan sudah masuk
ke desa yang negeri lah. Tapi kan cuman
sebutan. Tapi kalau masalah PADnya itu
masih minim. tapi kalau misalnya itu secara
artian birokrasinya itu harus total dek harus
diubah semua. Jangan gini “oh ini
pemerintahan desa” “ini pemerintahan desa”. 
Tapi cobalah yang ada di kelompok juga itu
disambungkan karena memang kalau potensi
desa suntenjaya itu kan alhamdulillah banyak.
Seperti yang sekarang ada wisatanya, ada
kopinya, ada tani sayurannya, ada PAD nya.
Nah itu coba lah masing-masing yang
akhirnya menjurus ke BUMDES. Seperti

105
yang abah bilang. Kalau itu sudah tertata
rapih. Yang dibawah fondasinya itu sudah
bagus, desa cuman cobalah tolong ini
penghasilannya sekian sanggupnya untuk
PAD desanya berapa. Cuman gitu kan.
Soalnya kalau sekarang, terkadang abah suka
bingung. Ini untuk pengambilanya PAD tu
PADa siapa? Ya sementara yang berjalan kan
baru air bersih. Semanetara ang dari
kelompok-kelompok itu baru-baru sekarang
ada pemasukan. Nah itu kerjasama bisa .... 
Jadi bisa dibilang bangunan bpab nya ini Belum-belum 
belum kokoh ya pak?
Kemudian mengurusi yang dibawahnya ini Iya iya
ya pak. Yang istilahnya ulu-ulu dibawah ni
an sebagai perwakilan desa di setiap
kampung.
Kalau menurut bapak mengapa desa itu. Memang itu belum sih. Antara pemerintah
Karena menurut bayangan saya dengan lembaga terkait belum clear yah.
membentuk bpab tuh bisa dibentuk, tunjuk Prinsipnya yang tadi yah, bpab suntenjaya
orang bisa lah. Apakah itu sudah belum ada. Walau dikelola rw nya masing-
dilakukan? Apa itu belum terjadi? masing, tetapi pengurus bpab desa harus ada.
Minimalnya bisa mengoreksi kebutuhan di
warga. Apalagi sekarang kan sistem
pemerintahan itu mau SDGs.  SDGs itu kan
perekonomian. Apalagi dalam bidang
pembangunan, SDGs yang skearang itu ....
pelanggaran. Kan cuman pembanguan desa,
sanitasi, dengan drainase. Kan ke arah sana. It
kan nyambung ke masalah kesehatan.
Maksud bidangnya. Itu kan nyambung lah.
Sekarang, kalau umpamanya dari dana desa
itu kan ada dana bantuan ke rw ada kilometer,
ada organisasinya. Sekarang itu maksudnya
kan aset desa. Aset desa yang harus dipantau.
Sementara sekarang PAD desanya itu yang
mengelola di desa itu gak ada. Pengen saya,
yang di desa itu coba PAD nya
memperhatikan. Apalagi kalau kesana juga
nantinya. Kalau umpmanya gini, dalam
musdes itu ada masukan dari pak rw nya. Pak
rw membutuhkan pipa. Jangan pak rw nya.
Semenara pak rw nya itu pengella
diwilayahnya. Tapi kalau ada bpab desa,
sementara uruslan pak rw tu bisa dierkuat
oleh bpab desa itu. Oh betul membutuhkan
ini. Ada catatan. Minimal itu.itu yang
pertama untuk pembangunannya. Untuk
penghasilan PAD yang diberikan bisa
tercatat. Seperti ini, nantinya kan ada ke

106
BUMDES. Walaupun uang itu di masing
masing rw lah. Tapi kalau ada BPABnya itu,
dia akan mengaku oh di daerah ini  ada uang
transfer bpab ada berapa. Nanti kan bisa
dimunculkan ke administrasi BUMDES.
Umpamanya oh dari pasir angling itu dapat
uangnya itu per bulan kalau 5000 ada 100
berarti kan 500.000. bpab desanya dan itu nya
100 ribu. Berarti kan ada selisihnya. Karena
kalau nanti dinaikan ke BUMDES. Bahkan
menurut abah pribadi, abah pernah tahun
2017 dikarenakan harus ada partisipasi 
kegiatan untuk mendapatkan maskara itu.
Memang, bila ditelusuri gitu per rw berapa.
Ternyata kalau untuk uang kas, darimana
bpab cibodas, birilian suntenjaya dek. Karena
kalau desa cibodas penghasilan 17 juta
sekian, tetap dia harus memikirkan upah
pekerjanya sendiri. Kalau di suntenjaya kalau
di ke rw an nya itu ada yang 1 tahun ada yang
4 juta 5 juta kalau disatukan sekian ratus juta
itu untuk penghasilannya itu murni itu.
Maksudnya murni itu. Umpamanya pasir
angling yah. Pasir angling ini 100, kalau
10000 berarti sebulan 1 juta. Untuk desa
umpamanya 100 rb, berarti ada sisa 900.
Dipotong untuk biaya pengelolaannya 200-
300 ribu. Berarti ada sisa 600rb. Kalau itu
dinaikkan jadi administrasi PAD desa, dengan
dinaikkan ke BUMDES, udah membawa
uang itu bersih. Kebayang gak?
Kebayang sedikit pak. Jadi potensinya itu Iya besar sebetulnya. Kalau cibodas memang
besar? kalau satu desa itu bpab nya itu menghasilkan
anggap 20 sekian juta. Tapi belum dipotong
karyawan itu ini kan. Terkadang 0 lagi. Tapi
kalau sekarang di sini. Yang tadi di bilangin,
pasir angling, dalam umpamanya 1 bulan
menghasilkan 600rb artinya kan udah
dipotong biaya pemeliharaan udah dipotong
PAD untuk ds dan perhutani. Kalau, anggap
laporan lah. Laporannya itu kalau ada bpab
desanya itu, kan bersihnya yang dihitung.
Yang akan muncul angka bersih 600rb per
rw. Artian kalau 1 bulan, kali 17 kali 1 tahun
berapa, tu bersihnya. Ga mikirkan untuk
upah. Gitu kan. 
Artinya sebenarnya ada potensi itu yang Iya 
bisa menjadi arahan bumdes?
Tapi saya masih belum menemukan apa ya Memang yang menjadi hambatan sekarang
pak. Tadi kan bapak memaparkan itu. Yang pertama kalau permasalahan air

107
idealnya. Yang menjadi hambatan selama bersih, semuanya sudah diolah oleh RWnya
ini apa aja menurut bapak? masing-masing. Itu memang boleh dikatakan.
Ya bukan hambatan, tapi untuk potensi desa
untuk mendirikan bpab desa jadi hambatan.
Dikarenakan itu sudah dikelola rw nya
masing-masing. 
Ada mbak2 nanya.
Artinya kita tidak bisa menarik sistem Iya iya
yang sudah berjalan?
Nah, selain itu apa lagi pak kalau boleh Ya mungkin kalau untuk, ya bukan untuk
tahu? sementara. Tapi memang harus ada revisian.
Mungkin dalam pelaksanaannya itu desa
kalau ya nantinya kalau bumdesnya berjalan,
caranya itu ke rw nya itu harus gimana.
Memang kalau sekarang itu kalau tingkat rw,
memang pengelolaannya itu boleh dikatakan
ya ada. Seperti yang kemarin yang di
kampung sukaluyu itu dia membangun
direncanakan sekian anggaran itu 6 juta. Tapi
kalau per tahun uang kas itu ada kan bisa
untuk pembangunan  kan bisa membantu ke
sana. Tapi untuk di ke rw annya tu secara
analisa kalau dia merencanakan untuk tahun
ini akan gini-gini memang sudah diprediksi.
Tapi untuk penghasilan desana memang yang
tadi. Cuman penghasilan desa itu yang 100 rb
itu perhutani dengan desa.
Oh jadi tuh termasuk kendala juga pak? Kadang  engga sih dek. Cuman minim aja
desanya. Beda lah umpamanya kalau BPAB
itu di tingkat desa seperti cibodas mungkin ke
desanya itu akan lebih besar soalnya nantinya
itu dikelola kerjasama dengan desa kan?
Memang rw juga sama desa api sudah
terbentur dengan iuran di ke rw an. Sistemnya
kan variasi. Kalau nantinya seperti di
cibodas,mau tidak mau harus di kilometer
BPABnya itu. Mau tidak mau kan satu bulan
harus bayar 15/20 rb harus bayar. Kalau
suntenjaya enggak kan. Jadi, penghasilan
desa BPABnya itu penghasilannya sudah
dibatasi, ga seperti desa desa lain.  
Nah, kalau boleh tahu pak. Di kampung itu Iya pengennya bapak tu gitu. Jadi, sekarang
kepentingan itu kan pengelolaan air secara walaupun sekarang dibentuk bpab desa si a si
partisipatif di tingkat kampung. Sementara b, tapi ini kalau dibentuk juga percuma.
di desa sendiri punya pandangan perlu Karena potensinya it suda sama orang lain
perapian pengelolaan agar ada satu pintu, kan. Nah itu kan butuh pembenahan. 
satu sumber yang minta izin.
Apa di ruang-ruang musdes musrembang Ya suka sih
desa itu pernah dibicarakan?
Titik tengahnya seperti apa? Titik tengahnya itu untuk smentara ini ke arah

108
partisipasi dari rw masing-masing. Ke desa
sanggupnya berapa, ke perhutani berapa.
Cuma itu. Paling desa untuk sekarang ini
yang tadi, membantu dari apbdes.
Nah kalo misalnya. Bapak kan tadi tidak Ya itu memang terkadang ke desa. Tapi kalau
jelas perapian supaya ada kejelasan yang ada masalah ya tetap ke desa. Yang tadi
mitna izin siapa, yang ini siapa. Ketika hal umpamanya BPABnya itu ada satu di desa,
itu belum terjadi, yang terjadi sekarang di oh desa lia ngin kerjasama dengan bpab
masing-masing rw. Ada gak potensi suntenjaya, artinya kalau ada masalah itu
misalnya pihak individu atau kelompok tidak berbenturan dengan masyarakat. Contoh
yang langsung ke rw nya aja tanpa ke sekarang ...... . Kemarin kan desa cuman
desa? Itu memungkinkan terjadi atau mengetahui yang disananya itu dikarenakan
sudah terjadi? PADnya itu di tingkat rw, jadi kerjasamanya
itu langsung ke desa mah cuman kesanggupan
bayar PAD nya itu sekian. Cuman itu. Izin
lewatnya itu cuman secara musyawarah.
Terkadang bila ada masalah itu yang rame itu
yang di lokasinya itu sendiri. Tapi kalo yang
umpamanya kerjasamanya tu dengan ad, ya
mungkin masyarakat tingkat ke PAD desa aja
caranya itu bagaimana. Ga harus masyarakat
langsung terjun dengan desa lain. Nah itu
yang abah prihatin. Umpamanya ada masalah
air yang izin lewat ke sana. Sementara yang
berurusannya itu bukan pemerintahan desa.
Justru yang terjun rt dan rw nya yang
kesananya itu. Tapi kalau ada kan, mungkin
di garis depannya itu pengelola air bersihnya.
Berarti ruang-ruang partisipasi itu Ya berjalan kalo itu mah. Cuman yang
sebenarnya berjalan antara kepengurusan tadinya memang kalau desa ada bagusnya,
rw dengan desa? cuman harus memikirkan PAD nya berapa.
Di satu sisi kalau ada masalah yang terjunnya
kan  langsung masing-masing. 
Rw gitu? Iya
Jadi kalau misalkan ada yang bangun villa, Kalau yang?
nah itu sistem perizinannya itu ke desa
seperti apa? Apa desa hanya mengetahui?
Atau gimana karena kan itu bukan warga
suntenjaya tapi bikin rumah di suntenjaya?
Kalau yang bangun villa Ooh 
Itu sistem pengambilan airnya langsung ke Engga itu mah langsung. Umpamanya adek
pemerintah setempat dan rw hanya bangun villa di pasir langsung, membutuhkan
mengetahui secara? air bersihnya. Langsung aja ke pihak pasir
angling. Masuk rw 16 ke rw 17, rw 7 masuk
pengurus rw 7. Jadi desa gak apa itu.
Itu menurut bapak perlu perapian gak? Memang itu butuh perhatian dek. Apalagi
Agar menghindar ada pihak luar yang yang dari pihak luar. Itu yang sekarang  jadi
mengambil air yang cukup banyak dan kendala itu, air yang dari pihak luar bukan air
kemudian mengurangi kapasitas air untuk bersihnya, tapi ketika di musim kemarau.
warganya? Soalnya itu kan untuk sarana penyiram

109
Jadi mengurangi air yang dibutuhkan? Iya 
Tapi selama ini apa ada perebutan lah Ya terkadang sih masih ada. Tapi sekarang
dalam tanda kutip? mah, kalau tahun kemarin bahkan terjadi
yang alur pipanya itu ada yang merusak. Tapi
kan sekarang ditata. Oh karena ini untuk air
bersih, aturan untuk ke kebun bagaimana, ke
air bersih bagaimana. Nah sekarang paligng
pihak desa itu cuman membenahi peraturan di
wilayah. Mungkin tiga tahun ke  belakang
lah. Ada peristiwa di satu rw itu, dikarenakan
tidak ada aturan, ketika di musim kemarau itu
yang mengambil air itu semena-mena
terutama untuk penyiraman. Nah terjadi itu
oleh warga dan pengurus bpab itu dirusak
pipanya itu. Nah sekarang dibenahi oh harus
gini gini. Saya alhamdulillah. Desa cuman
bisa memberi solusi atau pandangan caranya
aturannya bagimana. Tapi sekarang
alhamdulillah/
Jadi artinya di tingkat rw itu bentuk- Iya, masing-masing sih. Yang tadi kan. Ada
bentuk aturannya itu berupa perjanjiannya yang kilometer kan. Ada yang  10 nya
bagaimana pengelolaan air? ….aja........ . ada yang per meter kubik.
Variasi itu juga, iurannya. Ada yang 10rb ada
yang 5 rb. Ada yang komunikasi da yang 300
ada yang 500. 
Ini pak, mau tahu kondisi juga sekarang. Kalau pemerintah desa paling itu bagaimana
Ketika ada situasi begini pak, sebenarnya menata apa yang dikelola rw nya masing-
di tingkat desa sendiri pembenahannya itu masing. Umpamanya banyak keributan tu
seperti apa? Dalam artian, kan tadi PAD karena air ada yang di keran ada yang belum,
sudah ada api belum banyak ada jalur pipanya yang jelek. Mungkin
organisasinya. Dan di tingkat rw yang pemerintah desa hanya ke arah sana.
beragam ragam. Sebenarnya kapasitas Terutama menghimbau, walau suntenjaya itu
desa dalam melakukan reformasi birokrasi banyak mata air, tapi cara pengelolaannya
untuk pemerintah desa itu apa yang harus tertata. Nah sekarang rata-rata oleh desa
dilakukan? diinstruksikan pakai kilometer. Terkadang itu
cara dari warga pungutan lah, iuran dari
warga itu, terserah rw nya masing-masing. 
Yang tidak jelas mau per bulan berapa, ada
yang kilometer. Tapi sekarang instruksi dari
desa itu untuk air bersih pakai kilometer.
Soalnya untuk menjaga ke depan. Ke depan
kan walau kita banyak mata air tapi kan
warga nambah terus. Kalau sekarang tidak
pakai kilometer terkadang kebanyakan
nantinya warga itu tentang-tenang saja.
Terutama sekarang banyak asumsi gini dek.
Jadi masyarakat itu tidak bisa membedakan
mana kebutuhan anggaran rumah tangga
mana anggaran bisnis. Seumpamanya kan
suntenjaya terdiri dari petani peternak buruh,

110
sedangkan yang dikelola di ke rw an, tetap
jangan memikirkan itu pertama kali yang
harus ditanggulangi itu masalah rumah
tangga. Nah sekarang di ke rw an tak bisa
membedakan mana anggaran rumah tangga
mana untuk bisnis. Umpama, si ‘a’
lingkungannya ada peternak, di kampung ini
ada peternakan dan pertanian. Terkadang
asumsi di warga itu pemakaiannya itu
seenaknya. Untuk anggaran rumah tangga dan
perekonomian. Kalau perekonomian kan
bisnis. Sedangkan yang dikelola oleh
pemerintahan rw  atau desa itu yang
mengutamakan anggaran rumah tangga.
Bukan oh ini untuk menyiram tanaman, oh ini
untuk mandiin sapi. Bukan, kalo itu ke arah
bisnis kesana mah. Nah sekarang abah kalau
turun ke lapangan suka memberikan
pengarahan itu dulu lah. Supaya bisa
membedakan masyarakat itu mana anggaran
untuk rumah tangga mana untuk anggaran
bisnis. Makanya untuk iuran wajar. Kalau
untuk rumah tangga 5rb atau 10 rb per bulan.
Mungkin di sampingnya ada kandang sapi,
kalau diminta lebih dari rw atau bpab ke rw
an, jangan merasa mereka itu disirikkan kalau
kata orang sini mah. Jangan merasa oh dia
juga pakai. Harus bisa membedakan mana
anggaran rumah tangga mana anggaran
bisnis. Kalau anggaran bisnis bisa gini juga
kan, kalau anggaran rumah tangga 5rb/10rb
kalau bisnis bisa dua kali lipat. Soalnya
dipakai bisnis kan. Kalau rumah tangga
kebijakan bisa begini. Anggap di lingkungan
rw sekian itu ada kk yang kurang mampu.
Kalau tidak mampu gak mungkin lah, yang
kurang mampu. Kalau kurang mampu ada
juga kebijakan bpab ke rw an itu, ah dia tidak
mampu biarin lah dia ga bayar juga atau yang
lain 10rb gapapa da bayar 5 rb juga. Karena
ada kebijakan dia itu warga kurang mampu.
Tap kalau menjurus ke perekonomian ga
mungkin kan. Kalau ada ekonomi ada
penghasilan. Nah sekarang itu kalau abah ke
lapangan harus bisa membedakan mana yang
faktor ekonomi mana yang. Sementara di
masyarakat tidak bisa membedakan mana
yang rumahbtangga mana yang
perekonomian. Soalnya kalau untuk rumah
tangga boleh dikatakan anggaran rumah

111
tangga cuman 60 lter, tapi kalau untuk bisnis,
masa untuk menyiram tanaman 2rb 60ltr?
Kan ada lebih
Jadi seharusnya dipisahkan supaya apa nih Pertama, supaya sdm masyarakat supaya
pak? Pemisahannya untuk pencatatanya ngerti . mengerti kalau ke arah sana mungkin,
jelas, iurannya jelas, atau gimana? nantinya juga di warga itu tidak mempersulit
pengurus BPABnya. Soalnya kalau
asumsinya sama untuk biaya ini dan ini akan
pusing pengurus airnya. Makannya kalau
abah kesana tolong bedakan itu dulu soal
pengertiannya. Soalnya kalau tidak sama-
sama dibahas, kalau asumsinya ke kebun
disamakan dengan anggaran rumah tangga.
Nantinya, yang tidak punya tanaman akan iri.
Kalau dibedakan akan itu, oh ini bedanya ini
ini. Itu pertama. Yang kedua nantinya untuk
penghasilan di rw juga akan bertambah.
Soalnya kalau ke kebun sekian, rumahtangga
sekian, jadi sekarang tidak langsung kas PAD
di rw akan bertambah ga mungkin berkurang.
Soalnya gini dek, anggap bapak ini anggaran
rumah tangga bayar 10rb per bulan, ke bapak
umpamanya kebun ini bisnis. Di kebun mah
ada pemasukan, nanggap lah karena orang
sini bisa minta 10rb atau 20rb dengan catatan
begini begini. Jadi income PAD nya bisa
bertambah. Sementara pola pikir masyarakat
bisa mengerti, mana anggaran rumah tangga
mana anggaran bisnis. Nah terkadang yang
menjadi permasalahan di masyarakat tidak
membedakan mana anggaran rumah tangga
mana anggaran ekonomi. Bisnis kan beda.
Jadi ada perbedaan cara pandang di dalam Kalau itu mungkin ada keberatan. Tapi
pemanfaat air yang mana menurut desa maksimal, kalau dikasih pengertian jadi
dipisah. Tapi saya menemukan begini kpk. mengerti dia itu. Oh saya minta ada rumah
Itu kan dirasa memberatkan harus bayar ada kandang, yang ini umpamannya ama pak
dua kali lah. Misalkan mungkin di lokasi rw nya yang tidak punya kandang sapi jadi
yang tidak terlalu berbeda, satu bak 10rb, yang punya kandang sapi jadi 15rb.
penampungan bisa untuk mandi bisa untuk Maksimal dia itu udah ada pengertiannya itu
sapi. dia ngerti. Gak ke pak rw nya itu gini gini
gini.
Jadi bapak berupaya sama-sama Iya, kebutuhan itu kan yang membedakan.
merasakan fair, ini untuk rumah saja, jadi Masa sekarang, bapak rumah tangga 3 orang
yang kerjanya buruh juga merasakan gitu cuman membutuhkan 120 liter sehari. Kalau
ya pak. Kalau yang punya peternakan atau yang punya sapi kan gak mungkin. Mungkin
pertanian dia harus membayar lagi. Karena berapa liter nambahnya. Makanya wajar ada
mama penambahan. Jadi itu gak tertekan sih. Jadi
maksimal masyarakat itu harus mengerti,
mana untuk rumah tangga mana untuk
perekonomian. Kalau untuk perekonomian

112
kan ujung-ujungnya bisnis. 
Tapi sejauh ini pak upaya bapak untuk Tapi kalau wilayah sana sekarang setiap
mensosialisasikan ke warga itu apakah wilayah memang suka.... kesana. Sekarang
hanya ketika ada masalah kemudian bapak sudah alhamdulillah. Dulunya pasir angling
sampaikan atau bagaimana pak? gak make keran gak make kilometer.
Sekarang udah pakai gitu. Tapi ya
alhamdulillah. Ada juga oh yang iuran sai
berapa, mungkin disana langsung, di rw nya
masing-masing. Secara tidak langsung sudah
ada pengertian. Oh koordinasikan dengan rw
nya, koordinasi dengan masyarakat, tolong
lah bisa membedakan ini dan ini. Sekarang
masyarakat sudah mulai mengerti lah. 
Artinya sudah mulai ada perubahan ya Perubahan ya. Soalnya kan intinya gini kalau
transisi? abah pribadi tolong jangan hanya memikirkan
saat ini, pikirkan ke depan itu. Mata air
mungkin ga akan bertambah, ga menutup
kemungkinan airnya berkurang. Tapi
kebutuhan di warga akan bertambah, ga
mungkin berkurang. Jadi kalau dikasih
pemahaman begitu kan. Oh benar. Kita punya
anak, punya cucu, akan bertambah, tapi kan
mata air itu itu juga.
Jad pemahaman pemahaman PADa Iya 
masyarakat akan air terus ada gitu
Sekarang gini pak, ini kan masuk mata air Iya
cikapundung ya pak?
Selama itu ada ga pak instansi level Sudah ada sering. Terutama ini hulu kan. Di
provinsi atau kabupaten yang bekerjasama bantaran cikapundung juga ada pembersihan
atau berkoordinasi dengan pemerintah oleh karang taruna. Ada juga penghijauan.
desa? Tapi tu harusnya sih rutin juga. Kalau
masalah bantaran cikapundung, kalau tidak
rutin, namanya warga kan dikarenakan tidak
ada tpa untuk penampungan sampah, tetap
saja warga sambil lewat buang sana buang
sana. Kalau diamati paling bersihnya 2 bulan.
Tapi sekarang kalau ada pembersihan ya
mengurangi lah tidak bertumpuk. 
Kalau ini pak terkait embung desa. Saya Ya kalo itu mah itu kan kalau ke batu lonceng
pernah baca, salah satu alokasi dana desa sana di rw 6 sana kebetulan dia juga dengan
untuk membangun embung desa. Embung potensi di wilayahnya bila ada air sisa
desa itu penampungan air pak. Bapak tahu masyarakat akan ditampung sama toren nanti
tidak soal itu? dia akan buka untuk pemandian motor atau
mobil di rw nya masing-masing. Tu yang tadi
abah bilangin, sekarang bpab itu bisa
mengarahkan bagaimana air itu betul-betul
dimanfaatkan oleh warga bila ada kelebihan
bisa dimanfaatkan lagi oleh warga. Sisanya
untuk pertanian. Kalau rw 6 itu mau dibuka
untuk cuci kendaraan lah. 

113
Jadi sisa pemanfaatan tidak ke rumah itu Iya 
ya pak?
Kalau dari saya sebenarnya sudah cukup Iya, kalau begini juga ada mata airnya yang
pak terkait kondisi kelembagaan di desa dari kebun sendiri ada sih. Cuman kalau dari
itu seperti apa tentang pengelolaan air. Ni kebun sendiri mah di kampung cikapundung
cukup informasi bagi saya oh ternyata ada sana. Tapi itu mah tidak, cuman dipakai
tiga phak ini lah. Nanti kalau ada yang untuk keluarga, atau orang sininya, gak ada
kurang saya tanya abah lagi ya.  pernyataaan apa-apa cuman dimanfaatkan
saja. Karena di cikapundung ada tiga titik.
Tapi dulu dia bilang ke punya kebun airnya
mau dimanfaatkan. Oleh  yang punya kebon
itu tidak untuk dikomersilkan.  
Kalau dari PUPR sumber daya air pernah Suka ada, pupr kalau ke  kelompok-kelompok
koordinasi dengan pemerintah desa terkait itu bisa, ini kelompok pertanian, ini untuk
pengelolaan air? jalan, pipa, ya ke sana.
Tapi kalau pupr membahas tentang air ke Itu rata-rata bersamaan.
sini pernah pak?
Itu saja dari saya pak. Abah dase kan Nanti dicari dulu kalau tidak salah ada 13
berarti urusannya tentang lingkungan mata air nanti disharekan namanya.
berarti sering ke lapangan untuk mencari
tau kondisi ini. 
Kemarin wawancara sama pak itu sudah Kalau itu mata airnya ini dulunya itu per
ada beberapa detiknya itu debit airnya sudah ada nanti
disharekan.  
Kemarin sudah dicatat mata air di Iya 
suntenjaya sama abah ... . Iya pak terima
kasih banyak pak sudah berkenan memberi
banyak informasi 
Masih lama disini? Masih insya Allah, besok mau ke batu
lonceng
Ini ketua sekrenya belum datang ya pak Belum nganter sekolah dulu itu yang nomor
pak kiki? 10
Oh itu, iya saya sama pak harno saja. Iya 
Terima kasih banyak ya abah Iya 

114
Lampiran 4
Transkrip Ketua Banyuresmi
07 12 2021

Dusun 1 Ketua Banyuresmi suntenjaya.


Jadi bapak dua cabang
Jadi sebenarnya banyuresmi itu tingkatnya Sebagian dusun. Udah ajalah jangan
dusun atau desa? ngambil dusun. Ketua banyuresmi desa
suntenjaya aja lah. Bapak yang minta
sharing dari pak RW juga bapak yang
masukin  tapi cuman 13 RW, yang 4 mah
enggak. 
Kenapa pak? Ngambilnya, yang ke 1 memang itu dari
sumber Sirah Cibodas tapi hasilnya
dibuatnya biasanya masuk sharing
sekarang enggak. Dikarenakan masuk ke
desa. Udah aja lah, desa kasih air, tapi
sharingnya ga masuk gapapa.
Sharing itu maksudnya apa pak? Sharing itu dari para RW itu dulu waktu
desa masih disana. Dari warga
masyarakat dimusyawarahkan di bagian
kehutanan. Jadi tiap konsumen
dimintakan uang 500 ribu rupiah kalau
tidak salah. Eh 500 rupiah. Tadinya
seribu, nawar jadi 500. Jadinya 750 per
konsumen masuk sharingnya ke
kehutanan, ke desa, operasional lah buat
perawatan.
Kalau boleh tahu 13 RW ini kampung mana Yang ke 1 RW 01, yang ke 2 RW 02,
aja pak? yang ke 3 RW 03 
RW 04 ya pak? RW 04 
RW 05? RW 05, RW 06, RW 07, RW 08 
Sampai 13 ya pak? RW 08 terus RW 11, RW 12, sama RW
15. Berapa RW itu?
Baru 11 pak Baru 11. RW 15, 16, 17. Nah segitu.
Berarti semuanya ini dari curug cibodas? Enggak. Pasir Angling, Asrama… Itu tiga
sumber. Sumbernya, RW 1 2 3 4 5
6….Oh begini dek. Ada, hm gimana yah.
12345. RW 5, 11, 15, 17, 16. 10 RW, 10
RW dari sana. Terus yang tiga RW 8, RW
6, RW 12. Kalau dimasukin mah, RW 14
juga masukin aja. RW 14 belum ada kan?
Belum  Jadi gimana mau begini? RW 12, RW 6,
satu sumber. RW 8 satu sumber. Terus
yang tadi yang dihitung sama bapak yang
10 RW itu 2 sumber gimana? Pengennya
gimana?
Sebenarnya pengen tahu sumber-sumber mata Ya maksudnya bapak begitu. Kan itu ada
airnya kan tadi bapak sebutin curug cibodas. sumber airnya. Ke satu yang bapak pakai

115
Yang cibodas itu RW mana pak? yang bapak bangun dulu. Kesatu sumber
air dari curug cibodas. Yang kedua dari
Ciawiruka. 
Terus pak? Yang ketiga masih di Ciawiruka tapi ada
tambahan Legok Oyon namanya. Tapi
masih Ciawiruka tapi disebutnya Legok
Oyon.
Berarti kayak dia Udah ajalah supaya nggak itu mah dari
Ciawiruka aja lah tapi 2 sumber.
Ciawiruka 2 sumber. Terus, Curug
Cibodas,
Sudah tadi bapak sebutin. Curug Cibodas, Iya udah tiga. Terus ini sumbernya masuk
Ciawiruka, Legok Oyon, udah tadi. asrama bisa…Dari Curug Ciawitali aja
lah. 
Ini sumbernya kedua atau? Bisa yang kedua ketiga bisa itu yang
masuknya .. Ya banyak..[Bertanya ke AD
:  Sumber cai anu ka lebak RW 12 sareng
bengeut.. Ciawi tali?  upami anu ka
Sukaluyu RW 8  , ti mana eta?
Cikudakeling, Cileak? atanapi naon?
(Sumber air yang ke lembah dengan
depan, Ciawi tali? Kalau yang ke
Sukaluyu RW 8, dari mana itu?
Cikudakeling, Cileak, atau mana?)]
Ohh Curug Lalai AD : Curug Lalai sama Cagak Gunting 

Asa hiji weh Curug Lalai wungkul..,


enya? (Kayaknya cuma satu aja, Curug
Lalai, ya?)

Curug Lalai ada dua. Ya masukin aja ke


RW 8 neng. RW 8 dari dua sumber dari
Curug Lalai sama Cagak Gunting. 
Cagak Gunting Iya RW 8 itu satu RW. 

AD : Yang dua sumber itu RW 14. 


RW 14 … RW 14 sama… 
RW 14 sama RW 8? Bukan, sama dengan…

AD : Patrol 

RW 6, RW 12, RW 14. Itu satu sumber


disana.
Satu sumber itu dari mana pak? AD : RW 14 Sirah Cibodas sama
Ciawitali. 

Itu aja dua, Ciawitali sudah disebut tadi.


Ciawitali sama cibodas Jadi dua sumber dari sana 

AD : Nah, kalau RW 12 itu dari Legok

116
Terong sama Curug Lalai. 
Legok terong.... AD : Sama Curug Lalai RW 12. Nah
kalau RW 6 mah dari ciawitali RW 6. 

Henteu lah  mung sakieu sok. - Enggak


lah cuma segini sok..

Apa seluruh semuanya neng se-desa


suntenjaya pengennya?
Pengen tahu saja sih pak. Sebenarnya tadi Ya memang banyak tapi terserah eneng.
nanya kirain ada di mana titik-titiknya ternyata Kalau dua RW tadi harus dimasukin ya
banyak.  dimasukin.
Yang  tadi kan udah tadi itu RW 8, 6, 12, sama Belum apa?
14. Nah sedangkan 1,2,3,4,5,6,7,11,15,16,17
itu belum
Belum tau dari mana Sumbernya? Itu yang disebutin tadi sama
bapak. Yang Ciawiruka sama Legok
Oyon
Ini yang untuk RW 1 sampai RW7? Bukan neng. Ini yah. 1,2,3,4,5,11,14, 15.
RW 15 sama 17 itu 9 RW. Itu dari
Ciawiruka.

AB: Ya Sirah Cibodas, yang tadi neng. 

Dari Ciawiruka, udah ya satu, sama satu


Sirah Cibodas.  Ya gitu neng. Jadi 14 dua
sumber makanya. 14 RW.
Ooh iya iya RW 14 dari ciawitali sama dari Sirah
cibodas..
Ooh iya jadi ada dua Pasir angling cuman 1 saja. Dari Sirah
cibodas. Pasir angling dua RW. RW7 dan
16. 

AD : Semuanya aja dengan Batu Loceng. 

Kalau mau dimasukin, masukin aja. 

Batu Loceng RW 9 dan RW 10. Masukin aja neng,


supaya ga tanggung RW 13. 

AD : RW 13 belum tuh kan?


Belum. Berarti 9, 10 sama 13? AD : Coba RW 9 dulu neng, satu-satu.
Soalnya…ga sama.
Kalau RW 9 dimana pak? AD : Leuwi Orog gitu? Atau Pasaeran
Orog? 

Pasaeran Orog. 

AD : Itu mah hampir sama dengan RW


10.

117
Ini sama pak? Sama RW 10
Kalau yang 13? AD : Kalau 13 mah dari …namanya itu
kalau nama tempatnya itu Kubang. Tapi
ada yang nyebut kebon 12 itu teh. 

AD : Kubang atau kebun 12 saja soalnya


itu ambil dari wilayah perkebunan.
Perkebunan kina pak? Iya iya. Itu udah masuk 17 RW neng 
semuanya di se-Suntenjaya.
Banyak ternyata ya pak. Iya banyak pak alhamdulillah.
Keluar terus ya pak mata airnya? Iya alhamdulillah nyembur
Kalau boleh tahu pak, desa sendiri, Kebetulan ketua PAB desa suntenjaya
kepengurusan ini diserahkan pada RW atau yang megang bapak, ada pak adang
desa? momo ketuanya. 
Berarti sudah ada sistem pab? Berarti retribusi Udah. Makanya tadi bapak udah bilang.
ada? Tapi sebagian. Tadi juga bapak udah
bilang. 14 nggak masuk, 9 nggak masuk,
10 nggak masuk, 13 nggak masuk.
Cuman 13 RW yang masuk 
Cuma 13 ya pak? Iya yang masuk retribusinya desa. 
Itu yang masuk retribusi itu RW 1-8? Gini, khawatir ga sama neng. Yang
masuknya 13 RW
Tadi kan bapak sebutin itu RW 1? Iya 
RW 2? Iya 
RW 3? Iya 
RW 4? Iya 
RW 5? Iya 
RW  6?  Iya 
RW 7? Iya 
RW 8? Iya 
RW 11?  Iya 
RW 12? Iya 
RW 15? Iya 
RW 16? Iya 
RW 17? Iya 
Sama RW 14? Nah kalau 14 nggak masuk. Itu
maksudnya gitu.
Ini sistem PAB retribusi ya pak? Iya 
Kalau retribusi ini berarti warga bayar ke desa Nah masalah air itu ada pengelolanya satu
pak airnya? yang perawatan, 
Oh perawatan? Perawatannya ya kalau disini disebutnya
ulu-ulu. Yang perawatannya itu air
bersih. Tiap RW ada dua orang.
Itu ulu ulu? Ulu ulu di wilayah
Rw ya pak? RW apa RT? Masyarakat biasa
Ulu-ulu ya pak untuk perawatan? Iya ulu-ulu, iya ulu-ulu wilayah. Yang ke
hutan beda lagi neng. Dua orang.
Yang ke hutan itu maksudnya yang pertanian? Bukan, yang mengelola itu ngontrol ada
keruh, ada bening, ada kerusakan. Itu ada

118
petugas dua ke mata air. Ini mah cuman
mengelola survei di wilayah kilometer
yang dijalani ke rumah. 
Oh jadi… ini saya konfirmasi ya pak, untuk Iya pipa-pipa ke rumah
perawatan air bersih ini perawatan pipa-pipa
ke rumah?
Itu permasalahan yang biasa terjadi apa pak Yang permasalahan itu ada gimana yah.
biasanya pipa-pipa ke rumah itu? Ada yang salah-salah masuk, itu
nyangkut di kilometer. Permasalahannya
ke satu. Yang kedua, pipa itu kebawa,
karena musim hujan, kadang-kadang itu
disebutnya apa itu longsor kebawa
longsor, kan patah itu pipanya. Itu
kendalanya cuman itu aja
Ini tanggung jawab ulu-ulu ya pak? Ulu-ulu yang ngerjain
Kalau yang kedua tadi ada yang ke hutan ya Iya yang di hutan ada, di kebun-kebun.
pak? Perawatan dua orang itu ke hutan.
Itu ngapain pak tugasnya? Tugasnya yang seperti itu tadi bapak.
Yang masuk air, kesana. Dikarenakan
musim hujan, ada masuk air kotor ke
tabung. Ke tabung induk yang disana.
Terus di jalan ada longsor, patah pipa,
bagiannya ulu-ulu yang di hutan. Terus
ada kendala, biasalah satu bulan satu kali,
dipecahin itu yang diperiksa. Yang
ngelola itu aja lah di perjalanan.
Ini dua orang juga pak? Dua orang. Yang dua orang tadi di
wilayah di RW-RW di RT-RT. Satu RW
ini ada kendala, dibenerin. Yang Di RT
kedua ketiga. Rata-rata disini 1 RW 3 RT.
Itu dikelola sama dua tadi petugasnya. 
Kalau koordinasi dengan ulu-ulu sendiri Koordinasi bapak ke satu, per tahun,
terkait apa aja pak? biasalah syukuran di hutan di sumber air.
Motong ayam, ya biasalah. Syukuran
gitu. Jadi bapak komunikasi sama pak
ulu-ulu. Pak ulu-ulu komunikasi lagi,
komunikasi dengan pak RT pak RW, di
masyarakat. Cari biaya darimana, dari
sana. Pak RW darimana dari masyarakat.
Ini komunikasi cari biaya ini untuk apa pak? Ya untuk beli ayam, beli peralatan
syukuran aja gitu, makanan, nasi. 
Selain ketika syukuran? Kebutuhan?
Heeh Ya itu kalau ada patah paralon. Ya
musyawarah sama ulu-ulu, beli, diterapin
dikerjain sama ulu-ulu. 
Musyawarah? Iya dilaporin ke bapak. Ada kendala di
perjalanan lah
Itu berarti pembelian pipanya sama desa, Pembeliannya itu masing-masing.
maksudnya sama bapak? Masing-masing RW sama pak ulu-ulu.
Pak RW atau pak RT yang beli,

119
dikerjainnya sama ulu-ulu.
Berarti diserahkan kepada RW ya pak? Iya pak RW saja
Kalau syukuran itu kapan pak? Akhir tahun? Tiap tahun tiap bulan agustus. Itu kan
menjelang kemarau kan. Itu air itu bisa
hehehe. 
Jadi tujuan sukuran ini buat apa pak? Ya keselamatan semuanya aja lah.
Lancar. Dinikmati barokah sama warga
masyarakat. Jadi arwah-arwah itu
dikirimin. Biasalah bapak nyajen. Bakar
menyan, rokok ya gitu lah. Tata cara
budaya kampung lah.  Pakai budaya
lokal. 
Itu dari tahun berapa pak? Pertama bangun air bersih itu, pertama
rancangan sama warga masyarakat tahun
1992. Pelaksanaan bangun air bersih itu
bulan februari tahun 83.
Pembangunan air bersih maksudnya Bukan pipa itu dulu yang bapak bangun 
pembangunan pipa atau gimana pak? tahun 1993 itu hasil swadaya masyarakat,
swadya murni neng. 
83 atau 93 pak? ‘93. 1993. Februari 1993
Kalau yang 92 nya pak? Kalau itu cuman rancangan sama warga.
Rancangan pembangunan air bersih tahun
‘92 bulan 12. Pelaksanaan bulan februari
tahun ‘93.
Berarti kalau di tingkat masyarakatnya lebih Ya paling paling kalau di daerah di
sering syukuran misalnya musyawarah terkait masing-masing RW iya lah. Kalau
ada kendala gitu ya pak? sekarang kan musim kopi dia
keperluannya disana. Banyak lah
disebutnya syukuran di halaman lah gitu,
hejo buruan kalau bahasa Sunda.
Syukuran sambil …(tidak jelas) berdoa
yang masalah pemanfaatan air bersih.
Gitu juga disambut sama bapak-bapak
sama pak ustad, sama sesepuh.
Ketika tahun 1993 dari dibangun sampai Ya baru, namun bapak lupa lagi ada di
sekarang, desa pernah bekerja sama dengan rumah tulisannya. Ada bantuan dari
instansi mana aja pak terkait pengelolaan air? consimas. Penambahan saluran.
Itu terkait bantuan apa pak? Bantuan untuk pipa. Ngasih pipa
Pipa dari mata air? Dari mata air sampai ke tabung induk,
sampai ke wilayah. Sepanjang 2 kilo 400
meter. Sepanjang 2 kilo lebih lah.
Ini di daerah mana pak? maksudnya di wilayah Di dusun bapak di daerah sukama bisa
mana? kampung gandok bisa di kampung binong
bisa, jadinya mah perbatasan. Udah aja
Gandok sama Binong
Kalau misalkan ini pak, kerjasama dari PDAM Oh enggak. Gak keluar. Cuman disini aja.
gitu pak? Pernah gak ke sini pak untuk Di daerah.
kerjasama pemanfaatan air mungkin di daerah
bandung?

120
Atau kalau ini pak selain PDM, mungkin Enggak ada
orang luar Suntenjaya yang untuk kerjasama
air?
Misalkan ada butuh air tapi dia ngambilnya Kalau.. ya susah neng itu luar desa.
dari Cibodas gitu. Ada nggak pak? Jadinya daerah dengan daerah gitu.
Memang ada yang ngambil disana tapi
bapak nggak tau prosedurnya. Tapi bapak
mah utarakan ke eneng. Hasil bapak,
tahun ‘92, ‘93 pelaksanaan sampai
sekarang bapak gak lepas. Jadi bapak
mengikuti, kebetulan dulu bapak jadi
anggota sekarang jadi ketua. Dikarenakan
ketua-ketua yang dulu udah banyak yang
meninggal. Dikarenakan warga
masyarakat ngelihat muka bapak oh ini
masih ada, oh ini masih muda jadi
dipilihkan bapak dilaksanain sama bapak.
Tapi bapak menyampaikan ke eneng,
setahu bapak, dikerjain ama bapak, tahu
dari awal sampai akhir, cuman segitu
yang apa adanya aja. Yang luar mungkin
ada tapi bapak gatau. Kalau pelaksanaan,
pengutaraan, penyampaian yang tadi
dibantu sama Abah Dase ya sama sama
bapak. Jadi itu ngelola langsung masuk
dalam musyawarah ke sini, atau sharing
ke desa atau perhutaninya itu pada tahu
semuanya. Partisipasi dari masyarakat
buat biasa pengelola di wilayah juga udah
itu dikelola oleh RT RW warga
masyarakat. cuman ga besar neng. Cuman
5rb per bulan per konsumen itu buat
perawatan lah. 
Berarti di desa ada ruang partisipasi Kalau disini aja. Kalau di desa mah
masyarakat ya pak untuk pengelolaan air? Kan disini. Kalau di RW di masing-masing
bapak bilang ada musyawarahnya kantor RW.
Artinya kan dari warga untuk warga airnya itu Iya 
Jadi peran desa itu lebih pada mediasi aja ya Iya iya 
pak
Tapi kalau diluar yang tadi, yang bapak nggak RW setempat neng mungkin gitu.  Kan
tahu prosedurnya itu, pihak luarnya itu berarti banyak, yang ada mata air dari sana, dari
menghubungi ulu-ulu RW setempat atau bawah jalan ke Ujungberung. Disana ada
gimana? bak penampung air bersih, besar lah.
Diambil, pokoknya jalan hutan kesana
rawa terus, tembusnya ke Dago Lesor.
Buat ke Desa Ciburial, ke perkotaan
kesana. Satu. Yang kedua tetangga bapak
disini Desa Cibodas, kekurangan, ya dia
ngambilnya juga dari sana, diambil ke
desa cibodas. Cuman ada kekurangan,

121
minta ke bapak, dikasih. 2 liter per detik.
Ya silakan aja ambil di sini. Masih
kekurangan. Kan warga masyarakat desa
suntenjaya pengelola air bersih itu beda
sama desa suntenjaya.  Masih kurang?
Minta lagi dari dibawah
Legok barong ya pak? Iya legok barong disana. Yang ada sawah,
ada kolam. Disana ngambil. Ditarik ke
bawah ke Cibodas lagi, tiga sumber dari
sini airnya desa cibodas. Ya silahkan saja,
daripada dibuang, mending dimanfaatin
buat masyarakat.
Kalau menurut bapak sendiri, kan banyak Yang sudah yang sudah diminta
pengambilan air di luar sepengetahuan bapak, masyarakat? ke depannya ada kendala
kira-kira ke depan akan jadi masalah nggak apa nggaknya? Oh engga sih.
pak bagi ketersediaan air di sini?
Insya Allah selama ini cukup ya pak? Alhamdulillah. Dikarenakan kehutanan
sama bapak, bapak sama pak RT pak
RW, sama masyarakat, sudah disepakati.
Pembangunan itu waktu dulunya tahun
1993 ditalangi sama, bukan bapak sini
atau desa, tapi diketahui diizinin oleh
bapak camat. Waktu zaman bapak Haji
Abubakar, almarhum. Udah jadi
dipanggil disana, diperintahkan disana,
sudah saja disepakati tahun 1993
alhamdulillah. 
Sepengetahuan bapak-bapak sendiri orang- Itu mungkin ada sama bapak di sini.
orang di luar suntenjaya yang memanfaatkan Mungkin ada PDAMnya ada sama
air itu bentuknya perseorangan atau kelompok dengan bapak di sini seperti  Ciburial
pak? kesana kesana bagi-bagi mungkin gitu
neng.
Kalau Ciburial itu dari pemerintahnya atau Kalau ke sini dulunya cuman itu aja yang
perseorangan ya pak? sering ke sini. Biasanyalah ngasih dari
desa cuman satu orang. Cuman bapak
juga gak tahu, di wilayahnya di desanya
di sananya. Nggak tau itu turunnya air
bersih dari suntenjaya dibagi 10 desa, 5
desa misalnya, 1-2 RW nya nggak tahu.
Cuman ciburial ngambil air bersih dari
suntenjaya. Segitu doang. Nggak tahu
kalau itunya mah. 
Tapi kalau selama ini prosedur distribusi air Iya ke RW. Pak RW nanti menyerahkan
diserahkan kepada RW? lagi ke pak RT. Jadi pak RT memintakan
ke warga masyarakat, kampung. Misalnya
dapat berapa, dikasih ke sekretaris,
sekretaris dicatat, uangnya dikasih ke
bendahara RW. Pak RW hanya
mengetahui.
Selain itu siapa lagi yang terlibat dalam Distribusi air itu cuman pak RT, pak RW,

122
distribusi air? sekretaris, bendahara. Ya gitu aja biasa.
Perangkat RW aja neng nggak ada yang
luar
Kalau ulu-ulu termasuk perangkat RW pak? Nggak kalau itu cuman kerjaan luar,
cuman ada operasionalnya
Oh kalo operasionalnya lebih ke ulu-ulu ya? Iya ulu ulu. Satu bulan satu bulan, cuman
sedikit lah buat rokok.
Selama ini ada kendala nggak pak terkait Bapak cuman minta dari tiap RW
distrbusi air? angsurannya ada yang ngasih 90rb, 60rb,
55rb, 50rb, dikumpulin sama bapak
disetorin ke kehutanan segini, desa segini.
Bapak buat bensin ada cuman berapa
puluh ribu lah per bulannya. Ya ada
cuman gitu doang. Minta ke siapa? Ke
bendahara ari nu hiji (yang kesatu). Terus
sampai RW 17 bapak minta ke
bendahara. Nggak tau ada, enggak adanya
kendala di wilayahnya,  nggak tau.
Alhamdulillah, tapi disurvey sama bapak,
setau bapak lancar nggak ada kendala
alhamdulillah. Kalau air, dikarenakan
musim hujan ini banyak ya banyak lah
tapi ada kendala, satu yang tadi udah
disampaikan ada longsor, paralon itu
patah, harus dibwli diganti. Kalau di
wilayah, ada salah masuk, ada kendala di
kilometer. cuma itu aja. Alhamdulillah
nggak ada apa apa.
Berarti yang bapak tadi sebut ada 90rb, 50rb, Iya per RW tapi cuman yang 13. Yang
itu per RW ya pak? 9,10,14,13 nggak masuk, nggak diminta
Itu atas dasar kemauan RW nya sendiri apa Ya sumbernya lain. Mereka kan
bagaimana pak? ngambilnya di wilayah perkebunan
Yang tadi kebun 12 ya pak? Iya yang kebun 12 dan kebun Pasaeran
orog. Itu dua yang suntenjaya.
Berarti 9, 10, 13, 14 ya pak? Iya, tapi 14 itu sebagian, yang sebagian
masuk dari suntenjaya itu antara (tidak
jelas)... bapak ke sana.
Kan tadi 14 ada dua ya pak ciawitali dan Iya ciawitali ke RW 14. Satu, ada yang
cibodas? dari sirah  cibodas, masuk ke 14
Memang ciawitali dan cibodas bukan punya Ya begini, yang dari sirah cibodas ini
suntenjaya? pasiran itu turun ke sana. Yang ciawitali
pasiran itu jadi turun ke sana. Jadi ke sini,
ke sini gitu.
Tapi mereka gak mau ikut dalam sistem PAB Masuk, cuman nggak diambil nggak
ini pak? diminta sharingnya
Kenapa nggak diambil? Ya bapak ada masalah. Ini dikasih satu
konsumen disini desa, itu kan diminta
ama bapak 60rb per bulan. Kalau bapak
bayar ke sana merem. Jadi nggak usah
dikasih, gausah diminta. Ya udah

123
masukin satu konsumen ke sini, tapi
nggak usah diminta uangnya. Jadi sama
lah. Biarin masukn satu konsumen ini tapi
gausah diminta iurannya. Desa juga
nggak usah diminta sharignya.
Dikarenakan saya disini pakai,
masyarakat rapat disini, para tamu
undangan dari mana aja pakai itu air. Jadi
sama-sama.
Tapi saya masih belum ngerti Gimana atuh neng?
Kan bapak bilang desa jangan minta ke Menerima. Bapak yang mintanya. 
konsumen, artinya kan ke 14 nggak minta.
Sementara yang 13 RW lainnya itu desa
menerima itu. Itu kenapa ada perbedaan? 
Apakah RW 14nya ga mau diminta apa Bapak sendiri, jadi jangan ngasih sharing
gimana? dikarenakan bapak makai
Bermasalah?  Bapak yang merasa makai gitu air dari 14
gitu. Jadi terima kasih lah ke pak RW.
Karena desa itu pakai air bersih bapak di
sini kan karyawan 15 orang di sini, pakai
air bersih di sini. Apa lagi ada rapat, ibu-
ibu pakai disini. Jadi bapak haturkan
terima kasih ke pak RW, pak RW juga
sama. Jadi jangan diminta tiap bulannya,
dikarenakan sharingnya tidak diminta
ama pak momo.
Sementara yang RW 9, 10, sama 13 itu dari Yang lainnya dari perhutani, yang
hutan kan pak, masuknya ke perhutani? banyak. Cuman 9 10, 13 dari perkebunan
Artinya punya perkebunan kina? Iya punya perkebunan kina
Makanya tidak masuk ke desa? Iya. Ke hutan nggak, ke perkebunan kina
yang itu
Berarti istilahnya RW sumber mata air di Iya 
suntenjaya itu terbagi jadi dua di wilayah ya
pak ada yang dari perkebunan ada yang dari
hutan?
Berarti selama ini ada kordinasi nggak pak Kalau dulu waktu bangun ada. Dari sana
dengna orang perhutani mungkin, dengan sampai sekarang gak ada lagi. Sudah
orang kina dalam koordinasi pencarian mata berjalan, nggak ada kendala.
air atau bagaimana?
Kalau misalkan dari perkebunan kina juga Nggak tahu mah bapak, luar. Nggak tahu
minta retribusi? minta nggak tahu dikasih, nggak tahu.
Berarti banyuresmi ini di bawah kepala desa? Ya perangkat yang udah mah gitu aja
Atau dia masuk mana pak? Perangkat desa yang sekarang baru dibangun belum
atau organisasi desa kayak bumdes atau masuk gitu kan. Kalau dulu masih
bagaimana? perencanaan bapak dulu tahun 1993 itu
masih dikelola. Tapi sekarang seharusnya
dimasukin bumdes. Tapi sekarang belum
masuk lah. Baru dibangun, baru
rancangan. Yang ke satu kalau abcdnya
dari masyarakat ke pak RT, pak RT ke

124
sekertaris, ke bendahara, bapak minta ke
bendahara, dipegang sama bapak, dikasih
ke perhutanan, dikasih ke desa. Udah itu
aja, ga kemana-mana lagi.
Nama banyuresmi diketahui nggak sih sama Udah dikenal sampai pusat juga.
masyarakat atau hanya tahu ulu-ulu saja? Banyuresmi desa suntenjaya, air bersih
banyu resmi desa suntenjaya
Itu nama pab nya? Iya nama pab desanya
Kan tadi ada bantuan pamsimas, swadaya Itu masing-masing RW biasanya gitu.
masyarakat. artinya anggaran itu diluar desa Dulu mah dari pamsimas, cuman
gitu ya pak. Sementara sekarang sudah ada membangun satu kali doang. Nggak terus
dana desa. Kira-kira ada ga pak dari dana desa kalau udah dibangun dikasih ini ni, ya
itu untuk alokasi air? enggak. Cuman satu kali, dikasih pipa,
yang tadi bapak utarakan bapak
sampaikan. Kemudian membangun bak
penampungnya. Terus ke wilayahnya gitu
aja udah jadi ke pamsimas. 
Bak penampungan tuh luasnya berapa? Uhh maaf lah gini. Yang pamsimas itu ke
dua . Yang ke satu ngebangun air bersih
suntenjaya itu swadaya murni. Yang
kedua waktu bapak tahun 2011an atau
2010, ada bantuan dari LDSC, dari orang
Amerika. Dulu neng ngasih. Sama kayak
pamsimas, 2 km lebih. 
Berarti dari luar ya pak? Iya dari luar. Satu dibantunya. Kan itu
tiga sumber. Yang  pertama swadaya
murni. Yang kedua LDSC. Yang ketiga
pamsimas.  Tiga sumber bapak dibantu
dari sini tapi cuman satu dusun. Takutnya
gini, neng dari sini pulang kebetulan ada
asisten LDSC “dulu ngebantu di
suntenjaya buat air bersih” takut begitu
neng  bapak disalahin entar 
Berarti sampai sekarang masih ada LDSC? Oh engga. Itu dulu. Pamsimas cuman
dulu sekarang enggak. Kalau ada
perawatan itu cuma dari masyarakat. 
Kalau proses distrbusi air di suntenjaya Dulu kalau musyawarah dengan
gimana pak? Apakah misalkan melalui masyarakat, makai 15 kubik sekian.
pencatatan kilometer tadi atau ada yang lain? Kalau lebih dari 15 kubik ada denda.
Dkarenakan disini, masyarakat banyak
yang ngomong bahwa kan dulunya yang
bikin banyuresmi kan swadaya
masyarakat. kalau ke luar daerah ya
nggak papa. Jadi semuanya neng paling
tinggi per konsumen 6 rb rupiah per
bulan. Rata-ratanya 5rb rupiah per
bulan.  
Itu per 20 kubik? Iya segitu aja. Tapi sekarang mah neng
nggak ada waktu. Dikarenakan kilometer
banyak yang rusak. Udah aja kilometer

125
pasangin. Kalau yang masih perlu
pasangin, kalau yang udah tutup aja.
Yang gitu-gitu terus cuman 5rb rupiah per
bulan.
5 rb rupiah itu berat atau ringan ga sih pak? Ya ringan neng kalau masyarakat
terjangkau neng buat masyarakat
mengengah ke bawah
Ada keluhan ga sih pak kok mahal banget Alhamdulillah nggak ada. Kalau ada
airnya? keluhan, tapi bukan masyarakat kecil,
menengah bawah, mengengah atas. Kalau
ada longsor paralon patah itu semuanya 
kendala. Tapi sebagian dari sana mah
kalau semuanya mulus dari awal sampai
ke wilayah, nggak ada. Paling ya kita
cuman ya ini kan air dari atas, turun ke
bawah, yang di bawah pakai mungkin
yang diatas nggak nyala, kalau yang
ditutup yang di bawah, mungkin yang di
atas pakai ngalir nyala. Ya gitu aja bisa
gantian neng. Nggak apa-apa, nggak
komplain.
Berarti untuk anggaran dana desa belum ada Ya pengelolaan ya cuman gitu doang
ya pak? Menurut saya sih ada keterangan itu neng. Yang diolah sama bapak, bapak
dikelola oleh pemerintah desa. Tapi saya megang yang disampaikan cuman 13
nggak tahu di suntenjaya apa sudah atau belum RW. Itu dibawa ke bapak yang dia disana
pengelolaan air di tingkat desa syukuran, di sana bapak dipanggil. Ada
yang mau rapat, di jalurnya air bersih.
Bapak panggil. Cuma gitu aja.
Kalau urun rembug warga terkait air itu kapan Apanya?
saja pak?
Urun rembug itu kayak musyawarah kumpul- Oh nggak ada waktunya. Misalnya satu
kumpul warga itu kapan dan terkait apa aja? bulan sekali, dua bulan sekali itu nggak.
Bila perlunya ya, kebanyakannya pak RW
mengumpulkan warga masyarakat.
contohnya gini neng mau acara 17
agustus, bapak RW itu kesatu mesti
disampaikan itu lebih dahulu. Sekarang
mau menginjak 17 agustus, tapi sekarang
kita akan menyampaikan hasil keuangan
dari air bersih. Begitu kata pak RW. Yang
masuk, bulan 1, 2, 3 sampai agustus 8
bulan dapat sekian, dikeluarin sekian,
saldonya kalau ada kelebihan sekian,
kekurangannya sekian. Ya udah sampai
kesana.nanti masyarakat setuju? Setuju,
ngerti? Ngerti? Baru buka lembaran yang
ke dua anggarain buat biaya 17 agustus.
Gitu aja ama pak RT pak RW
Berarti sebagian besar diperuntukan untuk 17 Ya mungkin kesana kalau biasa sebelum
agutsus ya pak? ada corona. Tapi sekraang mah nggak

126
neng. Paling rajaban, muludan,
memperingati isra miraj, kelahiran... Itu
aja.
Kalau desa itu punya data terkait beraapa Ya mungkin ada di abah dase. Tapi kalau
jumlah mata air, berapa kuantitas debit mata begitu juga bapak bisa diomoingin ama
air? tadi. Gitu aja
Berarti boleh dibilang belum ya pak tapi sudah Nah itu yang nyala tapi nggak dipakai
ada gambaran awal. Tadi kan bapak masih banyak neng. Banyak cuman nggak
menyebutkan beberapa sumber mata air bisa dikontrol nggak bisa disurvei.
wilayah RW kan. Karena di hutan dari (suara tidak jelas)
banyak kesana-kesana buat (tidak jelas)
terus ke kebun. Ke bandung kan juga
ngalir. Walungan cikapundung kan dari
sini baru ke kota juga ngalir. Jadi nggak
dipakai ama warga disini
Itu bukannya tercemar dengan kotoran sapi Kalau sekarang mah bapak udah nggak
ya? Karena setiap pagi dan sore mereka bisa ngomong neng. Kebanyakan malu
membuang sampahnya ke aliran kecil sekarang mah aduh. Malu sama orang
bandung. Ya tu nggak bisa dilarang.
Dikarenakan itu mayoritasnya ekonomi
warga masyarakat dari merah sapi.
Mungkin kesana. Nggak bisa dilarang. Itu
bapak juga ikut malu neng. 
Kalau di desa sendiri ada nggak sih semcam Oh masih, nggak lepas neng. Bapak juga
program yang ditujukan untuk pengelolaan air nggak lepas. Karena kan diperlukan sama
bersih? Misalnya di kampung Gandok itu kan warga. Pak kades juga diundang. (tidak
lebih stabil kepengurusannya. Apa desa itu jelas) di wilayah … (tidak jelas). Apalagi
masih tetep memperhatikan proses pembagian kalau ada keperluan kita ada kekurangan
air disitu? kita musyawarah dengan pak kades.
Berarti ga lepas ya pak? Iya ga lepas. Diikat terus. Karena kan
bapak kerja di desa ini walau jadi (suara
tidak jelas).. tapi bapak dibentuk jadi
ketua PAB. Itu kan sama ditanyain. Pak
dimana wilayah ieu pemakaian air bersih
warga, ada kendala nggak. Sering
nanyain pak kades juga. Oh ada dimana
ini yang longsor? Benerin. Musyawarah
sama warga sama tokoh sama ulu-ulu.
Telpon ke pak RT pak RW ya
alhamdulillah.
Berarti disini mandat pelaksanaannya itu di Iya
kepala desa ya pak?
Yang memerintahkan, tadi kan bapak Tapi itu mah pak kades sekarang.
mendengar kalau ada yang mau mengambil air Walaupun udah tiga periode dia itu udah
di satu sempat itu kan ngomongnya ke bapak 12 tahun. Tapi waktu yang ngambil air
dulu. Berarti ngambil air di suatu tempat itu bersih tu bukan pak kades yang sekarang.
mata air yang lama atau nyari baru pak? Tapi kades yang dulu, udah meninggal.
Jadi cuman nerusin aja pak kades yang
baru ini yang  12 tahun di sini. Itu aja.
Jadi 2008 pak kades terbentuk di desa. Itu

127
kan bangun air bersih dari 1993.
Udah lama banget pak Iya 
Menurut bapak kondisi sistem PAB Kalau diprediksi sama bapak, nggak ada
suntenjaya  itu ada kekurangan ga pak? kekurangan. Kalau dipake ke rumah mah
nggak habis neng. Cuman disini ada yang
makai dalam perjalanan buat ke kebun.
Buat nyiram sayur. Ya mungkin kalau itu
ke.. banyak ke kekurangan cuman dipakai
ke kebun untk nyiram sayur tapi
warganya disini sini aja bukan orang luar.
itu aja yang makainya contoh bapak di
sini bapak punya sayur di kebun.
Kemarau. Kan itu bisa dicabut bisa
dipakai nyiram dulu. Kan itu ke rumah
bapak kering gak nyala, disambungin
lagi, nyala lagi. Tapi teratur. Ga
sepanjangnya begitu. Paling siang, sore,
malam. Kalau pagi gak berani, apalagi
sore.
Itu masuknya kendala atau bukan pak yang Enggak. Kalau ada kendala mungkin
tadi? banyak bertengkar sekeluarga dengan
orang kebun itu ada paling bapak
dipanggil.
Kalau konflik air sendiri ada nggak pak? Setahu bapak enggak ada neng. Tapi
Konflik pemanfaatan air. Kalau di pinggir seumpamanya gini. Misal ini lahan
jalan biasanya kalau di pinggiran jalan antara eneng. Lewat paralon disini. Kan neng
perusahan ama warganya ada yang rebutan make air dari sini, dari sirah cibodas,
lewat kesini. Ga mungkin melarang
eneng. Dikarenakan eneng pakai juga air.
Ya silahkan saja pakai. Ya itu digali, di
kebun eneng disini, masukin palaron
dikubur lagi, lewat jalan. Semuanya gitu
warga masyarakat. Ga ada yang
komplain. Silakan aja asalkan tertib.
Umpamanya aman sampai kelihatan takut
keinjak apalagi nggak kendala.
Berartik kalau misalnya serba praktis itu gak Sama-sama neng. Air bersih itu kalau
bagus ya pak? Kan tadi warga masyarakat diperinci sama bapak ya, yang satu ke
inginnya yang praktis saja. Artinya ada sisi sini, yang kedua ke sini, yang ke tiga ke
yang hilang. Menurut bapak apa sisi yang sini, itu gak berubah. Mata air dari sana
hilang pengelolaan air sekarang sama dulu dari ciawiruka dari sirah cibodas masih
waktu bapak jadi anggota? itu itu  doang. Enggak rubah. Terus di
perjalanan dulu mah disini, sekarang mah
disini. Dulu disini ya sekarang disini.
Terus aja itu ga rubah waktu bapak
ngerjain dulu. Awal di masyarakat itu
(suara tidak jelas) RW 1 sekian besok lain
lagi, cuman gitu doang. Sampai sekarang
berubah, alhamdulillah
Itu kan terkait infrastruktur ya pak, bagaimana Bapak bukan membela masyarakat yang

128
kesiapan warga bekerjasama secara sukarela salah bukan bapak yang membela
untuk mendapatkan sesuatu urgent di desanya mereka, mereka yang bela bapak, tidak.
yang mungkin itu entah langkah atau apa gitu. Bapak mah satu. Di hati bapak merah ya
Nah itu apa yang selain sisi infrastruktur itu, merah, di hati bapak putih ya putih.
sisi apa lagi yang berubah? Apa dari sisi Bukan di hati bapak merah, tapi laporan
keguyubannya diskusi tentang air antar warga ke eneng ya udah aja putih. Enggak.
atau gimana? Warga masyarakat bener ya bener, warga
masyarakat salah, sama bapak bener?
Nggak neng, setahu bapak nggak, Cuman
gitu doang. Paling selisih paham di
wilayah. Bu ini air gak nyala udah 3 hari,
iya bu dikarenakan kilometernya ada
yang nyangkut disana, oh ga mungkin, oh
liatin aja, ketukin sambungin, terus jalan
oh iya gitu. Alhamdulillah. Cuman gitu
doang. Banyak kalau gitu mah. Banyak
belum memahami lah antar perjalanan air
bersih warga masyarakat
Kalau di dalam musrembang desa pernah Dari bumdes gitu?
ngomongin tentang air, tentang permanfaatan
air, tentang ketersediaan air, tentang
pengelolaan air? 
Dari musrembang. Kan musrembang di tingkat Mungkin kalau begitu, kalau eneng
dusun di tingkat desa nah apa itu di forum larinya kesana. Mungkin bapak bisa
pernah ada ngomongin tentang air. Misal oh mengutarakan. Ya paling kalau kendala
air di Suntenjaya mengalami kekurangan itu musim kemarau. Ya ada tapi ga
mungkin karena banyak petani menanam semuanya. Bisa giliran ke hanya rumah
sayuran di hutan. Gitu pak.  siang, kalau malam mah ditutup bisa ke
kebun, tapi sebagian Cuma ada. Cuman
gitu doang. Tapi ga sepanjangnya. Itu aja
kalau kemarau. Kalau musim hujan gini
mah wah ga habis neng airnya
Melimpah airnya ya pak? Iya melimpah terus alhamdulillah kalau
musim hujan. Kalau kemarau mah ada
kekurangan dari mata airnya gitu.
Sempat  ga ngalir apa bagaimana pak? Itu misalnya dulu keluarnya mata air per
detik 3 liter tapi kalau kemarau cuman 2,5
liter. Ga total lah. Ga sampai ga ada.
Cuman ngurangi gitu aja. 
Ternyata kalau untuk pembagian mata air Nah pembagiannya, RW 05 sama 14 dulu
waktu awal itu pak, waktu cibodas untuk RW yang mengambil dari sana itu di tabung
ni, sistemnya itu bagaimana pak? satu paralon kesini, tapi yang kecil cuman
1,5 inch yang dipakai. Jeng bapak kesana
mah 3 inch. Dikarenakan ada 7 RW.
Kesini mah 2 kesana mah 7, ya dibagi
dua. 
Yang bantuan yang swadaya murni 3 inch
ya 3 inch aja gitu terus ke sana. Jeng
bapak dari hasil swadaya masyarakat.
Sekarang ada bantuan kayak gitu lagi,

129
beliin 3 inch ya 3 inch. Jeng bantuan
waktu bapak bangun banyuresmi dusun 1
di desa suntenjaya, dulu pertama
ngebangun itu swadaya murni. Yang
kedua LDSC dari orang amerika. Yang
ketiga dari Pamsimas. Itu alhamdulillah
sudah dinikmati. Ibaratnya ke masyarakat
itu, musyawarah dengan masyarakat
sudah nyala gimana caranya? Ya pakai
saja. dulu waktu bulan 1, sudah nyala,
sudah ngalir, sudah ke terima ke rumah,
ya bayarannya bulan 2 mulai 1 bulan
dipake dulu, bulan 2 nya diminta untuk
operasaionalnya.
Kalau masalah perebutan air antara misalkan Ga ada neng. Karena itu sudah nyala, ini
lahan di hutan sama warga di rumah ada ga diambil. Oh kang masih sore mau
pak? nyiram? Oh iya saya mau, oh ya saya
besok saja lah, gitu gantian neng. Atau,
sampai jam berapa? Saya jam 12 pagi
sampai siang.
Berarti istilahnya komunikasi Iya komunikasi sama sama yang lain.
Cuman itunya juga apalagi gapunya
saluran selang. Misalnya bapak beli, 
pakai ama bapak, eneng perlu, ya udah
pakai eneng. Tapi sumbernya disana,
tinggal gantian. Jadi warganya tidak
bertengkar.
Sejauh ini sudah cukup informasi dari bapak, Iya banyak
saya itu sumber mata air disini banyak ya pak.
Tapi pembagiannya itu menurut bapak agak Oh udah merata. Ada pembagian disana
membingungkan ga pak misalnya satu RW neng. Jadi yagn tadi7 RW, 1, 2, 3, 4, 11,
merasa kekurangan? 15, 17, buat di sini, tabung. Buat
penampungan ada buleng. Satu RW RW
1, ini RW 2, RW 3, paralon yang kecil
1,5 inch.
Yang tadi tuh yang bantuan tadi ya? Iya yang bantuan. Diambil dari sana gitu
yang tadi bapak bilang, yang 2 RW disini
ngambil sendiri dari sumber. Terus pasir
angling 6, 7 satu sumber, bagi dua ke
sIni. Yang banyak mah di sana. Bapak
gitu. Jadi bak penampung punya Buleng
ya dari sana ngambilnya. Maka yang
seimbang, 100 atau 180 itu diseimbangin
sama bapak. Gak ini 1,5 inch semuanya,
engga. Tapi kan warga ada yang dikit ada
yang banyak. Yang banyak 1,5 inch, yang
sedikit 1 inch. Alhamdulillah disana juga
sudah dibagi.
Harapan bapak ke depan gimana pak? Harapan bapak ke depan ya alhamdulillah
lah nyaman untuk anak cucu bapak. Jadi

130
gabisa rubah tinggal jalanan nerusin
ajalah. Sumbernya sudah berjalan,
aturannya sudah berjalan, kalau gimana
ininya ngerjainnya ya bapak juga lah,
gamungkin seterusnya ada. Apalagi
sekarang usia sudah 63 tahun. Kalau
bapak sudah meninggal diterusin cucu
bapak. Tapi kalau itu pelaksanaan, tata
cara kalau bahasa sunda sini, udah terusin
saja. Jadi ngelolanya begini, atau di
wilayah terus di perjalanan ke sumber
terus ulu-ulu di hutan, atau ulu-ulu di
sumur, perangkat ke RW an yang
mengelola air bersih, masing-masing RW
jangan merubah udah gitu aja. Kalau
merah merah, kalau hitam hitam. Satukan
saja lah jangan berubahm alhamdulillah.
Tapi dari pemerintah sendiri ga dibikin perdes Udah dulu sama desa dulu juga gitu. 
pak aturannya harus begini begini?
Peraturan desa tentang air? Iya musyawarah kan dulu sama pak
kades, sama pak KRPH kebutuhannya
segininya, sudah tahu
Tapi sudah ada bentuk peraturan tertulisnya  Apa itu disebutnya (berpikir)
pak?
Perjanjian atau kontrak? Kan biasanya kalau Kalau air ya itu doang cuman sedikit. Ga
ada desa itu bisa buat  peraturan desa gitu pak. kesana kemarinya, cuman gitu doang.
Itu ada tentang air atau enggak?
Ohiya nanti kalau ada yang kurang Iya
informasinya saya tanya lagi ya pak
Maaf ini mengganggu waktunya  bapak  Iya gapapa
Kalau bapak di kampung gandok? Bapak di kampung binong RT 2 RW 11.
Indomaret ke dalam
Oohh. Kalau di banyuresmi bapak sendiri apa Sendiri bapak. Banyuresmi bapak,
ada ayang lain? banyuresmi dusun 1 bapak, banyuresmi
suntenjaya bapak. Semuanya bapak.
Kalau sekarang ya ga taulah besok atau
lusa berhenti. Sekarang masih bapak
Berarti perorangan ya pak, ada ketuanya, ada Nggak. Itu kalo di wilayahnya di desa, eh
sekertaris, bendaharanya? Nggak ya pak? di RW Ada semuanya juga gitu tersusun.
Cuman sendiri, bapak cuma sendiri.
Cuman namanya doang lah, ketua, tapi
uangnya masuk ke bapak, ini dikasihkan
ke kehutanan, ini ke desa, gitu aja. Nggak
ada yang di bapak. 
Kehutanan itu maksudnya perhutani ya pak? Iya perhutani.
Berarti ada kerjasama dengan perhutani juga? Iya hasil musyawarah
Itu terkait apa pak kalau boleh tahu Maksudnya  terkait sharing
Ooh sharing jadi karena di lahan perhutani gitu Iya makanya diizinin, kalau ga masuk
ya  mungkin dilarang.

131
132
Lampiran 5
Transkrip Wawancara
Narasumber : Pak Adidaya Pendamping KRPH Cibodas dan Pak Nana Belly KRPH Cibodas
Tempat/Tanggal : Kp. Pasir Angling 06 April 2022

Tanya  Jawab

Setahu saya Perhutani itu ada Struktur di manajemennya ya?


tingkatan-tingkatannya, pak,
mulai dari tapak, itu sebenarnya
pembagiannya gimana sih pak?

Iya, struktur kelembagaannya, kan Ini globalnya dulu, globalnya itu kan
mungkin Pak Belly masuk kepala diperuntukkannya, satu, ada direksi yang khusus di
resor di suatu kawasan  dalamnya direktur se-Jawa di Jakarta. Terus grade
kedua ada, dulu unit disebutnya, sekarang lebih
kepada divre divisi regional. Regional 3 ini Jawa
Barat, yang kesatu dan kedua adalah Jawa Timur -
Jawa Tengah. Eh Jawa Tengah dulu satu Jawa Timur
dua, Jawa Barat tiga. Itu divisi regional. Dari situ ada
yang membawahi setiap kabupaten yang setara dengan
kabupaten itu adalah KPH (Kesatuan Pemangkuan
Hutan).
Nah di 14 kabupaten ini ada 14 KPH. Di Jawa Barat-
Banten ini ya ada 14 kabupaten. Nah ada 14 KPH
disitu, kesatuan pemangkuan hutan. Di Bandung
Utara, kesatuan pemangkuan hutannya itu adalah
Bandung Utara dan Bandung Selatan. Yang Bandung
Utara ini membawahi 4 BKPH

BKPH? Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan. Kalau di


dinasnya balai ya?

NB : Iya

Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan. Ini spesifik aja


ya, Bandung Utara.

Iya Yang mana dibagi dengan 4 BKPH. Badan Kesatuan


Pemangkuan Hutan yaitu ada 4 BKPH. BKPH
Padalarang, BKPH Lembang, BKPH Cisalak, BKPH
Manglayang Barat. Pakai Manglayang Barat, karena di
sana ada Manglayang Timur yang ke bawah itu
Kabupaten Sumedang. Gunung Manglayang itu dibagi
dua dibagi dua administratif dua lingkup hutan juga.
Nah itu. Nah di BKPHnya ini BKPH Manglayang
memiliki tiga resort yang kesatu resort Ujungberung,
KRPH Ujungberung, nama jabatannya kepala resort
pemangkuan hutan. Kepala resort polisi hutan yang

133
Ujungberung wilayahnya mencakup empat desa dua
kecamatan, kecamatan Cileunyi dan kecamatan
Cilengkrang. Terus BPKH, eh KRPH Ujungberung.
Kemudian Arcamanik, juga membawahi beberapa
desa. Terus yang ketiga ini RPH Cibodas yang mana
RPH Cibodas ini yang menurut saya istimewa nih
karena sementara yang dua itu kabupaten Bandung, ini
kabupatennya Bandung Barat yang kesatunya. Terus
yang keduanya kecamatannya Lembang membawahi
tiga desa. Desa Suntenjaya, Desa Cibodas, dengan
Desa Wangunharja kecamatan Lembang Kabupaten
Bandung Barat. 
Mengenai tadi…keluasannya, keluasannya itu
mungkin Pak Belly mau menerangkan.

NB : Kalau keluasan per RPH khususnya yang di RPH


Cibodas itu keluasannya 1823 hektar. 

Terdiri dari pada hutan lindung…

NB : Iya

Hutan lindung, hutan produksi, jadi ada kelas-kelas


hutannya. 

NB : Sekarang kan posisinya hutan lindung


semuanya. 

Oh sekarang posisinya hutan Iya. Karena kan ada sepadan Sungai Citarum. 
lindung semuanya?

Kenapa pak, apa kaitan hutan Kaitannya kan gini Sungai Citarum itu adalah
lindung dengan sungai citarum? sungainya Jawa Baratnya dan Bandung di situ ada
cekungan. Cekungannya itu harus dijaga oleh
lingkungan dari Bandung Selatan dan Bandung Utara.
Karena gini kan, di sini Citarum, nah sepadannya dari
sub-sub DASnya Citarik dan segala macamnya adalah
dari kehidupan Manglayang. Gunung Manglayangnya
ini, sehingga di sini kayak seperti perlakuan dari tanah
cariknya perlakuan apa yang mereka butuhkan dari
pertanian itu ada obat-obat kimia segala macam,
Perhutani kalau melihat seperti itu ya melarang juga
karena yang harus dijaga ini artinya muaranya sub-sub
DAS Bandung Utara termasuk dari Bandung Selatan
kan ujung-ujungnya di Citarum na seperti itu. Terus
kaitannya juga dijaga tentang airnya karena diatasnya
limbah, polusi, dan sebagainya mungkin di Citarum
sudah ga sehat lagi. Makanya di sini, sebetulnya saya
tuh dari LSM juga kerjasama dengan Perhutani. 
Yang saya selami di kemasyarakatannya ini sering
Perhutani juga dijadikan bahan pergunjingan karena

134
ada kondisi dipertanyakan ya di mana ada erosi apa
apa selalu dari Perhutani. Tetapi ketika dicek kayak
Cimenyan yang sungai dari kawasan hutan ke bawah
bening, kalau nggak percaya nanti kita periksa bening.
Yang keruh itu dari kawasan tanah carik desa. Tanah
carik desa itu apa ya

Tanah kepala desa He’eh, tanah yang milik negara yang dikelola oleh
pemerintah desa, nah itu. Jadi, di situ ternyata
terjadinya, karena apa ? Tegakannya sama sekali
nggak ada. Ketika ke Cicaheum waktu itu ada erosi.
Nah, akhirnya ya di situ banyak yang berkepentingan
ya kita cek sama-sama, ketika dicek sama-sama
ternyata dari melak damping di tanah carik itu. 
Kalau seperti itu bupatinya juga dikumpulkan
dijadikan seperti bahwa banjir ke bawah itu belum
tentu dari Perhutani seperti itu prosesnya. Capek di
Perhutani apalagi petugas seperti pak KRPH ini. 
Selanjutnya itu di tatanan lingkungannya, tadi di
tatanan visi dan misinya terus di tatanan pola-pola
aktivitas Perhutani gitu ya dari mulai tadi keamanan,
pemeliharaan hutan tanaman hutan, terus gangguan
dari kebakaran kesehariannya itu. Nah itu yang
keseluruhan, baik produk kayu maupun produk non
kayu. Disitu dulu dikemas Perum Perhutani untuk
melakukan kerjasama dengan masyarakat…
pertanyaannya gini, kenapa Perum Perhutani harus
bekerja sama dengan masyarakat?

Karena itu kan pak efisiensi sosial Ya itu artinya bisa iya bisa tidak kan, tetapi ini wajib
itu kali ya pak yang tidak bisa hukumnya karena ada PP 72 disitu Perhutani wajib
dipungkiri yang kemudian melibatkan masyarakat atau kerjasama dengan
masyarakat juga banyak masyarakat desa sekitar hutan dan para stakeholder
bergantung langsung sama hutan pendukung lainnya gitu. Nah didalam hal ini Perum
jadi secara bahasanya itu perlu Perhutani, dari mulai yang saya kenal dari buku atau
silaturahim perlu komunikasi sejak dari tahun ‘73…’72. Pertama, ada program
‘Manlu’ Mantri Lurah kerjasamanya itu, tapi yang
sejahteranya itu Pak Lurahnya terus yang kedua ada
program Inpres terus ada program PMDH
pembangunan masyarakat desa hutan disitu habis-
habisan Perhutani sampai triliunan dihibahkan ke
masyarakat bentuk ternak bentuk lahan sampai
sekarang. Sudah mengenal PS sekarang?

ee Perhutanan Sosial? Perhutanan Sosial…yang dari negara. Dulu Perhutani


yang menggulirkannya itu. Nah setelah PMDH
(Pembangunan Masyarakat Desa Hutan) di dalamnya
itu adalah Perhutanan Sosial tumpang sari. Untuk
Bandung khusus, tidak boleh ada tumpang sari karena
apa? Karena ada Surat Edaran Gubernur no 522

135
dilarang adanya tumpang sari dengan dilarang
menebang ya

Itu pergub ya pak? Kalau saya mah bilangnya pergub itu, 9tapi kalau saya
bilangnya surat edaran karena diedarkan

Oh iyaya. Nah, sehingga tadi di dalam surat edaran gubernur


nomor 522 tahun 2002 itu perum perhutani
menggalang kerja sama bukan di bidang tadi sayuran
atau komoditas yang memang sekiranya menggali
potensi atau merubah  tatanan lah tapi kembali kepada
ranah hutan lindungnya ini karena ada larangan
tumpang sarinya ini. Mulailah dari PMDH ke PHBM
(Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) nah yang di
dalamnya Perhutani berbasis lahan. Di dalamnya juga
ada potensi-potensi air dan segala macam
dikerjasamakan dengan masyarakat berdasarkan
kesepakatan kesepahaman.

Itu yang mau saya gali tentang Nah.. iya..pertamanya kayak gini ngobrol. Jadi, kalau
potensi air di hutan bentuk-bentuk bagi saya obrolannya itu penting. Pertama dari wacana
kerjasamanya seperti apa gitu.  itu ke negosiasi, dari negosiasi barulah membangun
kesepakatan kesepahaman, kan gitu ya. Di dalam MFP
(Marketing (?) Forestry Product) suka denger?

Belum pernah Produk hutan non-kayu diantaranya ada tadi wisata,


air, terus kopi, terus dan lainnya. Nah, hal tersebut
dikondisikan oleh Perhutani melalui SK

Ooh SK, jadi si yang berminat itu Tidak ada izin yang ada itu kerjasama
meminta izin atau gimana pak?

Oh kerjasama, SK ya? Kalau izin itu dimarahin oleh menteri. Jadi SK


ditangkap peluangnya menjadi bahan naskah
perjanjian kerjasama atau MoU tadi. Nah, awalnya ya
dari negosiasi, kedua baru saling pertanyakan punya
jaminan hukum apa? CV, PT, Koperasi atau apa gitu
ya. 

Hmm iya ya Atau, Perhutani sudah jelas BUMNnya negara artinya


lembaga ekonomi negara juga. Tadinya kan saya juga
menjadi pendamping selama ini diperkaya melalui
diskusi seperti ini dek. Artinya gini ketika ada LMDH
kerjasama dengan Perhutani Lembaga Masyarakat
Desa Hutan itu belum cukup karena LMDH itu bukan
badan ekonomi, tapi badan perkumpulan. Badan
ekonominya harus apa? Ya harus koperasi atau CV
atau PT tapi kayaknya PT belum saatnya ke situ
karena manajemennya kan njelimet.
Nah terus ke sini ke sininya di masyarakat punya
keinginan untuk apa ya artinya bukan memakai untuk

136
berkepentingan dengan air sesuai peruntukannya. Ada
yang untuk …

Rumah tangga? Ternak

Ternak… MCK (mandi cuci kakus), sarana air bersih. Dulu juga
Perhutani membuat kaftering air embung-embung

Apa afdeling? Tadi bapak bilang Kaftering, kaftering itu bak penampungan air. 
membuat afdeling air?

Oh di sini bilangnya buleng ya NB : iya…


pak?

Di sini bulet, kalau perhutani persegi. Nah itu yang


ditarik melalui 9 keran ke kampung-kampung. Di satu
desa ini. Waktu itu seperti itu, kalau sekarang
anggarannya si  

Itu yang bangun Perhutani? Perhutani 

Kalau dari Perhutani itu ada dasar Ada, sharing air itu kalau mata airnya itu dari kawasan
hukumnya ya Pak? hutan dalam kawasan hutan, tapi bangunnya di luar
kawasan hutan. Masyarakat misalnya punya tanah, nah
di situ masyarakat sebidang tanahnya terus semen,
batu, dan sarana baknya itu adalah Perum Perhutani.
Waktu itu ada pelaporannya sampai 12.500.000 yang
500-nya plang yang 12 jutanya itu tadi. Tapi ada biaya
dituntut biaya 

Retribusi gitu ada pak? Bukan, swadaya masyarakatnya 

Untuk ke Perhutani? Bukan, untuk bak itu. Karena kan bak 12 juta itu
nggak cukup. Beli batu misalkan, tenaga. Tenaga bisa
dihitung ke nominal nggak?

Harusnya bisa pak  Emang bisa. Misalkan gini, ukurannya  di sini sampai
jam 12 berapa ee tenaga kasar berapa nyangkul segala.
Oh ternyata 500ribu

137

Anda mungkin juga menyukai