Anda di halaman 1dari 88

UNIVERSITAS INDONESIA

LOKALISME DESA: KELEMBAGAAN MULTI-LEVEL TATA


KELOLA AIR BERSIH PERSPEKTIF NEW INSTITUTIONALISM IN
ECONOMIC SOCIOLOGY

TESIS

RAHMALIA RIFANDINI
1906436223

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


MAGISTER SOSIOLOGI
DEPOK
2022
Lokalisme Desa : Kelembagaan Multi-level Tata Kelola Air Bersih Perspektif New
Institutionalism in Economic Sociology

Rahmalia Rifandini
Abstrak
Tesis ini mengeksplorasi pendekatan New Institutionalism in Economic Sociology (NIES) terkait
penerapan Undang-Undang Desa yang baru. Studi ini menyoroti arena organisasional interaksi desa
dalam pengelolaan air bersih di tiga desa di kawasan DAS Cikapundung Hulu, Jawa Barat. Studi
sebelumnya mengkritik irelevansi Undang-Undang Desa untuk menyelesaikan krisis pedesaan.
Namun, perhatian studi tersebut belum menguraikan persoalan berbasis peta wilayah untuk
mendudukan kompleksitas kewenangan dan keruangan tata kelola. Metode penelitian berpikir sistem
lunak (soft-systems methodology) yang digunakan bertujuan memahami sistem hubungan
kelembagaan secara multi-level. Temuan penelitian menunjukkan aktualisasi subsidiaritas di tiga desa
bertumpu pada keberfungsian institusi internal desa dan keberlanjutan hubungan pengelolaan air
bersih antar desa. Sementara rekognisi belum didukung karena tumpang tindih persinggungan
kelembagaan dengan kewenangan spasial pada level makro. Model konseptual yang dihasilkan dari
metode SSM ini dapat digunakan oleh pemangku otoritas sebagai pertimbangan untuk mengelola
sumber daya air bersama secara berkelanjutan.
Kata kunci : Lokalisme desa, Tata kelola air bersih, New Institutionalism in Economic Sociology,
Soft-system Methodology.
Abstract

This thesis explores the New Institutionalism in Economic Sociology (NIES) approach to
implementing the new Village Law. This study highlights the organizational arena of village
interaction in the management of clean water in three villages in the upstream area of the
Cikapundung watershed, West Java. Previous studies criticized the irrelevance of the Village Law for
resolving rural crises. However, the concern of this study has not been to describe the problem based
on regional maps to accommodate the complexity of authority and spatial governance. The soft-
systems methodology research method used aims to understand the multi-level system of institutional
relations. The research findings show that the actualization of subsidiarity in the three villages rests
on the functioning of internal village institutions and the sustainability of clean water management
relationships between villages. Meanwhile, recognition has not been supported due to overlapping
institutional interactions with spatial authority at the macro level. The conceptual model resulting
from the SSM method can be used by stakeholders as a consideration for managing shared water
resources in a sustainable manner..
Keywords: rural localism, clean water governance, New Institutionalism in Economic Sociology,
Soft-system Methodology.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis legitimasi dalam birokrasi pengurusan air bersih sering ditemukan, terutama di
level mikro. Desa sebagai unit pemerintahan di tingkat bawah dengan mayoritas mata
pencaharian yang sangat bergantung pada sumber daya air bersih. Sektor pertanian
merupakan salah satu sumber penghidupan masyarakat yang paling tinggi tingkat
kebergantungan terhadap air, di mana hampir 70% kebutuhan air tawar untuk bidang
pertanian. Bahkan, jumlah penggunaannya dapat mencapai 95% di beberapa negara
berkembang (FAO 2017). Terdapat urgensi agar mengaitkan pembangunan desa dengan
ketahanan air. Prihtanti et al., (2013) berpendapat bahwa pembangunan desa hendaknya
mempertimbangkan delineasi pasokan air karena dapat berdampak langsung terhadap
keamanan dan keberlangsungan hidup masyarakat desa. Maka dari itu, ketersediaan air
sangat bergantung dengan hutan beserta lingkup kawasan DAS.
Kehidupan desa-desa di hulu DAS secara timbal balik berperan terhadap tata guna air.
Kawasan hutan berfungsi sebagai kawasan rain harvesting untuk menyimpan air. Sementara
itu, hutan memiliki fungsi sosial untuk menyokong kehidupan desa yang berbatasan langsung
dengan hutan. Masalah ini bersifat dilematis karena dilatarbelakangi secara struktural melalui
penerapan kebijakan kehutanan yang tumpang tindih, salah satunya Perhutanan Sosial. Di sisi
lain, hutan bernilai kultural karena dalam kurun waktu yang lama menjadi penyangga
kehidupan khususnya untuk memenuhi kebutuhan sosio-ekonomi masyarakat. Namun relasi
dengan hutan sebagai kantung air telah bergeser, sehingga kondisinya saat ini telah banyak
menampakkan kerentanan sumber pasokan air. Alih fungsi lahan hutan yang menjadi praktik
pertanian sehari-hari dapat mengancam luasan daerah tangkapan mata air (catchment area)
hingga menurunkan debit suplai air (Astuti, 2017).
Pokok persoalannya bersumber pada tata kelola air bersih di Indonesia yang mengalami
keterpisahan antara paradigma saintifik dan pengaturan kebijakan (Kusumah & Mustofa,
2020). Akademisi bersepakat bahwa hutan bagian dari kawasan DAS sebagai unit hidrologi
yang menunjang siklus hidrologis. Konsep dasar pengelolaan DAS menekankan mekanisme
konservasi untuk mencapai tujuan sosio-ekonomi dan keselarasan relasi dengan ekologi
(Dixon, 2000; Abell, Allan, dan Lehner, 2007). Konsep ini mencakup juga mekanisme yang
menjamin fungsi ekologis hutan dan penghidupan masyarakat desa yang bergantung pada
aset dan sumber daya yang dinamis terhadap lingkungan hutan (Pambudi, 2019). Oleh karena

1
itu, cara pandang terhadap DAS harus digambarkan secara presisi menjadi tempat tinggal dari
kegiatan ekonomi berbasis lingkungan.
Perspektif kebijakan menilai konsep pengelolaan DAS harus mengaitkan aktivitas
manusia dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air bersih di daerah hulu maupun
hilir dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk berkoordinasi (Sudaryono,
2002). Dalam peraturan pengelolaan DAS menyebutkan bahwa kawasan DAS diserahkan
kepada pemerintah daerah, sementara sub-DAS diserahkan kepada pemerintah kabupaten
atau kota yang dilintasi. Secara nyata keberadaan (existing) sub-DAS berhadapan langsung
dengan unit desa. Akan tetapi desa yang berhadapan langsung dengan realitas hubungan
timbal balik dengan ketersediaan air justru tidak memiliki kewenangan tata kelola.
Kewenangan desa belum diperhitungkan dalam pengelolaan DAS, padahal, banyak
desa yang berdasarkan kondisi geografis memegang kunci keberlanjutan DAS, terutama
desa-desa yang bertempat di hulu. Bagi masyarakat desa sekitar hulu DAS, air menyatu
dalam kehidupan karena menjadi pengikat sektor penghidupan pedesaan. Berbagai mata
pencaharian bersinggungan langsung dengan pemanfaatan sumber daya air bersih
(Sudarmadji et. al 2015). Namun disisi lain, alokasi dan distribusi air sering menemui
persoalan, karena disebabkan oleh besarnya pemanfaatan air tidak diimbangi dengan
kapasitas pasokan air. Belum lagi kepentingan pemenuhan air bersih antar desa.
Penyediaan air secara berkelanjutan menjadi krusial karena termasuk salah satu
indikator penentu kesejahteraan masyarakat (ADB 2016). Akan tetapi, tata kelola air bersih
ini belum banyak dibahas dalam era Undang-Undang Desa. Mandatori negara baru sebatas
menjangkau kewenangan desa dari aspek infrastruktur. Salah satunya kewenangan desa
melaksanakan pembangunan embung sebagai prioritas penggunaan Dana Desa.
Pembangunan embung desa sendiri bertujuan untuk menjamin ketersediaan pasokan air
secara kontinuitas dan menunjang kebutuhan masyarakat desa dalam berbagai sektor
penghidupan. Secara internal wewenang pemerintah desa mengelola sumber daya air bersih
sebagai aset desa diserahkan kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Legitimasi
BUMDes sebagai kelembagaan desa diprioritaskan untuk pemberdayaan ekonomi (Samsir,
2016). Terkait hal ini, studi Rodiyah (2015), Agunggunanto et al. (2016), Wicaksono, Surya,
dan Iskandar (2017) menjelaskan kebijakan pengelolaan air bersih dalam berbagai bentuk
aset desa seperti pengembangan usaha air minum desa dan potensi wisata mata air.
Di sisi lain, kelembagaan internal di tingkat desa masih mengesampingkan
keberlanjutan pemanfaatan hutan yang berfungsi terhadap tata guna air (Wulandari, 2007;
Triana, 2014; Maria & Lestiana, 2014). Studi-studi yang berpihak pada konservasi jasa

2
lingkungan hutan menekankan urgensi suplai air yang berkelanjutan (Primmer et al., 2015;
Sarkki, 2017; Delgado et al., 2021). Minimnya pemanfaatan sumber daya air bersih yang
diiringi dengan konservasi hutan berimplikasi pada siklus hidrologis air menjadi tidak
berkelanjutan (Sosiawan dan Subayono 2009). Oleh karena itu, diperlukan otoritas desa
untuk menyusun tata kelola pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air bersih dalam
wilayah DAS maupun Sub-DAS. Sebagai bentuk kebijakan desa dalam merespon
kemungkinan keterbatasan akses atas air atau bahkan konflik yang dapat terjadi (Tarigan et.
al 2013, Hakim et.al 2017, Batubara 2017).
Disamping itu, pembangunan kawasan pedesaan masih luput dari menempatkan jati diri
wilayah desa sebagai pertimbangan utama pembangunan desa. Narasi ini tercermin pada
praktik pembangunan desa memisahkan sumber penghidupan yang berasal dari lingkungan
tempat tinggal dengan sistem penghidupan masyarakat desa itu sendiri. Pembangunan desa
umumnya merasionalisasi antusiasme negara menghasilkan solusi-solusi seragam untuk
menyelesaikan masalah pedesaan. Kesejahteraan sebagai hasil akhir yang ingin dicapai
perencana menganaktirikan hubungan karakter wilayah dengan dinamika masyarakat
pedesaan. Kealpaan ini memunculkan krisis multi aspek dan ketidakmerataan pengaturan
sumber-sumber vital mata pencaharian masyarakat (Lang 2013).
Pembangunan merupakan bentuk lain dari upaya membentuk wajah lingkungan, tata
penghidupan, dan identitas masyarakat (Li, 2012). Terdapat distribusi kuasa pembangunan
yang diupayakan dalam kebijakan otonomi daerah. Sementara pemerintah di tingkat desa
baru menerima kewenangan perencanaan dan anggaran pembangunan. Kebijakan ini telah
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memutuskan kebijakan
pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai. Namun pelaksanaannya justru
mengakibatkan kerugian terhadap pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumber daya air di
daerah hulu dan hilir sungai. Triana (2014) mengatakan bahwa adanya inkonsistensi aturan
otonomi daerah dengan aturan perundang-undangan menyangkut bidang lingkungan hidup.
Sistem hukum yang tumpang tindih dan egoisme kedaerahan menghasilkan banyak peraturan
di tingkat daerah yang diterbitkan bukan untuk menyelesaikan persoalan sumber daya air
sungai (Mardimin, 2014).
Penyadaran kewilayahan dalam konteks pembangunan kawasan pedesaan memerlukan
lokalisme yang mengedepankan keterjalinan institusi multi-level.

1.2 Permasalahan

3
Perdebatan studi pedesaan di Indonesia relatif berkenaan dengan pengembalian
otonomi (subsidiaritas) dan pengakuan negara (rekognisi). Luthfi (2017) dan White (2017)
menganggap demokratisasi desa yang diupayakan Undang-Undang Desa yang baru belum
mampu menyelesaikan krisis pedesaan seperti ketimpangan penguasaan sumber daya alam,
konflik agraria, dan krisis tenaga kerja di pedesaan. Beberapa studi kerap mengaitkan konteks
pedesaan dengan kontestasi negara terhadap pengelolaan sumber daya alam (Afrizal, 2012).
Misalnya, terkait penetapan wilayah-wilayah hutan yang mulanya milik masyarakat desa
(adat) sebagai bentuk teritorialisasi (Siscawati, 2014). Negara mengoperasionalisasi
kekuasaannya dalam menentukan batas-batas ruang geografis. Semata-mata tujuannya untuk
mengontrol aktivitas penggunaan sumber daya hutan (Vandergeest & Peluso, 1995).
Kemudian, kasus deforestasi dan perebutan lahan dengan masyarakat desa adat menjadi
implikasi yang sering ditemui dalam konflik pembangunan (Zakaria, 2014; Siscawati, 2014;
Anindita, 2015).
Sebagian dari studi-studi yang berseberangan dengan pembaruan desa berangkat dari
perspektif politik agraria ataupun agraria kritis (Peluso, Afif, dan Rachman, 2008; White,
2017; Shohibbudin, 2017, Rachman, 2018). Asumsi dasarnya terletak pada ketidakadilan
sumber-sumber agraria yang mendukung kehidupan desa, khususnya pertanian, dipolitisir
oleh negara (Shohibbudin, 2018). Kelompok ini menilai kegagalan rezim Undang-Undang
Desa bersumber pada masalah tata kelola yaitu persoalan irelevansi konteks, pengelolaan
sumber daya alam, kerentanan wewenang, dan relasi kuasa (Shohibbudin, 2017). Sementara
itu, studi pedesaan lainnya berkembang dari fondasi awal dari sosiologi pedesaan yang
menitikberatkan pada analisis pertanian (Ploeg & Roep, 2003; Shucksmith, 2012; Bock,
2016; Huttunen, 2019). Lichter (2015) mengatakan bahwa perkembangan sosiologi pedesaan
masih bergantung pada tema riset dan kebijakan yang mainstream di Amerika seperti
multifungsi pertanian dan sustainable livelihood sehingga belum spesifik (Krannich, 2008;
Conner, Jensen, dan Ransom, 2014; Scoones, 2015).
Bertolak dari kedua aliran itu, tesis ini menilai bahwa literatur sebelumnya belum
banyak membedah tata kelola (governance) penyelenggaraan kehidupan desa secara multi-
level dengan pertimbangan peta wilayah sebagai tinjauan keruangan. Deskripsi peta wilayah
menjadi dokumentasi (evidence) keterkaitan wilayah dengan sistem aktivitas masyarakat
desa. Selain mendudukkan posisi kewenangan institusi negara-desa yang bersifat hirarkis,
peta wilayah menjadi klaim yang penting dikemukakan untuk merespon balik intervensi
negara terkait penentuan batas-batas ruang. Terkait dengan itu, tesis ini menganalisis
penyelenggaraan pengelolaan air bersih desa di kawasan DAS Cikapundung Hulu di Jawa

4
Barat. Pengelolaan air bersih di kawasan DAS menjadi isu yang dinamis untuk mewakili
penyelenggaraan kewenangan desa dengan bingkai keruangan wilayah. Konteks masalah
diangkat bertujuan melihat aktualisasi desa di rezim Undang-Undang Desa. Dalam hal
kapasitas desa mengadakan hubungan institusional dalam rangka memenuhi kepentingannya.
Air bersih menjadi kebutuhan vital bagi penyelenggaraan kehidupan desa. Tidak hanya untuk
konsumsi domestik rumah tangga, tetapi juga menyangkut sumber-sumber penghidupan
seperti pertanian dan peternakan.
Pratchett (2004), Stoker (2007), dan Fawcett & Marsh (2013) menandai lokalisme
sebagai keberfungsian demokrasi di tingkat lokal. Lokalisme menekankan bahwa
penyelenggaraan mikro-deliberatif memerlukan distribusi kekuasaan dalam berbagai bentuk
seperti desentralisasi, devolusi, atau subsidiaritas (Parksinon, 2007; Painter et.al, 2011; Ercan
& Hendriks, 2013). Pandangan ini mendorong penataan ulang cara pandang kehidupan desa
dan relasinya terhadap negara. Subsidiaritas sebagai praktik lokalisme membuka peluang
bagi desa untuk menetapkan kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitasnya. Untuk
mendukung itu, diperlukan penjabaran mengenai tata kelola secara multi-level. Hubungan
multi-level untuk menunjukkan bagaimana kekuasaan itu terdistribusi dari lingkungan
institusional hingga level mikro melalui dinamika interaksi arena organisasional.
Konteks tata kelola dalam tesis ini berangkat dari sosiologi ekonomi institusionalisme
baru (New Institutionalism in Economic Sociology/NIES) yang berfokus pada penyelidikan
keterjalinan institusi. Ekonomi institusionalis ini menempatkan keterjalinan institusi
berlangsung dalam berbagai level makro, meso, dan mikro (Nee, 2003; Nee and Opper,
2015). Di sisi lain, pemikiran NIES dapat menjadi alternatif paradigma kritis yang cenderung
konfrontatif terhadap gagasan kebijakan desa. Secara spesifik, pendekatan ini digunakan
sebagai pisau analisis untuk menguraikan mekanisme keterjalinan kelembagaan, khususnya
untuk mendorong otonomi desa dalam urusan tata kelola air bersih. Mekanisme sosial dalam
pendekatan ini berkenaan dengan proses keselarasan (coupling) dan ketidaklarasan
(decoupling) unit sosial di tingkat mikro dan meso terhadap makro.
Terkait hubungan multi-level pengelolaan air bersih, fokus studi mengarah pada
dinamika relasi yang berlangsung dalam arena organisasional. Terutama interaksi antar desa
dalam mengelola sumber daya air bersama di lingkup kawasan DAS yang sama. Berbeda dari
sumber-sumber agraria lainnya, keberadaan sumber daya air bersifat lintas batas
(transboundary) yang memerlukan pengelolaan dari berbagai institusi. Egoisme sektoral
justru mencuat ketika pengesahan otonomi daerah dikarenakan segmentasi kewenangan
berdasarkan batas wilayah administratif (Mardimin, 2014). Citarum Harum menjadi salah

5
satu dampak pengelolaan sumber daya air yang ‘terlambat’ karena pelibatan multisektor
dimulai setelah muncul berbagai permasalahan. Sungai Citarum menjadi hilirisasi dari
persoalan lahan kritis, limbah industri, dan masalah lainnya yang berasal dari 12 anak sungai
lainnya di Jawa Barat, termasuk DAS Cikapundung Hulu.
Dari sisi keruangan, terdapat beberapa isu yang melingkupi DAS Cikapundung Hulu.
Pertama, hubungan masyarakat desa yang bertempat tinggal di hulu berimplikasi terhadap
kondisi Sungai Cikapundung di hilir yang menjadi sumber air baku kota Bandung (Rizka,
2014). Kedua, kawasan DAS Cikapundung bagian hulu yang merupakan wilayah hutan
berada diantara persinggungan wilayah sekaligus institusional. Area ekosistem mata air
Sungai Cikapundung berada di kawasan hutan Bukit Tunggul yang secara administratif
terletak di daerah perbatasan tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten
Bandung, dan Kabupaten Subang. Persinggungan administratif ini juga bertindihan dengan
tapal batas wilayah operasional Perhutani RPH Cibodas dan PTPN VIII Perkebunan Kina. Isu
selanjutnya berkaitan dengan pemfokusan penanganan lahan kritis Sungai Cikapundung
dalam program Citarum Harum (citarumharum.org). Kebijakan Perhutanan Sosial yang
melegitimasi desa sekitar hutan memiliki hak guna lahan menambah persoalan yang dapat
berpotensi mengancam keberlanjutan sumber daya air. Namun ketiga isu yang disebutkan
hanya menjadi justifikasi pemilihan lokasi penelitian. Ketiga isu ini tidak menjadi fokus
masalah dalam penelitian, melainkan riset ini berfokus mendeskripsikan analisis hubungan
kelembagaan multi-level yang ditunjang dengan data geografis.
Metode penelitian yang digunakan yaitu Soft-systems methodology (SSM) based multi
method kelanjutan dari Muhammaditya et al. (2021) yang menambahkan analisis TNA (Text-
Network Analysis) yang berangkat dari dengan menggunakan WORDij dan Gephi untuk
melengkapi narasi kebijakan dari regulasi negara terkait otoritas desa, pengelolaan hutan,
pengelolaan air bersih, dan kawasan DAS. Metode ini berkepentingan untuk menggambarkan
pengelolaan air bersih di kawasan DAS dari perspektif keterkaitan sistem aktivitas manusia
dengan peta wilayah. Studi SSM Hardjosoekarto et al. (2013) dan Fazriah (2017)
menguraikan SSM dari pendekatan NIES, sementara Bunch (2003), Habron, Kaplowitz, &
Levine (2004), dan Suriya & Mudgal (2013) menggunakan SSM untuk menganalisis
pengelolaan DAS. Berbeda dari studi-studi terdahulu, tesis ini menambahkan ragam data
geografis pada tahapan situasi problematis untuk menyingkap sistem aktivitas manusia
berbasis peta wilayah.
Tesis ini merupakan studi lebih lanjut dari riset peneliti, Rifandini (2018), yang
membahas pembangunan desa pasca otoritarianisme yang lahir dari Undang-Undang Desa

6
Nomor 6 Tahun 2014. Kebaruan dari riset ini mengusung signifikansi praktis yang
menghasilkan peta tematik wilayah desa berbasis DAS. Peta wilayah merupakan data krusial
bagi pemangku otoritas desa untuk menginderai posisi bentang alam dan pola penghidupan
masyarakat desa. Pembuatan peta dilakukan dengan melakukan survei titik-titik mata air dan
bak pengumpulan air (reservoir) yang dibantu oleh tim Yayasan Walungan Bhakti Nagari.
Kepentingan praktis dari riset ini bersifat transdisiplin karena diperuntukkan bagi
pengembangan penggunaan, interpretasi, maupun perbaikan peta wilayah. Terutama untuk
mengatur dan menata aktivitas sosial-ekonomi sesuai dengan karakteristik wilayah.

1.3 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan, peneliti
merumuskan pertanyaan penelitian berikut :
“Bagaimana keterjalinan institusional menempatkan desa-desa di kawasan DAS
Cikapundung Hulu dalam urusan tata kelola air bersih?”
Dengan menggunakan kerangka multi-level dari perspektif new institutionalism in
economic sociology maka pertanyaan pokok diatas dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan
pendukung sebagai berikut:
1. Bagaimana regulasi di level makro mengatur tata kelola air bersih di tingkat desa?
2. Bagaimana arena organisasional desa menjalankan pengambilan keputusan lokal
dalam tata kelola air bersih?
3. Bagaimana relasional individu dan kelompok membentuk norma pengelolaan air
bersih?

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian dirumuskan dengan mengacu permasalahan studi dan pertanyaan
penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterjalinan kelembagaan tata kelola
air bersih tiga desa di kawasan DAS Cikapundung Hulu pada konteks makro, meso, dan
mikro. Tujuan utama ini dapat dijabarkan melalui poin-poin sebagai berikut ;
1. Menganalisis keterlibatan desa dalam tata kelola air bersih melalui narasi peraturan di
tingkat makro.
2. Menguraikan arena organisasional antar desa dalam menjamin suplai dan permintaan
air bersih.
3. Mendeskripsikan interaksi dan norma yang membentuk mekanisme pengelolaan air
bersih di tingkat desa.

7
1.5 Signifikansi Penelitian
Penelitian ini mengangkat isu penerapan Undang-Undang Desa dalam konteks tata
kelola air bersih di kawasan hulu DAS Cikapundung. Topik ini merupakan isu yang penting
untuk diteliti karena menyasar tiga signifikasi. Signifikansi pertama menyasar aspek teoritis
dengan mengangkat paradigma sosiologi pedesaan berbasis tata wilayah (spasial).
Kepentingan sosiologi dari signifikansi teoritis ini menjadikan perspektif NIES sebagai
kerangka konseptual. Lewat keterjalinan institusi, perspektif NIES berperan menguraikan
lokalisme desa sebagai peluang bagi desa administratif. Terkait dengan penyerahan
wewenang untuk menyelenggarakan otonomi desa sesuai konteks pengambilan keputusan
lokal dan karakteristik geografis.
Signifikansi kedua dari sisi metodologis. Penggunaan metode soft-systems methodology
based multi-method belum banyak dilakukan untuk menjelaskan realita empiris dalam
masyarakat. Berbeda dari riset terdahulu dengan menambahkan kebaruan teknik
pengumpulan data. Pertama, kelanjutan dari riset Muhammaditya (2021) yang menambahkan
TNA dalam tahapan SSM untuk menganalisis situasi masalah pada tahap pertama. Pada tahap
kedua, tesis ini menambahkan peta geografis dari sistem penginderaan jarak jauh. Ragam
data geografis yang dihasilkan dari Google Earth memberikan kebaruan pada rich picture
untuk menggambarkan situasi problematis sistem aktivitas manusia yang bergantung pada
lingkungan.
Kemudian, signifikansi praktis dalam penelitian ini diharapkan menjadi rekomendasi
kebijakan yang dapat membantu otoritas antar desa dalam menjamin suplai dan permintaan
air bersih secara berkelanjutan. Rekomendasi kebijakan ini ditujukan pada aparatur desa
untuk menegakkan prinsip subsidiaritas dan rekognisi berdasarkan konteks kehidupan
(wilayah dan masyarakat) desa masing-masing. Dalam memberikan rekomendasi kebijakan,
akademisi berkedudukan mendampingi diskusi otoritas pemerintah desa untuk menemu
kenali ragam masyarakat dan karakter wilayahnya.

1.6 Sistematika Penelitian


Penelitian tesis ini dibagi ke dalam tujuh bab yang terdiri atas :
1. Bab 1 Pendahuluan.
Bagian pendahuluan ini berisi tentang penjelasan mengenai permasalahan penelitian yang
berangkat dari gejala pembangunan desa, konteks kebijakan Undang-Undang Desa yang

8
mendasari isu penelitian diteliti, ringkasan pemetaan penelitian-penelitian sejenis terdahulu,
pertanyaan penelitian, tujuan dan signifikansi penelitian, serta sistematika penelitian.
2. Bab 2 Kerangka Pemikiran.
Bagian bab 2 terdiri dari atas uraian riset terdahulu, posisi peneliti terhadap penelitian
terdahulu, dan penjelasan kerangka konseptual yang menggunakan keterjalinan institusi dari
perspektif new institutionalism in economic sociology. Di bab ini peneliti menjelaskan proses
membangun landasan konseptual menjadi kerangka berpikir.
3. Bab 3 Metode Penelitian.
Bab ini membahas sistematika proses riset yang menggunakan metode Soft-System
Methodology yang memiliki tujuh tahapan dari Checkland (2000). Metode SSM
dikombinasikan dengan metode TNA untuk membantu menganalisis lingkup makro dengan
berpijak studi Muhammaditya (2021). Peneliti menjelaskan pendekatan penelitian yang
digunakan, unit analisa, teknik pengumpulan data dan jenis data, teknik pengolahan data,
durasi penelitian, dan limitasi penelitian.
4. Bab 4 Deskripsi Lokasi Penelitian.
Bagian ini menerangkan delineasi DAS Cikapundung Hulu dan karakteristik wilayah tiga
desa yang menjadi lokus penelitian. Bab ini juga menguraikan data geografis, struktur sosial,
dan pola penggunaan air bersih sebagai penjabaran dari konteks mikro.
5. Bab 5 Analisis Hubungan Kelembagaan.
Bab ini menganalisis dinamika hubungan kelembagaan berdasarkan 7 tahapan SSM. Analisis
ini bertujuan menjawab pertanyaan penelitian utama.
6. Bab 6 Kesimpulan dan Rekomendasi
Bagian ini merupakan rangkaian penutup dari keseluruhan bab penelitian yang berisi
kesimpulan dan rekomendasi. Rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian ini merupakan
upaya untuk menyusun usulan kebijakan praktis.

9
BAB II
Tinjauan Literatur
2.1 Tinjauan Pustaka
Sosiologi harus dipahami secara subjektif oleh setiap yang mempelajari ataupun yang
menggunakan sosiologi sebagai kerangka penelitian. Gunanya agar pengetahuan tentang
sosiologi dapat menjadi suatu proses yang bermakna bagi subyek diri yang meneliti. Bagian
ini merupakan bangunan pemikiran penelitian yang disusun berdasarkan pemahaman peneliti
sebagai upaya membaca sosiologi dan menjahitnya dengan situasi empiris. Pertama-tama
peneliti mengulas lokalisme dari berbagai perspektif. Tujuannya untuk merangkum banyak
pemikiran dan membatasi definisi lokalisme menjadi fondasi kerangka konseptual. Dalam
menyusun tinjauan pustaka, peneliti berusaha mengedepankan konteks kebijakan, ruang, dan
sejarah dari ragam literatur yang diulas. Salah satunya tercermin pada upaya peneliti
meninjau konstruksi lokalisme yang muncul dari konteks kebijakan di Inggris dan
perbedaannya dengan situasi di Indonesia.
Di bab 2 ini, peneliti juga menekankan atribut fisik lingkungan yang memberikan
pengaruh kehidupan masyarakat terutama pedesaan. Peneliti mengangkat sisi krusial dari
masyarakat pedesaan yaitu pengelolaan air bersih dan kaitannya dengan tata wilayah,
khususnya kawasan DAS. Kemudian, dielaborasi dengan berbagai perspektif sosiologi
pedesaan yang jamak digunakan dalam dunia akademis sosial di Indonesia. Terkait dengan
bangunan teoritis, peneliti meminjam dari gagasan pendekatan New Institutionalism in
Economic Sociology yang menggambarkan keterjalinan institusi sosial di berbagai level.
2.1.1 Studi-studi Terdahulu Mengenai Lokalisme
Sebagian besar literatur melekatkan lokalisme dalam konteks kebijakan sosial yang
berlangsung di Inggris. Kebijakan Localism Act pada tahun 2011 menjadi momentum bagi
kemunculan perbincangan lokalisme. (Hildreth, 2011; Shucksmith, 2012). Dalam kebijakan
ini, pemerintah Inggris memberikan kekuasaan kepada masyarakat lokal dan menyerahkan
tanggung jawab strategis kepada otoritas lokal untuk menyusun perencanaan administratif.
Shucksmith (2012) merinci cakupan pelimpahan wewenang dalam Localism Act 2011,
diantaranya hak pilih kepala daerah (walikota), hak veto kenaikan pajak yang berlebihan, dan
berbagai pengaturan yang berkaitan dengan perencanaan dan alokasi pembangunan
perumahan. Lokalisme merupakan pemfokusan ulang mengenai demokrasi. Dalam hal ini,
lokalisme diartikulasikan sebagai anti-tesis dari sentralisasi atau otoritarianisme (Parkinson,
2007).
Untuk menelusuri dasar dari pemikiran lokalisme, Mohan & Stokke (2000) berpendapat

10
tentang lokalisme berasal dari dua aliran pemikiran pembangunan yang dikotomis, yaitu Neo-
liberalisme revisionis dan Post-Marxis. Lokalisme dalam neoliberalisme dipandang sebagai
pergeseran strategi pembangunan yang menekankan deregulasi pasar secara tunggal.
Kemudian, beralih dengan menekankan reformasi kelembagaan dan pembangunan sosial.
Upaya reformasi kelembagaan dilakukan lewat cara-cara top down. Berlawanan dengan
pemikiran neoliberal, gagasan lokalisme dalam pemikiran Post-Marxis didasarkan pada
pembentukan identitas kolektif dan pengalaman bersama yang dicapai dengan dorongan
untuk menghargai ke-lokal-an seperti pengetahuan lokal sebagai basis aksi kolektif. Mohan
dan Stokke (2000) beranggapan bahwa lokalisme merupakan wacana yang dinamis untuk
menata ulang cara pandang terhadap penyelenggaraan kehidupan yang khas lokal. Oleh
karena itu, definisi lokalisme akan selalu berkaitan dengan otonomi lokal atau pemerintah
lokal, desentralisasi atau devolusi, dan demokrasi lokal.
Beberapa sarjanawan menanggapi lokalisme dengan antusias karena hadirnya lokalisme
dianggap sebagai penanda keberfungsian demokrasi (Pratchett, 2004 dan Fawcett & Marsh,
2013). Hal ini karena lokalisme menjadi salah satu cara bagi pemerintah desa untuk hadir
lebih dekat dengan warganya untuk menghasilkan legitimasi keputusan berbasis kolektif.
Stoker (2007) menilai lokalisme mencakup respon realistis terhadap kompleksitas
pemerintahan modern dan bentuk demokrasi. Pendapat ini diperjelas Painter et.al (2011)
bahwa lokalisme dapat menjangkau koordinasi pengambilan keputusan publik melalui
pemberdayaan masyarakat. Prinsip utama lokalisme karena mengalihkan kekuasaan dari
pusat dan memberdayakan otoritas dan masyarakat tingkat bawah untuk mengambil lebih
banyak tanggung jawab dan pengambilan keputusan. Lokalisme mengimbangi ketidakpekaan
lembaga negara dalam rangka mengidentifikasi kebutuhan masyarakat lokal. Oleh karena itu,
lokalisme mewadahi individu atau kelompok agar sebisa mungkin terlibat dalam keputusan
yang memengaruhi kehidupan mereka (Hogan & Lockie, 2013). Sementara itu, Ercan &
Hendriks (2013) memiliki pandangan yang berbeda mengenai proses deliberasi yang
berlangsung di tingkat lokal (minipublic). Menurutnya, lokalisme memang memiliki potensi
untuk mewujudkan demokrasi deliberatif, akan tetapi, juga memiliki kecenderungan terhadap
praktik administratif dari penyerahan kekuasaan kepada pemerintahan lokal (Evans et al.,
2013).
Kaitan lokalisme dengan desentralisasi lebih menekankan distribusi kekuasaan secara
spasial (Madanipour & Davoudi, 2015). Terkait hal ini, lokalisme dikonseptualisasikan dari
dua arah yang berbeda yaitu pembagian kekuasaan oleh kekuasaan yang lebih tinggi atau
tawaran otonomi oleh otoritas yang lebih rendah. Kriteria pembagian ini didasarkan pada

11
serangkaian perhitungan tentang distribusi dan penggunaan sumber daya yang efisien serta
memastikan jangkauan yang efektif dari kekuatan pusat kepada seluruh wilayah yang
dikuasai. Bentuk alternatif dari lokalisme yaitu subsidiaritas yang berkenaan dengan desain
institusional yang bertujuan mempromosikan pembangunan lokal. Popularitas istilah
lokalisme yang berada di spektrum politik juga memiliki makna dalam ranah ekonomi lokal.
Hogan dan Lockie (2013) membahas lokalisme dalam diskursus ekonomi pedesaan yang
khas dengan pertanian. Dalam naungan lokalisme, masyarakat pedesaan memiliki
kesempatan untuk mengamankan keberlanjutan sosial ekonomi dengan mengambil
pendekatan kewirausahaan untuk mengembangkan aset dan sumber daya lokal. Roy et.al
(2021) yang menyelidiki kekuatan social enterprise dalam mengimbangi peran negara
dengan pengambilan keputusan kolektif dalam deliberasi publik (Mair et.al, 2012; Roy dan
Hackkett, 2017; Mair dan Sucht, 2019).
Madanipour & Davoudi (2015) mengkaji gagasan lokalisme dan berbagai maknanya
dalam domain ekonomi, sosial, politik dan lingkungan untuk memberikan pemahaman yang
luas tentang lokalisme. Selain itu, bertujuan juga untuk mengembangkan artikulasi lokalisme
dan relevansinya dengan diskusi terkait seperti tata kelola (governance), demokrasi,
partisipasi warga, ataupun transisi keberlanjutan. Ragam definisi lokalisme sebagai berikut :
Tabel xx
Definisi Lokalisme dalam Berbagai Perspektif
Arena Pendefinisian Relevansi Istilah
Politik Penyerahan kekuasaan dan tanggung jawab dari Subsidiaritas,
pusat kepada daerah atau dari negara kepada desentralisasi,
rakyat. devolusi
Sosial Kedekatan yang erat antara ikatan budaya dan Komunitas;
ikatan tempat yang keduanya merupakan kehidupan kolektif
kondisi yang diperlukan untuk kehidupan
kolektif
Ekonomi Proses membangun usaha lokal dengan Civic enterprise
mempergunakan sumber daya lokal yang
tujuannya untuk memperkuat pertumbuhan
endogen.
Lingkungan Aktivitas membalikkan krisis ekologis di Transisi
lingkup yang kecil untuk membawa perubahan keberlanjutan
sistemik.
Spasial (Geografi) Unit spasial yang mengacu skala geografis Skala geografis kecil
dengan tingkatan yang lebih rendah dari hirarki
global, nasional, dan regional.
Sumber : Madanipour & Davoudi (2015).
Lokalisme dari perspektif lingkungan pada dasarnya mewakili konteks tata kelola

12
(governance) lokal yang mengedepankan hubungan lingkungan dengan manusia. Hal ini
menjadi pertimbangan utama dalam membingkai ulang kebijakan pembangunan lokal (Rees,
2015). Argumen ini konsisten dengan prinsip subsidiaritas yang beranggapan bahwa
kekuasaan praktis pada tata kelola level rendah harus dipengaruhi oleh kelompok masyarakat
setempat terutama dalam pengambilan keputusannya. Penekanan lokalisme pada lingkungan
berupaya mengerahkan kekuasaan dari pusat ke tingkat lokal untuk mempromosikan
keberlanjutan lingkungan (Cowell, 2015). Sebagian pendapat menempatkan lokalisme
lingkungan pada transisi keberlanjutan. Hal ini ditujukan pada konteks penyediaan perubahan
dan adaptasi hubungan manusia yang tergantung pada transisi teknologi baru untuk
mengatasi masalah yang harus diselesaikan (Geels, 2002; Bulkeley & Broto, 2013).
Kritik terhadap lokalisme lingkungan ini yaitu cara pandang lokalis-globalis terlalu
menitikberatkan pengaturan komunitas politik skala kecil untuk menangani kekacauan
ekologis, salah satunya dengan memobilisasi kesadaran massa terhadap keberlanjutan
lingkungan. Padahal penciptaan masalah lingkungan di setiap wilayah berbeda satu sama
lainnya, sehingga pengenalan atribut lingkungan dan perannya terhadap pengaturan
penghidupan sosial-ekonomi jauh lebih dibutuhkan untuk menyelidiki formulasi kebijakan
lokal yang efektif. Pemahaman tentang keberfungsian atribut lingkungan cenderung
diakomodir oleh perspektif spasial. Tvedt (2009) dan Henderson (2015) menyasar langsung
pada kawasan DAS sebagai atribut fisik wilayah yang berperan penting dalam
mengkonstruksi kehidupan sosial. Tidak hanya di Amerika yang menetapkan pembagian
wilayah berbasis DAS (Box, 1977; Tvedt & Jacobson, 2006), melainkan juga di Australia.
Henderson (2015) menjelaskan pembagian wilayah DAS di Australia mereplikasi laporan
ilmiah negara bagian Amerika sebagai dasar kebijakan pedesaan, bahkan sejak zaman
kolonial Inggris.
Kebijakan pengaturan air yang dirancang dalam Irrigation Act mengusung hak riparian
milik negara. Hak riparian yaitu pemberian hak kepada pemilik tanah hak untuk
menggunakan air yang ada dan atau mengalir melewati tanah mereka selama penggunaan
tersebut tidak secara substansial mempengaruhi kualitas air atau penggunaan ekonomi orang
lain (Foster 2000). Pengaturan air diperuntukkan mengatasi kelangkaan sumber daya air yang
berbanding terbalik dengan luasan tanah di Australia. Pasalnya, penyediaan air di Australia
selama beberapa dekade bagian dari kontrak sosial yang memberikan penghargaan kepada
petani dan cara hidup pedesaannya karena telah menyediakan ‘imbalan makanan’ kepada
negara. Oleh karena itu, water and the making of regional menjadi isu utama pembentukan
teritori pedesaan di Australia.

13
Perspektif-perspektif lokalisme ini menjadi tawaran bagi kebaruan studi pedesaan,
khususnya mengenai cara pandang terhadap desa. Perspektif sosiologi pedesaan secara umum
masih terbatas pada perkembangan sekelompok masyarakat yang hidup dan bergantung pada
pertanian, seperti Taylor (1923) yang mengemukakan pertanian sebagai fondasi awal dari
sosiologi pedesaan. Riset-riset yang berkembang dalam Journal of Rural Studies pun
cenderung memusatkan multifungsi pertanian sebagai paradigma mainstream pembangunan
desa (Ploeg & Roep, 2003; Shucksmith, 2012; Bock, 2016; Huttunen, 2019). Selain itu, pisau
analisis yang berkembang dalam sosiologi pedesaan juga belum spesifik (Lichter, 2015) dan
sangat bergantung pada tema-tema riset yang diturunkan dari konteks kebijakan, khususnya
yang berlaku di Amerika dan Eropa (Krannich, 2008; Conner, Jensen, dan Ransom, 2014).
Scoones (2015) menggagas perspektif penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood)
yang lebih komprehensif untuk menganalisis kehidupan masyarakat desa. Ia membangun
kerangka kerja yang multi-dimensional dari riset Chambers (1992, 2008) mengenai studi
lapangan desa, pendekatan geografi dari Sakdapolorak (2014), kolaborasi ekologis (Fardon
1990), analisis ekonomi pedesaan (Lipton dan Moore 1972), dan orientasi jaringan aktor
(Long 1984 dan Zoomers 2005).
Sosiologi pedesaan di Indonesia yang berkembang juga tidak lepas dari analisis
pertanian dan dinamika kelas pedesaan (Breman and Wiradi 2004), struktur sosio-ekonomi
pertanian (Iwamoto and Hartono 2009), dan kaitan analisis kelas dengan kapital sosial
(Lawang 2019, 2021). Di sisi lain, sosiologi pedesaan Mazhab Bogor (Dharmawan, 2007)
yang dipelopori dari pemikiran Sajogyo (1965), Tjondronegoro (2008,) Wiradi (2009)
menghasilkan perspektif agraria yang digunakan untuk membedah persoalan desa.
Pendekatan agraria yang berkembang menjadi politik agraria maupun agraria kritis ini
memandang pokok masalah pedesaan seputar ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekologis
disebabkan karena ketidakpahaman negara mengenai natur sosial dan lingkungan desa
(Rachman 2017; Afrizal 2012). Pendekatan agraria ini juga mendasari riset aksi mengenai
perjuangan atas kepemilikan dan pengurusan lahan hingga melahirkan gerakan sosial yang
mengkritisi kebijakan terkait desa
Berbeda dari arus utama sosiologi pedesaan yang bertumpu pada analisis ekonomi
pertanian dan agrari, konsepsi lokalisme yang digunakan berupaya membingkai ulang
perspektif sosiologi memandang desa. Dalam hal ini, desa sebagai kapasitas unit lokal untuk
menyelenggarakan tata kelola wilayah (lingkungan dan spasial). Terutama dalam
mengadakan hubungan lingkungan dengan manusia untuk memenuhi kebutuhan sosial dan
ekonomi. Untuk menandai keberfungsian lokalisme pedesaan, tesis ini berpendapat bahwa

14
penyelenggaraan kehidupan lokal perlu dikalibrasi – diujicobakan penerapannya – dalam
situasi konteks tertentu. Secara khusus tesis ini mengangkat konteks hubungan kelembagaan
(institusi) desa mengenai pengelolaan air bersih secara multi-level.
2.1.2 Lokalisme dalam Konteks Pedesaan Indonesia
Pandangan lokalisme yang telah diuraikan dari berbagai pustaka menjadi pijakan bagi
peneliti untuk membuat batasan lokalisme dalam konteks Indonesia yang ditinjau dari tiga
sudut pandang. Pertama, dari momentum kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah,
termasuk pula kebijakan desentralisasi desa yang senada dengan kebijakan Localism Act di
Inggris. Bertrand (2004) menandai kebijakan desentralisasi sebagai suatu arah baru bagi
demokratisasi dan otonomi daerah. Keputusan ini bahkan menjadi upaya mengkonfigurasi
lembaga politik untuk memperantarai konflik di masing-masing daerah.
Berbeda dari Localism Act yang menyasar langsung pemberian peluang kepada
komunitas publik untuk mencapai keberdayaan (Bentley & Pugalis, 2013), kebijakan
desentralisasi di Indonesia baru mengatur sebatas pemindahan kekuasaan politik dan
desentralisasi keuangan dari negara kepada pemerintah daerah. Keluaran peraturan
desentralisasi saat bersamaan dengan runtuhnya masa Orde Baru. Maka dari itu, tujuan
dibuatnya peraturan tersebut semata-mata untuk mereformasi hubungan pusat dan daerah.
Melalui kebijakan desentralisasi, negara menetapkan kerangka baru mengenai pengaturan
lembaga politik. Unit administratif negara di tingkat provinsi dan kabupaten menjadi diwakili
oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota (Antlov, 2001). Lembaga-
lembaga di tingkat daerah ini berkewajiban terhadap negara untuk menjalankan beberapa
fungsi yang sudah ditetapkan, antara lain mencakup kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan
pelayanan prasarana.
Bertrand (2004) juga menambahkan secara umum kebijakan otonomi memiliki efek
meredakan sebagian tuntutan lokal dan mencegah mobilisasi kemarahan kepada pemerintah
pusat. Alasannya, otonomi daerah berperan besar terhadap distribusi kekuasaan politik dan
representasi kendali atas sumber daya yang dikuasai negara kepada pemerintah tingkat
provinsi atau kabupaten. Pengembangan ekonomi pada waktu ini mengarahkan otoritas untuk
memanfaatkan sumber daya di lingkup daerah menurut kebutuhan khas wilayah tersebut.
Salah satunya, lewat konsentrasi ekonomi pertanian era Reformasi sekitar tahun 2000-an
awal. Misalnya, perhatian khusus terhadap kawasan agribisnis sayuran atau hortikultura
(KASS/KAHS) terpusat di Sumatera dan kawasan agropolitan (Saptana et al., 2005) menjadi
pendekatan strategis untuk penciptaan wilayah agropolis. Tujuannya mengimbangi
kesenjangan desa-kota dengan meningkatkan nilai produksi pertanian (Budianta, 2010). Akan

15
tetapi, pelaksanaan kawasan sentra sayuran dan kawasan agropolitan menemui kegagalan
lagi-lagi karena situasi kelembagaan pertanian yang tidak mapan mengembangkan
kelembagaan agribisnis (Saptana et al. 2004).
Namun pengembangan ekonomi di tingkat daerah justru masih bergantung pada
ekspansi negara. Salah satunya, melalui Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mengimbuhi wacana pembangunan era Reformasi
berbasis penguatan koridor ekonomi (Yanuardy, 2014). Tampak serupa tapi tak sama, model
pembangunan kawasan terus dilanggengkan hingga pemerintahan saat dalam bentuk
Nawacita. Namun, rencana pembangunan kawasan ini lebih memprioritaskan konsep
kawasan pinggiran yakni desa dan perdesaan1 (Budiman dan Hastangka, 2020). Selain itu
titik balik reformasi desa ketika Undang-Undang Desa disahkan yang menandai babak baru
demokrasi desa. Sama halnya dengan pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten atau
kota, pemerintah desa pun menerima mandatori pelaksanaan pembangunan yang
dilaksanakan secara hibrid (Irawan, 2017). Di satu sisi desa memperoleh transfer Dana Desa
dari pusat bersama petunjuk juknis penggunaannya. Sementara di sisi lain, desa menerima
wewenang subsidiaritas atas penyelenggaraan perencanaan pembangunan desa. Undang-
undang ini memberi peluang dan harapan baru bagi pembaruan desa. Pembaruan itu
menghasilkan perubahan birokratisasi kelembagaan politik administratif di tingkat desa yang
memperoleh inklusivitas kewenangan yang mencakup arena penataan, penyelenggaraan,
pembangunan, dan pembuatan peraturan desa (Zakaria dan Simarmata, 2014).
Meskipun demikian, pelaksanaan Undang-Undang Desa tetap mempunyai catatan kritis
berupa pertarungan antara visi kebijakan dan penelitian (White, 2017; Luthfi, 2017), serta
persoalan irelevansi antara demokratisasi dan ancaman akses pengelolaan sumber daya alam
(Shohibbudin, 2016). Masalah yang terakhir ini berkaitan dengan krisis pedesaan yaitu
kombinasi antara persoalan struktural yang berbenturan dengan masalah agraria dan ekologi
sehingga menciptakan ketidakmampuan unit desa menyediakan kebutuhan hidup. Catatan
evaluatif lainnya berkenaan dengan deliberasi pembangunan desa dinilai berpeluang besar
terhadap inkonsistensi praktik lapangan. Proses pembangunan desa menunjukkan realita
irelevansi. Studi Sambodho (2019) di Desa Sariendah di Jawa Bara yang merupakan lokus
riset populer dari Hans Antlov (2003) menunjukkan hegemoni negara tetap berlangsung

1 Tesis ini membedakan istilah perdesaan dan pedesaan. Penggunaan perdesaan merujuk pada istilah yang
banyak ditemui dalam narasi kebijakan dan sering dipadankan dengan frasa kawasan. Salah satunya dalam
Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 menerangkan pengertian kawasan perdesaan dalam Ketentuan
Umum Pasal 1 Poin 9. Sementara itu istilah pedesaan berasal dari penggunaan akademis, khususnya sosiologi
pedesaan, yang menggambarkan realitas sosial kehidupan masyarakat non-industri di unit wilayah terkecil.

16
dalam pemerintahan desa yang dilanjutkan. Aktor musrenbangdes di Desa Sariendah belum
mengakomodasi rutinitas perempuan yang rata-rata memiliki tanggung jawab pekerjaan
domestik dan publik. Demokratisasi belum menyasar perubahan fundamental praktik
citizenship sehari-hari karena diwarnai kelas sosial dan hubungan informal klientilistik (Vel,
Zakaria, dan Bedner, 2017).
Sudut pandang kedua mengenai karakteristik kehidupan sosial yang dapat ditemui
dalam pembagian wilayah kota dan desa. Pembagian kota-desa mencerminkan ideologi
dikotomis karena terperangkap dalam perbedaan satu sama lainnya seperti dikotomi ikatan
gemeinschaft dan gessellschaft (Sullivan, 1992). Pendapat ini menilai adanya keterkaitan
konstruksi atas kehidupan sosial berhubungan dengan tempat. Perjumpaan dengan bangunan
kerap ditemui di perkotaan sehingga karakter masyarakatnya dengan urban culture.
Hubungan sosial yang dicirikan dengan segmentasi peran dan keragaman loyalitas terhadap
hubungan sosial sekunder daripada hubungan sosial primer. Bayangan kehidupan pedesaan
yang diidentifikasi Sullivan (1992) terdiri dari kelompok komunal karena memiliki hubungan
erat dengan tanah sebagai tempat kehidupan berasal. Peneliti memahami bahwa tanah yang
diartikan sebagai lingkungan serta ikatan yang berlangsung merupakan kekuatan kehidupan
komunal di pedesaan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, tempat (wilayah) dan
kehidupan sosial merupakan unsur penting dalam memandang lokalisme di Indonesia.
Pandangan ini berkaitan dengan sudut pandang yang ketiga yang menilik rekonstruksi
geohistoris dalam menjembatani lokalisme di Indonesia. Pada dasarnya suatu wilayah
geografis menyimpan proses historis yang kompleks, sehingga untuk memperoleh gambaran
tentang penataan wilayah desa perlu kerangka sejarah perkembangan masyarakat di
Indonesia. Periodisasi ataupun sejarah perkembangan masyarakat Indonesia tidak terlepas
dari pengaruh Hindunisasi (masa kerajaan Hindu), Islamisasi ketika masuknya persebaran
agama Islam, dan kolonialisme yang merombak struktur sosial masyarakat (Geertz, 1981).
Ketiga pembabakan masa ini memiliki fungsi dan tujuan masing-masing. Misalnya, proses
Islamisasi yang menghapus struktur kasta kerajaan dengan semangat egaliter. Kemudian,
Westernisasi yang juga membantu menyusun kerangka holistik mengenai ke-Indonesia-an.
Terutama para antropolog Belanda yang mempelajari sejarah masyarakat, seluk-beluk cara
pandang dan bagaimana masyarakat Indonesia hidup yang kemudian hari berguna menjadi
kacamata membaca Indonesia.
Sejarah Indonesia menurut Vlekke (2016) berawal dari desa yang merupakan cikal
bakal peradaban masyarakat. Sedari awal kemunculan orang-orang Indonesia (Nusantara)
berasal dari desa, meskipun beberapa tempat di luar Jawa menyebutnya dengan kampung,

17
nagari, atau kuta. Kaitan desa dengan tempat digambarkan secara gamblang melalui
sekelompok rumah dengan lahan pertanian atau lumbung dan halaman yang mencakup juga
kepemilikan terhadap budidaya lahan tani atau sawah. Di sisi lain, desa merupakan kesatuan
teritorial terkecil (wanua karaman) dari wilayah kerajaan yang konsentris. Artinya, desa
merupakan bagian dari struktur geografi yang juga mencerminkan struktur sosial. Lombard
(2005) menggarisbawahi struktur sosial pedesaan sangat kuat susunan hirarkinya. Individu
tidak tampil secara bebas, melainkan bagian dari jaringan sosial yang disusun berdasarkan
hubungan raja-kawula atau patron-klien. Hak milik tempat (tanah) merupakan kepemilikan
tunggal seorang raja.
Raja dianggap sebagai poros kerajaan karena bertempat tinggal di tengah-tengah kota –
atau pusat kerajaan – bersama dengan pemerintahan dalamnya (parentah jero). Di sekitar
istana ibukota yang disebut dengan nagara mirip seperti negara itu sendiri merupakan tempat
pemerintahan luar (parentah jaba) dan kediaman kaum bangsawan dan priyayi. Sekitaran
ibukota terdapat lingkaran nagaragung yang berarti ibukota besar. Kemudian, terdapat
daerah-daerah kantong atau narawita yang berada dibawah kekuasaan raja berfungsi sebagai
daerah penghasil bahan pokok yang dibutuhkan lingkungan istana. Lingkaran luar terakhir,
lingkaran mancanagara, merupakan setara dengan provinsi yang letaknya jauh dan
berkedudukan sebagai tanah lungguh. Di wilayah ini raja mengangkat bupati yaitu kepala
daerah yang langsung tunduk pada patih (penasihat raja). Besarnya peran raja diketahui
karena pengaruh struktur agama Hindu yang menerapkan sistem kasta ala India. Termasuk
sistem pembagian ruang pemerintahan yang berdasar pada konsep denah Candi Plaosan Lor
(Lombard, 2005).
Kewilayahan desa dikatakan Geertz (1981) sebagai miniatur state karena menunjukkan
hubungan sosial beragam dan struktur pemerintahan hirarkis yang memiliki fungsi penataan
masyarakat dan wilayah. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaturan kehidupan zaman
kolonialisme telah mengubah organ-organ administrasi desa menjadi birokratis. Akan tetapi,
sistem kepemimpinan dan persepsi mengenai pengaturan kehidupan dihadapkan pada warisan
semi feodal dalam bentuk halus maupun otoriter. Terkait hal ini, Antlov (2001) menjelaskan
‘pamong desa’ yang lahir dari Undang-Undang Desa lama seperti ‘parasit sosial’ karena
menjalankan dualitas peran. Kehadiran pamong sebagai perwakilan organisasi negara yang
menjalankan administrasi di tingkat desa sekaligus birokrat desa yang menginginkan politik
dan penguasaan ekonomi lokal seperti tanah dan sumber pertanian. Namun di sisi lain,
keberadaan pamong desa atau aparatur desa memanifestasikan perkembangan fungsi
administratif desa.

18
Munculnya aparatur desa menandai bahwa karakter negara telah memperbarui organ-
organ desa dengan sifat birokratis namun tetap elitis. Hal ini mengingatkan pada praktik
kekuasaan ‘negara teater’ yang mendominasi hubungan kekuasaan negara-desa di Asia
Tenggara. Geertz (1981) mendefinisikan desa sebagai unit organik yang berdiri sendiri
berdasarkan kosmologis dan tumbuh dari perkembangan sosial-budaya, sedangkan negara
dilekatkan pada sifat sewenang-wenang terhadap kehidupan desa serta memamerkan
kekuasaan simbolik lewat praktik budaya upacara. Geertz (1981) menyoroti relasi kekuasaan
negara dengan praktik budaya lokal dan representasi negara yang dibangun melalui ritual dan
tradisi politik. Namun kondisi hari ini berubah, setidaknya semenjak Undang-Undang Desa
yang baru mereformasi relasi administratif dan struktural desa yang mengedepankan
subsidiaritas dan rekognisi penyelenggaraan kehidupan desa.
Bertolak dari itu, diperlukan penyelidikan yang melampaui Geertz untuk mencermati
situasi empiris dinamika pengorganisasian desa, karena banyak praktik kehidupan desa yang
telah meminggirkan pola perkembangan budaya. Dalam arti, penguasaan negara bukan lagi
secara simbolik dalam praktik budaya, tetapi melalui serangkaian narasi kebijakan yang
mengarah pada pengaturan administratif dan tindakan ekonomi. Di sisi lain, dengan
meluasnya kegiatan sosial ekonomi di bawah aturan-aturan keputusan rasional di kehidupan
pedesaan, seperti yang tampak dalam sistem birokrasi dan administrasi pemerintahan,
berpeluang membatasi otonomi desa dalam merumuskan nilai-nilai tertinggi yang
mengarahkan tindakan dan orientasi terencana dari pencapaian nilai tersebut (Hardiman,
2009). Dalam tata kelola modern mementingkan komitmen rasional terhadap nilai-nilai yang
dihayati secara pribadi atau kolektif yang didorong menjadi bentuk dari isi kesadaran.
2.1.3 Subsidiaritas dan Rekognisi : Peluang bagi Desa
Riset-riset awal pedesaan Indonesia (Breman 1982; Husken 1998) mengemukakan dua
cara pandang mengenai desa. Pandangan komunitas romantik menganggap desa karakteristik
guyub dan kohesif desa yang berbeda dari kota (Redfield, 1989; Darmajanti & Starlita, 2012;
Muryanti, 2018), sedangkan cara pandang kedua melekat pada pendekatan konflik.
Pendekatan ini memfokuskan analisisnya pada diferensiasi sosial yang berlangsung akibat
suprastruktur mendorong perubahan relasi dan tindakan produksi pada konteks pedesaan
(Bernstein, 2015). Pemikiran kedua berkaitan erat dengan kerangka ekonomi politik yang
mengadaptasi aliran Marxis. Sederet leksikon ‘partisipasi, demokrasi, swasembada’ termuat
dalam Undang-Undang Desa dimaknai secara utopis oleh kalangan progresif ini (White,
2017). Mereka beranggapan bahwa itu hanya retorika demokratis yang diusung untuk
kalkulasi kepentingan wali perencana (Li, 2020).

19
Konsepsi tentang desa juga banyak dipengaruhi oleh Indonesianis yang secara tidak
langsung berkontribusi merumuskan identitas desa. Pemikiran Anderson (2006) mengilhami
cara pandang mengenai desa sebagai miniatur komunitas politik. Hoadley & Gunnarsson
(1996) berangkat dari pendekatan post-kolonialisme untuk menyatakan desa dibentuk akibat
kebijakan kolonial. Antlöv (2003) memusatkan perhatian pada reformasi politik yang
mengubah kerangka sentralistik dan seragam dengan menciptakan peluang demokratisasi di
tingkat lokal. Beberapa studi dari politik-kewarganegaran yang relevan dengan rezim
otonomi desa hari ini yaitu Antlöv, Wetterberg, dan Dharmawan (2016) dan Sambodho
(2019). Namun, studi tersebut bersikap pesimis terhadap keberlangsungan Undang-Undang
Desa karena menemukan keterbatasan pada tataran praktis dari relasi negara terhadap desa
(Vel, Zakaria, dan Bedner, 2017).
Skeptisme pemikiran kritis mengenai hubungan negara dan desa disebabkan oleh
ketidakmampuan negara mengintrusi transformasi struktur dan dinamika sosial desa yang
dominan akan relasi klientilistik dan patrimonial (Brand, 2013; Sambodho, 2019). Terkait hal
ini, Shohibuddin (2016) menyebutkan ada empat kegagalan Undang-Undang Desa. Pertama,
masalah irelevansi Undang-Undang Desa dengan krisis pedesaan yang menjadi konteks
pelaksanaannya. Selanjutnya, masalah tata kelola menjadi persoalan berikutnya yang
dihadapi dalam memberikan kewenangan secara penuh untuk mengurusi sumber daya alam
di wilayahnya. Kemudian, masalah tawanan elit menjadi tantangan internal karena wewenang
pemerintahan rentan disalahgunakan oleh sebagian elit desa. Termasuk pula masalah relasi
kuasa disebabkan posisi daya tawar desa di tengah konstelasi kekuasaan yang melingkupinya
terutama di bidang sumber daya alam.
Bertolak dari pendekatan kritis yang menilai pesimis keberfungsian institusional untuk
menjamin desa mereformasi penyelenggaraan pemerintahan internal. Pendekatan institusional
memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat peluang desa. Adanya perubahan di
tataran institusional berupa Undang-Undang Desa yang baru dapat mendorong proses
pelembagaan di tingkat pusat, regional, dan lokal. Perubahan yang dimaksud Clark, Southern,
dan Beer (2007) ini mengarah pada variasi kelembagaan yang kontekstual. Situasi sangat
mungkin dibatasi dan dibentuk oleh kerangka kelembagaan yang ada di level makro, nilai-
nilai yang mendasari interaksi, logika kesesuaian serta distribusi sumber daya politik. Selama
institusi desa beradaptasi terhadap dinamika praktik dan benturan institusional
memungkinkan terjadinya perubahan dan keselarasan. Terkait hal ini, pengetahuan,
komunikasi, dan inisiatif memfasilitasi logika institusional menghasilkan perubahan yang
bertahap (Knook dan Turner, 2020). Sementara itu Firdaus, Hardjosoekarto, dan Lawang

20
(2021) mengangkat sektor desa wisata (tourism) berperan menghasilkan perubahan desa.
Studi ini berfokus pada pemerintah desa sebagai aktor utama yang menjalankan
pengembangan kelembagaan. Keterbatasan dari studi ini hanya terpusat pada proses lembaga
formal, sementara keterlibatan lembaga informal tidak dibahas secara mendalam. Banyak
aturan main informal yang diciptakan, dikomunikasikan, dan ditegakkan di luar saluran resmi
berperan membentuk norma birokrasi dan bahkan menyusun kehidupan politik. Menurut
Helmke dan Levitsky (2004) analisis kelembagaan membutuhkan perhatian secara berimbang
dari aturan formal dan informal. Wang (2020) mengadaptasi pemikiran Helmke dan Levitsky
(2004) untuk menyelidiki interaksi institusi lokal dan pusat dalam pengambilan keputusan
pembangunan desa wisata. Pemikiran institusionalis ini berpandangan bahwa institusi
dianggap mewujudkan nilai-nilai dan hubungan kekuasaan. Institusi tidak berdiri sendiri,
akan tetapi saling terkait dalam sistem kelembagaan (Aoki, 2007).
Subsidiaritas menandai praktik lokalisme sebagai strategi politik yang mengacu pada
pelimpahan kekuasaan dan sumber daya dari pusat. Subsidiaritas juga dikatakan sebagai
bentuk lain (old wine in new bottles) dari lokalisme karena pelimpahan kekuasaan melibatkan
lembaga lokal, seperti pemerintah daerah (Evans, 2013; Ercan & Hendriks, 2013). Variasi
lokalisme ini memberi ruang ‘manuver’ bagi tingkat otoritas yang lebih rendah. Subsidiaritas
juga membuka jalan bagi sistem pemerintahan di mana tingkat kekuasaan yang beragam
dapat bekerja sama secara fungsional. Masing-masing pemerintahan memainkan peran dalam
organisasi hierarkis. Oleh karena itu, tingkat otonomi yang ditawarkan dalam subsidiaritas
kepada tingkat otoritas yang lebih rendah mempertahankan kontrol yang diberikan oleh pusat.
Subsidiaritas merupakan konsep yang dikembangkan sebagai alternatif dari tipikal organisasi
otoriter dan birokratis.
Selama ini, ruang gerak pemerintahan lokal, terutama desa, terbatas karena
keberagamannya diperlakukan dengan cara pandang yang seragam. Akibatnya, pemerintah
lokal tidak memiliki kemampuan membuat keputusan berdasarkan penilaian dan kapasitasnya
sendiri. Dalam hal ini, subsidiaritas menawarkan bentuk desentralisasi berdasarkan keyakinan
bahwa penyerahan kekuasaan dan pengambilan keputusan di tingkat lokal dapat berkontribusi
pada produktivitas yang lebih tinggi, praktik kerja yang lebih baik, dan hubungan politik
yang demokratis (Madanipour dan Davoudi, 2015). Sekilas subsidiaritas cenderung top-
down, akan tetapi, prinsip subsidiaritas mengedepankan pentingnya pembuatan kebijakan
publik yang sesuai dengan kebutuhan tempat individu dan pertimbangan holistik (Arribas &
Bourdin, 2012; Painter et al., 2011)
Kebijakan desentralisasi yang mengandung pernyataan subsidiaritas yaitu dalam

21
material peraturan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Pasal 3 Undang-Undang
Desa menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa harus berasaskan subsidiaritas
dan rekognisi (White, 2017). Zakaria (2014) menyampaikan bahwa hak-hak konstitusional
yang diperoleh desa melalui Undang-Undang Desa yang baru melampaui kewenangan
administratif. Pasalnya, kedudukan desa tidak lagi termasuk bagian sistem pemerintah
kabupaten, melainkan berada dalam pemerintah kabupaten secara langsung. Artinya, desa
dapat menjalani kewenangan yang luas untuk menyelenggarakan pemerintahan tanpa melalui
mekanisme penyerahan wewenang dari kabupaten atau kota (Timotius, 2018). Zakaria (2014)
dan Shohibbudin (2016) menyatakan pembaruan kewenangan desa yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Desa turut menghasilkan otonomi desa yang baru. Lima pokok pembaruan
tersebut diantaranya pengaturan internal desa yang beragam, kewenangan desa berdasarkan
asas rekoginisi dan subsidiaritas, konsolidasi keuangan dan aset desa, perencanaan
pembangunan yang terintegrasi, dan demokratisasi melalui partisipasi, pemberdayaan, dan
pendampingan.
Asas subsidiaritas dan rekognisi menjadi terobosan politis yang membawa pembaruan
dan memberikan peluang bagi kewenangan pemerintah desa yang melampaui sistem
desentralisasi. Asas subsidiaritas merujuk pada legitimasi berskala lokal perihal pengambilan
keputusan untuk kepentingan masyarakat (Zakaria, 2014; Hariri, 2019). Sementara itu, asas
rekognisi menekankan bahwa desa mendapat pengakuan atas hak asal-usul meliputi tata
organisasi, tata aturan yang digunakan, dan pengakuan atas hak yang menjadi basis material
kehidupan masyarakat. Cakupan asas ini juga termasuk redistribusi ekonomi dari negara
kepada desa yang terejawantah dalam alokasi Dana Desa yang pelaksanaannya berupa
transfer dana. Hadirnya Undang-Undang Desa memperkuat fungsi dan kedudukan lembaga-
lembaga pemerintahan desa seperti kepala desa yang menjalankan fungsi eksekutif dan BPD
(Badan Permusyawaratan Desa) sebagai lembaga legislatif, tidak terkecuali kelembagaan
ekonomi desa atau BUMDes (Hariri, 2018).
Penegakan Undang-Undang Desa perlu dikroscek pada tataran praktik penerapan dan
implementasi. Perihal ini, Sukasmanto et.al (2020) menyoroti 12 isu pelaksanaan Undang-
Undang Desa yang terdiri dari aset desa, penataan desa, kewenangan desa, pengisian
perangkat desa, pemberdayaan ekonomi, demokratisasi desa, perencanaan dan penganggaran
desa, keuangan desa, akuntabilitas dan inklusi sosial di desa, pendampingan desa, sistem
informasi desa, dan penataan kawasan perdesaan. Pengejawantahan 12 isu berasal dari
sinkronisasi regulasi turunan Undang-Undang Desa yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2014 jo Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah

22
Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN jo Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016. Secara garis besar penelitian ini melihat aktualisasi
subsidiaritas dan rekognisi dalam persoalan keruangan dan kewenangan desa karena
menekankan ketata-wilayahan desa. Dengan merujuk Sukasmanto et.al (2020), peneliti
membatasi subsidiaritas dan rekognisi pada 4 isu, yaitu penataan desa, aset desa, kewenangan
desa, dan penataan kawasan perdesaan.
Penataan desa merujuk pada konteks batas wilayah desa yang lebih jelasnya
diterangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Desa tentang pengertian desa. Isu penataan desa
ini mewakili asas rekognisi yang menegaskan prakarsa masyarakat terlibat dalam penentuan
batas dan status desa. Sementara itu, aset desa mencakup kepemilikan desa sebagaimana
dijelaskan juga dalam Pasal 1 berasal dari kekayaan asli desa dengan cara dibeli atau
diperoleh melalui APBDes. Pengelolaan aset desa ini juga menegaskan inventarisasi tata
ruang yang dimiliki desa seperti hutan milik desa, mata air desa, dan aset lainnya.
Kewenangan desa meliputi seluruh penyelenggaraan pemerintahan desa untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dalam Undang-Undang Desa, kewenangan desa
diatur dalam Pasal 18 tentang rincian kewenangan desa dan Pasal 19 yang menjelaskan jenis-
jenis kewenangan. Berkenaan dengan tata wilayah, isu penataan kawasan perdesaan menjadi
krusial karena memadukan ketiga isu sebelumnya. Undang-Undang Desa memandatkan
pengaturan dan pembangunan kawasan perdesaan diatur lebih lanjut bersama dengan
pemerintah kabupaten/kota. Ini menunjukkan bahwa kawasan perdesaan menjadi bagian dari
tata ruang kabupaten/kota.
2.1.4 Kawasan Daerah Aliran Sungai sebagai Sumber Penataan Masyarakat Desa
Pendefinisian DAS dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 merujuk pada
wilayah kesatuan sungai dan anak sungai yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke laut secara alami. Kawasan DAS terbagi
menjadi sub-sub atau bagian DAS yang terletak di hulu, tengah, dan hilir. Sub-DAS hulu
merupakan kawasan drainase utama berupa anak sungai dan berfungsi penyedia air yang
berasal dari mata air atau catchment area yang biasanya terletak di kawasan hutan. Delineasi
kawasan DAS dalam tesis ini merupakan kawasan Sub-DAS hulu yang mencakup kawasan
hutan (forested watershed). Secara topografi, keberadaan hulu sungai sangat bergantung pada
kondisi hutan.
Fungsi hutan di dataran tinggi membentuk cekungan yang menjadi ekosistem mata air,
sementara hutan sebagai tempat menyimpan air (forest-water nexus). Aliran dari mata air
yang berkumpul di titik rendah kemudian membentuk aliran sungai. Dengan kata lain, tesis

23
ini menggambarkan keterkaitan kawasan DAS dengan tata kelola air bersih sebagai sistem
ketersediaan air. Apabila terjadi kerusakan hutan akibat alih fungsi lahan maka akan
mempengaruhi fungsi dan daya dukung sumber mata air (Maria dan Lestiana, 2014). Air
hujan seharusnya dapat disimpan dalam tanah menjadi tidak dapat diserap karena hilangnya
pepohonan sehingga menyebabkan permukaan run-off (Fatahillah, 2013). Sementara untuk
mengatasi munculnya permasalahan pengelolaan DAS harus diselenggarakan dengan
mengedepankan prinsip kelestarian.
Peraturan pengelolaan DAS menyebutkan institusi yang berperan dalam pengelolaan
DAS bersifat multi pihak. Dalam hal ini, pemerintah daerah melibatkan koordinasi tingkat
provinsi dan kabupaten/kota. Secara keruangan, hulu DAS terdiri dari kawasan hutan dan
non-hutan sehingga dinamika kelembagaan juga harus melibatkan institusi pengelola hutan
seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Perhutani. Akan tetapi,
keterlibatan pemerintah desa yang menempati ruang DAS belum diatur dalam Peraturan
Pengelolaan DAS hanya dinyatakan sebagai instansi terkait. Artinya, peraturan ini belum
mengikuti perubahan kewenangan pemerintah desa. Meskipun dasar peraturan telah
menetapkan pengelolaan DAS secara terpadu, justru pada era otonomi daerah menemui
ketidakpaduan pengelolaan antara sektor di wilayah hulu hingga hilir. Mardimin (2014)
menyebutnya sebagai egoisme sektoral di tingkat daerah telah menjadi tantangan bagi
pengelolaan kawasan DAS.
Pengelolaan DAS terpadu mencerminkan penataan masyarakat berbasis wilayah.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 mengedepankan agar pihak-pihak terkait
mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem sumber daya air beserta pemanfaatannya
secara berkelanjutan. Selama ini pengelolaan DAS diselenggarakan berbasis otonomi daerah,
di mana pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pengaturan batas-batas DAS. Akan
tetapi, pelaksanaan masih sektoral karena belum melibatkan institusi di tingkat desa.
(Mardimin, 2014). Urgensi kawasan DAS dengan penataan masyarakat desa bertujuan untuk
mengurai pembangunan desa berbasis jati diri wilayah. Usaha yang krusial dirintis untuk
menemukenali khazanah desa berbasis karakteristik kawasan.
Jati diri wilayah merupakan nilai esoteris yang selama ini melekat dalam tata cara
masyarakat Indonesia melakoni kehidupannya dari menata lingkungan. Nilai esoteris yang
bermakna prinsipil ini dekat dengan konsep menempatkan sesuatu sesuai ukuran dan
kadarnya. Penelusuran sejarah kenusantaraan membuktikan bahwa sebagian besar kelompok
masyarakat memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan mengelola tempat tinggal. Bentang
alam gunung api di Indonesia merupakan pasak dari banyak peradaban masyarakat karena

24
mengalir dibawahnya sungai-sungai yang menjadi sumber penghidupan. Pandangan ini
menjadi titik krusial bagi studi pedesaan yang menekankan relasi masyarakat dengan
lingkungan (Buttel, 2001). Terutama penelitian yang mengarahkan subjek masyarakat untuk
membaca dan menemu kenali wilayah tempat tinggalnya.
Untuk mencapai tujuannya, pembangunan membutuhkan orientasi ruang atau
pengenalan lingkup spasial. Kepentingan perspektif tata wilayah dalam pembangunan untuk
memposisikan lingkungan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas, mental, kebudayaan, dan
struktur sosial masyarakat. Cara pandang industri akan membuat pembangunan berbasis
industri, atau cara pandang agraris akan membuat tata ruang berbasis pertanian. Dengan
begitu, perspektif tata wilayah mengorientasikan pembangunan berdasarkan dengan
paradigma (cara pandang), mental, corak budaya, dan karakteristik spasial di suatu wilayah.
Konsepsi jati diri wilayah bukan gagasan utopis, melainkan usaha yang harus diikhtiarkan
untuk menemukenali kesadaran pembangunan yang tercerabut. Pemikiran ini relatif
sependapat dengan post-development studies yang berkembang di Amerika Latin, khususnya
dalam posisi, memahami masyarakat adalah seni dalam pembangunan (Escobar 1992;
Pieterse 2000, 2010). Upaya ini dimulai dari mendorong kesadaran masyarakat dalam
memandang kehidupannya sendiri (Rifandini, 2018).
Tinjauan historis perlu dikedepankan dalam menggali penataan masyarakat berbasis
wilayah. Dengan pemahaman bahwa sejarah bukan sekadar artefak peristiwa. Penataan
wilayah dalam naskah filologis seperti babad atau hikayat mencatat wicaksana (bijaksana)
raja merupakan perangkat transendental yang digunakan untuk menciptakan aturan hidup
bersama berdasarkan ruang geografis dan keadaan alam. Penafsiran terhadap konsep magis-
religius ini harus cermat, agar tidak berujung pada pereduksian makna dan cara terkait
bagaimana kekuasaan dapat diterapkan secara praktis (Kuntowijoyo, 2004; Moertono, 2017).
Maka dari itu, merangkai konsep jati diri wilayah konteks hari ini dengan melakukan riset-
riset saintifik antar disiplin yang objektif. Salah satu usaha yang ditempuh berkenaan dengan
penataan masyarakat ialah mengkalibrasi paradigma-paradigma dalam disiplin sosiologi
untuk mengarahkan paradigma pembangunan desa yang sesuai dengan jati diri masyarakat
berbasis karakter wilayahnya. Secara harfiah, arti pembangunan itu merekayasa ruang yang
semula tidak ada bangunan menjadi ada.
Dalam kosmologi Sunda mengenal konsep tritangtu yang mengedepankan tata wilayah
sebagai landasan etis dalam menata masyarakat. Konsep ini mendarat pada pembagian
kawasan wilayah yang terdiri dari kawasan pemukiman, hutan lindung, dan hutan produksi.
Sederhananya, masyarakat Sunda selalu berkaitan dengan unsur hutan dan air. (Suyatman,

25
2021; DW, 2020). Dimensi teologis yang kuat mengenai tata wilayah juga ditemui dalam
masyarakat Hindu di Bali. Konsep Tri Hita Karana yang berasal dari ajaran Hindu mendasari
perangkat aturan yang berlaku dalam masyarakat desa-desa adat di Bali. Kelembagaan subak
termasuk entitas sosio-teologis yang merepresentasikan nilai transenden Tri Hita Karana ke
dalam organisasi sosial ekonomi, khususnya mengurusi pengelolaan air irigasi berdasarkan
lahan sawah dan pertanian di setiap desa (Norken, Suputra, dan Arsana, 2017). Unsur
ketigaan menjadi benang merah dari konsep filosofis Tri Hita Karana maupun tritangtu yaitu
hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan tempat tinggal (alam), dan hubungan sesama
manusia (Tarigan, Dharmawan, dan Tjondronegoro, 2014; Gunawan, 2013). Terkait hal ini,
penataan masyarakat menurut tata ruang juga berlaku dalam konteks global yang mengerucut
pada hubungan manusia terhadap pengendalian atas air. Pertimbangan terhadap perspektif
sejarah akan dapat menunjukkan sisi relevansi sejarah masyarakat akan selalu berkaitan
dengan keberadaan air.
Kota-kota besar pusat peradaban manusia, seperti Mesir yang terkenal agraris, telah
membangun jalur perpipaan dan sistem hidrolik untuk mendukung aktivitas penghidupan
ekonomi (Gioda, 1999). Kemenangan ideologi dan budaya manusia atas pengendalian air
pada zaman Yunani Kuno bahkan direpresentasikan dengan membangun air mancur hias di
seluruh pusat kota. Oleh karena itu, “Water History is World History” adalah ungkapan yang
tepat untuk menggambarkan bahwa manusia di berbagai belahan dunia akan selalu
bergantung pada sumber air bersih (Tvedt dan Jakobsson, 2006). Report on the Arid Lands
of the United States (Box, 1977) menjadi laporan ilmiah pertama yang merekomendasikan
pemerintah negara bagian di Amerika untuk menjadikan batasan daerah aliran sungai (DAS)
sebagai dasar pembagian wilayah. Laporan ini mendelegasikan kepada penyelenggara
pemerintahan semestinya memiliki pengetahuan tentang kawasan DAS untuk menghindari
ketidakmerataan dan privatisasi air dan ketimpangan kepemilikan lahan pertanian.
Tesis ini secara spesifik mengaitkan kawasan Sub-DAS hulu dengan keberlangsungan
siklus air bersih didasari hubungan hutan dan air (forest-water nexus). Keberadaan air bersih
dipengaruhi dengan pola penggunaan kawasan hutan dan sistem masyarakat dalam
mendayagunakan air. Ekosistem hutan di kawasan hulu berfungsi untuk lebih dari 75%
pasokan air. Namun hanya 12% dari hutan dunia yang dikelola untuk ketahanan air sebagai
tujuan utama (FAO, IUFO & USDA, 2021). Definisi air bersih menurut Permenkes Nomor
416 Tahun 1990 yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya
memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Peraturan Menteri
Kesehatan saat ini tidak berlaku karena digantikan dengan Permenkes Nomor 32 Tahun 2017

26
yang menjelaskan standar baku mutu air. Akan tetapi, definisi air bersih dalam peraturan
yang baru hanya terbatas untuk higiene sanitasi, solus aqua, kolam renang, dan pemandian
umum.
Definisi air bersih dalam lingkup tesis ini berdasarkan sumber asal air dan bentuk
penggunaan air. Pendefinisian merujuk perluasan dari penjelasan Undang-Undang Sumber
Daya Air Nomor 17 Tahun 2019 mengenai definisi air permukaan dan pendayagunaan
sumber daya air. Potensi sumber air yang ditemui di setiap desa sebagian besar berasal dari
mata air yang berada di ketinggian di atas 1000 mdpl. Secara umum, mata air terdapat pada
patahan bebatuan karena kondisi topografi dan akibat proses alami membuat aliran air tanah
yang muncul ke permukaan. Sementara itu, pendefinisian bentuk penggunaan air didasari
pada realitas kebutuhan masyarakat desa. Dalam hal ini, prioritas pemenuhan kebutuhan air
diperuntukkan bagi irigasi pemukiman dan aktivitas pertanian dan peternakan.
2.1.5 Keterkaitan Tata Kelola Air Bersih dengan Perspektif Sosiologi Ekonomi
Dulunya ketersediaan air hampir tidak ada hubungannya dengan perdagangan karena
air bersumber dari mata air, sungai dan cabang sungai, sumur dan waduk yang tersedia tanpa
adanya transaksi biaya (Gioda, 1999). Kemudian masyarakat berkembang, manusia
mengalami perubahan, begitu pula pola kebutuhan dengan air. Persebaran air kemudian
terbagi menjadi barang komersil dan non-komersil. Muncul hukum dan kontrak sosial yang
menyepakati tentang penggunaan air. Perspektif sejarah dan politik penting untuk
membangun kerangka pengelolaan sumber daya air yang terpadu. Terutama terkait peran
negara dalam merumuskan kebijakan penggunaan sumber daya air (Pasandaran, 2007).
Tata kelola air bersih dalam tesis ini mengarah pada water governance daripada water
management yang cenderung menekankan pendekatan teknik terhadap pengelolaan sumber
daya air. Water management cenderung memperhatikan perhitungan, konservasi, dan
pengendalian kualitas air untuk memenuhi permintaan sumber daya air (Gleick, 2002;
Demin, 2009). Sementara water governance mengacu pada sistem politik, ekonomi, dan
administrasi yang mempengaruhi penggunaan dan pengelolaan sumber daya air (UNDP,
2000). Kusumah dan Mustofa (2020) menggarisbawahi bahwa pelaksanaan water
governance di Indonesia berada dalam kompleksitas relasi antar aktor yang terdiri dari
pemerintah, swasta, dan masyarakat yang melibatkan aspek multidimensional. Harmes (2021)
mengatakan bahwa tata kelola dalam arti governance menunjukkan koordinasi publik yang
luas baik formal maupun informal dalam suatu wilayah. Tata kelola pada umumnya memiliki
dimensi sosial dan kelembagaan yang kuat serta memerlukan peran penting dari berbagai
pihak untuk sektor ekonomi dan terlebih lagi pengambilan keputusan.

27
Menurut Dupuits dan Garcia (2016) air merupakan barang bersama (common good)
karena sumber dan pengelolaannya diatur secara kolektif. Keberadaan air sebagai objek alam
dikonstruksikan secara sosial menjadi rawan terhadap konflik penguasaan. Travieso (2016)
mengatakan bahwa sumber daya air sebagai wilayah hidro sosial berpeluang terjadinya
perebutan penguasaan air yang berujung pada perebutan konfigurasi wilayah yang dibingkai
atas klaim-klaim persaingan. Perdebatan mengenai tata kelola air mengarah pada privatisasi
air (Bakker, 2010), konflik antar warga dengan perusahaan (Hakim et al., 2010; Sukayadi et
al., 2014; Harnanto et al., 2018), atau pengabaian aspek ekologi yang dapat menyebabkan
ketidakberlanjutan hidrologi air (Fahrunnisa, Soetarto, dan Pandjaitan, 2016; Sudarmadji et
al., 2016). Untuk mengatasi hal ini, Delgado et al. (2021) berpendapat bahwa perlunya
pendekatan multi-level dalam tata kelola air terutama konteks pedesaan.
Di tingkat mikro pedesaan Indonesia, air merupakan komoditas pertukaran sekaligus
kebutuhan pokok yang menyuplai sektor utama pertanian. Dalam arti lain air merupakan
barang ekonomi yang ditransaksikan. Keabsahan pemerintah desa memperlakukan air sebagai
barang ekonomi dari Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Dalam undang-undang ini,
air dan termasuk mata air merupakan aset desa, sehingga desa dapat mengartikulasikan
kewenangannya untuk mengelola air bersih dalam berbagai mekanisme kegiatan ekonomi.
Pengelolaan yang jamak ditemui antara lain pengelolaan air bersih atau PAB (Samsir, 2016),
pembangunan embung desa yang ditujukan irigasi pertanian (Dangnga, 2019; Johaniah &
Agustina, 2017), dan pengelolaan usaha HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air
Minum) (Isnaini et al., 2019). Badan usaha milik desa (BUMDes) menjadi satu-satunya
organisasi ekonomi formal tingkat desa yang menggawangi pengelolaan air bersih.
Organisasi ekonomi lokal ini menjadikan air sebagai sumber pendapatan asli desa melalui
berbagai skema pengelolaan.
Melalui kewenangan dari negara, desa sebenarnya dapat melakukan monopoli usaha
penggunaan air untuk memasok seluruh kebutuhan, namun ternyata desa masih menemui
kendala. Perbenturan antara norma dan aturan yang telah terbentuk dengan hasil intervensi
negara membatasi dinamika interaksi masyarakat dengan air (Both, Boelens, dan Zwarteveen,
2015). Belum lagi masalah kekuasaan dan pola pembangunan berubah menjadi ancaman
eksogen bagi pedesaan. Pengembangan sumber daya alam produktif di wilayah pedesaan
dialihkan pada hak sumber daya alam yang diprivatisasi menyebabkan kondisi ketidakpastian
dan gangguan keseimbangan pemenuhan kehidupan desa. Alhasil, perpaduan kelembagaan
dan hibriditas institusional menjadi tren tata kelola sumber daya alam di tingkat lokal
(Morrison, 2014).

28
Keterkaitan tata kelola air bersih perspektif sosiologi ekonomi berdasar pada pemikiran
Weber. Menurut Weber, analisis ekonomi tidak hanya mencakup fenomena ekonomi, tetapi
juga fenomena yang relevan secara ekonomi dan fenomena yang dikondisikan secara
ekonomi. Ketiganya merupakan hal yang berbeda karena sosiologi ekonomi tidak
menyelidiki tindakan ekonomi berbasis kepentingan ekonomi, melainkan juga berorientasi
pada tradisi, aktor, dan motivasi non-ekonomi. Sebagaimana keragaman tindakan sosial yang
berdasarkan rasional, instrumental, afektif, dan tradisional. Swedberg (2005) menjelaskan
bahwa asumsi analisis perspektif sosiologi ekonomi pada tiga penyelidikan utama, yaitu
analisis sosiologis proses ekonomi, analisis hubungan dan interaksi ekonomi dengan
masyarakat, dan studi tentang perubahan kelembagaan dan budaya yang membentuk konteks
sosial ekonomi.
Oleh karena itu, tesis ini berangkat dari asumsi pertama dan ketiga yang bertujuan
menyelidiki proses ekonomi yang berlangsung dalam pengelolaan air bersih desa serta
keterkaitan interaksi antar institusi di dalamnya. Tata kelola air bersih memanifestasikan
jalinan norma, kepercayaan, dan kekuasaan dalam mendistribusikan air bersih di tingkat
masyarakat maupun antar wilayah desa. Di sisi lain, terdapat kepentingan non ekonomi juga
berhadapan dengan otoritas negara. Menurut Granovetter (2017) logika institusional negara
cenderung melakukan rasionalisasi dan pengaturan aktivitas manusia menurut hirarki hukum
dan birokrasi yang mencampuri urusan keputusan ekonomi di tingkat mikro.

2.2.2 Keterjalinan Institusi


Keterjalinan institusi secara umum menjelaskan mekanisme sosial yang terdiri dari
keterhubungan organisasi sosial informal dan aturan formal yang membentuk kinerja
organisasi dan ekonomi. Dalam menjelaskannya, peneliti melihat keterjalinan institusi
sebagai inti dari perspektif New Institutionalism in Economic Sociology. Perspektif ini
menawarkan cara pandang untuk melihat mekanisme tata kelola (governance) itu
berlangsung. Tata kelola merupakan arena dari konstruksi struktur dan proses relasi yang
mempertukarkan kepentingan dari berbagai aktor dan lembaga di berbagai level. Institusi
sendiri merupakan domain analisis utama sosiologi yang berangkat dari pemikiran sosiolog
klasik Emile Durkheim tentang fakta sosial. Menurutnya, fakta sosial merupakan kekuatan di
luar individu yang memaksa dan mengintegrasikan individu ke dalam kehidupan kolektif
(Law, 2011). Manifestasinya berupa realitas objektif, norma, dan belief yang terus mengalami
perkembangan seiring dengan perubahan diri manusia. Institusi pun tidak terlepas dari
mekanisme sosial yang melibatkan hubungan atau relasi sosial. Individu antar individu,

29
individu antar kelompok, hubungan antar kelompok, dan bahkan hubungan individu dan
kelompok dengan struktur organisasi yang lebih besar di mana masing-masing membangun
definisi dan situasi sosial untuk mencapai kepentingan dan keteraturan.
Gambar 1
Kerangka Multi-Level New Institutionalism in Economic Sociology

Sumber : Nee dan Opper (2012).

Peneliti berpendapat bahwa Nee dan Opper (2012, 2015) melengkapi penjelasan
kerangka institusional dari yang sebelumnya (Nee, 2003, 2005). Perbedaannya ditekankan
pada ilustrasi kerangka NIES yang menunjukkan penyederhanaan kausalitas multi-level serta
perubahan arah panah dan penamaan seperti lingkungan institusional menjadi institusi
negara. Keterjalinan institusi memunculkan proses top-down dan bottom-up yang saling
beroperasi di kedua arah, baik dari makro ke level di bawahnya ataupun sebaliknya. Kedua
proses itu sama-sama berupaya untuk mempengaruhi fenomena institusional. Tercermin pada
garis luar bagan yang mengartikan bahwa institusi negara di level makro tidak hanya
memaksakan aturan formal dapat berlaku pada tingkat organisasi meso dan individu, tetapi
juga merespon tanggapan dari level mikro dengan mengakomodasi kepentingannya. Hal ini
menunjukkan bahwa penerimaan terhadap legitimasi negara memungkinkan intervensi
struktur tata kelola di tingkat bawah. Situasi lingkungan makro dibentuk oleh tindakan sosial

30
yang melibatkan mobilisasi dan negosiasi pada saluran formal ataupun melalui
ketidakpatuhan kolektif. Maka dari itu, Nee (2012) mengatakan bahwa proses top-down dan
bottom-up merupakan mekanisme perubahan institusional.
Dalam menjelaskan hubungan multi-level ini pertama-pertama berangkat dari
penjelasan kinerja organisasi yang berada di level makro. Institusi negara berperan
membentuk institusi dan merancang perubahan institusional yang berpotensi meningkatkan
efisiensi kebijakan dan aturan formal. Para aktor politik di institusi negara menjadi penegak
aturan main (rules of game) utama dalam menjalankan hubungan kausalitas kelembagaan.
Negara memonopoli sumber daya organisasi berupa legitimasi instrumen. Secara ideal,
kekuatan regulasi menjadi sumber utama kinerja tata kelola. Akan tetapi, ketidakhadiran
negara sering terjadi sehingga mendorong peran pemerintah lokal menjadi institusi yang
adaptif. Situasi ini mendorong peran pemerintah lokal agar memberikan panduan tata kelola
kepada jaringan norma informal. Tujuannya mengurangi ketidakpastian dalam hubungan
institusi dan norma informal serta membantu menyelesaikan masalah koordinasi dengan
menyediakan basis komitmen. Setiap relasi pada dasarnya menyandarkan interaksi pada
norma yang terbentuk melalui trial dan error.
Di tingkat mikro, norma merupakan hasil dari aktivitas pemecahan masalah untuk
meningkatkan peluang pencapaian tujuan. Aturan main informal ini mengikat mutual
expectations dari masing-masing individu atau anggota kelompok untuk memperoleh
welfare-maximizing. Bentuk dari welfare-maximizing tidak hanya berupa komoditas material
tetapi juga pencapaian nilai yang dituju. Munculnya norma bertujuan untuk meningkatkan
tujuan kolektif khususnya menanggapi masalah tindakan kolektif dan koordinasi. Dengan
kata lain, sistem norma dalam kerangka institusional berkedudukan krusial dalam penciptaan
kepentingan yang saling terkait baik positif maupun negatif.
2.2.3 Mekanisme Coupling dan Decoupling
Achwan (2014) menandai keselarasan dan ketidakselarasan hal yang penting hubungan
mikro-meso-makro dalam kerangka institusional NIES. Kedua mekanisme ini menguraikan
situasi dinamika adaptasi kelembagaan multi-level. Keselarasan merujuk pada situasi norma
dan mutual expectation di tingkat mikro selaras dan diakomodasi oleh kebijakan publik.
Sementara itu, ketidakselarasan menjelaskan situasi sebaliknya di mana aturan informal
bertentangan dengan operasional aturan formal. Nee (2012) menjelaskan bahwa kepentingan
dan preferensi individu atau kelompok yang selaras menandakan insentif yang terstruktur
dalam kerangka institusional. Dinamika kelembagaan yang selaras akan memperkuat
kepatuhan terhadap aturan formal melalui pemantauan (monitoring) dan penegakan bersama

31
(enforcement). Namun, jika dinamika yang berjalan tidak selaras maka kepentingan di tingkat
bawah justru menimbulkan pemisahan (decoupling) dari rutinitas kelembagaan. Implikasinya,
para aktor itu justru membentuk norma oposisi. Respon ketidakpatuhan yang membentuk
norma oposisi dapat memacu perubahan dalam aturan formal sehingga mendorong perubahan
institusional.

2.3 Kerangka Berpikir


Kerangka berpikir ini disusun berdasarkan model kausal multi-level yang
menggambarkan operasional dinamika kelembagaan secara dua arah. Kerangka ini
menjabarkan mekanisme kelembagaan yang tertanam dalam struktur makro hingga perilaku
tingkat mikro. Selain itu, termasuk motif dan perilaku mikro hingga perubahan kelembagaan
tingkat makro. Kerangka berpikir dalam penelitian sebagai berikut:
Gambar 1
Kerangka Pemikiran Riset

Mekanisme
kausal Institusi Negara :
Trajectory instrumen regulasi

Tindakan
kolektif

Kepatuhan,
Penegakan, Pemisahan
Akomodasi Arena Organisasional :
Internal Pemerintah Desa

Aturan Inovasi,
formal kerjasama

Rumah tangga dan


kelompok sosial

Sumber : Dimodifikasi dari Kerangka NIES (Nee, 2012)

Peneliti menawarkan skema hubungan kelembagaan tata kelola air bersih berdasarkan
kerangka institusional perspektif NIES. Lingkup makro tercermin pada narasi peraturan di
tingkat nasional yang berhubungan dengan keterlibatan desa dalam tata kelola air bersih di
kawasan Sub-DAS hulu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mewakili
institusi negara yang telah diamanatkan konstitusi negara untuk mengelola sumber-sumber

32
mata air di hutan. Secara batas wilayah, sebagian kawasan hutan juga termasuk kawasan
DAS. Selain regulasi setingkat undang-undang dan peraturan pemerintah, terdapat juga narasi
peraturan yang dikeluarkan oleh KLHK dalam bentuk Peraturan Menteri.
Kemudian, level meso menempatkan otoritas institusi formal yaitu BUMDes dan
pemerintah desa di tiga desa terkait pengelolaan air bersih. Situasi mikro menggambarkan
proses relasional individu dan kelompok sosial yang melanggengkan hubungan informal pola
penggunaan air bersih. Penelitian ini sejalan dengan studi NIES terdahulu yang bertujuan
untuk membedah lingkungan institusional (Hardjosoekarto, Yovani, dan Santiar 2014;
Fazriah 2017; Nanga & Yovani, 2022). Tindakan ekonomi dalam penelitian ini termanifestasi
melalui transaksi suplai dan permintaan pengelolaan air bersih (PAB) yang diselenggarakan
oleh pemerintah desa berdasarkan norma dan nilai masing-masing.

33
BAB III
METODE PENELITIAN
Bagian ini menjelaskan mengenai cara-cara penelitian ini dilakukan yang mencakup
penjelasan metodologis dan teknis penelitian. Uraian pada bab ini diawali dengan pemilihan
pendekatan penelitian. Kemudian mengenai penjelasan mengenai lokasi dan subjek
penelitian, teknik pengumpulan data, strategi pengolahan data dan validasi penelitian, limitasi
dan delimitasi, serta penjabaran tentang proses penelitian.

3.1 Pendekatan Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan soft-systems methodology (SSM) yang
bertujuan mendokumentasikan keberjalanan kompleksitas sistem-sistem aktivitas manusia,
untuk diterapkan dalam konteks pedesaan. Ide mengenai sistem dalam pendekatan ini
dirancang untuk membantu mengatasi masalah manajemen yang berantakan agar dapat
didefinisikan (Checkland, 2000). Hal ini berangkat dari asumsi dasar SSM bahwa setiap
rangkaian tindakan yang kompleks memiliki sifat unik yang dapat dipelajari dan dilihat
sebagai karakteristik sistem dengan fokus secara keseluruhan bukan bagian. Sistem aktivitas
manusia penting dikemukakan dalam penelitian karena memungkinkan peneliti melakukan
eksplorasi tentang bagaimana masyarakat dalam situasi tertentu menciptakan sendiri makna
dan dapat bertindak dengan sengaja terhadap dunia mereka. Oleh karena itu, peneliti maupun
subjek penelitian berpeluang memahami situasi dunia nyata dari perspektif yang berbeda,
termasuk upaya masalah yang diselesaikan melalui pembelajaran bersama (Mehregan,
Hosseinzadeh, dan Kazemi, 2012).
Studi-studi sebelumnya menempatkan pendekatan SSM pada studi organisasi yang
bertujuan memotret organ-organ dalam perusahaan atau organisasi pemerintahan
memecahkan persoalan manajemen (Checkland, 2000; Hardjosoekarto, 2012;
Muhammaditya, 2021). Sementara itu, penelitian ini menempatkan SSM pada konteks
pedesaan karena pedesaan merupakan lokus utama dari kajian yang menekankan relasi dari
sistem masyarakat terutama sistem penghidupan dengan lingkungan (Buttel, 2001), sehingga
pendekatan SSM dapat menjadi alternatif untuk menyelidiki interaksi sistem sosial dengan
lingkungan. Terdapat studi yang menggunakan metode SSM untuk memahami situasi
kompleks penataan lingkungan seperti pengelolaan DAS (Habron, Kaplowitz, dan Levine,
2004) dan strategi menemukan pengelolaan banjir (Suriya & Mudgal, 2012).
Studi ini menaruh perhatian yang sama yaitu bagaimana penyelenggaraan tata kelola air
bersih secara di desa-desa kawasan hulu DAS dapat mencapai keberlanjutan yang secara

34
spesifik menyasar keterjaminan pengelolaan. SSM sebagai pendekatan penelitian
menekankan penelitian yang partisipatif dan terpadu khususnya mencakup pemangku
kepentingan dalam proses pengambilan keputusan dan pembentukan hubungan kelembagaan
dari individu, institusi, dan organisasi. Senge & Sterman (1992) menjadikan pendekatan SSM
sebagai proses pembelajaran organisasi salah satunya meningkatkan tanggung jawab
pengambilan keputusan lokal. Selaras dengan penelitian ini yang memfokuskan pengambilan
keputusan lokal pada konteks subsidiaritas desa untuk menyelenggarakan pengelolaan air
bersih (PAB).
Selain berfokus pada internal desa, pengambilan keputusan juga meliputi interaksi
sistem PAB di tiga desa. Dalam pendistribusiannya ketiga desa memiliki keterkaitan satu
sama lain dan saling bergantung pada sumber mata air di kawasan hulu Sub-DAS
Cikapundung. Aspek wilayah mengarahkan penelitian ini pada pandangan dunia (worldview)
sistematis yang menekankan kaitan keberadaan ruang lingkup spasial dan sistem aktivitas
manusia. Sebagaimana Chorley dan Kennedy (1971) dalam Checkland (2000) yang juga
menekankan geografi fisik dalam penggunaan berpikir sistem untuk menerangkan area subjek
penelitian. Untuk mendukung itu, penggambaran dunia nyata memerlukan tinjauan data
geografis untuk menjabarkan keterkaitan antara kondisi wilayah dengan sistem tata kelola air
bersih yang berlangsung di desa.
3.1.1 Tahapan-Tahapan dalam Soft-systems Methodology
Metode SSM berangkat dari pendekatan berpikir serba sistem (system thinking)
sehingga proses pembelajaran (learning process) menjadi yang utama. Dalam proses
pembelajaran ini metode SSM menyediakan pengembangan gagasan untuk membangun ide
pemodelan aktivitas yang bertujuan (purposeful activity). Model yang dibangun relevan
dengan konsep yang dapat digunakan untuk mengatasi situasi masalah. Upaya untuk
mengkonkretkan asumsi dasar dari metode SSM yang mengkaji serba masalah yang tidak
beraturan dilakukan melalui tujuh tahapan. Tahapan-tahapan ini merupakan alat intelektual
yang digunakan untuk membangun sudut pandang antara dunia nyata (real world) dan dunia
sistematis atau kondisi model yang dibuat untuk menghasilkan pemahaman atas masalah.
Gambar 2
Alur Metode SSM

35
Diolah dari : Rodriguez-Ulloa dan Paucar-Caceres (2005), Suriya dan Mudgal (2012),
Mehregan et., al (2012), Muhammaditya (2021)

Gambar tahapan di atas dijelaskan secara ringkas melalui tabel sebagai berikut:
Tabel 2
Penerapan Tahapan Soft-systems Methodology dalam Penelitian
Tahap-Tahap Soft-Systems Methodology
1. Situasi dunia nyata yang dianggap problematis (Problem situation
considered problematic)
Tahap pertama ini merupakan proses pendefinisian situasi dunia nyata terkait
dengan keputusan-keputusan para pemangku kepentingan yang berasal dari
organisasi maupun non organisasi (pemerintah, masyarakat, dan non
pemerintah). Pada tahapan ini, peneliti melakukan identifikasi masalah dan
mengeksplorasi urgensi masalah terkait dengan pengelolaan air bersih.

Proses pada tahapan pertama ini penting karena peneliti harus mengetahui
asumsi dasar situasi masalah yang tidak beraturan dari dunia nyata perihal
tata kelola air bersih. Peneliti melakukan pencarian sejumlah informasi
diantaranya informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana pihak-pihak yang
terlibat dalam situasi masalah memunculkan kondisi yang tidak beraturan.

Terkait hubungan multi-level kelembagaan, informasi dunia nyata pada level


makro diperoleh dari analisis regulasi yang memunculkan aturan mengenai
pengelolaan air bersih dalam konteks pedesaan di kawasan DAS.
Pengumpulan data pada level makro dilakukan dengan TNA. Peneliti
mengumpulkan informasi pada level meso yaitu arena organisasional melalui
wawancara mendalam bersama informan kunci. Selain wawancara, di level

36
mikro peneliti melakukan survei lapangan titik GPS reservoir air untuk
mengetahui situasi masalah berdasarkan pembacaan wilayah.
2. Penggambaran situasi dunia nyata yang dianggap problematis (Problem
Situation Expressed)
Tahapan ini lanjutan dari tahap sebelumnya karena situasi dunia nyata yang
dianggap problematis harus dituangkan dalam gambaran nyata yaitu melalui
rich picture.Informasi yang disajikan dalam rich picture meliputi struktur,
proses, hubungan struktur dan proses, dan isu masalah (Hardjosoekarto,
2012). Keseluruhan informasi yang tertuang bertujuan untuk
memvisualisasikan kompleksitas dunia nyata.

Proses pembuatan rich picture dibangun dari hasil pengumpulan data yang
dianalisis dalam beberapa tahapan. Pertama, analisis pihak-pihak yang
berperan (intervensi). Pada analisis ini peneliti mengelompokkan
stakeholder ke dalam peran sebagai Clients, Practitioners, dan Owner of the
issue(s). Selanjutnya peneliti melakukan analisis sosial yang terdiri dari
peran, norma, dan nilai, serta analisis politik yang menangkap struktur
kekuasaan dalam dunia nyata. Rich Picture dalam penelitian ini hanya ada
satu namun sudah mencakup keseluruhan level lingkungan institusional,
arena organisasi, dan individual.
3. Pembuatan root definition (RD) yang relevan dalam situasi
Root definition merupakan penamaan dari sistem aktivitas manusia di dunia
nyata yang diartikulasikan dalam bentuk kalimat. Tujuan pembuatan RD
sebagai transformasi yang mengubah input menjadi output untuk membantu
sebuah sistem akan dimodelkan dari proses diskusi dengan para stakeholder.
Oleh karena itu, penamaan root definition ini dibuat berdasarkan formula
PQR yang menjadi sumber pernyataan.

Dalam tahap ini, pemilihan sistem yang relevan dalam RD dilakukan melalui
analisis CATWOE (Customer, Actor, Transformation, Worldview, Owner,
dan Environmental Constraints). Analisis CATWOE ini krusial karena
menguraikan deskripsi apa, siapa, dan bagaimana konteks transformasi
dalam RD.
4. Pembuatan model konseptual
Model konseptual merupakan alat intelektual bagi peneliti untuk
mengabstraksikan situasi problematis yang dipilih secara relevan dengan
situasi masalah. Model ini dikonstruksi dari hasil analisis CATWOE.

Dalam menyusun model, peneliti berpedoman pertanyaan penelitian yang


hendak dijawab, kerangka konseptual New Institutionalism Economic
Sociology dan lokalisme, serta studi literatur yang berkaitan dengan isu tata
kelola air bersih.
5. Perbandingan model konseptual dan dunia nyata
Komparasi antara model konseptual dan gambaran dunia nyata ditujukan
untuk mengelola diskusi yang memunculkan berbagai sudut pandang,
sehingga menghasilkan potensi perbaikan bagi situasi dunia nyata. Proses
perbandingan mempertimbangkan pendapat informan ahli di bidang tata
kelola air bersih pembimbing tesis. Diskusi dilakukan untuk melihat sistem
yang relevan dengan teknis pengelolaan air bersih dan sistem pengelolaan

37
antar organisasi.
6. Perumusan saran tindak
Peran peneliti dalam tahap ini signifikan karena berupaya merumuskan saran
tindakan perbaikan yang ditujukan para pemangku kepentingan. Dua
pertimbangan dalam mengarahkan perbaikan situasi dunia nyata menyasar
agar argumen sudut pandang yang dipersiapkan dapat diterima dan secara
kultural dapat dilaksanakan.
7. Langkah tindakan perbaikan
Tahap ketujuh ini mengarahkan perbaikan penyelenggaraan tata kelola air
bersih. Peneliti tidak melakukan intervensi langsung terhadap perbaikan
pengelolaan, melainkan hanya memberikan rekomendasi kebijakan.
Rekomendasi yang dibuat ini merupakan pijakan bagi penyusunan regulasi
kerjasama antar desa terkait pengelolaan air bersih.
Sumber : Diolah dari Checkland (2000) dan Hardjosoekarto (2012)

3.2 Lokasi dan Subjek Penelitian


Pemilihan lokasi penelitian ini merujuk pada delineasi DAS untuk menekankan
orientasi ruang atau spasial dalam pembangunan kawasan pedesaan. Kawasan hulu DAS
menjadi pertimbangan tata wilayah karena memiliki keterkaitan dengan sumber mata air yang
mewakili daya dukung lingkungan terhadap sistem penghidupan desa. Hampir seluruh
penghidupan masyarakat pedesaan masih bersifat subsisten seperti sektor pertanian ataupun
peternakan. Secara spesifik studi ini dilakukan di tiga desa yang berbatasan langsung dengan
DAS Cikapundung Hulu yaitu Desa Suntenjaya, Desa Cibodas, dan Desa Mekarwangi.
Ketiga desa ini terletak di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa
Barat. DAS Cikapundung Hulu merupakan sub-DAS atau anak sungai dari sungai utama,
Sungai Citarum, yang berperan vital terhadap keterkaitan wilayah desa-kota di Jawa Barat.
Sungai Cikapundung menjadi pasokan air bersih PDAM di Kota Bandung yang sumber mata
airnya berasal dari Gunung Bukit Tunggul di kawasan pedesaan. Perluasan lokus penelitian
bagian dari kebaruan daripada riset sebelumnya (Rifandini, 2018). Pemilihan tiga desa
sebagai lokasi penelitian ditujukan untuk melihat keterkaitan hubungan antar lembaga desa
sebagai keseluruhan sistem aktivitas pengelolaan air bersih yang memiliki delineasi DAS
yang sama.
Penentuan subjek penelitian berangkat dari pra-penelitian yang dilaksanakan di Desa
Suntenjaya. Tujuan pra-penelitian ini untuk mengidentifikasi stakeholder yang terlibat dalam
pengelolaan air bersih yang bersumber di hutan Bukittunggul. Adapun unit analisis penelitian
ini adalah pemangku kepentingan dalam tata kelola air bersih di setiap desa yang berasal dari
organisasi maupun non organisasi yang berada pada level meso dan mikro, sebagaimana

38
merujuk pada kerangka konseptual yang digunakan. Subjek penelitian yang dipilih sebagai
informan dilakukan berdasarkan teknik non probabilitas yaitu purposive sampling yang
ditetapkan menurut kriteria yang telah dibuat peneliti. Kriteria yang dimaksud yaitu
pertimbangan informan menguasai informasi mengenai situasi problematis tata kelola air
bersih di desa. Berikut identifikasi informan penelitian dalam penelitian ini :
Tabel 3
Daftar Informan Penelitian
Desa Suntenjaya 1. Sekretaris Desa Suntenjaya
2. Kepala Urusan Lingkungan Desa
3. Kepala Dusun
4. Anggota BUMDes
5. Ulu-ulu (institusi lokal)
6. Ketua RW
Desa Cibodas 1. Ketua BPAB
2. Ketua BUMDes
Desa Mekarwangi 1. Sekretaris Desa Mekarwangi
2. Sekretaris BUMDes
3. Karyawan BPAB
4. Tokoh masyarakat
Institusi di luar 1. Petugas lapangan PTPN VIII (Perkebunan)
desa 2. Pengawas KRPH Cibodas (Perhutani)
3. Ketua LMDH (Lembaga Masyarakat Desa
Hutan)
4. Divisi Lingkungan Yayasan Walungan
Bhakti Nagari
Sumber : Hasil olahan peneliti
Berangkat dari kekhasan metode SSM yang menekankan adanya problem owner
sebagai pihak yang memperoleh dampak dari permasalahan ataupun proses transformasi
sebagai solusi permasalahan. Maka dari itu, problem owner dalam penelitian ini yaitu subjek-
subjek yang berada di Desa Suntenjaya. Diantaranya Sekretaris Desa dan Kepala Urusan
Lingkungan Desa sebagai perwakilan institusi pemerintah desa di arena organisasional serta
ulu-ulu dan Ketua RW yang merepresentasikan subjek individu dan kelompok di level mikro.

39
3.3 Teknik Pengumpulan Data
3.3.1 Textual Network Analysis (TNA)
Penelitian ini menambahkan TNA sebagai tools pengumpulan data dalam metode SSM
yang berangkat dari studi Muhammaditya (2021). Namun berbeda dari studi sebelumnya,
penelitian ini hanya menambahkan analisis TNA pada tahapan pertama SSM yaitu
mendefinisikan situasi problematis. Penelitian ini menjadikan TNA sebagai alat bantu untuk
menjangkau situasi lingkungan institusional di level makro dari regulasi sebagai sumber data
sekunder, sebagaimana Nee (2005) yang mengkategorikan narasi regulasi dalam lingkup
makro.
TNA diposisikan untuk mempelajari kaitan kata yang terdapat dalam peraturan. Mulai
dari regulasi tingkat undang-undang hingga peraturan menteri dan peraturan bupati yang
mengatur tentang tata kelola air bersih. Dalam hal ini, TNA memvisualisasikan jaringan kata
mengenai tata kelola air bersih yang berasal dari narasi utama peraturan seperti Undang-
Undang Sumber Daya Air, Undang-Undang Desa, dan sebagainya. TNA juga membantu
menemukan keberadaan aktor-aktor penting yang mengendalikan tata kelola air bersih dalam
jaringan kata.
3.3.2 Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam merupakan pengumpulan data yang umum ditemui dalam
penelitian kualitatif (Bryman, 2012). Menurut Marvasti (2004), melalui wawancara
mendalam peneliti dapat memahami konteks dan situasi masalah lebih dalam dari sudut
pandang informan yang terlibat langsung dalam dunia nyata. Sama halnya dengan penelitian
SSM yang menggunakan wawancara mendalam untuk memberikan pandangan holistik dan
pemahaman tentang situasi masalah, khususnya pada tahapan Analisis Satu, Dua, dan Tiga.
Wawancara mendalam pada penelitian ini bertujuan untuk menggali sudut pandang
para pemangku kepentingan yang mewakili institusi level meso dan mikro di tiga desa.
Wawancara mendalam diarahkan untuk menggali mekanisme pengelolaan air bersih di
masing-masing desa serta hubungan kelembagaan antar desa terkait pemanfaatan sumber
daya air bersih. Peneliti melakukan wawancara semi-terstruktur di mana terdapat topik yang
cukup spesifik untuk dibahas. Semi-terstruktur ditandai dengan bantuan daftar pertanyaan
atau pedoman wawancara yang diturunkan dari pertanyaan penelitian. Namun, jawaban dari
informan tidak mengikuti persis pertanyaan. Peneliti menjalankan etika penelitian berupa
pemberitahuan informed consent yang menjelaskan bahwa informasi tidak akan
disebarluaskan dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian serta meminta izin untuk

40
merekam selama wawancara berlangsung. Selain mengandalkan rekaman, peneliti juga
membawa field notes untuk mencatat beragam informasi yang tidak sempat direkam.
3.3.3 Focus Group Discussion (FGD)
Bryman (2012) menjelaskan bahwa FGD merupakan teknik wawancara berkelompok
yang dimoderasi oleh fasilitator. Terdapat dua bentuk pada FGD, yaitu beberapa orang
mendiskusikan sejumlah topik dan wawancara terfokus pada topik tertentu yang menekankan
keterlibatan informan (individu/kelompok) dalam situasi tertentu. Dalam SSM, FGD
biasanya dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil temuan atas situasi problematis dan
memperbandingkan model konseptual dan rich picture. Dengan begitu, bentuk FGD yang
dilakukan lebih berfokus pada diskusi mengenai keterlibatan kelompok untuk konstruksi
makna bersama atas situasi tertentu.
Penelitian ini menempatkan FGD pada tahapan kelima yang bertujuan
memperbandingkan model konseptual dan hasil temuan. Pihak yang terlibat dalam FGD
disesuaikan pada kategori problem owner yaitu para pemangku kepentingan di Desa
Suntenjaya, yaitu pemerintah desa dan ulu-ulu, serta di luar institusi Desa Suntenjaya namun
keberadaannya dibawah kewilayahan Suntenjaya yaitu LMDH dan KRPH Perhutani.
Bahasan yang didiskusikan terkait batas kewenangan Desa Suntenjaya dan Perhutani dalam
mengelola sumber mata air, pola kerjasama antar desa terkait pemanfaatan air bersih yang
bersumber di kawasan hutan namun melintasi wilayah administrasi, dan perbaikan pola
kerjasama yang perlu dilakukan. Pelaksanaan FGD direncanakan setelah peneliti menjalani
sidang hasil.
3.3.4 Penginderaan Jarak Jauh
Dalam menganalisis suatu masyarakat, ragam data geografis merupakan data yang
penting karena sebagai bahan bacaan mengenai tempat tinggal masyarakat. Penginderaan
jarak jauh dapat menjadi salah satu teknik pengumpulan data untuk mengenali situasi
masalah dari perspektif objek permukaan wilayah. Senada dengan Sutanto (2016) bahwa
penginderaan jarak jauh menyajikan informasi objek permukaan bumi yang bersifat multi-
skala dan multi-disiplin.
Ragam data geografis dihasilkan dalam studi ini berupa peta tematik topografi
mengenai batas wilayah desa, areal pemukiman, delineasi DAS, dan titik GPS pengumpulan
air (reservoir) di setiap desa. Peta tematik memberikan informasi mengenai topografi,
kawasan hutan,, dan kawasan DAS sebagai atribut fisik alam yang mencakup kawasan
sumber mata air. Urgensi ragam data geografis untuk menunjukkan bahwa dalam analisis
sistem aktivitas sosial perlu ditunjang dengan peta. Terutama perihal penataan masyarakat

41
desa yang terejawantah dalam pembangunan. Peneliti memanfaatkan software digital berupa
Google Earth Pro yang menyediakan perekaman objek permukaan wilayah.

3.4 Strategi Validasi dan Pengolahan Data Penelitian


Tahapan SSM memberikan kesempatan untuk melakukan validasi penelitian
(Muhammaditya, 2021). Setelah peneliti mendefinisikan situasi masalah dari analisis TNA
dan wawancara mendalam di masing-masing desa, hasil temuan kemudian diekspresikan
dalam rich picture dan dianalisis melalui Analisis Satu, Dua, dan Tiga serta CATWOE.
Ragam data geografis berupa peta reservoir yang dimiliki desa, peta sumber mata air, dan
peta wilayah desa divalidasi melalui pencitraan foto dari Google Earth. Khusus untuk peta
reservoir air dan peta sumber mata air, validasi penelitian dilakukan dengan survei GPS di
wilayah RW dan sumber mata air. Tujuan survei lapangan untuk mengetahui titik koordinat
dan mengkonversi koordinat agar dapat dibaca melalui Google Earth Pro. Namun, peneliti
melakukan validasi lapangan di dua desa karena peta reservoir dan peta sumber mata air
hanya dimiliki oleh pemerintah Desa Cibodas dan Mekarwangi. Data yang dituang dalam
rich picture dan peta geografis dipergunakan sebagai ‘instrumen’ untuk divalidasi bersama
subjek penelitian yang terlibat pada tahap 5, 6, dan 7 yang bertujuan untuk mendesain saran
tindak perbaikan.

3.5 Limitasi dan Delimitasi


Penelitian ini memiliki keterbatasan praktis (limitasi) dan cakupan penelitian
(delimitasi). Limitasi dalam penelitian ini terkait persoalan teknis yaitu keterbatasan peneliti
menjangkau informan di setiap desa dengan durasi pengambilan data yang singkat.
Pemahaman peneliti yang sedikit mengenai penggunaan Google Earth Pro dan keterbacaan
hasil data geografis, sehingga melibatkan individu lain yang mumpuni di bidang tersebut.
Sementara itu, delimitasi penelitian mencakup batasan kerangka konseptual yang digunakan.
Konsep lokalisme ditujukan untuk menggambarkan konteks desa administratif, bukan
penggambaran desa adat. Selain itu, pendekatan NIES yang dinarasikan dengan konsep
lokalisme berfokus pada keterjalinan institusi.

3.6 Proses Penelitian


Penelitian ini bermula dari skripsi peneliti, Rifandini (2018), yang menyoroti
pelaksanaan pembangunan desa pasca otoritarian atau semenjak berlakunya Undang-Undang
Desa Nomor 6 Tahun 2014. Berangkat dari itu, peneliti meneruskan ketertarikan isu pedesaan

42
dalam penelitian tugas akhir tesis. Pemilihan topik dalam penelitian ini merupakan
pendalaman isu pedesaan mengenai pelaksanaan Undang-Undang Desa. Terutama berkaitan
dengan otonomi desa dalam penyelenggaraan tata kelola air bersih. Disamping itu, topik ini
mendapat arahan dari Bapak Zamzam Akhmad Jamaluddin Tanuwijaya yang meneliti tentang
karakteristik kebumian dan aliran Sungai Cikapundung Utara (2015). Peneliti menambahkan
perspektif sosiologi mengenai kelembagaan sosial harapannya guna membantu menghasilkan
riset yang bermanfaat terkait penataan masyarakat desa di kawasan Sub-DAS Cikapundung
Hulu.
Proses pengumpulan data bermula dari pre-eliminary research yang dilakukan di Desa
Suntenjaya selama beberapa waktu dalam bulan September dan Oktober 2021. Pada tahapan
ini, tujuan kunjungan field research yaitu untuk mengidentifikasi aktor-aktor yang
berkepentingan terhadap tata kelola air bersih di desa sekitar sumber mata air. Pada kawasan
DAS Cikapundung Hulu, Desa Suntenjaya merupakan desa yang krusial karena berbatasan
langsung dengan kawasan hutan. Selain itu, aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang
bergantung pada wilayah hutan memengaruhi kuantitas debit mata air. Peneliti memperoleh
bantuan teknis berupa akomdasi tempat tinggal, dokumentasi ragam data geografis, dan
korespondensi stakeholder di desa-desa studi dari tim Yayasan Walungan Bhakti Nagari,
sebuah organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam riset integratif dan pemberdayaan
masyarakat berbasis daerah aliran sungai Sub-DAS Cikapundung Hulu di Kawasan Bandung
Utara (walungan.org). Relasi peneliti dengan Yayasan Walungan Bhakti Nagari terbangun
melalui penelitian terdahulu.
Pelaksanaan penelitian dilanjutkan pada bulan pertengahan Oktober hingga awal
November 2022. Beberapa pengumpulan data yang harus dilakukan diantaranya crawling
data regulasi terkait sistem tata kelola air bersih, wawancara aktor di Desa Cibodas dan
Mekarwangi, survei mata air dan reservoir di desa-desa, dan rencana pelaksanaan FGD
sebagai bagian dari tahapan SSM. Berikut visualisasi alur waktu proses penelitian:
Diagram 1
Alur Waktu (Timeline) Proses Penelitian

Pre-eliminary
Research Research
Design + Field Research Writing Report
Des 2021 - Jan Article Writing
2022 Okt 2022 Nov 2022
Jan - Sept 2022

Sumber : Hasil Olahan Peneliti 43


BAB IV
Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1 Delineasi DAS Cikapundung Hulu


Bab ini mendeskripsikan data geografis dan kondisi struktur sosial yang berkaitan
dengan eksisting hulu Sungai Cikapundung. Bab ini terdiri dari peta wilayah yang
menggambarkan delineasi DAS Cikapundung Hulu dan desa-desa di kawasan DAS
Cikapundung Hulu sebagai lokus penelitian. Gambaran desa-desa penelitian ini merupakan
peta sosial yang merepresentasikan sistem aktivitas manusia yang bergantung dengan
eksisting geografis. Pengambilan data geografis diolah dari survei pemetaan GPS dan
penginderaan jarak jauh melalui Google Earth untuk menghasilkan peta tematik yang akan
dipaparkan dalam bab ini. Peneliti dibantu oleh tim Yayasan Walungan Bhakti Nagari dalam
mengolah data geografis dan menghasilkan peta.
Sungai Cikapundung merupakan salah satu Sub-DAS yang memasok aliran air (anak
sungai) ke DAS Citarum Hulu. DAS Citarum menjadi salah satu DAS prioritas nasional yang
mengalir hampir di 12 kabupaten/kota di Jawa Barat sepanjang 270 km. Terbentang dari Situ
Cisanti di Kabupaten Bandung dan bermuara di Pantai Muara Bendera di Kabupaten Bekasi
yang mengarah ke Laut Jawa. Perhatian pemerintah pusat terhadap DAS Citarum terkait
penanganan pencemaran dan kerusakan ekosistem DAS melalui Perpres Nomor 15 Tahun
2018. Program ini dilaksanakan Provinsi Jawa Barat lewat Gerakan Citarum Bestari yang
melibatkan multi-sektor. Kepentingan DAS Cikapundung terhadap DAS Citarum salah
satunya berkenaan dengan penanganan lahan kritis untuk keberlanjutan pengelolaan sumber
daya air (Imansyah, 2012).
Mata air DAS Cikapundung berasal dari kawasan yaitu Gunung Bukit Tunggul yang
memiliki ketinggian 2206 mdpl dan Gunung Palasari yang bersisian dengan Sesar Lembang.
Terbentuknya kawasan mata air DAS Cikapundung Hulu diketahui melalui proses tektono-
vulkanik. Gunung Bukit Tunggul merupakan gunung tertinggi di zona pegunungan Kawasan
Bandung Utara. Menurut wilayah administratif, Gunung Bukit Tunggul berada di perbatasan
antara Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Bandung. Gunung
Bukit Tunggul terdiri dari kawasan hutan lindung yang menjadi ekosistem bagi mata air DAS
Cikapundung Hulu.

44
Gambar xx
Peta Kecamatan Lembang

Sumber : Yayasan Walungan, 2018

45
4.1.1 Pembagian Sistem DAS Cikapundung Hulu
Dalam sistem sungai (sistem fluvial), DAS Cikapundung Hulu termasuk dalam
kesatuan DAS Cikapundung mulai dari kawasan zona pegunungan utara Bandung hingga
bermuara di Sungai Citarum di selatan Kota Bandung. Mengutip studi Tanuwijaya (2015)
DAS Cikapundung terbagi dalam tiga sub-sistem atau zona sungai, yaitu zona produksi (zona
atas), zona transfer (zona pertengahan), dan zona deposisi (zona bawah). Zona produksi
dicirikan dengan adanya pengaruh struktur geologi terutama dari Sesar Lembang yang
mempengaruhi terbentuknya Cekungan Lembang sebagai drainase DAS Cikapundung Hulu.
Pada peta tampak patahan Sesar Lembang yang memanjang dengan arah lintang di arah
timur-barat.
DAS Cikapundung Hulu yang berada di zona produksi memiliki luas 74,881 km 2. Di
zona ini Cekungan Lembang terbentuk dari aliran reruntuhan geologis yang pergerakan air
dan tanahnya dikendalikan oleh Sesar Lembang. Secara geologis terdapat air dan sedimen
yang berasal dari lereng perbukitan melalui proses erosi dan pelapukan batuan. Pada zona ini
pola aliran DAS Cikapundung Hulu tampak seperti jaringan anak sungai yang terkumpul dari
mata air di kawasan Gunung Bukit Tunggul dan bermuara di kawasan Celah Maribaya. Pada
peta zona produksi DAS Cikapundung Hulu ditunjukkan pada bagian segmen I.
Zona transfer menjadi penghubung antara zona produksi dan zona deposisi yang
mengalir mulai dari kawasan Maribaya hingga Curug Dago. Pada peta ditunjukkan pada
bagian Segmen II. Zona ini menyatu dengan jalur Sesar Lembang yang mengalir ke selatan
arah Kota Bandung (Tanuwijaya, 2015). Zona transfer terletak persis di tengah patahan
Cekungan Lembang sebelah utara dan Cekungan Bandung di sisi selatan. Dalam hal ini,
aliran DAS Cikapundung Hulu menjadi penghubung zona produksi dengan zona deposisi.
Sementara zona deposisi berada diantara kawasan Curug Dago hingga bermuara di Sungai
Citarum di Kota Bandung. Berbeda dari zona sebelumnya, zona deposisi masuk dalam
Cekungan Bandung. Aliran sungai pada zona ini tidak lagi termasuk dalam wilayah DAS
Cikapundung Hulu.
DAS Cikapundung Hulu terbagi menjadi tiga anak sungai yaitu Sub-DAS Cikawari,
Sub-DAS Cigulung, dan Sub-DAS Cikapundung. Sungai Cigulung menjadi sub-DAS dengan
area terluas di zona produksi sehingga memberikan kontribusi debit terbesar bagi aliran DAS
Cikapundung Hulu. Berkaitan dengan itu, Kementerian PUPR pernah menargetkan adanya
inventarisasi dan kajian pemanfaatan jasa lingkungan dari Waduk Cikapundung dan waduk-
waduk sekitarnya seperti Waduk Ciawiruka dan Cipanengah untuk memasok ketersediaan air

46
minum di Kota Bandung selama tahun 2011-2015 (Kementerian PUPR, 2014). Berdasarkan
peta tampak bahwa DAS Cikapundung Hulu mengalir di sebagian besar wilayah Kecamatan
Lembang. Jaringan DAS Cikapundung Hulu terkonsentrasi di sebelah timur, sementara desa-
desa di bagian barat Kecamatan Lembang tidak termasuk kawasan DAS Cikapundung Hulu.
Desa-desa diluar kawasan DAS Cikapundung Hulu diantaranya Desa Surajaya, Desa
Cikahuripan, Desa Gudangkahuripan, dan Desa Wangunsari.

47
Gambar xx
Peta Delineasi DAS Cikapundung Hulu

Sumber : Yayasan Walungan, 2018

48
Unsur kebumian seperti Gunung Bukit Tunggul, Gunung Palasari, dan Sesar Lembang
memiliki signifikansi secara geologis terhadap DAS Cikapundung Hulu. Salah satunya
tampak pada proses keluarnya mata air yang mengalir dari celah atau retakan bebatuan
menuju permukaan. Dengan kata lain, aliran sungai di suatu kawasan tidak terlepas dari
struktur geologi. Di sisi lain, penamaan mata air di kawasan Gunung Bukit Tunggul senada
dengan proses geologis terbentuknya mata air. Nama-nama mata air yang diketahui erat
dengan nama ‘legok’ karena memiliki arti sebagai lekuk atau cekung. Secara fisik lekuk atau
cekung menggambarkan adanya dua pertemuan tebing dengan struktur batuan tertentu. Salah
satunya, mata air Legok Onah yang berada di ketinggian sekitar 1.500 mdpl.
Gambar xx
Pertemuan Dua Tebing Sekitar Mata Air Legok Onah

Sumber : Dokumentasi peneliti


Disebut dengan DAS karena pengertiannya merujuk pada hamparan wilayah yang dibatasi
dengan pemisah alam berupa punggung bukit yang berfungsi menampung air hujan dan
terdapat titik outlet yang mengeluarkan air serta aliran sungai utama. Dengan kata lain, DAS
merupakan sistem wilayah yang kompleks karena mencakup kesatuan ekosistem fisik,
biologis, dan manusia di daerah hulu maupun hilir (Wulandari, 2007).
4.1.2 Hubungan Desa-Kota di DAS Cikapundung Hulu
DAS Cikapundung Hulu mencerminkan kepentingan sosiologis dalam hal
menghubungkan ranah desa-kota. Keterhubungan ini tidak hanya bersifat fisik wilayah, tetapi

49
mencakup juga realitas kehidupan masyarakat desa (hulu) dan kota (hilir) yang bergantung
pada air. Pada sisi hilir, pemanfaatan DAS Cikapundung Hulu untuk Kota Bandung telah
dilakukan sejak zaman kolonial Belanda, salah satunya sebagai tenaga pembangkit listrik.
Dari tahun 1923 hingga sekarang, pembangkit listrik yang sekarang menjadi PLTA Dago
Bengkok memiliki kapasitas mengkonversi debit air menjadi listrik hingga sebesar 3
Megawatt. Sementara itu terdapat sisa debit aliran DAS Cikapundung Hulu digunakan oleh
PDAM Kota Bandung untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kualitas air akibat limbah
dari aktivitas peternakan dan rumah tangga di daerah hulu menjadi permasalahan DAS
Cikapundung Hulu yang berfungsi penghubung desa-kota. Terlebih lagi DAS Cikapundung
Hulu menjadi sumber daya air Kota Bandung yang juga menjadi pasokan air minum.
Persoalan ini membuat PDAM Kota Bandung harus menambah biaya produksi dalam
rencana pengamanan air minum (RPAM) (Widarti dan Sudrajat, 2014).
Menurut Darmajanti & Starlita (2012) intensitas hubungan desa-kota di Indonesia tidak
lepas dari kerangka kerja perkembangan ekonomi Belanda yang ditandai dengan dualisme
ekonomi. Dalam hal ini, desa diposisikan sebagai kantong komoditas pertanian dan bahan-
bahan rempah ekonomi yang diekspor ke Eropa. Sementara itu, kota menjadi basis
pemerintahan kolonial Belanda untuk melakukan kerjasama dengan elit lokal. Salah satunya
Priangan, yang mencakup juga Kota Bandung, mengalami reorganisasi wilayah oleh VOC
untuk mengkoordinir pemerintahan di desa-desa.
Namun, konteks hubungan desa-kota pada hari ini telah bergeser. Bukan hanya
mengenai keterhubungan sumber produksi pangan, tetapi juga mengarah pada hubungan yang
berpotensi menghasilkan kerentanan ekologis. Terkait hal ini, Rizka (2014) mengemukakan
hal yang sama bahwa penggunaan lahan hutan untuk pertanian di sekitar kawasan hutan
Bukit Tunggul berakibat pada munculnya zona-zona kritis. Berkurangnya luas resapan air
tanah yang disimpan memicu persoalan penurunan debit mata air. Padahal DAS Cikapundung
Hulu merupakan wilayah potensial yang menyediakan air baku baik untuk seluruh wilayah
desa-kota. Selain menurunnya daya dukung ekologi terhadap praktik pertanian, tren wisata
berupa pembangunan rumah singgah yang menjamur di wilayah desa kian menggempur alih
fungsi lahan pertanian (Diyana & Sunarta, 2015). Peta bentang alam kawasan DAS
menegaskan problematika yang dihadapi desa-desa sekitar seputar masalah kewenangan
organisasional dan wilayah geografis.

50
Gambar xx
Peta Tematik Delineasi Lokasi Penelitian

Sumber: Diolah dari survei GPS dan penginderaan Google Earth

51
4.2 Kawasan Hutan : Area Administrasi Perhutani dan PTPN VIII
Areal kehutanan yang menjadi lokasi sumber mata air sebenarnya berada dalam
persinggungan wilayah kerja Perhutani dan PTPN VIII. Batas delineasi hak guna lahan hutan
Perhutani maupun PTPN VIII tidak tergambar pada peta. Namun, melalui proses pengamatan
empiris dan informasi dari beberapa informan mengatakan bahwa wilayah hutan Perhutani
terletak di sebelah timur hingga utara Desa Suntenjaya, sedangkan wilayah hutan PTPN VIII
berbatasan dengan Desa Suntenjaya di sebelah barat. PTPN VIII sendiri beroperasi di
wilayah administratif Desa Cipanjalu, Cilengkrang, Kabupaten Bandung di atas lahan seluas
708 ha.
Dulunya PTPN VIII aktif beroperasi sebagai perkebunan kina (tanaman obat). Namun
kini, produksi kulit tanaman kina semakin menurun dan tidak lagi menjadi komoditas utama
PTPN VIII. Bahkan, PTPN VIII yang berkantor pusat di Ciater Subang termasuk dalam non-
core bisnis agrowisata (ptpn8.co.id). Pada saat pra-penelitian berlangsung di Januari 2022,
kegiatan lapangan PTPN VIII masih berlangsung seperti mengangkut hasil kayu kina. Namun
sekarang aktivitas ini sudah berhenti dan digantikan dengan penyewaan lahan perkebunan
konyal (markisa) dan lahan pertanian oleh instansi luar. Sehubungan itu, beberapa informan
di lapangan mengatakan bahwa seluruh lahan operasional PTPN VIII diperuntukkan bagi
lahan sewa masyarakat sekitar.
Pada peta tergambar dengan jelas sejumlah titik mata air Sungai Cikapundung - yang
dapat dijangkau dengan survei GPS - sekaligus menjadi sumber penggunaan air bersih bagi
desa-desa sekitar. Titik mata air ini berada dekat dengan garis perbatasan kabupaten. Namun
garis batas wilayah kabupaten ini kurang menjadi perhatian bagi desa-desa sekitar untuk
menentukan wilayah otonomi sumber mata air. Pasalnya, Perhutani dan PT. Perkebunan
Nusantara (PTPN) VIII merupakan institusi yang berwenang untuk mengelola kawasan hutan
di Gunung Bukit Tunggul, sehingga melalui kedua institusi tersebut izin akses dan
pemanfaatan sumber mata air dapat diperoleh.
Tabel xx
Pembagian Mata Air Berdasarkan Wilayah Kabupaten

Wilayah Kabupaten Wilayah Kabupaten


Bandung Barat Bandung

Sumber Seke Legok Bakekok Seke Cikudakeling


Mata Air
Seke Legok Onah Seke Sangga Dulang

Seke Tereptep Seke Saladah

52
Seke Cidurian Cinape
Sumber : Hasil Olah Data dari Survei GPS
Berbeda dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengatur
dan mengelola lingkungan institusional kehutanan. Perhutani menerima mandat dari negara
mengurusi wilayah kehutanan untuk kepentingan pemanfaatan sumber daya hutan dan
pengelolaan jasa lingkungan. Mandat ini dijelaskan secara lebih terang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang tugas dan fungsi Perhutani. Perhutani memiliki
struktur kerja berdasarkan skema pembagian wilayah hutan. Berkaitan dengan lokasi studi,
hutan Bukit Tunggul termasuk dalam cakupan wilayah Resort Pengelolaan Hutan (RPH)
Cibodas yang menginduk dalam Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kawasan Bandung
Utara. Sebagaimana hasil wawancara dengan Pendamping KRPH Cibodas 06 April 2022 :
“Ini globalnya dulu, globalnya itu kan diperuntukkannya, satu, ada direksi
yang khusus di dalamnya direktur se-Jawa di Jakarta. Terus grade kedua
ada, dulu unit disebutnya, sekarang lebih kepada divre divisi regional.
Regional 3 ini Jawa Barat, yang kesatu dan kedua adalah Jawa Timur -
Jawa Tengah. Eh Jawa Tengah dulu satu Jawa Timur dua, Jawa Barat tiga.
Itu divisi regional. Dari situ ada yang membawahi setiap kabupaten yang
setara dengan kabupaten itu adalah KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan).
Nah di 14 kabupaten ini ada 14 KPH. Di Jawa Barat-Banten ini ya ada 14
kabupaten. Nah ada 14 KPH disitu, kesatuan pemangkuan hutan. Di
Bandung Utara, kesatuan pemangkuan hutannya itu adalah Bandung Utara
dan Bandung Selatan. Yang Bandung Utara ini membawahi 4 BKPH. Yang
mana dibagi dengan 4 BKPH. Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan yaitu ada
4 BKPH. BKPH Padalarang, BKPH Lembang, BKPH Cisalak, BKPH
Manglayang Barat. Pakai Manglayang Barat, karena di sana ada
Manglayang Timur yang ke bawah itu Kabupaten Sumedang.”

RPH Cibodas menaungi kawasan hutan di Kecamatan Lembang seluas 1823 ha. RPH
Cibodas mencakup tiga desa yang berada dalam Hutan Pangkuan Desa (HPD) yaitu Desa
Suntenjaya (1.030,70 ha), Desa Cibodas (455, 60 ha), dan Desa Wangunharja (164,90 ha).
Hasil wawancara dengan Pendamping KRPH Cibodas 06 April 2022 :
“...RPH Cibodas ini yang menurut saya istimewa nih karena sementara yang
dua itu kabupaten Bandung, ini kabupatennya Bandung Barat yang
kesatunya. Terus yang keduanya kecamatannya Lembang membawahi tiga
desa. Desa Suntenjaya, Desa Cibodas, dengan Desa Wangunharja
kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.”

Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dicetuskan pada tahun
2001 melegitimasi aktivitas Perhutani bersama dengan masyarakat. Program pengelolaan
hutan bersama merupakan perpanjangan dari program-program sebelumnya. Sekitar tahun
1972-1973 dikenal Program Mantri Lurah (Manlu) yaitu program yang mengintegrasikan

53
program dari mantri (Kepala Resor Pengelola Hutan) dengan lurah (kepala desa).
Pengembangan program selanjutnya dikenal dengan PMDH (Pemberdayaan Masyarakat
Desa Hutan) yang membentuk LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Dalam program
ini, manifestasi pengelolaan hutan bersama dari unsur masyarakat diwadahi oleh LMDH.
Melalui LMDH aktivitas masyarakat dinaungi dalam garis koordinasi Perhutani. Terutama
terkait pemanfaatan sumber daya hutan dan jasa lingkungan seperti wisata hutan, sharing
lahan untuk pertanian, dan sebagainya. Hasil wawancara dengan Pendamping KRPH Cibodas
06 April 2022 :
“...wajib hukumnya karena ada PP 72 disitu. Perhutani wajib melibatkan
masyarakat atau kerjasama dengan masyarakat desa sekitar hutan dan para
stakeholder pendukung lainnya gitu. Nah di dalam hal ini Perum Perhutani,
dari mulai yang saya kenal dari buku atau sejak dari tahun ‘73…’72.
Pertama, ada program ‘Manlu’ Mantri Lurah kerjasamanya itu, tapi yang
sejahteranya itu Pak Lurahnya terus yang kedua ada program Inpres terus
ada program PMDH, pembangunan masyarakat desa hutan”

Seiring dengan pemanfaatan, Perhutani juga bertugas mengawasi perlindungan hutan


dan konservasi alam. Kawasan hutan di RPH Cibodas tidak hanya terdiri dari hutan produksi
pinus, tetapi sebagian kawasan juga merupakan kawasan hutan lindung yang keberadaannya
signifikan terhadap Sungai Citarum. Hingga sekarang, pemanfaatan sumber daya hutan
dikembangkan dalam skema Perhutanan Sosial yang memberikan akses legal masyarakat
untuk mengelola hutan. Namun, praktik Perhutanan Sosial sendiri bukan menjadi fokus dari
penelitian ini.
Bagian selanjutnya menggambarkan peta wilayah dan peta sosial desa-desa penelitian.
Penjabaran deskripsi peta wilayah dan peta sosial bertujuan untuk keterkaitan eksisting
wilayah geografis dengan dinamika interaksi antar desa untuk memenuhi kebutuhan air
bersih. Deskripsi ini juga berkaitan dengan pertanyaan pendukung yang ketiga yaitu
mengenai bagaimana relasional individu dan kelompok di level mikro terkait pengelolaan air
bersih.

54
Gambar xx
Peta Tematik Desa Suntenjaya

Sumber : Diolah dari survei GPS dan penginderaan Google Earth

55
4.3 Potret Desa Suntenjaya di Kawasan Hulu DAS Cikapundung Hulu
4.3.1 Tata Wilayah Desa Suntenjaya
Desa Suntenjaya merupakan wilayah kunci bagi kawasan hulu DAS Cikapundung
karena memiliki peran aspek geologis, geografis, dan ekologis. Desa Suntenjaya merupakan
desa di sisi paling timur di Kecamatan Lembang. Terletak di ketinggian 1300 – 1400 mdpl
yang berbatasan langsung dengan Gunung Bukit Tunggul. Pembagian wilayah administratif
Desa Suntenjaya terdiri 17 RW dan 4 dusun dengan pembagian pemukiman (kampung)
terdapat 16 kampung. Pada tahun 1979 Desa Cibodas mengalami pemekaran wilayah. Selain
Desa Cibodas, Desa Suntenjaya juga merupakan pemekaran dari desa-desa sekitar seperti
Desa Cikadut dan Desa Cimenyan.
Sebelah selatan berbatasan dengan aliran DAS Cikapundung Hulu yang bersebelahan
dengan Sesar Lembang. Sementara di sebelah utara berbatasan dengan Sungai Ciawiruka. Di
bagian selatan Desa Suntenjaya terdapat garis kontur rapat dengan arah lengkung yang
menunjukkan permukaan bumi yang terjal atau elevasi berupa tebing atau gawir yang
merupakan Sesar Lembang. Peta tematik Desa Suntenjaya memperlihatkan bahwa sebagian
wilayah Desa Suntenjaya seperti di Kampung Batu Lonceng relatif berada di patahan atas
atau atap sesar pada sisi sebelah timur Sesar Lembang. Kemudian Kampung Pasir Angling
yang merupakan termasuk patahan bawah atau alas sesar yang mengarah bagian utara Sesar
Lembang.
Beberapa kampung Desa Suntenjaya dikelilingi oleh hutan dengan vegetasi hutan
pinus, seperti Kampung Pasir Angling, Kampung Gandok, Kampung Sukaluyu. Sementara
itu, hubungan ekologis dengan DAS Cikapundung Hulu tercermin dalam pengaturan tata
guna lahan dan pengelolaan air bersih. Dalam hal ini DAS menjadi kawasan suplai kebutuhan
utama yang harus ada untuk memenuhi keberjalanan sistem kehidupan desa. Penggunaan
lahan terkonsentrasi untuk pemukiman penduduk dan sektor pertanian. Pemanfaatan hutan
Bukit Tunggul bagi sebagian wilayah diperbolehkan untuk lahan pertanian yang merujuk
pada legitimasi kebijakan kehutanan yang berlaku. Lahan pemanfaatan hutan yang
berdampingan dengan area tangkapan hujan dapat mempengaruhi kuantitas air yang dapat
disimpan dalam tanah.
4.3.2 Pemanfaatan Sumber Air Bersih di Desa Suntenjaya
Dari sisi penggunaan air mata pencaharian masyarakat seperti aktivitas pertanian
memiliki kebutuhan terhadap air sangat tinggi. Pada musim kemarau, area lahan tani
memerlukan penyiraman setiap harinya. Komoditas pertanian seperti brokoli, kentang, cabai
keriting merah, kol merah, dan sebagainya memiliki kebutuhan air yang berbeda-beda.

56
Berbeda saat musim hujan di mana lahan pertanian bergantung pada ritme hujan yang turun.
Intensitas penggunaan air dalam aktivitas peternakan juga tinggi. Pelaksanaan prosedur
pemerahan sapi mewajibkan pembersihan kandang sapi dan sapi sebanyak dua kali dalam
sehari. Dalam satu rumah tangga peternak bisa memiliki lebih dari satu ekor sapi. Tingginya
kebutuhan air seiring dengan tuntutan peternak agar dapat menghasilkan 15-20 liter susu
(Rifandini, 2018). Selain besarnya kebutuhan penggunaan air, pola keterhubungan
masyarakat dengan sanitasi air masih menimbulkan permasalahan. Limbah dari peternakan
sapi belum memiliki saluran buangan yang terpisah, melainkan menyatu pada saluran pipa air
bersih.
Pemenuhan air bersih untuk Desa Suntenjaya berasal dari sejumlah sumber mata air
yang berada di kawasan hutan Bukit Tunggul yang dijabarkan sebagai berikut :
Tabel xx
Penggunaan Mata Air di Desa Suntenjaya

Wilayah RW Penggunaan Sumber


Mata Air

RW 01, RW 02, RW Ciawiruka dan Curug


03, RW 04, RW 05 Cibodas

RW 14 Ciawitali dan Curug


Cibodas

RW 08 Curug Lalay dan Cagak


Gunting

RW 12 Legok Terong dan


Curug Lalay

RW 06 Ciawitali

RW 09 dan RW 10 Pasaeran orog

RW 13 Kubang/Kebon 12
Sumber : Diolah dari hasil wawancara

Sumber mata air yang tertera di atas dapat berbeda dengan praktik pemanfaatannya di
setiap RW maupun kampung, karena masing-masing wilayah tersebut terdapat ulu-ulu yang
mengatur persis jalur air dan lokasi mata air. Informasi mengenai sumber mata air ini
diperoleh dari informan Banyuresmi, institusi pengurusan air di bawah desa. Namun
sebenarnya Banyuresmi belum termasuk administrasi Bumdes Suntenjaya. Keberadaan
Banyuresmi dapat dikatakan cikal bakal pengurusan ulu-ulu dan mengawali proses

57
pembangunan air bersih di Suntenjaya. Hasil wawancara dengan informan Banyuresmi 07
Desember 2021 :
“Ya perangkat yang udah mah gitu aja yang sekarang baru dibangun belum
masuk gitu kan. Kalau dulu masih perencanaan bapak dulu tahun 1993 itu
masih dikelola. Tapi sekarang seharusnya dimasukin Bumdes. Tapi sekarang
belum masuk lah. Baru dibangun, baru rancangan.”

Selain mata air di kawasan hutan, terdapat juga sumber air Legok Barong di dekat
kantor Desa Suntenjaya. Keluarnya mata air di wilayah Desa Suntenjaya karena berdasarkan
topografi Legok Barong dengan ketinggian 1350 mdpl dan persis bersebelahan dengan Sesar
Lembang sebagaimana ditunjukkan pada peta melalui garis kontur rapat di sisi selatan,
sehingga secara fisik banyak pertemuan patahan di area ini. Kepemilikan mata air Legok
Barong bukan aset pemerintah desa, melainkan dimiliki secara individu. Lokasi mata air ini
pun terletak di tengah-tengah lahan pertanian warga. Pemanfaatan Legok Barong menjadi
salah satu sumber air bersih Desa Cibodas.
Gambar xx
Sumber Air Legok Barong

Sumber : Dokumentasi peneliti


4.3.3 Peran Ulu-ulu
Pengelolaan air bersih di seluruh Desa Suntenjaya bertumpu peran ulu-ulu. Ulu-ulu
menjadi perangkat sosial yang dipercayakan oleh masyarakat kepada individu yang bertugas
mengurusi air. Biasanya status sosial ini dijalankan secara intergenerasi (Rifandini, 2022).

58
ada Secara umum, ulu-ulu berada di wilayah kampung baik tingkat RT ataupun RW. Hasil
wawancara dengan ulu-ulu Kampung Pasir Angling 22 September 2021 :
“Kalau ulu-ulu itu kala bahasa disini mah nggak tau ya. Kalau bahasa daerah
Subang itu pengaturan air.”

“…Buat ngatur ke sawah itu ulu-ulu. Di sini sama juga cuman ada untuk ke
rumah atau ke kebun. Kalau di sawah sih gitu pengatur air ke tanggulan.”

Keberadaan ulu-ulu merupakan manifestasi dari institusi lokal Desa Suntenjaya yang
mengurusi air bersih di tingkat masyarakat (mikro). Secara umum, ulu-ulu bertugas
melakukan pembagian distribusi air, perawatan saluran pipa secara teknis, hingga pencatatan
penggunaan air di rumah tangga. Hasil wawancara dengan Ibu Rumah Tangga 22 September
2021 :
“Iya, ulu-ulu itu teh yang suka...Suka benerin air kitu (gitu), kalau nggak ada
air ulah atos ke ulu-ulu (nggak setelahnya ke ulu-ulu).”

Hasil wawancara dengan informan Banyuresmi 07 Desember 2021 :


“Perawatannya ya kalau disini disebutnya ulu-ulu. Yang perawatannya itu
air bersih. Tiap RW ada dua orang.”

“Tugasnya yang seperti itu tadi bapak. Yang masuk air, kesana. Dikarenakan
musim hujan, ada masuk air kotor ke tabung. Ke tabung induk yang disana.
Terus di jalan ada longsor, patah pipa, bagiannya ulu-ulu yang di hutan.
Terus ada kendala, biasalah satu bulan satu kali, dipecahin itu yang
diperiksa. Yang ngelola itu aja lah di perjalanan.”

Namun bentuk koordinasi ulu-ulu setiap RW atau kampung bisa berbeda-beda. Namun
biasanya koordinasi ulu-ulu bekerjasama dalam kepengurusan RT atau RW. Di Kampung
Pasir Angling, misalnya, yang terdiri dari dua yaitu RW 07 dan RW 16, masing-masing RW
memiliki ulu-ulu. Hasil wawancara dengan ulu-ulu RW 07 Kampung Pasir Angling 22
September 2021 :
“Kalau sebelum bapak itu pak almarhum. Ya dulu pertama bapak juga.
Cuman 2006-2010 bapak dulu 2 orang dengan almarhum [nama]. Udah
rapat-rapat, satu aja ulu-ulunya. Sebelum dikilometer itu…”

“...Kalau tahun ini, semua RT yang kerja yang kerusakan di rumah


masyarakat maupun di hulu itu tanggung jawab RT.”

Sama halnya di Kampung Cibodas, peran ulu-ulu juga menjadi bagian dari RW.
Kepengurusan ulu-ulu dikoordinir oleh RW. Hasil wawancara dengan Penagih Air Kampung
Cibodas 01 Oktober 2021 :

59
“Yang pertama itu pak RW sebagai ketua air, ketua masyarakat. Ada
bendaharanya [nama], sekretarisnya [nama]. [Nama informan] sebagai
penagih. Yang terakhir itu ketua ulu-ulu, [nama]. ”

“(Tugasnya) Lebih ke kerusakannya. Kerusakan mungkin di wilayah, di


kehutanan, di perjalanan, ada yang bocor, ada yang kilometernya rusak kan
gitu.”

Di Kampung Sukaluyu (Kampung Asrama) peran ulu-ulu tidak terlalu aktif karena
kepengurusan RW baru mengalami pergantian saat pengambilan data dilakukan. Adanya
pergantian para pengurus RW ini merencanakan perubahan mekanisme pengelolaan air bersih
di Kampung Sukaluyu dengan mengaktifkan kembali ulu-ulu di kepengurusan RW. Hasil
wawancara dengan istri Ketua RT Kampung Sukaluyu 01 Oktober 2021:
“Baru pembentukan kemarin juga terusan tadinya mau ngebentuk tim, tapi
belum. Baru ada ketuanya dulu. Nanti ketuanya mau ngebentuk tim katanya,
tapi belum, sekarang mah juga mau pembenahan penampungannya. Disini
kan penampungannya masih minim ya, masih terbuka mau rencananya mau
ada pembenahan pembetulan dari sananya juga baru ada rencana
pembenahan baru, sekarang baru semalam baru rapat soal biaya-biaya bikin
proposal juga terusan mau ada swadaya masyarakat juga.”

Pengelolaan air bersih yang berjalan selama ini di Kampung Sukaluyu mengandalkan
kemampuan rumah tangga masing-masing, sebagaimana dituturkan dalam wawancara istri
Ketua RT Kampung Sukaluyu 01 Oktober 2021:
“Ada juga yang masyarakat mandiri langsung ngambil mata air, langsung
pasang paralon yang mandiri.”

4.3.4 Daya Dukung Infrastruktur


Distribusi air bersih secara teknis memerlukan ketersediaan infrastruktur seperti buleng
sebagai bak penampungan air, saluran pipa, dan kilometer atau water meter. Aliran mata air
ditampung menggunakan bak kemudian dialirkan ke bak induk penampung sehingga dapat
didistribusikan ke rumah-rumah warga. Berikut ilustrasi teknis distribusi air bersih :
Gambar xx
Ilustrasi Distribusi Air

1 1 = Aliran input dari mata air


2 = Aliran output
3 = Buleng (Bak penampungan utama)
4 = Bak penampungan
5 = Pipa ke rumah warga
3 2
4

60
Sumber : Diolah dari dokumen Yayasan Walungan
Pembangunan awal sarana air bersih di Desa Suntenjaya dibangun secara swadaya pada
tahun 1993. Kemudian sekitar tahun 2010 memperoleh bantuan dari LDSC (Latter-Day
Saints Charities) dari Rotary Club. Hasil wawancara dengan informan Banyuresmi 07
Desember 2021 :
“Pertama bangun air bersih itu, pertama rancangan sama warga
masyarakat tahun 1992. Pelaksanaan bangun air bersih itu bulan februari
tahun ‘93. Tahun 1993 itu hasil swadaya masyarakat, swadaya murni
neng..”

“Kan itu tiga sumber. Yang pertama swadaya murni. Yang kedua LDSC.
Yang ketiga pamsimas.”

“…Tahun 2011an atau 2010, ada bantuan dari LDSC, dari orang Amerika.
Dulu neng ngasih. Sama kayak pamsimas, 2 km lebih.

Informan di atas menjelaskan proses pembangunan buleng yang berlangsung di Dusun


1. Setiap kampung melaksanakan proses pembangunan infrastruktur beragam, bahkan baru
ada yang berjalan hingga saat ini. Pemasangan water meter di Pasir Angling, misalnya, baru
tahun 2016 mulai mendapat bantuan dari pemerintah desa. Selain itu ada juga buleng yang
dibangun oleh Yayasan Walungan, yaitu elemen masyarakat sipil menaruh perhatian pada
pemberdayaan masyarakat desa di wilayah DAS (Rifandini, 2018). Berikut ini buleng yang
dibangun Yayasan Walungan :
Gambar xx
Buleng di Kampung Pasir Angling

Sumber : Dokumentasi peneliti

61
Hasil wawancara dengan RT 02 Kampung Pasir Angling 22 September 2021 :
“Sebetulnya, ya dek ya, bapak baru ya di sini, bukan asli orang sini, jadi
bapak 2015 teh baru kesini. Setahun bapak di sini rumah baru di-kilometer.

“...Iya, itu hasil pengajuan ke desa...alhamdulillah keluar, desa juga


membantu banyak banget gitu kan…”

“…mulai juga ada dari bantuan dari pemerintah desa juga ada, melalui RW
ada.”

4.3.5 Sistem Iuran Air Bersih


Masing-masing kampung memiliki sistem pencatatan penggunaan air bersih oleh
konsumen rumah tangga. Di Kampung Pasir Angling pencatatan mulai dilakukan oleh
pengurus RT. Tanggal 5 setiap bulannya rumah tangga dikenakan Rp 5.000,- untuk
pemakaian setiap 20 kubik air. Intensitas penggunaan air bersih lebih dari 20 kubik biasanya
rumah tangga peternak yang memiliki kandang sapi. Hasil wawancara dengan Ketua RT 02
Kampung Pasir Angling 30 September 2021 :
“Kalau di sini cara pembayarannya 1 bulan 1 kali, cuman ada batasan,
kalau yang punya rumah, yang punya rumah 20 kubik per bulan. Kita
cuman ngasih beban 20 kubik 5 ribu. Kalau yang kandang sapi yang punya
ternak itu 40 kubik.”

“Sementara yang ambil pungutan itu ya bapak RT. Dicatat. Pak RT


biasanya per tanggal 5.”

Sistem pencatatan di Kampung Pasir Angling dilakukan oleh ketua RT yang


disesuaikan kembali dengan kondisi pelanggan. Penyesuaian dilakukan dengan melihat
penggunaan kilometer yang menunjukkan jumlah pemakaian. Ketua RT mengatakan
penggunaan air bersih lebih dari 20 kubik mendapat kebijakan pemotongan yang besarannya
setengah dari total pemakaian dan berlaku secara kelipatan. Pengurangan ini dilakukan agar
tidak membebani warga setempat. Dengan kata lain, mekanisme pembayaran atau sistem
pembayaran air dalam bentuk iuran air bersih. Hasil wawancara dengan Ketua RT 02
Kampung Pasir Angling 30 September 2021 :
“Tapi di sini semua juga, dilihat dulu kilometernya bulan kemarin habis
berapa. Misalnya habis 40 kubik ya, itu ada kebijakan dipotong 20 kubik,
yang dibayar cuman 20 kubik. Misalkan adek di rumah habis 40 kubik, itu
kan hasil musyawarah, kalau habis 40 kubik, dipotong 20 kubik jadi cuma
bayar 20 kubik.”

“…Supaya tidak memberatkan…”

62
Pelaporan iuran air bersih biasanya dibahas dalam pertemuan musyawarah warga yang
dilakukan setiap satu tahun sekali. Tujuannya untuk menginformasikan hasil pendapatan yang
diperoleh dari iuran bersih. Dalam pertemuan ini disepakati juga penggunaan hasil
pendapatan yang terkumpul, misalnya untuk pembelian perlengkapan kematian yang
digunakan bersama. Pelaporan juga diserahkan kepada pihak desa oleh ketua ulu-ulu. Hasil
wawancara dengan Ketua RT 02 Kampung Pasir Angling 30 September 2021 :
“…Dan setiap 1 tahun sekali per Agustus itu dibuka di semua masyarakat
penghasilannya.”

“Semuanya hasil dikembalikan lagi dek buat sosialnya juga kalau


membutuhkan kita pakai. Kemarin aja saya tidak menutup kemungkinan
alhamdulillah RW 07 bisa membeli kursi. Kursi ya kalau ada yang mati kan
harus punya kursi, sama terpal…”

“Iya, kita rapat dulu, mau dibeliin apa, makanya semua menikmati gitu dari
hasil gitu dah kita kembalikan lagi jadi kita dari hasil itu kita rapatin lagi
nih kan beda-beda nih antara RW 16, kebutuhannya beda ya kita rapatin di
masyarakat pinginnya apa kita belikan setelah ada hasilnya kita rapat lagi.
Jadi tidak ada yang namanya kecemburuan. Disini mah gitu dek, jadi
kembali lagi ke masyarakat karena hasil dari masyarakat harus
dikembalikan lagi ke masyarakat.”

Kampung Cibodas juga menerapkan iuran air bersih dengan besaran yang berbeda yaitu
Rp 15.000 untuk setiap pelanggan air bersih baik yang memiliki kilometer ataupun tidak.
Pemberlakuan sistem iuran air bersih sebesar Rp 15.000 dimulai sekitar tahun 2018. Hasil
wawancara dengan Penagih Air Kampung Cibodas 01 Oktober 2021:
“Ya bayar juga ke RW. Jadi yang punya kilometer 15 ribu , yang gak punya
kilometer 15 ribu”

Penerapan dilakukan setelah adanya perbaikan sistem pengelolaan air bersih. Dorongan
perbaikan karena pergantian pengurus RW yang memunculkan pembaruan penggunaan air.
Salah satunya setiap pelanggan diwajibkan pemasangan kilometer. Hasil wawancara dengan
Penagih Air Kampung Cibodas 01 Oktober 2021:
“Kan ada ganti ke-RW-an ada yang ngubah lagi. Kadang ada pembaruan
lagi pengurus, itu kan. Jadi beda-beda sih lh. Kalau ganti ke-RW-an ada
perubahan lagi. Perubahan misalnya pengurus, perubahan pengelola
mungkin tata cara.”
.
Iuran air bersih pada masa pengurus sebelumnya sekitar Rp 4.000 – Rp 5.000. Hal ini
dikarenakan sistem pengelolaan air bersih di Kampung Cibodas belum mewajibkan

63
pemasangan kilometer. Hasil wawancara dengan Penagih Air Kampung Cibodas 01 Oktober
2021:
“Iya mungkin belum ada kilometer. Mungkin tatacaranya ga ada sistem
denda. 15.000 kan kalo di awal-awal 4.000, 5.000, 10.000.”

Sama halnya, di Kampung Cibodas musyawarah dimanfaatkan untuk menentukan


kesepakatan tarif iuran air bersih. Biasanya musyawarah dihadiri oleh tokoh masyarakat.
Dalam musyawarah, salah satu yang disepakati mengenai kenaikan tarif iuran air bersih yang
sudah termasuk kas RW seperti untuk kematian, dan kebersihan. Hasil wawancara dengan
Penagih Air Kampung Cibodas 01 Oktober 2021:
“Naiknya 15.000 teh masuknya uang ke-RW-an, masuknya uang
kebersihan, itu masuk lagi. Itu kan masyarakat gotong royong lah kalau
sekarang ni karena sudah ada kebersihan yang jalan. Jadi ngambil
uangnya teh uang PAB, bayar.”

64
Gambar xx
Peta Tematik Desa Cibodas

65
4.4 Potret Desa Cibodas di Alas Sesar Lembang
4.4.1 Tata Wilayah Desa Cibodas
Kondisi geografis menunjukkan Desa Cibodas relatif termasuk dataran tinggi karena
terletak di ketinggian 1250 mdpl. Namun formasi geomorfologi Desa Cibodas berbeda dari
Desa Suntenjaya yang mengindikasikan tidak ditemui sumber air di Desa Cibodas. Sementara
itu dari peta dapat terlihat bahwa Desa Cibodas termasuk desa hilir di segmen I DAS
Cikapundung Hulu. Posisi ketinggian (elevasi) Desa Cibodas dengan gawir (tebing) Sesar
Lembang terletak relatif dekat. Secara topografi Desa Cibodas termasuk dari Sesar Lembang
yang berada di bagian lembah atau alas sesar. Wilayah alas sesar dapat terbentuk karena
adanya dua blok tektonik yang saling kontak. Tumbukan ini mengakibatkan munculnya
bongkahan patahan dari bidang tektonik yang berada di atas dapat berupa susunan tebing
yang curam dan bongkahan patahan di bagian bawah. Menurut Muljo & Helmi (2007) dan
Rasmid (2014) terbentuk melalui proses terangkatnya blok melalui gerak sesar geser (strike
slip) yang memperlihatkan arah jurusnya sejajar.
Sesar Lembang sendiri banyak diteliti geolog sebagai sesar yang aktif yang
menjadikannya rawan gempa. Sesar Lembang memanjang dari ujung timur Gunung Palasari
hingga ujung barat sepanjang sekitar 22 km. Keberadaan Sesar Lembang memberikan
dampak tektonik bagi kawasan DAS Cikapundung Hulu yaitu membentuk morfologi yang
dataran Lembang berupa jalur perbukitan dan drainase cekungan (drainage basin). Drainase
Cekungan Lembang ini merupakan area permukaan yang menjadi daerah pertemuan sungai-
sungai kecil yang membentuk pola aliran DAS Cikapundung Hulu. Daerah ini dapat dilihat
pada area segment I-b Peta Delineasi DAS Cikapundung Hulu. Bentang alam jalur perbukitan
Sesar Lembang dapat diamati secara langsung dari Desa Cibodas. Di sepanjang tebing
terdapat kawasan hutan yang dicirikan dengan vegetasi pinus.

66
Gambar xx
Penampakan Bentang Alam Sesar Lembang di Desa Cibodas

Kawasan hutan pada sisi tebing Sesar Lembang Jalur perbukitan Sesar Lembang dari RW 05 Desa Cibodas

Sumber : Dokumentasi peneliti


Peta tematik menunjukkan bahwa Desa Cibodas dikelilingi oleh anak-anak sungai
Cikapundung. Di sebelah utara dekat dengan garis perbatasan Desa Cibodas terdapat
pertemuan antara Sungai Ciawiruka, Sungai Cikawari, dan Cipanengah. Ketiga anak sungai
ini menyatu dalam aliran Sub-DAS Cikawari. Sementara di sisi selatan Desa Cibodas
mengalir Sub-DAS Cikapundung Hulu. Desa Cibodas termasuk desa muara atau hilir diantara
desa-desa di zona produksi DAS Cikapundung Hulu. Deskripsi topografi ini dapat
menjelaskan sumber pengelolaan air bersih di Desa Cibodas berasal dari mata air di sekitar
kawasan Gunung Bukit Tunggul. Berdasarkan peta, terdapat 4 sumber mata air yang
digunakan Desa Cibodas di kawasan hutan Bukit Tunggul yaitu Sangga Dulang dan Seke
Saladah yang berada di kawasan hutan PTPN VIII dan Legok Onah berada di kawasan
Perhutani. Sumber air Legok Barong yang berada di Desa Suntenjaya juga dimanfaatkan
sebagai pasokan ketersediaan air bersih. Selain itu, Desa Cibodas menambah sumber air dari
Sungai Cipanengah namun belum dimasukkan dalam peta karena penambahan mata air tahun
2018. Hasil wawancara ketua PAB Desa Cibodas 17 Januari 2022:
“…Sebenarnya ada 5, Cuma satu belum masuk peta. Satunya Cipabeasan di
Cipanengah.”

4.4.2 Peran BPAB Desa Cibodas


Pembangunan PAB di Desa Cibodas dimulai sekitar tahun 1988 yang diinisiasi oleh
sejumlah tokoh masyarakat bersama masyarakat secara swadaya. Hasil wawancara dengan
ketua PAB Desa Cibodas 17 Januari 2022:

67
“Dulu kan tokohnya ada yang di Cibodas ini Pak Otoy, Pak Triana itu yang
pelopor air bersih di Cibodas. Hmm dulu itu sih pas pembangunan, kalau
nggak salah semacam swadaya gitu lah. Jadi pas pembangunan itu ada kerja
bakti segala macam sampe sekarang sini…”

Pengurusan air bersih dikelola oleh BPAB Desa Cibodas secara terpisah dari
pemerintah desa. Namun mulai dari tahun 2015-2016 pengelolaan air bersih diserahkan
kepada BUMDes yang menjadi bagian dari institusi di tingkat desa. Hasil wawancara dengan
ketua PAB Desa Cibodas 17 Januari 2022 :
“Baru tahun 2015-2016 lah kalau nggak salah itu dimasukkan ke BUMDes.”
Peran BPAB terkait dengan keterjaminan distribusi air, pemelihaaran teknis jalur
distribusi, dan pelayanan retribusi air bersih. Secara struktural, BPAB berada di bawah unit
BUMDes. Selain PAB, BUMDes Karya Mandiri memiliki unit usaha penyewaaan kios desa
dan pengelolaan sampah. Saat ini BPAB dapat menyumbang PAD sebesar Rp 2.500.000.

4.4.3 Pemanfaatan Sumber Air


Deskripsi topografi Desa Cibodas menjelaskan bahwa tidak ditemui sumber air ataupun
sumber mata air di Desa Cibodas. Desa Cibodas memiliki 20 reservoir penampungan air yang
mayoritas bersumber dari kawasan Gunung Bukit Tunggul. Berikut ilustrasi peta yang dibuat
oleh Desa Cibodas :

Gambar xx
Peta Reservoir Desa Cibodas

68
Tabel xx
Bak Penampungan Air
Lokasi Bak Kapasitas Bak Sumber Mata Air Distribusi Air per
Reservoir (Perkiraan Informan) Wilayah RW
Bak reservoir 30.000 liter Sangga Dulang RW 09
1 di RW 09
Bak reservoir 30.000 liter Sumber air RW 01, RW 16, dan
2 di RW 11 Cipanengah RW 02
Bak reservoir 30.000 liter Sangga Dulang RW 08 dan RW
3 di RW 11
Bak reservoir 32.000 liter Legok Onah RW 11 atau RW 12
4 di RW 04
Desa
Suntenjaya
Bak reservoir 10.000 liter Sangga Dulang RW 15
5 di RW 15
Bak reservoir 15.000 liter Seke Saladah dan RW 07
6 di RW 07 Sangga Dulang
Bak reservoir 5.000 liter Seke Saladah dan RW 07
7 di RW 07 Sangga Dulang
Bak reservoir 5.000 liter Sangga Dulang, RW 10
8 di RW 10 perpanjangan dari
Bak 2
Bak reservoir 20.000 Sangga Dulang RW 10
9 di RW 10 (sumber utama)
dan Legok Barong
Bak reservoir 2.000 Sumber air RW 13
10 di RW 13 Cipanengah
Bak reservoir 20.000 liter Seke Saladah RW 17 dan RW 05
11 di RW 17
Bak reservoir 10.000 – 15.000 liter Seke Saladah RW 05
12 di RW 05
Bak reservoir 10.000 liter Seke Saladah RW 06
13 di RW 06
Bak reservoir 10.000 liter Seke Saladah RW 05
14 di RW 05
Bak reservoir 20.000 liter Legok Barong dan RW 04
15 di RW 04 Seke Saladah
Bak reservoir 25.000 liter Legok Barong RW 03, RW 14, dan
16 di RW 03 (Utama) dan RW 02
sumber air
Cipabeasan
(Cipanengah)
Bak reservoir 10.000 liter Legok Barong RW 02
17 di RW 02
Bak reservoir 15.000 – 20.000 liter Sumber air RW 16
18 di RW 16 Cipabeasan

69
(Cipanengah) dan
Legok Barong
Bak reservoir 8.000 liter Legok Barong RW 02
di RW 02

70
Gambar xx
Peta Tematik Desa Mekarwangi

71
4.5 Potret Desa Mekarwangi Dibalik Punggung Bukit
Secara umum Desa Mekarwangi seperti perbatasan administrasi desa dan batas alam.
Desa Mekarwangi berbatasan dengan kawasan Tahura Juanda yang merupakan hutan
lindung. Masyarakat Desa Mekarwangi dibatasi aktivitasnya di hutan, sebagian besar hanya
menanam rumput ternak di wilayah hutan yang dekat dengan perbatasan Cimenyan. Di Desa
Mekarwangi tidak ada LMDH yang mengatur pemanfaatan hutan oleh masyarakat sekitar.
BPAB berasal dari panitia PAB yang bertugas mencari air bersih. Tahun 2004 panitia
ini dibentuk karena di Desa Mekarwangi kesulitan air. Panitia ini melakukan pengukuran dari
sumber mata air di Gunung Kasur (di kawasan 700 ha perkebunan kina) di Cilengkrang
sampai ke reservoir atau penampungan air bersih berjarak 15-20 km. Setelah itu, panitia
membuat proposal untuk pengadaan air bersih yang ternyata memakan biaya sebesar 6 miliar.
Oleh karena biayanya besar, maka panitia tidak melanjutkan pembangunan penyaluran air
bersih.
Kemudian, ada bantuan datang dari LDSC (Latter-Day Saint Charities). Semula LDSC
menawarkan bantuan sosial di Desa Langensari, namun ditolak karena identitas agama
Kristen yang berbeda dari warna masyarakat setempat. Bantuan dari LDSC pun ditanggapi
oleh kepala Desa Mekarwangi. Awalnya LDSC menawarkan bantuan sosial kepada penyintas
bibir sumbing. Tawaran itu tidak diterima oleh kepala desa karena masalah itu bukan
prioritas. Kepala desa menegaskan bahwa yang dibutuhkan adalah penyaluran air bersih.
LDSC baru bisa menjawab permintaan kepala desa setelah 2 minggu dengan memberikan
bantuan material. Pada tahun 2006 dilaksanakan kerja bakti pembangunan saluran air bersih
di Desa Mekarwangi. Tahun 2008 tepatnya tanggal 18 Agustus, pembangunan diresmikan
oleh bupati.
Hingga saat ini, panitia yang dibentuk oleh kepala desa berkembang menjadi BPAB
Desa Mekarwangi yang jumlah karyawannya mencapai 20 orang. Keberadaan BPAB saat ini
merupakan kemitraan dibawah BUMDes, karena BUMDes memiliki payung hukum untuk
menentukan persentase honor karyawan BPAB dan AD/ART. Oleh karena bersifat
kemitraan, maka sistem keuntungan yang berlaku antara BPAB dan BUMDes adalah bagi
hasil. Disamping itu, retribusi air yang dikumpulkan BPAB menjadi PADes yang merupakan
bentuk kontribusi BPAB ke desa. Meskipun demikian tarif biaya yang dikenakan kepada
setiap warga merupakan hasil musyawarah. Biaya yang dikenakan sebesar Rp 2.200 untuk 1-
10 kubik air, sementara untuk kelipatan 10 kubik bertambah seribu rupiah, misalnya diatas 11
kubik menjadi Rp 3.200.

72
Di Mekarwangi, meskipun sudah ada PAB, namun sebagian kecil masih ada warga
yang menjalankan air bersih mandiri di tingkat RW. Hal ini karena di beberapa tempat
terdapat mata air seperti di RW 06, 10, 03, dan 04. Pengurusan air diserahkan kepada ketua
RW. Setidaknya ada tiga jenis pemakaian air di Desa Mekarwangi. Pertama, konsumen yang
seutuhnya menggunakan layanan BPAB. Kedua, konsumen yang mengandalkan mata air
setempat dan tidak menggunakan layanan BPAB. Lalu, ada juga konsumen yang
menggunakan keduanya. Alasannya, penanganan masalah dari mata air setempat lama karena
“main tunggu-tungguan” untuk membenarkan saluran, sehingga untuk sementara waktu
konsumen memaknai air dari BPAB.
Setiap konsumen baru yang mau memasang meteran dikenakan biaya sebesar Rp
2.000.000. Sementara untuk konsumen pendatang seperti penghuni villa baru dikenakan Rp
10.000.000. BPAB mengakui menerapkan subsidi silang untuk pemakaian air karena
kemampuan membayar air harus dibagi-bagi di masyarakat. Konsumen harus membayar
retribusi setiap bulan, namun jika tidak dikenakan denda Rp 5.000, dan itu tidak berlaku
kelipatan. Meskipun diberlakukan denda, namun sifatnya tidak mengikat karena mengikuti
kesanggupan konsumen. Ada konsumen yang nunggak selama dua tahun, sehingga terpaksa
harus dihentikan. Setelah yang bersangkutan melaporkan diri dan membayar, maka aliran air
dijalankan kembali. Masalah penunggakan PAB dan kewajiban denda bagi yang terlambat
dijalankan secara tidak saklek.
BPAB sering menerima keluhan berupa air yang mati dan pipa yang bermasalahan.
Biasanya respon masalah dilakukan selama 3 hari karena ternyata membutuhkan waktu untuk
mencari sumber masalah. Masalah teknis yang muncul bisa dari pipa besar dari sumber mata
air atau saluran di bawah, sehingga biasanya melakukan koordinasi dengan petugas lapangan.
Jika yang rusak ada di hulu, maka yang dikerahkan adalah petugas lapangan yaitu ketua RW
Kp. Batu Loceng, Desa Suntenjaya.

73
BAB V
Analisis Keterjalinan Institusi
5.1 Tahap 1 : Situasi Masalah Dunia Nyata
Bab ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang dikemukakan di BAB 1.
Uraian setiap sub-bab ini dibahas berdasarkan tahapan SSM. Sub-bab pertama menjelaskan
situasi multi-level kelembagaan tata kelola air bersih.
5.1.1 Lingkungan Institusional Makro : Satu Windu Undang-Undang Desa
Lokalisme menjadi peluang bagi desa administratif untuk menjalankan asas
subsidiaritas dan rekognisi dari Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Tesis ini
menandai keberjalanan satu windu Undang-Undang Desa dengan mengangkat konteks
bagaimana desa mengatur kebutuhan air bersih di tengah persinggungan wilayah kewenangan
dan hubungan kelembagaan. Berdasarkan kerangka konseptual Nee dan Opper (2012),
lingkungan institusional di tingkat makro dalam penelitian ini direpresentasikan oleh narasi
peraturan mulai dari undang-undang hingga peraturan yang diterbitkan oleh lembaga formal
negara mengenai peran pemerintah desa dalam pengelolaan air bersih di kawasan DAS.
Sub-bab ini menjelaskan temuan analisis regulasi. Pengambilan data dilakukan
berdasarkan panduan dari pertanyaan penelitian turunan pertama mengenai regulasi di level
makro mengatur tata kelola air bersih di tingkat desa. Analisis regulasi dilakukan dengan
identifikasi topik yang berkenaan dengan tata kelola air bersih dan wewenang desa terkait
tata kelola air bersih. Pembedaan ruang lingkup antara regulasi tata kelola air bersih berkaitan
dengan kawasan DAS dan wewenang desa dilihat dari kategori identifikasi. Pada topik
pertama, kategori identifikasi mengenai “Kawasan DAS”, “Air Bersih”, “Tata Kelola”.
Kategori identifikasi topik kedua yaitu “Subsidiaritas” dan “Pemerintah Desa”. Analisis
mengenai topik kedua merujuk pada empat isu pengejawantahan Undang-Undang Desa yaitu
penataan desa, aset desa, kewenangan desa, dan penataan kawasan perdesaan Sukasmanto
et.al (2020). Tujuannya untuk melihat penyerahan wewenang dari negara kepada desa.
Terkait hal ini, Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 merupakan narasi peraturan
utama yang dirujuk terkait pengaturan penyerahan wewenang negara kepada desa.

74
5.1.2 Arena Organisasional Desa
Sub-bab ini menganalisis interaksi institusi yang berlangsung di arena organisasional,
dalam hal ini pemerintah desa dan institusi formal dan informal di lingkup desa.
5.1.3 Tataran Mikro
Sementara itu Di desa Suntenjaya yang berbatasan dengan hutan, teknikalisasi
kebutuhan air bersih dapat mencerminkan tipologi kelembagaan. Umumnya rumah tangga
yang memiliki lahan tani dan kandang sapi
5.1.4 Analisis Satu : Analisis Intervensi
5.1.5 Analisis Dua : Analisis Sosial
5.1.6 Analisis Tiga : Analisis Politik

5.2 Tahap 2 : Situasi Masalah Diekspresikan

75
Gambar xx
Rich Picture

76
77
5.3 Tahap 3 : Pembuatan Root Definition (RD) yang Relevan dalam Situasi
5.4 Tahap 4 : Pembuatan Model Konseptual
5.5 Tahap 5 : Perbandingan Model Konseptual dan Dunia Nyata
5.6 Tahap 6 : Perumusan Saran Tindak
5.7 Tahap 7 : Langkah Tindakan Perbaikan

78
BAB VI
Kesimpulan dan Saran

79
Daftar Pustaka
Abell, R., Allan, J. D., & Lehner, B. (2007). Unlocking the potential of protected areas for
freshwaters. Biological Conservation, 134(1), 48–63.
https://doi.org/10.1016/j.biocon.2006.08.017
Afrizal. (2012). Kontestasi Ruang : Tinjauan Sosiologis Terhadap Keadilan Sosiologis.
Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, 1(1), 1–9.
Agunggunanto, E. Y., Darwanto, Arianti, F., & Kushartono, E. W. (2016). Pengembangan
Desa Mandiri Melalui Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Jurnal
Dinamika Ekonomi Dan Bisnis, 13(1), 67–81.
Anindita, F. (2015). Masyarakat Adat, Penguasaan Hutan Adat dan Konsesi Pertambangan
(No. 2).
Antlöv, H. (2003). Village government and rural development in Indonesia: The new
democratic framework. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(2), 193–214.
https://doi.org/10.1080/00074910302013
Antlöv, H., Wetterberg, A., & Dharmawan, L. (2016). Village Governance, Community Life,
and the 2014 Village Law in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 52(2),
161–183. https://doi.org/10.1080/00074918.2015.1129047
Arribas, G., & Bourdin, D. (2012). What Does the Lisbon Treaty Change Regarding
Subsidiarity within the EU Institutional Framework? EIPAScope, 2, 13–17.
http://aei.pitt.edu/43477/
Astuti, H. P. (2017). Kajian Implementasi Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (PSDAT)
pada Daerah Aliran Sungai Brantas Hulu. Jurnal Kajian Teknik Sipil, 2(2), 96–106.
Bock, B. B. (2016). Rural Marginalisation and the Role of Social Innovation; A Turn
Towards Nexogenous Development and Rural Reconnection. Sociologia Ruralis, 56(4),
552–573. https://doi.org/10.1111/soru.12119
Box, T. W. (1977). The Arid Lands Revisited, 100 Years after John Wesley Powell. USU
Faculty Honor Lectures, Paper 10. http://digitialcommons.usu/honor_lectures/10
Breman, J. (1982). The Village on Java and the Early-Colonial State. In The Journal of
Peasant Studies (Vol. 9, Issue 4, pp. 189–240).
https://doi.org/10.1080/03066158208438179
Bunch, M. J. (2003). Soft systems methodology and the ecosystem approach: A system study
of the Cooum River and environs in Chennai, India. Environmental Management, 31(2),
182–197. https://doi.org/10.1007/s00267-002-2721-8
Buttel, F. H. (2001). Rural Sociology. In International Encyclopedia of the Social &
Behavioral Sciences (pp. 13429–1343). https://doi.org/10.2307/348062
Conner, B., Jensen, L., & Ransom, E. (2014). Rural America in a Globalizing World.
http://scholarship.richmond.edu/bookshelf
Delgado, L. E., De Ríos, R., Perevochtchikova, M., Marín, I. A., Fuster, R., & Marín, V. H.
(2021). Water governance in rural communities of Chiloé Island, southern Chile: A
multi-level analysis. Journal of Rural Studies, 83(November 2020), 236–245.
https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2020.11.008

80
Dharmawan, A. H. (2007). Dinamika Sosio-Ekologi Pedesaan : Perspektif dan Pertautan
Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan, dan Ekologi Politik. Sodality:
Jurnal Sosiologi Pedesaan, 1(2), 1–40. https://doi.org/10.22500/sodality.v1i2.5932
DW, P. (2020). Sadar Kawasan.
https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/link/
548173090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~reynal/Civil
wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-asia.org/handle/11540/8282%0Ahttps://
www.jstor.org/stable/41857625
Ercan, S. A., & Hendriks, C. M. (2013). The Democratic Challenges and Potential of
Localism: Insights From Deliberative Democracy. Policy Studies, 34(4), 422–440.
https://doi.org/10.1080/01442872.2013.822701
Escobar, A. (1992). Imagining a Post-Development Era? Critical Thought, Development and
Social Movements Author ( s ): Arturo Escobar Source : Social Text , No . 31 / 32 ,
Third World and Post-Colonial Issues ( 1992 ), pp . 20-56 Published by : Duke
University Press Stable. Hird World and Post-Colonial Issues, 31/32, 20–56.
Evans, M., Marsh, D., & Stoker, G. (2013). Understanding Localism. Policy Studies, 34(4),
401–407. https://doi.org/10.1080/01442872.2013.822699
Fahrunnisa, Soetarto, E., & Pandjaitan, N. K. (2016). Kontestasi Akses Sumber Agraria Di
Kawasan Hutan Dodo Jaran Pusang, Kabupaten Sumbawa, NTB. Sodality: Jurnal
Sosiologi Pedesaan, 145–151.
Fazriah. (2017). Kelembagaan Baru Ekonomi dan Sosiologi Industri Kreatif Kerajinan Kota
Bogor.
Firdaus, Hardjosoekarto, S., & Lawang, R. M. Z. (2021). The Role of Local Government on
Rural Tourism Development: Case Study of Desa Wisata Pujonkidul, Indonesia.
International Journal of Sustainable Development and Planning, 16(7), 1299–1307.
https://doi.org/10.18280/ijsdp.160710
Gioda, A. (1999). A short history of water. Nature and Resources, 35(1), 42–48.
Gunawan, D. H. (2013). Perubahan Sosial di Pedesaan Bali.
Habron, G. B., Kaplowitz, M. D., & Levine, R. L. (2004). A soft systems approach to
watershed management: A road salt case study. Environmental Management, 33(6),
776–787. https://doi.org/10.1007/s00267-004-3043-9
Hardjosoekarto, S., Yovani, N., & Santiar, L. (2013). Institutional Strengthening for the Role
of Mass Media in Disaster Risk Reduction in Japan and Indonesia: An Application of
SSM-Based Action Research. Systemic Practice and Action Research, 27(3), 227–246.
https://doi.org/10.1007/s11213-013-9282-z
Harmes, R. (2021). Localism and the Design of Political Systems. In Localism and the
Design of Political Systems. https://doi.org/10.4324/9780367810054
Harnanto, R. A., Ummah, A. I., Rekavianti, E., & Ratnasari, A. (2018). Gerakan Masyarakat
Kendeng, Rembang untuk Keadilan dan Penegakan Hak Asasi Manusia. JSW (Jurnal
Sosiologi Walisongo), 2(1), 1–16. https://doi.org/10.21580/jsw.2018.2.1.2270
Hildreth, P. (2011). What is Localism and What Implications Do Different Models Have for
Managing The Local Economy? Local Economy, 26(8), 702–714.

81
https://doi.org/10.1177/0269094211422215
Hoadley, M. C., & Gunnarsson, C. (1996). The Village Concept in the Transformation of
Rural Southeast Asia : Studies from Indonesia, Malaysia, and Thailand (Vol. 15, Issue
2).
Hogan, A., & Lockie, S. (2013). The Coupling of Rural Communities With Their Economic
Base: Agriculture, Localism and The Discourse of Self-Sufficiency. Policy Studies,
34(4), 441–454. https://doi.org/10.1080/01442872.2013.822702
Huttunen, S. (2019). Revisiting Agricultural Modernisation: Interconnected Farming
Practices Driving Rural Development at the Farm Level. Journal of Rural Studies,
71(May), 36–45. https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2019.09.004
Krannich, R. S. (2008). Rural sociology at the crossroads. Rural Sociology, 73(1), 1–21.
https://doi.org/10.1526/003601108783575907
Kusumah, R. I., & Mustofa, M. U. (2020). Kajian Teoritis Water Governance Untuk
Pengelolaan Air di Indonesia. Jurnal JISIPOL Ilmu Pemerintahan Universitas Bale
Bandung, 4(April). https://ejournal.unibba.ac.id/index.php/jisipol/article/view/259
Lang, M., & Mokrani, D. (2013). Beyond Development : Alternative Visions from Latin
America.
Lawang, R. M. Z. (2019). Small Farmers and Conversion: the Role of Social Capital
(Evidence From Manggarai, Flores, East Nusa Tenggara, Indonesia). Journal of Asian
Rural Studies, 3(1), 48. https://doi.org/10.20956/jars.v3i1.1717
Lawang, R. M. Z. (2021). Social Poverty In Two Extreme Cases In Manggarai-East Nusa
Tenggara Province. INSANI, 8(1), 1–12.
Lichter, D. T. (2015). Rural Sociology. In International Encyclopedia of the Social &
Behavioral Sciences: Second Edition (Second Edi, Vol. 20). Elsevier.
https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.32128-6
Luthfi, A. N. (2017). Idealisasi Desa di Tengah Krisis Sosial Ekologis. Wacana: Jurnal
Transformasi Sosial, 36(January 2017), 3–14.
https://insistpress.com/wp-content/uploads/2017/12/Wacana-36-Pengantar-Luthfi.pdf
Madanipour, A., & Davoudi, S. (2015). Localism : Institutions, Territories, and
Representations. In Reconsidering Localism (Issue 2, pp. 11–30).
Mardimin, J. (2014). Egoisme Sektoral dan Kedaerahan sebagai Tantangan Program
Pembangunan Berkelanjutan (Kasus Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Air Senjaya
di Perbatasan Wilayah Kabupaten Semarang dengan Kota Salatiga). Kritis, XXIII(2),
131–148.
Maria, R., & Lestiana, H. (2014). Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Fungsi Konservasi
Air Tanah Di Sub Das Cikapundung. Jurnal RISET Geologi Dan Pertambangan, 24(2),
77. https://doi.org/10.14203/risetgeotam2014.v24.85
Marks, G., Hooghe, L., & Schakel, A. (2008). Patterns of Regional Authority. Regional and
Federal Studies, 18(2–3), 167–181. https://doi.org/10.1080/13597560801979506
Mohan, G., & Stokke, K. (2000). Participatory development and empowerment: The dangers
of localism. Third World Quarterly, 21(2), 247–268.

82
https://doi.org/10.1080/01436590050004346
Muhammaditya, N., Hardjosoekarto, S., Herwantoko, O., Fany, Y. G., & Subangun, M. I.
(2021). Institutional Divergence of Digital Item Bank Management in Bureaucratic
Hybridization: An Application of SSM Based Multi-Method. Systemic Practice and
Action Research, 0123456789. https://doi.org/10.1007/s11213-021-09579-4
Nanga, B. P., & Yovani, N. (2022). Tindakan Kolektif Animal Welfare Organizations
(AWOS) Untuk Mengakhiri Perdagangan Daging Anjing di Pasar Tomohon dari
Perspektif NIES. Jurnal Syntax Transformation, 3(2).
Nee, V. (2003). New institutionalism, Economic and Sociological. Handbook for Economic
Sociology, October, 1–71.
Nee, V., & Opper, S. (2015). Sociology and the New Institutionalism. In International
Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences: Second Edition (Second Edi, Vol.
22). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.32180-8
Norken, I. N., Suputra, I. K., & Arsana, I. G. N. K. (2017). Institutional and Regulatory Roles
in Maintaining Sustainability of Subak as a World Cultural Heritage in Bali. Asian Agri-
History, 21(4), 245–254.
Pambudi, A. S. (2019). Watershed Management in Indonesia: A Regulation, Institution, and
Policy Review. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of
Development Planning, 3(2), 185–202. https://doi.org/10.36574/jpp.v3i2.74
Parkinson, J. (2007). Localism and Deliberative Democracy. The Good Society, 16(1), 23–29.
https://doi.org/10.2307/20711247
Pieterse, J. N. (2000). After Post-Development. Taylor & Francis, 21(2), 175–191.
Pieterse, J. N. (2010). Development Theory. Desconstruction/Reconstruction. In SAGE
Publications.
Ploeg, J. D. Van Der, & Roep, D. (2003). Multifunctionality and Rural Development : The
Actual Situation in Europe. Multifunctional Agriculture; A New Paradigm for European
Agriculture and Rural Development, November, 1–15.
Pratchett, L. (2004). Local autonomy, local democracy and the “new localism.” Political
Studies, 52(2), 358–375. https://doi.org/10.1111/j.1467-9248.2004.00484.x
Primmer, E., Jokinen, P., Blicharska, M., Barton, D. N., Bugter, R., & Potschin, M. (2015).
Governance of Ecosystem Services: A framework for empirical analysis. Ecosystem
Services, 16, 158–166. https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2015.05.002
Rifandini, R. (2018). Transformation of Post-Authoritarian Rural Development in Indonesia:
A Study of Farmer-Breeder Community Development in West Bandung Regency.
MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 23(2), 235–255.
https://doi.org/10.7454/mjs.v23i2.9637
Rodiyah, D. L. (2015). Pengelolaan Air Oleh BUMDes Pada Unit Usaha Pengelola Air
Bersih Desa dalam Rangka Meningkatkan Asli Desa.
Sambodho, J. P. (2019). From Clients to Citizens? Democratization and Everyday
Citizenship in a West Javanese Village (Vol. 15, Issue 2).
Saptana, Dermoredjo, S. K., Wahyuni, S., Ariningsih, E., & Darwis, V. (2004). Integrasi

83
kelembagaan Forum KASS dan program Agropolitan dalam rangka pengembangan
agribisnis sayuran Sumatera. Analisis Kebijakan Pertanian, 2(3), 257–276.
Saptana, Siregar, M., Wahyuni, S., Dermoredjo, S. K., Ariningsih, E., & Darwis, V. (2005).
Pemantapan Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS).
Sarkki, S. (2017). Governance services: Co-producing human well-being with ecosystem
services. Ecosystem Services, 27, 82–91. https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2017.08.003
Scoones, I. (1998). Sustainable rural livelihoods: a framework for analysis. IDS Working
Paper, 72, 22.
http://forum.ctv.gu.se/learnloop/resources/files/3902/scoones_1998_wp721.pdf
Scoones, I. (2009). Livelihoods perspectives and rural development. Journal of Peasant
Studies, 36(1), 171–196. https://doi.org/10.1080/03066150902820503
Shohibuddin, M. (2016). Peluang dan Tantangan Undang-undang Desa dalam Upaya
Demokratisasi Tata Kelola Sumber Daya Alam Desa: Perspektif Agraria Kritis.
MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 21(1), 1–33. https://doi.org/10.7454/mjs.v21i1.5021
Shucksmith, M. (2012). Future Directions in Rural Development? September 2012, 32.
https://www.carnegieuktrust.org.uk/carnegieuktrust/wp-content/uploads/sites/
64/2016/02/pub1455011629.pdf
Simarmata, R., & Zakaria, R. Y. (2017). Perspektif Inklusi Sosial dalam Undang-undang No.
6 Tahun 2014 Tentang Desa: Kebijakan dan Tantangan Implementasi. WACANA:
Jurnal Transformasi Sosial, 37, 9.
Siscawati, M. (2014). Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan. Wacana Jurnal
Transformasi Sosial, 30, 3–24.
Sudarmadji, S., Darmanto, D., Widyastuti, M., & Lestari, S. (2016). Pengelolaan Mata Air
untuk Penyediaan Rumah Tangga Berkelanjutan di Lereng Selatan Gunungapi Merapi.
Jurnal Manusia Dan Lingkungan, 23(1), 102. https://doi.org/10.22146/jml.18779
Sukayadi, Yahman, Wiyono, S., & Sriyono, A. (2014). Konflik Pengelolaan Sumber Daya
Agraria Atas Rencana Pendirian Pabrik Semen.
https://www.researchgate.net/publication/269107473_What_is_governance/link/
548173090cf22525dcb61443/download%0Ahttp://www.econ.upf.edu/~reynal/Civil
wars_12December2010.pdf%0Ahttps://think-asia.org/handle/11540/8282%0Ahttps://
www.jstor.org/stable/41857625
Suriya, S., & Mudgal, B. V. (2013). Soft systems methodology and integrated flood
management: A study of the Adayar watershed, Chennai, India. Water and Environment
Journal, 27(4), 462–473. https://doi.org/10.1111/j.1747-6593.2012.00365.x
Suyatman, U. (2021). Citarum yang Merana dalam Pengabaian Nilai Kabuyutan Orang
Sunda. 18(1), 51–61. https://doi.org/10.15575/al-tsaqafa.v18i1.12721
Tarigan, H., Dharmawan, A. H., & Tjondronegoro, S. M. P. (2014). Pertarungan Akses
Sumberdaya Air Keterancaman Subak Pada Lahan Persawahan di Kabupaten Tabanan,
Bali. Pusat Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian, 501–518.
Taylor, C. (1923). The Field of Rural Sociology. County and Country Life Programs, 1(5),
592–595.

84
Triana, N. (2014). Pendekatan Ekoregion Dalam Sistem Hukum Pengelolaan Sumber Daya
Air Sungai di Era Otonomi Daerah. Pandecta: Research Law Journal, 9(2), 158.
https://doi.org/10.15294/pandecta.v9i2.3435
Tvedt, T., & Jakobsson, E. (2006). Introduction: Water History is World History. A History
of Water Volume 1: Water Control and River Biographies, January 2006, viii–xxii.
UNPDF. (2020). Government - United Nations Partnership for Development Framework
2016 - 2020. https://www.un.or.id/what-we-do/partnership-for-development-unpdf.
Vandergeest, P., & Peluso, N. L. (1995). Territorialization and State Power in Thailand.
Theory and Society, 24(3), 385–426.
Vel, J., Zakaria, Y., & Bedner, A. (2017). Law-Making as a Strategy for Change: Indonesia’s
New Village Law. Asian Journal of Law and Society, 4(2), 447–471.
https://doi.org/10.1017/als.2017.21
White, B. (2017). UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa: Pertarungan Visi dan Wacana dalam
Penelitian dan Kebijakan. Wacana: Jurnal Transformasi Sosial, 36, 15–28.
Wicaksono, Y. P., Surya, I., & Iskandar, E. (2017). Peran Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) Amanah dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa Padang Jaya
Kecamatan Kuaro kabupaten Paser. EJournal Ilmu Pemerintahan, 5(4), 1637–1650.
Wulandari, C. (2007). Penguatan Forum DAS sebagai Sarana Pengelolaan DAS Secara
Terpadu dan Multipihak. Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan
Infrastruktur Data, 171–183.
Zakaria, Y. (2014). Kronik Undang-Undang Desa : Dari UU 5/1979 tentang Pemerintahan
Desa ke UU 6/2014 tentang Desa. 1–176.

85

Anda mungkin juga menyukai