Anda di halaman 1dari 106

Dasar-dasar Pendidikan MIPA

LATIHAN DAN DISKUSI 1. Beri contoh berfikir deduktif yang berhubungan dengan pelaksanaan pengajaran ilmu kimia? Jawab : Semua larutan elektrolit dapat mengahantarkan listrik. Asam sulfat merupakan larutan elektrolit maka asam sulfat dapat menghantarkan listrik. 2. Beri contoh berfikir induktif yang berhubungan dengan pelaksanaan pengajaran ilmu kimia? Jawab : Metana merupakan senyawa alkana dan metana memiliki rumus umum maka semua senyawa alkana memiliki rumus umum . 3. Sebutkan sumber pengetahuan yang mana yang di gunakan dalam contoh-contoh dibawah ini? (pengalaman pribadi, otori (pengalaman pribadi, otoritas, deduktif dan induktif)

Setelah mengaadakan pengamatan teerhadap beberapa logam yang dipanaskan, siswa menyimpulkan bahwa semua logam yang dipanaskan memuai.. Setelah banyak berfikir, Dalton berkesimpulan bahwa setiap benda terdiri dari partikel-pertikel kecil yang disebut atom.. Pemikiran Dalton ini kemudian menjadi dasar bagi teori atom. Mengetahui bahwa radio aktif mengeluarkan partikel-partikel energy tanpa mengurangi besarnya, Einstein mengembangkan rumus E = untuk mengubah benda menjadi energi. Si A sewaktu masih mahasiswa sering diikutkan dosen mengawasi dan menyiapkan alat dan bahan praktikum, maka sewaktu dia ditunjuk sebagai pengelola labolatorium di SMA tempat dia mengajar, dia dapat menglola laboratorium dengan baik.

a. b. c. d. 4.

Jawab : Pernyataan tersebut merupakan penalaran induktif Pernyataan tersebut merupakan otoritas atau pakar Pernyataan tersebut merupakan otortas atau pakar Pernyataan tersebut merupakan pengalaman pribadi Bagaimana pendapat anda tentang silogisme tersebut? Bila Tuhan Maha Kuasa, tentu ia kuasa membuat batu seberat yang ia tidak kuasa mengangkatnya. Jawab : Menurut saya silogisme diatas salah karena sesuai dengan rumus silogisme seharusnya jika premis-premisnya seperti yang di atas maka kesimpulan pun juga harus sesuai dengan premis-premisnya. Jadi jika Tuha Mha Kuasa, tentu ia kuasa membuat batu seberat yang ia kuasa mengangkatnya.

TUGAS : 1. Tujuan pembelajaran IPA (KIMIA) di SMA (rujukan : kurikulum) Jawab : Rujukan kurikulum KTSP 2006

1. 2. 3.

4.

5.

Mata pelajaran kimia pada KTSP kimia merupakan ilmu yang termasuk rumpun IPA, oleh karenanya kimia mempunyai karakteristik sama dengan IPA. Karakteristik tersebut adalah objek ilmu kimia, cara memperoleh, serta kegunaannya. Kimia merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif). Kimia adalah ilmu yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energitika zat. Oleh karena itu , mata pelajaran kimia di SMA mempelajari segala sesuatu tentang zat yang meliputi komposisi, struktur, dan sifat, perubahan, dinamika, dan energitika zat yang menyebabkan keterampilan dan penalaran. Ada dua hal yang berkaitan dengan kimia yang tidak terpisahkan yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip , hukun dan teori) temuan ilmuan dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Oleh sebab itu, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk. SK-KD kimia dalam kurikilum KTSP Tujuan mata pelajaran kimia di SMA bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : Membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Memupuk sikap ilmiah yaitu objektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerja sama dengan orang lain. Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau eksperimen, diman peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan melalui pemasangan insrumen, pengambilan, pengolahan, dan penafsiran data serta penyampaian hasil percobaan secara lisan dan tertulis. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan juga merugikan bagi individu, masyarakat dan lingkungan serta menyadari pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejahteraaan masyarakat. Memahami konsep, prinsip, hukum dan teori kimia serta saling keterkaitannya dari penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi.

2. Buat artikel argumentatif tentang pembelajaran kimia yang seharusnya dilakukan di SMA. Jawab : Pembelajaran kimia yang seharusnya dilakukan di SMA yaitu yang pertama bagaimana guru itu sendiri menyampaikan kepada siswa mengenai pembelajaran kimia, guru harus bisa menguasai kelas dalam artian guru harus bisa membuat siswa merasa nyaman di kelas. Misalnya guru harus mengenal setiap siswa di kelasnya juga menganggap siswa sebagai teman agar siswa merasa enjoy dan tidak takut untuk bertemu lagi dalam mata pelajaran kimia. Selain itu, dalam pembelajaran juga tidak boleh selalu dengan metode ceramah, harusnya disertai juga dengan diskusi agar siswanya juga bisa lebih aktif dan menanggapi apa yang disampaikan oleh guru yang mengajar. Nah dalam hal ini juga harus disertai dengan fasilitas yang mendukung misalnya menyediakan buku untuk para siswanya sendiri dengan cara membuat perpustakaan kelas, suasana kelas juga harus mendukung dalam artian siswa merasa nyaman ketika berada dalam kelas, tidak kepanasan atau pengap lah yang dapat mengganggu konsentrasi siswa dalam menerima pelajaran yang disampaikan. Dalam penyampaian materi juga guru harus lebih kreatif untuk mengajak siswanya agar tertarik dengan pembelajaran kimia, misalnya ketika materi juga disertakan video atau animasianimasi menyangkut topik yang sedang di bahas agar murid tidak bosan dengan materi pembelajaran tersebut. Guru juga harus menguasai materi yang disampaikan agar dapat

membuat murid yakin dan percaya bahwa guru yang mengajar memang benar-benar dapat dipercaya untuk mengajar mereka semua. Guru juga harus memahami kurikulum yang sedang di jalan kan pemerintah agar tidak ketinggalan dari sekolah-sekolah lainnya. Guru juga harus memberikan semua materi yang seharusnya diterima murid sesuai dengan kurikulum. Mengajak siswa untuk lebih berfikir kritis, serta mengajak siswa untuk menerapkan ilmu kimia dalam kehidupan sehari-hari. Tidak lupa juga dalam pembelajaran kimia, guru juga harus menyelipkan pendidikan karakter kepada murid-muridnya. Jadi dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar, guru harus memainkan bebagai peran, diantaranya sebagai manusia sumber, komunikator, mediator, pembimbing dan penilai. 3. Buat artikel masalah-masalah pembelajaran kimia di SMA (sesuai dengan pengalaman yang anda peroleh ketika di SMA). Jawab : Masalah masalah pembelajaran kimia di SMA antara lain yaitu pembelajaran kimia dianggap membosankan karena guru yang mengajar kurang bisa menguasai kelas dan kurang akrab dengan murid-muridnya sehingga terjadi kurangnya komunikasi antara murid dan guru. Serta siswa juga merasa takut berkomunikasi karna gurunya yang kurang akrab dengan siswanya sehingga siswa pun kurang enjoy ketika proses pembelajaran akibatnya siswa mudah bosan. Selain itu pula kebanyakan guru hanya menggunakan metode ceramah, sehingga siswa pun disini hanya mendengarkan saja dan bersifat fasif. Selain itu pula juga fasilitas-fasilitas di sekolah saya kurang mendukung karna memang sekolah saya berada jauh dari kota kabupaten.

Step it up now oh oh oh lalalalalalalalalalalala lalalalalalalalalalalala neom-eojijin anh-eul geoya seulpeum-a annyeong chinhaejiji anh-eul geoya nunmul-a annyeong jasin-eul midneun geoya hansum-eun geuman ikkas gominjjeum-eun us-eumyeo bye bye tto hanbeon deo baewoss-eo I will never forget about U, ye~ keojyeoss-eo nan ganghage deo nopge o ye ye ye ye Step it up step it updasi sijag-iya tto tempoleul ollyeoseo apjilleo gallae Just step it up step it up da bolandeus-i keuge bollyong nop-yeo baby my babe lalalalalalalalalalalala lalalalalalalalalalalala naeil-eun saeloul kkeoya gidaeleul nop-yeo geuge saneun jaemi gat-a geunsim-eun nallyeo nuguna gat-eul kkeoya gi juggi anh-a jag-eun geogjeongjjeum-eun us-eumyeo bye bye nan ganghage deo nopge o ye ye ye ye Step it up step it updasi sijag-iya tto tempoleul ollyeoseo apjilleo gallae Just step it up step it up da bolandeus-i keuge bollyong nop-yeo baby my babe nae insaeng-e seodbulli get louder na joh-eulago geulaessgess-eo geulaessgess-eo Rap: One two one two stepmodu bagja-e majge geob nael pil-yoeobs-eo ani ol geos eobs-eo modu gat-i hamkkehae eojileobge wae sseuldeeobsneun saeng-gaghae geuleoji malgo uli modu da step it up now jeoldae nan dol-aboji anhgess-eo apman bogido sigan-eun jjalb-a

Step it up step it updasi sijag-iya tto tempoleul ollyeoseo apjilleo gallae Just step it up step it up da bolandeus-i keuge bollyong nop-yeo baby my babe Step it up step it up wae seodbulli get louder tto tempoleul ollyeoseo gwaenhi geulaessgess-eo geulaessgess-eo Just step it up step it up da bolandeus-i keuge bollyong nop-yeo baby my babe lalalalalalalalalalalala

Home Posts RSS Comments RSS Edit

Pola Berpikir Deduktif dan Induktif Pada Filsafat Ilmu

Kajian Filsafat Ilmu


PENGANTAR KAJIAN FILSAFAT ILMU A. Dasar-Dasar Filsafat Ilmu Menurut Suriasumantri (1996), paling tidak ada empat hal yang berkaitan dengan kajian tentang dasar-dasar filsafat ilmu, antara lain: penalaran, logika, sumber pengetahuan; dan kriteria kebenaran. Berikut ini akan dijelaskan keempat hal tersebut 1. Penalaran Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir (homo thinking), makhluk yang mampu membangun atau mengembangkan potensi rasa dan karsa (emosional quition); dan makhluk yang mampu membangun kualitas kedekatan pata Tuhan (spiritual quation) (Muthahhari, M.. 1997; Tafsir, A. 2007). Jadi, manusia adalah makhluk multi dimensional, dengan segala kemampuan yang dimiliki manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itulah yang menjadi senjata pamungkas bagi manusia dalam mengusai atau memberdayakan alam seisinya. Kemampuan multidimensi tersebut, menyebabkan manusia mampu mengembangkan beragam ilmu pengetahuan atau kebudayaan yang kompleks menuju keunggulan hidup (civilization). Diantara bagian terpenting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan adalah kemampuan manusia untuk menalar. Dari kemampuan menalar itulah manusia dapat: (a) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara maksimal; (b) memilih dan membedakan sesuatu itu benar atau salah, sesuatu itu baik atau tidak baik; (c) memilih beragam alternatif pilihan jalan hidup yang benar atau tidak benar, bermanfaat atau tidak bermanfaat; dan (d) terus melakukan inovasi diberbagai bidang kehidupan dengan pola perubahan yang bersifat progress of change (Ankersmit. 1987; Sztompka, P. 1993). Para ahli filsafat ilmu berpandangan, bahwa diantara faktor kunci manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan adalah ditentukan oleh dua faktor kunci, yaitu: (1) manusia mempunyai kemampuan dalam mengembangkan bahasa, dan dengan bahasa tersebut manusia mampu mengkomunikasikan secara efektif jalan pikiran atau kerangka pikir serta segala penemuan dari produk pikirannya kepada orang lain; dan (2) manusia mampu mengembangkan kemampuan berpikir secara rasional, logis, dan sistematis. Kemampuan berpikir berdasarkan kaidah-kaidah tertentu (misalnya rasional, logis dan sistematis) itulah sering disebut penalaran (Tim Dosen

Filsafat. 2002).Menurut Suriasumantri (1996), penalaran adalah: (a) merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran; dan (b) proses penemuan kebenaran tersebut antara individu satu dengan yang lain berbeda-beda tergantung pendekatan berpikirnya, atau tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing. Berdasarkan pengertian tersebut maka hakikat penalaran mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Atau kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis. Berpikir logis adalah kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu (misalnya: logika deduktif atau logika induktif); (2) sifat penalaran adalah analitik dari proses berpikirnya, artinya, penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri pula. Menurut para ahli filsafat ilmu pengetahuan, bahwa sejatinya tidak semua kegiatan berpikir (penalaran) manusia mendasarkan pada penalaran ilmiah (deduktif atau induktif). Ada juga kegiatan berpikir manusia berdasarkan: (a) perasaan, emosi yang sering disebut intuisi. Kegiatan berpikir secara intuisi sering disebut berpikir secara nonanalitik; dan (b) wahyu, atau firman Tuhan dalam proses ibadah atau kegiatan-kegiatan sosial-budaya sehari-hari. Jadi, berdasarkan hakikat proses usaha manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan, maka pengetahuan yang berkembang di masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) pengetahuan sebagai hasil produk pikiran analitik dan nonanalitik manusia; dan (b) pengetahuan sebagai pemberian wahyu dari Tuhan. Hal ini sering disebut pengetahuan agama (Suriasumantri, 1998; Hanafi, H., 2004). 1. Logika Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab ketiga dan keempat, bahwa pengertian logika adalah cabang filsafat ilmu yang melakukan kajian tentang cara berpikir sahih (valid), runtut, dan benar berdasarkan kaidah-kaidah atau hukum-hukum tertentu (Copi, I.M. 1978; The Liang Gie, dkk. 1979; Soekadijo, R.G. 1983). Secara umum ada dua macam logika, yaitu: (1) logika formal atau logika deduktif, yaitu sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya (form) serta kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan dari pangkal pikiran. Atau suatu ilmu yang mempelajari asas-asas atau hukum-hukum dalam berpikir, hukumhukum tersebut harus ditaati supaya pola berpikirnya benar dan mencapai kebenaran (Sudiarja, dkk., 2006); dan (2) logika material atau logika induktif, yaitu sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Atau logika induktif atau logika material juga sering disebut metodemetode Ilmiah (Bakry, N. 1995; Salam, B. 1997). Logika dedukif, merupakan kegiatan berpikir dengan kerangka pikir dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kearah kesimpulan yang lebih bersifat khusus, atau penarikan kesimpulan dari dalil atau hukum menuju contoh-contoh. Penarikan kesimpulan dari logika formal biasanya menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme. Silogisme secara umum disusun dari dua buah hal, yaitu: (a) term atau pernyataan, berupa pernyataan pertama yang menjadi subjek (S) dan pernyataan kedua menjadi predikat (P); dan (b) sebuah kesimpulan (K). Contoh: (a) Semua binatang karnifora adalah pemakan daging (premis mayor) (S); Harimau adalah binatang karnifora (premis minor) (P); Jadi, Harimau binatang pemakan daging (kesimpulan) (K); (b) Semua manusia adalah makhluk yang

mengenal kematian (premis mayor) (S); Sementara makhluk rasional adalah manusia (premis minor) (P); Jadi, sementara makhluk rasional adalah makhluk yang mengenal mati (kesimpulan) (K). Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa menyusun silogisme itu harus memuat tiga hal, yaitu: term atau pernyataan pertama sebagai subjek (S); pernyataan (term) kedua sebagai predikat (P) dan ketiga adalah kesimpulan (K). Pada hakikatnya kedua pandangan tersebut adalah sama, baik yang mengatakan silogisme itu terdiri dari dua atau tiga unsur. Uraian tentang silogisme dan beragam macamnya telah dijelaskan pada bab III di atas (mohon diperiksa kembali). Logika induktif, merupakan cara berpikir untuk menarik kesimpulan dari kasus khusus atau contoh menuju kasus umum atau dalil atau hukum atau kesimpulan umum. Orientasi filosofis dari logika induktif adalah lebih mengarah ke aliran empirisme, sedangkan orientasi filosofis dari logika deduktif adalah lebih ke arah aliran rasionalisme atau positivisme. Contoh logika induktif antara lain: Kucing adalah binatang pemakan daging (karnifora); Hiramau adalah binatang pemakan daging (karnifora); Serigala adalah binatang pemakan daging (karnifora); Jadi, Kucing, Harimau dan Serigala adalah binatang karnifora. 1. Bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah Diantara salah satu predikat manusia yang penting adalah sebagai homo symbolicum (makhluk simbolik). Oleh karena itu manusia merupakan makhluk yang paling multiaspek, multidimensi dalam menggunakan simbol-simbol dalam bentuk beragam bahasa, dan bahkan bahasa menjadi aspek yang paling sentral dalam proses-proses sosial di masyarakat. Bahasa dapat dicirikan sebagai: (a) serangkaian bunyi (bahasa verbal); dan (b) bahasa merupakan lambang dimana rangkaian bunyi itu membentuk suatu arti tertentu. Berikut ini beberapa konsep penting tentang keberadaan bahasa dalam proses kehidupan manusia, baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam kehidupan sehari-hari antara lain: 1. Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak. Simbol bahasa yang bersifat abstrak tersebut memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut dari generasi ke generasi. 2. Setiap bahasa yang dijadikan sebagai media komunikasi mengandung dua aspek, yaitu: aspek informatif (informasi tentang segala sesuatu), dan aspek imotif (mengandung perasaan dari para individu yang berinteraksi). Oleh karena itu sejatinya bahasa yang dijadikan sebagai alat komunikasi mengadung tiga unsur, yaitu: buah pikiran individu; cerminan perasaan individu; dan sikap atau tindakan individu yang berinteraksi. Jadi, dengan bahasa manusia tidak hanya bisa berpikir, tetapi dapat juga untuk mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan, dia rasakan kepada orang lain. 3. Bahasa membuat manusia mampu hidup dalam proses pengalaman demi pengalaman empirik, kemudian merekamnya dengan sistematis, logis, dan mampu berada pada dunia pengalaman simbolik yang dinyatakan dalam bahasa. Dengan bahasa manusia mampu memberi arti atau makna pada kehidupannya, arti atau makna yang terpatri dalam dunia simbolik yang diwujudkan melalui kata-kata yang diucapkan dalam proses interaksi dan komunikasi. 4. Dengan bahasa manusia mampu menyusun sendi-sendi yang membuka rahasia alam pikiran dan alam nyata sehari-hari dalam berbagai teori, seperti elektronik, termodinamik, relativitas dan

quantum. Pada hakikatnya tidak ada aspek atau sendi kehidupan manusia yang tidak berhubungan dengan bahasa, karena manusia berpikir melalui bahasa, dan melakukan aktivitas sosial juga menggunakan sarana bahasa, serta berkomunikasi dengan sesamanya dan Tuhannya juga dengan bahasa. 5. Para filosof mengatakan, bahasa merupakan modus operandi dari cara manusia berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Manusia tidak akan pernah bisa berbuat apa-apa di dunia ini tanpa menggunakan bahasa. Bahasa sebagai alat atau sarana utama dalam membangun peradaban (civilization) hidup. Dengan bahasa manusia akan mampu menemukan jati dirinya, dan dengan bahasa manusia juga mampu mengembangkan penelitian ilmiah (scientific research) secara berkelanjutan. 6. Bahasa merupakan abstraksi dari suatu budaya masyarakat atau bangsa tertentu. Apabila manusia ingin mengkaji atau meneliti suatu karya budaya masyarakat atau bangsa tertentu, dipastikan dia tidak akan bisa apabila tidak memahami bahasa yang dimiliki oleh masyarakat atau bangsa yang ditelitinya. Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu dalam hidup ini menjadi jelas untuk dipahami manusia. 7. Dengan bahasa manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, melalui kegiatan atau komunikasi ilmiah. Agar komunikasi ilmiah berjalan dengan baik, maka bahasa yang dipergunakan harus bebas dari unsur-unsur imotif, ideologis dan kepentingan subjektivistik. Jadi, komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif yang bersifat objektif (Suriasumantri, J.S.,1996; Sumaryono, 1999). Meskipun dalam studi ilmu sosial, psikhologi atau kebudayaan sebagian ahli mengatakan sulit dicapai derajat objektivis, peneliti sosial-budaya tetap dituntut untuk secara jujur mengkomunikasikan atau menjelaskan dengan bahasa yang jelas, logis tentang proses analisis data dalam penelitian ilmiahnya. Uraian tersebut di atas menyimpulkan, bahwa: (a) manusia tidak akan mampu bertahan dalam hidup tanpa bahasa, karena seluruh proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia di masyarakat sejatinya tidak lepas dari peran dan fungsi bahasa; (b) manusia bisa berpikir dengan baik karena bahasa; manusia berbicara dengan orang lain tentang segala sesuatu dalam hidup dengan bahasa; dan manusia mengerti tentang sesuatu kemudian menginterpretasi serta mengambil kesimpulan tentang sesuatu juga dengan bahasa; (c) manusia mewariskan dan melestarikan nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya juga dengan bahasa; dan (d) manusia mengembangkan segala ilmu pengetahuan-teknologi dalam hidup juga dengan bahasa. 1. Logika, matematika dan statistik Suatu penalaran ilmiah menyandarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Menurut Wittgenstein dalam Suriasumantri (1996), bahwa matematika pada dasarnya merupakan hasil dari metode berpikir logis. Berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika. Jadi, matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika. Oleh karena itu hubungan logika dan matematika adalah sangat erat, keduanya sulit dipisahkan, bagaikan dua sisi dalam satu keping mata uang. Metematika sebagai bahasa, mengandung arti matematika adalah: (a) bahasa yang melambangkan

makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan, Lambang-lambang matematika bersifat artifisial, yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna atau pengertian diberikan kepadanya; dan (b) bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Sifat kuantitatif dari matematika mempunyai makna bahwa: (a) matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif; (b) sifat kuantitatif dari matematika akan meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pada hakikatnya semua ilmu pengetahuan baik ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences), dan ilmu-ilmu humaniora adalah membutuhkan matematika, hanya saja tingkatan peran matematika dalam ilmu-ilmu alam berbeda dengan ilmuilmu sosial atau ilmu humaniora; dan (c) matematika merupakan sarana berpikir deduktif (formal), dan semua ilmu pengetahuan memerlukan kerangka berpikir deduktif. Pada hakikatnya matematika adalah pengetahuan yang bersifat deduktif, tetapi tidak semua ahli filsafat sepakat dengan pandangan tersebut, misalnya Immanuel Kant berpendapat, bahwa matematika merupakan pengetahuan sintetik a priori dimana eksistensi matematika tergantung kepada dunia pengalaman manusia (Suriasumantri J.S., 1996). Terlepas dari pendapat pro kan kontra tersebut, yang jelas matematika mempunyai manfaat yang sangat besar bagi proses kehidupan manusia karena: (a) hampir semua persoalan kehidupan memerlukan pemecahan masalah dengan angka karena hampir semua aspek kehidupan tidak lepas dari jaringan angka-angka; (b) hampir semua persoalan kehidupan membutuhkan penyelesaian secara objektif atau kuantitatif; dan (c) dengan kehidupan yang ditandai oleh kemajuan Iptek dewasa ini, tidak ada proses pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak bersentuhan sama sekali dengan matematika. Sedangkan mengenai statistik, Suriasumantri (1996) berpendapat, bahwa secara hakiki statistik mempunyai kedudukan yang sama dalam penarikan kesimpulan seperti matematika dalam penarikan kesimpulan secara deduktif. Jadi matematika itu berpikir secara dedukti, sedangkan statistik berpikir secara induktif. Baik matematika maupun statistik merupakan sarana analisis secara kuantitatif. Statistik juga memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengetahui apakah suatu hubungan kausalitas antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris. Karakteristik berpikir induktif (statistik) antara lain: (a) dasar teori statistik adalah teori peluang, oleh karena itu statistik merupakan pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk menarik kesimpulan secara induktif. Jadi, statistik adalah salah satu cara menarik kesimpulan induktif secara valid (sahih); (b) statistik merupakan pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk menghitung tingkat peluang secara eksak (objektif). Sedangkan menurut bidang pengkajiannya, statistik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu, statistik teoritis dan statistik terapan; dan (c) penarikan kesimpulan secara induktif (statistik) menghadapkan manusia kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus diamati sampai kepada suatu kesimpulan (dalil atau teori). Jadi, hubungan antara logika, matematika dan statistik adalah sangat erat. Ada dua macam logika, yaitu logika formal (deduktf) dan logika meterial (induktif), matematika merupakan cara berpikir dengan kaidah logika deduktif (logika formal), sedangkan statistik adalah dengan kaidah logika induktif (logika material).

Menurut para ahli ada perbedaan pengertian antara istilah statistik dengan statistika. Statistik banyak diartikan lebih sebagai alat pengolah data angka, dalam hal ini berarti statistik berfungsi sebagai alat bantu dalam proses analisis data dalam penelitian ilmiah. Sedangkan statistika adalah cabang ilmu yang mengamati dan atau mengembangkan cara-cara mengolah data angka. Jadi, statistik adalah produk dari kerja statistika, atau statistika adalah penghasil statistik (Nurgiyantoro, dkk., 2002). Diantara fungsi atau kegunaan statistik sebagai alat bantu dalam melakukan analisis data penelitian ilmiah antara lain dapat: (a) memperoleh gambaran secara khusus atau umum tentang sesuatu gejala, keadaan dan peristiwa tertentu; (b) melakukan pengujian, apakah gejala yang satu berbeda dengan gejala yang lain atau tidak berbeda. Jika ada perbedaan apakah perbedaan itu meyakinkan atau hanya karena kebetulan; (c) mengetahui hubungan antar gejala dan menyusun laporan berupa data kuantitatif secara teratur, ringkas dan jelas serta sahih (valid); dan (d) menarik kesimpulan secara logis, tepat dan benar, serta dapat meramalkan atau memprediksi fenomena (gejala) yang mungkin akan terjadi di masa depan. 1. Sumber pengetahuan Uraian tentang sumber pengetahuan telah disinggung secara sekilas pada pembahasan di muka. Berikut ini akan dijelaskan lebih terperinci tentang sumber pengetahuan. Perlu dipahami bahwa, manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta, rasa dan karsanya dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup baik secara individu atau kelompok. Salah satu bagian yang paling penting dalam proses kehidupan manusia dewasa ini adalah kebutuhan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena tidak ada aspek atau bagian dalam kehidupan manusia di dunia ini yang tidak bersentuhan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih di era modern atau post medern dewasa ini. Suatu masyarakat atau bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi akan mampu menguasai berbagai aspek kehidupan dan mampu mempengaruhi bangsa lain yang tidak menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila dicermati secara mendalam, maka sebenarnya semua aktivitas hidup manusia di masyarakat tidak bisa lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang merupakan produk sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, manusia selalu ingin mencari kebenaran, kebahagiaan, selalu ingin melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dan dengan ilmu pengetahuan manusia merasa tidak puas terhadap karya budaya yang telah dimiliki, selalu ingin melakukan inovasi atau pembaharuan kehidupan (Sztompka, P., 1993), dan sejatinya inti kualitas kehidupan manusia adalah terletak pada kemampuan dalam menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya untuk melakukan perubahan demi perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut Suriasumantri, J.S., (1996), bahwa dilihat dari hakikat usaha mencari kebenaran, sebenarnya sumber pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) pengetahuan yang didapat atau bersumber dari hasil usaha aktif manusia, baik melalui penalaran ilmiah (analitik) maupun melalui perasaan intuisi (nonanalitik); dan (2) pengetahuan yang didapat atau bersumber bukan dari usaha manusia, yaitu dari wahyu Tuhan melalui para Malaikat dan para Nabi atau Rasul. Hakikat penalaran ilmiah adalah merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan penalaran induktif. Penalaran deduktif berorientasi pada pandangan positivisme atau rasionalisme, sedangkan

penalaran induktif berorientasi pada pandangan konstruktivisme atau empirisme (Kattsoff, L.O., 1996). Penalaran deduktif adalah berpijak dari teori atau dalil ke contoh, sedangkan penalaran induktif adalah berpijak dari contoh ke teori atau dalil. Menurut para ahli ada beberapa cara yang dapat ditempuh manusia dalam memperoleh sumber pengetahuan, yaitu: (1) cara tradisi (tenacity), yaitu gigih dalam memegang sesuatu yang dianggap benar oleh tradisi atau yang telah diwariskan oleh leluhur bahwa sesuatu itu benar, dan generasi berikutnya menerima apa adanya tanpa membangun sikap kritis terhadap tradisi tersebut; (2) cara otoritas atau kewenangan, artinya seseorang bisa memperoleh pengetahuan baru dengan bertanya kepada individu-individu yang memiliki otoritas atau kekuasaan di masyarakat, misalnya, tokoh masyarakat atau pemerintahan, tokoh agama, ilmuwan, tokoh budaya, guru, dosen, dan sebagainya; (3) cara pengalaman sehari-hari, baik secara individu atau kelompok. Cara seperti ini biasanya tanpa bimbingan, oleh karena itu cara seperti ini sering disebut trial and error (coba dan salah dan mencoba lagi); (4) cara logika deduktif dan induktif. Logika deduktif merupakan pola berpikir untuk mencari ilmu dari prinsip, teori ke contoh atau dari dalil ke contoh. Sedangkan logika induktif adalah pola berpikir untuk mencari ilmu dari contoh ke dalil atau dari fakta-fakta khusus ke prinsip umum; dan (5) cara atau metode ilmu pengetahuan atau dikenal dengan metode ilmiah atau melalui penelitian ilmiah. (Kerlinger, 2002; Sukardi, 2004). Prosedur kerja pada cara logika deduktif dan logika induktif, dan prosedur kerja metode ilmiah tersebut sangat berbeda dengan empat cara sebelumnya (cara: tenacity, otoritas, trial and error). Cara atau metode ilmiah (penelitian ilmiah) apabila dibandingkan dengan metode-metode lainnya adalah lebih bisa dipertanggung jawabkan. Metode ilmiah sangat penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan ilmiah tetapi juga dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah kepada masyarakat ilmuwan melalui penelitian ilmiah. Menurut Horton and Hunt (1984), ada delapan langkah (prosedur) yang harus dilakukan dalam proses penelitian ilmiah (scientific research) untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan, yaitu: (a) merumuskan permasalahan (define the problem); (b) meninjau kepustakaan (review the literature) atau kajian teori; (c) merumuskan hipotesis (formulate the hypotheses); (d) merencanakan desain riset (plan the research design); (e) mengumpulkan data (collect the data); (f) menganalisis data (analyze the data); (g) menarik kesimpulan (draw conclusions); dan (h) mengulangi penelaahan (replicate the study). Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh para ilmuwan dalam usahanya untuk mencari atau memperoleh sumber pengetahuan hakikatnya adalah merupakan perpaduan dari prosedur empiris (faham empirisme) dan prosedur rasional (faham rasionalisme). Kerangka dasar atau prosedur ilmiah dalam mencari ilmu pengetahuan paling tidak melalui enam langkah, yaitu: (1) sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah; (2) pengamatan dan pengumpulan data yang relevan; (3) penyusunan dan klasifikasi data; (4) perumusan hipotesis; (5) deduksi dan hipotesis; (6) tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis (Suriasumantri, J.S., 1996). Enam langkah tersebut lebih berorientasi pada prosedur mencari ilmu pengetahuan menurut pandangan positivisme atau paradigma objektivisme dengan desain research quantitative. Dalam memahami hakikat ilmu pengetahuan sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua dimensi, yaitu: Pertama, dalam dimensi fenomenanya, dalam hal ini ilmu pengetahuan menampakkan pada realita sebagai berikut: (1) masyarakat, yaitu suatu masyarakat elit yang dalam

hidup kesehariannya sangat konsen pada kaidah-kaidah universalisme, komunalisme, disinterestedness, dan skeptisisme yang terarah dan teratur; (2) proses, yaitu pola aktivitas masyarakat elit yang melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, observasi, eksperimental, komparasi, yang tidak pernah berhenti untuk menemukan kebenaran ilmiah; dan (3) produk, yaitu hasil dari aktivitas berupa dalil-dalil, teori dan paradigma beserta hasil penerapannya baik berupa fenomena sosial atau alam. Suatu ilmu pengetahuan (science) pada dasarnya mempunyai suatu sistem, dan masing-masing unsur dalam sistem adalah saling berhubungan. Sedangkan komponen utama dari sistem ilmu pengetahuan (science) adalah: (1) perumusan masalah; (2) pengamatan ilmiah (scientific observation) dan deskriptif; (3) penjelasan; dan (4) ramalan (prediksi) dan kontrol. Setiap komponen tersebut mempunyai metode tersendiri (Suriasumantri, J.S, 1996). Kedua, dalam dimensi struktural, dalam hal ini ilmu pengetahuan tersusun atas komponenkomponen: (1) objek sasaran yang ingin diketahui; (2) objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti; (3) ada alasan (motif) dan dengan sarana dan cara tertentu objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan; dan (4) temuan yang diperoleh tahap demi tahap disusun kembali dalam satu kesatuan sistem (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2002). 1. Kriteria kebenaran Pada bab IV telah disinggung tentang pengertian benar dan pengertian salah. Penjelasan benar dan salah dalam bab IV lebih menekankan pada benar dan salah dalam perspektif logika, artinya lebih menekankan pada struktur logik, atau struktur penalaran yang logis, atau struktur bahasa yang digunakan dalam penalaran logis. Sedangkan pada bab V ini, makna kebenaran lebih menekankan pada aspek filosofis atau pandangan (isme) atau sudut pandang teoritik. Jadi, makna kebenaran pada bab IV adalah kebenaran dalam perspektif logika, sedangkan pada bab ini makna kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu (teoritik). Dalam studi filsafat ilmu, pandangan tentang suatu kebenaran, atau sesuatu itu dikatakan benar atau salah sangat tergantung dari sudut pandang filosofis dan teoritis yang dijadikan pijakannya. Perbincangan tentang beragam ukuran hakikat kebenaran sudah dimulai sejak jaman Plato sampai sekarang. Menurut para ahli, ada tujuh Teori Kebenaran yang paralel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya, antara lain: 1. Teori kebenaran Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal (tua) yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori ini menganggap bawa suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik) yang diketahuinya, atau kebenaran adalah A belief is called true if it agrees with a fact. Jadi, sesuatu itu dianggap benar apabila sesuatu itu sesuai dengan realitas atau praktik-praktik kehidupan sehari-hari atau fakta-fakta yang terjadi di lapangan, demikian juga sebaliknya, sesuatu itu dianggap tidak benar jika tidak ada bukti atau fakta-fakta yang mendukung keberadaan sesuatu itu. 2. Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini adalah Spinosa, Hegel dan Bradley. Suatu pengetahuan dianggap benar menurut teori ini adalah bila suatu proposisi itu mempunyai hubungan dengan ideide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar. Jadi, kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau melalui pembuktian logis atau matematis, atau suatu

prinsip baru tentang fenomena tertentu dianggap benar jika prinsip baru tersebut sesuai dengan teori, dalil, proposisi sebelumnya. Kedua teori tersebut (koherensi dan korespondensi), keduanya dipergunakan dalam cara berpikir ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi, sedangkan proses pembuktian secara empiris (pengalaman nyata sehari-hari) dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran korespondensi. 1. Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya adalah William James dan John Dewey. Suatu pengetahuan atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah bila proposisi itu mempunyai konsekwensikonsekwensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri, maka menurut teori ini, tidak ada kebenaran mutlak, universal, berdiri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan tergantung serta dapat dikoreksi oleh pengamalanpengalaman baru berikutnya. Kebenaran pragmatis sangat tergantung oleh kondisi tempat dan waktunya (space and time), oleh karena itu menurut teori kebenaran pragmatis adalah hakikat kebenaran itu bersifat relatif atau nisbi. Jadi, Kebenaran pragmatis, yaitu kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional (berguna) bagi kehidupan praktis atau kehidupan sehari-hari dalam suatu kehidupan kelompok. 2. Teori Kebenaran Sintaksis. Teori ini berkembang diantara para filosof analisa bahasa, seperti Friederich Schleiermacher. Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku atau suatu proposisi apabila tidak mengikuti syarat dari hal yang disyaratkan dalam menyusun proposisi yang benar maka proposisi itu tidak mempunyai arti atau dianggap tidak benar. 3. Teori kebenaran Semantis. Menurut teori kebenaran semantik (semantis), suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya pengacu (referent) yang jelas?. Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada referensi atau kenyataan, juga memiliki arti yang bersifat definitif. 4. Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Jadi, menurut teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar ditentukan (tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari). 5. Teori Kebenaran Logik, yang berlebihan (Logical superfluity Theory of truth). Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apapernyataanyang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya (Suriasumantri, J.S., 1996; Team Dosen Filsafat UGM, 2002). Uraian di atas menunjukkan tentang makna kebenaran menurut sudut pandang teori-teori kebenaran. Jadi, suatu pernyataan atau proposisi itu dianggap benar, antara teori satu dengan teori lain mempunyai kriteria yang tidak sama. Demikian juga makna hakikat kebenaran dari segala sesuatu dalam hidup ini menurut aliranaliran filsafat mempunyai makna yang beragam. Misalnya: (a) hakikat makna kebenaran terhadap segala sesuatu menurut aliran positivisme akan berbeda sekali apabila dibandingkan dengan menurut aliran idealisme; dan (b) hakikat makna kebenaran

terhadap segala sesuatu menurut aliran materialisme akan berbeda sekali jika dibandingkan dengan menurut aliran teologisme, dan sebagainya (lihat kembali pembahasan di bab pertama). B. Hakikat Ilmu Pengetahuan Sebagaimana yang telah disinggung di atas, suatu ilmu pengetahuan (science) pada dasarnya mempunyai suatu sistem, dan masing-masing unsur dalam sistem adalah saling berhubungan. Sedangkan komponen utama dari sistem ilmu pengetahuan (science) adalah: (1) perumusan masalah; (2) pengamatan ilmiah (scientific observation) dan deskriptif; (3) penjelasan; dan (4) ramalan (prediksi) dan kontrol. Setiap kompoten tersebut mempunyai metode tersendiri (Suriasumantri, J.S, 1994). Dalam dimensi struktural, dalam hal ini ilmu pengetahuan tersusun atas komponen-komponen: (1) objek sasaran yang ingin diketahui; (2) objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti; (3) ada alasan (motif) dan dengan sarana dan cara tertentu objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan; dan (4) temuan yang diperoleh tahap demi tahap disusun kembali dalam satu kesatuan sistem (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2002; Kerlinger, 2002). Semua ilmu pengetahuan (science) itu pada dasarnya memiliki tiga landasan utama atau landasan filosofis, yaitu: Ontologi (membahas tentang hakikat objek yang dikaji); Epistemologi (membahas secara mendalam proses atau metode dan prosedur dalam memperoleh ilmu pengetahuan); Aksiologi (membahas tentang manfaat yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia). Jadi, untuk membedakan jenis ilmu pengetahuan satu dengan ilmu pengetahuan yang lain dapat dilihat dari: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. (Suriasumantri, 1996). Secara khusus ketiga landasan ilmu tersebut akan dibahas dalam uraian berikutnya. Menurut para ahli, tujuan ilmu pengetahuan (science) meliputi: (1) tujuan dasar ilmu, yaitu menjelaskan fenomena-fenomena kehidupan, baik fenomena sosial atau alam secara sistematis, objektif, logis atau rasional; (2) tujuan lebih khusus, yaitu memberikan penjelasan, pemahaman, prediksi atau peramalan dan kontrol atau pengendalian. (Kerlinger, F., 2002); dan (3) untuk memahami fenomena alam dan sosial secara objektif (menurut apa adanya, bukan menurut apa seharusnya), sistematis, dan terbuka untuk diuji kembali melalui proses penelitian ilmiah. Sedangkan mengenai klasifikasi ilmu pengetahuan. Menurut Driyarkara, dalam Sudiarja, dkk (2006) dijelaskan, bahwa pembagian ilmu pengetahuan dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain: 1. Menurut tujuannya, maka ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua yaitu: pure science (ilmu murni); dan apllied science (ilmu terapan). Pure science, adalah hanya ingin mengerti keberadaan yang sebenarnya saja, dan pertama-tama tidak diusahakan untuk dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan apllied science, adalah ilmu yang diterapkan, dipergunakan, dan langsung ditunjukkan kepada pemakaian pengetahuan itu. Jadi, apllied science menentukan bagaimana orang harus berbuat sesuatu, bagaimana cara manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pure science dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) monotetis, yaitu menetapkan hukum-hukum yang universal, mempelajari objeknya dalam keabstrakannya, dan mencoba menemukan unsur-unsur yang selalu terdapat kembali dalam segala pernyataannya yang kongkret, kapan dan dimana saja.

Contoh, ilmu murni monotetis adalah: ilmu alam, sosiologi, kimia, ilmu hayat; (b) ideografis (melukis), yaitu mempelajari objeknya dalam kongkretnya, menurut tempat dan waktu tertentu dengan sifat-sifatnya yang menyendiri. Contoh, ilmu murni ideografis adalah: sejarah, etnografi, sosiografi. Apllied science, dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) normatif, yaitu ilmu yang menjelaskan bagaimana manusia harus berbuat, atau ilmu yang membebankan beragam kewajiban dan larangan dalam proses kehidupan, baik secara individu atau kelompok. Contoh ilmu normatif adalah pelajaran etika atau moral atau kesusilaan; (b) positif, yaitu ilmu yang menjelaskan bagaimana manusia harus mengerjakan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Contohnya, pertanian, teknik atau pertukangan, kedokteran, akuntasi. 1. Menurut objeknya, maka ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) universal (umum); dan (b) khusus. Ilmu pengetahuan umum (universal) adalah ilmu yang objek kajiannya menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, misalnya: Teologi, Agama dan Filsafat. Objek kajian teologi (agama) dan filsafat adalah menyangkut hakikat segala sesuatu dalam hidup. Sedangkan ilmu pengetahuan khusus, yaitu ilmu yang objek kajiannya hanya menyangkut bidang kajian tertentu (objeknya terbatas), inilah yang biasanya disebut ilmu pengetahuan, yang meliputi: (a) ilmu-ilmu alam (natural sciences), misalnya: ilmu alam, fisika, kimia, biologi; (b) ilmu pasti (mathematics), misalnya ilmu pasti, ukur, hitung, aljabar; (c) ilmu-ilmu psikologi, sosial dan budaya, misalnya: ilmu jiwa, sejarah, sosiologi, antropologi, komunikasi, politik, hukum pendidikan, ekonomi, ilmu bahasa dan sebagainya. Masing-masing disiplin ilmu pengetahuan tersebut mempunyai fokus kajian atau objek kajian yang tidak sama. Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa konsep penting yang dapat diambil kesimpulan tentang hakikat ilmu pengetahuan (science) antara lain: 1. Science dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan terhadap beragam fenomena hidup, tidak dimulai dari kepastian absolut seperti dalam ajaran agama. 2. Science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang bersifat gaib, melainkan berkaitan dengan datadata empirik atau nyata. 3. Penjelasan science bersifat detail, sistematis, objektif dan praktis tentang beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya maupun alam yang bersifat empirik atau fenomena empirik. 4. Kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu tergantung pada hasil penelitian ilmiah berikutnya (Agus, B., 1999). Menurut Comte dalam Wibisono, K., (1983), bahwa perkembangan pola pemikiran manusia atau masyarakat adalah melalui tiga tahap, yaitu dari tahap teologis (fiktif), kemudian berkembang ketahap metafisik (abstrak) dan terakhir ke tahap positif. Pada tahap positif inilah berkembangnya ilmu pengetahuan. 5. Kebenaran science terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi siapapun untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada (Kuhn, T., 1970), melalui penelitian terbaru yang menghasilkan teori baru. 6. Kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi filosofis yang dijadikan pedoman dalam pengembangan teori-teori science dan metode penelitiannya (Keraf.S dan Dua, M.,2001). Oleh karena itu proses research yang berorientasi filosofis positivisme akan cenderung menghasilkan kesimpuan yang berbeda dengan research yang berorientasi filosofis idealisme.

C. Hakikat Ontologi Ilmu Hakikat ontologi ilmu, adalah hakikat apa yang dipelajari oleh suatu ilmu, atau hakikat objek kajian dari suatu ilmu, oleh karena itu bentuk-bentuk pertanyaan ontologis ilmu pengetahuan adalah: Hakikat apa (objek apa) yang dikaji?; bagaimana wujud yang hakiki dari objek ilmu tersebut?; dan bagaimana hubungan antar objekobjek suatu ilmu tersebut? dan sejenisnya (Suriasumantri, J.S.,1996). Ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami dalam mengkaji tentang ontologi (hakikat apa yang dikaji) dalam ilmu, antara lain: metafisika; asumsi; peluang; keterbatasan science; dan keterpaduan science-religious suatu keniscayaan. 1. Metafisika Menurut Aristoteles, metafisika merupakan cabang ilmu filsafat teoritis yang membahas tentang masalah hakikat segala sesuatu, sehingga metafisika oleh para ahli dianggap sebagai inti dari filsafat. Persoalan metafisika merupakan sesuatu yang paling mendasar (fundamental) dalam proses kehidupan manusia (Langeved, 1961; Drijarkoro, 1977). Cabang-cabang metafisika sebagai inti dari ilmu filsafat menurut Kattsoff (1996) adalah: (a) Ontologi (membicarakan tentang: ada, eksistensi, substansi, realita, atau hakikat ada); dan (b) Kosmologi (membicarakan tentang: ruang, waktu, gerakan). Metafisika adalah landasan dan pijakan berpikir setiap pemikiran filsafat. Dunia yang kelihatan nyata ini ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang hakikat apa atau hakikat kenyataan. Apakah hakikat kenyataan ini sebenarnya?. Dari pertanyaan tersebut muncullah beberapa tafsiran metafisika untuk menjawab hakikat apa atau hakikat kenyataan kehidupan ini. Menjawab pertanyaan metafisis tentang, apa hakikat kenyataan alam ini?, terdapat dua jawaban atau tafsiran manusia tentang hakikat kenyataan alam, antara lain: (1) bahwa hakikat alam atau kenyataan ini dikendalikan oleh kekuatan gaib. Alam tidak mempunyai kekuatan apa-apa, yang punya kekuatan adalah kekuatan gaib (supra natural). Dari sini muncul keyakinan animisme, dinamisme, politheisme, monotheisme. Paham seperti ini termasuk pandangan dari aliran teologisme; (2) bahwa hakikat alam atau kenyataan ini dikendalikan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, tidak ditentukan oleh faktor eksternal, bukan oleh kekuatan gaib. Paham ini disebut paham naturalisme, yang memunculkan prinsip materialisme dan eksistensialisme. Menjawab pertanyaan metafisis tentang, apa hakikat kehidupan manusia itu?, terdapat dua jawaban atau tafsiran manusia tentang hakikat kehidupan manusia, antara lain: (1) paham mekanistik, mengatakan semua fenomena kehidupan (termasuk manusia dan binatang tumbuh-tumbuhan) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata; (2) paham vitalistik, mengatakan hakikat kehidupan adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses kimia-fisika. Dari kajian tentang hakikat manusia, maka muncul pertanyaan apakah kebenarannya hakikat pikiran manusia? Dari pernyataan ini muncul dua aliran, yaitu: (1) aliran monistik, yang berpandangan bahwa: tidak ada beda antara pikiran dan zat (benda); ide dan benda punya substansi yang sama; proses berpikir dianggap aktivitas dari zat atau benda; (2) aliran dualistik, aliran ini kebalikan dari aliran monistik. Aliran dualistik membedakan antara zat atau benda dengan kesadaran, jiwa (pikiran). Wujud jiwa

atau pikiran merupakan mentalitas (tidak tampak), sedangkan zat adalah benda (sangat nampak). Jadi, paham atau aliran tersebut itulah yang dijadikan dasar dalam menjawab hakikat apa, hakikat kenyataan atau hakikat objek ilmu. Contoh. (1) pertanyaan tentang apa hakikat kenyataan kehidupan ini?. Dari pertanyaan ini muncullah paham: (a) teologi, yang menganggap hakikat kenyataan kehidupan ini adalah ciptaan Tuhan dan manusia harus taat kepada Tuhan. Kekuatan spiritual merupakan infra struktur (pondasi hidup), sedangkan semua selain spiritual adalah supra struktur (perwujudan atau penjelmaan pondasi hidup); (b) materialisme, yang menganggap hakikat kenyataan kehidupan ini adalah materi atau atau pemenuhan kebutuhan materi. Sesuatu yang bukan materi adalah kosong. Materi adalah infra struktur, sedangkan jiwa adalah supra struktur (jelmaan dari materi); (2) pertanyaan tentang apa hakikat objek suatu ilmu?. Dari pertanyaan tersebut muncullah beragam paham, misalnya: (a) paham monistik, menurut paham ini hakikat objek ilmu adalah zat dan ide yang tunggal; (b) paham dualistik, menurut paham ini hakikat objek ilmu adalah zat dan benda yang menampilkan eksistensi yang berbeda. 2. Asumsi Asumsi dalam perspektif filsafati, mengandung makna anggapan dasar tentang hakikat kehidupan ini. Apakah kehidupan ini bersifat deterministik?, atau apakah hakikat kehidupan ini bersifat liberalistik?, atau apakah hakikat kehidupan ini bersifat probabilistik (kemungkinan determistik atau liberalistik)?. Ketiga masalah makna anggapan dasar tentang hakikat hidup tersebut, akan dijawab oleh tiga asumsi hidup yang bersifat deterministik, atau liberalistik dan atau probabilistik, dengan penjelasan sebagai berikut: (a) paham deterministik dikembangkan oleh William Hamilton dari doktrin Thomas Hobbes. Konsep pokok dari paham ini menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Paham ini menilai bahwa manusia ditentukan, dipengaruhi (terdeterminasi) oleh faktor eksternal, dan faktor eksternal itu adalah ilmu pengetahuan. Jadi paham determinisme tentang hakikat ilmu adalah ilmu sebagai kekuatan dalam mempengaruhi seluruh dimensi kehidupan manusia; (b) paham liberalistik (pilihan bebas), adalah pandangan yang menempatkan manusia mempunyai kemampuan untuk bebas memilih jalan atau langkah hidup, bebas berkehendak. Pandangan ini memunculkan paham eksistensialisme. Menurut paham ini (liberalis) adalah sangatlah tidak benar meletakkan hakikat manusia yang bersifat khas dan individual itu di bawah kekuatan (tirani) pengetahuan yang bersifat umum (seperti pandangan deterministik). Dengan kemampuan berpikir dan menyimpan beragam pengalaman hidup serta kemampuan dalam memprediksi gejala, manusia bebas melakukan aktivitas hidup; (c) paham probabilistik, inti pokok dari paham ini dalam memaknai anggapan dasar tentang hakikat kehidupan ini adalah bahwa hakikat hidup manusia kemungkinan bisa deterministik dan kemungkinan bisa liberalistik, peluang manusia untuk menjadi salah satu (determinis atau liberalis) adalah sama besarnya. Menurut para ahli, selain ketiga pandangan tersebut ada satu prinsip dalam memaknai anggapan dasar tentang hakikat kehidupan ini yang berkaitan dengan ilmu, yang harus diperhatikan yaitu hakikatnya ilmu itu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak atau kebenaran absolut, karena hakikat kebenaran ilmu

pengetahuan itu adalah bersifat relatif dan masih memberikan peluang untuk salah dalam memberikan angggapan dasar tentang hakikat kehidupan, atau asumsi ilmu pengetahuan masih berpeluang salah. Dalam mengembangkan asumsi ada dua hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu: (a) asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian ilmu. Asumsi harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis; dan (b) asumsi harus disimpulkan dari keadaan semagaimana adanya (merupakan telaah ilmiah), bukan dari bagaimana keadaan itu seharusnya (telaah moral). Jadi, rumusan asumsi terhadap suatu fenomena harus berdasarkan pada landasan teori tertentu, dan sesuai dengan realitas (fakta) serta tidak didasarkan oleh pertimbangan emosi atau pertimbanganpertimbangan subjetivistik. 3. Peluang Makna peluang dalam perspektif kehidupan manusia sehari-hari sejatinya dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Pertama, makna peluang yang melekat dengan perjuangan atau ikhtiar hidup manusia. Dalam perspektif ini segala kehidupan manusia di dunia ini hakikatnya adalah serba mungkin, tergantung tingkat kualitas perjuangan dan ikhtiar manusia itu sendiri. Hakikat keberadaan manusia dalam hidup banyak faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor kualitas pemberdayaan potensi internal (kondisi fisik dan psikisnya, apakah bermutu atau tidak), faktor eksternal (kondisi lingkungan alam dan sosial budayanya, apakah menunjang atau menghambat) dan faktor supranatural (kekuatan di luar diri manusia dan lingkungan alam). Segala pola aktivitas manusia dalam hidup sama-sama punya peluang kearah: (a) lebih dominan pada kegagalan, penderitaan, kesengsaraan, dan kehancuran (destruktif) hidup; atau (b) lebih dominan pada keberhasilan, kebahagiaan, kesuksesan, kemakmuran, dan peradaban (civilization) hidup. Jadi, setiap manusia punya peluang sama untuk bisa berhasil atau gagal, dan faktor penyebab keberhasilan atau kegagalan seseorang itu bersifat multi aspek. Ketika manusia dalam menjalankan segala sesuatu dalam hidupnya dengan didasarkan pada kualitas sikap mental: berpikir rasional, logis, sistematis, dan objektif; dirancang dengan baik, dipertimbangkan aspek positif-negatifnya; dianalisis beragam data yang diperoleh melalui pengamatan yang jeli; dan diprediksi kemungkinan ke depan yang akan terjadi dan kemudian dievaluasi atau direfleksi, maka peluang manusia akan lebih besar ke arah keberhasilan, kebahagiaan, kesuksesan, kemakmuran, dan peradaban (civilization) hidup. Demikian sebaliknya ketika manusia dalam menjalani aktivitas kehidupan dibidang apa saja tanpa didasarkan oleh kualitas dalam hal: berpikir rasional, logis, sistematis, dan objektif; dirancang dengan baik, dipertimbangkan aspek positif negatifnya; dianalisis beragam data yang diperoleh melalui pengamatan yang jeli; dan diprediksi kemungkinan ke depan yang akan terjadi dan kemudian dievaluasi atau direfleksi, maka peluang manusia akan lebih besar ke arah kegagalan, penderitaan, kesengsaraan, dan kehancuran (destruktif) hidup. Kedua, makna peluang yang melekat pada esensi keterbatasan manusia dan adanya kekuatan diluar diri manusia (supranatural). Dalam perspektif ini hakikat segala sesuatu dalam kehidupan di dunia ini adalah serba mungkin. Manusia tidak bisa memastikan segala sesuatu secara mutlak.

Setiap rancangan dan tindakan apapun yang dilaksanakan manusia meskipun sudah sangat baik berdasarkan kriteria ilmiah, tetap saja memberikan peluang sekian persen untuk gagal atau tidak memenuhi target secara seratus persen. Contoh: (a) secara empirik berdasarkan perhitungan ilmu astronomi secara eksak tanda-tanda akan turun hujan telah lengkap, hal ini tetap memberikan peluang 0,5 % atau lebih untuk bisa terjadi tidak turun hujan; (b) secara medis (analisis ilmu kedokteran) penderita gagal ginjal kronis yang divonis akan meninggal satu tahun lagi, tetap memberikan peluang untuk hidup lebih dari satu tahun lagi. Oleh karena itu setiap analisis statistik dalam penelitian ilmiah tetap memberikan statdar eror 1 % atau lebih dalam hal keakuratan proses analisis datanya. Jadi, berdasarkan uraian di atas memberikan kepahaman bahwa: (a) bertindak berdasarkan prinsipprinsip atau tahap-tahap ilmiah diikuti tindakan dan mentalitas positif (kualitas mentalitas individu) akan memberikan peluang yang lebih besar ke arah keberhasilan, demikian juga sebaliknya, ketika setiap perbuatan manusia tidak berdasarkan prinsip-prinsip atau tahap-tahap ilmiah dan tidak diikuti sikap mental positif akan memberikan peluang yang lebih besar ke arah kegagalan hidup; dan (b) meskipun segala tindakan atau anggapan atau penilaian seseorang tentang sesuatu sudah berdasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dengan sikap mental positif tetap saja ada peluang eror atau tidak sesuai dengan apa yang dirancang, dinilai, dianggap sebelumnya. Hal ini terjadi karena hakikat keberadaan manusia adalah makhluk yang punya kelebihan dan kekurangan. 4. Keterbatasan science Ilmu pengetahuan (science) yang dibangun diatas kerangka berpikir ilmiah, dihasilkan melalui proses penelitian ilmiah, dan terus dilakukan revisi melalui penelitian lanjutan, tetap memiliki beberapa keterbatasan. Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka beberapa prinsip yang dapat dipahami berkaitan dengan keterbatasan sciences antara lain: 1. Hakikat batas-batas penjelajahan ilmu (science) adalah pada pengalaman manusia dan akan berhenti di batas pengalaman manusia itu sendiri. Di luar pengalaman dan jangkauan nalar manusia bukan medan penjelajahan ilmu pengetahuan. Misalnya apa yang terjadi setelah kematian manusia, surga dan neraka, dan sebab musabab kejadian manusia bukan medan kajian ilmu pengetahuan. 2. Alasan mengapa medan kajian ilmu pengetahuan hanya pada aspek pengalaman manusia, karena fungsi ilmu pengetahuan sendiri hanya sebagai alat membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup yang nyata di dunia, dan metode pembuktian ilmu pengetahuan sendiri yang menuntut adanya kebenaran empiris, sementara ada sesuatu dalam kehidupan ini yang tidak bisa dibuktikan secara empiris, sesuatu yang berada dijangkauan science, misalnya ruh manusia, cara kerja milyaran syaraf dalam tubuh manusia. 3. Apabila manusia merenungkan tentang hakikat kehidupan manusia secara makro, berarti batasbatas penjelajahan ilmu pengetahuan itu sangat sempit, karena dunia dengan segala isinya ini hakikatnya sangat sedikit yang bisa dibuktikan secara nyata, rasional dan empiris. Misalnya, tentang fenomena jagat raya dengan jutaan planet dan segala isinya, jangkauan ilmu pengetahuan untuk menjelajahnya sangat terbatas. 4. Dari ruang lingkup yang sempit itu, kemudian ilmu pengetahuan dikapling menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, yaitu: filsafat ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural philosophy sciences), dan filsafat ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social philosophy sciences). Pembagian tersebut juga masih belum

mampu menjelaskan segala fenomena osial dan fenomena alam yang begitu sangat luas, kompleks dan dinamik. 5. Dari pembagian tersebut kemudian ada pengelompokan ilmu-ilmu murni dan ilmu-ilmu terapan, serta masing-masing terdapat pembagian yang lebih khusus pada cabang-cabang ilmu pengetahuan baik dalam ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan sosial. Hakikat keberadaan beragam ilmu pengetahuan tersebut sejatinya adalah saling melengkapi dan saling memberi arti atau makna bagi kehidupan ummat manusia. 5. Keterpaduan science-religious suatu keniscayaan Beberapa konsep penting yang menunjukkan hubungan antara ilmu atau ontologi ilmu dan agama merupakan suatu keniscayaan, antara lain: 1. Filsafat ilmu tidak mempersoalkan hubungan pandangan terhadap aktivitas ilmiah dengan hal-hal gaib, seperti hubungan manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu agama mendorong manusia agar termotivasi untuk melakukan penelitian ilmiah dengan memperhatikan nilai-nilai moral keagamaan sebagai wujud pengabdian manusia sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai Sang Khalik. Karena hakikatnya tidak semua fenomena alam di jagat raya dan fenomena psikologis manusia bisa didekati secara empiris, oleh karena itu dalam rangka memperoleh pemaknaan hidup secara komprehensif tentang hakikat segala sesuatu maka pengembangan ilmu harus dibantu dengan nilai-nilai agama. Jadi, sejatinya keterbatasan science dalam mencermati hakikat fenomena hidup, justru semakin mendorong setiap ilmuwan untuk mengkaitkan science dengan agama demi meraih tingkat keunggulan manusia dalam hidup dan demi mendekatkan diri kepada Tuhan. 2. Hakikat objek dan tujuan fungsional setiap ilmu pengetahuan (baik ilmu sosial atau alam) adalah relatif sama dengan objek dan tujuan agama, yaitu sama-sama memberdayakan segala unsur yang ada dalam kehidupan ini untuk kemajuan, kualitas dan kemakmuran hidup ummat manusia. Demikian juga hakikat orientasi filosofis antara ilmu dan agama adalah relatif sama, yaitu mewujudkan kebahagiaan dan kedamaian hidup hakiki bagi manusia. Oleh karena itu, dalam memaknai hakikat objek kehidupan ini diperlukan pendekatan keterpaduan science, filsafat dan agama. Memadukan pendekatan science dan religious dalam pengembangan pengetahuan ilmiah, tidak berarti mendogmakan ilmu, karena dalam ajaran agama banyak hal-hal yang bersifat tidak absolut, atau hal-hal yang bersentuhan dengan realitas kehidupan sehari-hari (empirik), baik menyangkut kehidupan alam maupun kehidupan sosial budaya, atau banyak sekali prinsip ajaran dalam agama yang bersifat praktis dan rasional (Rasjidi, 1965). 3. Pada hakikatnya, objektivitas dalam ilmu pengetahuan bukanlah bersifat objektivistik. Objektivitas dalam ilmu pengetahuan masih tetap terjamah oleh kepentingan, motivasi, tujuan yang bersifat subjektif dan aspiratif seorang ilmuwan, karena hakikatnya tidak ada sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu tanpa campur tangan kepentingan psikologis manusia yang sangat kompleks, fleksibel, dinamik, unik dan situasional. Seorang ilmuwan natural science dalam memilih masalah yang akan dibidik untuk diteliti dan dalam menetapkan rancangan research akan tetap melibatkan kapasitas dan pergolakan jiwa dan pikirannya yang subjektif dan unik, itulah sebabnya antara ilmuwan natural science satu dengan yang lain akan tetap menampilkan keberagam selera dalam mencermati fenomena alam, sehingga muncul beragam spesialisasi-spesialisasi ilmu. Jadi, hakikat pengembangan ilmu pengetahuan tidak akan pernah bebas dari nilai (value free), disini membuktikan adanya hubungan antara science dengan value.

4. Pandangan ilmiah yang disimpulkan dari pengamatan terhadap alam dan kehidupan manusia mempunyai padanan atau hampir sejalan dengan paham teologi dalam masalah takdir dan ikhtiar. Paham kausalitas sejalan dengan keyakinan free will (qadariyah). Pandangan bahwa gejala alam dan kehidupan tidak beraturan (stokastik atau accidental) sejalan dengan paham jabariyah. Paham teologi ilmuwan hampir tidak ada yang sepenuhnya fatalistis (Jabariyah) dan sepenuhnya free will (daqariyah). Pada umumnya mereka berpaham bahwa manusia diperintahkan berusaha memaksimalkan segala potensi yang dimiliki dalam kehidupan dan bila kemudian tidak berhasil, barulah mengembalikannya kepada ketentuan Tuhan (Mutahhari, 1997; Drijarkara, N.,1978; Agus, B., 1999). D. Hakikat Epistemologi Ilmu Epistemologi, yaitu membahas secara mendalam proses atau prosedur dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan adalah bersifat terbuka, objektif, logis dan menjunjung kebenaran atau kesahih-an (valid) data diatas segala-galanya. Pada aspek epistemologi inilah letak kegiatan dari penelitian ilmiah (scientific research), atau epistemologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Persoalan kunci atau utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Dan perlu dipahami hakikatnya ilmu itu mempunyai dua peranan yaitu: satu pihak sebagai metafisika, sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (educated common sense). Dalam rangka memahami hakikat epistemologi, maka berikut ini akan diuraikan tentang: Pengetahuan; Metode ilmiah; Struktur ilmu pengetahuan, dan Beberapa konsep tentang penelitian ilmiah. 1. Pengetahuan Penjelasan tentang pengetahuan telah dijelaskan pada sub bab hakikat ilmu pengetahuan di atas, yaitu meliputi komponen ilmu pengetahuan, tujuan ilmu pengetahuan, klasifikasi ilmu pengetahuan, dan hakikat ilmu pengetahuan, oleh karena itu pada bagian ini tidak akan dijelaskan ulang tentang konsep-konsep tersebut (periksa kembali uraian di atas). Pengetahuan hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang sesuatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu, seni dan agama (Suriasumantri, J.S. 1996; Agus, B.1999; Sumarna, C., 2006; Tafsir, A. 2007). Setiap jenis pengetahuan hakikatnya mempunyai ciri-ciri dalam membangun ilmu pengetahuan yang bersifat spesifik berkaitan dengan apa (ontologi), bagaimana proses (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan itu. Ketiga landasan tersebut saling kait mengkait, bagaikan sebuah sistem, disamping itu ketiga landasan tersebut yang membedakan antara disiplin ilmu pengetahuan satu dengan yang lainnya. Ilmu, seni dan agama mempunyai medan kajian yang berbeda. Ilmu mencoba untuk mencarikan penjelasan mengenai fenomena sosial-budaya dan alam untuk menjadi suatu kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Sedangkan seni dan agama lebih bersifat individual, subjektif dan

personil, artinya kerangka pengembangan seni dan agama lebih banyak diwarnai oleh aspek individual, subjektif dan personil. 1. Metode ilmiah Pada pembahasan di bab IV telah disinggung tentang pengertian metode dan beberapa fungsi metode dalam kerangka logika formal maupun logika material (mohon diperiksa kembali). Berikut ini dijelaskan beberapa prinsip yang perlu dipahami tentang metode ilmiah, antara lain: 1. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu pengetahuan. Sedangkan metodologi ilmiah, merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah, atau ilmu tentang cara-cara memperoleh pengetahuan ilmiah (Kerlinger, F.N. 1980). Metodologi ilmiah inilah secara filsafati disebut epistemologi ilmu. 2. Metode ilmiah juga merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran untuk mencari kebenaran ilmiah. Dalam filsafat ilmu, kebenaran ilmiah seharusnya merupakan perpaduan antara cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif. Hakikatnya kebenaran ilmiah yang hanya mendasarkan pada kerangka berpikir deduktif atau logika formal (kriteria kebenaran koherensi) tidak akan pernah sanggup melakukan kesimpulan dari kajian ilmiah secara komprehensif dan final, oleh karena itu diperlukan perpaduan dengan kerangka berpikir secara induktif atau logika material (kriteria kebenaran korespondensi). Hal ini disebabkan hakikat realitas kehidupan selalu tampil dalam wujud pluralistis atau multidimensional. Bahkan selain kerangka berpikir secara deduktif dan induktif masih belum cukup, masih diperlukan sentuhan pola pikir yang berorientasi pada nilai-nilai moral (etik) religious agar keberadaan ilmu tersebut memperoleh nilai ontologis atau pragmatis yang unggul bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. 3. Metode berpikir seseorang mengalami perkembangan dari pola yang sangat sederhana ke arah kompleks. Van Peursen (1976), membagi perkembangan pola budaya berpikir manusia dalam proses kehidupan di masyarakat menjadi tiga tahap, yaitu: (1) tahap mistis, yaitu setiap manusia menghadapi beragam tugas dan persoalan hidup selalu dicari solusi secara mistis atau gaib. Pada tahap ini seluruh aktifitas manusia selalu dikaitkan atau menyatu dengan supranatural. Pada tahap ini umumnya terjadi pada masyarakat primitif atau tradisional; (2) tahap ontologis, yaitu setiap manusia menghadapi beragam tugas dan persoalan hidup sudah mulai mencoba untuk mencari akar atau dasar-dasar rasional tetapi masih tidak bisa lepas sama sekali dengan dimensi mistik atau gaib. Manusia sudah mulai mengambil jarak dengan kekuatan dunia mistik, dan mulai menggunakan akal sehat atau rasionalnya. Umumnya hal ini terjadi pada masyarakat peralihan; dan (3) tahap fungsional, yaitu manusia dalam memecahkan beragam tugas dan persoalan hidupnya selalu mendasarkan pada rasionalitas, mengandalkan kemajuan ilmu pengetahuan, menggunakan metode ilmiah dalam memecahkan beragam problem atau persoalan kehidupan. Pada tahap ini manusia tidak lagi terikat oleh kekuatan dunia mistik atau gaib. Tahap ini umumnya terjadi pada masyarakat modern. 4. Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan, namun lebihlebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah kepada masyarakat ilmuwan. Menurut J. Bronowski, dalam Suriasumatri (1996), hakikat metode ilmiah adalah bersifat sistematis dan eksplisit. Sifat eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif pada kalangan masyarakat ilmuwan. 5. Kerangka metode berpikir ilmiah yang berintikan proses logico hypothetico verifikatif pada

dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut, yaitu: perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan. 1. Struktur ilmu pengetahuan Ditinjau dari dimensi ilmu, maka suatu ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) fenomena ilmu pengetahuan; dan (b) struktur ilmu pengetahuan. Ada tiga aspek yang merupakan bagian kajian fenomena ilmu pengetahuan, yaitu: masyarakat ilmuwan; proses pencarian ilmu; dan produk atau hasil dari ilmu pengetahuan berupa teori-teori atau dalil-dalil atau proposisi-proposisi. Sedangkan struktur ilmu pengetahuan sebenarnya membicarakan tentang objek ilmu pengetahuan, prosedur kajian ilmu pengetahuan atau metode kajian ilmiah dan fungsi ilmu pengetahaun. Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah sejatinya merupakan pengetahuan yang telah memenuhi syarat-syarat keilmuan, dengan demikian disebut pengetahuan ilmiah (science). Suatu pengetahuan ilmiah akan mempunyai tiga fungsi, yaitu: 1. Menjelaskan, secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan ilmiah, yaitu: penjelasan deduktif dan induktif; penjelasan probabilistik; penjelasan fungsional dan teologis; dan penjelasan genetik. 2. Meramalkan, maksudnya adalah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum atau dalil. Hukum pada hakikatnya merupakan persyaratan yang menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel dalam suatu kaitan sebab akibat. Dari teori dan hukum inilah dapat diramalkan kejadian, gejala atau fenomena yang akan terjadi (meskipun tidak mutlak, karena memang kebenaran ilmu pengetahuan bukan kebenaran mutlak atau absolut). 3. Mengontrol, artinya pengetahuan ilmiah akan memberikan penjelasan tentang mengapa suatu gejala itu terjadi, sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang apa yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan alat yang dapat kita pergunakan untuk mengontrol gejala atau fenomena alam (Suriasumantri, J.S. 1996). 4. Beberapa konsep tentang penelitian ilmiah Setiap peneliti apabila ingin melakukan kegiatan penelitian ilmiah, terlebih dahulu dia betul-betul harus memahami apa hakikat penelitian ilmiah (scientific research) itu?. Berikut ini beberapa konsep penting yang perlu dipahami berkaitan dengan penelitian ilmiah. a. Pengertian penelitian ilmiah Dikalangan orang awam istilah penelitian ilmiah, sering dipahami sebagai kegiatan orang yang berpendidikan tinggi, setiap hari kerja keras dan bergelut di laboratorium untuk meneliti beragam zat dan gejala alam dengan penuh keseriusan untuk dikaji dan dilaporkan dengan baik. Sebenarnya setiap orang dalam kehidupan sehari-harinya tidak pernah lepas dari kegiatan untuk meneliti, dan kegiatan penelitian tidak selalu harus di laboratorium, Contoh: (a) seorang guru atau dosen dapat melakukan penelitian di kelas pada saat dia mengajar (penelitian tindakan kelas); (b) seorang mahasiswa dapat melakukan penelitian di laboratorium dan di lingkungan tempat tinggalnya. Demikian juga seorang pedagang, seorang petani dan sebagainya, dapat melakukan kegiatan

penelitian yang berkisar masalah-masalah dalam kehidupan sehari-harinya. Banyak definisi tentang penelitian ilmiah yang telah dikemukakan oleh para ahli, munculnya beragam definisi tersebut karena adanya: (a) perbedaan orientasi filosofis dan teori yang dianut oleh peneliti, (b) perbedaan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki dan perbedaan kehidupan sosialbudayanya; dan (c) perbedaan fokus persoalan yang dipilih untuk dikaji. Secara umum pengertian penelitian ilmiah adalah suatu proses pengumpulan data dan analisis data yang dilakukan dengan memperhatikan metode ilmiah, yaitu sistematis, logis dengan menggunakan pendekatan kuantitatif atau kualitatif. Menurut Kerlinger, F. (2002), pengertian penelitian ilmiah adalah penyelidikan yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis, tentang fenomena-fenomena alami, dengan dipandu oleh teori dan hipotesis-hipotesis tentang hubungan yang dikira terdapat antara fenomena-fenomena itu. Berdasarkan beberapa definisi tentang penelitian ilmiah dapat disimpulkan, bahwa penelitian ilmiah adalah proses penyelidikan atau penelaahan yang dilakukan individu, berkaitan dengan fenomena kehidupan dengan memperhatikan metodologi research secara ketat, misalnya: orientasi teoritis, observasi ilmiah, sistematis, rasional, empiris, dan melalui beberapa tahapan tertentu sampai pada kesimpulan penelitian Kemudian faktor-faktor apakah yang mendorong seseorang melakukan penelitian?. Paling tidak ada enam sebab atau latar belakang manusia mempunyai kecenderungan untuk melakukan penelitian ilmiah, antara lain: 1) Pengetahuan manusia sangat terbatas untuk memahami begitu kompleksnya fenomena kehidupan di jagat raya ini, sehingga manusia perlu terus menerus melakukan research secara ilmiah. 2) Manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan untuk berpikir secara logis, objektif, sistematis dan analitis terhadap gejala sosial dan gejala alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga manusia selalu ingin melakukan penelitian untuk mengetahui tentang fenomena kehidupan tertentu dalam rangka proses pemenuhan beragam kebutuhan hidup, baik secara pribadi atau kelompok (Suriasumantri, J.S., 1996). 3) Manusia selama proses aktivitas hidupnya selalu dihadapkan pada beragam problema atau permasalahan hidup. Beragam problema hidup tersebut menuntut pemecahan secara baik, oleh karena itu perlu adanya research ilmiah agar beragam persoalan hidup tersebut bisa diatasi dengan baik 4) Manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan untuk mengkomunikasikan dengan bahasa yang baik, terhadap hasil pengamatan dan kajian ilmiah terhadap gejala sosial dan gejala alam tersebut kepada sesamanya, untuk mencapai kualitas kehidupan. Jadi, kegiatan meneliti merupakan suatu bagian penting dalam kehidupan manusia. 5) Manusia adalah makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk tidak puas, selalu ingin membaharui (inovasi) terhadap karya budaya yang telah dimiliki. Hal ini menyebabkan manusia

selalu ingin melakukan penelitian ilmiah menyangkut berbagai aspek kehidupan, semua dilakukan dalam rangka meraih kemajuan diberbagai bidang kehidupan (Lauer, 1978; Sztompka, P., 1993). 6) Manusia adalah makhluk yang cenderung pengetahuan dan ketrampilannya terus bertambah atau berakumulasi dan terus melakukan kegiatan research ilmiah dalam rangka melakukan revolusi ilmu pengetahuan di berbagai bidang hidup yang kompleks (Khun, T., 1970). Jadi, kegiatan penelitian ilmiah sejatinya adalah suatu tuntutan secara tidak langsung dari hasil penelitian ilmiah sebelumnya, karena setiap hasil penelitian ilmiah memerlukan penyempurnaan dan refleksi penelitian berikutnya. Dalam kaitannya dengan proses penelitian ilmiah, ada beberapa sikap ilmiah yang harus dimiliki oleh setiap peneliti ilmu sosial atau ilmu alam, antara lain: (1) peneliti harus mempunyai wawasan yang cukup tentang orientasi filosofis dan teoritis dalam memahami fenomena hidup, oleh karena itu setiap peneliti harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan; (2) peneliti harus memiliki sikap objektif dan peneliti selalu memulai pembicaraannya berdasarkan fakta dan data; (3) peneliti harus memiliki sikap terbuka terhadap berbagai saran, kritik dan perbaikan dari berbagai pihak terhadap hasil penelitiannya; (4) peneliti harus memiliki sikap ingin tahu terhadap objek yang diteliti, dan selalu haus akan pengetahuan baru (peka terhadap informasi dan data); dan (5) peneliti harus memiliki daya cipta, kreatif dan senang terhadap kegiatan inovasi di berbagai bidang kehidupan (Bungin, B., 2001; Salim, A., 2001). Selain sikap tersebut, ada beberapa kemampuan ilmiah yang harus dimiliki oleh setiap peneliti ilmu sosial atau ilmu alam, antara lain: (1) peneliti harus mempunyai kemampuan daya kritik, berpikir sistematik dan berwawasan luas; (2) peneliti harus mempunyai kemampuan mencipta atau mengemukakan sesuatu yang baru, karena aktivitas penelitian harus selalu menemukan sesuatu yang baru; (3) peneliti harus mampu melihat sesuatu masalah dalam konteks (ruang lingkup) yang luas atau dalam; (4) peneliti harus mampu melihat gejala sosial budaya yang layak untuk diteliti, dan mampu merumuskan masalah dengan baik serta menganalisisnya secara benar; dan (5) peneliti harus mampu melakukan penelitian lanjutan atau mengulangi penelaahan (replicate the study) dalam rangka lebih memperkuat hasil penelitian sebelumnya. Semua kemampuan tersebut tidak secara langung dimiliki oleh peneliti, tetapi melalui suatu proses pembelajaran atau praktik research terus menerus, oleh karena itu bagi peneliti pemula tidak boleh berpandangan pesimis, kelima kemampuan tersebut akan dimiliki dengan sendirinya apabila peneliti terus menerus melakukan penelitian ilmiah. b. Tujuan penelitian ilmiah Perkembangan ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh berkembangnya kegiatan penelitian ilmiah. Antara penelitian ilmiah dan ilmu pengetahuan adalah ibarat dua sisi dalam satu keping mata uang. Hal ini disebabkan, penelitian akan berkurang maknanya kecuali bila digunakan untuk kebutuhan ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu pengetahuan akan menjadi mandul (tidak berkembang) bila tanpa penelitian ilmiah. Berikut ini termasuk beberapa tujuan proses penelitian ilmiah antara lain: (1) untuk memperoleh informasi baru tentang pengetahuan tertentu, misalnya: pengetahuan sejarah, sosiologi, psikhologi,

komunikasi, politik, hubungan internasional, ekonomi, pendidikan, biologi, fisika dan sebagainya; (2) untuk menjelaskan dan mengembangkan suatu pengetahuan tertentu. Peneliti yang dalam proses penelitiannya telah bekerja secara baik sesuai dengan prosedur ilmiah akan mampu menjelaskan fakta-fakta penting dan menolak atau mendukung atau mengembangkan teori yang ada; (3) untuk menerangkan, memprediksi dan mengontrol suatu fenomena sosial dan alam yang ditelitinya. Dengan rancangan penelitian dan prosedur penelitian ilmiah yang ketat, maka peneliti akan dapat menerangkan secara jelas tentang hubungan antar variabel yang diteliti atau akan mampu mendeskripsikan secara sistematis, logis tentang objek penelitiannya, dan akhirnya mampu memprediksi dan mengkontrol apa yang terjadi diantara variabel yang dikajinya (Sukardi, 2004); dan (4) untuk memberikan rekomendasi teoritis dan rekomendasi praktis. Setiap penelitian ilmiah diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, memberi wacana atau masukan pemikiran baru bagi suatu lembaga tertentu serta mendorong terjadinya penelitian lanjutan. Disamping itu hasil penelitian ilmiah harus mampu memberikan nilai fungsional bagi aktivitas kehidupan kelompok atau masyarakat atau bangsa dalam proses pembangunan di berbagai bidang kehidupan. c. Langkah-langkah dalam melakukan penelitian ilmiah Pada penjelasan di muka telah dikemukan pendapat Horton and Hunt (1984) tentang delapan tahap yang harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian ilmiah. Senada dengan pandangan tersebut, menurut Jujun S. Suriasumantri (1996) lebih rinci menjelaskan tentang beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti dalam melakukan proses penelitian ilmiah dan penulisan ilmiah, yaitu: Pertama, langkah pertama dalam suatu penelitian ilmiah adalah mengajukan rumusan masalah. Secara kronologis dapat kita simpulkan enam kegiatan dalam langkah pengajuan masalah, yaitu: (a) merumuskan latar belakang masalah; (b) melakukan identifikasi masalah; (c) melakukan pembatasan masalah; (d) merumuskan masalah; (e) merumuskan tujuan penelitian; (f) merumuskan kegunaan penelitian, dan (g) merumuskan keterbatasan hasil penelitian. Kedua, setelah merumuskan masalah penelitian, peneliti harus menyusun kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis. Secara ringkas langkah-langkah dalam penyusunan kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis adalah: (a) pengkajian mengenai teori-teori yang akan dipergunakan dalam analisis; (b) pembahasan mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang relevan; (c) penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan mempergunakan premis-premis sebagai tercantum dalam poin a dan b dengan menyatakan secara eksplisit (tersurat) postulat, asumsi dan prinsip yang dipergunakan; dan (d) perumusan hipotesis. Ketiga, setelah menyusun kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis, peneliti melakukan penyusunan metode penelitian. Sedangkan langkah-langkah penyusunan metode penelitian adalah: (a) tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk pernyataan yang mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik hubungan yang akan diteliti; (b) tempat dan waktu penelitian atau setting penelitian, yang menjelaskan bagaimana kondisi lokasi penelitiannya; (c) metode penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi yang diharapkan; (d) teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan penelitian, tingkat keumuman dan metode penelitian; (e) teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran, instrumen dan teknik mendapatkan data; dan (f)

teknik analisis data mencakup langkah-langkah dan teknik analisis yang dipergunakan ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis. Keempat, mengemukakan hasil penelitian, sedangkan kegiatan dalam menyusun hasil penelitian antara lain: (a) menyatakan variabel-variabel yang diteliti; (b) menyatakan teknik analisis data; (c) mendeskripsikan hasil analisis data; (d) memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data; (e) menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima; dan (f) melakukan pembahasan dari hasil uji hipotesis, dengan mengkaitkan teori yang menjadi orientasi penelitiannya. Kelima, menyusun ringkasan dan kesimpulan, sedangkan langkah-langkahnya adalah: (a) mendeskripsikan secara singkat mengenai masalah, kerangka teoritis, hipotesis, metodologi dan penemuan penelitian; (b) kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan keseluruhan aspek tersebut di atas; (c) pembahasan kesimpulan penelitian dengan melakukan perbandingan terhadap penelitian lain dan pengetahuan ilmiah yang relevan; (d) mengkaji implikasi penelitian, yang meliputi implikasi teoritis dan implikasi praktis; dan (e) mengajukan saran-saran. Keenam, mencantumkan daftar pustaka secara benar, kemudian diikuti dengan penyusunan beberapa lampiran yang berkaitan dengan proses penelitian, misalnya: surat ijin penelitian, angket atau alat perekaman atau pengumpulan data penelitian, beberapa data penunjang yang diperlukan dalam proses penelitian sampai daftar riwayat hidup peneliti. d. Karakteristik dan beragam jenis penelitian ilmiah Berdasarkan beberapa pandangan para ahli, paling tidak ada tiga belas karakteristik penelitian ilmiah, antara lain: 1) Mempunyai rumusan masalah dan tujuan penelitian yang jelas. Diantara fungsi rumusan masalah dan tujuan penelitian adalah untuk memberikan arah, ruang lingkup dan target apa yang hendak dicapai dalam proses penelitian ilmiah. 2) Menentukan jenis pendekatan dan strategi penelitian tertentu, misalnya: bisa menggunakan pendekatan kuantitatif, atau pendekatan kualitatif atau pendekatan gabungan kuantitatif-kualitatif (mixing methods). 3) Mempunyai metode pengumpulan data, misalnya metode: observasi, angket, dokumen, wawancara, dan tes. 4) Mempunyai desain atau rancangan penelitian yang sudah disusun sejak awal sebelum penelitian dilakukan. Rancangan penelitian ini biasanya dituangkan dalam proposal penelitian. 5) Mempunyai sasaran objek yang dikaji atau populasi dan sampel penelitian. 6) Mempunyai orientasi filosofis atau teoritik dalam proses penelitian. Setiap kegiatan penelitian ilmiah seharusnya ada orientasi filosofis atau teoritik yang akan menjadi arahan (orientasi) dalam proses analisis data.

7) Melakukan proses perekaman, dan pencatatan data secara akurat dengan menggunakan instrumen penelitian tertentu yang dipakai. 8) Melakukan validasi dan reliabelitas instrumen (untuk strategi penelitian kuantitatif) atau keabsahan data (untuk strategi penelitian kualitatif). 9) Melakukan kontrol, khususnya dalam penelitian eksperimen. Hal ini penting agar variabel lain yang tidak diperlukan tidak berintervensi pada variabel yang ditelitinya. 10) Menggunakan strategi analisis data yang tepat, logis, misalnya: analisis statistik, atau analisis deskriptif kualitatif, atau analisis gabungan (kuantitatif-kualitatif). 11) Melakukan interpretasi data atau melakukan pembahasan hasil analisis data, apakah menolak teori, mendukung teori, mengembangkan atau menemukan teori (proposisi penelitian). 12) Mempunyai keberanian untuk mengungkapkan fenomena sosial dan alam secara objektif, meminimalisir aspek subjektivitas pribadi atau kelompok. 13) Hasil penelitian mempunyai nilai fungsional (aksiologi) bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat (Sugiyono, 2007). Sedangkan mengenai jenis atau bentuk penelitian ilmiah adalah sangat beragam. Menurut para ahli ada beberapa jenis atau bentuk penelitian ilmiah antara lain: 1. Penggolongan penelitian menurut fungsinya, yaitu dibedakan menjadi empat jenis: (1) penelitian dasar (basic research), yaitu penelitian yang berfungsi untuk perluasan atau pengembangan ilmu pengetahuan tanpa memikirkan nilai fungsional bagi masyarakat sekarang. Umumnya penelitian dasar ini dilakukan pada kelompok natural science (Astronomi, Fisika, Kedokteran; (2) penelitian terapan (applied research), yaitu penelitian yang berfungsi atau bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat. Jadi, penelitian terapan ini mempunyai nilai fungsional atau nilai pragmatis bagi kehidupan masyarakat. Diantara contoh penelitian terapan adalah: survei produksi dan konsumsi; action research; penelitian pertanian; penelitian arsitektur, akuntansi, implementasi kurikulum, dan sebagainya; (3) penelitian pengembangan (research and development), yaitu.penelitian yang berfungsi atau bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan memvalidasi suatu produk. Jenis penelitian ini merupakan jembatan antara penelitian dasar dan penelitian terapan (Sugiyono, 2007); dan (4) penelitian evaluatif (evaluation research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk menilai manfaat, sumbangan atau kelayakan dari suatu kegiatan atau unit tertentu. Penelitian ini membutuhkan data kuantitatif dan kualitatif, dan lebih bersifat aplikatif. Ada dua jenis penelitian evaluatif, yaitu penelitian tindakan (action research) dan penelitian kebijakan (policy research) (Nurgiyantoro, dkk,. 2002). b. Penggolongan penelitian menurut bidang ilmu atau garapan, dapat dibedakan menjadi: penelitian Sosiologi; penelitian Pendidikan dan non pendidikan; penelitian Hukum; penelitian Ekonomi; penelitian Bahasa, penelitian Antropologi, penelitian Biologi; penelitian Sejarah dan sebagainya.).

1. Penggolongan penelitian menurut tingkat kealamiahan, dapat dibedakan menjadi: (a) penelitian eksperimen. Penelitian ini sangat tidak alamiah karena tempat penelitiannya di laboratorium dalam kondisi yang terkontrol sehingga tidak terdapat pengaruh dari luar. Tetapi sebenarnya penelitian eksperimen bidang ilmu-ilmu sosial tidak harus di dalam laboratorium, tetapi bisa di lapangan atau di tengah kehidupan masyarakat; (b) penelitian survei, jenis penelitian ini sering disebut penelitian normatif atau penelitian status. Pada umumnya pada penelitian ini menggunakan variabel dan populasi yang luas sesuai dengan tujuan penelitiannya. Penelitian eksperimen dan survei di atas adalah termasuk penelitian yang menggunakan metode kuantitatif atau analisis datanya menggunakan statistik; (c) penelitian naturalistik, yaitu jenis penelitian yang sering disebut penelitian kualitatif (Sugiyono, 2007) dengan analisis datanya secara naratif deskriptif kualitatif. d. Penggolongan penelitian menurut tempat penelitian. Dapat dibedakan menjadi: Penelitian Perpustakaan (Kajian buku-buku ilmiah di perpustakaan); Penelitian Laboratorium (melakukan uji coba atau eksperimen di laboratorium). e. Penggolongan penelitian menurut aspek metode dan pendekatan, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: (1) penelitian deskriptif, yaitu jenis penelitian yang berusaha untuk menggambarkan, menjelaskan secara detail, sistematis, logis tentang objek tertentu. Penelitian ini umumnya dilakukan pada bidang ilmu sosial dan budaya; (2) penelitian sejarah (historical research atau historiografi), jenis penelitian ini hampir sama dengan penelitian deskriptif, tetapi ada perbedaan khusus, yaitu lebih menekankan pada metode wawancara tak terstruktur dengan pelaku sejarah dan dalam melakukan analisis data dokumen melakukan kritik intern dan kritik ekstern; (3) Penelitian kuantitatif (quantitative research), yaitu penelitian yang berorientasi pada paham positivisme, dan bertujuan untuk mencari hubungan dan menjelaskan sebab-sebab perubahan dalam fakta sosial yang terukur, analisis datanya menggunakan statistik; (4) penelitian kualitatif (qualitative research), yaitu penelitian yang berorientasi pada paham konstruktivisme atau interpretif, yang bertujuan untuk menjelaskan realitas kehidupan sehari-hari secara alamiah, analisis datanya berupa kalimat rinci dan sistematis, logis (Sugiyono, 2007). Secara khusus dalam pembahasan berikutnya akan dijelaskan tentang perbedaan penelitian kuantitatif dan kualitatif; (5) penelitian longitudinal, yaitu penelitian yang ingin mengetahui perkembangan suatu gejala yang cukup lama, misalnya peneliti ingin mengetahui perkembangan kemampuan berpikir anak SD kelas I sampai kelas VI, maka peneliti melakukan pencatatan perkembangan kemampuan berpikir anak dari kelas I sampai kelas VI pada objek yang sama (jadi butuh waktu 6 tahun); (6) penelitian crosssectional, yaitu penelitian yang tidak menggunakan sasaran penelitian yang sama, misalnya ingin mengetahui perkembangan berpikir anak SD kelas I sampai VI, maka dalam waktu bersamaan merekam perkembangan berpikir anak SD kelas I sampai kelas VI, jadi kebalikan dari longitudinal, tidak perlu waktu lama; (7) penelitian evaluasi atau hampir sama dengan penelitian assesment. Secara umum penelitian evaluasi adalah bertujuan untuk menjawab apakah suatu proyek tertentu telah berjalan sesuatu dengan program yang telah ditetapkan (Bungin, B., 2001; Idrus, 2007). 1. Penggolongan penelitian berdasarkan tujuannya, yaitu dibedakan menjadi: (1) penelitian deskriptif (descriptive research), jenis penelitian ini bisa juga dilihat dari segi metode atau pendekatan seperti yang disinggung di atas; (2) penelitian prediktif (predictive research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi berdasarkan analisis data

saat dilakukannya penelitian. Umumnya penelitian ini bersifat studi korelasional (correlational studies) dan studi kecenderungan (trend studies); (3) penelitian improvetif (improvetive research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki, meningkatkan atau menyempurnakan suatu keadaan atau pelaksanaan suatu program tertentu. Termasuk dalam jenis penelitian ini misalnya penelitian tindakan (action research), penelitian dan pengembangan (research and development), penelitian eksperimental; dan (4) penelitian eksplanatif (explanation research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang hubungan antar fenomena atau variabel yang diteliti (Sugiyono, 2007). 5. Orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian Orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian ilmiah ini akan menjelaskan tentang tiga hal, yaitu: orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian kuantitatif; orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian kualitatif; dan orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian gabungan (kuantitatif dan kualitatif). a. Orientasi filosofis dan ciri penelitian kuantitatif Pada masyarakat ilmuwan telah lama terjadi perdebatan panjang dan tetap berlangsung sampai sekarang tentang cara terbaik dalam memahami fenomena sosial-alam melalui kegiatan penelitian ilmiah. Perdebatan tersebut karena adanya: perbedaan orientasi filosofis, perbedaan orientasi teori dalam penelitian, dan perbedaan metode atau pendekatan penelitiannya (Poloma, M.M. 1979; Cambell, T. 1981). Ada dua orientasi filosofis yang selalu menjadi acuan dalam menemukan atau mengembangkan teori dan dalam kegiatan penelitian ilmiah, yaitu: Pertama, orientasi filosofis positivisme atau rasionalisme atau objektivisme. Proses penelitian ilmiah yang berorientasi pada paham ini, mempunyai ciri: (a) pendekatan penelitiannya adalah kuantitatif; (b) analisis datanya menggunakan statistik; (c) hakikat realitas hidup adalah tunggal; (d) proses research adalah menguji teori atau menguji hipotesis; (e) menggunakan logika deduktif dan melakukan generalisasi statistik; dan (f) kriteria kualitas penelitian adalah: objektivitas, reliabilitas dan validitas. Kedua, orientasi filosofis empirisme, atau idealisme, atau konstruktivisme; atau subjektivisme. Proses penelitian ilmiah yang berorientasi pada paham ini, mempunyai ciri: (a) pendekatan penelitiannya kualitatif; (b) analisis datanya berupa deskriptif abstraktif (non statistik) secara sistematis dan alamiah; (c) hakikat realitas hidup adalah jamak, holistik; (d) menggunakan logika induktif, tidak menguji teori atau tidak melakukan uji hipotesis; dan (e) kriteria kualitas penelitiannya adalah: otentisitas dan relevansi dengan fenomena alami, Jadi, sepanjang para peneliti berpegang pada orientasi filosofis yang berbeda, maka selamanya akan terjadi perbedaan pendekatan, sudut pandang dalam memaknai kebenaran hasil penelitian. Hal ini harus dipahami oleh setiap peneliti dalam setiap memahami atau memaknai fenomena hidup selama proses penelitian ilmiah. Berdasarkan pandangan para ahli dapat disimpulkan tentang karakteristik penelitian kuantitatif sebagai berikut: Pertama, ditinjau dari orientasi filosofis dan teoritis adalah berorientasi pada paham positivisme, rasionalisme, atau objektivisme Sedangkan orientasi teoritisnya adalah berorientasi

pada teori-teori yang berparadigma fakta sosial (Ritzer, G. 2002). Diantara ciri teori-teori yang berparadigma fakta sosial adalah: (a) seluruh pola perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor eksternal; (b) kerangka berpikirnya bersifat deduktif verifikatif; (c) menuntut adanya pembuktian teori atau pengujian hipotesis secara statistik; dan (d) mengandalkan pada kebenaran objektivitas, validitas dan reliabilitas. Sejarah awal perkembangan penelitian kuantitatif adalah berkembang di kalangan ilmuwan eksakta atau disiplin ilmu kealaman. Kedua, dilihat dari segi desain penelitian, adalah: (a) bersifat terinci, luas, dan banyak menggunakan literatur yang terkait dengan tema penelitian; (b) memiliki prosedur research yang rinci, terukur; (c) sejak usulan penelitian (proposal) penelitian kuantitatif sudah memiliki landasan teoritis yang kuat dan jelas; dan (d) proses penelitian terikat kuat dengan desain research yang telah diajukan (tidak berubah), dan isi desain penelitiannya secara ketat akan dipatuhi untuk dilaksanakan dalam proses penelitiannya, misalnya rumusan masalah penelitian tidak boleh berubah selama proses penelitian (Gay, L.R. 1983; Hadi, S. 2004). Ketiga, dilihat dari rumusan judul penelitian adalah: (a) rumusan judul penelitian kuantitatif tidak pernah berubah (sudah ditetapkan sebelum pelaksanaan penelitian); (b) ekspresif, jelas, padat dan menunjukkan secara jelas permasalahan yang akan diteliti; dan (c) menggambarkan variabel independen atau bebas dan variabel dependen atau tergantung yang akan digali datanya untuk dianalisis (Gay, L.R. 1983; Bungin.B., 2001). Keempat, dilihat dari rumusan masalah penelitian adalah: (a) rumusan masalah harus jelas sehingga dapat diketahui variabel atau hubungan variabel yang diteliti; (b) dirumuskan dalam bentuk kalimat bertanya, misalnya: Apakah?, Bagaimanakah?; Seberapa besar atau tinggi?; Adakah hubungan atau adakah perbedaan?; (c) rumusan masalah tidak berubah selama proses penelitian, karena menjadi acuan penelitian (Sudijono, A. 1992). Kelima, dilihat dari segi penetapan variabel penelitian. Variabel adalah atribut seseorang atau objek yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lain, atau variabel adalah suatu kuantitas (jumlah) atau sifat karakteristik yang mempunyai nilai numerik atau kategori atau sifat yang akan diteliti (Kartono, K.,1996; Kerlinger, F. 2002). Ciri penelitian kuantitatif dari segi penetapan variabel adalah: penetapan variabel penelitian (variabel independen, dependen, moderator, intervening) harus ditetapkan dulu sebelum memulai penelitian (rancangan penelitian) dan tidak akan berubah selama penelitian berlangsung. Keenam, dilihat dari deskripsi teori dalam proses penelitian, antara lain: (a) karena penelitian kuantitatif adalah menguji teori maka deskripsi teori harus diuraikan secara sistematis, tidak hanya sekedar pendapat para ahli tetapi penting mengungkap hasil-hasil research terdahulu yang mengkaji fenomena yang sama; (b) deskripsi teori harus menjelaskan secara rinci tentang variabel-variabel yang diteliti dari berbagai referensi ilmiah (Sugiyono, 2007). Langkah praktis yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsikan teori dalam penelitian kuantitatif adalah: (a) tetapkan nama variabelnya dan berapa jumlah sub variabel yang akan diteliti; (b) cari sumber-sumber ilmiah (Buku ilmiah, Laporan penelitian; Skripsi; Tesis; Disertasi; Jurnal ilmiah) yang membahas variabel yang akan diteliti atau yang berkaitan dengan sub variabel penelitian; (c) cari definisi konsep, baca seluruh uraian dalam sumber ilmiah tersebut yang mengkaji tentang variabel yang akan diteliti; dan (d) deskripsikan

secara sistematis dengan bahasa yang benar dengan tetap mencantumkan catatan kaki atau buku yang menjadi rujukannya. Ketujuh, dilihat dari segi rumusan hipotesis penelitian, adalah: (a) dalam penelitian kuantitatif wajib atau harus dirumuskan hipotesis penelitian atau hipotesis statistik, karena ciri penelitian kuantitatif adalah menguji teori; (b) bersifat deterministik terkait dengan variabel-variabel yang akan ditelitinya. Hipotesis yang diajukan sebagai upaya penguat bahwa ada keterkaitan antar variabel satu dengan variabel lainnya; dan (c) rumusan hipotesis bisa dalam bentuk hipotesis alternatif (Ha) dan hipotesis nihil (Ho); (c) perumusan hipotesis harus berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir (Bungin, B. 2001). Hipotesis penelitian adalah hipotesis untuk penelitian pada seluruh populasi, sedangkan hipotesis statistik adalah hipotesis penelitian yang bekerja dengan sampel. Kedelapan, dilihat dari segi sampel penelitian, adalah: (a) menggunakan sampel yang banyak memiliki tingkat representasi tinggi terhadap populasi yang hendak digeneralisasi; (b) semakin banyak jumlah sampel semakin baik hasil penelitian, karena akan semakin banyak data yang diperoleh yang berdistribusi normal; (c) teknik sampling biasanya menggunakan probability sampling meliputi: simple random; proportionate stratified random; disproportionate stratified random; dan area (cluster) random (Sugiyono, 2007); (d) bersifat reduksi, yaitu melakukan penyederhanaan (simplikasi) terhadap kenyataan yang kemudian dilakukan generalisasi. Kesembilan, dilihat dari metode pengumpulan data penelitian, adalah: (a) proses pengumpulan data menggunakan angket, tes, dokumen, wawancara terstruktur yang terlebih dahulu dilakukan uji instrumen untuk mencari validitas dan reliabilitas instrumen; (b) melakukan intervensi terhadap realitas yang diteliti dengan cara memberikan perlakuan (treatment) baik berupa pemberian angket, kuesioner, skala maupun pengkondisian perilaku; (c) hubungan antara peneliti dengan subjek yang diteliti saat pengumpulan data adalah jauh, tidak akrab (tanpa kontak) sehingga tetap dijamin objektivitas data (Hadi, S., 2004). Kesepuluh, dilihat dari segi analisis data penelitian, adalah: (a) dilakukan pada akhir proses setelah seluruh pengumpulan data dilakukan; (b) bersifat deduktif serta menggunakan analisis statistik dalam menganalisis gejala yang diteliti; (c) tujuan analisis adalah untuk menguji atau membuktikan hipotesis statistik yang diajukan; dan (d) jenis analisis statistik yang bisa dipakai adalah: statistik deskriptif, statistik inferensial, statistik parametris, dan statistik nonparametris. Penggunaan jenis analisis statistik tersebut adalah tergantung pada jenis data penelitiannya, yaitu: data nominal (nominal data); data ordinal (ordinal data); data interval (interval data); dan data rasio (ratio data) (Nurgiyantoro, B. Dkk. 2002). Kesebelas, dilihat dari segi rekomendasi hasil penelitian, adalah: (a) rekomendasi teoritis adalah hasil penelitian didasarkan atas kriteria objektivitas, reliabilitas dan validitas instrumen; (b) logika research berdasarkan hipotesa deduktif verifikatif, karena sifatnya adalah menguji teori; dan (c) rekomendasi praktisnya adalah memberikan data empirik yang objektif dan bisa dipertanggungjawabkan karena kebenarannya bersifat etik, segala ukuran kebenaran telah sesuai dengan teori yang dipakainya. b. Orientasi filosofis dan ciri penelitian kualitatif

Sebagaimana uraian yang telah dikemukakan di muka, bahwa orientasi filosofis dari pendekatan penelitian kualitatif adalah orientasi empirisme, atau idealisme atau konstruktivisme; atau subjektivisme. Menurut Kirk and Miller dalam Moleong (2006), bahwa Istilah penelitian kualitatif (qualitative research) awalnya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif mendasarkan pada penghitungan angka, serta statistik, sedangkan pengamatan kualitatif tidak mendasarkan pada penghitungan angka tetapi mendeskripsikan realita alamiah dengan kalimat atau narasi. Menurut Bogdan and Biklen, dalam Moleong (2006), ada beberapa istilah lain untuk menamakan penelitian kualitatif (qualitative research), yaitu: Inkuiri naturalistik; Ethnografi; Interaksionis simbolik; Ethnometodologi; Studi kasus; Fenomenologi; Penelitian deskriptif naratif, penelitian tindakan (action research). Beragam pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli tentang penelitian kualitatif, yaitu: (a) Menurut Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya; (b) Menurut David Williams, penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada satu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh peneliti yang tertarik secara alamiah; (c) menurut Denzin dan Lincoln, penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan tujuan menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan melibatkan berbagai metode yang ada; dan (d) Menurut Moleong, dia melakukan sintesis tentang definisi penelitian kualitatif dari pendapat para ahli, yaitu penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, pandangan, motivasi, tindakan sehari-hari, secara holistik dan dengan metode deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa (naratif) pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Miles and Huberman, 1992; Moleong, L.J., 2006). Landasan teori (orientasi paradigmatik) penelitian kualitatif adalah teori-teori yang berparadigma definisi sosial (Ritzer, G. 2002), yaitu: Pertama, teori fenomenologi. Beberapa konsep penting teori fenomenologi dalam memahami fenomena individu dan masyarakat antara lain: 1) Teori ini memandang dimensi subjektif atau pengalaman kesadaran sehari-hari individu adalah paling penting sebagai sumber pengetahuan. 2) Teori ini menekankan pada studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang tentang fenomena masyarakat. 3) Teori ini memandang bahwa pengalaman subjektif dan interpretasi subjek atau individu adalah menentukan pandangan tentang masyarakatnya. Jadi, internal individu (jiwa atau pikiran) menentukan eksternal (masyarakat dan dunianya). 4) Teori ini menolak pandangan positivisme atau objektitivisme yang memandang dunia serba kuantitatif (eksternal mewarnai atau menentukan internal). 5) Teori ini berasumsi bahwa kesadaran bukanlah dibentuk oleh sesutau hal lainnya (bukan eksternal

menentukan internal atau bukan struktur sosial menentukan individu) melainkan dirinya sendiri. Jadi, kapasitas jiwa dan pikiran individu yang mewarnai atau menentukan lingkungan hidupnya. 6) Peneliti dalam pandangan teori ini berusaha untuk memahami arti peristiwa sehari-hari dan kaitannya terhadap individu-individu yang berada dalam situasi tertentu. 7) Penelitian yang menggunakan teori ini lebih menekankan pada pendekatan verstehen, yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia, jadi lebih menekankan pada aspek subjektif dari perilaku orang. Jadi, penelitian kualitatif yang menggunakan teori fenomenologi adalah berusaha untuk masuk ke dalam alam konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh individu (subjek) itu tentang kehidupan atau peristiwa sehari-hari (Moleong, L.J. 2006). Sebagian para ahli mengatakan bahwa teori fenomenologi ini merupakan teori utama yang sering dijadikan sebagai theoritical orientation dalam qualitative research, sedangkan teori interaksionis simbolik, teori budaya, ethnometodologi sering diposisikan sebagai penunjang. Namun perlu diperhatikan bahwa memposisikan suatu teori tertentu sebagai theoritical orientation utama ditentukan oleh karakteristik dari fenomena sosial budaya yang ditelitinya. Kedua, teori Interaksionis simbolik. Para ahli teoritisi ilmu sosial menyimpulkan beberapa substansi pokok dari asumsi teori interaksionisme simbolik dalam memahami individu dan masyarakat, antara lain: 1) Manusia tidak seperti binatang, manusia dibekali dengan segala kemampuan berfikir dan merenung tentang fenomena kehidupan yang dihadapi. 2) Kemampuan berpikir manusia itu dibentuk oleh proses interaksi sosial dalam proses-proses kehidupan kelompok. 3) Dalam interaksi sosial orang belajar tentang makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni kemampuan berpikir. 4) Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi dalam proses-proses sosial di masyarakat. 5) Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi sosial berdasarkan interpretasi atau penafsiran mereka atas situasi tertentu atau fenomena hidup yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. 6) Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena potensi jiwa dan pikirannya dan kemampuan mereka berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya untuk dilakukan.

7) Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin menjalin itu membentuk kelompok dan masyarakat (Ritzer, 2001; Poloma, 1997). Jadi, aspek diri, jiwa dan pikiran individu sangat menentukan proses interaksi sosial dan memaknai segala tindakan manusia disetiap aktifitasnya di masyarakat. Perlu dipahami bahwa pada satu sisi Interaksionis simbolik merupakan salah satu dari strategi penelitian kualitatif yang berparadigma pospositivis (Muhadjir, N. 1990; Bakri, eds., 2002), sedangkan pada sisi lain interaksionis simbolik merupakan salah satu teori sosial yang berparadigma definisi sosial (Ritzer and Goodman, 2004). Baik interaksionis simbolik sebagai salah satu strategi penelitian kualitatif maupun sebagai salah satu teori ilmu sosial, kedua-duanya sama-sama menghendaki pentingnya memahami dimensi subjektif, personal atau alam pikiran dan jiwa serta pandangan individu untuk memahami fenomena sosial di masyarakat. Berdasarkan pandangan para ahli dapat disimpulkan tentang karakteristik penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: Pertama, ditinjau dari orientasi filosofis dan teoritis adalah berorientasi pada paham konstruktivisme, interpretif, dan subjektivisme. Sedangkan orientasi teoritisnya adalah berorientasi pada teori-teori yang berparadigma definisi sosial (Ritzer, G. 2002). Diantara ciri teori-teori yang berparadigma definisi sosial adalah: (a) seluruh pola perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor internal individu, yaitu pikiran, jiwa, motivasi, pandangan hidupnya; (b) kerangka berpikirnya bersifat induktif abstraktif; (c) realitas sosial budaya adalah suatu kondisi yang cair dan mudah berubah tergantung pikiran dan jiwa manusia yang berinteraksi dalam memaknainya. Fenomena sosial bersifat multimakna; (d) tidak perlu adanya pengujian teori, tetapi justru menemukan teori atau proposisi; (e) tindakan manusialah yang menentukan struktur sosial-budaya, bukan struktur sosialbudaya yang menentukan tindakan manusia; (f) mengandalkan pada kebenaran otentisitas, keabsahan data. Realitas dianggap nyata sejauh para individu bersepakat bahwa hal itu memang nyata (Alvesson, M. and Skoldberg. 2000; Mulyana, D. 2002). Kedua, dilihat dari segi desain penelitian, adalah: (a) bersifat longgar, umum, fleksibel, berkembang dan muncul dalam proses penelitian; dan (b) usulan penelitian (proposal) penelitian kualitatif sifatnya sementara; proses penyusunan desain penelitian akan mudah berubah disesuaikan dengan kenyataan di lapangan, hal ini karena: Realitas sosial bersifat jamak; Fenomena sosial bisa berubahubah ketika terjadi interaksi antara peneliti dengan subjeknya; Sistem nilai dan norma yang berkembang bersifat kompleks dan sulit diramalkan sebelumnya (Stainback, S. And William Stainback. 1988; Moleong, L.J. 2006). Ketiga, dilihat dari rumusan judul penelitian adalah: (a) rumusan judul penelitian kualitatif bisa berubah-ubah, tergantung fenomena yang terjadi di lapangan, artinya rumusan judul penelitian pada awal pengumpulan data bisa saja berubah ketika peneliti telah terlibat lama dalam proses pengumpulan dan analisis data di lapangan; (b) dirumuskan dengan bahasa yang baik, jelas dan menunjukkan fokus penelitiannya; dan (c) jelas persoalan dan objek kajiannya; kapan dan dimana situs penelitiannya (Muhadjir, N. 1990; Silverman, D. 1993). Keempat, dilihat dari rumusan masalah penelitian adalah: (a) rumusan masalah penelitian kualitatif bisa berubah-ubah dengan memperhatikan realitas objek kajian di lapangan; (b) rumusan masalah bisa dalam bentuk pernyataan suatu fenomena dan pertanyaan, misalnya bagaimana dan mengapa?; (c) fungsi rumusan masalah hanya sekedar sebagai arahan, pembimbing atau acuan pada

proses penelitian untuk menemukan teori; (d) perumusan masalah penelitian memperhatikan prinsip keterkaitan dengan kriteria inklusi-eksklusi; berkaitan dengan fokus penelitian; berkaitan dengan hasil penelaahan kepustakaan; dan dirumuskan dengan bahasa yang bagus (Stainback, S. And William Stainback. 1988). Kelima, dilihat dari segi metode pengumpulan data, adalah lebih menggunakan strategi multi metode, artinya data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif dari berbagai cara, yaitu melalui metode wawancara takterstruktur; metode observasi partisipatif (pasif, moderat, aktif dan lengkap); dan studi dokumenter (Seidman, E. 1991). Disamping itu proses pengumpulan data dalam penelitian kualitatif tidak cukup sekali, tetapi terus berlangsung sepanjang proses penelitian. Penelitian kualitatif menggunakan kombinasi metode-metode tersebut sebagai strategi pengumpulan data, dan lebih menekankan pada metode observasi partisipasi. Oleh karena itu peneliti kualitatif harus memahami betul teknik-teknik observasi secara baik. Menurut Spradley (1980) ada tiga tahapan observasi yang harus dilakukan yaitu: (a) observasi deskriptif; (b) observasi terfokus; dan (c) observasi terseleksi. Oleh karena itu peneliti kualitatif dalam proses pengumpulan data harus melalui proses perencanaan yang matang, memulai pengumpulan data dengan multi metode, pengumpulan data dasar, pengumpulan data penutup, dan melengkapi data. Keenam, dilihat dari deskripsi teori dalam proses penelitian, yaitu: (a) kajian teori atau kajian literatur yang digunakan sifatnya sementara, tidak dijadikan sebagai pegangan utama, karena dalam penelitian kualitatif adalah berusaha untuk mengungkap latar alamiah dari suatu objek penelitian; dan (b) Kajian teori hanya sekedar sebagai pedoman awal agar tidak terlalu gelap (buta) dalam mengawali kajian fenomena sosial-budaya tertentu. Oleh karena itu kajian teori dalam penelitian kualitatif bukan untuk merumuskan hipotesis penelitian. Jadi, menurut para ahli, dalam penelitian kualitatif tidak dirumuskan hipotesis, karena justru akan menemukan hipotesis (Bungin, B. 2003; Sugiyono, 2007). Ketujuh, dilihat dari segi peranan peneliti dalam proses penelitian adalah: (a) peneliti sebagai pengamat penuh, peneliti menyatu dengan objek yang diteliti dalam waktu yang relatif lama, peneliti sendiri sebagai instrumen penelitian; (b) peneliti ikut serta dalam kegiatan-kegiatan individu atau kelompok yang diamati sesuai dengan fokus kajiannya; (c) peneliti juga melakukan wawancara mendalam (takterstruktur) berkaitan dengan beragam kegiatan individu atau kelompok yang sesuai dengan fokus kajian; (d) hubungan antara peneliti dengan objek penelitian adalah empati, akrab, berkedudukan sama, dan menyatu dalam pola kehidupan sehari-hari (Spradley,1980; Muhadjir, N. 1990; Moleong, L.J., 2006). Kedelapan, dilihat dari segi sampel penelitian, adalah: (a) dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi atau fenomena sosial budaya tertentu (Sugiyono, 2007); (b) tidak menggunakan sampel besar, melainkan sampel kecil karena tidak untuk menggeneralisasi suatu populasi; (b) sampel penelitiannya tidak representatif (apabila penelitian kuantitatif harus representatif); (c) teknik sampling biasanya menggunakan non probability sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Non probability sampling yang sering dipakai adalah: purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan atau tujuan tertentu) dan snowball

sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar (bagaikan bola salju). Antara purposive sampling dengan snowball sampling yang paling sering dipakai adalah snowball sampling, (d) penentuan sampel dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung (emergent sampling design) (Spradley,1980). Kesembilan, dilihat dari hubungan antar variabel penelitian, adalah: (a) dalam penelitian kuantitatif, hubungan antar variabel bersifat sebab dan akibat (hubungan kausal), sehingga dalam penelitian kuantitatif ada variabel independen (bebas) dan dependen (terikat), kemudian dicari hubungan atau pengaruh antar variabel tersebut dengan menggunakan analisis statistik (Wibisono, Y. 2005; Sudijono, A. 2006), hal ini tidak berlaku dalam penelitian kualitatif; (b) dalam penelitian kualitatif, melihat hubungan antar variabel tidak bersifat kausal (sebab akibat) melainkan bersifat interaktif atau saling mempengaruhi, sehingga tidak diketahui mana variabel independen (bebas) dan variabel dependennya (terikat) (Muhadjir, N., 1990; Moleong, L.J., 2006). Jadi, dalam peneliian kualitatif tidak ada variabel independen (bebas) dan variabel dependen (terikat). Kesepuluh, dilihat dari segi analisis data penelitian, adalah: (a) jenis datanya berupa uraian kalimat (deskriptif), dokumen pribadi, catatan lapangan hasil observasi, catatan ucapan dari hasil wawancara mendalam, dan beragam tindakan responden atau objek penelitian, serta dokumen-dokumen lainnya; (b) analisis data penelitian bersifat interaktif, siklus dan induktif; (c) proses analisis data berlangsung secara terus menerus, dari awal penelitian hingga akhir penelitian. Dan kapan analisis data dianggap selesai, yaitu setelah proses pengumpulan data dan analisis data sudah tidak ada yang dianggap baru (mengalami titik jenuh); dan (d) hasil analisis data adalah mencari pola atau menemukan model, proposisi atau teori (Strauss, A.C.J. 1990. Silverman, D. 1993). Berbeda dengan hasil analisis data pada penelitian kuantitatif, yaitu menguji teori atau menguji hipotesis penelitian. Menurut Aminuddin dalam Bakri (ed) (2002), bahwa pendekatan penelitian kualitatif apabila ditinjau dari paradigma yang digunakan dan dari segi tujuan yang hendak dicapai dapat dibedakan menjadi sembilan macam strategi penelitian kualitatif yang masing-masing terbagi kedalam tiga paradigma, antara lain: 1) Orientasi paradigma pospositivis. Menurut pandangan pospositivis, bahwa realitas sosial dipandang sebagai: (a) bersifat ganda; (b) dapat di sistematisasikan; (c) mengemban ciri, konsepsi, dan hubungan secara asosiatif; (d) dipahami secara alamiah, kontekstual, holistik; dan (e) tujuan penelitiannya bersifat: eksploratif, eksplanatif, menghasilkan formasi teori secara substantif dan bersifat praktis (punya fungsi terapan). Strategi penelitian kualitatif yang termasuk dalam orientasi paradigma pospositivis antara lain: (a) penelitian studi kasus; (b) penelitian etnografi; (c) penelitian interaksionis simbolik; (d) penelitian naturalistic-inquiry; dan (e) penelitian grounded theory. 2) Orientasi paradigma konstruktivis. Menurut pandangan konstruktivis, bahwa realitas sosial dipandang sebagai: (a) gejala yang sifatnya tidak tetap dan ada hubungan erat dengan kondisi masa lalu-kini dan akan datang; (b) realitas sosial hanya bisa dipahami berdasarkan konstruksi kesadaran dan dunia pengalaman peneliti dalam hubungannya dengan kehidupan kemanusiaan sehari-hari; (c) pemahaman atas suatu realitas sosial bersifat relatif dan dinamik; (d) tanggapan dalam dunia pengalaman seseorang tidak bersifat tertutup melainkan diarahkan oleh kesadaran atas realitas luar,

bersifat terbuka dan akumulatif; (e) tanggapan tersebut bermakna semata-mata apabila peneliti telah memiliki skemata atau stock of knowledge, daya asimilasi, daya akomodasi, dan kemampuan merekonstruksi pemahaman secara logis; dan (f) tujuan penelitiannya bukan untuk memecahkan masalah atau membentuk teori tetapi membangun dan mengartikulasikan pemahaman secara akumulatif. Jadi, kajian tentang sesuatu bukan hanya ada dalam proses induksi-analitik atau realisme-analitik melainkan dalam proses refleksi-hermeneutis. Strategi penelitian kualitatif yang termasuk dalam orientasi paradigma konstruktivis antara lain: (a) penelitian etnometodologi; (b) penelitian etnografi-teks; dan (c) penelitian tindakan (action research). 3) Orientasi paradigma posmodernis. Menurut posmodernis adalah: (a) pemahaman tentang realitas sosial berada dalam hubungan: teks atau realitas konstruksi atau dekonstruksi pemahaman. Sedangkan pandangan pospositivis dan konstruktivis, pemahaman tentang realitas sosial berada dalam hubungan: realitas pengalaman penggarapan pemaknaan pemahaman; (b) pemahaman ada dalam kondisi dekonstruksi. Pemahaman terhadap realitas didudukkan sebagai jembatan menuju empowerment; dan (c) tujuan penelitian bukan hanya untuk pemahaman itu sendiri melainkan untuk pemberdayaan dan kebermaknaan kehidupan kemanusiaan sehari-hari. Strategi penelitian kualitatif yang termasuk dalam paradigma posmodernis adalah penelitian pluralisme inferensial, yaitu penelitian yang digunakan untuk menemukan pemahaman detil fakta secara intertekstual dan hubungannya dengan empowerment. Sedangkan sumber data penelitian pluralisme inferensial adalah pengalaman-pengalaman simbolik dan wacana keseharian. Kemudian kapan atau fenomena sosial yang bagaimana sebaiknya penelitian kualitatif itu dilakukan?. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan para ahli, paling tidak terdapat sembilan aspek atau kondisi fenomena sosial budaya yang cocok untuk dilakukan penelitian kualitatif antara lain: 1) Apabila tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah ingin mengkaji pandangan, motivasi, dan makna yang terkandung dibalik praktik-praktik sosial budaya yang dilakukan oleh individu atau anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan kuantitatif relatif sulit apabila ingin menyelami pandangan atau makna yang tersembunyi dibalik realitas atau aktivitas sehari-hari seseorang di mayarakat. 2) Apabila pokok permasalahan yang akan dikaji masih belum jelas atau masih bersifat umum, dan apabila peneliti ingin melakukan penjelajahan dengan grant tour question terhadap fenomena sosial budaya yang akan dikaji. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang pokok permasalahan penelitian sudah sangat jelas dan rinci. 3) Apabila penelitian itu berusaha untuk memahami makna di balik data yang tampak. Fenomena sosial budaya sering sulit dipahami secara mendalam apabila hanya berdasarkan angket dalam proses penggalian data sebab apa yang dipilih dalam angket belum tentu hati atau pikirannya sama, karena sering tindakan dan ucapan orang itu mempunyai makna ganda. Realitas tersebut membuktikan pentingnya pendekatan kualitatif dalam memahami makna dibalik data yang tampak. 4) Apabila penelitian itu berusaha untuk menjelaskan suatu fenomena atau gejala sosia budaya secara lebih spesifik tetapi mendalam atau integratif, menyeluruh dan lebih detil. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang lebih menekankan pada penjelasan yang bersifat makro, deduktif dan

tidak fokus pada persoalan yang lebih spesifik. 5) Apabila penelitian itu untuk memahami pola dan proses interaksi sosial-budaya. Pola dan proses Interaksi sosial-budaya yang kompleks dan dinamik akan lebih baik dan lengkap untuk dijelaskan kalau peneliti melakukan penelitian dengan metode kualitatif dengan cara melakukan observasi partisipatif dan wawancara mendalam dalam proses pengumpulan data. Jadi, penelitian kuantitatif sangat sulit untuk menyelami pola-pola interaksi sosial-budaya antar individu atau kelompok yang berlangsung sangat dinamik dan kompleks. 6) Apabila proses analisis penelitiannya berpola siklus, berulang-ulang dan berlangsung relatif lama untuk lebih memahami realitas sosial-budaya secara holistik dan mendalam. Disamping itu hubungan antara peneliti dengan objek penelitian bersifat akrab, menyatu dan saling mengisi. 7) Apabila penelitian itu untuk menemukan teori atau mengembangkan teori. Metode kualitatif paling cocok digunakan untuk mengembangkan teori yang dibangun melalui data lapangan. Teori yang demikian dibangun melalui grounded research. Berbeda dengan pendekatan kuantitatif yaitu menguji teori atau membuktikan hipotesis. 8) Apabila penelitian itu untuk memastikan kebenaran data. Dengan metode kualitatif, melalui teknik pengumpulan data secara triangulasi atau gabungan multi data dan berlangsung secara berulang-ulang sampai mencapai titik jenuh, maka kualitas kebenaran data akan lebih dijamin daripada hanya mendasarkan pada angket seperti dalam penelitian kuantitatif. 9) Apabila penelitian itu akan mengkaji sejarah perkembangan suatu objek penelitian. Dengan karakteristik proses pengumpulan sumber data dalam penelitian sejarah melalui kritik intern dan kritik ekstern maka terasa sangat sulit penelitian sejarah dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Jadi, uraian tersebut di atas tentang karakteristik penelitian kualitatif memberikan pemahaman bahwa pemilihan pendekatan kualitatif dalam proses penelitian ilmiah akan cocok diterapkan dalam studi atau kajian ilmu-ilmu pengetahuan sosial budaya atau humaniora, yang ingin lebih jauh memahami beragam fenomena psikhologi, sosial dan kebudayaan yang dinamik, kompleks dan holistik. Sedangkan untuk studi ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences) akan lebih cocok menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. c. Orientasi filosofis dan ciri penelitian gabungan Mengkaji fenomena sosial-budaya pada hakikatnya dapat dicermati dari dimensi objektivis dan dimensi subjektivis. Dimensi objektivis berorientasi pada aliran positivisme atau aliran rasionalisme (pendekatan penelitian kuantitatif), sedangkan dimensi subjektivis berorientasi pada aliran Idealisme, konstruktivisme, atau interpretif (pendekatan penelitian kualitatif) (Burrell and Morgen, 1994; Praja, J.S., 2003). Sedangkan perbedaan pandangan pendekatan objektivisme (pendekatan kuantitatif) dan subjektivisme (pendekatan kualitatif) dalam memahami fenomena sosial-budaya telah diuraikan di atas.

Berdasarkan uraian tentang karakteristik pendekatan kuantitatif dan kualitatif tersebut di atas memberikan kepahaman bahwa: (a) dalam melakukan analisis terhadap fenomena sosial-budaya, seorang peneliti harus mengkaji karakteristik fenomena sosial-budayanya, untuk kemudian dicarikan keserasian dengan ciri atau karakteristik orientasi teorinya dan pendekatan research-nya; (b) pada dasarnya antara paradigma satu dengan paradigma yang lain (paradigma objektivis dan paradigma subjektivis) tidak dalam posisi ada yang paling benar, atau paling utama dari yang lain, kedua paradigma objektivis dan subjektivis akan tetap atau proporsional dipakai apabila situasi dan kondisi realitas sosial-budayanya memang selaras dengan karakteristik paradigma tersebut. Jadi, pemilihan perspektif positivisme (objektivis) maupun idealisme (subjektivis) dalam proses penelitian, akan membawa konsekwensi pendekatan dan strategi penelitian yang berbeda. Pendekatan objektivis (paradigma positivis atau konvensional) sering disebut dengan perspektif etik (dari luar) dan pendekatan penelitian yang dipakai tentunya adalah Quantitative research dengan menggunakan logico deductive verifikatif. Sedangkan pendekatan subjektivis (konstruktivis) sering disebut dengan perspektif emik (dari dalam) dan pendekatan penelitiannya adalah Qualitative research dengan menggunakan logico inductive abstractif yang bertujuan untuk meneliti makna sosial kultural dari dalam dan analisisnya cenderung bersifat ideografik (Chadwick, 1984; Giddens, 1987). Dalam perspektif teoritis, banyak teoritikus sosial yang menganjurkan pentingnya para peneliti sosial budaya untuk menggunakan teori integratif dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Beberapa pandangan para teoritikus sosial yang mendorong perlunya melakukan analisis sosial dengan menggunakan teori integrasi mikro-makro antara lain: (a) Helmut Wanger dalam karyanya Displacement of Scope: A Problem of the Relationship betweem Small Scale and Large Scale Siciological Theory (1964), yang membahas pentingnya hubungan antara teori sosial berskala mikro (induktif) dan teori berskala makro (deduktif); (b) Waller dalam karyanya Overview of Contemporary Sociological Theori, dalam Sociological Theory (1969), membahas tentang Kontinun (rangkaian kesatuan) antara mikro-makro; dan (c) Eisenstadt and Helle. H.J. dalam bukunya Macro Sosiological Theory: Perspectives on Sociological Theory (1985a) menyimpulkan bahwa Konfrontasi antara teori makro dan mikro mestinya sudah berlalu dan perlunya hubungan timbal balik antara teori mikro makro (Alexander, 1987) dalam proses analisis sosial. Beberapa pandangan para teoritisi tersebut dapat dikatakan sebagai embrio tentang pandangan pentingnya mengintegrasikan teori-teori mikro atau pendekatan subjektivis dengan teori-teori makro atau pendekatan objektivis dalam melakukan analisis realitas sosial budaya. Gerakan atau perkembangan perlunya analisis sosial budaya dengan pola integrasi mikro-makro atau integrasi agen-struktur begitu sangat popular di tahun 1980-an dan 1990-an dan terus berkembang sampai sekarang (Ritzer dan Godman, 2003). Pandangan para teoritikus sosial modern juga telah menyinggung perlunya pendekatan integratif dalam melakukan analisis sosial budaya, diantaranya adalah: Pertama, Emille Durkheim, bahwa pembagian fakta sosial oleh Durkheim atas barang sesuatu yang bersifat material (norma hukum dan arsitektur) dan non material (kesadaran kolektif dan arus sosial) dapat dianggap paralel dengan kategori realitas sosial atas tingkatan makro-objektif dan makro-subjektif dalam pandangan Ritzer. Sayangnya Durkheim tidak menjelaskan kaitan secara jelas antara unit-unit realitas sosial

makroskopik dengan mikroskopik. Oleh para ahli konsep Durkheim tentang pendekatan terpadu itu belum lengkap, dan penekanannya masih terarah kepada fenomena makroskopik (Ritzer, 2002). Kedua, Karl Marx, bahwa pendekatan terpadu Marx lebih memadai dari pada Durkheim, tetapi Marx tetap memberikan tekanan yang lebih besar kepada struktur makro. Marx mulai dengan konsep tentang aktor yang aktif, kreatif dan voluntaristis. Marx, yakin individu dibekali dengan kemampuan berpikir aktif, kreatif yang berperan dalam mengembangkan masyarakat dalam proses historis. Hal ini berarti proses-proses mikro-objektif menimbulkan struktur masyarakat (makro objektif), yang berarti Marx juga mengakui adanya hubungan dialektika antara realitas sosial budaya tingkat mikro dan makro, namun oleh para ahli, bahwa model integrasi mikro-makro Marx masih memberatkan pada struktur makro yang bersifat materi menentukan struktur mikro yang bersifat non materi (Johnson, D.P., 1986). Ketiga, Max Weber, bahwa perhatian Weber terhadap faktor makro-objektif ditunjukkan pada struktur birokrasi. Sedangkan faktor makro-subjektif adalah perhatiannya pada rasionalisasi nilainorma. Weber memperhatikan pada realitas sosial budaya tingkat makro (contoh, konsep kharisma yang melembaga; konsep birokrasi yang terstruktur), tetapi Weber juga punya perhatian yang sangat besar pada tingkat mikro (contoh, pandangannya bahwa manusia memiliki pikiran dan pemikirannya itu menciptakan perbedaan atau deferensial). Menurut Weber, semua tindakan individu ditentukan oleh faktor internal (subjektif) yaitu jiwa dan pikiran rasional manusia itu sendiri bukan ditentukan eksternal/ lingkungan (objektif). Ada empat macam tindakan individu menurut Weber, yaitu: Tindakan rasional instrumental; Tindakan irasioal instrumental; Tindakan afektif; dan Tindakan tradisional. Dari keempat macam tindakan tersebut tindakan rasional instrumental adalah paling kunci. Jadi, pandangan Weber banyak membantu untuk kepentingan analisa terpadu mikromakro, tetapi menurut para ahli, Weber lebih menekankan aspek mikro (pikiran rasional subjek/ individu) yang menentukan aspek makro, bukan aspek makro menentukan mikro (Wrong, D. (ed), 2003). Keempat, Talcott Parsons, bahwa Meskipun Parsons memusatkan perhatian pada fakta sosial, dia juga memperhatikan hubungan antara berbagai tingkat realitas sosial. Konsep tentang empat sistem tindakan (yaitu: Sistem kultural; Sosial; Kepribadian; dan Biologis) yang diajukan oleh Parsons adalah bukti perhatiannya tentang berbagai tingkat realitas sosial. Sistem tindakan kultural Parsens adalah paralel dengan konsep makro subjektif-makro objektif, dan sebagian konsep kepribadian Parsens juga paralel dengan tingkat mikro subjektif (Ritzer, 2002). Meskipun Parsons juga menyinggung suatu pemikiran teoritis yang terpadu, namun titik berat argumentasinya masih terletak pada sisi struktur makro, yakni pada pengaruh sistem sosial dan sistem kultural terhadap kepribadian (aspek mikro). Individu terdeterminasi oleh faktor eksternal sebagai akibat internalisasi sistem nilai masyarakat. Menurut Parsons, kemampuan individu (sistem kepribadian atau sistem mikro) untuk mengubah masyarakat (sistem makro) adalah kecil sekali atau hampir tidak ada, yang terjadi adalah sebaliknya (Ritzer, 2002). Kelima, Ritzer dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science (1980), mengemukakan betapa pentingnya peneliti sosial budaya menggunakan pendekatan integrasi teori atau paradigma secara terpadu dalam melakukan analisis sosial. Sedangkan pokok-pokok pikiran Ritzer antara lain: (1) paradigma terpadu bukan dimaksudkan sebagai pengganti paradigma objektivis atau subjektivis

yang sudah ada. Paradigma yang ada akan tetap bermakna bagi analisis sosial budaya selama tidak menganggap satu paradigma tertentu itu dapat menjelaskan semua fenomena sosial budaya secara komprehensif; (2) bahwa inti paradigma terpadu terletak pada hubungan antar keempoat tingkat realitas sosial, yaitu: (a) makro-objektif, contohnya birokrasi, norma hukum, bahasa; (b) makrosubjektif, contohnya nilai-nilai, norma dan kultur; (c) mikro-objektif, contohnya berbagai bentuk interaksi sosial seperti: kerjasama, konflik dan pertukaran antar individu; (d) mikro-subjektif, contohnya proses berpikir, motivasi, pandangan, perasaan individu dan konstruksi sosial realitas oleh individu. Jadi, yang penting dalam paradigma terpadu adalah keempat tingkat sosial tersebut harus diperlakukan secara integratif, artinya setiap persoalan khusus yang dikaji harus diselidiki dari empat tingkatan sosial tersebut secara terpadu; (3) realitas sosial dalam kenyataan yang sebenarnya sedemikian kompleks, terus menerus berubah, sehingga diperlukan analisis terpadu dari berbagai aspek tersebut; (4) paradigma terpadu harus diperbandingkan berdasarkan perjalanan waktu atau antara berbagai masyarakat. Sifat saling melengkapi dari pendekatan terpadu ini memungkinkan untuk pengumpulan data dengan berbagai metode (wawancara, observasi, kuesioner, dokumentasi, eksperimen, dan sebagainya) dalam penelitian ilmiah; dan (5) paradigma terpadu harus mengambil manfaat dari logika dialektik atau saling berhubungan. Diantara ciri logika dialektik adalah: (a) memandang manusia sebagai pencipta sebagian besar struktur sosial dan struktur sosial itu pada gilirannya membatasi dan memaksa si-aktor, (b) mempunyai pandangan yang sangat jelas tentang hubungan antara realitas sosial makroskopik dan mikroskopik, (c) tidak menitik beratkan pada salah satu tingkat realitas sosial tertentu (semua tingkat realitas sosial dipandang berada dalam hubungan yang bersifat interaktif), (d) dimulai dengan asumsi epistemologi bahwa di dalam alam yang nyata, segala sesuatu saling berkaitan secara terus menerus untuk selama-lamanya, dan (e) berpikir dialektik, selain menuntun untuk mencari hubungan berbagai tingkat realitas sosial, juga dapat membiasakan kita kepada hubungan kontradiksi (Ritzer dan Goodman, 2003). Keenam, Anthony Giddens, menurut Turner, B. (2000), bahwa salah satu teori yang paling terkenal dewasa ini, yang menganjurkan pentingnya integrasi mikro-makro atau subjektif-objektif atau integrasi agen-struktur dalam melakukan analisis fenomena sosial budaya adalah Teori Strukturasi oleh A. Giddens. Giddens dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984) mengatakan bahwa: (1) setiap riset dalam ilmu sosial atau siret sejarah seharusnya selalu mengintegrasikan antara tindakan (agen) dengan struktur. Tetapi dalam hal ini bukan berarti bahwa struktur (makro) menentukan agen (mikro) atau sebaliknya; (2) bidang mendasar studi ilmu sosial, menurut teori strukturasi, bukanlah pengalaman aktor individual (agen) atau bentuk-bentuk kesatuan sosial (struktur) tertentu, melainkan praktik (interaksi) sosial agenstruktur yang berulang-ulang, yang diatur melintasi waktu dan ruang (time and space); (3) praktik sosial atau aktivitas sosial tidak dihasilkan melalui kesadaran individu tentang realitas (seperti pandangan teori-teori paradigma subjektivis), juga bukan diciptakan oleh struktur sosial (seperti pandangan teori-teori paradigma objektivis), tetapi melalui integrasi agen-struktur yang terus berinteraksi melintasi dimensi ruang dan waktu. Jadi, teori strukturasi menjelaskan masalah agenstruktur secara historis, prosessual dan dinamis. Strukturasi meliputi hubungan dialektika antara agen dan struktur; struktur dan keagenan adalah dualitas (bukan dualisme), tindakan agen dan struktur saling mengandaikan. Struktur tidak akan ada tanpa keagenan (peran individu) dan demikian juga sebaliknya. (Giddens, 1995). Jadi, dalam pandangan teori strukturasi Giddens, setiap

penelitian yang hendak mengkaji fenomena sosial tidak akan bisa menghasilkan analisis data secara baik apabila tidak berusaha untuk mengintegrasikan agen-struktur. Permasalahan yang muncul adalah, apakah metode kuantitatif dan metode kualitatif dapat digabungkan dalam proses penelitian?. Beberapa argumentasi berikut ini cukup bisa dijadikan alasan pentingnya melakukan penelitian sosial dengan menggunakan pendekatan integratif (kuantitatifkualitatif), antara lain: 1) Pandangan Ritzer tentang integrasi mikro-makro dan pandangan Giddens tentang teori strukturasi di atas merupakan bukti teoritis pentingnya penggunakan pendekatan integratif kuantitatif-kualitatif dalam penelitian sosial-budaya (Giddens, 1995; Ritzer, 2002). 2) Setiap metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan karena keduanya justru saling melengkapi (complement each ather) dalam memahami fenomena sosial-budaya. Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing pendekatan penelitian itulah yang menyebabkan perlunya pendekatan memadukan kuantitatif-kualitatif dalam proses penelitian sosial-budaya (Brannen (ed), 2002) 3) Kuantitatif dan kualitatif bisa digunakan bersama atau digabungkan dengan syarat: (a) meneliti pada objek yang sama dengan mempunyai dua tujuan yang hendak diungkapnya, misalnya kualitatif untuk menemukan hipotesis sedangkan kuantitatif untuk menguji hipotesis (Stainback, S., 1988). Digunakan secara bergantian, misalnya pada tahap pertama menggunakan metode kualitatif, sehingga ditemukan hipotesis, selanjutnya hipotesis tersebut diuji dengan metode kuantitatif (Sugiyono, 2007), atau sebaliknya, yaitu penelitian kuantitatif untuk menguji teori, kemudian hasil pengujian teori tersebut didalami lebih jauh dan integral dengan pendekatan kualitatif. 4) Penggabungan bisa dilakukan pada aspek metode pengumpulan datanya, yaitu dalam penelitian kuantitatif metode utama dalam pengumpulan datanya adalah menggunakan angket, kemudian dari beberapa item pada angket tersebut didalami lagi dengan menggunakan metode observasi dan wawancara takterstruktur (ciri metode pengumpulan data kualitatif). Jadi menggunakan triangulasi dalam pengumpulan data. 5) Menurut Bryman dalam Brannen, J. (2002), ada beberapa alasan bahwa penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan yaitu: (a) hasil-hasil penelitian kuantitatif dapat dicek pada penelitian kualitatif, tujuannya adalah untuk memperkuat kesahihan temuan; (b) penelitian kualitatif dapat membantu memberikan informasi dasar tentang konteks dan subjek, hal ini sangat penting bagi penelitian kuantitatif yaitu sebagai sumber hipotesis dan membantu dalam membuat konstruksi skala; (c) penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan untuk memberikan gambaran hasil research yang lebih komprehensif, karena keduanya saling mengisi kelemahan masing-masing; (d) penelitian kuantitatif biasanya dikemudikan oleh perhatian peneliti, sementara penelitian kualitatif mengambil perspektif subjek sebagai titik tolak. Penekanan-penekanan ini dapat dihadirkan bersama-sama dalam satu studi; (e) penelitian kualitatif dapat membantu interpretasi hubungan antara ubahan-ubahan, sebab penelitian kuantitatif biasanya mudah untuk menentukan hubungan antar ubahan (variabel) tetapi sering lemah dalam memberi alasan dari hubungan antar peubah tersebut, hal ini akan dibantu dengan penelitian kualitatif; (f) penggabungan akan mampu

memberikan penjelasan tentang hubungan antara tingkat makro (kuantitatif) dan mikro (kualitatif), karena kedua hal ini selalu melekat pada fenomena sosial. 6) Ada permasalahan dalam studi ilmu sosial budaya (fenomena sosial budaya) yang banyak terpecahkan dengan penerapan analisis statisitik (Quantitative research), akan tetapi ada juga permasalahan sosial budaya (fenomena sosial budaya) lain yang sulit dijelaskan dengan menggunakan analisis statistik saja, sehingga mengharuskan peneliti untuk menggunakan metode penelitian kualitatif (Qualitative research), khususnya apabila ingin menyelami kedalaman makna, pandangan, nilai-nilai yang dianut para agen praktik sosial yang terentang dalam ruang dan waktu (space and time) yang begitu sangat dinamik dan kompleks (Alvesson and Skoklberg, 2000; Creswell, 2005). 7) Pengumpulan data penelitian dengan teknik angket (pendekatan kuantitatif) seringkali belum mampu menjamah dimensi-dimensi psikologis yang unik dan makna terdalam (menukik kedalam pikiran aktor), oleh karena itu dipandang perlu untuk melibatkan observasi partisipatif dan wawancara takterstruktur, yang umumnya dikenal dalam metode kualitatif. Oleh karena itu seorang peneliti yang mengharapkan dapat memperoleh pemahaman tentang fenomena sosial yang dikaji secara lebih komprehensif salah satu jalan adalah menggunakan pendekatan perpaduan kuantitatifkualitatif. Meskipun ada sebagian ahli menolak adanya metode gabungan kuantitatif dan kualitatif dalam proses penelitian, misalnya Cicourel, tetapi banyak pula teoritikus yang mendukung perlunya pendekatan integrasi dalam proses analisis penelitian sosial, antara lain: (1) Denzin dengan istilah Triangulati Methods; (2) Burgess dengan istilah Strategi Penelitian Ganda; (3) Brannen dengan istilah Mixing Methods; (4) John W. Creswell dengan istilah Combined Qualitative and Quantitative Designs; (5) Giddens dengan istilah Dualitas Structur atau Strukturati; dan (6) Ritzer dengan istilah Micro-Macro Integration (Brannen (ed), 2002; Ritzer and Goodman, 2003). Menurut John Creswell dalam bukunya Research Design Qualitative & Quantitative Approache (1994), ada tiga model rancangan penelitian gabungan, yaitu: (a) model pertama, disebut pendekatan rancangan dua fase (the two-phase design approarche); (b) model kedua, disebut rancangan dominan-kurang dominan (the dominant-less dominant design); dan (c) model ketiga, disebut rancangan metodologi campuran (the mixed-methodology design). Sedangkan J. Brannen dalam bukunya Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research (2002), membagi tiga model rancangan penelitian gabungan, yaitu: (a) rancangan penelitian yang menempatkan metode kuantitatif lebih dominan atas metode kualitatif; (b) rancangan penelitian yang menempatkan metode kualitatif lebih dominan atas metode kuantitatif; dan (c) rancangan penelitian yang menempatkan aspek kuantitatif dan kualitatif diberi bobot yang seimbang. E. Hakikat Aksiologi Ilmu Aksiologi, yaitu membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan di masyarakat. Jadi, aspek aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan masyarakat.

1. Fungsi ilmu pengetahuan (science) Pada pembahasan di atas telah diuraikan tentang hakikat ilmu pengetahuan dan bagaimana caracara memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan fungsi ilmu pengetahuan bagi kehidupan ummat manusia menurut para ahli antara lain: (1) fungsi praktis, yaitu melakukan penyingkapan, mempelajari fakta, dan memajukan pengetahuan guna melakukan berbagai perbaikan dalam kehidupan masyarakat; dan (2) menetapkan hukum-hukum umum yang meliputi perilaku kejadian dan objek oleh ilmu yang bersangkutan, sehingga dapat mengkaitkan antara ilmu pengetahuan dengan beragam kejadian untuk membuat prediksi ke depan secara benar, sehingga mempunyai manfaat yang tinggi bagi kehidupan manusia, baik untuk kehidupan individu atau masyarakat (Kerlinger, F., 2002). Pandangan lain mengatakan bahwa ada tiga fungsi atau kegunaan ilmu pengetahuan, yaitu: Pertama, sebagai alat eksplanasi, yaitu ilmu pengetahuan (science) merupakan media yang paling baik dalam menerangkan atau menjelaskan (mengeksplanasikan) segala fenomena kehidupan yang terjadi di masa lampau maupun yang terjadi di era sekarang. Segala kejadian dalam kehidupan di masa lampau, baik menyangkut perubahan fenomena alam, perubahan dan dinamika ekonomi, politik, hukum, dan sosial-kebudayaan semuanya mampu dijelaskan dengan baik oleh ilmu pengetahuan. Contoh, penjelasan segala peristiwa di masa lampau dapat dijelaskan oleh sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah pendidikan, sejarah hukum, sejarah kesusastraan, sejarah agama dan sebagainya. Penjelasan tentang segala fenomena di masa lampau yang objektif adalah diperoleh dari penjelasan (eksplanasi) ilmu pengetahuan. Kedua, sebagai alat untuk meramalkan suatu fenomena tertentu. Melalui proses penelitian ilmiah tentang suatu fenomena tertentu, seorang ilmuwan akan memperoleh data yang valid dan mampu mengambil kesimpulan tentang sesuatu hal, misalnya fenomena X, melalui penelitian ilmiah seorang peneliti akan memperoleh: (a) latar belakang terjadinya fenomena X; (b) sebab-sebab terjadinya fenomena X; (c) faktor-faktor pendorong dan penghambat terjadinya fenomena X; (d) strategi meningkatkan kualitas fenomena X; (e) memberikan rekomendasi teoritik dan praktis tentang fenomena X, dan seterusnya tentang sesuatu yang bisa diungkap tentang fenomena X. Ketika dilakukan penelitan ulang tentang femonema X yang relatif sama dengan kondisi situs penelitian yang relatif sama di daerah lain, maka hasil penelitian ilmiah pertama akan menjadi referensi penting bagi penelitian lanjutan, dan hasil penelitian lanjutan tersebut akan mampu memberikan rekomendasi teoritik atau prediksi tentang perkembangan fenomena X tersebut di masa akan datang yang lebih lengkap. Jadi, fungsi ilmu pengetahuan dalam teori harus bisa memberikan fungsi prediksi ke depan tentang suatu fenomena kehidupan dengan baik. Meskipun sifat kebenaran prediksi tersebut tidak mutlak, namun kehadiran prediksi science mempunyai nilai fungsional yang penting bagi kehidupan sekarang dan yang akan datang. Ketiga, sebagai alat kontrol. Perbedaan antara prediksi (ramalan) dengan kontrol (pengendalian) adalah, apabila prediksi sifatnya relatif statis, karena hanya memberikan beberapa alternatif kemungkinan akan terjadinya sesuatu, berdasarkan data-data empirik hasil penelitian sebelumnya. Sedangkan kontrol lebih mempunyai sifat dinamik atau aktif terhadap suatu keadaan tertentu. Kontrol dilakukan juga tidak lepas dari hasil penelitian ilmiah. Suatu kontrol dapat dilakukan dengan

baik, apabila telah dilakukan proses penelitian ilmiah terhadap sesuatu fenomena tertentu (Agus, B.1999; Keraf, S. dan Dua, M., 2001; Tafsir, 2007). 2. Tanggung jawab ilmu pengetahuan terhadap kehidupan Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa setiap ilmu pengetahuan dibangun atas dasar tiga landasan filosofis ilmu, yaitu: ontologi ilmu, epistemologi ilmu, dan aksiologi ilmu. Khususnya tentang aksiologi, punya makna bahwa hakikat ilmu pengetahuan akan punya arti atau makna apabila ilmu pengetahuan itu mempunyai nilai pragmatis atau mempunyai makna fungsional bagi kelangsungan hidup masyarakat secara lebih berkualitas dalam segala aspeknya. Atas dasar prinsip tersebut di atas maka prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh setiap ilmuwan dalam memahami makna aksiologi ilmu pengetahuan antara lain: 1. Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab sosial dan moral yang terpikul di pundaknya. Seorang ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual, namun juga ikut bertanggunjawab agar produk keilmuan atau hasil-hasil penelitian ilmiah mampu memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat secara kuantitatif atau kualitatif. 2. Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan pada setiap proses penelitian yang dia lakukan. 3. Seorang ilmuwan harus: mampu memberikan penjelasan (eksplanasi) tentang fenomena hidup; mampu memberikan kesimpulan tentang fenomena hidup; dan mampu memprediksi tentang fenomena hidup secara objektif dan komprehensif, serta selalu membangun komitmen untuk ikut membentuk atau mewarnai pola perilaku manusia paripurna (manusia yang berkualitas dalam hubungan dengan sesamanya, dengan alam dan dengan Tuhannya) (Drijarkara, N.,1978; Suriasumantri J.S., 1996; Mutahhari, 1997). 4. Agar seorang ilmuwan mampu memberikan kontribusi pencerahan pemikiran kepada setiap manusia dalam memaknai segala fenomena kehidupan, maka setiap ilmuwan harus mampu membangun kualitas diri (internal) secara padu dan seimbang antara kualitas potensi intelektual, emosional dan spiritualnya (IESQ). Kemampuan diri dalam membangun IESQ akan mendorong setiap karya yang dihasilkan individu mempunyai makna pencerahan bagi kehidupan, sehingga apapun informasi dari hasil penelitian ilmiah diberbagai bidang kehidupan akan mempunyai nilai aksiologi (pragmatis) yang tinggi bagi kehidupan ummat manusia (Agustian, Ary G. 2005; Mutahhari, 2007). Jadi, pada hakikatnya setiap ilmuwan mempunyai tanggungjawab ganda dalam upaya pembangunan kualitas hidup manusia, yaitu: (a) tanggungjawab membangun kualitas daya analisis ilmiah (prinsipprinsip berpikir ilmiah), demi meraih kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dipertanggungjawabkan; (b) tanggungjawab membangun kualitas sikap mental (potensi rasa dan karsa); demi meraih kehidupan yang damai dan sejahtera secara individu atau kelompok; dan (c) tanggungjawab membangun kualitas spiritual, demi meraih kerukunan antar ummat beragama dan demi meraih makna kebahagiaan hidup hakiki. Ketiga tanggungjawab tersebut merupakan satu kesatuan sistem, yang harus menjadi obsesi setiap ilmuwan dalam pengembangan setiap disiplin ilmu pengetahuan. F. Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, Agama dan Kehidupan

Sebagaimana yang telah disinggung atau diuraikan di atas, bahwa dalam rangka membangun kualitas proses pemenuhan segala kebutuhan manusia dalam hidupnya, manusia harus berorientasi pada nilai-nilai filosofis, nilai-nilai ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual. Antara filsafat, ilmu pengetahuan, agama dan kehidupan adalah suatu sistem. Uraian berikut ini akan menjelaskan tentang: (a) hubungan antara filsafat dengan ilmu; (b) hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama; (c) hubungan ilmu pengetahuan dengan nilai, norma (budaya); dan (d) hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan, agama dan kehidupan. Pada dasarnya pembahasan tentang hubungan antara filsafat, ilmu, agama dan kehidupan sosialbudaya adalah merupakan penjelasan lebih lanjut tentang hakikat aksiologi ilmu. Oleh karena itu penjelasan berikut ini akan lebih memperkuat asumsi bahwa antara filsafat, ilmu, agama dan makna kehidupan adalah sangat erat. Filsafat dan ilmu pengetahuan harus mempunyai makna pragmatis atau mempunyai nilai fungsional bagi kehidupan masyarakat. 1. Hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan Dalam perspektif apapun, tidak ada ilmuwan yang menolak asumsi bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat, keduanya bagaikan dua sisi dalam satu keping mata uang. Jadi, antara filsafat dengan ilmu pengetahuan merupakan satu sistem, keduanya sulit dipisahkan, keduanya saling mengisi dalam memahami segala fenomena kehidupan, baik fenomena sosial-budaya maupun fenomena alam. Ada beberapa argumentasi tentang eratnya hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, antara lain: a. Ilmu pengetahuan sebagai asas moral, artinya pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh setiap ilmuwan harus menjunjung tinggi kebenaran ilmiah dan mempunyai dimensi pengabdian secara universal (holistik) untuk nilai-nilai kemanusiaan yang agung. Paling tidak ada tujuh nilai yang terpancar dari hakikat keilmuan, yaitu: nilai kritis; nilai rasional; nilai logis; nilai objektif; nilai keterbukaan; nilai kebenaran; dan nilai pengabdian untuk kemaslahan hidup (kebaikan) secara universal. Diantara ketujuh nilai tersebut pada hakikatnya merupakan bagian dari ciri-ciri studi filsafat (Ghulsyani,M. 1986; Ankersmit. 1987; Hanafi, H., 2004). Jadi, baik filsafat maupun ilmu pengetahuan mempunyai misi yang sama dalam menjelaskan fenomena hidup di atas prinsipprinsip: kejujuran, kebenaran, keterbukaan, kritis, logis dan kemaslahatan hidup. b. Ilmu pengetahuan merupakan salah satu cara dalam menemukan hakikat kebenaran secara rasional, empirik, dan objektif. Oleh karena itu pengembangan ilmu pengetahuan jangan sampai mengarah pada sikap scientisisme atau rasionalistis, diperlukan bantuan atau orientasi nilai-nilai filosofis untuk menyelami dunia hakikat atau makna sejati dibalik realitas empirik. Jadi, agar proses penemuan hakikat kebenaran ilmu pengetahuan mendekati kebenaran terdalam dan universal, maka pengembangan ilmu pengetahuan harus dan pasti mendasarkan kepada orientasi filsafat tertentu, artinya ketika pengembangan ilmu pengetahuan itu berorientasi pada nilai filosofis, makna aksiologi ilmunya akan lebih nampak. c. Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang menyangkut keilmuan. Hal ini terutama untuk mengontrol khususnya pada landasan

epistemologi (metodologi) dan aksiologi (nilai fungsional) keilmuan. Jadi, proses kerja epistemologi ilmu dan proses aksiologi ilmu yang bermakna, mau tidak mau harus berorientasi pada nilai-nilai filosofis. d. Filsafat merupakan ratu atau induknya ilmu pengetahuan, hal ini karena: (1) sikap dasar selalu bertanya tentang sesuatu adalah hakikat filsafat, dan lahirnya atau berkembangnya ilmu pengetahuan adalah dari suatu pertanyaan atau sikap selalu kritis (bertanya) tentang segala fenomena kehidupan. Jadi sikap dasar bertanya inilah yang melahirkan ilmu pengetahuan; dan (2) ada perbedaan dasar antara sikap bertanya dalam filsafat dan sikap bertanya dalam ilmu pengetahuan. Dalam filsafat mempertanyakan apa saja, universal atau holistik, dan multidimensional serta menyangkut hakikat inti dan paling mendalam. Sedangkan dalam ilmu terbatas hanya pada objek atau bidang kajiannya saja (Johnstone,H.W. 1968; Keraf dan Dua, 2001). Berdasarkan uraian tersebut membuktikan bahwa antara filsafat dengan ilmu pengetahuan mempunyai hubungan sangat erat, bahkan sulit dipisahkan. Oleh karena itu ada salah satu bagian atau cabang dari filsafat adalah filsafat ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan itu terutama berkaitan dengan upaya-upaya mengkaji hakikat segala sesuatu yang berkaitan dengan segala pengetahuan manusia, terutama menyangkut gejala pengetahuan dan sumber-sumber pengetahuan manusia. Contoh, pertanyaan filsafat pengetahuan adalah: bagaimana manusia bisa tahu?; apakah manusia bisa sampai pada pengetahuan yang bersifat pasti?; apakah pengetahuan sama dengan keyakinan?. Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang dari filsafat yang menjelaskan hubungan antar berbagai hal yang ada dalam alam ini secara sistematis dan rasional. Hal-hal yang tidak masuk akal (unreasunable) bukan medan kajian filsafat ilmu pengetahuan. Meskipun antara filsafat dan filsafat ilmu pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat, keduanya tetap mempunyai perbedaan ciri-ciri khusus (karakteristik) dalam cara kerja untuk memahami suatu fenomena hidup. Sedangkan perbedaan cara kerja antara filsafat dengan filsafat ilmu pengetahuan antara lain: 1. Karakteristik cara kerja filsafat antara lain: (1) filsafat berkenaan dengan pencarian kebenaran fundamental tentang segala sesuatu; (2) kebenaran itu dicari dengan cara: argumentatif (pemaparan pendapat yang rasional disertai dasar-dasar penalarannya); dan non empirik (tidak berdasarkan pemahaman inderawi); (3) penalaran filosofis selalu mengandung ciri-ciri: kebermaknaan; skeptis (meragukan); menyeluruh (holistik); mendasar (radikal); kritis; dan analitis. 2. Karakteristik cara kerja filsafat ilmu antara lain: (1) berkaitan dengan pengkajian konsep-konsep, dan metode ilmiah. Berkaitan erat dengan pengkajian analisis konseptual dan bahasa yang digunakannya; (2) menyelidiki dan membenarkan ciri-ciri penalaran pengetahuan ilmiah apapun (logika deduktif dan logika induktif), baik dalam proses pembentukannya maupun sebagai suatu hasil; (3) mengkaji bagaimana cara berbagai ilmu yang berbeda satu dari yang lain itu saling berhubungan, dan memperlihatkan kesamaan antara disiplin ilmu pengetahuan satu dengan yang lain, tanpa mengabaikan derajat paradigma metode ilmiah masing-masing disiplin ilmu tersebut; (4) menyelidiki berbagai dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal sebagai berikut: (a) persepsi manusia akan kenyataan; (b) pemahaman berbagai dinamika alam; (c) saling keterkaitan antara logika dan matematika, serta kenyataan; (d) berbagai keadaan dan keberadaan teori; (e) berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawabannya; dan (f) hakikat (the essence) manusia, nilai-nilainya,

tempat dan posisinya dalam hidup (nilai pragmatis) (Semiawan, C., dkk. 2005). Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan tentang titik temu antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, antara lain: (a) baik ilmu pengetahuan (scence) maupun filsafat sama-sama menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha untuk menghadapi dunia atau beragam fenomena kehidupan; (b) keduanya sama-sama meletakkan kerangka berpikir logis, kritis, objektif dan terbuka untuk mencari dan mengetahui hakikat kebenaran; (c) keduanya punya tujuan yang sama yaitu ingin memperoleh pengetahuan yang terbaru dan teratur; dan (d) filsafat memberikan landasan filosofis dalam proses penelitian ilmiah, sedangkan hasil research ilmiah berupa ilmu pengetahuan (science) melakukan pengecekan, pengujian terhadap filsafat yang menjadi orientasi filosofis dalam research (Praja, J.S., 2005). Sedangkan perbedaan pokok antara filsafat dengan ilmu pengetahuan adalah, kerangka berpikir filsafat adalah tentang hakikat segala sesuatu secara mendalam, menyeluruh dan tidak bersifat empirik, sedangkan ilmu pengetahuan bersifat empirik dan tidak membicarakan hakikat segala sesuatu secara mendalam. 1. Hubungan antara filsafat dengan agama Sebelum menjelaskan tentang konsep hubungan antara filsafat dengan agama, sebaiknya perlu dijelaskan terlebih dahulu secara singkat tentang apa pengertian agama?, dan apa pengertian filsafat?. Berdasarkan sumber-sumber literatur ilmiah tentang studi agama, telah dijumpai berbagai macam definisi tentang agama, dari beragam definisi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (a) definisi agama yang menekankan segi rasa iman atau kepercayaan; (b) definisi agama yang menekankan aspek agama sebagai sistem peraturan tentang cara hidup yang berkualitas; dan (c) definisi agama yang mengkombinasikan antara kepercayaan dan cara hidup yang berkualitas. Perlu dipahami bahwa definisi agama yang mengkombinasikan antara kepercayaan dan cara hidup yang berkualitas adalah dianggap paling proporsional. Jadi, definisi agama adalah agama merupakan sistem kepercayaan dan praktik kehidupan sehari-hari yang berdasarkan sistem kepercayaan tersebut manusia ingin meraih derajat kualitas hidup secara lahir dan batin, baik untuk kehidupan pribadi atau kelompok. Demikian juga definisi tentang filsafat, di banyak literatur tentang filsafat akan dijumpai beragam definisi filsafat yang telah disampaikan oleh para filosof. Keberagaman definisi ini disebabkan oleh: (a) kondisi dan tantangan lingkungan alam yang dialami oleh para filosof berbeda-beda; (b) titik tekan orientasi pandangan hidup masing-masing filosof berbeda; dan (c) adanya perkembangan dari ilmu filsafat itu sendiri dari jaman ke jaman selalu mengalami akumulasi atau penyempurnaan. Berdasarkan beragam definisi tentang filsafat, maka pada dasarnya dapat diambil kesimpulan bahwa filsafat adalah suatu pengetahuan yang melakukan penyeledikan atau kajian tentang hakikat dari segala sesuatu dengan sungguh-sungguh (penuh kecintaan), universal, holistik untuk memperoleh hakikat kebenaran atau kebijaksanaan yang terdalam. Metode kerja atau cara penyelidikan dan tingkatan kebenaran antara ilmu, filsafat dan agama memang berbeda, ketiganya tidak boleh dicampur atau dipertukarkan, namun hakikatnya ketiganya mempunyai hubungan yang erat apabila dikaitkan dengan fungsi ilmu, filsafat dan agama tersebut bagi kehidupan manusia. Menurut para filosof sejatinya antara filsafat dengan agama atau sistem kepercayaan mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Hubungan antara filsafat dengan agama

banyak dijelaskan dalam filsafat agama atau teologi. Sedangkan beberapa argumentasi yang memperkokoh pandangan tentang eratnya hubungan antara filsafat dengan agama (kepercayaan) antara lain: 1. Sebagaimana yang telah diuraikan di depan bahwa filsafat mempunyai peran untuk menjelaskan hakikat segala sesuatu sampai terdalam, holistik, universal, tetapi filsafat tetap tidak mampu menjelaskan hakikat dibalik segala fenomena hidup ini secara mutlak. Filsafat mengajarkan manusia, bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kemerdekaan dalam menjelajah aneka fenomena hidup, tetapi filsafat ilmu tetap tidak mampu untuk memahami hakikat makna dibalik kemerdekaan manusia. Ternyata dibalik makna kemerdekaan manusia sejatinya adalah keterbatasan, keterbelengguan oleh sesuatu. Realitas tersebut membuktikan perlu adanya pemahaman dan perenungan terhadap nilai-nilai religious (nilai-nilai agama) dalam menutup keterbatasan manusia untuk memahami segala sesuatu dibalik realitas kemerdekaan manusia dalam hidupnya. Jadi, filsafat mendidik, melatih manusia untuk terus membangun kualitas daya kritis dan renungannya, dan agama berfungsi membimbing logika kritis dan arah perenungan diri untuk tetap memahami hakikat diri dalam bingkai mikroskopik dan makroskopik. 2. Filsafat mengajarkan manusia berpikir logik, sistematis, objektif dalam memahami aneka fenomena hidup untuk meraih kebenaran yang sahih (valid), tetapi filsafat tetap tidak mampu menjelaskan hakikat kekuatan dibalik kemampuan manusia berpikir logik, sistematis dan objektif. Filsafat mengajarkan manusia untuk membangun kerangka berpikir deduktif maupun induktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan demi kehidupan, tetapi filsafat tetap tidak mampu menjelaskan hakikat kekuasaan dibalik munculnya realias rasional dan empiris yang menjadi pijakan dalam pengembangan ilmu. Untuk memperoleh pemahaman tentang hakikat kekuasaan dibalik kemampuan rasional (deduktif) dan empiris (indukif) manusia tersebut, adalah manusia harus menyelami dunia religious atau spiritual (nilai-nilai agama). Ilmuwan manapun tidak ada yang meyakini bahwa hakikat penggerak benda adalah benda, hakikat penggerak rasional adalah rasional. Penggerak benda adalah sesuatu diluar benda, penggerak rasional adalah sesuatu diluar rasional dan itulah Tuhan, Sang Maha Penggerak segala fenomena kehidupan ini. Jadi, hubungan antara filsafat dengan agama sangatlah erat, terutama dalam memberikan makna, arti, dan essensi dari segala sesuatu. 3. Dalam memahami hakikat kebenaran dan hakikat tujuan hidup, studi filsafat melahirkan beragam perspektif (pandangan atau aliran), yang masing-masing perspektif melekat kuat sisi kelebihan dan kelemahannya. Setiap perspektif filosofis tidak pernah sanggup menjelaskan hakikat kebenaran dan hakikat tujuan hidup secara komprehensif, holistik, dan universal. Hakikat kebenaran dan tujuan hidup adalah sebatas sudut pandang aliran filosofis tertentu. Sedangkan agama selalu hadir dengan sistem aturan dan kepercayaannya untuk menyuguhkan pemahaman hakikat kebenaran dan tujuan hidup manusia secara integral, komprehensif dan universal menuju manusia paripurna. Disinilah letak eratnya hubungan antara filsafat dengan agama, karena hakikatnya filsafat yang selalu membicarakan tentang hakikat segala sesuatu tidak akan pernah berhasil untuk menemukan hakikat segala sesuatu apabila tidak didampingi dengan nilai-nilai spiritual. 4. Berbicara tentang hakikat sumber pengetahuan, mayoritas ilmuwan berpendapat sama, bahwa ada salah satu sumber pengetahuan yaitu wahyu. Filsafat adalah induknya ilmu pengetahuan, maka secara tidak langsung filsafat berhubungan erat dengan wahyu atau agama sebagai sumber ilmu pengetahuan. Memang memahami filsafat sebagai ilmu pengetahuan adalah bersifat otonom, tetapi apabila filsafat akan dijadikan sebagai dasar dan pedoman hidup manusia untuk menggapai

kebahagiaan lahir-batin, maka filsafat harus memasuki wilayah agama (studi filsafat agama atau teologi). Hal ini menunjukkan hubungan antara filsafat dengan agama sangatlah erat (Rasjidi, 1965; Nasution.H. 1975; Ghulsyani,M. 1986; Mutahhari, M. 1997; Praja, J.S., 2005; Sudiarja, dkk. 2006). Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan tentang titik temu antara filsafat dengan agama, antara lain: (a) baik agama maupun filsafat mempunyai kesamaan tujuan, yaitu ingin memahami dan mencapai hakikat kebenaran dari segala sesuatu. Memang cara memahami dan mencapai hakikat kebenaran antara keduanya berbeda, agama mendasarkan pada keyakinan, kepercayaan dan ketaatan mutlak, sedangkan filsafat melalui perenungan dan penyelidikan mendalam; dan (b) keduanya mempunyai objek kajian dan makna pragmatis yang relatif sama. Objeknya adalah segala sesuatu dalam hidup ini, baik yang material atau imaterial (transendental), sedangkan makna pragmatisnya adalah menjadikan kehidupan manusia bijaksana dan bermakna baik lahir atau batin, baik secara individu atau kelompok. Konsep yang perlu dipahami adalah, meskipun ada titik temu antara agama dan filsafat, keduanya tetap berbeda, filsafat tetap filsafat dan agama tetap agama, namun keduanya punya hubungan erat dalam membangun kualitas kehidupan ummat manusia yang lebih bermakna. 1. Hubungan antara ilmu pengetahuan dengan agama Menurut para ahli yang berorientasi pada paham positivisme ortodok (kaum positivistis), bahwa ilmu pengetahuan itu tidak ada hubungan atau keterkaitan sama sekali dengan agama. Bagi kaum rasionalistis atau positivistis, eksistensi agama bagi kehidupan manusia adalah kosong, bahkan agama menurut kaum rasionalistis atau positivistis adalah racun atau sumber terjadinya beragam problem masyarakat. Bagi kaum rasionalis bahwa Tuhan itu semata-mata hanyalah suatu rekaan imajinasi manusia (a fragment of human imagination) (Poedjawiyatna, 1980; Mutahhari, M. 1986). Menurut para ahli, pada hakikatnya pandangan kaum positivistis tentang hubungan antara ilmu dan agama tersebut banyak sisi kelemahannya, antara lain: 1. Kerangka berpikir kaum positivistis atau kaum rasionalistis yang menihilkan peran agama dalam kehidupan, (misalnya Feuebach, Bertrand Russel; dan Karl Mark), adalah banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan hidup sosial ekonomi dan politik yang dialami para tokoh tersebut sehari-harinya, yang mencerminkan suasana disintegrasi dan ketidak mampuan elite agama di Eropa dalam menampilkan peran agama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada jamannya. Jadi, pandangan tersebut sebenarnya sangat subjektf (situasional, parsial), dan tidak integral dalam mencermati hakikat fenomena kehidupan. Dimata para ilmuwan tersebut para elite agama yang hidup di jamannya banyak dianggap menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan kualitas hidup di berbagai aspek, disamping itu para ilmuwan sekuler tersebut memandang hakikat agama hanya dari realitas historis bukan dari essensi ajaran atau syariat agama (Abraham, F.M. 1982; Ghulsyani,M. 1986). 2. Sebagaimana yang telah disinggung di muka, bahwa hakikat kebenaran ilmu pengetahuan (science) adalah bersifat relatif, dan dari waktu ke waktu akan tetap diuji kebenarannya dengan analisis research sesudahnya. Oleh karena itu sangatlah tidak layak menilai hakikat kebenaran dalam agama hanya mendasarkan pada kebenaran ilmu pengetahuan yang sangat relatif, yang masih perlu adanya penelitian ilmiah berikutnya. Jadi, apa yang dianggap benar dalam perspektif science

hakikatnya adalah kebenaran sementara atau relatif, masih diperlukan revisi bahkan revolusi (Kuhn, T., 1970; Agus, B., 1999), sehingga sangat tidak signifikan ketika menilai kebenaran agama yang absolut dengan kebenaran ilmu yang sementara atau relatif. 3. Pada hakikatnya semua manusia mempunyai banyak keterbatasan kemampuan dan pengalaman dalam hidupnya, sehingga dia tidak mampu mengakses semua yang ada diluar kemampuan akal (rasional) dan indranya (empiris), sementara setiap pikiran manusia yang normal (kualitas merenung) selalu mengakui adanya sesuatu di luar jangkauan kemampuan manusia, yang menentukan kehidupan manusia (kekuatan supranatural). Jadi, ketika produk pemikiran manusia meyakini sesuatu diluar nalar adalah kosong, sejatinya hal itu adalah sikap pengkerdilan potensi rasional (deduktif) dan empirik (induktif) manusia dalam memahami essensi kehidupannya (Nasution, 1975; Hanafi, 2004) 4. Setiap manusia selalu mengalami kegelisahan-kegelisahan dalam hidupnya, karena beragam persoalan yang muncul diluar rancangan dan jangkauan nalar manusia, dan agama adalah obat yang paling baik dalam menghilangkan kegelisahan hidup, bukan ilmu pengetahuan. Sering terbukti para ilmuwan atheis, akhir perjalanan hidupnya adalah tragis dengan cara bunuh diri, tidak mampu menampilkan sosok ilmuwan ideal dalam mengakhiri jalan hidupnya, hal ini disebabkan dia terus mengikuti godaan pikiran (nalar)untuk bertanya dan terus bertanya tentang sesuatu tanpa tersentuh oleh nilai-nilai essensi dibalik pertanyaan, akhirnya frustasi (dispsikhis) dan pasti dia merasakan kehampaan hidup, kondisi psikis seperti ini sangat membutuhkan nilai-nilai agama. 5. Segala sesuatu dalam kehidupan ini mempunyai idea-idea (teori Plato). Idea itulah memberi arti tentang makna essensi sesuatu, idea itu ada di alam idea. Seluruh indra manusia yang nampak dan apa saja yang nampak di dunia ini hakikatnya tidak ada arti, dia hanya bayangan dari idea. Jadi, idea inilah yang menentukan segala kebaikan (absolut good atau Yang Mutlak Baik), dan Yang Mutlak Baik itulah Tuhan; dan setiap manusia mengakui adanya peran nilai, norma dalam kehidupan, disamping itu setiap manusia hakikatnya mengakui adanya Zat Maha Besar dan Maha Sempurna. Salah satu sumber nilai dan norma kehidupan tersebut adalah agama atau kepercayaan (Tafsir, A. 2003; Agustian, Ary G. 2005; Sudiarja, dkk. 2006). f. Ketika mencermati latarbelakang sejarah kehidupan para ilmuwan atheis (anti agama) tersebut, mayoritas mereka mengalami kegagalan yang telah dibentuk oleh lingkungannya dalam proses pembelajaran budaya, khususnya aspek sosialisasi nilai-nilai kehidupan, internalisasi nilai-nilai kehidupan, dan enkulturasi nilai-nilai kehidupan. Oleh karena itu pandangan mereka tentang tidak adanya hubungan agama dengan ilmu pengetahuan adalah parsial atau tidak integral (Syariati, 1982; Mutahhari, M. 1986). Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut di atas membuktikan bahwa: (a) agama dan llmu pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat, khususnya ditinjau dari aksiologi ilmu; (b) argumentasi rasional yang menihilkan peran agama dalam kontek kehidupan hakikatnya tidak mendasar, bahkan pandangan tersebut sejatinya mengkerdilkan potensi akal pikiran manusia yang sangat kompleks dan dinamik; dan (c) antara agama dan ilmu pengetahuan memang mempunyai metode kerja yang berbeda dalam memahami makna kebenaran, namun keduanya tetap mampu memberikan kontribusi dalam memaknai arti hidup. Agama tanpa ilmu pengetahuan akan kehilangan pencerahan hidup, demikian juga sebaliknya ilmu pengetahuan tanpa agama akan membawa bencana dan kesesatan hidup (Ghulsyani,M. 1986).

1. Hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma (budaya) Sejak dulu sampai sekarang, dikalangan ilmuwan tetap terjadi silang pendapat tentang hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma sosial budaya. Beragam pandangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua pandangan tentang hubungan antara ilmu pengetahuan (science) dengan nilai-norma kehidupan sosial-budaya, antara lain: 1. Kalangan ilmuwan yang berorientasi pada filsafat positivisme, yang umumnya terwakili oleh kelompok ilmu pengetahuan alam (natural sciences) atau matematika cenderung berpandangan bahwa: (1) perkembangan ilmu pengetahuan alam dan matematika tidak ada hubungannya dengan nilai dan norma (culture) yang berkembang di masyarakat; dan (2) paradigma pengembangan ilmu matematika dan ilmu pengetahuan alam atau pengetahuan ilmiah bersifat logis, pasti dan objektifrasional. Sedangkan paradigma nilai, norma atau kebudayaan (culture) adalah dibangun atas dasar relativitas atau kenisbian budaya (Ravertz, J.R. 1982). Oleh karena itu menurut Karl Pearson, dalam Agus, B. (1999), bahwa sikap ilmiah yang ideal dalam pengembangan science adalah tidak memihak (disinterestedness) dan bebas dari prasangka dan kecenderungan pribadi (unbiased by personal feeling). Jadi, pengetahuan ilmiah pengembangannya harus bebas nilai (value free). 2. Kalangan ilmuwan yang berorientasi pada filsafat idealisme atau konstruktivisme. Pandangan ini mengkritik habis-habisan pandangan pertama yang menilai pengembangan ilmu pengetahuan harus bebas nilai (value free). Diantara alasan kelompok yang menolak ilmu pengetahuan (science) bebas nilai adalah: (1) bahwa pilihan terhadap asumsi dan rumusan hipotesis yang dikembangkan para ilmuwan pada hakikatnya adalah pernyataan yang timbul dari penilaian (evaluative assertions), sedangkan menilai terhadap sesuatu sudah pasti berdasarkan pada standar nilai dan norma tertentu. Jadi, pandangan bahwa science harus bebas nilai adalah mendustai realitas pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri; (2) teori yang disusun di atas asumsi yang merupakan penilaian terhadap suatu fenomena pada hakikatnya juga tidak terlepas dari pandangan dan nilai tertentu yang diyakini atau atas dasar motivasi subjek untuk memilih. Jadi, unsur subjektiv sedikit banyak ikut mewarnainya; (3) setiap peneliti dalam melakukan penelitian ilmiah pada hakikatnya tidak bisa membebaskan dirinya dari: (a) hasil karya penelitian ilmiah sebelumnya; (b) pengaruh lingkungan fisik dan sosial, lingkungan budaya, politik dan kondisi ekonominya; dan (c) tidak bisa lepas dari pengaruh kecenderungan pribadi, khususnya dalam memilih atau membatasi ruang lingkup objek penelitiannya (variabel dan indikator yang diteliti). Jadi, argumentasi tersebut di atas mementahkan pandangan bahwa ilmu pengetahuan ilmiah harus bebas nilai (value free). (Goode, W.J. and Paul K. Hatt. 1981; Myrdal, G. 1982; Poespoprodjo, 1987). Berdasarkan uraian di atas, khususnya menyimak argumentasi yang mendukung bahwa ilmu pengetahuan ilmiah baik ilmu-ilmu alam (natural sciences) maupun ilmu-ilmu sosial (social sciences) adalah tidak bebas nilai (unvalue free) yang berlaku dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bahwa hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma kehidupan sosial budaya adalah sangat erat. 2. Ditinjau dari filsafat ilmu, maka hakikat pengembangan ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial harus mengandung aspek aksiologi ilmu (nilai fungsional atau pragmatis), misalnya, hasil penelitian ilmiah harus mampu memberikan alternatif pemecahan masalah bagi

kemaslahatan kehidupan dan mampu memprediksi fenomena yang akan terjadi dihari-hari yang akan datang (Myrdal, G. 1982; Brannen, J. 2003). 3. Perkembangan ilmu pengetahuan harus mampu meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan kebudayaan atau mampu membangun peradaban hidup. Setiap perkembangan ilmu pengetahuan harus mampu memberi manfaat bagi terwujudnya kesejahteraan dan kedamaian hidup di masyarakat, baik untuk kurun waktu sekarang maupun waktu yang akan datang. 4. Hubungan antara filsafat dan kehidupan sosial budaya. Manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta, rasa dan karsanya dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup baik secara individu atau kelompok. Sebagaimana uraian di atas, tentang manfaat mempelajari filsafat, maka satu bagian yang paling penting dalam proses kehidupan manusia adalah kebutuhan mengembangkan kualitas hidup melalui pemahaman tentang filsafat hidup dan ilmu pengetahuan. Apabila dicermati secara mendalam, maka sebenarnya semua aktivitas hidup manusia di masyarakat tidak bisa lepas dari kontribusi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, dan hakikat filsafat dan ilmu pengetahuan merupakan wujud ide dari kebudayaan atau sistem budaya (Koentjaraningrat, 1982). Hakikat kehidupan sosial adalah merupakan suatu sistem. Kehidupan sosial disebut sebagai sistem sosial adalah karena dalam kehidupan sosial terdapat unsur-unsur (sebagai sub unsur), yang masing-masing unsur sosial tersebut bertindak sebagai sub sistem yang saling mempengaruhi atau kait mengkait dalam proses kehidupan, dan penggerak atau penyatu antar sub unsur dari sistem sosial tersebut sejatinya adalah nilai-nilai dasar kehidupan sosial yang disebut filsafat hidup (way of life). Kehidupan sosial (kolektif) dimanapun pada hakikatnya merupakan suatu sistem, sedangkan karakteristik suatu sistem sosial antara lain: 1. Ditinjau dari ruang lingkupnya, maka sistem sosial dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bersifat makro, dan mikro. Bersifat makro adalah menunjuk pada sistem sosial (sistem masyarakat atau sistem negara) yang berskala besar atau luas, misalnya: Sistem pendidikan nasional; Sistem peradilan negara; Sistem perdagangan nasional; Sistem pertahanan nasional. Jadi unsur-unsur dalam sistem makro atau sub sistem sosial makro juga sangat luas atau kompleks. Sedangkan sistem sosial yang bersifat mikro adalah menunjuk pada bentuk sistem sosial yang kecil, misalnya sistem keluarga. Jadi, sub sistem atau unsur-unsur dalam sistem keluarga juga sempit dan kecil, misalnya dalam keluarga inti, sub unsurnya adalah ayah, ibu dan anak. Perlu dipahami, bahwa orientasi pengembangan kehidupan kelompok yang berskala mikro atau makro tersebut secara berkualitas harus mendasarkan pada nilai-nilai filosofis atau pandangan hidup (way of life). 2. Perubahan atau perkembangan dari salah satu aspek atau unsur atau sub sistem akan mempengaruhi atau menghasilkan perubahan pada sub sistem lainnya, misalnya perubahan pada sub sistem ekonomi nasional akan membawa implikasi perubahan pada aspek politik, aspek keamanan atau sub sistem lainnya. Agar proses dan dampak perubahan tersebut menghasilkan kualitas dan stabilitas hidup, maka proses perubahan harus tetap diwarnai oleh nilai-nilai pandangan hidup (filsafat) yang disepakati oleh warga masyarakat. 3. Antara sub sistem satu dengan sub sistem lainnya dalam sistem sosial bersifat deterministik (saling mempengaruhi) (Berry, D., (1981). Jadi, pada hakikatnya masing-masing unsur dalam sistem

tersebut pemberdayaannya adalah berorientasi pada sistem filsafat yang dianut, Contoh, sistem pendidikan nasonal adalah berorientasi pada filsafat Pancasila. Demikian juga sistem kehidupan keluarga akan mendasarkan pada nilai-nilai filosofi hidup tertentu, yang diyakini oleh anggota keluarga. Jadi, suatu kehidupan sosial dianggap sebagai suatu sistem sosial, mengandung arti bahwa kehidupan sosial tersebut mempunyai unsur-unsur atau sub unsur sosial yang saling berinteraksi satu dengan lainnnya, dan unsur-unsur tersebut membentuk struktur sistem sosial itu sendiri dan mengatur sistem sosial, sedangkan penggerak sistem adalah nilai filosofis. Unsur-unsur sistem sosial tersebut antara lain: (1) pengetahuan atau keyakinan; (2) sentimen atau perasaan (tindakan afektif); (3) tujuan atau sasaran atau cita-cita; (4) nilai dan norma sosial; (5) kedudukan (status) dan peranan (role) sosial; (6) stratifikasi sosial (tingkatan sosial seseorang dalam kelompok); (7) kekuasaan atau pengaruh (power), atau wewenang; (8) sanksi atau pengendalian atau kontrol sosial; (9) sarana atau fasilitas dalam kehidupan kelompok; dan (10) tekanan dan ketegangan (Sulaeman, M., 1998). Kesupuluh unsur sub sistem tersebut hakikatnya operasionalisasinya dikendalikan oleh sistem filosofis tertentu yang menjadi orientasi hidup (way of life) pada setiap kehidupan kelompok sosial dari yang bersifat makro (bangsa) maupun yang mikro (keluarga). Uraian tersebut di atas membuktikan bahwa hubungan filsafat dengan kehidupan sosial adalah sangat erat Sedangkan mengenai kebudayaan, menurut antropolog Koentjaraningrat (1982), bahwa pada dasarnya suatu kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan dalam bentuk kompleks ide, gagasan, nilai-nilai, cita-cita dan kemauan. Wujud ini sering disebut sebagai sistem budaya; (2) wujud kebudayaan dalam bentuk kompleks kelakuan berpola atau tata cara, atau kebiasaan sehari-hari. Wujud ini sering disebut sebagai sistem sosial; dan (3) wujud kebudayaan dalam bentuk fisik atau peralatan (sistem teknologi). Demikian juga suatu kebudayaan mempunyai unsur-unsur yang disebut sebagai budaya universal, yang meliputi tujuh unsur, yaitu: 1) Sistem religi atau sistem kepercayaan. Setiap kehidupan masyarakat dimanapun di dunia ini pasti mengenal sistem religi dan upacara keagamaan atau sistem keyakinan pada kekuatan supra natural. Pada kelompok masyarakat yang berideologi komunis sejatinya secara personal tetap mengakui adanya kekuatan dahsyat diluar diri manusia (supra natural), hanya cara merasakan dan menyatakan adanya kekuatan supra natural tersebut berbeda dengan orang-orang Islam, Kristen, Katholik, Hindhu, Budha dan sebagainya. 2) Sistem organisasi kemasyarakatan. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan polapola organisasi sosial kemasyarakat, yang berbentuk pola-pola aktivitas sosial dalam kelompokkelompk di masyarakat yang berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Misalnya, organisasi atas dasar ikatan kekerabatan, organisasi atas dasar ikatan profesi, organisasi ata dasar ikatan politik dan sebagainya. 3) Sistem pengetahuan. Setiap masyarakat dimanapun pasti mengembangkan sistem pengetahuan, baik menyangkut pengetahuan alam, sosial atau pengetahuan humaniora. Misalnya, mengembangkan penelitian atau kajian ilmiah, mengembangkan institusi pendidikan sebagai transformasi ilmu pengetahuan dan budaya, dan sejenisnya. Semakin maju kehidupan suatu masyarakat semakin kompleks sistem ilmu pengetahuan yang dikembangkan.

4) Bahasa. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan bahasa sebagai media komunikasi selama proses interaksi sosial, baik bahasa simbolik maupun non-simbolik. Misalnya, mengembangkan bahasa lokal, bahasa nasional, dan bahasa pergaulan internasional, dan sejenisnya. 5) Kesenian. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan kesenian sesuai dengan kondisi tantangan atau situasi yang dihadapi sehari-hari pada lingkungan tempat tinggalnya, misalnya, masyarakat agraris akan mengekspresikan potensi seninya (baik seni rupa, seni tari, seni bangun, dan sebagainya) sesuai dengan kondisi alam lingkungan agraris, dan sebagainya. 6) Sistem mata pencaharian hidup. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan sistem mata pencaharian hidup, misalnya mata pencaharian pertanian, nelayan, pertukangan, industri, profesi tertentu, dan sebagainya. Pola pengembangan sistem mata pencaharian hidup tersebut antar masyarakat tentu sangat beragam bentuk dan tingkat kuantitas-kualitasnya. 7) Sistem teknologi, yaitu sistem peralatan atau benda-benda sebagai sarana dalam melakukan aktivitas tertentu di masyarakat. Misalnya: sarana tempat tinggal, sarana persenjataan, sarana transportasi dan sebagainya.. Menurut R. Linton (1963), setiap unsur-unsur budaya universal tersebut mempunyai tiga wujud budaya (wujud sistem budaya; wujud sistem sosial; dan wujud sistem teknologi). Dalam kajian antropologi, telah dijelaskan bahwa setiap melakukan kajian tentang kebudayaan tidak cukup hanya mengkaji dari satu unsur, atau aspek budaya secara parsial, tetapi harus dilakukan secara integratif atau holistik atau multidimensional, karena hakikat kebudayaan itu adalah mencakup seluruh cipta, rasa dan karsa manusia yang terjelma dalam wujud sistem budaya, sistem sosial dan sistem teknologi secara integratif (Ihromi, 1984; Koentjaraningrat, 1989; Kuntowijoyo, 1999). Jadi, setiap unsur kebudayaan tersebut mempunyai wujud sistem budaya, wujud sistem sosial dan wujudu sistem teknologi, yang menyatu terintegrasi sebagi sistem, dan semua unsur budaya tersebut berorientasi pada suatu filsafat tertentu (wujud budaya idea). 1. G. Hubungan Teori dengan Penelitian Ilmiah 1. Pengertian teori Dalam pandangan filsafat ilmu dan teori-teori ilmu sosial, bahwa suatu perspektif (sudut pandang) untuk menilai kebenaran terhadap suatu fenomena sosial-budaya tidak bisa dianggap sebagai salah satu perspektif yang paling benar, sedangkan perspektif yang lainnya dianggap salah. Hal ini disebabkan setiap perspektif itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, pandangan filsafat yang berbeda; Kedua, beragam orientasi teori (theoritical orientation) yang dipakai; Ketiga, metode yang digunakan dalam memahami realitas sosialnya juga berbeda; dan Keempat, fokus permasalahan yang dikaji tidak sama (Ritzer G, 2002). Dalam studi ilmu sosial, akan ditemukan beragam definisi tentang teori, antara lain: Pertama, menurut M.Francis Abraham (1982), Teori adalah suatu skema abstrak atau konstruksi simbol, sebagai hasil perangkuman terhadap kenyataan empiris yang dapat diamati menjadi suatu abstraksi

tingkat tinggi (Abraham, 1982); Kedua, menurut Kerlinger, teori adalah seperangkat konstruk (konsep), batasan (definisi), dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu (Kerlinger, 1986); Ketiga, menurut Gibbs (1972), Teori adalah suatu kumpulan statemen yang mempunyai kaitan logis, merupakan cermin dari kenyataan yang ada tentang sifat-sifat atau ciri-ciri khusus, peristiwa atau benda; Keempat, menurut Hage (1972), bahwa suatu teori itu tidak hanya mengandung konsep dan statemen, tetapi juga definisi (baik definisi teoritis maupun operasional) dan hubungan logis (teoritis dan operasional) antar konsep (Zamroni, 1992). Kelima, menurut Johnson, teori merupakan seperangkat proposisi yang berhubungan secara logis dan sistematis, yang menggambarkan pada satu tingkatan generalitas yang tinggi dan menjelaskan seperangkat gejala-gejala empiris (Johnson, 1981). Suatu teori dapat juga dikatakan sebagai suatu konstruksi yang padu dari beberapa elemen dasar atau penting yang menyangkut tentang: konsep, variabel, statemen dan format (Turner, 1982). Timashell menyimpulkan, bahwa suatu teori adalah seperangkat proposisi, yang menunjukkan hubungan secara baik, yang menunjukkan bahwa: (a) proposisi itu dapat terdefinisikan dalam bentuk konsep; (b) hubungan antar proposisi itu harus konsisten satu dengan yang lain; (c) proposisiproposisi tersebut dapat mendeduksikan sebuah generalisasi; dan (d) proposisi itu harus dapat dipercaya, artinya menunjukkan hasil observasi dan dapat dibuktikan lebih lanjut, dan generalisasinya itu mampu memperluas ruang lingkup pengetahuan (Timashell, 1967). Berdasarkan beberapa definisi tersebut, penulis dapat menyimpulkan tentang pengertian teori, yaitu suatu teori harus: (a) mengandung konsep, definisi dan proposisi; (b) ada hubungan logis diantara konsep-konsep, definisi-definisi dan proposisi-proposisi; (c) hubungan tersebut menunjukkan atau merupakan cermin fenomena sosial; dan (d) dengan demikian teori dapat digunakan untuk eksplanasi dan prediksi, terhadap realitas empirik yang dapat diamati dan dipertanggungjawakan objektivitasnya. Proposisi adalah suatu pernyataan yang mengandung dua atau lebih konsep atau variabel (Zamroni, 1992). Dalam terminologi scientific researh (penelitian ilmiah), menurut jumlah konsep atau variabel yang terdapat di dalamnya, proposisi dibedakan menjadi tiga, yaitu: Univariat; Bivariat; dan Multivariat. Jadi, suatu proposisi dianggap benar, apabila proposisi itu cocok dengan faktafakta, atau kalau sesuai dengan apa yang digambarkan oleh proposisi tersebut (Lloyd C, ed, 1983). 2. Kriteria atau komponen teori sosial Diantara salah satu tujuan dari penelitian kuantitatif adalah menguji teori, sedangkan salah satu tujuan dalam penelitian kualitatif adalah menghasilkan atau mengembangkan teori. Suatu teori harus memenuhi beberapa kriteria, menurut para ahli, suatu teori dapat diterima apabila memenuhi dua kriteria, yaitu: 1. Kriteria ideal, yaitu apabila teori itu memenuhi syarat-syarat: (1) sekumpulan ide yang dikemukakan mempunyai hubungan logis dan konsisten; (2) sekumpulan ide yang dikemukakan harus mencakup seluruh variabel yang diperlukan untuk menerangkan fenomena yang dihadapi; (3) kumpulan ide tersebut mengandung proposisi-proposisi dimana ide yang satu dengan yang lain tidak

tumpang tindih; dan (4) kumpulan ide-ide tersebut dapat diuji atau dites secara empiris. 2. Kriteria pragmatis, yaitu bahwa ide-ide itu dikatakan sebagai teori apabila memiliki: (1) asumsi dan paradigma; (2) frame reference, yakni kerangka berpikir yang mengidentifikasi aspek-aspek kehidupan sosial yang akan diuji secara empiris; (3) konsep-konsep, yakni abstraksi atau simbol sebagai wujud sesuatu ide; (4) variabel, yakni penjabaran konsep yang mengandung dimensi; (5) proposisi, yakni hubungan antar konsep; dan (6) hubungan yang sistematis dan bersifat kausal diantara konsep-konsep dan proposisi-proposisi tersebut (Zamroni, 1992). Menurut Johnson, ada lima komponen atau unsur penting dalam suatu teori, yaitu: 1. Konsep dan variabel. Konsep merupakan ramuan dasar dan fundamental dalam setiap teori. Konsep adalah suatu kata (pernyataan simbol) yang menunjuk pada gejala atau sekelompok gejala. Sedangkan variabel adalah sebagai gejala yang bervariasi (misalnya jenis kelamin). Variabel dibedakan menjadi dua, yaitu variabel kuantitatif (contoh, luas kota, umur, jumlah pendapatan) dan kualitatif (Contoh, kepandaian, kedamaian, kasih sayang). Variabel kuantitatif dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) variabel diskrit (variabel nominal atau kategorik); dan (b) variabel kontinum (dibagi lagi menjadi tiga: Variabel ordinal; variabel interval dan variabel ratio). 2. Sistem klasifikasi, artinya dengan menggunakan konsep dan variabel-variabel, akan dikategorisasikan dan diklasifikasikan hal-hal berkaitan dengan konsep dan yang tidak untuk membangun teori. 3. Proposisi dan tipe proposisi. Proposisi yaitu satu pernyataan mengenai suatu hubungan antara dua atau lebih konsep. 4. Masalah dan penjelasan kausal, suatu teori yang baik harus terdiri dari proposisi-proposisi yang menyatakan hubungan secara kausal. 5. Variabel independen (variabel utama) versus Variabel dependen (variabel tergantung). Apabila sifat hubungan variabel saling tergantung, maka keputusan mengenai variabel mana yang independen dan yang dependen sulit ditetapkan (Johnson, 1981). Sedangkan menurut Tom Cambell (1994), bahwa sebuah teori sosial, harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Kejelasan. Kejelasan adalah syarat pertama sebuah teori. Kejelasan sering tidak dijumpai dalam teori-teori sosial. Apa yang tidak jelas tidak bisa menjadi calon penaksiran rasional. 2) Konsistensi. Konsistensi dari awal hingga akhir. Adanya koherensi internal. Sebuah teori tidak boleh bertentangan dengan dirinya. 3) Kecukupan empiris. Bagi seorang positivis, tes kunci atas sebuah teori adalah sejauh mana teori itu Corroborated (dikorobarasikan) atau barangkali, tidak difalsifikasi dengan observasi-observasi yang dapat diulangi. Kekeliruan yang umum terjadi dalam teori sosial adalah generalisasi yang terlalu tergesa-gesa dari bukti empiris. Penilaian atas unsur empiris dalam teori-teori sosial ini memang agak sulit, karena: (a) banyak tergantung pada fakta-fakta historis yang tidak lagi tersedia secara cukup untuk proses analisis; (b) berhubungan dengan fenomena perilaku sosial yang sangat kompleks dan dinamik; (c) tidak bisa langsung diobservasi secara singkat, tapi membutuhkan partisipasi aktif dan waktu yang lama; dan (d) sulit memimpin pengalaman sosial untuk menguji

hipotesis empiris, khususnya menyangkut fenomena perubahan sosial yang kompleks, dinamik dan ganda. 4) Kecukupan eksplanatoris. Teori-teori jangan hanya mencocokkan fakta-fakta kehidupan sosial, melainkan juga harus menjelaskan fakta-fakta sosial secara sistematis, logis. 5) Rasional normatif. Bahwa nilai-nilai, dan implikasi-implikasinya dapat dijelaskan dan diidentifikasi secara jelas dan konsistensinya tetap dijaga (Cambell, 1994). Kelima syarat teori yang dikemukakan Cambell tersebut lebih bernuansa pada perspektif positivistik (makro atau deduktif), meskipun demikian sebaiknya setiap teori dalam ilmu sosial sebaiknya memenuhi kelima syarat tersebut, termasuk teori-teori sosial mikro (perspektif konstruktivis). 3. Paradigma teori ilmu sosial Dalam studi tentang teori ilmu-ilmu sosial, dikenal ada tiga macam orientasi atau paradigma, yaitu: (a) paradigma fakta sosial. Orientasi filosofis teori-teori yang masuk kelompok paradigma fakta sosial adalah pada filsafat positivisme (perspektif positivistik); (b) paradigma definisi sosial. Orientasi filosofis teori-teori yang termasuk kelompok paradigma definisi sosial adalah pada filsafat idealisme (perspektif konstruktivis); (c) paradigma integratif, yaitu paradigma yang memandang pentingnya memadukan antara pandangan positivisme dengan idealisme yang mengejawantah dalam proses penelitian ilmiah. Pandangan kelompok penelitian ilmiah yang menghendaki perpaduan antara dimensi makro (kuantitatf) dan mikro (kualitatif) ini adalah berorientasi pada pandangan filosof Immanuel Khan. Berikut dijelaskan secara singkat ketiga paradigma tersebut sebagai berikut Pertama, teori-teori ilmu sosial yang termasuk dalam kelompok teori naturalis atau positivis (paradigma fakta sosial), antara lain: Teori fungsional struktural; Teori sistem; Teori konflik; dan Teori sosiologi makro. Teori-teori ini oleh Ritzer dikelompokkan pada kelompok teori berparadigma fakta sosial (Ritzer, 2002). Teori-teori sosial yang berorientasi positivisme, dan seringkali juga disebut dengan berbagai label lain, seperti empirisme, behaviorisme, naturalisme dan saintisme (Bungin, 2003), oleh sebagian ahli dikelompokkan pada studi sosial makro, sedangkan teori yang berorientasi Humanistik atau Interpretif, dan sering disebut kelompok idealisme, oleh para ahli dikelompokkan pada studi sosial mikro. Kelompok teori yang berorientasi positivisme dikenal dengan sebutan tradisi pemikiran Perancis dan Inggris atau Aristotelian, sedangkan kelompok teori yang berorientasi idealisme atau humanisme, konstruktivisme dikenal dengan sebutan tradisi pemikiran Jerman atau Platonik (Sanderson, 1991). Pokok-pokok pandangan teori sosial naturalis atau positivis antara lain: 1. Memandang ilmu sosial sebagai suatu ilmu seperti halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam (Fisika, Biologi). Dalam melakukan analisis sosial, ilmu sosial harus menggunakan metode ilmiah seperti yang diterapkan pada studi ilmu fisika dan ilmu biologi dan sejenisnya. 2. Memandang bahwa fenomena sosial itu memiliki pola-pola dan hukum-hukum deterministik, sebagaimana hukum-hukum yang mengatur ilmu alam. Proses analisis data dalam penelitiannya harus menekankan pada pendekatan kuantitatif (perspektif etik). 3. Memandang pentingnya kesatuan ilmu, artinya harus ada suatu teori tunggal tentang masyarakat atau teori-teori sosial yang ada harus digabungkan kedalam suatu kesatuan teori ilmiah, dan prinsip-

prinsipnya harus berlaku secara umum (universal) setiap penelitian ilmiah untuk disiplin ilmu pengetahuan apapun. 4. Asumsi teori ini tentang manusia dan masyarakat adalah: (1) bahwa individu merupakan makhluk yang merupakan produk dari aturan-aturan sosial, bukan makhluk yang mampu bebas membentuk dunia sosialnya sehari-hari; (2) manusia mempunyai rasionalitas yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi sarana dan tujuan itu sudah ada (inherent) dalam aturan-aturan sosial; dan (3) lingkungan masyarakat dan struktur sosial menentukan atau membentuk pribadi individu (eksternal men-determinasi internal) (Coleman, J.S., 1994). 5. Kaum positivis mengangap bahwa pengetahuan kausal (sebab-akibat) itu memberi kejelasan dan kegunaan dalam mengungkap atau memahami semua fenomena kehidupan. Korelasi-korelasi kausal antar variabel dalam beragam fakta sosial harus dapat diuji secara empirik (Rossides, 1978; Cambell, 1981; Craib, 1984; Poloma, 2000). Kedua, teori-teori yang termasuk kelompok teori humanis atau interpretatif (paradigma definisi sosial) adalah: Teori aksi oleh Weber; Teori interaksionisme simbolik; Fenomenologi; dan Teori-teori ilmu sosial mikro. Teori-teori ini oleh Ritzer dikelompokkan pada teori yang berparadigma definisi sosial (Ritzer, 2002). Sedangkan beberapa pokok pikiran teori-teori ilmu sosial humanis atau interpretatif antara lain: 1. Pandangan ilmu sosial humanis menerima pandangan common sense tentang hakikat sifat manusia, dan mencoba menyesuaikan dan membangun dirinya diatas pandangan tersebut. Manusia dipandang memiliki kebebasan berkreatif dan berinovatif. Manusia tidak lagi tertekan (terdeterminasi) oleh faktor eksternal (lingkungan hidupnya) atau struktur sosial, faktor yang menentukan diri manusia adalah kualitas pikiran dan jiwanya sendiri (internal) (Coser and Rosenberg, 1969). 2. Pembangunan teori dalam ilmu sosial bermula dari hal-hal yang nyata dalam kehidupan seharihari, proses analisis data dalam penelitian ilmiah harus lebih menekankan pada fenomena sosial mikro, dengan pendekatan kualitatif (perspektif emik). 3. Ilmu sosial positivis sangat menekankan pada asumsi bahwa ilmu sosial harus merupakan suatu ilmu yang senada dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences), sedangkan ilmu-ilmu sosial humanis sebaliknya, yaitu menekankan sifat-sifat (properties) dalam perilaku manusia yang membuat mereka unik, dinamik dan kompleks dalam praktik-praktik sosial-budayanya sehari-hari. 4. Asumsi ilmu sosial humanis tentang manusia dan masyarakat adalah: (1) manusia bebas dan lebih kreatif dalam menentukan proses hidup dan makna hidupnya; (2) kebebasan dan kreativitas individu tersebut dapat menyebabkan individu mampu membentuk kehidupan dunia sosialnya; dan (3) masyarakat terbangun dari kebermaknaan subjektif (kualitas pikir dan jiwa seseorang) dan proses interaksi-interaksi individu dalam kehidupan sehari-harinya. (Cambell, 1981; Poloma, 2002). 5. Menurut E. Kant dan Hegel, jiwa manusia terutama adalah sebagai produser ide-ide, dan karenanya, sejarah manusia juga merupakan manifestasi dari sejarah ide-ide yang diciptakan manusia itu sendiri disepanjang sejarah hidupnya, manusia adalah makhluk sadar dan bertujuan (purposive creators). Oleh karena itu memahami manusia dan kehidupan masyarakatnya haruslah menukik ketingkat dunia ide dan dunia makna yang terbenam dalam diri manusia itu sendiri. Dunia ide atau dunia makna itulah yang kemudian disebut fakta fenomenologis, yang untuk memahaminya sangat diperlukan suatu proses penyelaman, penghayatan, suatu proses interpreventive understanding, yang oleh Weber disebut dengan pendekatan verstehen (Bungin, 2003). Oleh karena

itu metode pengumpulan data pada penelitian yang menggunakan pendekatan verstehen adalah wawancara takterstruktur dan observasi partisipatif. Ketiga, paradigma integratif, yaitu paradigma yang memandang pentingnya memadukan antara pandangan positivisme (teori-teori fakta sosial) dengan idealisme (teori-teori definisi sosial) yang mengejawantah dalam proses penelitian ilmiah. Bagaimana gambaran tentang pandangan pentingnya melakukan pendekatan integratif dalam penelitian ilmiah, telah dijelaskan pada uraian diatas (periksa kembali). Pada prinsipnya pandangan paradigma atau teori sosial integratif adalah: 1. Dalam studi ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya, menuntut adanya keterpaduan orientasi teori-teori makro (positivis atau deduktif) dan teori-teori mikro (idealis atau induktif). 2. Hakikat realitas fenomena sosial budaya adalah majemuk, kompleks, dan dinamik. Oleh karena itu orientasi paradigmatik dalam proses penelitian ilmiah terhadap fenomena sosial budaya yang dinamik dan kompleks tersebut akan lebih pas apabila menggunakan perpaduan (integrasi) antar teori-teori fakta sosial dan teori-teori definisi sosial. 1. Ketika proses penelitian ilmiah dalam memahami fenomena sosial budaya tersebut dengan menggunakan pendekatan teori integratif secara baik, maka hasil analisis datanya akan lebih bersifat komprehensif dan holistik, tidak bersifat dangkal dan parsial (satu aspek atau satu sudut pandang) 4. Fungsi dan peranan teori sosial dalam penelitian ilmiah Beberapa kajian ilmiah telah menjelaskan bahwa fungsi teori sangat sentral dalam proses penelitian ilmiah. Oleh karena itu setiap penelitan ilmiah harus mempunyai orientasi teoritik yang dijadikan sebagai pedoman dan arahan proses penelitian ilmiah. Menurut para ahli, fungsi atau peranan teori dalam penelitian ilmiah sangat sentral, antara lain: Pertama, menurut Zamroni (1992), fungsi teori ilmu sosial secara umum adalah (a) untuk sistematisasi pengetahuan sosial (typologies); (b) untuk eksplanasi, prediksi dan kontrol sosial. Eksplanasi berhubungan dengan peristiwa yang telah terjadi; Prediksi berhubungan dengan peristiwa yang akan terjadi; dan (c) sebagai kontrol sosial berhubungan dengan usaha untuk menguasai atau mempengaruhi peristiwa yang akan terjadi tersebut . Kedua, menurut Francis Abraham (1982), paling tidak ada delapan fungsi teori ilmu sosial dalam proses analisis sosialbudaya antara lain: (a) mengarahkan pada problem-problem potensial dan menghasilkan kajian investigasi baru; (b) meramalkan fakta-fakta sosial. Suatu sistem teoritik sering memberikan prediksi dasar yang aman berdasarkan pengetahuan intuitif, analisis historis, dan observasi keberagaman sosial; (c) mensistematiskan kajian dan hubungan dalam skema konseptual yang baik; (d) membuat gambaran yang baik tentang hubungan antara temuan empirik yang spesifik dan orientasi sosial secara umum, sehingga mempertinggi makna penelitian tentang fenomena sosial; (e) membuktikan kebenaran dengan memberikan makna yang jelas; (f) membimbing dan mempersempit rentangan (ruang lingkup) fakta sosial yang diteliti; (g) membantu sebagai alat analisis untuk proses penelitian; dan (h) menunjukkan elemen-elemen pengetahuan dan mengisinya dengan pengetahuan intuisi, pengetahuan yang mengesankan atau generalisasi secara luas. Ketiga, menurut Robert K. Merton, peranan teori dalam kaitannya dengan proses penelitian ilmu

sosial antara lain: 1. Teori membantu menjelaskan sejumlah kesalahpahaman terhadap konsep kehidupan sosial. Teori memberikan orientasi umum dalam proses penelitian. Teori membantu dalam hal seleksi kasus, fakta dan data (hal ini merupakan pandangan kaum positivis). Menurut Homans, peneliti seharusnya merasa bebas untuk tidak menerima tuntunan teoritis secara absolut atau mutlak, tetapi Homans tetap mengakui ada hubungan antara teori dan penelitian ilmiah (ini gambaran pandangan kaum interpretif). 2. Teori membantu dalam membangun konsep ilmu sosial. Konsep merupakan bagian penting dari teori; mereka menentukan bentuk dan isi variabel. Teori memberikan definisi konsep yang interpretif, sementara empirisme memberikan definisi operasional dari konsep. 3. Teori menyediakan interpretasi ilmu sosial post factum. Pertama kali data dikumpulkan dan kemudian dijadikan subjek dalam analisis interpretif. Proses ini lebih cenderung menjelaskan penemuan (deskriptif), dibandingkan dengan menguji hipotesis yang sudah dirancang sebelumnya. 4. Menyusun generalisasi empiris. Fungsi utama dari teori sosial dalam penelitian empiris (kuantitatif) adalah meringkas keseragaman yang diobservasi dari hubungan antar variabel dan mensintesakannya dengan referensi untuk membuat skema konseptual (penelitian menguji teori). Hal ini berbeda fungsi teori untuk penelitian kualitatif (penelitian untuk mengembangkan teori), yaitu teori sekedar sebagai pedoman awal dalam memahami fenomena sosial, berikutnya teori dikembangkan selama proses penelitian di lapangan, atau bahkan dalam penelitian kualitatif akan ditemukan teori baru. 5. Teori dapat mendorong lebih lanjut munculnya teori ilmu sosial berikutnya. Penelitian demi penelitian akan dapat merevisi, memodifikasi, menambah khasanah teori baru sampai merubah teori-teori sosial yang telah ada sebelumnya. 6. Teori memberikan sebuah sumber fertilisasi silang dari bidang-bidang yang berkaitan pada objek penelitian. Berdasarkan beberapa pandangan para ahli tentang hubungan antara teori dengan penelitian, akhirnya Francis Abraham (1982) menyimpulkan tentang kondisi saling mempengaruhi antara teori sosial dengan proses penelitian sosial sebagai berikut: 1. Sebuah sistem teoritis menganjurkan sejumlah masalah dan hipotesis yang perlu diteliti. Dalam proses penelitian, peneliti mungkin dapat menemukan variabel yang baru, relevan untuk pengujian teori atau pengembangan teori. 2. Teori dapat menuntun proses penelitian, menfasilitasi seleksi variabel kunci, membatasi ruang lingkup penelitian dengan menunjuk fakta-fakta signifikan dengan tepat. 3. Penelitian empiris dapat menguji, menvaliditasi atau tidak mengakui teori sebelumnya, karena telah ditemukan bukti-bukti baru. 4. Penelitian membantu membuat teori yang sama sekali baru, atau memodifikasi teori yang sudah ada. 5. Penelitian empiris membangun dan memperbaiki konsep-konsep ilmu sosial, bagian bangunan yang sangat penting dari teori ilmu sosial. 6. Teori memungkinkan sebuah penyajian yang efektif dari sebuah penemuan empiris. Teori membandingkan dan membedakan sebuah penemuan dari studi-studi yang terpisah dan meningkatkan arti penting mereka. Teori meningkatkan keefektifan penyelidikan tertentu. Fakta

akan berarti jika dijelaskan, diatur dalam kerangka sebuah teori. 7. Kondisi saling mempengaruhi antara teori sosial dan penelitian sosial adalah masalah menyeimbangkan antara kualitas dan kuantitas. Kuantitas dan kualitas adalah dua aspek kehidupan yang perlu diseimbangkan dalam pengkajian. 8. Penelitian empiris (kuantitatif) akan meningkatkan kekuatan memprediksi, ketepatan, validitas dan veriabilitas dari teori-teori ilmu sosial. Dengan penemuan dan perbaikan melalui penelitian dimungkinkan untuk mengembangkan masalah yang lebih tinggi tingkat kekuatan prediksinya. Kedelapan hal di atas lebih menunjukkan keterkaitan yang begitu kuat antara teori dengan proses penelitian, khususnya penelitian kuantitatif (perspektif etik atau orientasi positivis) dalam studi ilmu sosial. Sedangkan dalam perspektif emik (penelitian kualitatif), kedudukan dan peran teori sebagai orientasi (theoritical orientation) dalam memahami fenomena sosial budaya yang kompleks, dinamik dan serba ganda tetap dianggap penting, hanya posisinya tidak sama persis seperti kedudukan dan fungsi teori dalam pendekatan kuantitatif. Kenapa kedudukan dan fungsi teori dalam penelitian kualitatif tidak begitu sangat setral (abolut) ?, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1. Sifat realitas sosial-budaya adalah: diasumsikan ganda, rumit, semu, dinamis, dikonstruksi, holistik dan kebenaran realitas bersifat relatif. b. Realitas sosial budaya sangat ditentukan oleh peran manusia yang mempunyai karakter: aktif kreatif, punya kemauan bebas, perilaku ditentukan oleh kondisi jiwa dan pikirannya yang terus berkembang. c. Sifat hubungan realitas sosial-budaya adalah: semua entitas secara simultan saling mempengaruhi, sehingga tidak menekankan hubungan sebab akibat. d. Analisa terhadap fenomena sosial-budaya adalah: induktif, berkesinambungan dari awal hingga akhir, deskriptif kualitatif; e. Kriteria kualitas hasil penelitian adalah: bukan obyektivitas melainkan otentisitas dan relevansi dengan situasi alami. f. Posibilitas generalisasinya adalah bukan nomotheic statements dengan generalisasi statistik, tetapi ideographic statements dengan generalisasi analitis, dan g. Paradigma yang dianut bukan paradigma positivis, melainkan paradigma interpretif (interpretatif), yang memahami fenomena sosial-budaya secara nominalis, normatif dan voluntaristik (Moleong, 1990; Burrel-Morgan, 1979; Mulyana, 2002). Menurut para ahli, (Francis Abraham (1982); Ian Craib (1984); Tom Cambell (1994); Dedy Mulyana (2002); Christopher Lloyd (1983); Anthoni Giddens (1984, 1987) dan sebagainya, apabila kita mengkaji tentang beragam teori sosial, untuk kita jadikan sebagai theoritical orientasitions dalam proses penelitian ilmiah, hal-hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti antara lain: 1. Tidak ada teori ilmu sosial yang benar secara absolut, oleh karena itu kebenarannya masih ada

unsur relativitasnya. 2. Setiap teori ilmu sosial semestinya mengandung dimensi kognitif, dimensi afektif dan dimensi normatif (secara eksplisit dan emplisit harus mengandung beberapa asumsi mengenai bagaimana keadaan dunia yang sebenarnya). 3. Tidak ada teori yang sudah mencapai bentuk formula final, karena pengetahuan baru mengalami modifikasi setiap waktu. Oleh karena itu setiap teori yang muncul memungkinkan untuk merevisi atau menolak teori yang lama, begitu seterusnya, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. 4. Tidak ada teori yang mampu memahami fenomena sosial secara utuh, integral, menyeluruh, karena teori sering berkembang atas dasar salah satu aliran filosofis tertentu. 5. Semua teori tidak selalu dapat diaplikasikan pada setiap situasi dan kondisi (fenomena sosial). Peneliti sosial harus memilih teori mana yang sesuai dengan situasi dan kondisi khas fenomena sosial yang akan dikaji, tetapi peneliti sosial harus tetap belajar (tahu) akan beragam teori dalam studi ilmu sosial. 6. Suatu teori yang produktif harus memberikan saran dalam pemecahan problema potensial yanng terjadi di masyarakat, dan memberikan perspektif baru serta menjadi petunjuk untuk penelitian sosial budaya berikutnya. 7. Tidak ada teori ilmu pengetahuan (alam atau sosial) yang bisa menolak pengaruh nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan ekstra-ilmiah. Hal yang paling penting adalah setiap teori ilmu pengetahuan harus mampu menjelaskan fenomena alam atau sosial seobjektif mungkin dan bisa dipertanggungjawabkan secara rasional (akal sehat). 8. Posisi teori-teori ilmu sosial sebagai theoritical orientation, pada penelitian yang ber-perspektif etik, tidak sama persis dengan penelitian yang ber-perspektif emik. Hal ini disebabkan kedua pendekatan penelitian tersebut mempunyai perbedaan paradigma dan filsafat yang menjadi orientasi pikiran dan pandangan dalam melihat hakikat fenomena sosial-budaya. 9. Setiap teori ilmu sosial harus bersifat fleksibel, artinya harus selalu terbuka untuk diperbincangkan dengan berbagai argumentasi, dalam segala situasi dan perubahan terus menerus diberbagai aspek kehidupan. Berdasarkan uraian tersebut memberikan kepahaman bagi para peneliti ilmu sosial antara lain: 1. Dalam studi ilmu sosial akan dijumpai beragam paradigma, yang masing-masing paradigma mempunyai varian teori yang beragam pula. 2. Dalam melakukan analisis terhadap fenomena sosial-budaya, seorang peneliti harus mengkaji karakteristik fenomena sosial-budayanya, untuk kemudian dicarikan kesesuaiannya dengan ciri atau karakter orientasi teoritisnya. Misalnya, kondisi kehidupan masyarakat, dengan menampilkan realitas sosial penuh konflik, tentu akan lebih proporsional apabila masyarakat tersebut dianalisis dengan teori konflik atau teori varian konflik, dan kurang proporsional apabila menggunakan teori fungsional struktural (hal ini bukan berarti orientasi teori fungsional tidak bisa sama sekali digunakan untuk menganalisis realitas sosial konflik, namun lebih serasi apabila menggunakan teori konflik atau varian konflik). 3. Antara paradigma satu dengan yang lain tidak dalam posisi ada yang paling benar, atau paling utama dari yang lain, beragam paradigma tersebut akan tepat atau proporsional dipakai apabila situasi dan kondisi realitas sosialnya memang selaras dengan karakteristik paradigma tersebut. 4. Dalam memahami dan mengkaji teori sosial, kita harus menyakini bahwa teori lama tidak berada dalam posisi mencapai kebenaran absolut. Penemuan teori baru bisa berfungsi menyempurnakan

teori lama (akumulatif), tetapi bisa juga membongkar, merevolusi teori lama (Ritzer, 1980). H. Kesimpulan Uraian tentang hakikat filafat ilmu tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, bahwa dasar-dasar filsafat ilmu paling tidak menyangkut tentang: penalaran, logika, sumber pengetahuan; dan kriteria kebenaran. Hakikatnya tidak semua kegiatan berpikir (penalaran) manusia mendasarkan pada penalaran ilmiah (deduktif atau induktif). Ada juga kegiatan berpikir manusia berdasarkan intuisi dan wahyu. Secara umum ada dua macam logika, yaitu: logika formal atau logika deduktif atau logika minor, dan logika material atau logika induktif atau logika mayor. Sumber pengetahuan dapat berasal dari lima cara yaitu: cara tradisi (tenacity), cara otoritas atau kewenangan, cara pengalaman sehari-hari, baik secara individu atau kelompok; cara logika deduktif dan induktif; dan cara atau metode ilmu pengetahuan atau dikenal dengan metode ilmiah. Sedangkan kriteria kebenaran dalam filsafat ilmu antara lain menurut: Teori kebenaran korespondensi; Teori kebenaran koherensi; Teori kebenaran pragmatis; Teori kebenaran sintaksis; Teori kebenaran semanti; Teori kebenaran non-deskripsi; dan Teori kebenaran logik. Kedua. hakikat ilmu pengetahuan adalah: (a) science dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan terhadap beragam fenomena hidup, tidak dimulai dari kepastian absolut seperti dalam ajaran agama; (b) science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang gaib, melainkan berkaitan dengan datadata empirik; (c) penjelasan science bersifat detail, sistematis, objektif dan praktis tentang beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya maupun alam; (d) kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu tergantung pada hasil penelitian ilmiah berikutnya; (e) kebenaran science terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi siapapun untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada; dan (f) kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi filosofis yang dijadikan pedoman dalam pengembangan teori-teori science dan metode penelitiannya. Ketiga. hakikat ontologi ilmu, adalah hakikat apa yang dipelajari oleh suatu ilmu, atau hakikat objek kajian dari suatu ilmu, oleh karena itu bentuk-bentuk pertanyaan ontologis ilmu pengetahuan adalah: Hakikat apa (objek apa) yang dikaji?; bagaimana wujud yang hakiki dari objek ilmu tersebut?; dan bagaimana hubungan antar objekobjek suatu ilmu tersebut? dan sejenisnya. Ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami dalam mengkaji tentang ontologi (hakikat apa yang dikaji) dalam ilmu, antara lain: metafisika; asumsi; peluang; keterbatasan science; dan keterpaduan science-religious suatu keniscayaan. Keempat, hakikat epistemologi ilmu adalah membahas secara mendalam proses atau prosedur dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan adalah bersifat terbuka, objektif, logis dan menjunjung kebenaran atau kesahih-an (valid) data di atas segala-galanya. Pada aspek epistemologi inilah letak kegiatan dari penelitian ilmiah (scientific research), atau epistemologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Persoalan kunci atau utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Dan perlu dipahami hakikatnya ilmu itu mempunyai dua peranan yaitu: satu pihak sebagai metafisika, sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (educated common sense).

Kelima, hakikat aksiologi ilmu adalah membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan di masyarakat. Jadi, aspek aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan masyarakat. Maka aspek yang dikaji dalam aksiologi ilmu antara lain: fungsi ilmu pengetahuan (science); dan tanggung jawab ilmu terhadap kehidupan. Keenam, hubungan antara filsafat, ilmu, agama dan kehidupan sosial-budaya adalah bagaikan suatu sistem, yang satu dengan yang lain saling mengisi, dan saling memberikan arti atau makna tentang hakikat kehidupan manusia menuju keunggulan hidup di berbagai bidang. Jadi, Ilmu, filsafat, agama dan kehidupan tidak bisa dipisahkan. Namun perlu diingat antara ilmu, filsafat dan agama tetap mempunyai perbedaan mendasar, karena metode kerja ketiganya mempunyai karakteristik yang berbeda.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kimia merupakan ilmu yang termasuk rumpun IPA, oleh karenanya kimia mempunyai karakteristik sama dengan IPA. Karakteristik tersebut adalah objek ilmu kimia, cara memperoleh, serta kegunaannya. Kimia merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif). Kimia adalah ilmu yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat. Sebenarnya apa yang menjadi hakikat ilmu kimia itu sendiri? Oleh sebab itu, mata pelajaran kimia di SMA/MA mempelajari segala sesuatu tentang zat yang meliputi komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat yang melibatkan keterampilan dan penalaran. Ada dua hal yang berkaitan dengan kimia yang tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) temuan ilmuwan dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Oleh sebab itu, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk. pembelajaran kimia juga menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Bagaimanakah kedudukan ilmu kimia sebagai proses, produk dan sikap ilmiah? Pembelajaran kimia di SMA masih dianggap sulit oleh kebanyakan siswa, ini dikarena sifat ilmu kimia yang abstrak dan mempunyai konsep yang berjenjang. Unutuk mengatasi hal tersebut, guru kimia harus mempunyai strategi agar pembelajaran kimia dikelas menjadi mudah dimengerti oleh siswa. Ada banyak pendekatan, metode dan model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru yang dapat menunjang proses pembelajaran dikelas.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan ialah pendekatan pembelajaran kontekstual mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Selain dengan pendekatan kontekstual, ada berbagai macam model pembelajaran, metode pembelajaran, serta pendekatan pembelajaran yang cocok digunakan dalam pembelajaran kimia. Dari paparan diatas didapat sebuah permasalahan yaitu apakah yang menjadi hakikat pembelajaran kimia? B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas adalah: 1. Apa yang dimaksud dengan hakikat kimia? 2. Bagaimanakah kedudukan kimia sebagai proses, produk dan sikap ilmiah? 3. Apa yang menjadi hakikat pembelajaran kimia? C. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan dari makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hakikat kimia. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan kimia sebagai proses, produk dan sikap ilmiah. 3. Untuk mengetahui apa yang menjadi hakikat pembelajaran kimia.

BAB II HAKIKAT KIMIA

A. Pendahuluan Nama ilmu kimia berasal dari bahasa Arab, yaitu al-kimia yang artinya perubahan materi, oleh ilmuwan Arab Jabir ibn Hayyan (tahun 700-778). Ini berarti, ilmu kimia secara singkat dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari rekayasa materi, yaitu mengubah materi menjadi materi lain. Secara lengkapnya, ilmu kimia adalah ilmu mempelajari tentang

susunan, struktur, sifat, perubahan serta energi yang menyertai perubahan suatu zat atau materi. Zat atau materi itu sendiri adalah segala sesuatu yang menempati ruang dan mempunyai massa. Susunan materi mencakup komponen-komponen pembentuk materi dan perbandingan tiap komponen tersebut. Struktur materi mencakup struktur partikel-partikel penyusun suatu materi atau menggambarkan bagaimana atom-atom penyusun materi tersebut saling berikatan. Sifat materi mencakup sifat fisis (wujud dan penampilan) dan sifat kimia. Sifat suatu materi dipengaruhi oleh : susunan dan struktur dari materi tersebut. Perubahan materi meliputi perubahan fisis/fisika (wujud) dan perubahan kimia (menghasilkan zat baru). Energi yang menyertai perubahan materi menyangkut banyaknya energi yang menyertai sejumlah materi dan asal-usul energi itu. Berfikir radikal merupakan awal lahirnya kimia. Dahulu, ilmuwan menganggap secara radikal atau bebas tentang definisi atom dan model atom. Pikiran radikal diperoleh dari dari kemauan dan kemampuan suatu otak untuk memikirkan sesuatu yang abstrak ataupun empriris. Cara berpikir radikal ini, mempunyai manfaat yang besar dalam perkembangan dunia kimia. Salah satu mendorong ilmuwan untuk melakukan perenungan berpikir untuk menemukan kelanjutan dari pikiran radikalnya. Banyak sekali muncul teori-teori tentang atom yang yang diawali oleh berfikir yang pokok atau fundamental dari fenomena dasar mengenai penyusun suatu materi.

Hakekat ilmu kimia adalah bahwa benda itu bisa mengalami perubahan bentuk, maupun susunan partikelnya menjadi bentuk yang lain sehingga terjadi deformasi, perubahan letak susunan, ini mempengaruhi sifat-sifat yang berbeda dengan wujud yang semula. Fakta yang terdapat di alam mempunyai banyak hubungan dengan ilmu kimia. Dari ciri pemikiran filsafat yang telah dipelajari mempunyai arti besar dalam menumbuhkan sikap kritis terhadap suatu fakta. Sikap kritis ini merangsang otak untuk mengajukan berbagi pertanyaan terhadap fenomena yang ada. Sebagai contoh ; fakta kimia yaitu larutan elektrolit dan non-elektrolit. Dari sikap kritis muncul pertanyaan ; apa yang menyebabkan larutan elektrolit dapat menghantarkan arus listrik dan apa yang menyebabkan larutan non-elektrolit

tidak dapat menghantarkan arus listrik, bagaimana ciri-ciri larutan elektrolit dan nonelektrolit, dan lain-lain. Ilmu kimia diperlukan dan terlibat dalam kegiatan industri dan perdagangan, kesehatan, dan berbagai bidang lain. Kedepan, Ilmu Kimia sangat berperan dalam penemuan dan pengembangan material dan sumber energi baru yang lebih bermanfaat, bernilai ekonomis tinggi, dan lebih ramah lingkungan. B. Konsep Kimia Setelah kita tahu apa Pengertian Kimia, banyak hal menarik yang bisa kita pelajari lebih mengenai Ilmu Kimia. Konsep Dasar Kimia merupakan salah satu hal penting yang wajib kita tahu, kalo kita pengen tahu lebih banyak tentang Kimia. Konsep Dasar Kimia merupakan kumpulan beberapa hal penting yang akan dipelajari atau dibahas dalam Ilmu Kimia. Beberapa hal yang termasuk dalam Konsep Dasar Kimia, antara lain adalah : Tatanama Tatanama kimia merujuk pada sistem penamaan senyawa kimia. Telah dibuat sistem penamaan spesies kimia yang terdefinisi dengan baik. Senyawa organik diberi nama menurut sistem tatanama organik. Senyawa anorganik dinamai menurut sistem tatanama anorganik.

Atom Atom adalah suatu kumpulan materi yang terdiri atas inti yang bermuatan positif, yang biasanya mengandung proton dan neutron, dan beberapa elektron di sekitarnya yang mengimbangi muatan positif inti. Atom juga merupakan satuan terkecil yang dapat diuraikan dari suatu unsur dan masih mempertahankan sifatnya, terbentuk dari inti yang rapat dan bermuatan positif dikelilingi oleh suatu sistem elektron. Unsur Unsur adalah sekelompok atom yang memiliki jumlah proton yang sama pada intinya. Jumlah ini disebut sebagai nomor atom unsur. Sebagai contoh, atom yang memiliki 6 proton pada intinya adalah atom dari unsur karbon, dan semua atom yang memiliki 92 proton pada intinya adalah atom unsur uranium. Semua unsur kimia yang telah ditemukan dapat dilihat pada tabel periodik unsur, yang mengelompokkan unsur-unsur berdasarkan kemiripan sifat kimianya. Daftar unsur berdasarkan nama, lambang, dan nomor atom dan nomor massa juga tersedia.

Ion Ion atau spesies bermuatan, atau suatu atom atau molekul yang kehilangan atau mendapatkan satu atau lebih elektron. Kation bermuatan positif (misalnya kation natrium Na+) dan anion bermuatan negatif (misalnya klorida Cl-) dapat membentuk garam netral (misalnya natrium klorida, NaCl). Senyawa Senyawa merupakan suatu zat yang dibentuk oleh dua atau lebih unsur dengan perbandingan tetap yang menentukan susunannya. Sebagia contoh, air merupakan senyawa yang mengandung hidrogen dan oksigen dengan perbandingan dua terhadap satu. Senyawa dibentuk dan diuraikan oleh reaksi kimia. Molekul Molekul adalah bagian terkecil dan tidak terpecah dari suatu senyawa kimia murni yang masih mempertahankan sifat kimia dan fisik yang unik. Suatu molekul terdiri dari dua atau lebih atom yang terikat satu sama lain. Contoh molekul adalah H2O yang dalam kehidupan sehari-hari dikenal dengan air.

Zat Kimia Suatu zat kimia dapat berupa suatu unsur, senyawa, atau campuran senyawa-senyawa, unsur-unsur, atau senyawa dan unsur. Sebagian besar materi yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu bentuk campuran, misalnya air, aloy, biomassa, dan lain-lain. Ikatan Kimia Ikatan kimia merupakan gaya yang menahan berkumpulnya atom-atom dalam molekul atau kristal. Ikatan kimia yang umum adalah ikatan ion, ikatan kovalen dan ikatan kovalen koordinasi. Pada banyak senyawa sederhana, teori ikatan valensi dan konsep bilangan oksidasi dapat digunakan untuk menduga struktur molekular dan susunannya. Serupa dengan ini, teori-teori dari fisika klasik dapat digunakan untuk menduga banyak dari struktur ionik. Pada senyawa yang lebih kompleks/rumit, seperti kompleks logam, teori ikatan valensi tidak dapat digunakan karena membutuhken pemahaman yang lebih dalam dengan basis mekanika kuantum. Wujud Zat

Fase adalah kumpulan keadaan sebuah sistem fisik makroskopis yang relatif serbasama baik itu komposisi kimianya maupun sifat-sifat fisikanya (misalnya masa jenis, struktur kristal, indeks refraksi, dan lain sebagainya). Contoh keadaan fase yang kita kenal adalah padatan, cair, dan gas. Reaksi Kimia Reaksi kimia adalah transformasi/perubahan dalam struktur molekul. Reaksi ini bisa menghasilkan penggabungan molekul membentuk molekul yang lebih besar, pembelahan molekul menjadi dua atau lebih molekul yang lebih kecil, atau penataulangan atom-atom dalam molekul. Reaksi kimia selalu melibatkan terbentuk atau terputusnya ikatan kimia. C. Karakteristik Kimia Karakteristik mungkin bisa diartikan sebagai suatu sifat yang khas, yang melekat pada suatu objek. Sedangkan karakter adalah sifat yang dijadiin ciri untuk mengidentifikasikan sebuah objek. Wiseman (1981) mengemukakan bahwa ilmu kimia merupakan salah satu pelajaran tersulit bagi kebanyakan siswa menengah. Kesulitan mempelajari ilmu kimia ini terkait dengan ciri-ciri ilmu kimia itu sendiri yang disebutkan oleh Kean dan Middlecamp (1985) sebagai berikut: 1. Ilmu kimia bersifat abstrak Atom, molekul, dan ion merupakan materi dasar kimia yang tidak nampak, yang menurut siswa membayangkan keberadaan materi tersebut tanpa mengalaminya secara langsung. Karena atom merupakan pusat kegiatan kimia, maka walaupun kita tidak dapat melihat atom secara langsung, tetapi dalam angan-angan kita dapat membentuk suatu gambar untuk mewakili sebuah atom oksigen kita gambarkan secara bulatan. 2. Ilmu kimia merupakan penyederhanaan dari yang sebenarnya Kebanyakan obyek yang ada di dunia ini merupakan campuran zat-zat kimia yang kompleks dan rumit. Agar segala sesuatunya mudah dipelajari, maka pelajaran kimia dimulai dari gambaran yang disederhanakan, di mana zat-zat dianggap murni atau hanya mengandung dua atau tiga zat saja. Dalam penyederhanaanya diperlukan pemikiran dan pendekatan tertentu agar siswa tidak mengalami salah konsep dalam menerima materi yang diajarkan tersebut. 3. Sifat ilmu kimia berurutan dan berkembang dengan cepat

Seringkali topik-topik kimia harus dipelajari dengan urutan tertentu. Misalnya, kita tidak dapat menggabungkan atom-atom untuk membentuk molekul, jika atom dan karakteristiknya tidak dipelajari terlebih dahulu. Disamping itu, perkembangan ilmu kimia sangat cepat, seperti pada bidang biokimia yang menyelidiki tentang rekayasa genetika, kloning, dan sebagainya. Hal ini menuntut kita semua untuk lebih cepat tanggap dan selektif dalam menerima semua kunjungan tersebut. 4. Ilmu kimia tidak hanya sekedar memecahkan soal-soal Memecahkan soal-soal yang terdiri dari angka-angka (soal numerik) merupakan bagian yang penting dalam mempelajari kimia. Namun, kita juga harus mempelajari deskripsi seperti fakta-fakta kimia, aturan-aturan kimia, peristilahan kimia, dan lain-lain.

5. Bahan/materi yang dipelajari dalam ilmu kimia sangat banyak Dengan banyaknya bahan yang harus dipelajari, siswa dituntut untuk dapat merencanakan belajarnya dengan baik, sehingga waktu yang tersedia dapat digunakan seefisien mungkin. Arifin (1995) mengemukakan bahwa ilmu kimia merupakan salah satu pelajaran tersulit bagi kebanyakan siswa menengah, sehingga jarang diminati. Hal ini disebabkan :1). Dalam pelajaran kimia terdapat istilah-istilah yang hanya dihafal siswa tetapi tidak dipahami dengan benar ; 2). Kebanyakan konsep-konsep atau materi kimia bersifat abstrak seperti atom, molekul atau ion sehingga siswa sulit membayangkan keberadaan materi tersebut tanpa mengalaminya secara langsung ; 3). Kesulitan siswa dalam memahami perhitungan matematis materi kimia. D. Karakteristik Belajar Kimia Banyak para ahli yang mengemukakan pendapat mengenai belajar. Menurut Hilgard seperti yang dikutip oleh Wina Sanjaya (2005:89) belajar adalah perubahan melalui kegiatan baik latihan di laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah. Menurut S.Nasution MA (1982:62) belajar adalah sebagai perubahan kelakuan, pengalaman dan latihan. Jadi belajar membawa perubahan pada diri individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai sejumlah pengalaman, pengetahuan melainkan juga membentuk kebiasaan, sikap, pengertian, minat, penyesuaian diri, dalam hal ini meliputi segala aspek organisasi atau pribadi individu yang belajar.

Dari beberapa pengertian belajar di atas dapat disimpulkan belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku manusia setelah mengalami kegiatan belajar. Perubahan tersebut ditampakan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, daya pikir dan lain-lain. Hal ini berarti bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang di berbagai bidang. Dalam proses belajar, apabila seseorang tidak mendapatkan kualitas dan kuantitas kemampuan, maka orang tersebut belum mengalami proses belajar atau dengan kata lain ia mengalami kegagalan dalam proses belajar. Ilmu kimia adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fakta atau gejala-gejala alam yang dapat kita amati dengan panca indera. Belajar kimia bersifat kontekstual atau berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Pada umumnya siswa belajar kimia terjebak pada rumus-rumus kimia dan tidak mengerti tentang hakekat dari rumus kimia. Rumus kimia merupakan gambaran dari kenyataan dari zat-zat kimia yang ada di alam, digambarkan dalam bentuk rumus kimia agar kita dapat mempelajari dengan baik. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam belajar kimia adalah perbedaan antara fakta, konsep, prinsip dan hukum. Misalnya jika kita mereaksikan suatu zat maka gejala yang diamati seperti perubahan warna, terjadinya gas, terbentuknya endapan merupakan sebuah fakta. Zat kimia dapat bereaksi kerena terjadinya pemutusan dan pembentukan ikatan kimia antara atom-atom merupakan sebuah konsep, sedangkan prinsip reaksi kimia digambarkan dalam persamaan reaksi. Bagaimana cara kita agar dapat memahami konsep kimia dengan baik, kita harus pahami bahwa dalam pelajaran kimia tidak ada rumus, tetapi pemahaman konsep. Misalnya: konsep mol didasarkan pada pengertian hubungan mol dengan jumlah partikel, massa molar dan volume molar. Untuk dapat belajar kimia hal-hal yang perlu diperhatikan : 1. Siswa mengetahui ciri atau karakteristik dari pelajaran kimia. 2. Siswa dapat membedakan antara fakta, konsep, prinsip dan hukum yang berlaku pada ilmu kimia. 3. Siswa mengetahui hubungan antara fakta, konsep dan prinsip yang berlaku pada ilmu kimia.

4. Belajar kimia tidak terjebak pada rumus tetapi mengetahui konsep yang terdapat pada rumusrumus tersebut. 5. Hilangkan anggapan bahwa ilmu kimia merupakan sesuatu yang menakutkan.

Karakteristik Materi Kimia Dan Pengajaran Kimia Mata pelajaran kimia mengembangkan deskripsi tentang materi, khususnya perubahannya menjadi benda lain (Transformation of matter) secara permanen. Adapun karakteristik materi kimia yaitu : 1. Ilmu kimia termasuk ilmu pengetahuan alam, sehingga pada pembelajarannya diperlukan contoh-contoh objek nyata yang ada di alam dan dekat. 2. Ilmu kimia dibangun dengan metode ilmiah yang terdiri dari tahapan proses-proses ilmiah untuk mendapatkan produk ilmiah (konsep, prinsip, aturan dan hukum). 3. Sebagian besar bahan kajian kimia bersifat abstrak oleh sebab itu dalam proses

pembelajarannya guru harus bisa mengkonstruksi model-model atau analogi-analogi yang tepat sehingga ilmu kimia mudah diterima oleh siswa. 4. Ilmu kimia mengkaji pula soal hitungan, namun hitungan dalam ilmu kimia tidak hanya sekedar memecahkan soal-soal yang terdiri dari angka-angka, tetapi soal tersebut berkaitan dengan fakta, aturan, dan hukum dalam ilmu kimia sehingga untuk menyelesaikannya pun perlu fakta, aturan dan hukum-hukum tersebut. 5. Konsep-konsep ilmu kimia dipelajari dengan urutan tertentu, mulai yang paling sederhana atau mendasar sampai pada yang kompleks. Dengan demikian, maka pembelajaran kimia diperlukan prasyarat pengetahuan yang berhubungan dengan konsep yang akan dibahas sehingga siswa mengetahui kaitan konsep terdahulu dengan konsep yang akan dipelajari.

BAB III KEDUDUKAN KIMIA SEBAGAI PROSES, PRODUK DAN SIKAP ILMIAH

A. Pendahuluan Kimia termasuk salah satu rumpun mata pelajaran IPA SMA yang dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Selain itu, kimia dipandang pula sebagai proses, sebagai produk, dan sebagai prosedur. Kimia merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif). Ilmu kimia merupakan produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, teori, prinsip, hukum) temuan saintis dan proses (kerja ilmiah). Ilmu kimia termasuk dalam ilmu sains yang merupakan aktivitas penelusuran untuk mencapai pengertian dan jawaban yang memuaskan tentang beberapa realita, dimana pengertian itu diperoleh dengan cara mempelajarai prinsipprinsip dan hukum-hukum yang berlaku yang dapat diuji dengan eksperimen. Mempelajari sains melibatkan penggalian fakta-fakta melalui observasi, pengukuran, klasifikasi dan penggorganisasian faktafakta yang diperoleh tersebut. Cain, Sandra (1990: 4) menyatakan bahwa sains (IPA) terdiri dan empat komponen antara lain: sains sebagai produk, sains sebagai proses, sains sebagai sikap, dan sains sebagai teknologi. Bridgstock Martin (1998: 6) menyebutkan, Concise Oxford Dictionary

mendefinisikan sains sebagai pengetahuan yang sistematis dan teroganisasi. Definisi tersebut di atas dapat diartikan sebagai pengetahuan yang diperoleh, disusun dengan cara melakukan observasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi, observasi dan demikian seterusnya saling kait-mengait antara yang satu dengan cara yang lain. Sains berkiatan dengan bukti dan teori. Bukti-bukti diperoleh dari eksperimen. Untuk menjelaskan bukti-bukti, teori-teori dikemukakan kemudian diuji untuk melihat kebenaran teori sesuai dengan pengamatan. Hubungan yang pasti antara teori dan bukti adalah sangat kompleks, dan pada taraf ini kita mencatat bahwa sains melibatkan kedua-duanya. Rideng (1996:4) menyebutkan bahwa, sains adalah merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar yang diperoleh dari pengamatan melalui serangkaian proses ilmiah antara lain penyelidikan, penyusunan dan pengujian gagasan-gagasan. Dari definisi tersebut, sains pada dasarnya

terdiri atas dua komponen yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, yaitu proses dan produk. Pembelajaran kimia menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. B. Kimia sebagai Proses Ilmu Pengetahuan Alam (Kimia) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA (Kimia) bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kimia sebagai suatu proses (alat atau metode) merupakan keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan. Sebagai proses dapat diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan maupun untuk menemukan pengetahuan baru. Proses pembelajaran kimia menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Salah satu tujuan mata pelajaran Kimia dicapai oleh peserta didik melalui berbagai pendekatan, antara lain pendekatan induktif dalam bentuk proses inkuiri ilmiah pada tataran inkuiri terbuka. Proses inkuiri ilmiah bertujuan menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup.

Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau eksperimen, dimana peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengolahan dan penafsiran data, serta menyampaikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis, merupakan proses ilmiah yang harus dilakukan untuk memperoleh suatu pengetahuan yang baru bagi peserta didik. Kimia sebagai proses mengandung pengertian cara berpikir dan bertindak untuk menghadapi atau merespons masalah-masalah yang ada di lingkungan. Jadi, kimia sebagai proses menyangkut proses atau cara kerja untuk memperoleh hasil (produk) inilah yang kemudian dikenal sebagai proses ilmiah. Melalui proses-proses ilmiah akan didapatkan

temuan-temuan ilmiah. Ditinjau dari segi proses, maka kimia memiliki berbagai keterampilan sains, misalnya: a. b. c. Mengidentifikasi dan menentukan variabel tetap dan variabel berubah. Menentukan apa yang diukur dan diamati, Keterampilan mengamati menggunakan sebanyak mungkin indera (tidak hanya indera penglihat), mengumpulkan fakta yang relevan, mencari kesamaan dan perbedaan, mengklasifikasikan, d. Keterampilan dalam menafsirkan hasil pengamatan seperti mencatat secara terpisah setiap jenis pengamatan, dan dapat menghubung-hubungkan hasil pengamatan. e. Keterampilan menemukan suatu pola dalam seri pengamatan, dan keterampilan dalam mencari kesimpulan hasil pengamatan, f. Keterampilan dalam meramalkan apa yang akan terjadi berdasarkan hasil-hasil pengamatan, dan g. Keterampilan menggunakan alat/bahan dan mengapa alat/bahan itu digunakan. Selain itu adalah keterampilan dalam menerapkan konsep, baik penerapan konsep dalam situasi baru, menggunakan konsep dalam pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi, maupun dalam menyusun hipotesis.

Keterampilan IPA juga menyangkut keterampilan dalam berkomunikasi seperti: a. Keterampilan menyusun laporan secara sistematis,

b. Menjelaskan hasil percobaan atau pengamatan, c. Cara mendiskusikan hasil percobaan,

d. Cara membaca grafik atau tabel, dan e. Keterampilan mengajukan pertanyaan, baik bertanya apa, mengapa dan bagaimana, maupun bertanya untuk meminta penjelasan serta keterampilan mengajukan pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis. Jika aspek-aspek proses ilmiah tersebut disusun dalam suatu urutan tertentu dan digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi, maka rangkaian proses ilmiah itu menurut Towle (1989) menjadi suatu metode ilmiah.

Contoh kimia sebagai proses dalam pembelajaran adalah peserta didik melakukan eksperimen tentang larutan elektrolit dan larutan non-elektrolit. Peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan melalui pemasangan alat uji elektrolit, persiapan bahan, melakukan eksperimen, kemudian dilakukan pengambilan data, lalu data yang telah diperoleh tadi diolahan dan dilakukan penafsiran data untuk memperoleh kesimpulan. Kemudian peserta didik menyampaikan hasil percobaan secara lisan atau tertulis. Ini merupakan contoh dari proses kimia untuk mendapatkan pengetahuan yang baru. C. Kimia sebagai Produk Kimia sebagai produk sains merupakan fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum, konsep, dan teori-teori yang diformulasikan sedemikian rupa sehingga membentuk suatu sistematika. Sebagai produk juga dapat diartikan sebagai hasil proses berupa pengetahuan untuk penyebaran pengetahuan. Semua fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum, dan teori-teori dalam kimia merupakan produk sains yang telah ditemukan oleh para ahli melalui bebagai macam proses sains.

Fakta-fakta dalam kimia contohnya seperti larutan NaCl dapat menghantarkan arus lisrik, fakta ini diperoleh melalui hasil percobaan yang telah dilakukan. Para ilmuan mencari tahu kenapa larutan NaCl dapat menghasilkan arus listrik, setelah diselidiki ternyata NaCl dapat terionisasi dalam air menjadi ion-ionnya, sehingga dapat menghatarkan arus listrik. Hukum-hukum kimia meliputi hukum dasar kimia yang memuat hukum kekekalan massa (Hukum Lavoisier), hukum perbandingan tetap (Hukum Proust), hukum kelipatan perbandingan (Hukum Dalton), hukum perbandingan volume (Hukum Gay Lussac) dan lain sebagainya. Teori teori dalam kimia meliputi teori atom yang berkembang dari teori atom demokritus hingga teori atom mekanika kuantum merupakan produk yang lahir dari proses berpikir secara ilmiah, teori yang lain seperti teori asam-basa dimulai dari teori asam-basa Arrhenius, teori asam-basa Bronsted-Lowry, teori asam-basa Lewis dan lain-lain.

D. Kimia sebagai Sikap Ilmiah

Tujuan mata pelajaran Kimia dicapai oleh peserta didik melalui berbagai pendekatan, antara lain pendekatan induktif dalam bentuk proses inkuiri ilmiah pada tataran inkuiri terbuka. Proses inkuiri ilmiah bertujuan menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran kimia menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Sikap ilmiah menurut beberapa ahli: Menurut Carin dan Sund Sikap ilmiah mencakup sikap : ingin tahu, kerendahan hati, ragu terhadap sesuatu, tekad untuk maju, dan berpikir terbuka. Sikap ilmiah mengandung dua makna (Harlen, 1989), yaitu attitude toward science dan attitude of science. Sikap yang pertama mengacu pada sikap terhadap sains sedangkan sikap yang kedua mengacu pada sikap yang melekat setelah

mempelajari sains. Jika seseorang memiliki sikap tertentu, orang itu cenderung

berperilaku

secara konsisten pada setiap keadaan. Dari pandangan Harlen di atas, sikap ilmiah dikelompokkan menjadi dua yaitu; 1. Seperangkat sikap yang menekankan sikap tertentu terhadap sainssebagai suatu cara memand ang dunia serta dapat berguna bagi pengembangan karir di masa datang. 2. Seperangkat sikap yang jika diikuti akan membantu proses pemecahan masalah. Gega (Patta Bundu, 2006: 140) mengatakan aspek-aspek sikap ilmiah mencakup: sikap

ingin tahu, sikap penemuan, sikap berpikir kritis, dan sikap teguh pendirian. American Association for Advancement of Science (Patta Bundu, 2006: 140) memberikan penekanan pada empat sikap ilmiah yaitu: sikap jujur, sikap ingin tahu, berpikir terbuka, dan sikap keragu-raguan. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap yang melekat dalam diri seseorang setelah mempelajari sains yang mencakup: 1. Sikap ingin tahu Aspek sikap ingin tahu meliputi antusias mencari jawaban, perhatian pada

objek yang diamati, antusias pada proses sains, dan menanyakan setiap langkah kegiatan.

2. Sikap respek terhadap data/fakta Aspek sikap respek terhadap data/fakta meliputi objektif/jujur, tidak buruk sangka, mengambil keputusan sesuai fakta, dan tidak mencampur fakta dan pendapat. 3. Sikap berpikir kritis Aspek sikap berpikir kritis meliputi meragukan temuan orang lain, menanyakan setiap perubahan atau hal baru, mengulangi kegiatan yang dilakukan, dan tidak mengabaikan data meskipun kecil.

4. Sikap penemuan dan kreativitas Aspek sikap penemuan dan kreativitas meliputi menggunakan fakta-fakta untuk dasar kesimpulan, menunjukkan laporan berbeda dengan orang lain, merubah pendapat dalam merespon terhadap fakta, menyarankan percobaan-percobaan baru, dan menguraiakan kesimpulan baru hasil pengamatan. 5. Sikap berpikiran terbuka dan kerjasama Aspek sikap berpikiran terbuka dan kerjasama meliputi menghargai pendapat temuan orang lain, mau merubah pendapat jika data kurang tepat, menerima saran dari orang lain, tidak merasa selalu benar, mengaggap setiap kesimpulan adalah tentative dan berpartisipasi aktif dalam kelompok. 6. Sikap ketekunan Aspek sikap ketekunan meliputi melanjutkan kebiasaan meneliti atau melakukan percobaan, mengulangi percobaan meskipun berakibat kegagalan, dan melanjutkan suatu kegiatan meskipun orang lain selesai lebih awal. 7. Sikap peka terhadap lingkungan sekitar. Aspek sikap peka terhadap lingkungan sekitar meliputi perhatian terhadap peristiwa sekitar, partisipasi pada kegiatan social, menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan.

BAB IV HAKIKAT PEMBELAJARAN KIMIA A. Pendahuluan Ilmu kimia merupakan ilmu yang sifatnya abstrak yang mempunyai konsep-konsep berjenjang. Maksud dari konsep yang berjenjang disini ialah dari konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih kompleks. Oleh karena itu tidak jarang ditemukan kesulitan untuk memahami konsep yang berjenjang tersebut. Untuk memahami konsep secara utuh, konsep yang sederhana harus dimengerti dahulu, kemudian memahami konsep yang kompleksnya. Jika salah satu konsep tidak dimengerti maka akan berpengaruh terhadap konsep yang lainnya. Inilah yang menyebabkan pelajaran kimia masih dianggap sebagai pelajaran sulit oleh siswa. Dengan demikian, ilmu kimia dapat dipahami jika konsep-konsepnya telah dimengerti secara utuh.

Pada dasaranya dalam bidang studi kimia yang dipelajari adalah materi dan perubahannya. Semua konsep yang ada dalam kimia bersifat abstrak , selian itu juga konsep kimia merupakan konsep yang berjenjenjang, yaitu dari konsep yang sederhana ke konsep yang lebih kompleks. Banyak siswa yang mengatakan bahwa kimia itu sulit, dan rumit itu dikarenakan konsep kimia yang sifatnya abstrak. Dalam pembelajaran kimia, ada banyak halhal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Untuk mempermudah siswa belajar kimia, salah satu caranya yaitu dengan menghubungkan pelajaran kimia itu dengan kehidupan sehari-hari sehingga akan terasa manfaatnya bagi siswa dan bagi guru. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual mempraktikkan konsep belajar yang

mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa secara bersamasama membentuk suatu sistem yang memungkinkan mereka melihat makna di dalamnya. Pembelajaran Kontekstual mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang melalui pencarian hubungan masuk akal dan bermanfaat. Melalui pemaduan materi yang dipelajari dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam. Siswa akan

mampu menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapinya dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Misalnya dengan mempelajari kimia siswa diharapkan dapat membangun pengetahuannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di sekolah. Contonya ketika siswa belajar tentang bahan additive pada makanan dan minuman, siswa menjadi tau bahaya penggunaa bahan additive yang berlebihan, yang tidak aman dikonsumsi dan lain-lain sehingga mereka akan lebih berhati-hati atau tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan additive itu. Selain dengan pendekatan kontekstual, ada berbagai macam model pembelajaran, metode pembelajaran, serta pendekatan pembelajaran yang cocok digunakan dalam pembelajaran kimia. Semua ini dilakukan agar siswa menjadi senang, semangat dan membuat mereka menjadi lebih mudah dalam memahami kimia. B. Teori Belajar dan Pembelajaran Aliran Behavioristik Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan peserta didik sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Ciri dari teori belajar behaviorisme adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar. Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Teori Belajar Thorndike Menurut Thorndike (1911), belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang

mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respon ( yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh

berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bias diamati). Teori Thorndike disebut sebagai aliran koneksionis (connectionism). Menurut teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organisme jika dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara membabi buta. Jika dalam usaha mencoba itu kemudian secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan yang cocok itu kemudian dipegangnya. Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang cocok itu makin lama makin efisien. Jadi, proses belajar menurut Thorndike melalui proses: 1). Trial and error (mencoba-coba dan mengalami kegagalan), dan 2). Law of effect, yang berarti bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaikbaknya.

Teori Belajar Menurut Watson Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon,

namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri

seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Teori Belajar Clark Hull Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanya Incentive motivation (motivasi insentif) dan Drive reduction (pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila besarnya hadiah (revaro) berubah. Edwin Guthrie Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulusstimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Skinner Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkn teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensikonsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku. Prinsip belajar Skinner adalah : 1. Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.

2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul. 3. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman. 4. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer. 5. Dalam pembelajaran digunakan shapping (pembentukan). Aplikasi teori belajar behaviorisme dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Peserta didik diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya. ALIRAN KOGNITIF Menurut konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana pebelajar membangun sendiri pengetahuannya, pelajar mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, dan pelajar sendinlah yang bertanggung jawa atas hasil belajarnya. a. Belajar Menurut Piaget Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni 1). Asimilasi, 2). Akomodasi, dan 3). Equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuain berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. b. Ausubel

Ausubel mengemukakan belajar merupakan belajar bermakna bukan belajar mengahapal. Ausubel percaya bahwa advance organizer dapat memberikan tiga manfaat: Pertama, dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa. Kedua, dapat berfungsi sebagai jembatan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa, sedemikian rupa. Ketiga, sehingga mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah. c. Bruner Menurut pandangan Brunner (1964) bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat preskriptif. Misalnya, teori penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara mengajarkan penjumlahan. ALIRAN HUMANISTIK a. Bloon dan Krathowl Dalam hal ini, Bloom dan Krathowl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan berikut; 1. Kognitif, terdiri dari enam tingkatan, yaitu: Pengetahuan (mengingat, menghafal) Pemahaman(menginterprestasikan) Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah) Analisis (menjabarkan suatu konsep) Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh) Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya)

2. Psikomotor, terdiri dari lima tingkatan, yaitu: Peniruan (menirukan gerak). Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak). Ketepatan (melakukan gerak dengan benar). Perangkaian (beberapa gerakan sekaligus dengan benar). Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).

3. Afektif, terdiri dari lima tingkatan; Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu) Merespons (aktif berpartisipasi) Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai nilai tertentu)

Pengorganisasisan (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai) Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagi bagian dari pola hidup).

b. Kolb Sementara itu, seorang ahli yang bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu; Pengalaman konkret Pengamatan aktif dan reflektif Konseptualisasi Ekperimen aktif Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut. Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya. Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau teori tentang suatu hal yang diamatinya. Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum kesituasi yang baru.

c.

Honey dan Mumford Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka ada empat macam atau tipe siswa, yaitu;

Aktivis Reflecton Teoris, dan Pragmatis

d. Habermas Ahli psikologi lain adalah Habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu; Belajar teknis (technical learning)

Belajar praktis (practical learning) Belajar emansipatoris (emancipatory learning). ALIRAN SIBERNETIK

a.

Landa Landa merupakan salah seorang ahli psikologi yang beraliran sibernetik. Menurut Landa, ada dua macam proses berfikir. Pertama, disebut proses berfikir algoritmik, yaitu berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke suatu target tertentu. Jenis kedua, adalah cara berpikir heuristic, yakni cara berpikir divergen, menuju ke beberapa target sekaligus.

b. Pask dan Scott Ahli lain adalah pemikirannya beraliran sibernetik adalah pask dan Scott. Pendekatan serialis yang diusulkan oleh Pask dan Scott sama dengan pendekatan algoritmik. Namun, cara berpikir menyeluruh (wholoist) tidak sama dengan heuristik. Cara berpikir menyeluruh adalah berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detail-detail yang kita amati lebih dahulu, tetapi seluruh lukisan itu sekaligus, baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih kecil. C. Pembelajaran Induktif dan Deduktif Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif. 1. Pendekatan Induktif Pendekatan ini dikembangkan oleh filosof Perancis Bacon yang menghendaki penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta yang kongkrit sebanyak mungkin. Semakin banyak fakta semakin mendukung hasil simpulan. Strategi induktif, pada strategi ini bahan yang dipelajari dimulai dari hal-hal yang konkrit atau contoh-contoh yang kemudian secara perlahan siswa dihadapkan pada materi yang kompleks dan sukar. Strategi ini kerap dinamakan strategi pembelajaran dari khusus ke umum. Strategi pembelajaran induktif adalah sebuah pembelajaran yang bersifat langsung tapi sangat efektif untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan keterampilan berpikir kritis. Pada strategi pembelajaran induktif guru langsung memberikan presentasi informasi-informasi yang akan memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang

topik yang akan dipelajari siswa, selanjutnya guru membimbing siswa untuk menemukan pola-pola tertentu dari ilustrasi-ilustrasi yang telah diberikan. Pada strategi pembelajaran induktif guru langsung memberikan presentasi informasiinformasi yang akan memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang topik yang akan dipelajari siswa, sehingga siswa mempunyai parameter dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Ketika siswa telah mempunyai gambaran umum tentang materi pembelajaran, guru membimbing siswa untuk menemukan pola-pola tertentu dari ilustrasi-ilustrasi yang diberikan tersebut sehingga pemerataan pemahaman siswa lebih luas dengan adanya pertanyaan-pertanyaan antara siswa dengan guru. Strategi pembelajaran induktif menjadi sangat efektif untuk memicu keterlibatan yang lebih mendalam dalam hal proses belajar karena proses tanya jawab tersebut.

Langkah-langkah dalam model pembelajaran dengan pendekatan induktif yaitu: 1. guru memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif. 2. guru menyajikan contoh-contoh khusus, prinsip, atau aturan yang memungkinkan siswa memperkirakan sifat umum yang terkandung dalam contoh. 3. guru menyajikan bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau mengangkat perkiraan. 4. menyimpulkan, memberi penegasan dari beberapa contoh kemudian disimpulkan dari contoh tersebut serta tindak lanjut. 2. Pendekatan Dekduktif Deduktif berasal dari bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum. Deduksi adalah cara berfikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Strategi pembelajaran deduktif adalah strategi pembelajaran yang dilakukan dengan mempelajari konsep-konsep terlebih dahulu untuk kemudian dicari kesimpulan dan ilustrasiilustrasi; atau bahan pelajaran yang dipelajari dimulai dari hal-hal yang abstrak, kemudian secara perlahan-lahan menuju hal yang konkrit. Strategi ini disebut juga strategi pembelajaran dari umum ke khusus.

Pembelajaran deduktif disebut pula pembelajaran langsung (direct Instruction). Strategi berfikir deduktif adalah strategi berfikir yang menerapkan hal hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian bagiannya yang khusus. Strategi deduktif ini merupakan pemberian penjelasan tentang prinsip prinsip isi pelajaran, kemudian dijelaskan dalam bentuk penerapannya atau contoh- contohnya dalam situasi tertentu. Strategi ini menjelaskan teori ke bentuk realitas atau menjelaskan hal hal yang bersifat umum ke yang bersifat khusus. Strategi pembelajaran deduktif ini tepat digunakan pada saat:

1. Peserta didik belum mengenal pengetahuan yang dipelajari. 2. Isi pelajaran meliputi terminology, teknis dan bidang yang kurang membutuhkan proses berfikir kritis. 3. Pengajaran mengenai pelajaran tersebut mempunyai persiapan yang baik dan pembicara yang baik. 4. Waktu yang tersedia sedikit Langkah-langkah dalam model pembelajaran dengan pendekatan deduktif dijelaskan sebagai berikut: 1. guru mulai dengan kaidah-kaidah konsep (conceot rule) atau pernyataan yang mana dalam pembelajaran diupayakan untuk pembuktiannya, 2. 3. guru memberikan contoh-contoh yang menunjukkan pembuktian dari konsep, guru memberikan pertanyaan kepada siswa untuk mendapatkan atribut/ciri dan bukan esensi dari konsep-konsep, 4. siswa memberikan beberapa kategori dari contoh yang diberikan oleh guru Pembelajaran deduktif tidak menekankan pada upaya menciptakan dan

mengkonstruksi pengetahuan secara aktif. Pembelajaran deduktif lebih menekankan pada pendidik dalam menyampaikan pembelajaran sehingga peserta didik cenderung pasif untuk mengikuti presentasai dan penjelasan tentang konsep, teori, prinsip, dan prosedur pelaksanaan kemudian melakukan imitasi berdasarkan contoh yang telah diberikan. Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan

melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Pada pendekatan induktif dan deduktif ada berbagai macam metode pembelajaran yang cocok dgunakan dalam pembelajaran kimia. Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran merupakan suatu cara yang dilakukan oleh seorang guru agar terjadi proses belajar pada diri siswa untuk mencapai tujuan. Dibawah ini terdapat beberapa metode pembelajaran yang cocok digunakan dalam pembelajran kimia disekolah diataranya : 1. Metode pembelajaran inkuiri, 2. Metode diskusi, 3. Metode demonstrasi, 4. Metode ceramah 5. Metode Tanya jawab, 6. Metode eksperimen. Metode Pembelajaran Inkuiri Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Pembelajaran inkuiri menekankan kepada proses mencari dan menemukan. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung. Peran siswa dalam pembekajaran ini adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar. Pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Pembelajaran inkuiri mengacu pada prinsip-prinsip berikut ini:

1. Berorientasi pada Pengembangan Intelektual. Tujuan utama dari pembelajaran inkuiri adalah pengembangan kemampuan berpikir. Dengan demikian, pembelajaran ini selain berorientasi kepada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar. 2. Prinsip Interaksi. Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi antara siswa maupun interaksi siswa dengan guru, bahkan interaksi antara siswa dengan lingkungan. Pembelajaran sebagai proses interaksi berarti menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, tetapi sebagai pengatur lingkungan atau pengatur interaksi itu sendiri. 3. Prinsip Bertanya. Peran guru yang harus dilakukan dalam menggunakan pembelajaran ini adalah guru sebagai penanya. Sebab, kemampuan siswa untuk menjawab setiap pertanyaan pada dasarnya sudah merupakan sebagian dari proses berpikir. Dalam hal ini, kemampuan guru untuk bertanya dalam setiap langkah inkuiri sangat diperlukan. Di samping itu, pada pembelajaran ini juga perlu dikembangkan sikap kritis siswa dengan selalu bertanya dan mempertanyakan berbagai fenomena yang sedang dipelajarinya. 4. Prinsip Belajar untuk Berpikir. Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan tetapi belajar adalah proses berpikir (learning how to think), yakni proses mengembangkan potensi seluruh otak. Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal. 5. Prinsip Keterbukaan. Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Tugas guru adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran hipotesis yang diajukannya. Langkah-Langkah Pelaksanaan Pembelajaran Inkuiri 1. Merumuskan masalah; kemampuan yang dituntut adalah : kesadaran terhadap masalah; melihat pentingnya masalah dan merumuskan masalah. 2. Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan hipotesis ini adalah : menguji dan menggolongkan data yang dapat diperoleh; melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis; dan merumuskan hipotesis. 3. Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah: merakit peristiwa, terdiri dari: mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan

mengevaluasi

data;

menyusun

data,

terdiri

dari:

mentranslasikan

data,

menginterpretasikan data dan mengkasifikasikan data; nalisis data, terdiri dari : melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan trend, sekuensi, dan keteraturan. 4. Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: mencari pola dan makna hubungan; dan merumuskan kesimpulan 5. Menerapkan kesimpulan dan generalisasi 1 Metode Diskusi Metode diskusi dalam belajar adalah suatu cara penyajian/ penyampaian bahan pelajaran dimana guru memberikan kesempatan kepada para siswa/ kelompok-kelompok siswa yang mengadakan pembicaraan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas suatu masalah. Forum diskusi dapat diikuti oleh seluruh siswa di dalam kelas, dapat pula dibentuk kelompok-kelompok kecil. Yang perlu diperhatikan adalan hendaknya para siswa berpartisipasi secara aktif dalam setiap forum diskusi. Semakin banyak siswa terlibat dan menyumbangkan pikirannnya, semakin banyak pula yang dapat mereka pelajari. Metode diskusi dalam belajar memiliki beberapa bentuk, yaitu: 1. The open-endet meeting Para siswa berbincang-bincang mengenai masalah apa saja yang. berhubungan dengan kehidupan mereka sehari, kehidupan mereka di sekolah, dengan segala sesuatu yang terjadi di lingkungan di sekitar mereka. 2. The educational-diagnosis meeting Para siswa berbincang-bincang mengenai pelajaran di kelas dengan maksud untuk saling mengoreksi pemahaman mereka atas pelajaran yang telah diterimanya agar masing-masing anggota memperoleh pemahaman yang lebih baik.

Metode diskusi dalam belajar memiliki langkah-langkah sebagai berikut:

1.

Guru mengemukakan masalah yang akan didiskusikan dan memberikan pengarahan seperlunya mengenai cara-cara pemecahannya.

2.

Dengan pimpinan guru, siswa membentuk kelompok diskusi, memilih pemimpin diskusi (ketua, sekretaris/ pencatat, pelapor dan sebagainya (bila perlu), mengatur tempat duduk, ruangan sarana dan sebagainya.

3.

Para siswa berdiskusi di kelompoknya masing-masing sedangkan guru berkeliling dari kelompok satu ke kelompok yang lain untuk menjaga serta memberi dorongan dan bantuan sepenuhnya agar setiap anggota kelompok berpartisipasi aktif supaya diskusi bejalan dengan lancar.

4.

Kemudian tiap kelompok diskusi melaporkan hasil diskusinya. Hasil-hasil diskusi yang dilaporkan ditanggapi oleh semua siswa (terutama bagi kelompok lain). Guru memberi ulasan dan menjelaskan tahap-tahap laporan-laporan tersebut.

5. Para siswa mencatat hasil diskusi tersebut, dan para guru mengumpulkan hasil diskusi dari tiap-tiap kelompok, sesudah siswanya mencatat untuk fail kelas. Metode demonstrasi Metode demonstrasi adalah pertunjukan tentang proses terjadinya suatu peristiwa atau benda sampai pada penampilan tingkah laku yang dicontohkan agar dapat diketahui dan dipahami oleh peserta didik secara nyata atau tiruannya. Metode demonstrasi baik digunakan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang hal-hal yang berhubungan dengan proes mengatur sesuatu, proses membuat sesuatu, proses bekerjanya sesuatu proses mengerjakan atau menggunakannya, komponen-komponen yang membentuk sesuatu, membandingkan suatu cara dengan cara lain dan untuk mengetahui atau melihat kebenaran sesuatu. Metode Ceramah Metode Ceramah yaitu cara penyampaian informasi secara lisan yang dilakukan oleh sumber belajar kepada warga belajar. Metode ini merupakan yang paling banyak digunakan dalam kesempatan penyampaian informasi dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran. Hal ini diakibatkan adanya kemampuan setiap orang untuk berkomunikasi atau menyampaikan pesan kepada orang lain. Jenis-jenis metode ceramah, terdiri dari metode ceramah bervariasi, metode ceramah campuran dan metode ceramah asli. Metode Tanya Jawab

Metode tanya jawab adalah suatu cara penyampaian pelajaran oleh guru dengan jalan mengajukan pertanyaan dan murid menjawab. Metode ini dimaksudkan untuk meninjau pelajaran yang lalu agar para murid memusatkan lagi perhatiannya tentang sejumlah kemajuan yang telah dicapai sehingga dapat melanjutkan pada pelajaran berikutnya dan untuk merangsang perhatian murid. Metode ini dapat digunakan sebagai spersepsi, selingan, dan evaluasi. Penggunaan metode tanya jawab dapat dinilai sebagai metode yang cukup wajar dan tepat, apabila penggunaannya dipergunakan untuk: 1. Merangsang agar perhatian anak terarah pada suatu bahan pelajaran yang sedang dibicarakan. 2. Mengarahkan proses berfikir dan pengamatan anak didik. 3. Meninjau atau melihat penguasaan anak didik terhadap materi/bahan yang telah diajarkan sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan materi berikutnya 4. Melaksanakan ulangan, evaluasi dan memberikan selingan dalam ceramah. Metode Eksperimen Metode Eksperimen adalah Metode atau cara di mana guru dan murid bersama-sama mengerjakan sesuatu latihan atau percobaan untuk mengetahui pengaruh atau akibat dari sesuatu aksi. Langkah-langkah metode eksperimen 1. Menerangkan Metode Eksperimen 2. Membicarakan terlebih dahulu permasalahan yang seknifikasi untuk di angkat 3. Sebelum guru menetapkan alat yang di perlukan langkah-langkah apa saja yang harus di catatdan variebel-variebel apa yang harus di control 4. Setelah eksperimen di lakukan guru harus mengumpulkan laporan, memproses kegiatan, dan mengadakan tes untuk menguji pemahaman murid.

D. Model-Model Pembelajaran yang Cocok dalam Kimia Model Pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Walaupun demikian, orang sering menyamakan penggunaan istilah model pembelajaran tersebut dengan strategi pembelajaran.

Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi peserta didik dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Guru perlu menguasai dan dapat menerapkan berbagai strategi pembelajaran yang meliputi pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran secara spesifik. Penguasaan model pembelajaran akan mempengaruhi keberhasilan peserta didik dalam pembelajaran. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif , menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. (Peraturan Pemerintah No.19/2005 pasal 19) Tidak ada model pembelajaran yang paling efektif untuk semua mata pelajaran atau untuk semua materi. Semua model pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing, jadi guru harus mencocokan model pembelajaran yang akan digunakan dengan materi pelajaran yang akan diajarkan. Dalam memilih model pembelajaran, guru harus memperhatikan keadaan atau kondisi siswa, bahan pelajaran serta sumber-sumber belajar yang ada agar penggunaan model pembelajara dapat diterapkan secara efektif dan menunjang keberhasilan belajar siswa. Misalnya dalam pelajaran kimia di SMA pada materi tentang larutan elektrolit dan non-elektrolit, guru tidak mungkin menggunakan model pembelajaran yang sifatnya ceramah, model yang cocok adalah demonstrasi atau percobaan. Pemilihan model pembelajaran yang akan digunakan guru untuk mengajaran anak didiknya mempertimbangkan hal berikut: 1. Tujuan pembelajaran,guru harus menyesuaikan antara model pembelajaran dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. 2. Sifat materi pelajaran, materi pelajaran yang sifatnya teoritis lebih baik menggunkan model pembelajaran diskusi kelompok, contohnya teori atom, ikatan kimia dan lain-lain yang sifatnya teoritis. Sedangkan pada materi pelajaran yang sifatnya praktikum lebih baik menggunakan model pembelajaran demonstrasi, contonya pada materi identifikasi sifat asam dan basa suatu zat. 3. Ketersediaan fasilitas, harus menyesuaikan model pembelajaran engan fasilitas yang ada disekolah. 4. Kondisi peserta didik

5. Alokasi waktu yang tersedia, metode ceramah cocok digunakan untuk materi pelajaran yang beralokasi waktu sangat sedikit. Beberapa model pembelajaran yang cocok untuk pelajaran kimia diataranya: Student Teams-Achievement Divisions (STAD) /Tim Siswa Kelompok Prestasi Student Teams Achievement Division (STAD) merupakan salah satu metode atau pendekatan dalam pembelajaran kooperatif yang sederhana dan baik untuk guru yang baru mulai menggunakan pendekatan kooperatif dalam kelas. Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri lima komponen utama, yaitu penyajian kelas, belajar kelompok, kuis, skor pengembangan dan penghargaan kelompok. Langkah-langkah : 1. Membentuk kelompok yang anggotanya = 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dan lain-lain) 2. 3. Guru menyajikan pelajaran Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggotanya tahu menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti. 4. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu 5. 6. Memberi evaluasi Kesimpulan Jigsaw (Model Tim Ahli) Model pemebelajaran kooperatif model jigsaw adalah sebuah model belajar kooperatif yang menitik beratkan kepada kerja kelompok siswa dalam bentuk kelompok kecil, pembelajaran kooperatif model jigsaw ini merupakan model belajar kooperatif dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri atas empat sampai dengan enam orang secara heterogen dan siswa bekerja sama salaing ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara mandiri. Dalam model pembelajaran jigsaw ini siswa memiliki banyak kesempatan untuk mengemukanakan pendapat, dan mengelolah imformasi yang didapat dan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasii, anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang dipelajari, dan dapat menyampaikan kepada kelompoknya.

Langkah-langkah : 1. Siswa dikelompokkan ke dalam 4 anggota tim 2. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda 3. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan 4. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka. 5. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh 6. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi 7. Guru memberi evaluasi 8. Penutup Problem Based Instruction (PBI)/(Pembelajaran Berdasarkan Masalah) Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning/PBL) adalah suatu model pembelajaran yang didasarkan pada prinsip menggunakan masalah sebagai titik awal akuisisi dan integrasi pengetahuan baru. Model pembelajaran ini pada dasarnya mengacu kepada pembelajaran-pembelajaran mutakhir lainnya seperti pembelajaran berdasar proyek (project based instruction), pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience based instruction), pembelajaran autentik (authentic instruction), dan pembelajaran bermakna. Dalam Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning), pemecahan masalah didefinisikan sebagai proses atau upaya untuk mendapatkan suatu penyelesaian tugas atau situasi yang benar-benar nyata sebagai masalah dengan menggunakan aturan-aturan yang sudah diketahui. Jadi, Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) lebih memfokuskan pada masalah kehidupan nyata yang bermakna bagi siswa. Langkah-langkah : 1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. 2. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.) 3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.

4.

Guru membantu siswa dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya

5.

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan

Mind Mapping Sangat baik digunakan untuk pengetahuan awal siswa atau untuk menemukan alternatif jawaban. Mind Mapping atau Peta Pikiran adalah metode mempelajari konsep yang didasarkan pada cara kerja otak kita menyimpan informasi dan menjabrkannya dalam suatu media. Peta Pikiran adalah menuliskan tema utama sebagai titik sentral / tengah dan memikirkan cabang-cabang atau tema-tema turunan yang keluar dari titik tengah tersebut dan mencari hubungan antara tema turunan. Itu berarti setiap kali kita mempelajari sesuatu hal maka fokus kita diarahkan pada apakah tema utamanya, poin-poin penting dari tema yang utama yang sedang kita pelajari, pengembangan dari setiap poin penting tersebut dan mencari hubungan antara setiap poin. Dengan cara ini maka kita bisa mendapatkan gambaran hal-hal apa saja yang telah kita ketahui dan area mana saja yang masih belum dikuasai dengan baik. Langkah-langkah :

1. 2.

Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai Guru mengemukakan konsep/permasalahan yang akan ditanggapi oleh siswa/sebaiknya permasalahan yang mempunyai alternatif jawaban

3. 4. 5.

Membentuk kelompok yang anggotanya 2-3 orang Tiap kelompok menginventarisasi/mencatat alternatif jawaban hasil diskusi Tiap kelompok (atau diacak kelompok tertentu) membaca hasil diskusinya dan guru mencatat di papan dan mengelompokkan sesuai kebutuhan guru

6. Dari data-data di papan siswa diminta membuat kesimpulan atau guru memberi bandingan sesuai konsep yang disediakan guru Beberapa hal penting dalam membuat peta pikiran ada dibawah ini, yaitu: 1. Pastikan tema utama terletak ditengah-tengah.Contohnya, apabila kita sedang mempelajari pelajaran Wujud Zat , maka tema utamanya adalah Wujud Zat. 2. Dari tema utama, akan muncul tema-tema turunan yang masih berkaitan dengan tema utama. Dari tema utama Wujud Zat, maka tema-tema turunan dapat terdiri dari : Sifatsifatnya,Struktur Molekulnya,dan lain-lain.

3. Cari hubungan antara setiap tema dan tandai dengan garis, warna atau simbol. Dari setiap tema turunan tertama akan muncul lagi tema turunan kedua, ketiga dan seterusnya. Maka langkah berikutnya adalah mencari hubungan yang ada antara setiap tema turunan. Gunakan garis, warna, panah atau cabang dan bentuk-bentuk simbol lain untuk menggambarkan hubungan diantara tema-tema turunan tersebut. Pola-pola hubungan ini akan membantu kita memahami topik yang sedang kita baca. Selain itu Peta Pikiran yang telah dimodifikasi dengan simbol dan lambang yang sesuai dengan selera kita, akan jauh lebih bermakna dan menarik dibandingkan Peta Pikiran yang miskin warna. 4. Gunakan huruf besar. Huruf besar akan mendorong kita untuk hanya menuliskan poinpoin penting saja di Peta Pikiran. Selain itu, membaca suatu kalimat dalam gambar akan jauh lebih mudah apabila dalam huruf besar dibandingkan huruf kecil. Penggunaan huruf kecil bisa diterapkan pada poin-poin yang sifatnya menjelaskan poin kunci. 5. Buat peta pikiran di kertas polos dan hilangkan proses edit. Ide dari Peta Pikiran adalah agar kita berpikir kreatif. Karenanya gunakan kertas polos dan jangan mudah tergoda untuk memodifikasi Peta Pikiran pada tahap-tahap awal. Karena apabila kita terlalu dini melakukan modifikasi pada Peta Pikiran, maka sering kali fokus kita akan berubah sehingga menghambat penyerapan pemahaman tema yang sedang kita pelajari. 6. Sisakan ruangan untuk penambahan tema. Peta Pikiran yang bermanfaat biasanya adalah yang telah dilakukan penambahan tema dan modifikasi berulang kali selama beberapa waktu. Setelah menggambar Peta Pikiran versi pertama, biasanya kita akan menambahkan informasi, menulis pertanyaan atau menandai poin-poin penting. Karenanya selalu sisakan ruang di kertas Peta Pikiran untuk penambahan tema. Think Pair And Share (Frank Lyman, 1985) Strategi think pair share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa.Strategi think pair share ini berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu. Langkah-langkah : 1. 2. 3. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai Siswa diminta untuk berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan guru Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing 4. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya

5.

Berawal dari kegiatan tersebutmengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diuangkapkan para siswa.

6. 7.

Guru memberi kesimpulan Penutup Numbered Head Together Model pembelajaran Numbered Head Together sering disebut juga dengan istilah Model Pembelajaran Kepala Bernomor. Tentu saja sesuai namanya model pembelajaran ini menggunakan nomor-nomor sebagai media pembelajarannya. Adapun langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut :

1.

Siswa dibagi dalam kelompok yang terdiri 3-4 anggota, setiap siswa/anggota dalam setiap kelompok mendapat sebuah nomor. 2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya. 3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan setiap anggota kelompok dapat mengerjakannya/mengetahui jawabannya. 4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil, lalu melaporkan hasil kerjasama mereka. 5. Tanggapan dari teman/kelompok yang lain, kemudian guru melanjutkan menunjuk nomor yang lain. Demikian seterusnya. 6. Kesimpulan.

Kepala Bernomor Struktur Model Pembelajaran Kepala Bernomor Struktur merupakan modifikasi dari model pembelajaran Numbered Heads Together. Perbedaan yang mendasar antara keduanya adalah pada penugasan dan masuk keluarnya anggota kelompok. Langkah-langkah :

1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor 2. Penugasan diberikan kepada setiap siswa berdasarkan nomorkan terhadap tugas yang berangkai. Misalnya : siswa nomor satu bertugas mencatat soal. Siswa nomor dua mengerjakan soal dan siswa nomor tiga melaporkan hasil pekerjaan dan seterusnya. 3. Jika perlu, guru bisa menyuruh kerja sama antar kelompok. Siswa disuruh keluar dari kelompoknya dan bergabung bersama beberapa siswa bernomor sama dari kelompok lain.

Dalam kesempatan ini siswa dengan tugas yang sama bisa saling membantu atau mencocokkan hasil kerja sama mereka. 4. Laporkan hasil dan tanggapan dari kelompok yang lain 5. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Ilmu kimia adalah ilmu mempelajari tentang susunan, struktur, sifat, perubahan serta energi yang menyertai perubahan suatu zat atau materi. Zat atau materi itu sendiri adalah segala sesuatu yang menempati ruang dan mempunyai massa. Hakekat ilmu kimia adalah bahwa benda itu bisa mengalami perubahan bentuk, maupun susunan partikelnya menjadi bentuk yang lain sehingga terjadi deformasi, perubahan letak susunan, ini mempengaruhi sifat-sifat yang berbeda dengan wujud yang semula. Konsep kimia meliputi tatanama, atom, unsure, senyawa, ion, ikatan kimia dan lain-lain. Karakteristik kimia menurut Wiseman (1981) yaitu ilmua kimia bersifat abstrak, Ilmu kimia merupakan penyederhanaan dari yang sebenarnya, sifat ilmu kimia berurutan dan

berkembang dengan cepat, ilmu kimia tidak hanya sekedar memecahkan soal-soal, bahan/materi yang dipelajari dalam ilmu kimia sangat banyak. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam belajar kimia adalah perbedaan antara fakta, konsep, prinsip dan hukum. Misalnya jika kita mereaksikan suatu zat maka gejala yang diamati seperti perubahan warna, terjadinya gas, terbentuknya endapan merupakan sebuah fakta. Zat kimia dapat bereaksi kerena terjadinya pemutusan dan pembentukan ikatan kimia antara atom-atom merupakan sebuah konsep, sedangkan prinsip reaksi kimia digambarkan dalam persamaan reaksi. Mata pelajaran kimia di SMA/MA mempelajari segala sesuatu tentang zat yang meliputi komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat yang melibatkan keterampilan dan penalaran. Ada dua hal yang berkaitan dengan kimia yang tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) temuan ilmuwan dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Oleh sebab itu, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk. pembelajaran kimia juga menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.

Pada dasaranya dalam bidang studi kimia yang dipelajari adalah materi dan perubahannya. Semua konsep yang ada dalam kimia bersifat abstrak , selian itu juga konsep kimia merupakan konsep yang berjenjenjang, yaitu dari konsep yang sederhana ke konsep yang lebih kompleks. Banyak siswa yang mengatakan bahwa kimia itu sulit, dan rumit itu dikarenakan konsep kimia yang sifatnya abstrak. Dalam pembelajaran kimia, ada banyak halhal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Untuk mempermudah siswa belajar kimia, salah satu caranya yaitu dengan menghubungkan pelajaran kimia itu dengan kehidupan sehari-hari sehingga akan terasa manfaatnya bagi siswa dan bagi guru.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan ialah pendekatan pembelajaran kontekstual mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Selain dengan pendekatan kontekstual, ada berbagai macam model pembelajaran, metode pembelajaran, serta pendekatan pembelajaran yang cocok digunakan

dalam pembelajaran kimia. Semua ini dilakukan agar siswa menjadi senang, semangat dan membuat mereka menjadi lebih mudah dalam memahami kimia. Metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran kimia antara lain metode ceramah, metode diskusi, metode eksperimen, metode inkuiri dan lain-lain. Sedangkan model yang dapat digunakan dalam pembelajarna kimia antara lain model pembelajaran STAD, model Jigsaw, model Kepala Bernomor Struktur, model Pembelajaran Berbasis Masalah dan lainlain. B. Saran Dalam penulisan makalah yanng berjudul Hakikat dan Pembelajaran Kimia ini masih banyak terdapat kekurangan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang ingin mencari referensi tentang hakikat dan pembelajaran kimia. Pembaca juga disarankan mencari referensi tambahan di internet, buku, artikel dan lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai