Anda di halaman 1dari 19

REFERAT GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING (NOISE INDUCED HEARING LOSS)

Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher di RSUD Tugurejo Semarang

Disusun Oleh :

Tyagita Khrisna Ayuningtias H2A009046

Pembimbing :

dr. Yunarti, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER RSUD TUGUREJO SEMARANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2013

HALAMAN PENGESAHAN

NAMA NIM FAKULTAS UNIVERSITAS

: TYAGITA KHRISNA AYUNINGTIAS : H2A009046 : KEDOKTERAN UMUM : UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

BIDANG PENDIDIKAN

: ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER

PEMBIMBING

: DR. YUNARTI, Sp.THT-KL

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal

November 2013

Pembimbing

dr. Yunarti, Sp.THT-KL

BAB I PENDAHULUAN

Sektor industri sebagai salah satu bagian penting dalam pembangunan nasional Indonesia, telah mengalami kemajuan pesat. Hal ini dapat kita lihat salah satunya dari penerapan teknologi yang semakin canggih. Akibat yang ditimbulkan oleh teknologi yang semakin canggih karena peningkatan industri antara lain timbulnya masalah kebisingan yang mempunyai pengaruh luas mulai dari gangguan konsentrasi, komunikasi, dan kenikmatan kerja sampai pada cacat karena kehilangan daya dengar yang menetap (tuli).1 Industri yang terutama membawa risiko kehilangan pendengaran antara lain pertambangan, pembuatan terowongan, penggalian (peledakan, pengeboran), mesin-mesin berat ( pencetakan besi, proses penempaan, dll), pekerjaan mengemudikan mesin dengan mesin pembakaran yang kuat (pesawat terbang, truk, bajaj, kenderaan konstruksi, dll), pekerjaan mesin tekstil dan uji coba mesinmesin jet. Pada umumnya gangguan pendengaran yang disebabkan bising timbul setelah bertahun-tahun pajanan. Kecepatan kemunduran tergantung pada tingkat bising, komponen impulsif dan lamanya pajanan, serta juga pada kepekaan individual yang sifat-sifatnya tetap tidak diketahui.2 Tuli dibagi menjadi tiga yaitu tuli konduktif, tuli sensoneural, dan tuli campuran. Pada tuli konduktif, terdapat gangguan hantaran suara, pada tuli sensoneural kelainan terdapat pada koklea, Nervus VIII, atau pusat pendengaran oleh karena tumor, radang, dan penyakit lain. Pada tuli campur biasanya disebabkan oleh satu penyakit atau merupakan dua penyakit yang berlainan.3 Gangguan telinga dalam dapat menyebabkan tuli sensoneural, yang terbagi atas tuli koklea dan retrokoklea. Banyak faktor yang dapat menyebabkan tuli sensoneural. Salah satu sebab yang sering menimbulkan tuli sensoneural adalah bising. suara dengan frekuensi 3000 6000 Hz maupun bising dengan intensitas 85 dB sampai 90 dB dengan pemaparan lebih dari 8 jam sehari, 95 dB atau lebih

dengan pemaparan lebih dari 4 jam dapat menimbulkan gangguan pendengaran hingga ketulian / Noice Induce Hearing Loss (NIHL). Tuli yang disebabkan bising ( NIHL ) merupakan tuli sensorineural yang mengarah pada tuli koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga. Bising di lingkungan kerja khususnya di daerah industri sudah lama menjadi masalah yang sampai sekarang belum dapat ditanggulangi secara baik sehingga dapat menjadi ancaman bagi pekerja di lingkungan industri. Lama waktu paparan yang diterima pekerja pabrik setiap hari rata rata 7 8 jam atau kurang dari 48 jam setiap minggu. Pada umumnya pekerja di lingkungan industri yang memiliki kebisingan dengan intensitas bising 85db akan mengalami gangguan fungsi pendengaran setelah bekerja selama 5 10 tahun.1,3,4,5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI TELINGA Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam.

Gambar 2.1 Anatomi Telinga

1. Telinga luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Daun telinga memiliki beberapa bagian, antara lain: concha, helix, antihelix, lobulus, tragus dan antitragus. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan duapertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2 - 3 cm.3 Pada sepertiga bagian luar liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar

keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga bagian dalam sedikit dijumpai kelenjar serumen.3 Membran timpani adalah membran semitransparan yang tipis, oval, berdiameter 1cm dan terletak di bagian paling dalam dari telinga luar. Membran timpani dilapisi oleh kulit tipis pada bagian luar dan membran mukosa pada bagian dalam. Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pers tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.3

2. Telinga tengah Telinga tengah adalah rongga berisi udara didalam tulang temporalis yang terbuka melalui tuba auditorius (eustachius) ke nasofaring dan melalui nasofaring keluar. Tuba biasanya tertutup, tetapi selama mengunyah, menelan, dan menguap saluran ini terbuka, sehingga tekanan dikedua sisi gendang telinga seimbang.3,6 Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar yaitu membran timpani, batas depan yaitu tuba eustachius, batas bawah yaitu vena jugularis (bulbus jugularis), batas belakang yaitu aditus ad antrum, kanalis facialis pars vertikalis. Batas atas yaitu tegmen timpani (meningen/ otak), dan batas dalam berturut-turut dari atas kebawah yaitu kanalis semisirkularis horizontal, kanalis facialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promomtorium.3,6 Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-

tulang pendengaran merupakan persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid.3,6 Tuba eustahius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.3

3. Telinga dalam Labirin ( telinga dalam ) mengandung organ pendengaran dan keseimbangan, terletak pada pars petrosa os temporal. Labirin terdiri dari labirin bagian tulang dan labirin bagian membran. Labirin bagian tulang terdiri dari kanalis semisirkularis, vestibulum dan koklea. Labirin bagian membran terletak didalam labirin bagian tulang, dan terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus, sakulus, sakus dan duktus endolimfatikus serta koklea.3,7 Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih besar daripada endolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka gaya dari otolit akan membengkokkan silia sel-sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada reseptor.3,7

Gambar 2.2 Vestibulum

Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut krista. Sel-sel rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel rambut reseptor.6,7

Gambar 2.3 Anatomi Telinga Dalam

Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibuli, berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus

koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dkenal sebagai helikotrema. Membrana basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah).3,6 Organ corti adalah organ reseptor yang membangkitkan impuls saraf sebagai respon terhadap getaran membrana basiler. Organ corti terletak pada permukaan serat basilar dan membrana basilar. Terdapat dua tipe sel

rambut yang merupakan reseptor sensorik yang sebenarnya dalam organ corti yaitu baris tunggal sel rambut interna, berjumlah sekitar 3500 dan dengan diameter berukuran sekitar 12 mikrometer, dan tiga sampai empat baris rambut eksterna, berjumlah 12.000 dan mempunyai diameter hanya sekitar 8 mikrometer. Basis dan samping sel rambut bersinaps dengan jaringan akhir saraf koklearis. Sekitar 90 sampai 95 persen ujung-ujung ini berakhir di sel-sel rambut bagian dalam, yang memperkuat peran khusus sel ini untuk mendeteksi suara. Serat-serat saraf dari ujung-ujung ini mengarah ke ganglion spiralis corti yang terletak didalam modiolus (pusat) koklea.3,7 Pada kejadian NIHL ini yang sering timbul kerusakan sebagian besar adalah telinga bagian dalam dan sebagian kecil telinga bagian tengah.3

B. FISIOLOGI PENDENGARAN Berawal dari pengumpulan getaran udara oleh aurikular dan diteruskan ke membrana timpani yang akan melakukan reflek timpani yaitu penyesuaian transmisi atau frekuensi suara yang dapat diterima pada reseptor reseptor saraf dalam telinga dalam (N. VIII / N. koklearis) dan diteruskan ke batang otak.8 Mekanisme lebih jelas dimulai dari telinga luar yang mengumpulkan gelombang suara dan menghantarkannya ke membrane tymphani. Kemudian tiga tulang pendengaran yaitu maleus, inkus, dan stapes dalam telinga tengah (sebelah dalam membrane tymphani) bertindak sebagai pengungkit dan

menghantarkan suara ke foramen ovale yang merupakan bagian dari telinga dalam. Telinga dalam yang berisi cairan encer dan susunannya sedemikian rupa mengubah getaran udara yang besar tetapi lemah menjadi getaran kecil tapi lebih keras. Mekanisme inilah yang disebut impedance matching. Mekanisme Impedance Matching ini sendiri merupakan mekanisme ungkit dan mekanisme hidrolik yang akan memperbesar impuls suara menjadi 18,2 kali (setara dengan 25 dB). Dari mekanisme ungkit antara manubrium malei dan krus longus inkudis dengan perbandingan luas 1,3 : 1 akan memperbesar impuls suara pada membrane tymphani sebesar 1,3 kali pada foramen ovale. Sedangkan dari mekanisme hidrolik perbandingan luas membrane tymphani dan foramen ovale adalah 20 : 1, akan tetapi yang efektif menghantarkan suara adalah pars tensa yang merupakan 2/3 bagian dari luas membrane tymphani sehingga perbandingan efektifnya menjadi 14 : 1 dan total penguatan suara menjadi 1,3 x 14 = 18, 2 kali.3,8,9 Telinga tengah yang berisi udara dan berhubungan dengan nasofaring melalui tuba auditorius (tuba eustachius) yang dalam keadaan normal tertutup, namun sewaktu menelan akan terbuka. Sewaktu terbuka tekanan di sebelah dalam dari membrane tymphani menjadi sama dengan tekanan di luar. ini penting karena membrane tymphani baru akan bergetar baik kalau tekanan pada kedua sisinya sama. Kalau tidak sama maka akan timbul ketulian. ini bisa juga disebabkan karena tersumbatnya tuba auditorius misalnya oleh mucus pada influenza.3,9 Getaran dalam cairan telinga diubah menjadi impuls saraf di koklea. Koklea terdiri dari serangkaian pipa melingkar membentuk 2 gulungan yang

bersumbu tengah. Struktur keseluruhan menyerupai rumah siput. Foramen ovale yang merupakan awal dari pipa pertama disebut skala vestibuli. Pipa ini berisi cairan yang disebut perilymph yang komposisinya mirip dengan cairan serebrospinal. Skala vestibuli dipisahkan oleh membrane dari skala media. Skala media berisi cairan endolymph yang mirip dengan cairan pada sel dan mempunyai kadar kalium yang tinggi. Skala media dipisahakan dari pipa ketiga, skala tymphani oleh membrane basilaris. Getaran suara dalam cairan

skala vestibule diteruskan ke cairan dalam skala media, membrane basilaris, dan ke cairan dalam skala tymphani. Bila membrane ovale bergerak ke dalam maka membrane rotundum akan bergerak ke luar dan sebaliknya. Getaran dari membrane basilaris ini yang akan menghasilkan impuls saraf dalam Nervus auditorius. Di bagian pangkal dekat membrane ovale, membrane basilaris adalah pendek, kearah ujung panjangnya bertambah dan mencapai maksimum di apeks. Ujung ujung saraf dijumpai di dasar sel rambut dari organ corti. Bagian ini terletak di atas dari membrane basilaris. Rambutnya sendiri terbenam dalam membrane tektoria. Suara berfrekuensi rendah menyebabkan seluruh membrane basilaris bergetar.3,9 Di telinga dalam, untuk bisa ditransmisikan ke N. VIII, gelombang suara mekanis harus diubah menjadi energy elektro kimia. Terjadinya peristiwa listrik pada organ corti ini dikenal dengan proses transduksi. Terjadinya proses tranduksi dimulai dari bersentuhannya ujung silia atau rambut sel sensoris pada organ corti dengan membrane tektoria. Pergerakan sel rambut ini akan menimbulkan reaksi biokimiawi pada sel sensorik sehingga timbul muatan listrik negatif pada dinding sel. Ujung N. VIII yang menempel pada sel sensorik akan menampung mikroponik yang terbentuk. Lintasan impuls auditorik selanjutnya menuju ganglion spiralis corti, N. VIII, nucleus koklearis di medulla oblongata, kolikulus superior, korpus genikulatum medial, dan korteks auditori di lobus temporalis serebri.10

C. Bising 1. Definisi Bising didefinisikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki yang merupakan aktivitas alam (bicara) maupun buatan manusia (bunyi mesin). Memiliki satuan decibel (dB). Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan atau semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat

menimbulkan gangguan pendengaran. Terdapat dua yang menentukan kwalitas suatu bunyi atau bising, yaitu frekuensi dan intensitas.3,11,12 Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran perdetik yang sampai di telinga, dinyatakan dalam satuan hertz ( Hz ), sedangkan intensitas adalah tekanan yang dari suara itu sendiri yang biasanya dinyatakan dalam skala relatif yang disebut decibel (dB)9. Bising yang dapat diterima oleh telinga adalah bising dengan kekuatan dasar 0,0002 dyne/cm yang sebanding dengan 1000 Hz. Sedangkan decibel sendiri dapat dicari dengan rumus.13

p dB = 20 log /po Keterangan : p = tekanan suara yang bersangkutan P0 = tekanan suara standar ( 0,0002 dyne / cm ) Tabel 1. Tingkat Kebisingan14 Tingkat kebisingan (db) 0 20 21- 40 41 60 61 80 81 100 101 120 Derajat Kebisingan Sangat sunyi Sunyi Sedang Bising Sangat Bising Intolerable

2. Jenis bising Berdasarkan frekuensi, tingkat tekanan bunyi, tingkat bunyi dan tenaga bunyi, bising dapat dibagi menjadi 3 kategori15 : a. Audible noise (bising pendengaran) Bising ini disebabkan oleh frekuensi bunyi antara 31,5 8000 Hz b. Occupational noise (Bising yang berhubungan dengan pekerjaan) Bising ini disebabkan oleh bunyi mesin di tempat kerja

c. Impuls noise (Impact noise = bising impulsive) Bising yang ditimbulkan dari bunyi yang menyentak, misalnya pukulan paku, ledakan meriam atau senapan.

3. Ambang batas kebisingan Ambang batas kebisingan adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan gangguan kesehatan. Ketentuan terakhir tentang batasan waktu pemaparan dan intensitas kebisingan seperti yang tercantum dalam tabel berikut11: Tabel 2. Batas Toleransi Waktu Pemaparan dan Intensitas Bising

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Kep-51/Men/1999

Waktu Pajanan 8 jam 4 jam 2 jam 1 jam 30 menit 15 menit 7,5 menit 3,75 menit 1,88 menit 0,94 menit 28,12 detik 14,06 detik 7,03 detik

Batas Kebisingan (dB) 85 88 91 94 97 100 103 106 109 112 115 118 121

D. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (NIHL) 1. Definisi Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss/NIHL) adalah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja.3 NIHL adalah hilangnya sebagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat menetap, mengenai satu atau dua telinga yang disebabkan oleh bising yang terus menerus di lingkungan kerja.6 Bising yang dapat menurunkan pendengaran adalah bising yang memiliki intensitas 85 dB 90 dB dengan pemaparan lebih dari 8 jam sehari maupun dengan intensitas 95 dB atau lebih dengan pemaparan lebih dari 4 jam sehari selama 5 10 tahun, serta bising yang memiliki frekuensi 3000 hertz ( Hz ) sampai dengan 6000 hertz ( Hz ) dan yang paling sering adalah bising dengan frekuensi 4000 hertz ( Hz ).3,4

2. Patofisiologi Jenis kerusakan pada struktur organ tertentu yang ditimbulkan bergantung pada intensitas, lama pajanan, dan frekuensi bising. Penelitian menggunakan intensitas bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni sampai bising dengan pajanan 1 4 jam menimbulkan beberapa kerusakan sel rambut. Kerusakan juga ditemui pada sel penyangga, pembuluh darah, dan serat efferent.3 Stimulasi bising dengan intensitas sedang mengakibatkan perubahan ringan pada silia dan Hensens body, sedangkan stimulasi dengan intensitas yang lebih keras dengan waktu pajanan yang lebih lama akan mengakibatkan kerusakan pada struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula lisosom, lisis sel, dan robekan di membrana reisner. Pajanan bunyi dengan efek destruksi yang tidak begitu besar menyebabkan terjadinya floppy silia yang sebagian masih reversible. Kerusakan silia menetap ditandai dengan fraktur rootlet silia pada lamina retikularis.3,16

Waktu paparan bising sangat berpengaruh terhadap terjadinya kerusakan reseptor pendengaran. Semakin lama terpapar bising akan semakin besar kemungkinan terjadi kerusakan pada organ corti. Di lingkungan industri umumnya akan terjadi kurang pendengaran akibat bising setelah bekerja lebih dari 5 10 tahun. Hal ini dikarenakan stimulasi bising dengan jangka waktu lama akan mengakibatkan perubahan metabolic dan vaskuler yang akhirnya mengakibatkan perubahan degenerative pada sel sensorik.16 Pajanan secara terus menerus terhadap membrana timpani oleh karena suara dengan frekuensi 3000 6000 Hz atau bising dengan fungsi 85 dB atau lebih akan merusak reseptor reseptor saraf pendengaran pada organ corti telinga dalam yang mengakibatkan penurunan pendengaran hingga tuli.1

3. Manifestasi klinis Kurang pendengaran yang dapat disertai tinitus ataupun tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah lebih berat percakapan yang keras juga susah dimengerti.3 Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang dengar menetap ( permanent threshold shift). Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. Peningkatan ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi (explosif) atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur

koklea, antara lain kerusakan organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis, dan lainnya.6 Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.16

4. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, otoskopi dan pemeriksaan penunjang untuk pendengaran.3 Dari anamnesis didapatkan bahwa pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama biasanya 5 tahun atau lebih. Pada pemeriksaan otoskopi biasanya tidak ditemukan kelainan.3 Pada pemeriksaan audiologi tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek. Pada pemeriksaan audimoetri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch). Pada pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (short increment sensitivity index), ABLB (alternate binaural loudness balance), MLB (monoaural loudness balance), audiometri bekesy, audiometri tutur (speech audimetry) hasilnya menunjukkan fenomena rekrutmen yang patognomonik untuk tuli sensorineural koklea.3

5. Penatalaksanaan Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet).3 Oleh karena itu akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat menetap, bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan

alat bantu dengar/ ABD (hearing aid). Apabila pendengaran sudah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi denga adekuat perlu dilakukan psikoterapiagar dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengara dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant).3,6

6. Prognosis Tuli akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan. Penggunaan alat bantu dengar hanya sedikit manfaatnya bagi pasien, bahkan alat tersebut hanya memberikan rangsangan vibrotaktil dan bukannya perbaikan diskriminasi bicara pada pasien tersebut. Untuk sebagian pasien dianjurkan pemakaian implan koklearis. Implan koklearis dirancang untuk pasien-pasien dengan tuli sensorineural.3,6

7. Pencegahan Bising lingkungan kerja harus diusahakan lebih rendah dari 85 dB, untuk itu dapat dilakukan pencegahan pada pekerja dengan penggunaan sumbat telinga, tutup telinga dan pelindung kepala / helm. Tutup telinga memberikan proteksi lebih baik daripada sumbat telinga. Sedangkan helm selain pelindung telinga terhadap bising juga sekaligus sebagai pelindung kepala.3

BAB III RINGKASAN

Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss/NIHL) adalah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Bising yang dapat menurunkan pendengaran adalah bising yang memiliki intensitas 85 dB 90 dB dengan pemaparan lebih dari 8 jam sehari maupun dengan intensitas 95 dB atau lebih dengan pemaparan lebih dari 4 jam sehari selama 5 10 tahun, serta bising yang memiliki frekuensi 3000 hertz ( Hz ) sampai dengan 6000 hertz ( Hz ) dan yang paling sering adalah bising dengan frekuensi 4000 hertz ( Hz ). NIHL biasanya ditandai dengan kurang pendengaran yang dapat disertai tinitus ataupun tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah lebih berat percakapan yang keras juga susah dimengerti. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah tes penala, audiometri nada murni maupun audiometri khusus. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah antara lain penggunaan pelindung telinga terhadap bising, penggunaan alat bantu dengar, dan dapat juga dengan melakukan implan koklea. Prognosis dari NIHL ini adalah kurang baik karena tuli yang dialami bersifat menetap. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan pelindung telinga terhadap bising.

DAFTAR PUSTAKA

1. 2.

Budiono, Sugeng. Hiperkes dan Kesehatan Kerja. Semarang:UNDIP;2003. Sari. Halinda. 2002. Program Perlindungan Pendengaran Pekerja Terhadap Kebisingan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Universitas Sumatera Utara.

3.

Bashiruddin

J,

Soetirto.

Buku

Ajar

Penyakit

THT.

Edisi

VI.

Jakarta:FKUI;2007. 4. Quinn Jr, Francis B. Noice Induced Hearing Loss;2001. available at URL : http://taimuihonghue21.wordpress.com/otology/noise-induced-hearing-loss/. 5. Yunita, A. Gangguan Pendengaran Akibat Bising; 2003. available at URL : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3468/1/tht-andrina1.pdf. 6. 7. 8. Adams L, Goerge dkk. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC Snell, Richard S. Anatomi Klinik. Edisi VI. Jakarta:EGC;2000.p:782 792. Ganong, WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi XXII.

Jakarta:EGC;2005.p:185- 190. 9. Guyton. dkk. 19 . Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

10. Japardi Iskandar. 2003. Nervus Vestibulocochlearis . Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Umum Universitas Sumatera Utara. 11. KepMenLH No.48 Tahun 1996 12. KepMenNaker No.51 Tahun 1999 13. Sumamur. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Gunung Agung, Jakarta; 1996. 14. WHO. Situation Review and Update on Deafness, Hearing Loss and Intervention Programm . Regional Office for South-East Asia. New Delhi, 2007: 7-10. 15. Gabriel, JF. Fisika Kedokteran. Edisi VI. Jakarta:EGC;1996.p:89 90. 16. Yunita Andrina. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Umum Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai