Anda di halaman 1dari 7

BAB II ISI

A. SEJARAH MAKANAN Makanan merupakan kebutuhan pokok makhluk hidup. Tanpa makanan, makhluk hidup tidak bisa bertahan untuk menjalankan kegiatan sehari-hari. Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, tua muda, sakit sehat selalu membutuhkan makanan dalam jenis dan porsi yang berbeda. Kebutuhan akan makanan mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Berawal dari istilah empat sehat lima sempurna, dimana setiap orang disarankan untuk memenuhi kebutuhan gizi melalui sumber karbohidrat (beras, ubi dan gandum), lauk sebagai sumber protein dan lemak (ikan, tempe, tahu, daging, dsb), sayur sebagai sumber vitamin, serat dan mineral, buah sebagai sebagai sumber vitamin dan yang terakhir adalah susu. Namun demikian, empat sehat lima sempurna tidaklah harus dipenuhi, mengingat kebutuhan masingmasing orang akan berbeda. Kebutuhan makanan bagi setiap orang kemudian menjadi menu seimbang dalam artian bahwa kebutuhan tiap individu tidak harus mengikuti empat sehat lima sempurna, namun disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu. Contoh, penderita diabetes mellitus memerlukan sumber energy yang berasal dari karbohidrat kompleks (ubi dan serat) yang mengurangi kecepatan pelepasan gula ke dalam tubuh. Anak-anak memerlukan lebih banyak sumber protein untuk membangun sel-sel tubuh dengan diimbangi sumber karbohidrat yang sesuai dengan aktivitasnya. Pergeseran kebutuhan makanan terjadi lagi, mengingat terjadi peningkatan penyakit seperti kanker, diabetes mellitus, jantung dan sebagainya. Saat ini kebutuhan makanan bergeser menjadi makanan fungsional. B. MAKANAN FUNGSIONAL Makanan fungsional adalah makanan yang memiliki tiga fungsi yaitu fungsi primer artinya makanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral); fungsi sekunder artinya makanan tersebut dapat diterima oleh konsumen secara sensoris dan fungsi tersier artinya makanan tersebut memiliki fungsi untuk menjaga kesehatan, mengurangi terjadinya suatu penyakit dan menjaga metabolisme tubuh. Jadi makanan fungsional dikonsumsi bukan berupa obat (serbuk) tetapi dikonsumsi berbentuk makanan. Contoh makanan fungsional makanan yang mengandung bakteri yang berguna untuk tubuh : yoghurt, yakult. Makanan yang mengandung serat, misalkan bekatul, tempe, gandum utuh. Makanan yang mengandung senyawa bioaktif seperti the (polifenol) untuk mencegah kanker, komponen sulfur (bawang) untuk menurunkan kolesterol, daidzein pada tempe untuk mencegah kanker, serat pangan 9sayuran, buah, kacang-kacangan) untuk mencegah penyakit yang berkaitan dengan pencernaan. Menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah :

1) Harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang berasal dari bahan (ingredient) alami, 2) Dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu sehari-hari, 3) Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, serta dapat memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, seperti : memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan.

Garut (Maranta arundinacea) merupakan salah satu tanaman umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat untuk mengurangi ketergantungan pada beras dan gandum. Garut merupakan pangan lokal yang potensial untuk dikembangkan sebagai komoditas agribisnis/agroindustri. Garut sebagai sumber karbohidrat, juga sebagai tanaman biofarmaka karena kandungan indeks glikemiknya rendah (14) dibanding umbi-umbian lainnya, seperti gembili (90), kimpul (95), ganyong (105) dan ubi jalar (179) sehingga bermanfaat bagi penderita diabetes mellitus (Marsono, 2002). Indeks glisemik merupakan ukuran yang menyatakan kenaikan gula darah setelah seseorang mengkonsumsi makanan yang bersangkutan. Semakin tinggi indeks glisemik berarti semakin tidak baik makanan tersebut untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes (Truswell, 1992). 1. Karakteristik Garut Garut berasal dari Amerika Tropik. Tanaman garut memiliki nama latin Maranta arundinacea atau Maranta sylvatica. Tanaman garut telah tumbuh subur di daerah itu jauh sebelum Colombus singgah ke daerah itu jauh sebelum Colombus singgah ke daerah itu. Tanaman tersebut ditemukan oleh Sloane sewaktu mengunjungi Jamaica dan juga tumbuh liar di Dominica pada akhir abad ke tujuh dan telah ditanam di kebun orang-orang Indian. Sekarang tanamn garut telah menyebar ke Negara-negara tropis lain yaitu Brazil, India, Ceylon, Indonesia dan Filipina.

Taksonom tanaman garut (Maranta arundinaceae L) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Zingiberalis Familia : Marantaceae Genus : Maranta Spesies : maranta arundinaceae L Tanaman garut tumbuh baik pada tanah yang drainasenya baik dan tingkat keasamannya rendah. Tanah yang paling disukai tanaman garut adalah tanah lempung yang subur, terutama tanah lempung berpasir yang banyak mengandung mineral vulkanik. Garut umumnya tumbuh normal pada ketinggian 900 m dari permukaan laut, tetapi akan tumbuh lebih baik pada daerah dekat laut dengan ketinggian 60-90 m dari permukaan laut. Tanaman garut memerlukan curah hujan minimum 150-200 cm per bulan. Sebagai tanaman teduhan, khususnya di Pulau Jawa, tanaman garut umumnya tumbuh liar dibawah hutan jati. Sedangkan di lahan petanian tumbuh dengan subur di tegalan atau kebun di bawah tanaman tahunan (tanaman umur anjang-TUP). Garut tidak akan dapat tumbuh dengan optimal apabila ditanam di daerah terbuka dengan penyinaran matahari penuh atau secara langsung. Tanaman garut (Maranta arundinacea Linn.) mempunyai sistem perakaran serabut, rhizomanya mula-mula berupa batang yang merayap (stolon), kemudian menembus ke dalam tanah dan secara bertahap membengkak menjadi suatu organ yang berdaging. Rhizomanya memiliki panjang 20-40 cm, dengan diameter 2-5 cm, berwarna putih, serta berd aging tebal (Pinus, 1986). Kabupaten Sragen yang memiliki ketinggian 75 m 300 m dari permukaan laut, sangat cocok untuk lahan tumbuh umbi Garut. Tanaman ini mudah ditanam di lingkungan yang ternaungi, dan dapat beradaptasi dari dataran rendah sampai ketinggian 900 m dari permukaan laut. Kebutuhan bibit bisa dicukupi dengan meninggalkan sebagian ujung-ujung umbi sewaktu memanen yang kelak akan tumbuh menjadi tanaman baru lagi. Uniknya, usia tanaman ini mencapai 7 tahun, dan dipanen setiap tahun. Sampai saat ini, tanaman garut ditanamkan sebagai tanaman tumpangsari (berada bersama dengan tanaman lain) atau sebagai tanaman semiliar di batas tanah-tanah miring, sudut pekarangan rumah, dsb., tetapi belum menjadi tanaman budi daya seperti layaknya singkong, ubi-jalar, talas, dsb. Hasil utama tanaman garut adalah umbi. 2. Kandungan Gizi Umbi garut mempunyai kelebihan dibandingkan dengan ubi kayu dan ubi jalar ditinjau dari sifat fisik dan kimiawi. Kadar amilosa garut hampir sama dengan ubi kayu dan ubi jalar tetapi tidak mengandung senyawa anti nutrisi seperti HCN dalam ubi kayu fenol dan oligosakarida dalam ubi jalar. Selain itu garut juga masih mempunyai banyak kandungan zat lainnya yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Tanaman ini mempunyai kandungan kimia yang terletak di dalam rimpangnya,yaitu zat pati yang berguna sebagai sumber karbohidrat. Garut ini juga memiliki kandungan kimia saponin dan flavonoid. Kandungan karbohidrat dan zat besi tepung garut lebih tinggi dan lemaknya lebih rendah dibanding tepung terigu dan beras, sedangkan jumlah kalorinya hampir sama.

Pati atau tepung garut bertekstur halus yang mengandung pati kira-kira 19% dari berat basah. Umbi garut segar mempunyai kandungan gizi yaitu: air 69-72%, protein 1,0-2,2%, lemak 0,1%, pati 19,4 -21,7%, serat 0,6 -1,3% dan abu 1,3 -1,4% (Pinus, 1986) Pinus Lingga. 1986. Bertanam Umbi-umbian. Penebar Swadaya, Jakarta. Tepung garut kualitas komersial berwarna putih, bersih, bebas dari noda dan kadar airnya tida k lebih dari 18,5 %, kandungan abu dan seratnya rendah, pH 4,57 serta viskositas maksimum antara 512 640 Brabender Unit.

3.

Potensi Pengembangan Tanaman Garut Keunggulan tanaman garut antara lain mampu tumbuh maksimal di bawah tegakan atau ternaungi pohon dengan intensitas naungan 30-70%, tumbuh pada berbagai jenis tanah, tumbuh di berbagai tipe tanah baik subur maupun kritis/tanah miskin hara, tumbuh secara baik mulai dari tepi pantai sampai wilayah pegunungan dengan ketinggian 900 m dpl dan tidak membutuhkan perawatan yang khusus sehingga mudah dibudidayakan dan dipelihara (Arimbi,1998; Villamayor dan Jukema, 1995). Hasil tanaman garut adalah rimpang/umbi yang dapat langsung dikonsumsi atau diolah menjadi tepung dan emping garut. Tanaman garut dapat dipanen setelah berumur sekitar 10 bulan dengan kandungan pati dapat mencapai sekitar 22%. Hasil panen tergantung pada tajuk, kesuburan tanah dan teknik budidaya. Potensi hasil umbi garut berkisar antara 12.5 ton umbi/ha. Kehilangan hasil dapat mencapai 5-20% tergantung kondisi lingkungan. Budidaya secara intensif akan menghasilkan rata-rata 21 ton umbi/ha. Pada budi daya tanaman garut yang ditanam dengan populasi 20.000 tanaman/ha maka budidaya tanaman garut memiliki potensi hasil lebih dari 20 ton umbi/ha. Dilihat dari kemudahan cara budidaya, potensi hasilnya, manfaat dan harga umbi garut basah Rp 1.000 Rp 1.500/kg sehingga cukup potensial untuk menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi sehingga umbi garut cocok untuk dikembangkan sebagai usaha agribisnis pedesaan. 4. Tepung Garut Tepung garut adalah hasil olahan dari umbi garut. Kandungan pati umbi garut antara 8-16% tergantung umur dan kesuburan tanaman. Negara penghasil umbi garut terbesar adalah Sint Vincent (Amerika Tengah) dan Bermuda. Pengolahan tepung garut dalam skala besar dilakukan oleh masyarakat pedesaan, sedangkan dalam skala besar dilakukan di pabrikpabrik. Cara pembuatan tepung garut sama dengan tepung lainnya (tepung tapioca, tepung sagu dan sebagainya) yaitu dengan cara ekstraksi basah. a. Alat dan Bahan Bahan dan alat yang digunakan adalah umbi garut, tempayan/nampan, baskom, parutan dan kain penyaring. b. Cara Umbi dibersihkan dari sisiknya. Pembersihan ini penting karena mempengaruhi hasil akhir tepung. Umbi dicuci kemudian diparut sampai menjadi bubur kasar. Bubur dicampur dengan air lalu diaduk sambil diremas-remas. Campuran ini disaring untuk memisahkan serat-seratnya. Larutan ini diendapkan sampai airnya menjadi jernih. Setelah itu airnya dibuang. Gumpalan pati dicuci berulang kali. Gumpalan pati diletakkan di tempayan/nampan lalu dijemur sampai kadar airnya kurang dari 18.5%. Gumpalan pati yang sudah kering dihancurkan sampai tepung harus dan disimpan di tempat yang kering.

c. Proses UMBI GARUT

Dibersihkan, dicuci dan diparut

Ditambah air dan diremas-remas

Disaring, diendapkan dan dicuci

Dijemur dan dihancurkan

Disimpan

Komoditi garut telah menjadi komoditas andalan Kabupaten Sragen (Jateng) dan Gunung Kidul (DIY) sebagai bahan baku pembuatan tepung dan emping garut rendah kolesterol. 5. Beras Analog dari Umbi Garut
Diharapkan program diversifikasi pangan yang tengah digenjot Kementerian Pertanian (Kementan) untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras padi dan tepung terigu, memunculkan inovasi baru, yakni beras analog sebagai pengganti konsumsi dua komoditas tersebut bagi masyarakat Indonesia. Beras analog merupakan beras yang diolah dan berbahan baku seperti singkong, tepung sagu, jagung, umbi-umbian dan sebagainya. Sumber karbohidrat maupun gizi yang terkandung di dalam beras analog sama dengan beras padi sehingga layak dikonsumsi. Beras analog diharapkan berkontribusi pada ketahanan pangan nasional, khususnya untuk mengurangi ketergantungan pangan di satu sumber saja, diantaranya beras dan tepung terigu. Menurut doktor

kimia pangan dari Universitas Tohoku Jepang, produk diversifikasi pangan seperti beras analog memiliki keunggulan jika ditilik dari komposisi bahan baku. Garut dipilih karena indeks glikemiknya rendah. Indeks glikemik adalah dampak makanan terhadap kadar gula darah. Makanan dengan indeks glikemik rendah lambat meningkatkan kadar gula dalam darah. Dengan demikian, makanan tersebut menyehatkan dan baik bagi penderita diabetes. Bagi penderita Diabetes Melitus (DM), konsumsi nasi harus dibatasi. Diabetes

Melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditunjukkan dengan kondisi hiperglikemia kronik dan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Menurut WHO Indonesia menduduki tempat ke 4 terbesar penderita diabetes melitus dengan pertumbuhan sebesar 152% pada tahun 2000 menjadi 21.257.000 orang di tahun 20130 (Suyono, 2007). Tanaman garut (Maranta arundinaceaer L) merupakan salah satu bahan pangan lokal yang mulai dikembangkan dan memiliki nilai ekonomi yang cukup baik. Keunggulan dari umbi garut memiliki kandungan serat dalam karbohidrat yang cukup tinggi, untuk serat larut air sebesar 5,03% dan serat tidak larut air sebesar 8,74% serta umbi garut mempunyai keunggulan dalam hal Indeks Glikemik (IG) rendah yaitu 14 (Marsono, 2002). Berdasarkan penelitian Novitasari dkk (2011) pemberian emping garut selama 28 hari dengan jumlah 20 gram/hari belum mampu menurunkan kadar glukosa darah. Maka dari itu perlu adanya pengkajian penambahan serat larut air dalam produk pangan untuk keefektifan dalam menurunkan kadar glukosa darah. Penambahan serat larut lair pada diet penderita diabetes dapat menurunkan kadar gula darah. Di dalam usus halus, serat dapat memperlambat penyerapan glukosa dan meningkatkan viskositas isi usus. Akibat kondisi tersebut, kadar glukosa dalam darah mengalami penurunan secara perlahan (Sulistijani, 2001). Alginat adalah suatu bahan yang dikandung oleh alga laut dari kelas Phaeophyceae. Di industri pangan alginate digunakan sebagai bahan pengental. Gel yang dihasilkan oleh alginate bersifat thermostable dimana gel yang terbentuk lebih stabil dan memberikan perlindungan terhadap koloid yang lebih baik dibandingkan dengan agar, karagenan dan CMC apabila digunakan pada suhu yang tinggi (Yunizal, 2004). Permasalahan yang terjadi adalah kandungan amilosa tepung garut yang cukup tinggi (25.94%) yang menyebabkan tekstur nasi analog menjadi keras. Tekstur, kenampakan, rasa dan warna merupakan komponen yang penting dan harus diperhatiakan dalam pembuatan beras analog ini. Beberapa factor tersebut dapat mempengaruhi daya terima masyarakat terhadap beras analog yang dihasilkan. Pembuatan beras analog tidak hanya menggunakan menggunakan tepung garut, namun juga ditambahkan tepung beras agar didapatkan beras analog yang sesuai dengan selera masyarakat. Tabel 1. Nilai parameter kimia dan fisik beras analog perlakuan terbaik. NO. 1. PARAMETER Energi (Kal) BERAS BERAS GILING ANALOG (KONTROL) 369* 371

2. Protein (g) 3. Lemak (g) 4. Karbohidrat (g) 5. Serat larut (%) 6. Kadar air (%) 7. Kadar abu (%) 8. Pati (%) 9. Warna (L*) 10. Daya dehidrasi (%) 11. Derajat pengembangan (%) 12. Cooking time (menit) Keterangan : * = Sumber TKPI

9.5* 1.4* 77.1* 11.4* 0.6* -

3.27 3.99 79.59 3.37 9.59 2.14 36.01 66.47 175.3 298.7 38.33

Tabel di atas menunjukkan perbandingan nilai parameter-parameter penting pada beras analog dan beras giling sebagai kontrol. Berdasarkan tabel tersebut, dapat dikatakan bahwa nilai parameter beras analog tidak berbeda jauh dengan beras giling sebagai kontrol. Adanya perbedaan nilai parameter beras karena beras analog yang dihasilkan terbuat dari tepung beras, tepung garut dan alginate yang mempunyai komposisi kimiawi yang berbedabeda. Selain itu, adanya proses pengolahan dari bahan baku hingga menjadi beras analog mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi kimiawi pada beras analog yang dihasilkan sehingga berbeda dengan control (beras giling). Pada tabel dapat dilihat bahwa kadar protein beras analog lebih rendah dibandingkan beras giling (kontrol). Hal tersebut diduga deisebabkan oleh kadar protein umbi-umbian lebih rendah dibanding . Marsono, 2002 menyebutkan bahwa kadar protein pada umbi garut sekitar 1-2.2%. Kadar lemak beras analog memiliki kadar lemak lebih tinggi dibandingkan dengan beras kontrol. Hal ini disebabkan oleh saat pembuatan beras analog, terdapat penambahan minyak kelapa sebanyak 10%. Minyak kelapa tersebut turut menyumbangkan lemak pada beras analog. Dengan mengetahui parameter fisik dan kimia beras analog dapat dinyatakan bahwa beras analog ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternative makanan pokok selain beras sekaligus dapat berfungsi sebagai pangan obat. DAFTAR PUSTAKA Koswara, Sutrisno. Teknologi Pengolahan Umbi-umbian bagian 7 : Pengolahan Umbi Garut. http://seafast.ipb.ac.id/tpc-project/wp-content/uploads/2013/10/7-pengolahan-garut.pdf Jurnal Rahchmadani, Anindya D. Teti estiasih, dkk. () Beras Analog Berbasis Umbi Garut (Maranta arundinaceae L) dan Alginat sebagai pangan Berkhasiat Obat yang Diujikan pada Tikus Hiperglikemik. Anonim (2014). Beras Analog, Diversifikasi Pangan dari IPB. http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11063 . Diakses pada 22 Maret 2014

Anda mungkin juga menyukai